Anda di halaman 1dari 3

Volksraad, Cikal-Bakal Dewan Perwakilan Rakyat

Kita tentu akhir-akhir ini sering mendengar isu yang menyangkut tentang
Dewan Perwakilan Rakyat, baik dari sisi kinerja maupun pengaruhnya bagi
masyarakat. Seringkali pula DPR dilabeli sebagai sarang koruptor yang merajalela.
Namun pernahkah kita tahu bahwa DPR sebenarnya merupakan warisan dari zaman
kolonial Belanda?
Ide tentang pembentukan sebuah dewan bagi rakyat Indonesia ini bermula pada
tahun 1899, ketika seorang ahli hukum Belanda bernama Conrad Theodor
mengutarakan pendapatnya mengenai eksploitasi besar-besaran yang dilakukan
Belanda terhadap sumber daya yang ada di Indonesia lewat sebuah artikel berjudul Een
Eereschuld atau Hutang Kehormatan. Van Deventer menyatakan ada tiga cara untuk
membalas hutang tersebut kepada Indonesia, yakni irigasi, emigrasi, dan edukasi.
Inilah yang menjadi titik awal dari kebijakan Politik Etis yang ditempuh oleh
Belanda terhadap Indonesia saat itu. Hal ini ditindaklanjuti oleh Ratu Wilhemnia saat
beliau berpidato di pembukaan parlemen Belanda pada 17 September 1901. Salah
satunya adalah dengan mengeluarkan kebijakan dalam bidang pendidikan berupa
dibentuknya Volksraad pada tahun 1916. Secara harfiah, kata Volksraad dalam bahasa
Belanda berarti Dewan Rakyat.
Menariknya, rancangan peraturan mengenai Volksraad ini telah disiapkan dan
diajukan oleh Menteri Jajahan Willem K.B. van Dedum pada 1893. Setelah mengalami
beberapa perubahan, rancangan peraturan tersebut kemudian disetujui oleh parlemen
Belanda pada 16 Desember 1916 dan diumumkan dalam Staatsblat Hindia No. 114
Tahun 1916 serta tertera dalam pasal 53 - 80 dari bagian kedua Indische Staatsregeling.
Berdasarkan konstitusi Indische Staatsrgeling atau peraturan ketatanegaraan buatan
Belanda itulah, pada tanggal 18 Mei 1918 Gubernur Jenderal Graaf van Limburg
Stirum atas nama pemerintah penjajah Belanda membentuk dan melantik Volksraad
(Dewan Rakyat).
Di dalam biografi M.H. Thamrin yang ditulis oleh Bob Hering, dijelaskan
bahwa Volksraad generasi pertama (1918 – 1921) yang baru bersidang pada 28 Mei
1918 memiliki 38 anggota, tidak termasuk ketuanya yang merupakan orang Eropa. 19
orang anggota (10 orang Indonesia, 9 Eropa dan Timur Asing) dipilih oleh pemilih
setempat sedangkan 19 anggota lainnya (5 Indonesia, 14 Eropa dan timur Asing)
diangkat oleh Gubernur Jenderal, sesuai Staatsblad 1917 No 547. Perlu diketahui pula,
sepanjang sejarah Volksraad, golongan bumiputra tidak pernah melebihi 50 % dari
total keanggotaannya.
Proses pembentukan keanggotaan Volksraad diawali dengan pembentukan
“Dewan Kabupaten” (Haminte Kota), di mana setiap 500 orang Indonesia berhak
memilih “Wali Pemilih” (Keesman). Kemudian Wali Pemilih inilah yang berhak
memilih sebagian anggota Dewan Kabupaten. Kemudian setiap provinsi mempunyai
“Dewan Provinsi”, yang sebagian anggotanya dipilih oleh Dewan Kabupaten dan
Haminte Kota di wilayah provinsi tersebut. Sebagian besar anggota Dewan Provinsi
yang umumnya dari bangsa Belanda inilah yang diangkat oleh Gubenur Jenderal
sebagai anggota Volksraad. Bisa dibayangkan bukan, betapa berbelitnya proses ini bagi
rakyat pribumi. Hal inilah yang nantinya memicu banyak munculnya sentimen negatif
terhadap Volksraad, terutama dari kalangan gerakan kiri Indonesia.
Pada awalnya, tugas Volksraad lebih mengutamakan memberi nasihat kepada
Gubernur Jenderal daripada menyuarakan aspirasi masyarakat. Karena itu, Volksraad
dinilai sama sekali tidak memuaskan bagi bangsa Indonesia. Bahkan, parlemen ini juga
tidak mempunyai hak angket dan hak menentukan anggaran belanja negara sehingga
tidak mempunyai kekuasaan seperti parlemen pada umumnya.
Contohnya saja, ketika muncul beberapa usul anggota untuk mengubah susunan
dan pengangkatan Volksraad ini agar dapat dijadikan tahap menuju Indonesia merdeka,
tetapi selalu ditolak oleh pemerintah kolonial. Salah satunya adalah Petisi Soetardjo
pada tahun 1935 yang berisi permohonan kepada Pemerintah Belanda agar diadakan
pembicaraan bersama antara Indonesia dan Berlanda dalam suatu perundingan
mengenai nasib Indonesia di masa yang akan datang, atau Gerakan Indonesia
Berparlemen dari Gabungan Politik Indonesia. Banyak kelompok yang mendukung
petisi Soetardjo ini, oleh karenanya petisi ini pun disetujui oleh Volksraad karena
banyak yang menginginkan kewenangan lebih luas, tetapi petisi ini akhirnya juga
ditolak pemerintah kolonial Belanda karena alasan Indonesia pada saat itu belum
mampu menentukan nasibnya sendiri.
Usulan yang terdapat dalam Petisi Soetardjo tersebut membuahkan reaksi
beragam, menurut pers Belanda seperti Preanger Bode, Java Bode, dan Bataviaasch
Nieuwsblad, usulan tentang kemerdekaan Indonesia tersebut sangatlah
membahayakan, mereka menyebut petisi tersebut sebagai sebuah permainan yang
berbahaya Sementara bagi pers Indonesia seperti Pemandangan, Tjahaja Timoer,
Pelita Andalas, Pewarta Deli dan Majalah Soeara Khatoliek, petisi tersebut patut untuk
didukung sepenuhnya.
Hal ini yang menjadikan banyak orang yang menganggap Volksraad benar-
benar tidak menjadi parlemen yang sesungguhnya akibat kegagalan memperjuangkan
aspirasi rakyat. Terutama ketika saat itu kewenangan pribumi nyaris dikebiri akibat hak
veto yang dimiliki Gubernur Jenderal, dalam persidangananpun semua aspek nyaris
semuanya dikuasai oleh pemerintah kolonial, seperti bahasa yang dipakai dalam
persidangan harus memakai bahasa Belanda. Pergerakan nasional pun tidak
mempercayai lagi perjuangan melalui parlemen untuk Indonesia yang lebih baik, dan
akhirnya ketika Belanda mengakhiri masa penjajahan di Indonesia pada 8 Maret 1942.
Pergantian penjajahan dari Belanda kepada Jepang mengakibatkan keberadaan
Volksraad secara otomatis tidak diakui lagi oleh masyarakat Indonesia.

Daftar Pustaka:
Hering, Bob. 2003. Mohammad Hoesni Thamrin: Membangun Nasionalisme
Indonesia. Hasta Mira.
http://www.dpr.go.id/index.php?page=tentang.Sejarah
http://www.parlemen.net/site/ldetails.php?docid=dpr
http://rilis.id/mengenal-dpr-dari-volksraad-hingga-dewan-zaman-now
id.wikipedia.org/wiki/Volksraad
alwishahab.wordpress.com/2008/04/28/volksraad-dpr-versi-belanda
https://www.goodreads.com/book/show/13105952-mohammad-hoesni-thamrin

Anda mungkin juga menyukai