Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH ASUHAN KEBIDANAN DALAM PERSALINAN

OBAT-OBAT YANG DIGUNAKAN DALAM DUNIA


KEBIDANAN

Disusun Oleh Kelompok 15 :

Dara Dewanti P3.73.24.2.15.011


Dealla Nurmala P3.73.24.2.15.012

Kelas II A

PRODI D-III KEBIDANAN


POLTEKKES KEMENKES JAKARTA III
Jl. Arteri Jorr Jati Warna, Kec. Pondok Melati, Bekasi
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah swt atas taufik dan hidayah-Nya,

sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kesehatan masyarakat tentang Obat-Obat yang

Digunakan dalam Dunia Kebidanan. Makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas

Asuhan Kebidanan dalam Persalinan.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga

makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna,

oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi

sempurnanya makalah ini.

Semoga makalah ini memberikan informasi bagi pembaca dan bermanfaat untuk

pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Bekasi, September 2016

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KataPengantar ....................................................................................................................i
Daftar Isi .............................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................................1
1.3 Tujuan .....................................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Lidokain
2.1.1 Pengertian Lidokain .....................................................................................4
2.1.2 Farmakokinetik ........................................................................................... 4
2.1.3 Farmakodinamik ......................................................................................... 5
2.1.4 Interaksi Obat .............................................................................................. 9
2.1.5 Dosis………………………………………………………………………..9
2.1.6 Sediaan……………………………………………………………………...9
2.1.7 Cara Pemberian…………………………………………………………….10
2.1.8 Cara Penyimpanan …………………………………………………...……10
2.2 Oksitosin
2.2.1 Pengertian Oksitosin ....................................................................................11
2.2.2 Farmakokinetik ........................................................................................... 11
2.2.3 Farmakodinamik ......................................................................................... 11
2.2.4 Interaksi obat ............................................................................................... 15
2.2.5 Dosis……………………………………………………………………….15
2.2.6 Sediaan………………………………………………………………….…16
2.2.7 Cara Pemberian……………………………………………………………16
2.2.8 Cara Penyimpanan…………………………………………………………16
2.3 Methergin
2.3.1 Pengertian Methylergometrine ....................................................................16
2.3.2 Farmakokinetik ........................................................................................... 17

ii
2.3.3 Farmakodinamik ......................................................................................... 17
2.3.4 Interaksi Obat .............................................................................................. 18
2.3.5 Dosis…………………………….…………………………………………18
2.3.6 Sediaan…………………………………………………………………….19
2.3.7 Cara Pemberian……………………………………………………………19
2.3.8 Cara Penyimpanan………………………………………………………...19

BAB III PENUTUP


3.1 Simpulan ..................................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................................21

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dahulu praktik kebidanan terutama dikaitkan dengan ibu hamil yang sehat dan
berisiko rendah dalam menghadapi kelahiran bayi yang normal. Namun demikian,
dalam beberapa tahun terkahir ini terus terjadi peningkatan jumlah ibu hamil dengan
kelainan medis yang sudah dideritanya dan komplikasi serius kehamilan yang
memperlihatkan hasil akhir kehamilan yang baik dibawah perawatan medis. Sehingga
bidan akan turut andil dalam pemberian obat dan semakin banyak jenisnya kepada
pasien yang keadaannya memerlukan pemantauan ketat.
Praktik kebidanan bersifat dinamis dan terus berkembang sehingga bidan
mempunyai peranan yang semakin penting dalam tatalaksana obat selama kehamilan,
persalinan dan periode postnatal. Tanggung jawab tersebut meliputi pemberian obat,
pemantauan keadaan ibu, janin serta neonatus untuk menemukan tanda-tanda bahaya
dan preskripsi obat-obat tertentu sesuai dengan protokol. Dengan demikian, bdan harus
memahami kerja, efek samping, peringatan, kontraindikasi untuk obat-obat yang
digunakan pada kehamilan, persalinan dan postnatal. Oleh karena itu, penulis akan
membahas obat-obatan dalam dunia kebidanan khususnya untuk asuhan kebidanan
masa persalinan dengan mengkaji sisi farmakokinetik, farmakodinamik, interaksi obat,
interaksi farmakokinetik dari setiap obat.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian lidokain ?
2. Bagaimana farmakokinetik dari lidokain ?
3. Bagaimana farmakodinamik dari lidokain ?
4. Bagaimana interaksi obat dari lidokain ?
5. Berapa dosis lidokain ?
6. Apa saja sediaan lidokain ?
7. Bagaimana cara pemberian lidokain ?
8. Bagaimana cara penyimpanan lidokain ?
9. Apa pengertian oksitosin sintosinon ?
10. Bagaimana farmakokinetik dari oksitosin sintosinon ?

1
11. Bagaimana farmakodinamik darioksitosin sintosinon ?
12. Bagaimana interaksi obat dari oksitosin sintosinon ?
13. Berapa dosis oksitosin sintosinon ?
14. Apa saja sediaan oksitosin sintosinon ?
15. Bagaimana cara pemberian oksitosin sintosinon ?
16. Bagaimana cara penyimpanan oksitosin sintosinon ?
17. Apa pengertian methylergometrine (methergin)?
18. Bagaimana farmakokinetik dari methylergometrine (methergin)?
19. Bagaimana farmakodinamik dari methylergometrine (methergin)?
20. Bagaimana interaksi obat dari methylergometrine (methergin)?
21. Berapa dosis methylergometrine (methergin) ?
22. Apa saja sediaan methylergometrine (methergin) ?
23. Bagaimana cara pemberian methylergometrine (methergin) ?
24. Bagaimana cara penyimpanan methylergometrine (methergin) ?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian lidokain
2. Untuk mengetahui farmakokinetik dari lidokain
3. Untuk mengetahui farmakodinamik dari lidokain
4. Untuk mengetahui interaksi obat dari lidokain
5. Untuk mengetahui dosis dari lidokain
6. Untuk mengetahui sediaan lidokain
7. Untuk mengetahui cara pemberian lidokain
8. Untuk mengetahui cara penyimpanan lidokain
9. Untuk mengetahui pengertian oksitosin sintosinon
10. Untuk mengetahui farmakokinetik dari oksitosin sintosinon
11. Untuk mengetahui farmakodinamik darioksitosin sintosinon
12. Untuk mengetahui interaksi obat dari oksitosin sintosinon
13. Untuk mengetahui dosis dari oksitosin sintosinon
14. Untuk mengetahui sediaan oksitosin sintosinon
15. Untuk mengetahui cara pemberian oksitosin sintosinon
16. Untuk mengetahui cara penyimpanan oksitosin sintosinon
17. Untuk mengetahui pengertian methylergometrine (methergin)
18. Untuk mengetahui farmakokinetik dari methylergometrine (methergin)

2
19. Untuk mengetahui farmakodinamik dari methylergometrine (methergin)
20. Untuk mengetahui interaksi obat dari methylergometrine (methergin)
21. Untuk mengetahui dosis dari methylergometrine (methergin)
22. Untuk mengetahui sediaan methylergometrine (methergin)
23. Untuk mengetahui cara pemberian methylergometrine (methergin)
24. Untuk mengetahui cara penyimpanan methylergometrine (methergin)

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Lidokain
2.1.1 Pengertian Lidokain
Lidokain adalah obat yang digunakan untuk anestesia infiltrasi (anestesia
lokal) dan blok saraf. Bidan di Inggris boleh menggunakan larutan obat anestesia
ini hingga konsentrasi 1% untuk memberikan anelgesia perineum sebelum
melakukan episiotomi dan perbaikan perineum (Tiran, 2006). Lidocaine adalah
obat anastesi lokal yang menyebabkan hilangnya sensasi rasa sakit pada tubuh,
(Alodokter, 2015).

2.1.2 Farmakokinetik (absorbsi, distribusi, biotransformasi/metabolisme,


ekskresi/eliminasi)
Lidokain cepat diserap dari tempat suntikan, saluran cerna serta dapat
melewati sawar darah otak. Kadarnya dalam plasenta fetus dapat mencapai 60%
kadar dalam darah ibu, (Syarif dan Sunaryo, 2012). Sekitar 70% (55-95%)
lidokain dalam plasma terikat protein, hampir semuanya dengan alfa 1 – acid
glycoprotein. Distribusi berlangsung cepat, volume distribusi adalah 1 liter per
kilogram; volume ini menurun pada pasien gagal jantung. Tidak ada lidokain
yang diekskresi secara utuh dalam urin, (Bangun, 2012).
Jalur metabolik utama lidokain di dalam hepar (retikulum endoplasma),
mengalami dealkilasi oleh enzim oksidase fungsi ganda (mixed function
oxidases) membentuk monoetilglisin xilidid dan glisin xilidid, yang kemudian
dimetabolisme lebih lanjut menjadi monoetilglisin dan xilidid. Kedua metabolit
monoetilglisin xilidid maupun glisin xilidid ternyata masih memiliki efek
anestetik lokal. Pada manusia, 75% dari xilidid aka diekskresi bersama urin
dalam bentuk metabolit akhir, 4 hidroksi 2-6 dimetil-anilin (Syarif dan Sunaryo,
2012). Lidokain dimetabolisme di dalam hati ibu hamil, janin atau neonatus
menjadi metabolit aktif. Meskipun lama kerja dan waktu paruh lignokain atau
lidokain relatif singkat (82 menit pada ibu hamil dan 95 menit pada neonatus),
metabolitnya tetap diekskresikan oleh neonatus selama 36-48 jam sesudah
kelahirannya, periode waktu untuk ekskresi obat ini bergantung pada cara

4
pemberiannya. Metabolit ini bertanggung jawab atas beberapa efek toksik yang
ditimbulkan oleh lignokain (Kuhnert, 1993).

2.1.3 Farmakodinamik (mekanisme kerja, efek samping obat, efek merugikan, efek tak
terduga)
a) Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal
Komunikasi dalam sistem saraf dan aktifitas mekanis dalam otot
bergantung pada eksitabilitas-elektris membran sel jaringan. Timbulnya
impuls saraf bergantung pada produksi potensial aksi dalam membran sel
pada akson neuron. Kerja utama obat anestesi lokal adalah untuk mengurangi
kemampuan saraf dalam menghantarkan potensial aksi dan impuls saraf
(Jordan, 2004).
Pada saat istirahat, membran sel saraf dan otot berada dalam keadaan
terpolarisasi (atau bermuatan). Kalau suatu potensial aksi dipicu, saraf
tersebut akan mengalami depolarisasi atau (melepaskan muatannya) lewat
influksi ion natrium yang cepat, kejadian ini akan diikuti oleh peristiwa
repolarisasi (pemuatan kembali) karena terjadinya efluksi ion kalium. Obat
anestesi lokal mencegah influksi ion natrium yang cepat dengan menyekat
saluran natrium dalam membran sel saraf. Keadaan ini akan menghambat
pembentukan potensial aksi dan mencegah transmisi impuls serta sinyal
disepanjang akson dan menyekat fungsi syaraf yang normal (Jordan, 2004).

b) Efek Samping Obat


Efek sampingnya adalah menyekat saluran ion natrium pada semua jaringan
penghantar impuls yaitu sistem saraf pusat (SSP), jantung dan sistem
kardiovaskuler, sistem saraf perifer, sistem saraf simpatik, otot polos-uterus,
kandung kemih, usus dan otot skelet (Jordan, 2004).
 Eksitasi dan Inhibisi SSP
Pada SSP, saluran ion natrium dalam neuron penghambat
(inhibitor) lebih mudah disekat daripada saluran ion natrium dalam
neuron pemicu (eksitatorik). Karena itu, respons SSP terhadap obat
anestesi lokal akan melewati beberapa tahap mulai dari eksitasi hingga
inhibisi dan depresi seperti telinga yag berdenging (tinitus), perasaan
yang aneh dalam mulut, kebingungan atau agitasi, penglihatan kabur,

5
menggigil, keadaan gelisah, euforia, gemeteran, mual, tremor, konvulsi,
depresi pernafasan, koma dan kematian. Pada pemberian intravena yang
tidak disengaja, respons awal terhadap obat anestesi lokal biasanya
berupa eksitasi, kegelisahan, tremor, dan bahkan konvulsi (Hughes,
1992). Eksitasi paradoksal ini akan diikuti oleh depresi SSP khususnya
depresi pernafasan. Namun demikian, jika pemberian sistemik lidokain
atau bupivikain berlangsung cepat, respons eksitasinya tidak terlihat.
Sebaliknya, ibu hamil yang mengalami hal tersebut hanya
memperlihatkan depresi SSP dan respiratory arrest yang mendadak,
(Jordan, 2004).

 Blok Saraf Simpatik


Konsekuensi blok saraf simpatik adalah penurunan tekanan darah
maternal, kegagalan thermoregulasi maternal dan neonatal, kehilangan
refleks asfiksia neonatal.
Obat anestesi lokal menghambat fungsi saraf simpatik. Saraf ini
mengendalikan diameter pembuluh darah dan dengan demikian akan
mempengaruhi suatu aspek yang penting dalam pengaturan tekanan
darah (total tahanan perifer). Dengan terganggunya aktivitas saraf
simpatik, pembuluh darah akan berdilatasi sehingga terjadi penurunan
tekanan darah dan ketidakmampuan untuk melakukan vasokontriksi
sebagai reaksi terhadap ligkungan yang sejuk. Ibu hamil dapat mengeluh
kedinginan, menggigil tanpa terkendali atau sebaliknya dapat mengalami
pireksia. Demikian pula, neonatus akan rentan terhadap hawa
dingin(Howell, 1995a; Reynolds et a, 1996; El-Refaey et al, 2000).
Berkaitan dengan terapi analgesia epidural, keadaan piraksia (suhu
tubuh > 98oC) ditemukan pada 16,6% (120/724) ibu melahirkan yang
sehat (n = 1218). Bayi mereka lebih cenderung mengalami konvulsi atau
hipotonia dan memerlukan resusitasi (Lieberman et al, 2000). Demam
materal intrapartum dapat menimbulkan suhu tubuh yang lebih tinggi
lagi pada janin (lebih tinggi 0,5-0,90C), dalam keadaan ketika janin juga
sedang menderita gangguan iskemia, derajat pireksia ini dapat
meningkatkan derajat kerusakan neurologis (Jordan, 2004).

6
Pada saat dilahirkan, neonatus akan bergantung pada respons
refleksnya sendiri terhadap asfiksia dengan menarik nafas pertama, dan
refleks ini bergantung pada aktivitas sistem saraf simpatiknya. Dengan
pemberian obat anestesi lokal pada ibu, respons refleks neonatus
terhadap kelahirannya dapat tertekan sehingga diperlukan pemeriksaan
yang lebih cermat dan mungkin tindakan yang segera oleh bidan (Jordan,
2004).

 Hipotensi
Obat anestesi lokal menghambat sistem saraf simpatik yang
betanggung jawab untuk mempertahankan kontriksi arteriole dan
tekanan darah serta frekuensi jantung dalam batas yang normal. Karena
itu, obat ini dapat berpotensi mengganggu sistem kardiovaskuler dengan
menimbulkan hipotensi, bradikardia dan bahkan henti jantung. Hipotensi
maternal yang signifikan secara klinik yaitu penurunan tekanan darah
sistolik pra-anestesi sebesar 20-30% atau tekanan darah sistolik dibawah
100mmHg, terjadi 5-15% proses melahirkan dengan pemberian anestesi
epidural dan 5-82% proses melahirkan dengan anestesi spinal (Hollmen,
1993; Shennan et al, 1995).
Obat anestesi lokal yang menimbulkan vasodilatasi dapat
mengurangi kemampuan pembuluh darah untuk melakkan vasokontriksi
sebagai respons terhadap pendarahan. Karena itu, pendarahan yang tidak
begitu berat sekalipun dapat terjadi hipotensi dan kemungkinan
terjadinya kehilangan darah postpartum akan semakin meningkat
(Beische et.al, 1997). Namun, untuk tindakan seksio Caesarea, jumlah
darah yang hilang lebih sedikit daripada tindakan bedah dengan anestesi
umum (Lertakyamanee et al, 1999). Setiap keadaan hipotensi maternal
harus segera diketahui karena aliran darah ke daam uterus dan demikian
pula oksigenasi janin akan berkurang dalam kaitannya secara langsung
dengan tekanan darah maternal. Dengan mengorbankan pasokan darah
ke dalam plasenta, keadaan hipotensi maternal dapat menyebabkan
asidosis fetal dan menekan sistem saraf pusat neonatus (Roberts et al,
1995). Secara klinik mungkin sulit untuk mengaitkan abnormalitas
frekuensi detak jantung janin dengan kerja langsung obat tersebut,

7
kendati asidosis fetal pada saat seksio Caesarea merupakan komplikasi
obat anestesi lokal yang sudah diakui (Steer, 1995).

 Depresi Otot Polos


Kontraksi uterus, usus, dan kandung kemih akan tertekan oleh
kerja obat-obat anestesi lokal. Inhibisi kandung kemih biasanya
menimbulkan retensi urine tetapi sebaliknya inkontensia urine dan feses
mungkin saja terjadi (Karch, 1992). Anelgesia epidural akan disertai
dengan peningkatan risiko retensi urine postpartum (Olofsoon et al,
1997). Masalah yang potensial dalam jangka pendek dan jangka panjang
yang timbul akibat katerisasi urine yang berkali-kali tidak boleh
diremehin (Mander, 1994).
Obat-obat anestesi lokal memperpanjang masa persalinan dengan
menimbulkan relaksasi otot-otot dasar panggul, mengurangi refleks
‘mengejan’, mengurangi upaya ibu untuk mendorong bayinya lahir,
bekerja langsung pada otot rahim dengan menurunkan tonus otot,
mengurangi pelepasan oksitosin secara pulsatile dari kelenjar hipofisis
posterior (Jordan, 2004).

 Muskuloskeletal
Saat diinjeksikan langsung ke dalam otot, skeletal (trigger-point injeksi),
anestesi, lokal adalah miotoksik (bupivacaine >lidocaine > procaine).
Secara histologi, hiperkontraksi miofibril menyebabkan degenarasi litik,
edema, dan nekrosis. Regenerasi biasanya timbul setelah 3-4 minggu.
Steroid tambahan atau injeksi epinefrin memperburuk nekrosis otot.
Data penelitian hewan menunjukkan bahwa ropivacaine menghasilkan
kerusakan otot yang tidak terlalu berat dibanding bupivacaine (Samodro,
Sutiyono, dan Satoto, 2011).

 Hematologi
Telah dibuktikan bahwa lidokain menurunkan koagulasi (mencegah
trombosis dan menurunkan agregasi platelet) dan meningkatkan
fibrinolysis dalam darah yang diukur dengan thromboelastography.
Pengaruh ini mungkin berhubungan dengan penurunan efikasi autolog

8
epidural setelah pemberian anestesi lokal dan insidensi terjadinya emboli
yang lebih rendah pada pasien yang mendapatkan anestesi epidural
(Samodro, Sutiyono, dan Satoto, 2011).

c) Indikasi
Local anesthica untuk penjahitan episiotomi dan laserasi

d) Kontraindikasi
Ibu dengan Hypotensi

2.1.4 Interaksi Obat (makan minum, polypharmacy)


Efek obat anestesi lokal yang tidak diinginkan dapat ditingkatkan oleh
penggunaan antagonis H2 (simetidin), obat-obat anti aritmia dan preparat
depresan sistem saraf pusat lainnya yang meliputi alkohol serta proklorperazin
(Malseed et al, 1995). Simetidin dan propranolol dapat meningkatkan toksisitas
lidokain. Konsumsi alkohol yang teratur akan meningkatkan risiko kegagalan
terapeutik (Stockley, 1999). Benzodiazepin dapat mempengaruhi klirens obat
anestesi lokal. Peningkatan konsentrasi bupivikain (tetapi bukan lignokain atau
lidokain) pernah dilaporkan pada pasien yang menggunakan diazepam (Stockley,
1999). Preparat antidepresan trisiklik dan fenotiazin (misalnya proklorperazin)
meningkatkan risiko blok jantug, khusunya jika digunakan epinefrin atau
adrenalin (Jordan,2004).

2.1.5 Dosis Lidokain


Dosis yang biasa digunakan sebelum tindakan episotomi :

 Lidocain HCL 1% injeksi tiap ml mengandung 10 mg lidocain HCL


 Lidocain HCL 2% injeksi tiap ml mengandung 20 mg lidocain HCL

2.1.6 Sediaan Lidokain


 Vial 0.2 mg/mL
 Ampul 5 ml lidokain 2%

9
2.1.7 Cara Pemberian Lidokain
Berikan anestesia lokal secara dini agar obat tersebut memiliki cukup waktu
untuk memberikan efek sebelum episiotomi dilakukan. Episiotomi adalah tindakan
yang menimbulkan rasa sakit dan menggunakan anestesia lokal adalah bagian dari
asuhan sayang ibu.

1. Jelaskan kepada ibu apa yang akan anda lakukan dan bantu dia untuk merasa
rileks.

2. Hisap 10 ml larutan lidokain 1% tanpa epinefrin ke dalam tabung suntik steril


ukuran 10 ml (tabung suntik lebih besar boleh digunakan, jika diperlukan). Jika
lidokain 1% tidak tersedia, larutkan 1 bagian lidokain 2% dengan 1 bagian cairan
garam fisiologis atau air distilasi steril, sebagai contoh larutkan 5 ml lidokain
dalam 5 ml cairan garam fisiologis atau air steril.

3. Pastikan bahwa tabung suntik memiliki jarum ukuran 22 dan panjang 4 cm (jarum
yang lebih panjang boleh digunakan, jika diperlukan).

4. Letakkan dua jari ke dalam vagina di antara kepala bayi dan perineum.

5. Masukkan jarum di tengah fourchette dan arahkan jarum sepanjang tempat yang
akan di episiotomi.

6. Aspirasi (tarik batang penghisap) untuk memastikan bahwa jarum tidak berada di
dalam pembuluh darah. Jika darah masuk ke dalam tabung suntik, jangan
suntikkan lidokain, tarik jarum tersebut keluar. Ubah posisi jarum dan tusukkan
kembali.

Alasan: Ibu bisa mengalami kejang dan bisa terjadi kematian jika lidokain
disuntikkan ke dalam pembuluh darah.

1. Tarik jarum perlahan-lahan sambil menyuntikkan maksimum 10 ml lidokain.

2. Tarik jarum bila sudah kembali ke titik asal jarum suntik ditusukkan. Kulit
melembung karena anestesia bisa terlihat dan dipalpasi pada perineum di
sepanjang garis yang akan dilakukan episiotomi.

2.1.8 Cara Penyimpanan Lidokain


Simpan pada suhu kamar (25-30oC) dan tempat kering. Hindarkan dari cahaya.

10
2.2 Oksitosin (Syntosinon)
2.2.1 Pengertian Oksitosin
Oksitosin adalah hormon yang disekresikan oleh lobus posterior kelenjar
hipofisis dan menimbulkan stimulasi (yaitu, kontraksi) pada miometrium uteri.
Oksitosin juga menyebabkan ejeksi ASI dari alveoli mammae ke dalam duktus
laktiferus pada saat bayi menyusu. Oksitosin sintetik (Syntocinon) dapat
disuntikan secara intravena untuk menginduksi atau menguatkan persalinan atau
secara intramuskuler atau intravena untuk menimbulkan kontraksi otot rahim
sesudah plasenta dilahirkan dan untuk mengendalikan perdarahan postpartum.
Oksitosin sintetik dapat pula digabungkan dengan ergometron untuk
memproduksi syntometrine (Tiran, 2006). Oksitosin (Syntocinon) dibuat untuk
reproduksi bangunan dan kerja hormon yang alami. Sekresi oksitosin endogenus
tidak disupresi oleh mekanisme umpan balik yang negatif. Sintosinon artifisial
tidak akan mensupresi pelepasan oksitosin endogenus (Jordan, 2004).

2.2.2 Farmakokinetik (absorbsi, distribusi, biotransformasi/metabolisme,


ekskresi/eliminasi)
Oksitosin memberikan hasil baik pada pemberian parenteral. Oksitosin
diabsorpsi dengan cepat melalui mukosa mulut dan bukal, sehingga
memungkinkan oksitosin diberikan sebagai tablet isap. Oksitosin tidak dapat
diberikan per oral karena akan dirusak lambung dan usus. Cara pemberian nasal
atau tablet isap dicadangkan untuk penggunaan pasca persalinan. Waktu paruh
oksitosin sangat singkat antara 3-5 menit (Syarif dan Muchtar, 2012). Oksitosin
akan dieliminasi dalam waktu 30-40 menit sesudah pemberiannya (Clayworth,
2000). Oksitosin dengan cepat dieliminasi lewat hati, ginjal, dan enzim plasenta.
Oksitosin akan dimetabolisasi dengan cepat dan diekskresikan dalam hati (Kee
dan Hayes, 1996).

2.2.3 Farmakodinamik (mekanisme kerja, efek samping obat, efek merugikan, efek tak
terduga)
a) Mekanisme Kerja
Awitan kerja dari oksitosin yang diberikan secara intramuskular timbul
3-5 menit, waktu untuk mencapai puncak konsentrasi belum diketahui dan

11
lama kerjanya adalah 2-3 jam. Awitan kerja dari oksitosin yang diberikan
secara intravena terjadi segera, waktu untuk mencapai puncak konsentrasiya
tidak diketahui dan lama kerjanya adalah 20 menit. Obat diberikan secara
intravena untuk mengiduksi kehamilan atau mempercepat persalinan.
Kerja Oksitosin yang lain meliputi : kontraksi tuba uterine untuk
membantu pengangkutan sperma, peranan neurotransmitter yang lain dalam
sistem saraf pusat. Oksitosin disintesiskan dalam hipotalamus, kelenjar
gonad, plasenta dan uterus. Mulai dari usia kehamilan 32 minggu dan
selanjutnya, konsentrasi oksitosin dan demikian pula aktivitas uterus akan
lebih tinggi pada malam harinya (Hirst et al,1993)

b) Efek Samping
Bila oksitosin sintetik diberikan, kerja fisiologis hormon ini akan
berambah sehingga dapat menimbulkan efek samping yang potensial
berbahaya. Efek samping tersebut yaitu stimulasi berlebih pada uterus,
kontraksi pembuluh darah tali pusat, kerja antidiuretika, kerja pada pembuluh
darah (kontraksi dan dilatasi), mual, reaksi hipersensitivitas (Jordan, 2004).
 Stimulasi berlebih pada uterus
Selama sembilan bulan terakhir kehamilan, daya reaksi otot rahim
terhadap oksitosin meningkat sebesar delapan kali lipat (Graves, 1996).
Bila dilakukan pemberian oksitosin, baik frekuensi maupun kekuatan
kontraksi otot polos rahim akan meningkat sehingga rasa nyeri
persalinan semakin hebat (Olah da Gee, 1996). Peguatan persalinan
dengan oksitosin membawa risiko hiperstimulasi uterus, karena beberapa
individu hipersensitif terhadap oksitosin, pemberian infus oksitosin
selalu mengandung bahaya kontraksi uterus tetanik atau spasmodk
sekalipun dosis yang diberikan sudah rendah (BNF, 2000).
Pemberian oksitosin akan mengganggu masuknya kepala janin ke
dalam serviks (Allman et al, 1996). Jika serviks tidak melunak atau
mengalami dilatasi, proses persalinan tidak dapat berlangsung dan dalam
keadaan ini kontraksi uterus yang keras, lama serta kuat dapat
menimbulkan konsekuensi yang serius diantaranya :
 Trauma pada neonatus dan ibu

12
Jika bayi dipaksa lahir melewati serviks yang masih belum
berdilatasi secara lengkap, jaringan lunak ibu dapat mengalami
laserasi (luka yang disebabkan oleh robekan, bukan bentuk yang
teratur seperti sayatan bedah) yang luas.
 Ruptura Uteri
Kemungkinan terjadinya ruptura uteri lebih kecil pada ibu yang
multipara kendati peristiwa tersebut pernah terjadi. Pemberian
oksitosin merupakan kontraindikasi pada ibu hamil dengan risiko
ruptura uteri yang tinggi seperti misalnya grande multipara,
kehamilan kembar dan polihidramnion atau pada ibu hamil dengan
sikatriks pada rahimnya (BNF, 2000).
 Perdarahan Postpartum
Keadaan ini sudah pernah terjadi, tetapi mungkin berkaitan dengan
komplikasi obstetrol atau ruptura uteri dan bukan karena
hiperstimulasi uterus (Reynolds et al, 1996).
 Hematoma Pelvik
Hematoma adalah didapatkannya gumpalan darah sebagai akibat
cidera atau robeknya pembuluh darah wanita hamil aterm tanpa
cidera mutlak pada lapisan jaringan luar. Keadaan ini dapat terjadi
karena kontraksi yang kuat. Jika hematomanya luas, deplesi faktor-
faktor pembekuan dapat terjadi sehingga timbul koagulopati
intravaskuler diseminata, kegagalan koagulasi dan perdarahan.
 Solusio Plasenta
Terlepasnya sebagian atau seluruh perukaan maternal plasenta dari
tempat implantasinya yang normal pada lapisan desibua
endometrium sebelum waktunya yaitu anak lahir. Solusio plasenta
berkaitan dengan kontraksi uterus yang kuat dan turut terlibat dalam
peristiwa kematian Ibu.
 Emboli Cairan Amnion
Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh rposes persalinan yang sulit,
khususnya jika di dalam caoran amnion terlihat noda-noda
mekonium atau bila sudah terjadi kematian janin in utero.
 Hipoksia Fetal

13
Pada saat kontraksi uterus terjadi kompresi pembuluh darah yang
mengganggu pengangkutan oksigen ke dalam uterus, plasenta dan
janin. Normalnya, oksigenasi akan pulih kembali setelah terjadi
relaksasi uteru dan pemulihan keadaan ini mencegah penumpukan
asam laktat. Akan tetapi, jika uterus mengalami stimulasi yang
berlebihan dan relaksasinya terlalu singkat, maka akan terjadi
hipoksia serta asidosis pada janin (Kulb, 1990).

14
2.2.4 Indikasi
Sebagai stimulan uterus pada :
1. Induksi partus aterm.
2. Inertia uteri (atonia uteri) atau hipotoni uteri.
3. Perdarahan post-partum.
4. Abortus inkompletus kehamilan setelah 20 minggu.

2.2.5 Kontraindikasi
Toksemia, disproporsi sevalopelvik, distres janin, hipersensitivitas, persalinan
nonvaginal yang telah diantisipasi, kehamilan (intranasal), Disproporsi
sefalopelvik, Malpresentasi, Plasenta previa, Jaringan ikat pada uterus akibat
sectio caesarea.

2.2.6 Interaksi obat (makan minum, polypharmacy)


Jika oksitosin diberikan bersama preparat vasokonstriktor lainnya, maka akan
terdapat bahaya peningkat TD yang dapat menyebabkan serangan stroke.
Keadaan ini dapat terjadi jika adrenalin (epinefrin) ditambahkan dengan obat
anestesi lokal. Estrogen akan memperkuat kontraksi uterus oleh oksitosin.
Progestin akan melemahkan kontraksi uterus oleh oksitosin.

2.2.7 Dosis
a) Injeksi intravena :
 Induksi partus : mula-mula 0.5 miliunit/menit; dapat ditambah 1 – 2
miliunit/menit tiap 30 – 40 menit sampai kontraksi uterus optimal (3 – 4
kali kontraksi tiap 10 menit).

15
 Induksi partus aterm : 8 – 10 miliunit/menit sudah cukup.
b) Infus :
Mencegah atoni atau perdarahan post-partum : 20 – 40 miliunit/mL dalam
larutan elektrolit dengan kecepatan 40 miliunit/menit.

2.2.6 Sediaan

a) Larutan injeksi 10 miliunit/mL


b) Ampul 1 mL.

2.2.7 Cara Pemberian

IM: mula = 3 – 5 menit.

P = TD

L = 2 – 3 jam

IV: mula = segera.

P = TD

L = 1 jam

IN: mula = beberapa menit.

P = TD

L = 20 menit

2.2.8 Cara Penyimpanan

a) Suhu di bawah 25 0C

16
b) Sebaiknya 2 – 10 0C
c) Terlindung dari sinar langsung.

2.3 Methergin
2.3.1 Pengertian Methylergometrine atau Methergin
Methylergometrine (Methergin) merupakan obat golongan alkaloid ergot
semi sintetis yang mengandung zat aktif methylergonovine maleate. Methergin
tersedia dalam bentuk tablet dan suntikan. Obat ini bekerja pada otot polos rahim
secara langsung meningkatkan tonus, frekuensi, dan amplitudo dari ritme
kontraksi rahim. Peningkatan kontraksi ini berguna untuk mencegah dan
mengontrol perdarahan rahim setelah melahirkan (post partum). Methergin
bekerja cepat, yaitu sekitar 5-10 menit setelah diminum.

2.3.2 Farmakokinetik Methylergometerine (absorbsi, distribusi, biotransformasi/


metabolisme, ekskresi/ eliminasi)
Absorsi methergin baik pada pemberian melalui oral maupun intramuscular
adalah cepat, kadar maksimum dalam plasma di capai setelah 30 menit
absorpsinya menjadi lebih lambat pada gastrointestinal perperium, kadar
maksimum dalam plasma dicapai setelah 3 jam. Pada pemberian secara oral,
bioavailabilitasnya kurang lebih 60% volume distribusinya rendah (0,5 liter/kg).
Biotransformasi methergin di dalam hati. Ekskresi atau Eliminasinya melalui
hati dan ginjal serta terjadi dua tahap, waktu paruh yang lama adalah 0,5 sampai 2
jam. Pada pemberian melalui oral hanya 3 % zat asal dapat ditemukan pada urine,
hal ini menunjukkan metabolism yang ekstensif. Kerja methergin terjadi dalam
waktu 30-60 detik setelah penyuntikan i.v, 2-5 menit setelah penyuntikan i.m, dan
5-10 menit setelah pemberian peroral dan bertahan selama 4-6 jam.

2.3.3 Farmakodinamik Methylergometerine


a) Mekanisme Kerja Methylergometerine
 Mempengaruhi otot uterus berkontraksi terus-menerus sehingga
memperpendek kala III.
 Menstimulasi otot-otot polos terutama dari pembuluh darah perifer dan
rahim.

17
 Pembuluh darah mengalami vasokonstraksi sehingga tekanan darah naik
dan terjadi efek oksitosik pada kandungan mature

b) Efek Samping Methylergometerine


 Efek samping yang sering terjadi dapat berupa nyeri kepala, hipertensi,
ruam pada kulit, dan nyeri perut karena kontraksi rahim yang kuat;
 Efek samping lain yang jarang terjadi dapat berupa penurunan kesadaran,
kejang, nyeri dada, hipotensi, dan mual muntah;
 Efek samping seperti syok anafilaktik sangat langka namun dapat terjadi
pada pasien yang hipersensitif terhadap methergin.

c) Indikasi Methylergometerine
Penanganan aktif kala ke-3 proses kelahiran, atonia (tidak adanya tegangan
atau kekuatan otot)/perdarahan rahim, perdarahan dalam masa nifas, subinvolusi
(mengecilnya kembali rahim sesudah persalinan hampir seperti bentuk asal),
lokiometra (pembendungan getah nifas di dalam rongga rahim).

d) Kontraindikasi Methylergometerine
Wanita hamil, belum terjadi penurunan kepala tetapi persalinan telah
memasuki kala pertama dan kedua, hipertensi berat, toksemia hipertensif,
penyakit sumbatan pembuluh darah, sepsis (reaksi umum disertai demam karena
kegiatan bakteri, zat-zat yang dihasilkan bakteri, atau kedua-duanya),
hipersensitifitas. Gangguan fungsi hati atau ginjal. Hati-hati penggunaan pada
penderita hipertensi, penyakit hati, jantung, ginjal, infeksi puerpuralis dan
penyakit penyumbatan pembuluh darah. Tidak dianjurkan untuk induksi partus
karena masa kerja yang lama dan memberikan kontraksi uterus non fisiologik.

18
2.3.4 Interaksi Obat Methylergometerine
Makrolid, protease HIV atau penghambat transkiptase, anti jamur azole,
vasokonstriktor lain atau alkaloid ergot, bromokriptin, anestesi. Obat tersebut
dapat menurunkan efektivitas methergin dan dapat meningkatkan resiko efek
samping methergin.

2.3.5 Dosis Methylergometerine


 Oral : 0.2 – 0.4 mg sehari 2 – 4 kali, selama 2 hari
 IV atau IM : 0.2 mg (1 mL). IM boleh diulang setelah 2 – 4 jam, bila
perdarahan hebat. Pemberian IM lebih menguntungkan daripada IV karena
efek samping lebih ringan.

2.3.6 Sediaan Methylergometerine


 Tablet salut 0.125 mg dalam strip 10x10 tablet
 Vial 0.2 mg/mL
Ampul 1 Ml

2.3.7 Penyimpanan Methylergometerine


 Wadah kedap udara
 Terlindung dari panas dan cahaya langsung

2.3.8 Pemberian Methergin


 PO : 0,2-0,4 mg, setiap 6-12 jam maksimum 1 minggu
 IM : 0,2 mg setelah melahirkan bahu anterior, setelah melahirkan plasenta
atau post partum, ulangi setiap 2-4 jam, dosis dapat diberikan setelah
parenteral.
 IV : sama seperti IM tetapi perlahan-lahan selama 1 menit dengan pemantuan
TD yang hati-hati.

19
BAB III

PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan hal diatas dapat disimpulkan bahwa obat-obat yang digunakan dalam
dunia kebidanan terutama dalam persalinan beberapa diantaranya adalah lidokain,
oksitosin syntocinon, dan methergin. Adapun fungsi dari setiap obat-obatan tersebut
berbeda-beda. Lidokain adalah obat yang digunakan untuk anestesia infiltrasi (anestesia
lokal) dan blok saraf. Salah satu fungsi lidokain adalah anestesi lokal untuk memperbaiki
episiotomi dan laserasi serta blok pundedus saat proses persalinan pervaginam spontan,
forsep rendah atau persalinan dengan bantuan vakum atau penjahitan episiotomi.
Ositosin syntocinon merupakan obat yang digunakan untuk menginduksi persalinan serta
memperbaiki motilitas otot uterus. Methergin merupakan obat untuk memperbaiki
motilitas uterus dan mengontrol perdarahan. Adapun farmakokinetik, farmakodinamik,
interaksi obat, serta interaksi farmakokinetik setiap obat berbeda-beda.

20
DAFTAR PUSTAKA

Sinclair, Constance. 2010. Buku Saku Kebidanan. Jakarta : EGC


Tiran, Denise. 2006. Kamus Saku Bidan. Jakarta : EGC
Alodokter. 2015. Pengertian Lidokain. http://www.alodokter.com/lidocaine. Diakses 7
September 2016
Bangun. 2012. Chapter II.pdf- USU Institutional Repository.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/32609/4/Chapter%20II.pdf. Diakses 7
September 2016
Jordan, Sue. 2004. Farmakologi Kebidanan. Jakarta : EGC
Samodro, Ratno ; Doso Sutiyono dan Hari Hendriarto Satoto. 2011. Mekanisme Kerja Obat
Anestesi Lokal. Jurnal Anestesiologi Indonesia. Vol III, No 1 (48-59).
Syarif, Amir dkk. 2012. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Kee, Joyce.L dan Evelyn R. Hayes. 1996. Farmakologi Pendekatan Proses Keperawatan.
Jakarta : EG. https://books.google.co.id/. Diakses 8 September 2016.
Katzung, B.G. 1995. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta : EGC

21

Anda mungkin juga menyukai