ANALISIS HUKUM
Setelah ditelaah dari kasus posisi yang ada, maka ada beberapa pihak yang sekiranya
Seperti yang banyak diberitakan di media mengenai kasus ini, Dokter selaku orang
meninggal dunia, dianggap pihak yang paling kuat dituduhkan mengenai terjadinya
Kata Malpraktik sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tidak dapat ditemukan
artinya. Sehingga penulis akan merajuk kepada pengertian kata Malpraktik menurut
skill and learning commonly applied under all the circumstances in the
with the result of injury, loss or damage to the recipient of those entitled
or immoral conduct.”
keterampilan dalam ukuran tingkat yang tidak wajar. Istilah ini umumnya
hatian atau kewajiban hukum, praktek buruk atau ilegal atau sikap
immoral.”
Sedangkan apabila kita menelaah makna kata Malpraktik pada hukum positif
atau pengertian malpraktik justru didapati dalam Pasal 11 ayat (1) huruf b UU No. 6
Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan (“UU Tenaga Kesehatan”) yang telah
dinyatakan dihapus oleh UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan. Oleh karena itu
ketentuan Pasal 11 ayat (1) huruf b UU Tenaga Kesehatan dapat dijadikan acuan
makna malpraktik yang mengidentifikasikan malpraktik dengan melalaikan
berikut:
a. melalaikan kewajiban;
b. melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang
Jadi, dilihat dari arti istilah malpraktik itu sendiri, malpraktik tidak merujuk hanya
kepada suatu profesi tertentu sehingga dalam hal ini kami akan menjelaskan dengan
merujuk pada ketentuan beberapa profesi yang ada. Tapi yang akan ditekankan pada
karya tulis disini adalah malpraktik yang dilakukan oleh tenaga medik. Dari sekian
1. ada tindakan atau sikap dokter yang bertentangan dengan etik dan moral;
1 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51314ec548bec/hukum-malpraktik-di-
indonesia diakses pada 4 September 2015
(SPM); dan kurang pengetahuan atau ketinggalan ilmu pada bidangnya yang
Dari unsur-unsur diatas, jika diterapkan dalam kasus posisi yang ada, para dokter
tersebut tidak berindikasi melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik dan
moral, dokter juga tidak bertentangan dengan standar profesi medik (SPM), dokter
tersebut juga tidak dapat dikatakan ketinggalan ilmu pada bidangnya. Tetapi ketika
menerapkan unsur nomer 2, dokter tersebut bisa saja dikatakan telah melakukan
kelalaian atau kekurang hati-hati. Karena ketika melakukan tindakan medik, semua
harus diperhatikan hingga hal yang sekecil mungkin. Sehingga hal tersebut bisa
hal sekecil mungkin, maka kesalahan pemberian tabung oksigen tidak dapat terjadi.
Dalam kasus ini, tidak dapat dikatakan juga ada kesalahan murni dari dokter atau
tenaga medik saja, tetapi pihak lain diluar kegiatan medik pun dapat disalahkan.
Sebutlah pihak penyedia tabung gas yang telah melakukan kelalaian dengan tidak
sesuai memberikan tabung gas seperti yang dipesan oleh pihak rumah sakit. Dalam
beberapa artikel lainnya dikatakan bahwa pihak rumah sakit telah melakukan
pemesanan sesuai dengan kebutuhan. Tetapi apabila memang pihak rumah sakit pun
melakukan pemesanan tabung gas CO2 dan kemudian tabung gas CO2 tersebut
tertukar dengan tabung gas O2, maka hal tersebut murni kesalahan dari pihak
2J. Guwandi, Kelalaian Medik, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,
1994
manajemen rumah sakit. Karena pada umumnya tabung CO2 tidaklah seharusnya ada
Dalam hukum pidana, kelalaian (culpa) memiliki unsur tersendiri. Adapun culpa
mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana
Adapun unsur-unsur kelalaian menurut Jan Remmelink dalam bukunya yang berjudul
Hukum Pidana (hal. 177) mengatakan bahwa pada intinya, culpa mencakup kurang
(cermat) berpikir, kurang pengetahuan, atau bertindak kurang terarah. Menurut Jan
Remmelink, ihwal culpa di sini jelas merujuk pada kemampuan psikis seseorang dan
karena itu dapat dikatakan bahwa culpa berarti tidak atau kurang menduga secara
nyata (terlebih dahulu kemungkinan munculnya) akibat fatal dari tindakan orang
tersebut – padahal itu mudah dilakukan dan karena itu seharusnya dilakukan.
Mengenai ukuran kelalaian dalam hukum pidana, Jan Remmelink (Ibid, hal. 179)
mengatakan bahwa menurut MvA (memori jawaban) dari pemerintah, yang menjadi
untuk penjatuhan pidana adalah sekedar kecerobohan serius yang cukup, ketidakhati-
hatian besar yang cukup; bukan culpa levis (kelalaian ringan), melainkan culpa lata
Maka dapat ditarik sebuah kesimpulan yang mengacu kepada beberapa kemungkinan
yang ada, dan dikarenakan simpang siurnya pemberitaan di media, dan atas
kekurangan data yang didapat oleh penulis, maka penulis hanya dapat menyimpulkan
1. Seperti yang telah dijelaskan diatas, unsur kelalaian adalah tidak adanya
menurut parameter orang pada umumnya dan bukan menurut tolak ukur orang
yang sangat hati-hati. Lantas apakah memeriksa isi tabung gas oksigen
sebelum digunakan kepada pasien itu merupakan tindakan yang umum atau
Dalam kasus posisi diatas, meninggalnya Arief Budiasa menurut saya hal
tersebut tidak dapat menjadi kesalahan dokter dan tenaga medik apabila
didasari oleh pasal tentang kelalaian yang menyebabkan matinya orang lain
(Pasal 359 KUHP). Karena menurut pendapat saya merupakan hal yang umum
ketika dokter langsung memberikan nafas bantuan dari tabung oksigen kepada
3http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt51d592cf9865d/adakah-ukuran-kelalaian-
dalam-hukum-pidana? Diakses pada 4 September 2015
itu dikarenakan kesalahan pemberian nafas bantuan dari tabung gas tersebut.
Sehingga apabila dokter bisa lebih berhati-hati lagi tidak akan terulang
2. Kesalahan pihak manajemen rumah sakit pun dapat dijadikan faktor penyebab
ulang pesanan tabung gas tersebut apakah sesuai pesanan dari isi dan lain-
bisa dicegah. Atau pun apabila memang pihak rumah sakit memesan tabung
gas yang berisikan CO2, pihak rumah sakit tidak boleh sembarangan
menyimpan gas tersebut. Apalagi tabung gas tersebut letaknya di dalam ruang
operasi. Menurut penulis, hal tersebut tidaklah lazim mengingat tabung gas
yang seharusnya diletakan di dalam ruang operasi adalah tabung gas berisikan
pihak penyedia tabung gas oksigen. Menurut pendapat penulis, apabila pihak
rumah sakit telah sesuai memesan tabung gas oksigen berisikan O2 sedangkan
tabung gas yang diberikan kepada pihak rumah sakit tidak sesuai dengan
pesanan (berisikan gas CO2), maka kesalahan murni pada pihak penyedia
bertanggungjawab. Sekali lagi penulis tekankan, kurangnya data mengenai karya tulis
ini membuat penulis memberikan 3 kesimpulan yang disesuaikan dengan fakta-fakta
hukum yang ada. Sehingga penulis tidak dapat menyimpulkan 1 jawaban mengenai
Dampak co2
1. Menghambat pasokan oksigen untuk tubuh : Afinitas karbon monoksida (CO) dengan
hemoglobin (Hb) 200 kali lebih cepat dari pada afinitas oksigen (O2) dengan
hemoglobin (Hb). Proses ini akan membentuk karboksihemoglobin (COHb). Reaksi
ini yang menghambat pasokan oksigen ke seluruh tubuh. Jantung dan otak merupakan
organ yang butuh oksigen dalam jumlah yang cukup.
2. Mengganggu fungsi saraf : Ketika kadar COHb dalam darah berkisar 2-5% akan
mengganggu fungsi saraf sentral, mengganggu fungsi indra tubuh, dan penglihatan
akan kabur.
3. Mengganggu fungsi jantung : Fungsi jantung akan mengalami perubahan ketika kadar
COHb >5%. Tubuh juga mengalami gangguan pulmonary atau paru-paru.
4. Dalam jumlah banyak : Seseorang yang mengalami keracunan CO dengan kadar
tinggi dapat tidak sadarkan diri, lemas, mual, pusing, dan juga sesak napas. Lebih dari
itu dapat mengalami kematian
Latar Belakang
Pertimbangan pengesahan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga
Kesehatan adalah:
Menurut penjelasan Pasal 43 UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 yang dimaksud dengan
keselamatan pasien (patient safety) adalah proses dalam suatu rumah sakit yang
memberikan pelayanan pasien yang lebih aman. Termasuk didalamnya asesmen resiko,
identifikasi, dan manajemen resiko terhadap pasien, pelaporan dan analisis insiden,
kemampuan untuk belajar dan menindaklanjuti insiden, dan menerapkan solusi untuk
keselamatan pasien adalah keselamatan medis (medical errors), kejadian yang tidak
sebagai freedom from accidental injury. Accidental injury disebabkan karena error yang
meliputi kegagalan suatu perencanaan atau memakai rencana yang salah dalam mencapai
tujuan. Accidental injury juga akibat dari melaksanakan suatu tindakan (commission) atau
tidak mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission). Accidental injury dalam
prakteknya akan berupa kejadian tidak diinginkan/KTD (adverse event) atau hampir terjadi
kejadian tidak diinginkan (near miss). Near miss ini dapat disebabkan karena:
1. keberuntungan (misal : pasien terima suatu obat kontra indikasi tetapi tidak timbul reaksi
obat)
2. pencegahan (suatu obat dengan overdosis lethal akan diberikan, tetapi staf lain
3. peringanan (suatu obat dengan over dosis lethal diberikan, diketahui secara dini lalu
diberikan antidotenya)
Tujuan yang ingin dicapai oleh masyarakat global terhadap penerapan keselamatan pasien
adalah:
Gerakan keselamatan pasien adalah suatu program yang belum lama diimplementasikan
1. Membangun budaya keselamatan pasien (Create a culture that is open and fair).
2. Memimpin dan mendukung staf (Establish a clear and strong focus on Patient Safety
manage your risks and identify and assess things that could go wrong)
4. Meningkatkan kegiatan pelaporan (Ensure your staff can easily report incidents locally and
nationally)
5. Melibatkan dan berkomunikasi dengan pasien (Develop ways to communicate openly with
6. Belajar dan berbagi pengalaman tentang keselamatan pasien (Encourage staff to use root
Bisnis utama rumah sakit adalah merawat pasien yang sakit dengan tujuan agar pasien
segera sembuh dari sakitnya dan sehat kembali, sehingga tidak dapat ditoleransi bila dalam
perawatan di rumah sakit pasien menjadi lebih menderita akibat dari terjadinya resiko yang
sebenarnya dapat dicegah, dengan kata lain pasien harus dijaga keselamatannya dari akibat
yang timbul karena error. Bila program keselamatan pasien tidak dilakukan akan berdampak
• Restraint use
• Nosocomial infections
• Surgical mishaps
• Pressure ulcers
• Antimicrobial resistance
• Immunization program
• Falls
Menurut James Reason dalam Human error management : models and management
1. pendekatan personal.
Pendekatan ini memfokuskan pada tindakan yang tidak aman, melakukan pelanggaran
prosedur, dari orang-orang yang menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan (dokter,
perawat, ahli bedah, ahli anestesi, farmasis dll). Tindakan tidak aman ini dianggap berasal
dari proses mental yang menyimpang seperti mudah lupa, kurang perhatian, motivasi yang
buruk, tidak hati-hati, dan sembrono. Sehingga bila terjadi suatu KTD akan dicari siapa yang
berbuat salah.
2. Pendekatan sistem
Pemikiran dasar dari pendekatan ini yaitu bahwa manusia dapat berbuat salah dan
karenanya dapat terjadi kesalahan. Disini kesalahan dianggap lebih sebagai konsekwensi
daripada sebagai penyebab. Dalam pendekatan ini diasumsikan bahwa kita tidak akan dapat
mengubah sifat alamiah manusia ini, tetapi kita harus mengubah kondisi dimana manusia itu
bekerja.
Pemikiran utama dari pendekatan ini adalah pada pertahanan sistem yang digambarkan
sebagai model keju Swiss. Dimana berbagai pengembangan pada kebijakan, prosedur,
profesionalisme, tim, individu, lingkungan dan peralatan akan mencegah atau meminimalkan
terjadinya KTD.
1. Communication problems
3. Human problems
4. Patient-related issues
7. Technical failures
(AHRQ Publication No. 04-RG005, December 2003) Agency for Healthcare Research and
Quality
Pengkajian pada keselamatan pasien secara garis besar dibagi kepada struktur, lingkungan,
1. Struktur
• Kebijakan dan prosedur organisasi : periksa apakah telah terdapat kebijakan dan prosedur
• Persediaan : Apakah hal – hal yang dibutuhkan sudah tersedia seperti persediaan di ruang
2. Lingkungan
operasi, hal ini diperlukan misalnya pada saat operasi bedah tulang suhu ruangan akan
memberikan pengobatan dan tidak terdengarnya sinyal alarm dari perubahan kondisi pasien.
memindahkan pasien, jika terjadi kesalahan dapat menimbulkan pasien jatuh atau cedera.
Selain itu penempatan material di ruangan apakah sudah disesuaikan dengan fungsinya
seperti pengaturan tempat tidur, jenis, penempatan alat sudah mencerminkan keselamatan
pasien.
• Fungsional : tenaga kesehatan harus mengidentifikasi penggunaan alat dan desain dari
alat. Perkembangan kecanggihan alat sangat cepat sehingga diperlukan pelatihan untuk
4. Proses
• Desain kerja : Desain proses yang tidak dilandasi riset yang adekuat dan kurangnya
penjelasan dapat berdampak terhadap tidak konsisten perlakuan pada setiap orang hal ini
akan berdampak terhadap kesalahan. Untuk mencegah hal tersebut harus dilakukan
• Karakteristik risiko tinggi : melakukan tindakan yang terus–menerus saat praktek akan
menimbulkan kelemahan, dan penurunan daya ingat hal ini dapat menjadi risiko tinggi
terjadinya kesalahan atau lupa oleh karena itu perlu dibuat suatu sistem pengingat untuk
mengurangi kesalahan.
• Waktu : waktu sangat berdampak pada keselamatan pasien hal ini lebih mudah tergambar
saat ada pasien yang memerlukan resusitasi, yang dilanjutkan oleh beberapa tindakan
seperti pemberian obat dan cairan, intubasi dan defibrilasi dan pada pasien – pasien
emergensi, oleh karena itu pada saat–saat tertentu waktu dapat menentukan apakah pasien
• Perubahan jadual dinas tenaga kesehatan juga berdampak terhadap keselamatan pasien
karena tenaga kesehatan sering tidak siap untuk melakukan aktivitas secara baik dan
menyeluruh.
• Waktu juga sangat berpengaruh pada saat pasien harus dilakukan tindakan diagnostik atau
ketepatan pengaturan pemberian obat seperti pada pemberian antibiotic atau trombolitik,
perawatan tentunya akan meningkatkan pembiayaan yang harus di tanggung oleh pasien.
5. Orang
• Sikap dan motivasi ; sikap dan motivasi sangat berdampak kepada kinerja seseorang. Sikap
• Kesehatan fisik : kelelahan, sakit dan kurang tidur akan berdampak kepada kinerja dengan
• Kesehatan mental dan emosional : hal ini berpengaruh terhadap perhatian akan kebutuhan
dan masalah pasien. Tanpa perhatian yang penuh akan terjadi kesalahan–kesalahan dalam
bertindak.
• Faktor interaksi manusia dengan teknologi dan lingkungan : tenaga kesehatan memerlukan
pendidikan atau pelatihan saat dihadapkan kepada penggunaan alat–alat kesehatan dengan
teknologi baru dan perawatan penyakit–penyakit yang sebelumnya belum tren seperti
6. Budaya
• Faktor budaya sangat bepengaruh besar terhadap pemahaman kesalahan dan keselamatan
pasien.
• Pilosofi tentang keamanan ; keselamatan pasien tergantung kepada pilosofi dan nilai yang
• Jalur komunikasi : jalur komunikasi perlu dibuat sehingga ketika terjadi kesalahan dapat
segera terlaporkan kepada pimpinan (siapa yang berhak melapor dan siapa yang menerima
laporan).
phenomena yang universal. Budaya tersebut harus dikikis dengan membuat protap jalur
• Staff : kelebihan beban kerja, jam dan kebijakan personal. Faktor lainnya yang penting
adalah sistem kepemimpinan dan budaya dalam merencanakan staf, membuat kebijakan dan
mengantur personal termasuk jam kerja, beban kerja, manajemen kelelahan, stress dan
sakit.
Indonesia memulai gerakan keselamatan pasien pada tahun 2005 yaitu dengan didirikannya
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) oleh Persatuan Rumah Sakit Seluruh
Indonesia (PERSI), dan telah menerbitkan Panduan Tujuh Langkah Menuju Keselamatan
Pasien. Panduan ini dibuat sebagai dasar implementasi keselamatan pasien di rumah sakit.
telah pula menyusun Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit dalam instrumen Standar
Akreditasi Rumah Sakit. Tujuan dilakukannya kegiatan Patient Safety di rumah sakit adalah
Mengingat masalah keselamatan pasien merupakan masalah yang penting dalam sebuah
rumah sakit, maka diperlukan standar keselamatan pasien rumah sakit yang dapat digunakan
sebagai acuan bagi rumah sakit di Indonesia. Standar keselamatan pasien rumah sakit yang
saat ini digunakan mengacu pada “Hospital Patient Safety Standards” yang dikeluarkan oleh
Joint Commision on Accreditation of Health Organization di Illinois pada tahun 2002 yang
kemudian disesuaikan dengan situasi dan kondisi di Indonesia. Penilaian keselamatan yang
dipakai Indonesia saat ini dilakukan dengan menggunakan instrumen Akreditasi Rumah Sakit
Sakit (Patient Safety) edisi kedua pada tahun 2008 yang terdiri dari dari 7 standar, yakni:
1. Hak pasien
4. Penggunaan metoda metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program
Untuk mencapai ke tujuh standar di atas Panduan Nasional tersebut Departemen Kesehatan
RI menganjurkan “Tujuh Langkah Menuju Keselamatan Pasien Rumah Sakit” yang terdiri
dari:
WHO Collaborating Centre for Patient Safety pada tanggal 2 Mei 2007 resmi menerbitkan
“Nine Life Saving Patient Safety Solutions” (“Sembilan Solusi Life-Saving Keselamatan
Pasien Rumah Sakit”). Panduan ini mulai disusun sejak tahun 2005 oleh pakar keselamatan
pasien dan lebih 100 negara, dengan mengidentifikasi dan mempelajari berbagai masalah
keselamatan pasien.
Solusi keselamatan pasien adalah sistem atau intervensi yang dibuat, mampu mencegah
atau mengurangi cedera pasien yang berasal dari proses pelayanan kesehatan. Sembilan
Solusi ini merupakan panduan yang sangat bermanfaat membantu RS, memperbaiki proses
asuhan pasien, guna menghindari cedera maupun kematian yang dapat dicegah.
Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKPRS) mendorong RS-RS di Indonesia untuk
menerapkan Sembilan Solusi “Life-Saving” Keselamatan Pasien Rumah Sakit, atau 9 Solusi,
1. Perhatikan Nama Obat, Rupa dan Ucapan Mirip (Look-Alike, Sound-Alike Medication
Names).
Nama Obat Rupa dan Ucapan Mirip (NORUM), yang membingungkan staf pelaksana adalah
salah satu penyebab yang paling sering dalam kesalahan obat (medication error) dan ini
merupakan suatu keprihatinan di seluruh dunia. Dengan puluhan ribu obat yang ada saat ini
di pasar, maka sangat signifikan potensi terjadinya kesalahan akibat bingung terhadap nama
Solusi NORUM ditekankan pada penggunaan protokol untuk pengurangan risiko dan
memastikan terbacanya resep, label, atau penggunaan perintah yang dicetak lebih dulu,
Kegagalan yang meluas dan terus menerus untuk mengidentifikasi pasien secara benar
pelaksanaan prosedur yang keliru orang; penyerahan bayi kepada bukan keluarganya, dan
sebagainya.
Rekomendasi ditekankan pada metode untuk verifikasi terhadap identitas pasien, termasuk
keterlibatan pasien dalam proses ini; standardisasi dalam metode identifikasi di semua rumah
sakit dalam suatu sistem layanan kesehatan; dan partisipasi pasien dalam konfirmasi ini;
serta penggunaan protokol untuk membedakan identifikasi pasien dengan nama yang sama.
Kesenjangan dalam komunikasi saat serah terima/ pengoperan pasien antara unit-unit
pelayanan, dan didalam serta antar tim pelayanan, bisa mengakibatkan terputusnya
kesinambungan layanan, pengobatan yang tidak tepat, dan potensial dapat mengakibatkan
Rekomendasi ditujukan untuk memperbaiki pola serah terima pasien termasuk penggunaan
serah terima,dan melibatkan para pasien serta keluarga dalam proses serah terima.
Penyimpangan pada hal ini seharusnya sepenuhnya dapat dicegah. Kasus-kasus dengan
pelaksanaan prosedur yang keliru atau pembedahan sisi tubuh yang salah sebagian besar
adalah akibat dan miskomunikasi dan tidak adanya informasi atau informasinya tidak benar.
Faktor yang paling banyak kontribusinya terhadap kesalahan-kesalahan macam ini adalah
pelaksanaan proses verifikasi prapembedahan; pemberian tanda pada sisi yang akan
dibedah oleh petugas yang akan melaksanakan prosedur; dan adanya tim yang terlibat
dalam prosedur ’Time out” sesaat sebelum memulai prosedur untuk mengkonfirmasikan
Sementara semua obat-obatan, biologics, vaksin dan media kontras memiliki profil risiko,
cairan elektrolit pekat yang digunakan untuk injeksi khususnya adalah berbahaya.
Rekomendasinya adalah membuat standardisasi dari dosis, unit ukuran dan istilah; dan
pencegahan atas campur aduk / bingung tentang cairan elektrolit pekat yang spesifik.
(penuntasan perbedaan) medikasi adalah suatu proses yang didesain untuk mencegah salah
obat (medication errors) pada titik-titik transisi pasien. Rekomendasinya adalah menciptakan
suatu daftar yang paling lengkap dan akurat dan seluruh medikasi yang sedang diterima
pasien juga disebut sebagai “home medication list”, sebagai perbandingan dengan daftar
medikasi; dan komunikasikan daftar tsb kepada petugas layanan yang berikut dimana pasien
Slang, kateter, dan spuit (syringe) yang digunakan harus didesain sedemikian rupa agar
memberikan medikasi atau cairan melalui jalur yang keliru. Rekomendasinya adalah
menganjurkan perlunya perhatian atas medikasi secara detail/rinci bila sedang mengerjakan
pemberian medikasi serta pemberian makan (misalnya slang yang benar), dan bilamana
menyambung alat-alat kepada pasien (misalnya menggunakan sambungan dan slang yang
benar).
Salah satu keprihatinan global terbesar adalah penyebaran dan HIV, HBV, dan HCV yang
diakibatkan oleh pakai ulang (reuse) dari jarum suntik. Rekomendasinya adalah penlunya
melarang pakai ulang jarum di fasilitas layanan kesehatan; pelatihan periodik para petugas di
infeksi,edukasi terhadap pasien dan keluarga mereka mengenai penularan infeksi melalui
Diperkirakan bahwa pada setiap saat lebih dari 1,4 juta orang di seluruh dunia menderita
infeksi yang diperoleh di rumah-rumah sakit. Kebersihan Tangan yang efektif adalah ukuran
preventif yang pimer untuk menghindarkan masalah ini. Rekomendasinya adalah mendorong
tersedianya sumber air pada semua kran, pendidikan staf mengenai teknik kebarsihan
taangan yang benar mengingatkan penggunaan tangan bersih ditempat kerja; dan
Keselamatan pasien harus dilihat dari sudut pandang risiko klinis. Sekalipun staf medis
rumah sakit sesuai kompetensinya memberikan pelayanan berdasarkan standar profesi dan
standar pelayanan, namun potensi risiko tetap ada, sehingga pasien tetap berpotensi
mengalami cedera. UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 bertujuan memberikan perlindungan
kepada pasien, masyarakat, dan sumber daya manusia, mempertahankan dan meningkatkan
mutu pelayanan rumah sakit, serta memberi kepastian hukum kepada masyarakat dan rumah
sakit.
pengertian manajemen risiko sebagai aktivitas klinik dan administratif yang dilakukan oleh
rumah sakit untuk melakukan identifikasi, evaluasi dan pengurangan risiko terjadinya cedera
atau kerugian pada pasien, personil, pengunjung dan rumah sakit itu sendiri. Kegiatan
tersebut meliputi identifikasi risiko hukum (legal risk), memprioritaskan risiko yang
teridentifikasi, menentukan respons rumah sakit terhadap risiko, mengelola suatu kasus risiko
dengan tujuan meminimalkan kerugian (risk control), membangun upaya pencegahan risiko
yang efektif, dan mengelola pembiayaan risiko yang adekuat (risk financing).
Manajemen risiko yang komprehensif meliputi seluruh aktivitas rumah sakit, baik operasional
maupun klinikal, oleh karena risiko dapat muncul dari kedua bidang tersebut. Bahkan akhir-
akhir ini meliputi pula risiko yang berkaitan dengan managed care dan risiko kapitasi, merger
dan akuisisi, risiko kompensasi ketenagakerjaan, corporate compliance dan etik organisasi.
Manajemen risiko klinik merupakan upaya yang cenderung proaktif, meskipun sebagian
besarnya merupakan hasil belajar dari pengalaman dan menerapkannya kembali untuk
mengurangi atau mencegah masalah yang serupa di kemudian hari. Pada dasarnya
manajemen risiko merupakan suatu proses siklik yang terus menerus, yang terdiri dari empat
tahap, yaitu:
1. Risk Awareness.
Pada tahap ini diharapkan seluruh pihak yang terlibat dalam sistem bedah sentral memahami
situasi yang berisiko tinggi di bidangnya masing-masing dan aktivitas yang harus dilakukan
dalam upaya mengidentifikasi risiko. Risiko tersebut tidak hanya yang bersifat medis,
melainkan juga yang non medis, sehingga upaya ini melibatkan manajemen, komite medis,
dokter, perawat bedah, perawat anestesi, pengendali gas sentral, pelaksana pemeliharaan
ruang bedah dan instrument, dan lain-lain. Self-assessment, sistem pelaporan kejadian yang
berpotensi menimbulkan risiko (incidence report) dan audit klinis dalam budaya non-blaming
meminimalkan risiko dan melaksanakannya dengan tepat. Dalam bidang medis, manajemen
harus bekerjasama erat dan saling mendukung dengan komite medis. Langkah-langkah
tersebut ditujukan kepada seluruh komponen sistem, baik perangkat keras, perangkat lunak
maupun sumber daya manusianya. Langkah dimulai dengan penilaian risiko (risk
assessment) tentang derajat dan probabilitas kejadiannya, dilanjutkan dengan upaya mencari
jalan untuk menghilangkan risiko (engineering solution), atau bila tidak mungkin maka dicari
derajat keparahannya, atau apabila hal itu juga tidak mungkin maka dicari jalan untuk
mengurangi dampaknya.
Tindakan dapat berupa pengadaan, perbaikan dan pemeliharaan bangunan dan instrumen
yang sesuai dengan persyaratan; pengadaan bahan habis pakai sesuai dengan prosedur dan
penyegaran bagi personil, seminar, pembahasan kasus, poster, stiker, dan lain-lain.
3. Risk containment
Dalam hal telah terjadi suatu insiden, baik akibat suatu tindakan atau kelalaian ataupun
akibat dari suatu kecelakaan yang tidak terprediksikan sebelumnya, maka sikap yang
tepat dalam mengelola pasien dan insidennya. Unsur utamanya biasanya adalah respons
yang cepat dan tepat terhadap setiap kepentingan pasien, dengan didasari oleh komunikasi
yang efektif.
4. Risk transfer
Akhirnya apabila risiko itu terjadi juga dan menimbulkan kerugian, maka diperlukan
Pemahaman manajemen risiko sangat bergantung kepada sudut pandangnya. Dari segi
bisnis dan industri asuransi, manajemen risiko cenderung untuk diartikan sepihak, yaitu untuk
tujuan meningkatkan keuntungan bisnis dan pemegang sahamnya. Dalam bidang kesehatan
dan keselamatan lebih diartikan sebagai pengendalian risiko salah satu pihak (pasien atau
masyarakat) oleh pihak yang lain (pemberi layanan). Sementara di dalam suatu komunitas
pemberi layanan kesehatan itu sendiri, yaitu pengelola rumah sakit dan para dokternya,
harus diartikan sebagai suatu upaya kerjasama berbagai pihak untuk mengendalikan risiko
bersama.
Dari sisi sumber daya manusia, manajemen risiko dimulai dari pembuatan standar (set
standards), patuhi standar tersebut (comply with them), kenali bahaya (identify hazards), dan
cari pemecahannya (resolve them). Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ),
dalam rangka memaksimalkan patient safety, menyatakan bahwa terdapat beberapa elemen
yang harus dilakukan oleh rumah sakit untuk mencegah medical errors. Elemen-elemen
tersebut, adalah:
pasien. Perubahan ini terutama ditujukan kepada seluruh sistem sumber daya manusia dari
sejak perekrutan (kredensial), supervisi dan disiplin. Rasa malu dalam melaporkan suatu
kesalahan dan kebiasaan menghukum “pelakunya” harus dikikis habis agar staf rumah sakit
dengan sukarela melaporkan kesalahan kepada manajemen dan atau komite medis,
kemudian hari.
2. Melibatkan pimpinan kunci di dalam program keselamatan pasien, dalam hal ini
manajemen dan komite medik. Komitmen pimpinan dibutuhkan dalam menjalankan program-
keselamatan pasien.
kesalahan baru.
hukum formal merupakan alat kebijakan pemerintah negara dalam melindungi dan menjamin
UU Rumah Sakit No. 44 tahun 2009 menyatakan pelayanan kesehatan yang aman
merupakan hak pasien dan menjadi kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakan
pelayanan kesehatan yang aman (Pasal 29 dan 32). UU Rumah Sakit secara tegas
menyatakan bahwa rumah sakit wajib menerapkan standar keselamatan pasien. Standar
pemecahan masalah. Untuk pelaporan, rumah sakit menyampaikannya kepada komite yang
membidangi keselamatan pasien yang ditetapkan oleh menteri (Pasal 43). UU Rumah Sakit
juga memastikan bahwa tanggung jawab secara hukum atas segala kelalaian yang dilakukan
Organ untuk melindungi keselamatan pasien di rumah sakit lengkap karena UU Rumah Sakit
menyatakan pemilik rumah sakit dapat membentuk Dewan Pengawas. Dewan yang terdiri
dari unsur pemilik, organisasi profesi, asosiasi perumahsakitan dan tokoh masyarakat itu
bersifat independen dan non struktural. Salah satu tugas Dewan adalah mengawasi dan
menjaga hak dan kewajiban pasien. Pada level yang lebih tinggi, UU Rumah Sakit juga
bertanggung jawab kepada Menteri Kesehatan itu berfungsi melakukan pembinaan dan
pengawasan terhadap rumah sakit. Komposisi Badan terdiri dari unsur pemerintah,
Ketentuan mengenai keselamatan pasien juga diatur dalam UU Kesehatan No. 36 tahun
2009. Beberapa pasal yang berkaitan dengan keselamatan pasien dalam UU Kesehatan
tersebut adalah:
1. Pasal 5 ayat (2), menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh
3. Pasal 24 ayat (1), menyatakan bahwa tenaga kesehatan harus memenuhi ketentuan kode
etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar
prosedur operasional.
dilaksanakan secara bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata dan non diskriminatif.
Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) Departemen Kesehatan telah pula menyusun
Standar Keselamatan Pasien Rumah Sakit dalam instrumen Standar Akreditasi Rumah Sakit.
Sakit (Patient Safety) edisi kedua pada tahun 2008 yang terdiri dari dari 7 standar, yakni:
1. Hak pasien
4. Penggunaan metoda metoda peningkatan kinerja untuk melakukan evaluasi dan program
Akreditasi rumah sakit saat ini adalah syarat mutlak yang harus dipenuhi setiap rumah sakit
Kerugian yang diderita pasien serta tanggung jawab hukum yang ditimbulkannya berpotensi
Tanggung jawab hukum keselamatan pasien diatur dalam Pasal 58 UU Kesehatan No. 36
tahun 2009:
1. Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau
2. Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga
Tanggung jawab hukum rumah sakit terkait keselamatan pasien diatur dalam:
• Rumah sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan
1. Rumah sakit tidak bertanggung jawab secara hukum apabila pasien dan/atau keluarganya
menolak atau menghentikan pengobatan yang dapat berakibat kematian pasien setelah
2. Rumah sakit tidak dapat dituntut dalam melaksanakan tugas dalam rangka
7 pasient safety
Tujuan pelaporan PS
Internal ( RS )
RS.
dikemudian hari.
bagi RS lain.
1. Kejadian.
2. Alur pelaporan.
3. Formulir pelaporan
4. Prosedur pelaporan
menganalisa pelaporan.
Visum
Visum et repertum adalah istilah yang dikenal dalam ilmu kedokteran forensik, biasanya
dikenal dengan nama “Visum”. Visum berasal dari bahasa Latin, bentuk tunggalnya
adalah “visa”. Dipandang dari arti etimologi atau tata bahasa, kata “visum” atau “visa”
berarti tanda melihat atau melihat yang artinya penandatanganan dari barang bukti
tentang segala sesuatu hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan, sedangkan
“Repertum” berarti melapor yang artinya apa yang telah didapat dari pemeriksaan dokter
terhadap korban. Secara etimologi, visum et repertum adalah apa yang dilihat dan
ditemukan. Menurut Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350 “Visum Et Repertum adalah
laporan tertulis untuk kepentingan peradilan atas permintaan yang berwenang, yang
dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada
pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta
berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya". Visum et repertum merupakan
laporan ahli dan sambil menunjuk LN 1937 -380 RIB/306[2] melalui ketentuan Pasal 1
angka 28, Pasal 120, Pasal 133, dan Pasal 187 huruf c KUHAP. Selanjutnya, permintaan
keterangan ahli dilakukan penyidik secara tertulis, kemudian ahli yang bersangkutan
membuat “laporan” yang berbentuk “surat keterangan” atau visum et repertum. Dalam
praktik pengadilan sepanjang pengalaman penulis maka keterangan ahli dalam bentuk
visum et repertum (diatur dalam sataatsblad Tahun 1937 Nomor 350, Ordonnantie 22
mei 1937 tentang visa reperta van genesskundigen yang banyak dilampirkan dalam BAP
(Berita Acara Pengadilan).
Adapun pendapat dari para ahli hukum tentang visum et repertum, ialah:
VeR jenazah
Pro Justisia. Kata ini diletakkan di bagian atas untuk menjelaskan bahwa visum et
repertum dibuat untuk tujuan peradilan. VeR tidak memerlukan materai untuk dapat
dijadikan sebagai alat bukti di depan sidang pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum[5] .
Pendahuluan. Kata pendahuluan sendiri tidak ditulis dalam VeR, melainkan
langsung dituliskan berupa kalimat-kalimat di bawah judul. Bagian ini menerangkan
penyidik pemintanya berikut nomor dan tanggal, surat permintaannya, tempat dan
waktu pemeriksaan, serta identitas korban yang diperiksa.
Pemberitaan. Bagian ini berjudul "Hasil Pemeriksaan", berisi semua keterangan
pemeriksaan. Temuan hasil pemeriksaan medik bersifat rahasia dan yang tidak
berhubungan dengan perkaranya tidak dituangkan dalam bagian pemberitaan dan
dianggap tetap sebagai rahasia kedokteran.
Kesimpulan. Bagian ini berjudul "kesimpulan" dan berisi pendapat dokter terhadap
hasil pemeriksaan, berisikan:
1. Jenis luka
2. Penyebab luka
3. Sebab kematian
4. Mayat
5. Luka
6. TKP
7. Penggalian jenazah
8. Barang bukti
9. Psikiatrik
Penutup. Bagian ini tidak berjudul dan berisikan kalimat baku "Demikianlah
visum et repertum ini saya buat dengan sesungguhnya berdasarkan keilmuan
saya dan dengan mengingat sumpah sesuai dengan kitab undang-undang
hukum acara pidana/KUHAP".
Pasal 186: Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang
pengadilan.
Pasal 187(c): Surat keterangan dari seorang ahli yang dimuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang
diminta secara resmi daripadanya.
Kedua pasal tersebut termasuk dalam alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan
dalam KUHAP.
Melalui pendekatan yuridis visum et repertum di dalam Undang-Undang No 8 tahun
1981 tentang hukum acara pidana, menunjukkan terdapat masalah mendasar yaitu
kedudukan visum et repertum masuk dalam alat bukti keterangan ahli atau alat bukti
surat yang kedua alat bukti ini sah menurut hukum sesuai pasal 184 KUHAP. Berikut
analisis yuridis peraturan perundang-undangan pidana di indonesia: