Disusun Oleh
Pembimbing :
KUPANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING
Laporan Kasus dengan judul : Lesi N. III atas Nama : Rhadezahara M. Patrisa,S.Ked NIM
1408010068 pada Program Studi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana
telah disajikan dalam kegiatan kepaniteraan klinik bagian Mata RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes
Kupang pada tanggal November 2019
Mengetahui Pembimbing :
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat,
perlindungan, dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan judul Miopia
di Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Mata RSUD Prof. W. Z. Johannes / Fakultas Kedokteran
Universitas Nusa Cendana. Penulisan laporan kasus ini tidak lepas dari bantuan, dukungan, dan
bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1. dr. Eunike Cahyaningsih, Sp.SM selaku kepala SMF bagian Ilmu Penyakit Mata RSUD
Prof. W. Z. Johannes dan selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini.
2. dr. Komang D. Lestari, M.Biomed, Sp.M, selaku pembimbing dalam penyusunan referat
ini
3. Seluruh staf SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD Prof. W. Z. Johannes – Fakultas
Kedokteran Universitas Nusa Cendana.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini jauh dari sempurna maka penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga laporan kasus ini memberi
manfaat bagi banyak orang.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
Tubuh kita merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai macam organ dan
saling terintegrasi oleh berbagai macam sistem koordinasi. Salah satu sistem yang
Sistem persarafan kita diatur menjadi suatu sistem yang kompleks yang juga
cranialis yang merupakan bagian dari sistem saraf perifer. Keenam saraf cranialis
facialis (N.VII). Selain itu sistem syaraf autonom juga mengatur mata kita yaitu
bersinergis sehingga membuat suatu sistem yang akan mengatur mata sehingga dapat
menjalankan fungsinya.
topografinya akan sangat membantu kita dalam mendiagnosa penyakit lebih dini
tapi pada makalah ini akan dibahas persarafan pada orbita lebih detail (terutama
TINJAUAN PUSTAKA
Saraf otak III mempunyai nukleus yang sebagian berlokasi di depan nukleus
motorik dan sebagian lagi di nukleus otonom. Nukleus motorik N. III mengatur
persarafan otot-otot musculi rectus medialis, superior, inferior, musculus obliqus
inferior, dan musculus levator palpebra superior. Nukleus otonom nervus III
mempersarafi otot-otot internal mata (parasimpatis) : musculus sfingter pupil dan
musculus ciliaris.
Ada beberapa akson dari serabut motorik nervus III yang berjalan menyilang
di daerah nukleus, dan kemudian bersama dengan serabut yang tidak menyilang serta
serabut parasimpatis, melanjutkan perjalanannya melalui nukleus ke dinding lateral
bawah fosa interpedunkularis, dan kemudian keluar di antara nervus oculomotorius.
Kedua saraf ini berjalan di antara arteri serebri posterior dan arteri sereberalis
superior. Saraf ini mula-mula menembus rongga subarakhnoid sisterna basalis,
melewati subdural, menyeberang ligamen sfenopetrosus (lokasi yang rentan terhadap
tekanan waktu herniasi) dan masuk ke dalam sinus kavernosus. Dari sini nervus III
akan memasuki rongga orbita melalui fisura orbitalis superior. serabut parasimpatis
akan meninggalkan saraf III dan akan bergabung dengan ganglion siliaris. Sewaktu
memasuki orbita, serabut somatik nervus III akan pecah menjadi dua, yaitu cabang
atas/dorsal akan terus menuju ke palpebra dan musculus rektus superior, sedangkan
cabang bawah/ventral akan menginervasi musculus rektus medialis inferior dan
musculus obliqus inferior.
Kerusakan semua serabut nervus III akan menimbulkan paralisa semua otot
mata kecuali musculus rectus lateralis (yang dipersarafi oleh nervus VI) dan musculus
obliqua superior (dipersarafi nervus IV). Paralisa persarafan parasimpatis akan
menyebabkan hilangnya refleks pupil, midriasis dan gangguan konvergensi serta
akomodasi.
Nervus ini melintas ke depan di antara arteria cerebri posterior dan arteria cerebelli
superior. Selanjutnya, nervus ini berjalan ke dalam fossa cranii media di dinding
lateral sinus cavernosus. Disini, nervus oculomotorius terbagi menjadi ramus superior
dan ramus inferior yang memasuki rongga orbita melalui fissura orbitalis superior.
inferior, dan musculus obliqus inferior. Melalui cabang ke ganglion ciliare dan
serabut parasimpatis nervi ciliares breves, nervus ini juga mempersarafi otot-otot
intrinsik mata berikut : musculus konstriktor pupillae iris dan musculus ciliaris.
mengangkat kelopak mata atas; menggerakkan bola mata ke atas, bawah, dan medial;
ganda, karena bayangan objek yang jatuh pada retina tidak pada lokasi semestinya.
Paralisa total nervus III akan menampilkan gejala sindroma yang terdiri dari :
2. fixed position, yaitu mata dengan pupil ke arah bawah lateral akibat hiperaksi
musculus rektus lateralis (VI) dan musculus obligus superior (IV), dan
Paralisa yang parsial hanya menampilkan sebagian gejala sindroma ini (oftalmoplegia
Posisi mata ditentukan oleh keseimbangan yang dicapai oleh tarikan keenam otot
ekstraokular. Mata berada dalam posisi memandang primer sewaktu kepala dan mata
terletak sejajar dengan bidang yang dilihat. Untuk menggerakan mata ke arah
pandangan yang lain, otot agonis menarik mata ke arah tersebut dan otot antagonis
melemas. Bidang kerja suatu otot adalah arah pandangan bagi otot itu untuk
rektus lateralis mengalami kontraksi terkuat pada waktu melakukan abduksi mata.
Gambar 11. Otot-Otot Ekstra Okular
Tabel 1. Origo dan Insersi otot ekstra okular
Otot Kerja primer Kerja sekunder
Rektus lateralis Abduksi Tidak ada
Rektus medialis Aduksi Tidak ada
Rektus superior Elevasi Aduksi, intorsi
Rektus inferior Depresi Aduksi, ekstorsi
Obliqus superior Intorsi Depresi, abduksi
Obliqus inferior Ekstorsi Elevasi, abduksi
Tabel 2. Fungsi otot mata
Fungsi M. levator palpebra adalah untuk mengangakat kelopak mata. Ptosis biasanya
mengindikasikan lemahnya fungsi dari otot levator palpebra superior (otot kelopak
mata atas). Normalnya kelopak mata terbuka adalah 10 mm. Rata–rata lebar fisura
palpebra/celah kelopak mata pada posisi tengah adalah berkisar 11 mm, panjang
fisura palpebra berkisar 28 mm. Batas kelopak mata atas biasanya menutupi 1.5 mm
kornea bagian atas, sehingga batas kelopak mata atas di posisi tengah seharusnya 4
mm diatas reflek cahaya pada kornea. Jika batas kelopak mata atas menutupi kornea 1
atau 2 mm kebawah masih dapat dikatakan normal dan jika menutupi kornea 4 mm
Tipe-tipe ptosis:
1. Ptosis Kongenital
Jika kelopak mata menutupi mata sehingga menghalangi fungsi mata, ini
Penyebab paling sering dari ptosis kongenital adalah distrofi dari otot levator
palpebra dan terkadang adanya riwayat keluarga dari kondisi ini. Kelainan ini
bersifat herediter dan autosomal dominan. Penyebab lainnya juga bisa karena
adanya aplasia dari inti nervus okulomotorius yang mempersarafi otot levator
palpebra.
2. Ptosis didapat (Acquired Ptosis)
Ptosis Aponeurotik
Ptosis aponeurotik biasanya disebabkan oleh proses penuaan atau
dari gerakan ocular dan pupil dapat berdilatasi. Pada sindrom Horner,
yang disebabkan oleh lesi pada saraf simpatis, didapatkan pupil yang
kecil dan hilangnya keringat dan kontrol vasomotor pada sisi yang
sama di wajah. Tipe yang khusus dari ptosis neurogenik muncul secara
2.2. ETIOLOGI
Penyebab parese nervus okulomotorius antara lain:
Kongenital, terjadi kelumpuhan pada otot-otot ekstraokular dan kadang disertai
Trauma, dapat berupa trauma saat kelahiran ataupun akibat kecelakaan. Namun,
nervus abdusens.
total dan biasanya disertai dengan nyeri hebat di sekitar mata. Apabila aneurisma
arteriosklerosis.
meningioma).
Penyebab parese nervus okulomotorius pada orang dewasa berbeda dengan anak-
anak. Berikut ini berbagai macam penyebab parese nervus okulomotorius pada
Trauma 51 15 34 13 14 5
Sifilis 6 2 0 0 12 4
Neoplasma 35 11 50 18 5 1
Lain-lain 95 28 55 20 33 12
Penyakit
21 6 38 12 5 1
misellanous
Tabel Penyebab parese nervus okulomotorius pada orang dewasa
2. 3. GEJALA KLINIS
M. rekti medialis dan inferior ipsilateral, kedua M. levator palpebra, dan kedua
M. rektus superior. Akan terjadi ptosis bilateral dan pembatasan elevasi bilateral
Apabila lesi mengenai nervus okulomotorius di mana saja dari nukleus (otak
tengah) ke cabang perifer di orbita, maka mata akan berputar ke luar karena otot
rektus lateralis yang utuh dan sedikit depresi oleh otot obliqus superior yang
ptosis kelopak mata atas, sering cukup berat sehingga pupil tertutup. Mata
superior masih baik maka mata akan berdeviasi ke luar dan ke bawah. Deviasi
- Eksternal oftalmoplegia
apabila ptosis tidak menutupi pupil maka pasien akan mengalami diplopia.
- Internal oftalmoplegia
serat-serat pupil terletak perifer dan mendapat banyak makanan dari vasa
terkena secara dini sehingga pupil mengalami dilatasi. Dengan demikian, lesi
iskemik dan lesi kompresif dapat dibedakan secara klinis, karena pada lesi
kelumpuhan pupil total, dan hanya 15% terjadi kelumpuhan pupil parsial.
binokularnya.
Jenis deviasi: ketidaksesuaian penjajaran terjadi di semua arah atau lebih besar
di posisi-posisi menatap tertentu, termasuk posisi primer untuk jauh atau dekat.
melihat dobel (diplopia), kecuali bila disertai ptosis. Tetapi apabila strabismus
paralitik terjadi pada masa anak-anak keluhan melihat dobel tidak ada karena
terjadi supresi pada bayangan kedua yang dilihatnya dan biasanya terjadi
ambliopia.
mengenai arah bayangan yang dilihat dobel olehnya. Apabila bayangan yang
terdapat satu atau lebih otot rektus vertikalis atau olibqus yang mengalami
kelumpuhan. Variasi dari arah bayangan tersebut yang dilihat dalam posisi
menatap tertentu dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai otot
terlihat lebih jelas bila pasien melirik ke kanan dan bayangan tersebut terpisah
secara horizontal maka otot ekstraokular yang mungkin terkena adalah otot
rektus lateralis kanan atau rektus medialis kiri. Hal ini sebaiknya dilakukan
Riwayat penyakit ini penting dalam hal mencari faktor yang mendasari atau
B. Pemeriksaan fisik
Inspeksi: inspeksi dapat memperlihatkan apakah strabismus yang terjadi
konstan. Adanya posisi kepala yang abnormal dan ptosis juga dapat diketahui.
Pada ptosis neurogenik jatuhnya kelopak mata atas dapat unilateral, sedangkan
tengah pupil.
Heterofori → bila salah satu refleks cahaya pada kornea tidak berada di tengah-
tengah pupil.
posisi kardinal (kanan, kanan atas, kanan bawah, kiri, kiri atas, kiri bawah), ke
atas, dan ke bawah. Pada saat mata melakukan pergerakan ke 6 posisi kardinal
hanya satu otot saja yang bekerja, sedangkan saat mata melihat ke atas atau ke
Selain itu penting juga untuk menilai kecepatan dari gerakan sakadik mata baik
secara horizontal ataupun vertikal. Pada gangguan atau kerusakan pada saraf
normal.
tersendiri. Ketajaman penglihatan dapat dinilai dengan kartu Snellen atau pada
anak dapat dinilai dengan menggunakan “E” jungkir balik (Snellen) atau
gambar Allen.
strabismus. Sewaktu pemeriksa mengamati satu mata, di depan mata yang lain
tidak ditutup apakah mata tersebut bergerak untuk melakukan fiksasi atau tidak.
Setelah itu buka penutup yang telah dipasang dan perhatikan apakah mata yang
telah dibuka penutupnya melakukan fiksasi kembali atau tidak. Jika mata
tersebut melakukan fiksasi maka mata tersebut normal dan mata yang
Hess screen: tes ini bertujuan untuk mengukur sudut deviasi/sudut strabismus.
Untuk tes ini di depan salah satu mata pasien dipakaikan kaca berwarna merah
dan kaca berwarna hijau pada mata lainnya. Kemudian pasien diminta untuk
memegang tongkat dengan lampu hijau dan diminta untuk menunjuk cahaya
merah yang terlihat pada layar dengan tongkat tersebut. Dengan tes ini masing-
masing mata dapat dinilai sehingga dapat diukur arah dan sudut deviasinya.
penting, tidak hanya untuk mendiagnosa otot ekstraokular mana yang terkena
tapi juga sebagai patokan awal terhadap derajat kelumpuhan otot sehingga
dan potensi fusi. Semua memerlukan dua sasaran terpisah untuk masing-masing
mata.
C. Pemeriksaan penunjang
Beberapa kasus yang berkaitan dengan strabismus paralitik/inkomitan mengarah
pada gangguan neurologis yang serius, seperti pada parese N III yang disertai
rasa nyeri, yang dicurigai akibat aneurisma pada Sirkulus Willisi. Pada kasus-
kasus seperti ini pasien sebaiknya segera dirujuk pada ahli neurologi, tapi pada
Gula darah
Foto kranium
Foto sinus paranasal dan orbita, bila diperlukan CT scan sinus paranasal dan
orbita
Terapi medis
Terapi ambliopia
Terapi ambliopia yang utama adalah oklusi. Mata yang baik ditutup untuk
merangsag mata yang mengalami ambliopia. Ada dua stadium terapi ambliopia,
yaitu:
- Stadium awal, terapi awal standar adalah penutupan terus menerus. Bila
ambliopianya tidak terlalu parah atau anak terlalu muda maka diterapkan
Prisma
Prisma menghasilkan pengarahan ulang garis penglihatan secara optis. Unsur-
sebelum operasi, prisma dapat merangsang efek sensorik yang akan timbul
setelah tindakan bedah. Prisma dapat digunakan dengan beberapa cara. Bentuk
yang cukup nyaman adalah prisma plastik press-on Fresnel. Alat optik ini
Terapi bedah
Tujuan terapi bedah adalah untuk mengeliminasi diplopia dalam lapangan pandang
yang normal, baik pada penglihatan jauh ataupun dekat. Terapi bedah dapat
Prosedur yang digunakan yaitu reseksi dan resesi. Secara konseptual, tindakan ini
tindakan yang disebut reseksi. Otot dilepaskan dari mata, diregangkan lebih
insersi semula. Resesi adalah tindakan perlemahan standar. Otot dilepas dari mata,
dibebaskan dari perlekatan fasia, dan dibiarkan mengalami retraksi. Otot tersebut
mata, terapi aksis visual harus dilakukan tanpa penundaan untuk mencegah
dapat di monitor dan tindakan operasi dapat dilakukan pada usia prasekolah,
dilakukan berupa bedah retraksi dari kelopak mata atas, yang sebaiknya
jelaskan kepada pasien dan kemungkinan kelopak mata dapat jatuh atau turun
lagi jika masalah keratopati terpaparnya cukup serius harus juga dijelaskan
kepada pasien. Antibiotik dan lubrikan diberikan saat pasca operasi sampai
permukaan ocular menjadi terbiasa dengan tinggi kelopak mata yang baru.
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Riwayat Perjalanan Penyakit
Anamnesis dilakukan pada tanggal 25 Oktober 2019, bertempat di ruang
Poliklinik Mata RSUD Prof. Dr. W. Z. Johannes Kupang pada pukul 09.25
13 hari yang lalu. Pasien juga mengeluh nyeri kepala hebat tiba-tiba dan nyeri
dirasakan terus menerus tidak membaik dengan istirahat. Keluhan baru pertama
kali dirasakan. Keluhan lain tidak ada. Keluhan tidak dirasakan pada mata kiri.
Riwayat penyakit dahulu : Hipertensi (-), diabetes mellitus (-), asthma (-),
kejang(-)
Riwayat Keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang mempunyai keluhan yang
sama.
3.5. Tatalaksana
CT Scan
Mecobalamin 2x1 tab
3.6. Prognosis
Quo ad vitam : Dubia
Quo ad sanationam : Dubia
Qua ad functionam : Dubia
BAB IV
PEMBAHASAN
mata kanan sejak ± 3 minggu yang lalu. Pasien juga mengeluh mengalami nyeri kepala
hebat mendadak dan nyeri pada bola mata kanan seperti ditusuk-tusuk. Keluhan
dirasakan terus menerus dan tidak membaik dengan istirahat. Keluhan baru pertama kali
dirasakan. Pasien juga mengeluh penurunan penglihatan dan semenjak itu pasien sulit
menggerakkan bola matanya kearah hidung. Hal ini sesuai dengan gejala klinis parese
nervus III yaitu ptosis, strabismus, visus yang menurun. Untuk penyebab parese N. III
pada pasien ini belum dapat ditentukan karena belum menemukan hasil dari
pemeriksaan
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah pasien termasuk dalam batas
normal dan tidak memiliki riwayat penyakit hipertensi sebelumnya. Kemudian dari
pemeriksaan fisik didapatkan hasil yang abnormal pada N II, III, IV dan VI dextra.
Semua pemeriksaan tersebut mengarah pada diagnosa parese nervus III. Untuk etiologi
paresis N. III pada pasien perlu dilakukan pemeriksaan penunjang, terutama CT-Scan
Telah dilaporkan pasien perempuan berusia 82 tahun datang ke Poli Mata dengan
keluhan kelopak mata kanan sulit dibuka sejak ± 3 minggu yang lalu. Pasien juga
mengeluh sebelumnya mengalami sakit kepala hebat dan nyeri pada bola mata kanan
seperti tertusuk-tusuk. Keluhan lain pasien juga merasakan penglihatan menurun dan
bola mata sulit untuk digerakkan.. Gatal (-), berair(-).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit ringan, ptosis pada mata
kanan dan visus yang menurun dan tidak bisa dikoreksi pada mata kanan. Pada
pemeriksaan refleks cahaya langsung pada mata kanan negatif.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien didiagnosis dengan lesi N.
III oculi dextra. Pasien telah diberikan tatalaksana berupa tatalaksana diagnostik yaitu
CT scan untuk mengetahui penyebab dan Mecobalamin 2x1 tablet sehari untuk
perlindungan pada saraf optik.
Demikian laporan kasus ini dibuat sebagai bahan pembelajaran dan referensi bagi
dokter muda maupun pembaca dalam menangani kasus lesi N. III
DAFTAR PUSTAKA
4. Michael Rubin. Palsies of Cranial Nerves That Control Eye Movement. 2012.
7. Sidarta Ilyas. Anatomi dan Fisiologi Otot Pengerak Bola Mata. Dalam: Ilmu
Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2000: 233 –
65.
8. Dorland: Kamus Kedokteran, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Edisi 26, cetakan
II, Jakarta 1996
9. Prof. Dr. I. Gusti Ng. Gd. Ngoerah. Nervi Kranialis. Dalam: Dasar-Dasar Ilmu
Penyakit Saraf. Penerbit Universitas Airlangga. Surabaya. 1990: 103 – 130.
12. Chugh JP, Jain P, Chouhan RS, Rathi A. Third Nerve Palsy: An overview. Indian
Journal of Clinical Practice 2012; 22(12): 17-20.
13. Hartono, MAF. Diplopia binokuler pada paresis N III, IV, dan VI di RS Mata dr. Jap Yogyakarta.
Jurnal oftalmologi Indonesia 2007; 5(3): 213-216.