Anda di halaman 1dari 37

SMF Bagian Ilmu Penyakit Mata LAPORAN KASUS

RSUD Prof.DR. W. Z. Johannes Kupang NOVEMBER 2019


Fakultas Kedokteran
Universitas Nusa Cendana

LESI NERVUS III

Disusun Oleh

Rhadezahara M. Patrisa, S.Ked (1408010068)

Pembimbing :

dr.Eunike Cahyaningsih, Sp.M


dr. Komang D. Lestari, M.Biomed, Sp.M

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK

SMF/ BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA

RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES

KUPANG

2019
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING

Laporan Kasus dengan judul : Lesi N. III atas Nama : Rhadezahara M. Patrisa,S.Ked NIM
1408010068 pada Program Studi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana
telah disajikan dalam kegiatan kepaniteraan klinik bagian Mata RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes
Kupang pada tanggal November 2019

Mengetahui Pembimbing :

1. dr. Eunike Cahyaningsih, Sp.M 1...................................

2. dr. Komang D. Lestari, M.Biomed, Sp.M 2...................................

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat,
perlindungan, dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul Miopia
di Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Mata RSUD Prof. W. Z. Johannes / Fakultas Kedokteran
Universitas Nusa Cendana. Penulisan laporan kasus ini tidak lepas dari bantuan, dukungan, dan
bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. dr. Eunike Cahyaningsih, Sp.SM selaku kepala SMF bagian Ilmu Penyakit Mata RSUD
Prof. W. Z. Johannes dan selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini.
2. dr. Komang D. Lestari, M.Biomed, Sp.M, selaku pembimbing dalam penyusunan referat
ini
3. Seluruh staf SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD Prof. W. Z. Johannes – Fakultas
Kedokteran Universitas Nusa Cendana.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini jauh dari sempurna maka penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga laporan kasus ini memberi
manfaat bagi banyak orang.

Kupang, November 2019

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

Tubuh kita merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai macam organ dan

saling terintegrasi oleh berbagai macam sistem koordinasi. Salah satu sistem yang

mengatur tubuh kita adalah sistem persyarafan.

Sistem persarafan kita diatur menjadi suatu sistem yang kompleks yang juga

mengatur mata sebagai indera penglihatan sehingga mata dapat menjalankan

fungsinya dengan sempurna.

Mata di dalam fungsi persarafannya diatur langsung oleh 6 dari 12 saraf

cranialis yang merupakan bagian dari sistem saraf perifer. Keenam saraf cranialis

tersebut adalah nervus optikus ( N. II ), nervus occulomotoris ( N.III ), nervus

trochlearis ( N. IV ), nervus trigeminus (N.V), nervus abducens (N.VI), dan nervus

facialis (N.VII). Selain itu sistem syaraf autonom juga mengatur mata kita yaitu

sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis.

Keenam saraf cranialis yang mengatur persarafan ke mata mempunyai fungsi,

distribusi topografi di otak yang berbeda-beda. Semuanya akan berintegrasi dan

bersinergis sehingga membuat suatu sistem yang akan mengatur mata sehingga dapat

menjalankan fungsinya.

Perlunya kita mengetahui tentang persarafan orbita ini, terutama tentang

topografinya akan sangat membantu kita dalam mendiagnosa penyakit lebih dini

sebelum kita melakukan pemeriksaan penunjang.


Dalam sari pustaka sebelumnya telah dibahas persarafan orbita secara umum,

tapi pada makalah ini akan dibahas persarafan pada orbita lebih detail (terutama

N.III), baik mengenai anatomi serta fisiologi termasuk kelainan-kelainan yang

terjadi , yang dapat membantu kita dalam mendiagnosa suatu penyakit.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI DAN FISIOLOGI NERVUS III

Saraf otak III mempunyai nukleus yang sebagian berlokasi di depan nukleus
motorik dan sebagian lagi di nukleus otonom. Nukleus motorik N. III mengatur
persarafan otot-otot musculi rectus medialis, superior, inferior, musculus obliqus
inferior, dan musculus levator palpebra superior. Nukleus otonom nervus III
mempersarafi otot-otot internal mata (parasimpatis) : musculus sfingter pupil dan
musculus ciliaris.
Ada beberapa akson dari serabut motorik nervus III yang berjalan menyilang
di daerah nukleus, dan kemudian bersama dengan serabut yang tidak menyilang serta
serabut parasimpatis, melanjutkan perjalanannya melalui nukleus ke dinding lateral
bawah fosa interpedunkularis, dan kemudian keluar di antara nervus oculomotorius.
Kedua saraf ini berjalan di antara arteri serebri posterior dan arteri sereberalis
superior. Saraf ini mula-mula menembus rongga subarakhnoid sisterna basalis,
melewati subdural, menyeberang ligamen sfenopetrosus (lokasi yang rentan terhadap
tekanan waktu herniasi) dan masuk ke dalam sinus kavernosus. Dari sini nervus III
akan memasuki rongga orbita melalui fisura orbitalis superior. serabut parasimpatis
akan meninggalkan saraf III dan akan bergabung dengan ganglion siliaris. Sewaktu
memasuki orbita, serabut somatik nervus III akan pecah menjadi dua, yaitu cabang
atas/dorsal akan terus menuju ke palpebra dan musculus rektus superior, sedangkan
cabang bawah/ventral akan menginervasi musculus rektus medialis inferior dan
musculus obliqus inferior.
Kerusakan semua serabut nervus III akan menimbulkan paralisa semua otot
mata kecuali musculus rectus lateralis (yang dipersarafi oleh nervus VI) dan musculus
obliqua superior (dipersarafi nervus IV). Paralisa persarafan parasimpatis akan
menyebabkan hilangnya refleks pupil, midriasis dan gangguan konvergensi serta
akomodasi.

Perjalanan Nervus Oculomotorius


Nervus oculomotorius muncul dari permukaan anterior mesencephalon.

Nervus ini melintas ke depan di antara arteria cerebri posterior dan arteria cerebelli
superior. Selanjutnya, nervus ini berjalan ke dalam fossa cranii media di dinding

lateral sinus cavernosus. Disini, nervus oculomotorius terbagi menjadi ramus superior

dan ramus inferior yang memasuki rongga orbita melalui fissura orbitalis superior.

Nervus oculomotorius mempersarafi otot-otot ekstrinsik mata berikut:

musculus levator palpebrae superioris, musculus rectus medialis, musculus rectus

inferior, dan musculus obliqus inferior. Melalui cabang ke ganglion ciliare dan

serabut parasimpatis nervi ciliares breves, nervus ini juga mempersarafi otot-otot

intrinsik mata berikut : musculus konstriktor pupillae iris dan musculus ciliaris.

Dengan demikian, nervus oculomotorius bersifat motorik murni dan berfungsi

mengangkat kelopak mata atas; menggerakkan bola mata ke atas, bawah, dan medial;

konstriksi pupil; serta akomodasi mata.

Kerusakan salah satu saraf motorik mata akan menyebabkan penglihatan

ganda, karena bayangan objek yang jatuh pada retina tidak pada lokasi semestinya.

Paralisa total nervus III akan menampilkan gejala sindroma yang terdiri dari :

1. ptosis akibat paralisa musculus levator palpebra dan hiperaksi musculus

orbikularis yang dipersarafi nervus VII,

2. fixed position, yaitu mata dengan pupil ke arah bawah lateral akibat hiperaksi

musculus rektus lateralis (VI) dan musculus obligus superior (IV), dan

3. dilatasi pupil dengan reaksi cahaya yang negatif.

Paralisa yang parsial hanya menampilkan sebagian gejala sindroma ini (oftalmoplegia

interna/externa). Bila semua otot mengalami paralisa akut, biasanya kerusakan


terletak di perifer. Sebaliknya, bila hanya satu otot saja yang paralisa maka perlu

dicurigai adanya kerusakan nukleus nervus III.

ASPEK MOTORIK OTOT-OTOT EKTRAOKULAR

Posisi mata ditentukan oleh keseimbangan yang dicapai oleh tarikan keenam otot

ekstraokular. Mata berada dalam posisi memandang primer sewaktu kepala dan mata

terletak sejajar dengan bidang yang dilihat. Untuk menggerakan mata ke arah

pandangan yang lain, otot agonis menarik mata ke arah tersebut dan otot antagonis

melemas. Bidang kerja suatu otot adalah arah pandangan bagi otot itu untuk

mengeluarkan daya kontraksinya yang terkuat sebagai suatu agonis, misalnya M.

rektus lateralis mengalami kontraksi terkuat pada waktu melakukan abduksi mata.
Gambar 11. Otot-Otot Ekstra Okular
Tabel 1. Origo dan Insersi otot ekstra okular
Otot Kerja primer Kerja sekunder
Rektus lateralis Abduksi Tidak ada
Rektus medialis Aduksi Tidak ada
Rektus superior Elevasi Aduksi, intorsi
Rektus inferior Depresi Aduksi, ekstorsi
Obliqus superior Intorsi Depresi, abduksi
Obliqus inferior Ekstorsi Elevasi, abduksi
Tabel 2. Fungsi otot mata

Mata ke atas dan kanan RSR dan LIO


Mata ke atas dan kiri LSR dan RIO
Mata ke kanan RLR dan LMR
Mata ke kiri LLR dan RMR
Mata ke bawah dan kanan RIR dan LSO
Mata ke bawah dan kiri LIR dan RSO
Tabel 3. Otot-otot pasangan searah dalam posisi menatap/melirik utama
M. levator palpebra

Fungsi M. levator palpebra adalah untuk mengangakat kelopak mata. Ptosis biasanya

mengindikasikan lemahnya fungsi dari otot levator palpebra superior (otot kelopak

mata atas). Normalnya kelopak mata terbuka adalah 10 mm. Rata–rata lebar fisura

palpebra/celah kelopak mata pada posisi tengah adalah berkisar 11 mm, panjang

fisura palpebra berkisar 28 mm. Batas kelopak mata atas biasanya menutupi 1.5 mm

kornea bagian atas, sehingga batas kelopak mata atas di posisi tengah seharusnya 4

mm diatas reflek cahaya pada kornea. Jika batas kelopak mata atas menutupi kornea 1

atau 2 mm kebawah masih dapat dikatakan normal dan jika menutupi kornea 4 mm

termasuk ptosis berat.

Tipe-tipe ptosis:
1. Ptosis Kongenital
Jika kelopak mata menutupi mata sehingga menghalangi fungsi mata, ini

dapat dianggap sebagai keadaan oftalmik darurat relative karena tertundanya

elevasi dari kelopak mata dapat menyebabkan berkembangnya amblyopia.

Penyebab paling sering dari ptosis kongenital adalah distrofi dari otot levator

palpebra dan terkadang adanya riwayat keluarga dari kondisi ini. Kelainan ini

bersifat herediter dan autosomal dominan. Penyebab lainnya juga bisa karena

adanya aplasia dari inti nervus okulomotorius yang mempersarafi otot levator

palpebra.
2. Ptosis didapat (Acquired Ptosis)
 Ptosis Aponeurotik
Ptosis aponeurotik biasanya disebabkan oleh proses penuaan atau

pengulangan episode dari adanya udem, walaupun ini dapat muncul

secara kongenital. Karakteristik pasien ini biasanya masih dapat

mempertahankan fungsi levator, akan tetapi biasanya didapatkan

banyak keriput dan kelopak mata atas yang tipis.


 Ptosis Myogenik
Penyebab utama ptosis myogenik adalah kelainan dari otot, seperti

misalnya chronic progressive external ophtalmolplegia (CPEO). Ptosis

myastenik disebabkan oleh gangguan transmisi neuromuscular.


 Ptosis Neurogenik
Ptosis neurogenik melibatkan kelainan saraf cranial III dan sindrom

Horner, dan keduanya memiliki etiologi yang berpotensi dapat

mengancam nyawa, seperti misalnya aneurisma interkranial, atau

neoplasma apikal paru. Pada parese nervus III terdapat abnormalitas

dari gerakan ocular dan pupil dapat berdilatasi. Pada sindrom Horner,

yang disebabkan oleh lesi pada saraf simpatis, didapatkan pupil yang

kecil dan hilangnya keringat dan kontrol vasomotor pada sisi yang

sama di wajah. Tipe yang khusus dari ptosis neurogenik muncul secara

kongenital disebabkan oleh koneksi batang otak yang abnormal.


 Ptosis mekanik
Ptosis mekanik biasanya disebabkan oleh beratnya tumor kelopak

mata atas, misalnya neurofibroma

2.2. ETIOLOGI
Penyebab parese nervus okulomotorius antara lain:
 Kongenital, terjadi kelumpuhan pada otot-otot ekstraokular dan kadang disertai

ptosis. Tidak terdapat internal oftalmoplegia.

 Trauma, dapat berupa trauma saat kelahiran ataupun akibat kecelakaan. Namun,

terkenannya nervus okulomotorius lebih kecil kemungkinannya dibandingkan

nervus abdusens.

 Aneurisma, biasanya mengenai a. komunikans posterior atau a. karotis interna pars

supraklinoid. Kelumpuhan nervus okulomotorius dapat terjadi sebagian ataupun

total dan biasanya disertai dengan nyeri hebat di sekitar mata. Apabila aneurisma

terjadi pada a. karotis interna pars infraklinoid maka kelumpuhan nervus

okulomotorius biasanya didahului oleh kelumpuhan nervus abdusens.

 Diabetes dan hipertensi, kelumpuhan nervus okulomotorius disebabkan oleh

arteriosklerosis.

 Neoplasma, kerusakan pada nervus okulomotorius dapat terjadi akibat invasi

neoplasma pada nukleus nervus okulomotorius atau akibat kerusakan di sepanjang

perjalanan N III mulai dari fasikulus nervus okulomotorius sampai ke terminalnya

di orbita (misalnya akibat tumor nasofaring, tumor kelenjar hipofisis,

meningioma).

Penyebab parese nervus okulomotorius pada orang dewasa berbeda dengan anak-

anak. Berikut ini berbagai macam penyebab parese nervus okulomotorius pada

orang dewasa dan anak-anak.

Rucker Rucker Green et al


(335 kasus) (274 kasus) (130 kasus)
No. % No. % No. %
Aneurisma 64 19 50 18 38 13
Penyakit vaskuler *
63 19 47 17 25 6

Trauma 51 15 34 13 14 5
Sifilis 6 2 0 0 12 4
Neoplasma 35 11 50 18 5 1
Lain-lain 95 28 55 20 33 12
Penyakit
21 6 38 12 5 1
misellanous
Tabel Penyebab parese nervus okulomotorius pada orang dewasa
2. 3. GEJALA KLINIS

Gangguan pada nervus okulomotorius dapat terjadi dimana saja sepanjang

perjalanan saraf tersebut. Lesi di nukleus nervus okulomotorius mempengaruhi

M. rekti medialis dan inferior ipsilateral, kedua M. levator palpebra, dan kedua

M. rektus superior. Akan terjadi ptosis bilateral dan pembatasan elevasi bilateral

serta pembatasan aduksi dan depresi ipsilateral. Dari fasikulus nervus

okulomotorius di otak tengah ke terminalnya di orbita, semua lesi lain

menimbulkan lesi yang semata-mata ipsilateral.

Apabila lesi mengenai nervus okulomotorius di mana saja dari nukleus (otak

tengah) ke cabang perifer di orbita, maka mata akan berputar ke luar karena otot

rektus lateralis yang utuh dan sedikit depresi oleh otot obliqus superior yang

tidak terpengaruh. Mungkin dijumpai dilatasi pupil, hilangnya akomodasi, dan

ptosis kelopak mata atas, sering cukup berat sehingga pupil tertutup. Mata

mungkin hanya dapat digerakan ke lateral.

Parese nervus okulomotorius dapat dibagi menjadi:


 Kelumpuhan total nervus okulomotorius

Pada kelumpuhan total nervus okulomotorius, semua otot intraokular dan

semua otot ekstraokular yang dipersarafi oleh nervus okulomotorius terkena,

disertai dengan hilangnya refleks akomodasi dan refleks cahaya pupil.

Kerusakan dari serabut parasimpatis pada N III menyebabkan pupil midriasis,

juga terdapat ptosis karena M. levator palpebra ikut mengalami kelumpuhan.

Akibat lumpuhnya otot-otot ekstraokular yang dipersarafi oleh nervus

okulomotorius dan karena fungsi dari M. rektus lateral dan M. obliqus

superior masih baik maka mata akan berdeviasi ke luar dan ke bawah. Deviasi

mata yang disebabkan oleh parese N III dapat digolongkan ke dalam

strabismus paralitik atau inkomitan. Pasien tidak mengalami diplopia karena

kelopak mata yang ptosis menutupi pupil.


Complete left ptosis (looking straight ahead).

Left inferior oblique paralysis Left superior rectus paralysis


(looking up and right). (looking up and left).

Left medial rectus paralysis Normal left lateral rectus


(looking right). (looking left).

Left superior oblique action Left inferior rectus paralysis


is limited (because of inability (looking down and left).
to adduct: looking down and
right).
 Kelumpuhan parsial nervus okulomotorius

Pada kelumpuhan parsial nervus okulomotorius, paralisis otot-otot intraokular

dan ekstraokular dapat terjadi secara terpisah.

- Eksternal oftalmoplegia

Kelumpuhan hanya terjadi pada otot-otot ekstraokular yang dipersarafi oleh

nervus okulomotorius. Mata akan berdeviasi ke luar dan ke bawah, dan

apabila ptosis tidak menutupi pupil maka pasien akan mengalami diplopia.

Untuk mengatasi diplopia, pasien akan mengatur posisi kepalanya agar

penglihatannya menjadi binokular, akibatnya akan terjadi postur abnormal

dari kepala pasien.

- Internal oftalmoplegia

Kelumpuhan hanya terjadi pada otot-otot intraokular sehingga yang terjadi

adalah hilangnya refleks akomodasi akibat paralisis M. siliaris dan midriasis

akibat paralisis M. sfingter pupil. Pasien tidak mengalami diplopia karena

tidak terjadi strabismus.

Letak kelumpuhan vaskuler yang biasanya disebabkan oleh diabetes melitus,

migren, ataupun hipertensi sering terjadi di daerah sinus kavernosus, tempat

serat-serat pupil terletak perifer dan mendapat banyak makanan dari vasa

vasorum sehungga pada lesi-lesi iskemik biasanya pupil tidak mengalami

gangguan. Pada lesi-lesi kompresif, biasanya aneurisma, serat-serat pupil

terkena secara dini sehingga pupil mengalami dilatasi. Dengan demikian, lesi
iskemik dan lesi kompresif dapat dibedakan secara klinis, karena pada lesi

iskemik respon pupil umumnya normal, sedangkan lesi kompresif

menyebabkan pup il mengalami dilatasi dan fiksasi total. Kurang dari 5%

kelumpuhan nervus okulomotorius akibat lesi iskemik berkaitan dengan

kelumpuhan pupil total, dan hanya 15% terjadi kelumpuhan pupil parsial.

2.5. PEMERIKSAAN KLINIS


A. Anamnesis
 Usia onset: ini merupakan faktor penting untuk prognosis jangka panjang.

Semakin dini onsetnya, semakin buruk prognosis untuk fungsi penglihatan

binokularnya.

 Jenis onset: awitan dapat perlahan, mendadak, atau intermiten.

 Jenis deviasi: ketidaksesuaian penjajaran terjadi di semua arah atau lebih besar

di posisi-posisi menatap tertentu, termasuk posisi primer untuk jauh atau dekat.

 Diplopia: pasien dewasa dengan strabismus paralitik/inkomitan akan mengeluh

melihat dobel (diplopia), kecuali bila disertai ptosis. Tetapi apabila strabismus

paralitik terjadi pada masa anak-anak keluhan melihat dobel tidak ada karena

terjadi supresi pada bayangan kedua yang dilihatnya dan biasanya terjadi

ambliopia.

Keluhan diplopia dapat membantu dalam menentukan otot ekstraokular mana

yang mengalami kelumpuhan. Pasien sebaiknya diminta untuk mendeskripsikan

mengenai arah bayangan yang dilihat dobel olehnya. Apabila bayangan yang

dilihat terpisah secara horizontal maka kemungkinan otot yang mengalami


kelumpuhan adalah otot rektus lateralis atau medialis. Apabila bayangan yang

dilihat terpisah secara vertikal atau miring (torsi) maka kemungkinannya

terdapat satu atau lebih otot rektus vertikalis atau olibqus yang mengalami

kelumpuhan. Variasi dari arah bayangan tersebut yang dilihat dalam posisi

menatap tertentu dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai otot

ekstraokular mana yang mengalami kelumpuhan. Misalnya, diplopia akan

terlihat lebih jelas bila pasien melirik ke kanan dan bayangan tersebut terpisah

secara horizontal maka otot ekstraokular yang mungkin terkena adalah otot

rektus lateralis kanan atau rektus medialis kiri. Hal ini sebaiknya dilakukan

bersamaan dengan pemeriksaan pergerakan bola mata.

 Ketajaman penglihatan: baik atau menurun

 Riwayat penyakit: diabetes melitus, hipertensi, aneurisma, neoplasia, atau

trauma (trauma saat kelahiran ataupun trauma kepala akibat kecelakaan).

Riwayat penyakit ini penting dalam hal mencari faktor yang mendasari atau

faktor penyebab paresenya nervus okulomotorius.

B. Pemeriksaan fisik
 Inspeksi: inspeksi dapat memperlihatkan apakah strabismus yang terjadi

konstan atau intermiten, berpindah-pindah atau tidak, dan bervariasi atau

konstan. Adanya posisi kepala yang abnormal dan ptosis juga dapat diketahui.

Pada ptosis neurogenik jatuhnya kelopak mata atas dapat unilateral, sedangkan

pada ptosis miogenik biasanya bilateral. Karakteristik dari ptosis unilateral

adalah pasien berusaha untuk meningkatkan fisura palpebra dengan cara


merengut atau mengernyitkan dahi (kontraksi dari otot frontalis). Ptosis

kongenital biasanya mengenai satu mata saja.

 Pupil: ukuran, isokor/anisokor, refleks cahaya langsung dan tidak langsung.

 Hirschberg reflction test: memeriksa reflek cahaya pada kedua permukaan

kornea. Dengan tes ini adanya strabismus dapat dideteksi, setiap 1 mm

penyimpangan sama dengan 15 dioptri prisma (70).

Ortofori → bila masing-masing refleks cahaya pada kornea berada di tengah-

tengah pupil.

Heterofori → bila salah satu refleks cahaya pada kornea tidak berada di tengah-

tengah pupil.

 Pergerakan mata: memeriksa pergerakan mata pasien dengan meminta pasien

mengikuti pergerakan jari pemeriksa ke sembilan arah yaitu lurus ke depan, 6

posisi kardinal (kanan, kanan atas, kanan bawah, kiri, kiri atas, kiri bawah), ke

atas, dan ke bawah. Pada saat mata melakukan pergerakan ke 6 posisi kardinal

hanya satu otot saja yang bekerja, sedangkan saat mata melihat ke atas atau ke

bawah beberapa otot bekerja bersamaan sehingga sulit mengevaluasi kerja

masing-masing otot. Oleh karena itu dalam menilai kelumpuhan otot-otot

ekstraokular, pergerakan mata ke 6 posisi kardinal lebih bernilai diagnostik.

Selain itu penting juga untuk menilai kecepatan dari gerakan sakadik mata baik

secara horizontal ataupun vertikal. Pada gangguan atau kerusakan pada saraf

yang mempersarafi otot-otot ekstraokuler ataupun pada tingkat yang lebih


tinggi lagi, dapat terlihat pergerakan mata jauh lebih lambat dibandingkan mata

normal.

 Ketajaman penglihatan: masing-masing mata harus dievaluasi secara

tersendiri. Ketajaman penglihatan dapat dinilai dengan kartu Snellen atau pada

anak dapat dinilai dengan menggunakan “E” jungkir balik (Snellen) atau

gambar Allen.

 Cover-uncover test: tes ini bertujuan untuk menentukan sudut deviasi/sudut

strabismus. Sewaktu pemeriksa mengamati satu mata, di depan mata yang lain

ditaruh penutup untuk menghalangi pandangannya, kemudian amati mata yang

tidak ditutup apakah mata tersebut bergerak untuk melakukan fiksasi atau tidak.

Setelah itu buka penutup yang telah dipasang dan perhatikan apakah mata yang

telah dibuka penutupnya melakukan fiksasi kembali atau tidak. Jika mata

tersebut melakukan fiksasi maka mata tersebut normal dan mata yang

mengalami deviasi adalah mata sebelahnya.

 Hess screen: tes ini bertujuan untuk mengukur sudut deviasi/sudut strabismus.

Untuk tes ini di depan salah satu mata pasien dipakaikan kaca berwarna merah

dan kaca berwarna hijau pada mata lainnya. Kemudian pasien diminta untuk

memegang tongkat dengan lampu hijau dan diminta untuk menunjuk cahaya

merah yang terlihat pada layar dengan tongkat tersebut. Dengan tes ini masing-

masing mata dapat dinilai sehingga dapat diukur arah dan sudut deviasinya.

Penilaian dan pengukuran deviasi pada strabismus paralitik/inkomitan adalah

penting, tidak hanya untuk mendiagnosa otot ekstraokular mana yang terkena
tapi juga sebagai patokan awal terhadap derajat kelumpuhan otot sehingga

kemajuan pasien dapat dievaluasi dengan baik.

 Pemeriksaan sensorik: pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai status

pengihatan binokular. Pemeriksaan tersebut adalah untuk stereopsis, supresi,

dan potensi fusi. Semua memerlukan dua sasaran terpisah untuk masing-masing

mata.

C. Pemeriksaan penunjang
Beberapa kasus yang berkaitan dengan strabismus paralitik/inkomitan mengarah

pada gangguan neurologis yang serius, seperti pada parese N III yang disertai

rasa nyeri, yang dicurigai akibat aneurisma pada Sirkulus Willisi. Pada kasus-

kasus seperti ini pasien sebaiknya segera dirujuk pada ahli neurologi, tapi pada

kasus-kasus yang tidak membutuhkan penganganan dengan segera dapat

dilakukan pemeriksaan penunjang yang mungkin dapat membantu dalam

mencari penyebab dan menegakan diagnosa, antara lain:

 Gula darah

 Foto kranium

 Foto sinus paranasal dan orbita, bila diperlukan CT scan sinus paranasal dan

orbita

 Tes fungsi tiroid dan autoantibodi

 Tensilon (edrophonium) test, untuk menegakan diagnosa miastenia gravis

 CT brain / MRI / angiografi karotis pada kasus-kasus neurologis


2.6. TERAPI
A. Terapi untuk strabismus

Pada dasarnya terapi pada strabismus paralitik/inkomitan adalah dengan mengatasi

faktor penyebab timbulnya parese nervus okulomotorius.

Terapi medis

 Terapi ambliopia

Terapi ambliopia yang utama adalah oklusi. Mata yang baik ditutup untuk

merangsag mata yang mengalami ambliopia. Ada dua stadium terapi ambliopia,

yaitu:

- Stadium awal, terapi awal standar adalah penutupan terus menerus. Bila

ambliopianya tidak terlalu parah atau anak terlalu muda maka diterapkan

penutupan paruh waktu. Terapi oklusi dilanjtukan selama ketajaman

penglihatan membaik (kadang-kadang sampai setahun). Penutupan sebaiknya

tidak terus-menerus lebih dari 4 bulan apabila tidak terdapat kemajuan.

- Stadium pemeliharaan, terdiri dari penutupan paruh waktu yang dilanjutkan

setelah fase perbaikan untuk mempertahankan penglihatan terbaik melewati

usia dimana ambliopianya kemungkinan besar kambuh (sekitar usia 8 tahun).

 Prisma
Prisma menghasilkan pengarahan ulang garis penglihatan secara optis. Unsur-

unsur retina dibuat segaris untuk menghilangkan diplopia. Apabila digunakan

sebelum operasi, prisma dapat merangsang efek sensorik yang akan timbul

setelah tindakan bedah. Prisma dapat digunakan dengan beberapa cara. Bentuk

yang cukup nyaman adalah prisma plastik press-on Fresnel. Alat optik ini

bermanfaat diagnostik dan terapetik temporer.

Terapi bedah

Tujuan terapi bedah adalah untuk mengeliminasi diplopia dalam lapangan pandang

yang normal, baik pada penglihatan jauh ataupun dekat. Terapi bedah dapat

ditunda selambat-lambatnya sampai satu tahun dengan maksud memberi

kesempatan untuk pemulihan dengan sendirinya. Terapi bedah biasanya dilakukan

bila penglihatan binokular tidak kunjung membaik setelah otot-otot ekstraokular

pulih, selambat-lambatnya sampai 6 bulan.

Prosedur yang digunakan yaitu reseksi dan resesi. Secara konseptual, tindakan ini

merupakan tindakan paling sederhana. Sebuah otot diperkuat dengan suatu

tindakan yang disebut reseksi. Otot dilepaskan dari mata, diregangkan lebih

panjang secara terukur, kemudian dijahit kembali ke mata, biasanya di tempat

insersi semula. Resesi adalah tindakan perlemahan standar. Otot dilepas dari mata,

dibebaskan dari perlekatan fasia, dan dibiarkan mengalami retraksi. Otot tersebut

dijahit kembali ke mata pada jarak tertentu di belakang insersinya semula.

B. Terapi untuk ptosis


 Ptosis kongenital : pada ptosis kongenital yang menghalangi penglihatan

mata, terapi aksis visual harus dilakukan tanpa penundaan untuk mencegah

perkembangan ptosis menjadi ambliopia. Selain itu, perkembangan visual

dapat di monitor dan tindakan operasi dapat dilakukan pada usia prasekolah,

saat jaringannya masih berkembang sangat baik. Tindakan operasi yang

dilakukan berupa bedah retraksi dari kelopak mata atas, yang sebaiknya

dilakukan sesegera mungkin saat ditemukan adanya resiko berkembangnya

gangguan penglihatan akibat ptosis. Resiko dari keratopati terpapar harus di

jelaskan kepada pasien dan kemungkinan kelopak mata dapat jatuh atau turun

lagi jika masalah keratopati terpaparnya cukup serius harus juga dijelaskan

kepada pasien. Antibiotik dan lubrikan diberikan saat pasca operasi sampai

permukaan ocular menjadi terbiasa dengan tinggi kelopak mata yang baru.
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien


Nama : Ny. LT
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 82 tahun
Agama : Kristen Protestan
Status Pernikahan : Menikah
Pekerjaan : IRT
Alamat : Oesao
No.MR : 521045
Tgl Masuk Poli : 25/10/2019 Pkl. 09.25 WITA

3.2 Anamnesis
Riwayat Perjalanan Penyakit
Anamnesis dilakukan pada tanggal 25 Oktober 2019, bertempat di ruang

Poliklinik Mata RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang pada pukul 09.25

WITA. Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis.


Keluhan Utama :
Kelopak mata kanan tidak dapat dibuka.

Riwayat Penyakit sekarang :


Pasien datang ke poli mata dengan keluhan mata kanan tidak dapat dibuka sejak

13 hari yang lalu. Pasien juga mengeluh nyeri kepala hebat tiba-tiba dan nyeri

pada bola mata nyeri seperti ditusuk-tusuk. Pasien mengatakan keluhan

dirasakan terus menerus tidak membaik dengan istirahat. Keluhan baru pertama

kali dirasakan. Keluhan lain tidak ada. Keluhan tidak dirasakan pada mata kiri.

Makan minum baik, BAB dan BAK normal.

Riwayat penyakit dahulu : Hipertensi (-), diabetes mellitus (-), asthma (-),

kejang(-)

Riwayat Keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang mempunyai keluhan yang

sama.

Riwayat Pengobatan : Pasien belum pernah menjalani pengobatan sebelumnya

3.2. Pemeriksaan Fisik


3.2.1. Status Generalis
Kesadaran : Compos Mentis (E4M6V5)
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Tanda-Tanda Vital
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 76 x/menit, reguler
o
Suhu : 36.5 C
Pernapasan : 18x/menit
3.2.2. Status Oftalmologi
OD OS
Edema (-), hiperemis (-), Edema (-), hiperemis (-),
ektropioon (-), entropion (-) Palpebra
ptosis (+) ektropioon (-), entropion (-)
Trikiasis (-) Cilia Trikiasis (-)
Hiperemis (-), Injeksi (-) Konjungtiva Hiperemis (-), Injeksi (-)
Jernih Kornea Jernih
Dalam, Hipopion (-), Hifema(-)
COA Dalam, Hipopion (-), Hifema(-)

Intak Iris Intak


Bulat, sentral, uk. ± 4mm, RCL Bulat, sentral, uk. ± 4mm, RCL
Pupil
(-) (+)
Jernih Lensa Jernih
Jernih Viterus Jernih
Refleks fundus (+), pembuluh Refleks fundus (+), pembuluh
darah normal Fundus darah normal
5/30 PH 5/20 koreksi tetap Visus 5/15 PH 5/5 S + 1,75 5/6

Pergerakan Bola Mata


3.4. Diagnosis Kerja
Lesi nervus III OD

3.5. Tatalaksana
CT Scan
Mecobalamin 2x1 tab

3.6. Prognosis
Quo ad vitam : Dubia
Quo ad sanationam : Dubia
Qua ad functionam : Dubia
BAB IV
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesa didapatkan pasien mengalami kelemahan pada kelopak

mata kanan sejak ± 3 minggu yang lalu. Pasien juga mengeluh mengalami nyeri kepala

hebat mendadak dan nyeri pada bola mata kanan seperti ditusuk-tusuk. Keluhan

dirasakan terus menerus dan tidak membaik dengan istirahat. Keluhan baru pertama kali

dirasakan. Pasien juga mengeluh penurunan penglihatan dan semenjak itu pasien sulit

menggerakkan bola matanya kearah hidung. Hal ini sesuai dengan gejala klinis parese

nervus III yaitu ptosis, strabismus, visus yang menurun. Untuk penyebab parese N. III

pada pasien ini belum dapat ditentukan karena belum menemukan hasil dari

pemeriksaan

Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah pasien termasuk dalam batas

normal dan tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi sebelumnya. Kemudian dari

pemeriksaan fisik didapatkan hasil yang abnormal pada N II, III, IV dan VI dextra.

Semua pemeriksaan tersebut mengarah pada diagnosa parese nervus III. Untuk etiologi

paresis N. III pada pasien perlu dilakukan pemeriksaan penunjang, terutama CT-Scan

kepala dan CT orbita non kontras.


BAB V
KESIMPULAN

Telah dilaporkan pasien perempuan berusia 82 tahun datang ke Poli Mata dengan
keluhan kelopak mata kanan sulit dibuka sejak ± 3 minggu yang lalu. Pasien juga
mengeluh sebelumnya mengalami sakit kepala hebat dan nyeri pada bola mata kanan
seperti tertusuk-tusuk. Keluhan lain pasien juga merasakan penglihatan menurun dan
bola mata sulit untuk digerakkan.. Gatal (-), berair(-).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit ringan, ptosis pada mata
kanan dan visus yang menurun dan tidak bisa dikoreksi pada mata kanan. Pada
pemeriksaan refleks cahaya langsung pada mata kanan negatif.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien didiagnosis dengan lesi N.
III oculi dextra. Pasien telah diberikan tatalaksana berupa tatalaksana diagnostik yaitu
CT scan untuk mengetahui penyebab dan Mecobalamin 2x1 tablet sehari untuk
perlindungan pada saraf optik.
Demikian laporan kasus ini dibuat sebagai bahan pembelajaran dan referensi bagi
dokter muda maupun pembaca dalam menangani kasus lesi N. III
DAFTAR PUSTAKA

1. Listiono, Djoko. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. Edisi Ketiga. PT Gramedia


Pustaka Utama. 1998. Jakarta.
2. Snell, Richard S. Neuroanatomi klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 5.
EGC. 2007. Jakarta.
3. Baerhr, Mathias M.D. Diangnosis Topik Neurologis DUUS. Edisi keempat.
EGC.2010. Jakarta.

4. Michael Rubin. Palsies of Cranial Nerves That Control Eye Movement. 2012.

5. O Finn. Information About The Oculomotor Nerve of The Eye. 2009.

6. Mardjono M, Sidharta P. Sarafotak dan Patologinya. Dalam: Neurologi Klinis


Dasar. Penerbit PT. Dian Rakyat. Jakarta. 2000: 114 – 82.

7. Sidarta Ilyas. Anatomi dan Fisiologi Otot Pengerak Bola Mata. Dalam: Ilmu
Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2000: 233 –
65.

8. Dorland: Kamus Kedokteran, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Edisi 26, cetakan
II, Jakarta 1996

9. Prof. Dr. I. Gusti Ng. Gd. Ngoerah. Nervi Kranialis. Dalam: Dasar-Dasar Ilmu
Penyakit Saraf. Penerbit Universitas Airlangga. Surabaya. 1990: 103 – 130.

10. Sylvia A. Price. Lorraine M. Wilson. Pemeriksaan Saraf Kranial. Dalam:


Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 4. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta. 1995: 945 – 6.

11. Judana A, Santoso D, Kusumoputro S. Saraf – Saraf Otak. Dalam: Pedoman


Praktis Pemeriksaan Neurologi. Penerbit Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jakarta. 1978: 10 – 21.

12. Chugh JP, Jain P, Chouhan RS, Rathi A. Third Nerve Palsy: An overview. Indian
Journal of Clinical Practice 2012; 22(12): 17-20.
13. Hartono, MAF. Diplopia binokuler pada paresis N III, IV, dan VI di RS Mata dr. Jap Yogyakarta.
Jurnal oftalmologi Indonesia 2007; 5(3): 213-216.

Anda mungkin juga menyukai