Anda di halaman 1dari 30

RUMUSAN MASALAH

1. Siapakah pihak yang bertanggungjawab atas meninggalnya Arief Budiasa (16)

dan Syaifuddin (59)?

ANALISIS HUKUM

Setelah ditelaah dari kasus posisi yang ada, maka ada beberapa pihak yang sekiranya

dapat dimintakan pertanggungjawaban, antara lain:

1. Dr. Dicky Rachamaniadydan Dr. Dody Sudjono Adipraja;

2. Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah Dr. M. Yunus Bengkulu;

3. Pihak penyedia tabung oksigen.

Seperti yang banyak diberitakan di media mengenai kasus ini, Dokter selaku orang

yang berhubungan secara langsung dengan pasien-pasiennya yang kemudian

meninggal dunia, dianggap pihak yang paling kuat dituduhkan mengenai terjadinya

malpraktik. Sebelum menganalisi lebih lanjut mengenai kasus, penulis akan

menganalisis mengenai apa itu Malpraktik.

Kata Malpraktik sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tidak dapat ditemukan

artinya. Sehingga penulis akan merajuk kepada pengertian kata Malpraktik menurut

kamus hukum. Menurut Black’s Law Dictionary:

“Any professional misconduct, unreasonable lack of skill. This term is

usually applied to such conduct by doctors, lawyers, and accountants.

Failure of one rendering professional services to exercise that degree of

skill and learning commonly applied under all the circumstances in the

community by the average prudent reputable member of the profession

with the result of injury, loss or damage to the recipient of those entitled

to rely upon them. It is any professional misconduct, unreasonable lack of


skill or fidelity in professional or judiciary duties, evil practice, or illegal

or immoral conduct.”

“Malpraktek adalah, setiap sikap tindak yang salah, kekurangan

keterampilan dalam ukuran tingkat yang tidak wajar. Istilah ini umumnya

dipergunakan terhadap sikap tindak dari para dokter, pengacara dan

akuntan. Kegagalan untuk memberikan pelayanan profesional dan

melakukan pada ukuran tingkat keterampilan dan kepandaian yang wajar

di dalam masyarakatnya oleh teman sejawat rata-rata dari profesi itu,

sehingga mengakibatkan luka, kehilangan atau kerugian pada penerima

pelayanan tersebut yang cenderung menaruh kepercayaan terhadap

mereka itu. Termasuk di dalamnya setiap sikap tindak profesional yang

salah, kekurangan keterampilan yang tidak wajar atau kurang kehati-

hatian atau kewajiban hukum, praktek buruk atau ilegal atau sikap

immoral.”

Sedangkan apabila kita menelaah makna kata Malpraktik pada hukum positif

Indoneisa,maka tidak ditemukan pengertian mengenai malpraktik. Akan tetapi makna

atau pengertian malpraktik justru didapati dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b UU No. 6

Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan (“UU Tenaga Kesehatan”) yang telah

dinyatakan dihapus oleh UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Oleh karena itu

secara perundang-undangan, menurut Dr. H. Syahrul Machmud, S.H., M.H.,

ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf b UU Tenaga Kesehatan dapat dijadikan acuan
makna malpraktik yang mengidentifikasikan malpraktik dengan melalaikan

kewajiban, berarti tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan.1

Pasal 11 ayat (1) huruf b UU Tenaga Kesehatan:

(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan di dalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana dan Peraturan-peraturan perundang-undangan lain, maka terhadap

tenaga kesehatan dapat dilakukan tindakan-tindakan administratip dalam hal sebagai

berikut:

a. melalaikan kewajiban;

b. melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang

tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat

sumpah sebagai tenaga kesehatan;

c. mengabaikan sesuatu yang seharusnya dilakukan oleh tenaga kesehatan;

d. melanggar sesuatu ketentuan menurut atau berdasarkan undang-undang ini.

Jadi, dilihat dari arti istilah malpraktik itu sendiri, malpraktik tidak merujuk hanya

kepada suatu profesi tertentu sehingga dalam hal ini kami akan menjelaskan dengan

merujuk pada ketentuan beberapa profesi yang ada. Tapi yang akan ditekankan pada

karya tulis disini adalah malpraktik yang dilakukan oleh tenaga medik. Dari sekian

definisi malpraktik, J. Guwandimenyimpulkan bahwa terdapat malpraktik bila:

1. ada tindakan atau sikap dokter yang bertentangan dengan etik dan moral;

bertentangan dengan hukum; bertentangan dengan standar profesi medik

1 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51314ec548bec/hukum-malpraktik-di-
indonesia diakses pada 4 September 2015
(SPM); dan kurang pengetahuan atau ketinggalan ilmu pada bidangnya yang

berlaku umum; dan

2. adanya kelalaian, kurang hati-hati atau kesalahan.2

Dari unsur-unsur diatas, jika diterapkan dalam kasus posisi yang ada, para dokter

tersebut tidak berindikasi melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik dan

moral, dokter juga tidak bertentangan dengan standar profesi medik (SPM), dokter

tersebut juga tidak dapat dikatakan ketinggalan ilmu pada bidangnya. Tetapi ketika

menerapkan unsur nomer 2, dokter tersebut bisa saja dikatakan telah melakukan

kelalaian atau kekurang hati-hati. Karena ketika melakukan tindakan medik, semua

harus diperhatikan hingga hal yang sekecil mungkin. Sehingga hal tersebut bisa

meminimalisir adanya kesalahan. Apabila dokter tersebut benar-benar memperhatikan

hal sekecil mungkin, maka kesalahan pemberian tabung oksigen tidak dapat terjadi.

Tetapi apakah parameter/tolak ukur yang digunakan untuk menentukan kelalaian

seseorang? Maka penulis akan menjelaskan pada paragraph berikutnya.

Dalam kasus ini, tidak dapat dikatakan juga ada kesalahan murni dari dokter atau

tenaga medik saja, tetapi pihak lain diluar kegiatan medik pun dapat disalahkan.

Sebutlah pihak penyedia tabung gas yang telah melakukan kelalaian dengan tidak

sesuai memberikan tabung gas seperti yang dipesan oleh pihak rumah sakit. Dalam

beberapa artikel lainnya dikatakan bahwa pihak rumah sakit telah melakukan

pemesanan sesuai dengan kebutuhan. Tetapi apabila memang pihak rumah sakit pun

melakukan pemesanan tabung gas CO2 dan kemudian tabung gas CO2 tersebut

tertukar dengan tabung gas O2, maka hal tersebut murni kesalahan dari pihak

2J. Guwandi, Kelalaian Medik, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,
1994
manajemen rumah sakit. Karena pada umumnya tabung CO2 tidaklah seharusnya ada

pada ruang operasi.

Dalam hukum pidana, kelalaian (culpa) memiliki unsur tersendiri. Adapun culpa

diatur dalam Pasal 359 KUHP:

“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain

mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana

kurungan paling lama satu tahun.”

Adapun unsur-unsur kelalaian menurut Jan Remmelink dalam bukunya yang berjudul

Hukum Pidana (hal. 177) mengatakan bahwa pada intinya, culpa mencakup kurang

(cermat) berpikir, kurang pengetahuan, atau bertindak kurang terarah. Menurut Jan

Remmelink, ihwal culpa di sini jelas merujuk pada kemampuan psikis seseorang dan

karena itu dapat dikatakan bahwa culpa berarti tidak atau kurang menduga secara

nyata (terlebih dahulu kemungkinan munculnya) akibat fatal dari tindakan orang

tersebut – padahal itu mudah dilakukan dan karena itu seharusnya dilakukan.

Mengenai ukuran kelalaian dalam hukum pidana, Jan Remmelink (Ibid, hal. 179)

mengatakan bahwa menurut MvA (memori jawaban) dari pemerintah, yang menjadi

tolak ukur bagi pembuat undang-undang bukanlah diligentissimus pater familias

(kehati-hatian tertinggi kepala keluarga), melainkan warga pada umumnya. Syarat

untuk penjatuhan pidana adalah sekedar kecerobohan serius yang cukup, ketidakhati-
hatian besar yang cukup; bukan culpa levis (kelalaian ringan), melainkan culpa lata

(kelalaian yang kentara/besar).3

Maka dapat ditarik sebuah kesimpulan yang mengacu kepada beberapa kemungkinan

dimana kemungkinan-kemungkinan tersebut ditarik berdasarkan fakta-fakta hukum

yang ada, dan dikarenakan simpang siurnya pemberitaan di media, dan atas

kekurangan data yang didapat oleh penulis, maka penulis hanya dapat menyimpulkan

berdasarkan fakta-fakta yang didapat. Adapun kemungkinan-kemungkinannya adalah:

1. Seperti yang telah dijelaskan diatas, unsur kelalaian adalah tidak adanya

tindakan penghati-hatian dan tindakan penduga-dugan padahal seharusnya

melakukan tidakan penghati-hatian dan tindakan penduga-dugaan, tetapi

menurut parameter orang pada umumnya dan bukan menurut tolak ukur orang

yang sangat hati-hati. Lantas apakah memeriksa isi tabung gas oksigen

sebelum digunakan kepada pasien itu merupakan tindakan yang umum atau

merupakan tindakan yang dilakukan oleh orang yang sangat berhati-hati?

Dalam kasus posisi diatas, meninggalnya Arief Budiasa menurut saya hal

tersebut tidak dapat menjadi kesalahan dokter dan tenaga medik apabila

didasari oleh pasal tentang kelalaian yang menyebabkan matinya orang lain

(Pasal 359 KUHP). Karena menurut pendapat saya merupakan hal yang umum

ketika dokter langsung memberikan nafas bantuan dari tabung oksigen kepada

pasien tanpa memeriksa isi tabung tersebut. karena pumumnya memnag

tabung gas tersebut berisikan O2 atau oksigen. Tetapi pada kasus

meninggalnya Syaifuddin, jelas kesalahan dari dokter, dikarenakan dokter

seharusnya telah mempelajari penyebab meninggalnya pasien Arief Budiasa

3http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51d592cf9865d/adakah-ukuran-kelalaian-
dalam-hukum-pidana? Diakses pada 4 September 2015
itu dikarenakan kesalahan pemberian nafas bantuan dari tabung gas tersebut.

Sehingga apabila dokter bisa lebih berhati-hati lagi tidak akan terulang

kejadian yang menimpa Arief Budiasa kepada pasien-pasien selanjutnya.

2. Kesalahan pihak manajemen rumah sakit pun dapat dijadikan faktor penyebab

meninggalnya 2 pasien tersebut. Pihak rumah sakit seharusnya memeriksa

ulang pesanan tabung gas tersebut apakah sesuai pesanan dari isi dan lain-

lainnya. Sehingga terjadinya kesalahan teknis yang berakibat fatal tersebut

bisa dicegah. Atau pun apabila memang pihak rumah sakit memesan tabung

gas yang berisikan CO2, pihak rumah sakit tidak boleh sembarangan

menyimpan gas tersebut. Apalagi tabung gas tersebut letaknya di dalam ruang

operasi. Menurut penulis, hal tersebut tidaklah lazim mengingat tabung gas

yang seharusnya diletakan di dalam ruang operasi adalah tabung gas berisikan

O2 dan bukan CO2 sehingga kesalahan-kesalahan sepele berakibat fatal

tersebut tidaklah harus terjadi.

3. Selain pihak-pihak yang dianggap sebagai penyebab langsung dari

meninggalnya 2 pasien RSUD Bengkulu, ada juga pihak-pihak yang dianggap

sebagai penyebab tidak langsung dari meninggalnya 2 pasien tersebut, yaitu

pihak penyedia tabung gas oksigen. Menurut pendapat penulis, apabila pihak

rumah sakit telah sesuai memesan tabung gas oksigen berisikan O2 sedangkan

tabung gas yang diberikan kepada pihak rumah sakit tidak sesuai dengan

pesanan (berisikan gas CO2), maka kesalahan murni pada pihak penyedia

tabung gas tersebut.

Maka, dari ketiga kesimpulan tersebut, penulis masing-masing memberikan alasan

mengapa penulis memberikan dugaan mengenai siapakah pihak yang dapat

bertanggungjawab. Sekali lagi penulis tekankan, kurangnya data mengenai karya tulis
ini membuat penulis memberikan 3 kesimpulan yang disesuaikan dengan fakta-fakta

hukum yang ada. Sehingga penulis tidak dapat menyimpulkan 1 jawaban mengenai

siapakah yang dapat dimintakan pertanggungjawaban dalam kasus tersebut.

Dampak co2

1. Menghambat pasokan oksigen untuk tubuh : Afinitas karbon monoksida (CO) dengan
hemoglobin (Hb) 200 kali lebih cepat dari pada afinitas oksigen (O2) dengan
hemoglobin (Hb). Proses ini akan membentuk karboksihemoglobin (COHb). Reaksi
ini yang menghambat pasokan oksigen ke seluruh tubuh. Jantung dan otak merupakan
organ yang butuh oksigen dalam jumlah yang cukup.
2. Mengganggu fungsi saraf : Ketika kadar COHb dalam darah berkisar 2-5% akan
mengganggu fungsi saraf sentral, mengganggu fungsi indra tubuh, dan penglihatan
akan kabur.
3. Mengganggu fungsi jantung : Fungsi jantung akan mengalami perubahan ketika kadar
COHb >5%. Tubuh juga mengalami gangguan pulmonary atau paru-paru.
4. Dalam jumlah banyak : Seseorang yang mengalami keracunan CO dengan kadar
tinggi dapat tidak sadarkan diri, lemas, mual, pusing, dan juga sesak napas. Lebih dari
itu dapat mengalami kematian

Latar Belakang
Pertimbangan pengesahan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga
Kesehatan adalah:

a. bahwa tenaga kesehatan memiliki peranan penting untuk meningkatkan kualitas


pelayanan kesehatan yang maksimal kepada masyarakat agar masyarakat mampu
untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat sehingga akan
terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai investasi bagi
pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomi serta
sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam bentuk
pemberian berbagai pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat melalui
penyelenggaraan pembangunan kesehatan yang menyeluruh oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan masyarakat secara terarah, terpadu dan berkesinambungan,
adil dan merata, serta aman, berkualitas, dan terjangkau oleh masyarakat;
c. bahwa penyelenggaraan upaya kesehatan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
bertanggung jawab, yang memiliki etik dan moral yang tinggi, keahlian, dan
kewenangan yang secara terus menerus harus ditingkatkan mutunya melalui
pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, registrasi, perizinan, serta
pembinaan, pengawasan, dan pemantauan agar penyelenggaraan upaya kesehatan
memenuhi rasa keadilan dan perikemanusiaan serta sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi kesehatan;
d. bahwa untuk memenuhi hak dan kebutuhan kesehatan setiap individu dan masyarakat,
untuk memeratakan pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat, dan untuk
memberikan pelindungan serta kepastian hukum kepada tenaga kesehatan dan
masyarakat penerima upaya pelayanan kesehatan, perlu pengaturan mengenai tenaga
kesehatan terkait dengan perencanaan kebutuhan, pengadaan, pendayagunaan,
pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan;
e. bahwa ketentuan mengenai tenaga kesehatan masih tersebar dalam berbagai
peraturan perundang- undangan dan belum menampung kebutuhan hukum masyarakat
sehingga perlu dibentuk undang-undang tersendiri yang mengatur tenaga kesehatan
secara komprehensif;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf
c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Tenaga Kesehatan;
ASPEK HUKUM KESELAMATAN PASIEN (PATIENT SAFETY)

Menurut penjelasan Pasal 43 UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 yang dimaksud dengan

keselamatan pasien (patient safety) adalah proses dalam suatu rumah sakit yang

memberikan pelayanan pasien yang lebih aman. Termasuk didalamnya asesmen resiko,

identifikasi, dan manajemen resiko terhadap pasien, pelaporan dan analisis insiden,

kemampuan untuk belajar dan menindaklanjuti insiden, dan menerapkan solusi untuk

mengurangi serta meminimalisir timbulnya risiko. Yang dimaksud dengan insiden

keselamatan pasien adalah keselamatan medis (medical errors), kejadian yang tidak

diharapkan (adverse event), dan nyaris terjadi (near miss).

Menurut Institute of Medicine (IOM), Keselamatan Pasien (Patient Safety) didefinisikan

sebagai freedom from accidental injury. Accidental injury disebabkan karena error yang

meliputi kegagalan suatu perencanaan atau memakai rencana yang salah dalam mencapai

tujuan. Accidental injury juga akibat dari melaksanakan suatu tindakan (commission) atau

tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission). Accidental injury dalam

prakteknya akan berupa kejadian tidak diinginkan/KTD (adverse event) atau hampir terjadi

kejadian tidak diinginkan (near miss). Near miss ini dapat disebabkan karena:

1. keberuntungan (misal : pasien terima suatu obat kontra indikasi tetapi tidak timbul reaksi

obat)

2. pencegahan (suatu obat dengan overdosis lethal akan diberikan, tetapi staf lain

mengetahui dan membatalkannya sebelum obat diberikan)

3. peringanan (suatu obat dengan over dosis lethal diberikan, diketahui secara dini lalu

diberikan antidotenya)

Tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakat global terhadap penerapan keselamatan pasien

adalah:

1. Identify patients correctly

2. Improve effective communication

3. Improve the safety of high-alert medications


4. Eliminate wrong-site, wrong-patient, wrong procedure surgery

5. Reduce the risk of health care-associated infections

6. Reduce the risk of patient harm from falls

Gerakan keselamatan pasien adalah suatu program yang belum lama diimplementasikan

diseluruh dunia, karena itu masih dimungkinkan pengembangan dalam implementasinya. Di

Indonesia, PERSI telah mensosialisasikan langkah-langkah yang dipakai untuk implementasi

di rumah sakit seluruh Indonesia.

Langkah-langkah implementasi keselamatan pasien tersebut adalah:

1. Membangun budaya keselamatan pasien (Create a culture that is open and fair).

2. Memimpin dan mendukung staf (Establish a clear and strong focus on Patient Safety

throughout your organization)

3. Mengintegrasikan kegiatan-kegiatan manajemen risiko (Develop systems and processes to

manage your risks and identify and assess things that could go wrong)

4. Meningkatkan kegiatan pelaporan (Ensure your staff can easily report incidents locally and

nationally)

5. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien (Develop ways to communicate openly with

and listen to patients)

6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien (Encourage staff to use root

cause analysis to learn how and why incidents happen)

7. Menerapkan solusi-solusi untuk mencegah cidera (Embed lessons through changes to

practice, processes or systems).

Bisnis utama rumah sakit adalah merawat pasien yang sakit dengan tujuan agar pasien

segera sembuh dari sakitnya dan sehat kembali, sehingga tidak dapat ditoleransi bila dalam

perawatan di rumah sakit pasien menjadi lebih menderita akibat dari terjadinya resiko yang

sebenarnya dapat dicegah, dengan kata lain pasien harus dijaga keselamatannya dari akibat

yang timbul karena error. Bila program keselamatan pasien tidak dilakukan akan berdampak

pada terjadinya tuntutan sehingga meningkatkan biaya urusan hukum, menurunkan

efisisiensi, serta kerugian lainnya.

Element keselamatan pasien terdiri dari:


• Adverse drug events (ADE)/ medication errors (ME)

• Restraint use

• Nosocomial infections

• Surgical mishaps

• Pressure ulcers

• Blood product safety/administration

• Antimicrobial resistance

• Immunization program

• Falls

• Blood stream – vascular catheter care

• Systematic review, follow-up, and reporting of patient/visitor incident reports

Pendekatan Penanganan KTD atau Error

Menurut James Reason dalam Human error management : models and management

dikatakan ada dua pendekatan dalam penanganan error atau KTD.

1. pendekatan personal.

Pendekatan ini memfokuskan pada tindakan yang tidak aman, melakukan pelanggaran

prosedur, dari orang-orang yang menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan (dokter,

perawat, ahli bedah, ahli anestesi, farmasis dll). Tindakan tidak aman ini dianggap berasal

dari proses mental yang menyimpang seperti mudah lupa, kurang perhatian, motivasi yang

buruk, tidak hati-hati, dan sembrono. Sehingga bila terjadi suatu KTD akan dicari siapa yang

berbuat salah.

2. Pendekatan sistem

Pemikiran dasar dari pendekatan ini yaitu bahwa manusia dapat berbuat salah dan

karenanya dapat terjadi kesalahan. Disini kesalahan dianggap lebih sebagai konsekwensi

daripada sebagai penyebab. Dalam pendekatan ini diasumsikan bahwa kita tidak akan dapat

mengubah sifat alamiah manusia ini, tetapi kita harus mengubah kondisi dimana manusia itu

bekerja.

Pemikiran utama dari pendekatan ini adalah pada pertahanan sistem yang digambarkan
sebagai model keju Swiss. Dimana berbagai pengembangan pada kebijakan, prosedur,

profesionalisme, tim, individu, lingkungan dan peralatan akan mencegah atau meminimalkan

terjadinya KTD.

Penyebab utama terjadinya errors, antara lain:

1. Communication problems

2. Inadequate information flow

3. Human problems

4. Patient-related issues

5. Organizational transfer of knowledge

6. Staffing patterns/work flow

7. Technical failures

8. Inadequate policies and procedures

(AHRQ Publication No. 04-RG005, December 2003) Agency for Healthcare Research and

Quality

PENDEKATAN KOMPREHENSIF PENGKAJIAN KESELAMATAN PASIEN

Pengkajian pada keselamatan pasien secara garis besar dibagi kepada struktur, lingkungan,

peralatan dan teknologi, proses, orang dan budaya.

1. Struktur

• Kebijakan dan prosedur organisasi : periksa apakah telah terdapat kebijakan dan prosedur

tetap yang telah dibuat dengan mempertimbangkan keselamatan pasien.

• Fasilitas : Apakah fasilitas dibangun untuk meningkatkan keamanan ?

• Persediaan : Apakah hal – hal yang dibutuhkan sudah tersedia seperti persediaan di ruang

emergency, ruang ICU.

2. Lingkungan

• Pencahayaan dan permukaan : berkontribusi terhadap pasien jatuh atau cedera

• Temperature : pengkondisian temperature dibutuhkan dibeberapa ruangan seperti ruang

operasi, hal ini diperlukan misalnya pada saat operasi bedah tulang suhu ruangan akan

berpengaruh terhadap cepatnya pengerasan dari semen


• Kebisingan : lingkungan yang bising dapat menjadi distraksi saat tenaga kesehatan sedang

memberikan pengobatan dan tidak terdengarnya sinyal alarm dari perubahan kondisi pasien.

• Ergonomik dan fungsional : ergonomik berpengaruh terhadap penampilan seperti teknik

memindahkan pasien, jika terjadi kesalahan dapat menimbulkan pasien jatuh atau cedera.

Selain itu penempatan material di ruangan apakah sudah disesuaikan dengan fungsinya

seperti pengaturan tempat tidur, jenis, penempatan alat sudah mencerminkan keselamatan

pasien.

3. Peralatan dan teknologi

• Fungsional : tenaga kesehatan harus mengidentifikasi penggunaan alat dan desain dari

alat. Perkembangan kecanggihan alat sangat cepat sehingga diperlukan pelatihan untuk

mengoperasikan alat secara tepat dan benar.

• Keamanan : Alat–alat yang digunakan juga harus didesain penggunaannya dapat

meningkatkan keselamatan pasien.

4. Proses

• Desain kerja : Desain proses yang tidak dilandasi riset yang adekuat dan kurangnya

penjelasan dapat berdampak terhadap tidak konsisten perlakuan pada setiap orang hal ini

akan berdampak terhadap kesalahan. Untuk mencegah hal tersebut harus dilakukan

research based practice yang diimplementasikan.

• Karakteristik risiko tinggi : melakukan tindakan yang terus–menerus saat praktek akan

menimbulkan kelemahan, dan penurunan daya ingat hal ini dapat menjadi risiko tinggi

terjadinya kesalahan atau lupa oleh karena itu perlu dibuat suatu sistem pengingat untuk

mengurangi kesalahan.

• Waktu : waktu sangat berdampak pada keselamatan pasien hal ini lebih mudah tergambar

saat ada pasien yang memerlukan resusitasi, yang dilanjutkan oleh beberapa tindakan

seperti pemberian obat dan cairan, intubasi dan defibrilasi dan pada pasien – pasien

emergensi, oleh karena itu pada saat–saat tertentu waktu dapat menentukan apakah pasien

selamat atau tidak.

• Perubahan jadual dinas tenaga kesehatan juga berdampak terhadap keselamatan pasien

karena tenaga kesehatan sering tidak siap untuk melakukan aktivitas secara baik dan

menyeluruh.
• Waktu juga sangat berpengaruh pada saat pasien harus dilakukan tindakan diagnostik atau

ketepatan pengaturan pemberian obat seperti pada pemberian antibiotic atau trombolitik,

keterlambatan akan mempengaruhi terhadap diagnosis dan pengobatan.

• Efisiensi : keterlambatan diagnosis atau pengobatan akan memperpanjang waktu

perawatan tentunya akan meningkatkan pembiayaan yang harus di tanggung oleh pasien.

5. Orang

• Sikap dan motivasi ; sikap dan motivasi sangat berdampak kepada kinerja seseorang. Sikap

dan motivasi yang negatif akan menimbulkan kesalahan-kesalahan.

• Kesehatan fisik : kelelahan, sakit dan kurang tidur akan berdampak kepada kinerja dengan

menurunnya kewaspadaan dan waktu bereaksi seseorang.

• Kesehatan mental dan emosional : hal ini berpengaruh terhadap perhatian akan kebutuhan

dan masalah pasien. Tanpa perhatian yang penuh akan terjadi kesalahan–kesalahan dalam

bertindak.

• Faktor interaksi manusia dengan teknologi dan lingkungan : tenaga kesehatan memerlukan

pendidikan atau pelatihan saat dihadapkan kepada penggunaan alat–alat kesehatan dengan

teknologi baru dan perawatan penyakit–penyakit yang sebelumnya belum tren seperti

perawatan flu babi (swine flu).

• Faktor kognitif, komunikasi dan interpretasi ; kognitif sangat berpengaruh terhadap

pemahaman kenapa terjadinya kesalahan (error). Kognitif seseorang sangat berpengaruh

terhadap bagaimana cara membuat keputusan, pemecahan masalah, dan

mengkomunikasikan hal–hal yang baru.

6. Budaya

• Faktor budaya sangat bepengaruh besar terhadap pemahaman kesalahan dan keselamatan

pasien.

• Pilosofi tentang keamanan ; keselamatan pasien tergantung kepada pilosofi dan nilai yang

dibuat oleh para pimpinanan pelayanan kesehatan.

• Jalur komunikasi : jalur komunikasi perlu dibuat sehingga ketika terjadi kesalahan dapat

segera terlaporkan kepada pimpinan (siapa yang berhak melapor dan siapa yang menerima

laporan).

• Budaya melaporkan, terkadang untuk melaporkan suatu kesalahan mendapat hambatan


karena terbentuknya budaya blaming. Budaya menyalahkan (Blaming) merupakan

phenomena yang universal. Budaya tersebut harus dikikis dengan membuat protap jalur

komunikasi yang jelas.

• Staff : kelebihan beban kerja, jam dan kebijakan personal. Faktor lainnya yang penting

adalah sistem kepemimpinan dan budaya dalam merencanakan staf, membuat kebijakan dan

mengantur personal termasuk jam kerja, beban kerja, manajemen kelelahan, stress dan

sakit.

PATIENT SAFETY DI INDONESIA

Indonesia memulai gerakan keselamatan pasien pada tahun 2005 yaitu dengan didirikannya

Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) oleh Persatuan Rumah Sakit Seluruh

Indonesia (PERSI), dan telah menerbitkan Panduan Tujuh Langkah Menuju Keselamatan

Pasien. Panduan ini dibuat sebagai dasar implementasi keselamatan pasien di rumah sakit.

Dalam perkembangannya, Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Departemen Kesehatan

telah pula menyusun Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit dalam instrumen Standar

Akreditasi Rumah Sakit. Tujuan dilakukannya kegiatan Patient Safety di rumah sakit adalah

untuk menciptakan budaya keselamatan pasien di rumah sakit, meningkatkan akuntabilitas

rumah sakit, menurunkan KTD di rumah sakit, terlaksananya program-program pencegahan

sehingga tidak terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan.

Tujuan Sistem Keselamatan Pasien Rumah Sakit adalah :

1. Terciptanya budaya keselamatan pasien di Rumah Sakit

2. Meningkatnya akuntabilitas Rumah Sakit terhadap pasien dan masyarakat

3. Menurunnya KTD di Rumah Sakit.

4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan KTD

Mengingat masalah keselamatan pasien merupakan masalah yang penting dalam sebuah

rumah sakit, maka diperlukan standar keselamatan pasien rumah sakit yang dapat digunakan

sebagai acuan bagi rumah sakit di Indonesia. Standar keselamatan pasien rumah sakit yang

saat ini digunakan mengacu pada “Hospital Patient Safety Standards” yang dikeluarkan oleh

Joint Commision on Accreditation of Health Organization di Illinois pada tahun 2002 yang

kemudian disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia. Penilaian keselamatan yang
dipakai Indonesia saat ini dilakukan dengan menggunakan instrumen Akreditasi Rumah Sakit

yang dikeluarkan oleh KARS.

Departemen Kesehatan RI telah menerbitkan Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah

Sakit (Patient Safety) edisi kedua pada tahun 2008 yang terdiri dari dari 7 standar, yakni:

1. Hak pasien

2. Mendididik pasien dan keluarga

3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan

4. Penggunaan metoda metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program

peningkatan keselamatan pasien

5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien

6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien

7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien

Untuk mencapai ke tujuh standar di atas Panduan Nasional tersebut Departemen Kesehatan

RI menganjurkan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit” yang terdiri

dari:

1. Bangun kesadaran akan nilai keselamatan pasien

2. Pimpin dan dukung staf

3. Integrasikan aktivitas pengelolaan risiko

4. Kembangkan sistem pelaporan

5. Libatkan dan berkomunikasi dengan pasien

6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien

7. Cegah cedera melalui implementasi sistem keselamatan pasien

WHO Collaborating Centre for Patient Safety pada tanggal 2 Mei 2007 resmi menerbitkan

“Nine Life Saving Patient Safety Solutions” (“Sembilan Solusi Life-Saving Keselamatan

Pasien Rumah Sakit”). Panduan ini mulai disusun sejak tahun 2005 oleh pakar keselamatan

pasien dan lebih 100 negara, dengan mengidentifikasi dan mempelajari berbagai masalah

keselamatan pasien.

Solusi keselamatan pasien adalah sistem atau intervensi yang dibuat, mampu mencegah

atau mengurangi cedera pasien yang berasal dari proses pelayanan kesehatan. Sembilan

Solusi ini merupakan panduan yang sangat bermanfaat membantu RS, memperbaiki proses
asuhan pasien, guna menghindari cedera maupun kematian yang dapat dicegah.

Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) mendorong RS-RS di Indonesia untuk

menerapkan Sembilan Solusi “Life-Saving” Keselamatan Pasien Rumah Sakit, atau 9 Solusi,

langsung atau bertahap, sesuai dengan kemampuan dan kondisi RS masing-masing.

1. Perhatikan Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip (Look-Alike, Sound-Alike Medication

Names).

Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip (NORUM), yang membingungkan staf pelaksana adalah

salah satu penyebab yang paling sering dalam kesalahan obat (medication error) dan ini

merupakan suatu keprihatinan di seluruh dunia. Dengan puluhan ribu obat yang ada saat ini

di pasar, maka sangat signifikan potensi terjadinya kesalahan akibat bingung terhadap nama

merek atau generik serta kemasan.

Solusi NORUM ditekankan pada penggunaan protokol untuk pengurangan risiko dan

memastikan terbacanya resep, label, atau penggunaan perintah yang dicetak lebih dulu,

maupun pembuatan resep secara elektronik.

2. Pastikan Identifikasi Pasien.

Kegagalan yang meluas dan terus menerus untuk mengidentifikasi pasien secara benar

sering mengarah kepada kesalahan pengobatan, transfusi maupun pemeriksaan;

pelaksanaan prosedur yang keliru orang; penyerahan bayi kepada bukan keluarganya, dan

sebagainya.

Rekomendasi ditekankan pada metode untuk verifikasi terhadap identitas pasien, termasuk

keterlibatan pasien dalam proses ini; standardisasi dalam metode identifikasi di semua rumah

sakit dalam suatu sistem layanan kesehatan; dan partisipasi pasien dalam konfirmasi ini;

serta penggunaan protokol untuk membedakan identifikasi pasien dengan nama yang sama.

3. Komunikasi Secara Benar saat Serah Terima / Pengoperan Pasien.

Kesenjangan dalam komunikasi saat serah terima/ pengoperan pasien antara unit-unit

pelayanan, dan didalam serta antar tim pelayanan, bisa mengakibatkan terputusnya

kesinambungan layanan, pengobatan yang tidak tepat, dan potensial dapat mengakibatkan

cedera terhadap pasien.

Rekomendasi ditujukan untuk memperbaiki pola serah terima pasien termasuk penggunaan

protokol untuk mengkomunikasikan informasi yang bersifat kritis; memberikan kesempatan


bagi para praktisi untuk bertanya dan menyampaikan pertanyaan-pertanyaan pada saat

serah terima,dan melibatkan para pasien serta keluarga dalam proses serah terima.

4. Pastikan Tindakan yang benar pada Sisi Tubuh yang benar.

Penyimpangan pada hal ini seharusnya sepenuhnya dapat dicegah. Kasus-kasus dengan

pelaksanaan prosedur yang keliru atau pembedahan sisi tubuh yang salah sebagian besar

adalah akibat dan miskomunikasi dan tidak adanya informasi atau informasinya tidak benar.

Faktor yang paling banyak kontribusinya terhadap kesalahan-kesalahan macam ini adalah

tidak ada atau kurangnya proses pra-bedah yang distandardisasi.

Rekomendasinya adalah untuk mencegah jenis-jenis kekeliruan yang tergantung pada

pelaksanaan proses verifikasi prapembedahan; pemberian tanda pada sisi yang akan

dibedah oleh petugas yang akan melaksanakan prosedur; dan adanya tim yang terlibat

dalam prosedur ’Time out” sesaat sebelum memulai prosedur untuk mengkonfirmasikan

identitas pasien, prosedur dan sisi yang akan dibedah.

5. Kendalikan Cairan Elektrolit Pekat (concentrated).

Sementara semua obat-obatan, biologics, vaksin dan media kontras memiliki profil risiko,

cairan elektrolit pekat yang digunakan untuk injeksi khususnya adalah berbahaya.

Rekomendasinya adalah membuat standardisasi dari dosis, unit ukuran dan istilah; dan

pencegahan atas campur aduk / bingung tentang cairan elektrolit pekat yang spesifik.

6. Pastikan Akurasi Pemberian Obat pada Pengalihan Pelayanan.

Kesalahan medikasi terjadi paling sering pada saat transisi/pengalihan. Rekonsiliasi

(penuntasan perbedaan) medikasi adalah suatu proses yang didesain untuk mencegah salah

obat (medication errors) pada titik-titik transisi pasien. Rekomendasinya adalah menciptakan

suatu daftar yang paling lengkap dan akurat dan seluruh medikasi yang sedang diterima

pasien juga disebut sebagai “home medication list”, sebagai perbandingan dengan daftar

saat admisi, penyerahan dan/atau perintah pemulangan bilamana menuliskan perintah

medikasi; dan komunikasikan daftar tsb kepada petugas layanan yang berikut dimana pasien

akan ditransfer atau dilepaskan.

7. Hindari Salah Kateter dan Salah Sambung Slang (Tube).

Slang, kateter, dan spuit (syringe) yang digunakan harus didesain sedemikian rupa agar

mencegah kemungkinan terjadinya KTD (Kejadian Tidak Diharapkan) yang bisa


menyebabkan cedera atas pasien melalui penyambungan spuit dan slang yang salah, serta

memberikan medikasi atau cairan melalui jalur yang keliru. Rekomendasinya adalah

menganjurkan perlunya perhatian atas medikasi secara detail/rinci bila sedang mengerjakan

pemberian medikasi serta pemberian makan (misalnya slang yang benar), dan bilamana

menyambung alat-alat kepada pasien (misalnya menggunakan sambungan dan slang yang

benar).

8. Gunakan Alat Injeksi Sekali Pakai.

Salah satu keprihatinan global terbesar adalah penyebaran dan HIV, HBV, dan HCV yang

diakibatkan oleh pakai ulang (reuse) dari jarum suntik. Rekomendasinya adalah penlunya

melarang pakai ulang jarum di fasilitas layanan kesehatan; pelatihan periodik para petugas di

lembaga-lembaga layanan kesehatan khususnya tentang prinsip-pninsip pengendalian

infeksi,edukasi terhadap pasien dan keluarga mereka mengenai penularan infeksi melalui

darah;dan praktek jarum sekali pakai yang aman.

9. Tingkatkan Kebersihan Tangan (Hand hygiene) untuk Pencegahan lnfeksi Nosokomial.

Diperkirakan bahwa pada setiap saat lebih dari 1,4 juta orang di seluruh dunia menderita

infeksi yang diperoleh di rumah-rumah sakit. Kebersihan Tangan yang efektif adalah ukuran

preventif yang pimer untuk menghindarkan masalah ini. Rekomendasinya adalah mendorong

implementasi penggunaan cairan “alcohol-based hand-rubs” tersedia pada titik-titik pelayan

tersedianya sumber air pada semua kran, pendidikan staf mengenai teknik kebarsihan

taangan yang benar mengingatkan penggunaan tangan bersih ditempat kerja; dan

pengukuran kepatuhan penerapan kebersihan tangan melalui pemantauan / observasi dan

tehnik-tehnik yang lain.

MANAJEMEN RISIKO PATIENT SAFETY

Keselamatan pasien harus dilihat dari sudut pandang risiko klinis. Sekalipun staf medis

rumah sakit sesuai kompetensinya memberikan pelayanan berdasarkan standar profesi dan

standar pelayanan, namun potensi risiko tetap ada, sehingga pasien tetap berpotensi

mengalami cedera. UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 bertujuan memberikan perlindungan

kepada pasien, masyarakat, dan sumber daya manusia, mempertahankan dan meningkatkan

mutu pelayanan rumah sakit, serta memberi kepastian hukum kepada masyarakat dan rumah
sakit.

The Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organizations (JCAHO) memberikan

pengertian manajemen risiko sebagai aktivitas klinik dan administratif yang dilakukan oleh

rumah sakit untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan pengurangan risiko terjadinya cedera

atau kerugian pada pasien, personil, pengunjung dan rumah sakit itu sendiri. Kegiatan

tersebut meliputi identifikasi risiko hukum (legal risk), memprioritaskan risiko yang

teridentifikasi, menentukan respons rumah sakit terhadap risiko, mengelola suatu kasus risiko

dengan tujuan meminimalkan kerugian (risk control), membangun upaya pencegahan risiko

yang efektif, dan mengelola pembiayaan risiko yang adekuat (risk financing).

Manajemen risiko yang komprehensif meliputi seluruh aktivitas rumah sakit, baik operasional

maupun klinikal, oleh karena risiko dapat muncul dari kedua bidang tersebut. Bahkan akhir-

akhir ini meliputi pula risiko yang berkaitan dengan managed care dan risiko kapitasi, merger

dan akuisisi, risiko kompensasi ketenagakerjaan, corporate compliance dan etik organisasi.

Manajemen risiko klinik merupakan upaya yang cenderung proaktif, meskipun sebagian

besarnya merupakan hasil belajar dari pengalaman dan menerapkannya kembali untuk

mengurangi atau mencegah masalah yang serupa di kemudian hari. Pada dasarnya

manajemen risiko merupakan suatu proses siklik yang terus menerus, yang terdiri dari empat

tahap, yaitu:

1. Risk Awareness.

Pada tahap ini diharapkan seluruh pihak yang terlibat dalam sistem bedah sentral memahami

situasi yang berisiko tinggi di bidangnya masing-masing dan aktivitas yang harus dilakukan

dalam upaya mengidentifikasi risiko. Risiko tersebut tidak hanya yang bersifat medis,

melainkan juga yang non medis, sehingga upaya ini melibatkan manajemen, komite medis,

dokter, perawat bedah, perawat anestesi, pengendali gas sentral, pelaksana pemeliharaan

ruang bedah dan instrument, dan lain-lain. Self-assessment, sistem pelaporan kejadian yang

berpotensi menimbulkan risiko (incidence report) dan audit klinis dalam budaya non-blaming

merupakan sebagian metode yang dapat digunakan untuk mengenali risiko.

2. Risk control (and or Risk Prevention).

Manajemen merencanakan langkah-langkah praktis dalam menghindari dan atau

meminimalkan risiko dan melaksanakannya dengan tepat. Dalam bidang medis, manajemen
harus bekerjasama erat dan saling mendukung dengan komite medis. Langkah-langkah

tersebut ditujukan kepada seluruh komponen sistem, baik perangkat keras, perangkat lunak

maupun sumber daya manusianya. Langkah dimulai dengan penilaian risiko (risk

assessment) tentang derajat dan probabilitas kejadiannya, dilanjutkan dengan upaya mencari

jalan untuk menghilangkan risiko (engineering solution), atau bila tidak mungkin maka dicari

upaya menguranginya (control solution) baik terhadap probabilitasnya maupun terhadap

derajat keparahannya, atau apabila hal itu juga tidak mungkin maka dicari jalan untuk

mengurangi dampaknya.

Tindakan dapat berupa pengadaan, perbaikan dan pemeliharaan bangunan dan instrumen

yang sesuai dengan persyaratan; pengadaan bahan habis pakai sesuai dengan prosedur dan

persyaratan; pembuatan dan pembaruan prosedur, standar dan check-list; pelatihan

penyegaran bagi personil, seminar, pembahasan kasus, poster, stiker, dan lain-lain.

3. Risk containment

Dalam hal telah terjadi suatu insiden, baik akibat suatu tindakan atau kelalaian ataupun

akibat dari suatu kecelakaan yang tidak terprediksikan sebelumnya, maka sikap yang

terpenting adalah mengurangi besarnya risiko dengan melakukan langkah-langkah yang

tepat dalam mengelola pasien dan insidennya. Unsur utamanya biasanya adalah respons

yang cepat dan tepat terhadap setiap kepentingan pasien, dengan didasari oleh komunikasi

yang efektif.

4. Risk transfer

Akhirnya apabila risiko itu terjadi juga dan menimbulkan kerugian, maka diperlukan

pengalihan penanganan risiko tersebut kepada pihak yang sesuai, misalnya

menyerahkannya kepada sistem asuransi.

Pemahaman manajemen risiko sangat bergantung kepada sudut pandangnya. Dari segi

bisnis dan industri asuransi, manajemen risiko cenderung untuk diartikan sepihak, yaitu untuk

tujuan meningkatkan keuntungan bisnis dan pemegang sahamnya. Dalam bidang kesehatan

dan keselamatan lebih diartikan sebagai pengendalian risiko salah satu pihak (pasien atau

masyarakat) oleh pihak yang lain (pemberi layanan). Sementara di dalam suatu komunitas

pemberi layanan kesehatan itu sendiri, yaitu pengelola rumah sakit dan para dokternya,

harus diartikan sebagai suatu upaya kerjasama berbagai pihak untuk mengendalikan risiko
bersama.

Dari sisi sumber daya manusia, manajemen risiko dimulai dari pembuatan standar (set

standards), patuhi standar tersebut (comply with them), kenali bahaya (identify hazards), dan

cari pemecahannya (resolve them). Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ),

dalam rangka memaksimalkan patient safety, menyatakan bahwa terdapat beberapa elemen

yang harus dilakukan oleh rumah sakit untuk mencegah medical errors. Elemen-elemen

tersebut diterapkan bersama-sama dengan menerapkan manajemen risiko yang bertujuan

mengurangi atau menyingkirkan risiko. Elemen-elemen untuk mencegah medical errors

tersebut, adalah:

1. Mengubah budaya organisasi ke arah budaya yang berorientasi kepada keselamatan

pasien. Perubahan ini terutama ditujukan kepada seluruh sistem sumber daya manusia dari

sejak perekrutan (kredensial), supervisi dan disiplin. Rasa malu dalam melaporkan suatu

kesalahan dan kebiasaan menghukum “pelakunya” harus dikikis habis agar staf rumah sakit

dengan sukarela melaporkan kesalahan kepada manajemen dan atau komite medis,

sehingga pada akhirnya dapat diambil langkah-langkah pencegahan kejadian serupa di

kemudian hari.

2. Melibatkan pimpinan kunci di dalam program keselamatan pasien, dalam hal ini

manajemen dan komite medik. Komitmen pimpinan dibutuhkan dalam menjalankan program-

program manajemen risiko, termasuk ronde rutin bersama ke unit-unit klinik.

3. Mendidik para profesional di rumah sakit di bidang pemahamannya tentang keselamatan

pasien dan bagaimana mengidentifikasi errors, serta upaya-upaya meningkatkan

keselamatan pasien.

4. Mendirikan Komisi Keselamatan Pasien di rumah sakit yang beranggotakan staf

interdisiplin dan bertugas mengevaluasi laporan-laporan yang masuk, mengidentifikasi

petunjuk adanya kesalahan, mengidentifikasi dan mengembangkan langkah koreksinya.

5. Mengembangkan dan mengadopsi Protokol dan Prosedur yang aman.

6. Memantau dengan hati-hati penggunaan alat-alat medis agar tidak menimbulkan

kesalahan baru.

TINJAUAN HUKUM KESELAMATAN PASIEN DI INDONESIA


Perlindungan kepentingan manusia merupakan hakekat hukum yang diwujudkan dalam

bentuk peraturan hukum,baikperundangan-undangan maupun peraturan hukum lainnya.

Peraturan hukum tidak semata dirumuskan dalam bentuk perundang-undangan namun

berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang diperintahkan oleh

perundangan-undangan. Undang-undang sebagai wujud peraturan hukum dan sumber

hukum formal merupakan alat kebijakan pemerintah negara dalam melindungi dan menjamin

hak-hak masyarakat sebagai warga negara.

UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 menyatakan pelayanan kesehatan yang aman

merupakan hak pasien dan menjadi kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakan

pelayanan kesehatan yang aman (Pasal 29 dan 32). UU Rumah Sakit secara tegas

menyatakan bahwa rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien. Standar

dimaksud dilakukan dengan melakukan pelaporan insiden, menganalisa dan menetapkan

pemecahan masalah. Untuk pelaporan, rumah sakit menyampaikannya kepada komite yang

membidangi keselamatan pasien yang ditetapkan oleh menteri (Pasal 43). UU Rumah Sakit

juga memastikan bahwa tanggung jawab secara hukum atas segala kelalaian yang dilakukan

tenaga kesehatan berada pada rumah sakit bersangkutan (Pasal 46).

Organ untuk melindungi keselamatan pasien di rumah sakit lengkap karena UU Rumah Sakit

menyatakan pemilik rumah sakit dapat membentuk Dewan Pengawas. Dewan yang terdiri

dari unsur pemilik, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan dan tokoh masyarakat itu

bersifat independen dan non struktural. Salah satu tugas Dewan adalah mengawasi dan

menjaga hak dan kewajiban pasien. Pada level yang lebih tinggi, UU Rumah Sakit juga

mengamanatkan pembentukan Badan Pengawas Rumah Sakit Indonesia. Badan yang

bertanggung jawab kepada Menteri Kesehatan itu berfungsi melakukan pembinaan dan

pengawasan terhadap rumah sakit. Komposisi Badan terdiri dari unsur pemerintah,

organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan, dan tokoh masyarakat (Pasal 57).

Ketentuan mengenai keselamatan pasien juga diatur dalam UU Kesehatan No. 36 tahun

2009. Beberapa pasal yang berkaitan dengan keselamatan pasien dalam UU Kesehatan

tersebut adalah:

1. Pasal 5 ayat (2), menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh

pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau.


2. Pasal 19, menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala

bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau.

3. Pasal 24 ayat (1), menyatakan bahwa tenaga kesehatan harus memenuhi ketentuan kode

etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar

prosedur operasional.

4. Pasal 53 ayat (3), menyatakan pelaksanaan pelayanan kesehatan harus mendahulukan

keselamatan nyawa pasien.

5. Pasal 54 ayat (1), menyatakan bahwa penyelenggaraan pelayanan kesehatan

dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan non diskriminatif.

Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Departemen Kesehatan telah pula menyusun

Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit dalam instrumen Standar Akreditasi Rumah Sakit.

Departemen Kesehatan RI telah menerbitkan Panduan Nasional Keselamatan Pasien Rumah

Sakit (Patient Safety) edisi kedua pada tahun 2008 yang terdiri dari dari 7 standar, yakni:

1. Hak pasien

2. Mendididik pasien dan keluarga

3. Keselamatan pasien dan kesinambungan pelayanan

4. Penggunaan metoda metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program

peningkatan keselamatan pasien

5. Peran kepemimpinan dalam meningkatkan keselamatan pasien

6. Mendidik staf tentang keselamatan pasien

7. Komunikasi merupakan kunci bagi staf untuk mencapai keselamatan pasien

Akreditasi rumah sakit saat ini adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi setiap rumah sakit

sebagai amanat Undang-undang no. 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Tanggung Jawab Hukum Keselamatan Pasien

Kerugian yang diderita pasien serta tanggung jawab hukum yang ditimbulkannya berpotensi

untuk menjadi sengketa hukum. Pemerintah bertanggung jawab mengeluarkan kebijakan

tentang keselamatan pasien.

Tanggung jawab hukum keselamatan pasien diatur dalam Pasal 58 UU Kesehatan No. 36

tahun 2009:
1. Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau

penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian

dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.

2. Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga

kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan

seseorang dalam keadaan darurat.

Tanggung jawab hukum rumah sakit terkait keselamatan pasien diatur dalam:

Pasal 46 UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009

• Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan

atas kelalaian yang dilakukan tenaga kesehatan di rumah sakit

Pasal 45 UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009

1. Rumah sakit tidak bertanggung jawab secara hukum apabila pasien dan/atau keluarganya

menolak atau menghentikan pengobatan yang dapat berakibat kematian pasien setelah

adanya penjelasan medis yang komprehensif.

2. Rumah sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka

menyelamatkan nyawa manusia.

7 pasient safety

Tujuan pelaporan PS
Internal ( RS )

1. Terlaksananya sistem pelaporan dan pencatatan insiden keselamatan pasien di

RS.

2. Mengetahui penyebab insiden keselamatan pasien sampai pada akar masalah

3. U/ perbaikan asuhan kepada pasien agar dpt mencegah kejadian yg sama

dikemudian hari.

 Eksternal ( komite keselamatan pasien RS )

1. Diperolehnya data nasional angka insiden keselamatan pasien ( KTD, KNC )

2. Diperolehnya pembelajaran u/ meningkatkan mutu pelayanan dan keselamatan

bagi RS lain.

3. Ditetapkannya langkah-langkah praktis keselamatan pasien u/ RS lain.

CARA MEMBUAT PELAPORAN

Dibuat suatu sistem pelaporan insiden di RS , meliputi :

1. Kejadian.

2. Alur pelaporan.

3. Formulir pelaporan

4. Prosedur pelaporan

( harus disosialisaikan pd seluruh karyawan )

KEJADIAN APA YANG DILAPORKAN


 Kejadian yg sudah terjadi, potensial terjadi / nyaris terjdi.

 CARA MEMBUAT Berikan pelatihan : mulai dari maksud, tujuan manfaat

dan alur pelaporan.

 Cara mengisi formulir laporan.

 Kapan harus dilaporkan.

 Pengertian –pengertian yg digunakan dlm sistem pelaporan dan cara

menganalisa pelaporan.

Visum

Visum et repertum adalah istilah yang dikenal dalam ilmu kedokteran forensik, biasanya
dikenal dengan nama “Visum”. Visum berasal dari bahasa Latin, bentuk tunggalnya
adalah “visa”. Dipandang dari arti etimologi atau tata bahasa, kata “visum” atau “visa”
berarti tanda melihat atau melihat yang artinya penandatanganan dari barang bukti
tentang segala sesuatu hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan, sedangkan
“Repertum” berarti melapor yang artinya apa yang telah didapat dari pemeriksaan dokter
terhadap korban. Secara etimologi, visum et repertum adalah apa yang dilihat dan
ditemukan. Menurut Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350 “Visum Et Repertum adalah
laporan tertulis untuk kepentingan peradilan atas permintaan yang berwenang, yang
dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada
pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta
berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya". Visum et repertum merupakan
laporan ahli dan sambil menunjuk LN 1937 -380 RIB/306[2] melalui ketentuan Pasal 1
angka 28, Pasal 120, Pasal 133, dan Pasal 187 huruf c KUHAP. Selanjutnya, permintaan
keterangan ahli dilakukan penyidik secara tertulis, kemudian ahli yang bersangkutan
membuat “laporan” yang berbentuk “surat keterangan” atau visum et repertum. Dalam
praktik pengadilan sepanjang pengalaman penulis maka keterangan ahli dalam bentuk
visum et repertum (diatur dalam sataatsblad Tahun 1937 Nomor 350, Ordonnantie 22
mei 1937 tentang visa reperta van genesskundigen yang banyak dilampirkan dalam BAP
(Berita Acara Pengadilan).
Adapun pendapat dari para ahli hukum tentang visum et repertum, ialah:

1. Abdul Mun’im Idris memberikan pengertian visum et repertum adalah suatu


laporan tertulis dari dokter yang telah disumpah tentang apa yang dilihat dan
ditemukan pada barang bukti yang diperiksanya serta memuat pula kesimpulan
dari pemeriksaan tersebut guna kepentingan peradilan.
2. Menurut pendapat D Tjan Han Tjong visum et repertum merupakan suatu hal
yang penting dalam pembuktian karena menggantikan sepenuhnya tanda bukti
(corpus delicti), seperti diketahui dalam suatu perkara pidana yang menyangkut
perusakan tubuh dan kesehatan serta membinasakan nyawa manusia, maka
tubuh si korban merupakan tanda bukti (corpus delicti).
3. R. Atang Ranoemihardja, pengertian yang terkandung dalam visum et repertum
ialah yang “dilihat” dan “ditemukan”, jadi visum et repertum adalah suatu
keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan diketemukan dalam melakukan
terhadap orang luka atau mayat, dan merupakan kesaksian tertulis[3]
4. R. Soeparmono, pengertian harafiah visum et repertum berasal dari kata-kata
“visual” yaitu melihat dan “repertum” yaitu melaporkan. Sehingga visum et
repertum merupakan suatu laporan tertulis dari ahli dokter yang dibuat
berdasarkan sumpah, perihal apa yang dilihat dan diketemukan atas bukti
hidup, mayat atau fisik ataupun barang bukti lain, kemudian dilakukan
pemeriksaan berdasarkan pengetahuan yang sebaik-baiknya[4].
Dari pengertian visum et repertum tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa visum et
repertum adalah keterangan dokter tentang apa yang dilihat dan ditemukan dalam
melakukan pemeriksaan barang bukti guna kepentingan peradilan. Jadi dalam hal ini
visum et repertum merupakan kesaksian tertulis dalam proses peradilan.
Tujuan visum et repertum merupakan untuk memberikan kepada hakim suatu kenyataan
akan fakta-fakta dari bukti-bukti yang ada pada korban atas semua keadaan
sebagaimana tertuang dalam pembagian pemberitaan agar hakim dapat mengambil
putusan dengan tepat dengan dasar kenyataan atau fakta-fakta tersebut, sehingga dapat
menjadi pendukung keyakinan hakim.

Jenis Visum et repertum[sunting | sunting sumber]


A. Untuk orang hidup

 VeR Biasa, perlukaan (termasuk keracunan)


 VeR Lanjutan, kejahatan susila
 VeR Sementara, psikiatrik
B. Untuk Orang Mati

 VeR jenazah

Lima bagian tetap VeR[sunting | sunting sumber]


Ada lima bagian tetap dalam laporan Visum et repertum, yaitu:

 Pro Justisia. Kata ini diletakkan di bagian atas untuk menjelaskan bahwa visum et
repertum dibuat untuk tujuan peradilan. VeR tidak memerlukan materai untuk dapat
dijadikan sebagai alat bukti di depan sidang pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum[5] .
 Pendahuluan. Kata pendahuluan sendiri tidak ditulis dalam VeR, melainkan
langsung dituliskan berupa kalimat-kalimat di bawah judul. Bagian ini menerangkan
penyidik pemintanya berikut nomor dan tanggal, surat permintaannya, tempat dan
waktu pemeriksaan, serta identitas korban yang diperiksa.
 Pemberitaan. Bagian ini berjudul "Hasil Pemeriksaan", berisi semua keterangan
pemeriksaan. Temuan hasil pemeriksaan medik bersifat rahasia dan yang tidak
berhubungan dengan perkaranya tidak dituangkan dalam bagian pemberitaan dan
dianggap tetap sebagai rahasia kedokteran.
 Kesimpulan. Bagian ini berjudul "kesimpulan" dan berisi pendapat dokter terhadap
hasil pemeriksaan, berisikan:

1. Jenis luka
2. Penyebab luka
3. Sebab kematian
4. Mayat
5. Luka
6. TKP
7. Penggalian jenazah
8. Barang bukti
9. Psikiatrik

 Penutup. Bagian ini tidak berjudul dan berisikan kalimat baku "Demikianlah
visum et repertum ini saya buat dengan sesungguhnya berdasarkan keilmuan
saya dan dengan mengingat sumpah sesuai dengan kitab undang-undang
hukum acara pidana/KUHAP".

Dasar hukum[sunting | sunting sumber]


Dalam KUHAP pasal 186 dan 187. (adopsi: Ordonansi tahun 1937 nomor 350 pasal
1)

 Pasal 186: Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang
pengadilan.
 Pasal 187(c): Surat keterangan dari seorang ahli yang dimuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang
diminta secara resmi daripadanya.
Kedua pasal tersebut termasuk dalam alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan
dalam KUHAP.
Melalui pendekatan yuridis visum et repertum di dalam Undang-Undang No 8 tahun
1981 tentang hukum acara pidana, menunjukkan terdapat masalah mendasar yaitu
kedudukan visum et repertum masuk dalam alat bukti keterangan ahli atau alat bukti
surat yang kedua alat bukti ini sah menurut hukum sesuai pasal 184 KUHAP. Berikut
analisis yuridis peraturan perundang-undangan pidana di indonesia:

1. Pasal 179 KUHAP


1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran
kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli
demi keadilan.
2) Semua ketentuan tersebut diatas untuk saksi berlaku juga bagi saksi yang
memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka
mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik-
baiknya dan yang sebenar-benarnya menurut pengetahuan dalam bidang
keahliannya.
2. Pasal 180 KUHAP
1) Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang
timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli
dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan.
2) Dalam hal timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasihat
hukum terhadap hasil keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) hakim memerintahkan agar hal itu dilakukan penelitian ulang.
3) Hakim karena jabatannya dapat memerintahkan untuk dilakukan
penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2)
4) Penelitian ulang sebagaimana tersebut pada ayat (2) dan ayat (3)
dilakukan oleh instansi semula dengan komposisi personil yang berbeda dan
instansi lain yang mempunyai wewenang untuk itu.
3. Pasal 184 KUHAP ayat 1 huruf b
1) Alat bukti yang sah ialah:
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa
4. Pasal 186 KUHAP
Keterangan ahli sidang pengadilan ialah apa yang seorang ahli nyatakan di
sidang pengadilan.
5. Pasal 187 KUHAP
Surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas
sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah adalah:
1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya,
yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang
didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan
alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;
2. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang
termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan
yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu keadaan;
3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan
isi dari alat pembuktian yang lain.
Berdasarkan analisis yuridis peraturan perundang-undangan pidana di Indonesia
tersebut maka kedudukan visum et repertum kendatipun isinya berupa keterangan
ahli yang diberikan dibawah sumpah dan di luar persidangan pengadilan, dan
kualifikasinya termasuk sebagai alat bukti surat dan bukan alat bukti keterangan
ahli[6].
Akan tetapi apabila visum et repertum dihubungkan dengan Pasal 1 stb. 1937 No.
350 dapat juga dianggap sebagai keterangan ahli dan keterangan ahli merupakan
alat bukti yang sah dalam pasal 184 KUHAP.

Visum et repertum pada perlukaan[sunting | sunting sumber]


Visum et Repertum pada perlukaan

Derajat luka[sunting | sunting sumber]


luka derajat satu: yang tidak menyebabkan gangguan pada pekerjaan luka derajat
dua: yang menyebabkan gangguan sementara pada pekerjaan luka derajat tiga:
sesuai definisi luka berat pada KUHP

Visum et repertum pada korban kejahatan susila[sunting | sunting


sumber]
terdapat beberapa luka pada bagian tertentu. dan terdapat beberapa ciri khusus
dalam bagian-bagian tertentu korban. biasanya korban akan mengalami depresi atau
tekanan jiwa.

Anda mungkin juga menyukai