Kelas II A
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah swt atas taufik dan hidayah-Nya,
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kesehatan masyarakat tentang Obat-Obat yang
Digunakan dalam Dunia Kebidanan. Makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini masih jauh dari sempurna,
oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi pembaca dan bermanfaat untuk
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KataPengantar ....................................................................................................................i
Daftar Isi .............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................................1
1.3 Tujuan .....................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Lidokain
2.1.1 Pengertian Lidokain .....................................................................................4
2.1.2 Farmakokinetik ........................................................................................... 4
2.1.3 Farmakodinamik ......................................................................................... 5
2.1.4 Interaksi Obat .............................................................................................. 9
2.1.5 Dosis………………………………………………………………………..9
2.1.6 Sediaan……………………………………………………………………...9
2.1.7 Cara Pemberian…………………………………………………………….10
2.1.8 Cara Penyimpanan …………………………………………………...……10
2.2 Oksitosin
2.2.1 Pengertian Oksitosin ....................................................................................11
2.2.2 Farmakokinetik ........................................................................................... 11
2.2.3 Farmakodinamik ......................................................................................... 11
2.2.4 Interaksi obat ............................................................................................... 15
2.2.5 Dosis……………………………………………………………………….15
2.2.6 Sediaan………………………………………………………………….…16
2.2.7 Cara Pemberian……………………………………………………………16
2.2.8 Cara Penyimpanan…………………………………………………………16
2.3 Methergin
2.3.1 Pengertian Methylergometrine ....................................................................16
2.3.2 Farmakokinetik ........................................................................................... 17
ii
2.3.3 Farmakodinamik ......................................................................................... 17
2.3.4 Interaksi Obat .............................................................................................. 18
2.3.5 Dosis…………………………….…………………………………………18
2.3.6 Sediaan…………………………………………………………………….19
2.3.7 Cara Pemberian……………………………………………………………19
2.3.8 Cara Penyimpanan………………………………………………………...19
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
11. Bagaimana farmakodinamik darioksitosin sintosinon ?
12. Bagaimana interaksi obat dari oksitosin sintosinon ?
13. Berapa dosis oksitosin sintosinon ?
14. Apa saja sediaan oksitosin sintosinon ?
15. Bagaimana cara pemberian oksitosin sintosinon ?
16. Bagaimana cara penyimpanan oksitosin sintosinon ?
17. Apa pengertian methylergometrine (methergin)?
18. Bagaimana farmakokinetik dari methylergometrine (methergin)?
19. Bagaimana farmakodinamik dari methylergometrine (methergin)?
20. Bagaimana interaksi obat dari methylergometrine (methergin)?
21. Berapa dosis methylergometrine (methergin) ?
22. Apa saja sediaan methylergometrine (methergin) ?
23. Bagaimana cara pemberian methylergometrine (methergin) ?
24. Bagaimana cara penyimpanan methylergometrine (methergin) ?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian lidokain
2. Untuk mengetahui farmakokinetik dari lidokain
3. Untuk mengetahui farmakodinamik dari lidokain
4. Untuk mengetahui interaksi obat dari lidokain
5. Untuk mengetahui dosis dari lidokain
6. Untuk mengetahui sediaan lidokain
7. Untuk mengetahui cara pemberian lidokain
8. Untuk mengetahui cara penyimpanan lidokain
9. Untuk mengetahui pengertian oksitosin sintosinon
10. Untuk mengetahui farmakokinetik dari oksitosin sintosinon
11. Untuk mengetahui farmakodinamik darioksitosin sintosinon
12. Untuk mengetahui interaksi obat dari oksitosin sintosinon
13. Untuk mengetahui dosis dari oksitosin sintosinon
14. Untuk mengetahui sediaan oksitosin sintosinon
15. Untuk mengetahui cara pemberian oksitosin sintosinon
16. Untuk mengetahui cara penyimpanan oksitosin sintosinon
17. Untuk mengetahui pengertian methylergometrine (methergin)
18. Untuk mengetahui farmakokinetik dari methylergometrine (methergin)
2
19. Untuk mengetahui farmakodinamik dari methylergometrine (methergin)
20. Untuk mengetahui interaksi obat dari methylergometrine (methergin)
21. Untuk mengetahui dosis dari methylergometrine (methergin)
22. Untuk mengetahui sediaan methylergometrine (methergin)
23. Untuk mengetahui cara pemberian methylergometrine (methergin)
24. Untuk mengetahui cara penyimpanan methylergometrine (methergin)
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Lidokain
2.1.1 Pengertian Lidokain
Lidokain adalah obat yang digunakan untuk anestesia infiltrasi (anestesia
lokal) dan blok saraf. Bidan di Inggris boleh menggunakan larutan obat anestesia
ini hingga konsentrasi 1% untuk memberikan anelgesia perineum sebelum
melakukan episiotomi dan perbaikan perineum (Tiran, 2006). Lidocaine adalah
obat anastesi lokal yang menyebabkan hilangnya sensasi rasa sakit pada tubuh,
(Alodokter, 2015).
4
pemberiannya. Metabolit ini bertanggung jawab atas beberapa efek toksik yang
ditimbulkan oleh lignokain (Kuhnert, 1993).
2.1.3 Farmakodinamik (mekanisme kerja, efek samping obat, efek merugikan, efek tak
terduga)
a) Mekanisme Kerja Obat Anestesi Lokal
Komunikasi dalam sistem saraf dan aktifitas mekanis dalam otot
bergantung pada eksitabilitas-elektris membran sel jaringan. Timbulnya
impuls saraf bergantung pada produksi potensial aksi dalam membran sel
pada akson neuron. Kerja utama obat anestesi lokal adalah untuk mengurangi
kemampuan saraf dalam menghantarkan potensial aksi dan impuls saraf
(Jordan, 2004).
Pada saat istirahat, membran sel saraf dan otot berada dalam keadaan
terpolarisasi (atau bermuatan). Kalau suatu potensial aksi dipicu, saraf
tersebut akan mengalami depolarisasi atau (melepaskan muatannya) lewat
influksi ion natrium yang cepat, kejadian ini akan diikuti oleh peristiwa
repolarisasi (pemuatan kembali) karena terjadinya efluksi ion kalium. Obat
anestesi lokal mencegah influksi ion natrium yang cepat dengan menyekat
saluran natrium dalam membran sel saraf. Keadaan ini akan menghambat
pembentukan potensial aksi dan mencegah transmisi impuls serta sinyal
disepanjang akson dan menyekat fungsi syaraf yang normal (Jordan, 2004).
5
menggigil, keadaan gelisah, euforia, gemeteran, mual, tremor, konvulsi,
depresi pernafasan, koma dan kematian. Pada pemberian intravena yang
tidak disengaja, respons awal terhadap obat anestesi lokal biasanya
berupa eksitasi, kegelisahan, tremor, dan bahkan konvulsi (Hughes,
1992). Eksitasi paradoksal ini akan diikuti oleh depresi SSP khususnya
depresi pernafasan. Namun demikian, jika pemberian sistemik lidokain
atau bupivikain berlangsung cepat, respons eksitasinya tidak terlihat.
Sebaliknya, ibu hamil yang mengalami hal tersebut hanya
memperlihatkan depresi SSP dan respiratory arrest yang mendadak,
(Jordan, 2004).
6
Pada saat dilahirkan, neonatus akan bergantung pada respons
refleksnya sendiri terhadap asfiksia dengan menarik nafas pertama, dan
refleks ini bergantung pada aktivitas sistem saraf simpatiknya. Dengan
pemberian obat anestesi lokal pada ibu, respons refleks neonatus
terhadap kelahirannya dapat tertekan sehingga diperlukan pemeriksaan
yang lebih cermat dan mungkin tindakan yang segera oleh bidan (Jordan,
2004).
Hipotensi
Obat anestesi lokal menghambat sistem saraf simpatik yang
betanggung jawab untuk mempertahankan kontriksi arteriole dan
tekanan darah serta frekuensi jantung dalam batas yang normal. Karena
itu, obat ini dapat berpotensi mengganggu sistem kardiovaskuler dengan
menimbulkan hipotensi, bradikardia dan bahkan henti jantung. Hipotensi
maternal yang signifikan secara klinik yaitu penurunan tekanan darah
sistolik pra-anestesi sebesar 20-30% atau tekanan darah sistolik dibawah
100mmHg, terjadi 5-15% proses melahirkan dengan pemberian anestesi
epidural dan 5-82% proses melahirkan dengan anestesi spinal (Hollmen,
1993; Shennan et al, 1995).
Obat anestesi lokal yang menimbulkan vasodilatasi dapat
mengurangi kemampuan pembuluh darah untuk melakkan vasokontriksi
sebagai respons terhadap pendarahan. Karena itu, pendarahan yang tidak
begitu berat sekalipun dapat terjadi hipotensi dan kemungkinan
terjadinya kehilangan darah postpartum akan semakin meningkat
(Beische et.al, 1997). Namun, untuk tindakan seksio Caesarea, jumlah
darah yang hilang lebih sedikit daripada tindakan bedah dengan anestesi
umum (Lertakyamanee et al, 1999). Setiap keadaan hipotensi maternal
harus segera diketahui karena aliran darah ke daam uterus dan demikian
pula oksigenasi janin akan berkurang dalam kaitannya secara langsung
dengan tekanan darah maternal. Dengan mengorbankan pasokan darah
ke dalam plasenta, keadaan hipotensi maternal dapat menyebabkan
asidosis fetal dan menekan sistem saraf pusat neonatus (Roberts et al,
1995). Secara klinik mungkin sulit untuk mengaitkan abnormalitas
frekuensi detak jantung janin dengan kerja langsung obat tersebut,
7
kendati asidosis fetal pada saat seksio Caesarea merupakan komplikasi
obat anestesi lokal yang sudah diakui (Steer, 1995).
Muskuloskeletal
Saat diinjeksikan langsung ke dalam otot, skeletal (trigger-point injeksi),
anestesi, lokal adalah miotoksik (bupivacaine >lidocaine > procaine).
Secara histologi, hiperkontraksi miofibril menyebabkan degenarasi litik,
edema, dan nekrosis. Regenerasi biasanya timbul setelah 3-4 minggu.
Steroid tambahan atau injeksi epinefrin memperburuk nekrosis otot.
Data penelitian hewan menunjukkan bahwa ropivacaine menghasilkan
kerusakan otot yang tidak terlalu berat dibanding bupivacaine (Samodro,
Sutiyono, dan Satoto, 2011).
Hematologi
Telah dibuktikan bahwa lidokain menurunkan koagulasi (mencegah
trombosis dan menurunkan agregasi platelet) dan meningkatkan
fibrinolysis dalam darah yang diukur dengan thromboelastography.
Pengaruh ini mungkin berhubungan dengan penurunan efikasi autolog
8
epidural setelah pemberian anestesi lokal dan insidensi terjadinya emboli
yang lebih rendah pada pasien yang mendapatkan anestesi epidural
(Samodro, Sutiyono, dan Satoto, 2011).
c) Indikasi
Local anesthica untuk penjahitan episiotomi dan laserasi
d) Kontraindikasi
Ibu dengan Hypotensi
9
2.1.7 Cara Pemberian Lidokain
Berikan anestesia lokal secara dini agar obat tersebut memiliki cukup waktu
untuk memberikan efek sebelum episiotomi dilakukan. Episiotomi adalah tindakan
yang menimbulkan rasa sakit dan menggunakan anestesia lokal adalah bagian dari
asuhan sayang ibu.
1. Jelaskan kepada ibu apa yang akan anda lakukan dan bantu dia untuk merasa
rileks.
3. Pastikan bahwa tabung suntik memiliki jarum ukuran 22 dan panjang 4 cm (jarum
yang lebih panjang boleh digunakan, jika diperlukan).
4. Letakkan dua jari ke dalam vagina di antara kepala bayi dan perineum.
5. Masukkan jarum di tengah fourchette dan arahkan jarum sepanjang tempat yang
akan di episiotomi.
6. Aspirasi (tarik batang penghisap) untuk memastikan bahwa jarum tidak berada di
dalam pembuluh darah. Jika darah masuk ke dalam tabung suntik, jangan
suntikkan lidokain, tarik jarum tersebut keluar. Ubah posisi jarum dan tusukkan
kembali.
Alasan: Ibu bisa mengalami kejang dan bisa terjadi kematian jika lidokain
disuntikkan ke dalam pembuluh darah.
2. Tarik jarum bila sudah kembali ke titik asal jarum suntik ditusukkan. Kulit
melembung karena anestesia bisa terlihat dan dipalpasi pada perineum di
sepanjang garis yang akan dilakukan episiotomi.
10
2.2 Oksitosin (Syntosinon)
2.2.1 Pengertian Oksitosin
Oksitosin adalah hormon yang disekresikan oleh lobus posterior kelenjar
hipofisis dan menimbulkan stimulasi (yaitu, kontraksi) pada miometrium uteri.
Oksitosin juga menyebabkan ejeksi ASI dari alveoli mammae ke dalam duktus
laktiferus pada saat bayi menyusu. Oksitosin sintetik (Syntocinon) dapat
disuntikan secara intravena untuk menginduksi atau menguatkan persalinan atau
secara intramuskuler atau intravena untuk menimbulkan kontraksi otot rahim
sesudah plasenta dilahirkan dan untuk mengendalikan perdarahan postpartum.
Oksitosin sintetik dapat pula digabungkan dengan ergometron untuk
memproduksi syntometrine (Tiran, 2006). Oksitosin (Syntocinon) dibuat untuk
reproduksi bangunan dan kerja hormon yang alami. Sekresi oksitosin endogenus
tidak disupresi oleh mekanisme umpan balik yang negatif. Sintosinon artifisial
tidak akan mensupresi pelepasan oksitosin endogenus (Jordan, 2004).
2.2.3 Farmakodinamik (mekanisme kerja, efek samping obat, efek merugikan, efek tak
terduga)
a) Mekanisme Kerja
Awitan kerja dari oksitosin yang diberikan secara intramuskular timbul
3-5 menit, waktu untuk mencapai puncak konsentrasi belum diketahui dan
11
lama kerjanya adalah 2-3 jam. Awitan kerja dari oksitosin yang diberikan
secara intravena terjadi segera, waktu untuk mencapai puncak konsentrasiya
tidak diketahui dan lama kerjanya adalah 20 menit. Obat diberikan secara
intravena untuk mengiduksi kehamilan atau mempercepat persalinan.
Kerja Oksitosin yang lain meliputi : kontraksi tuba uterine untuk
membantu pengangkutan sperma, peranan neurotransmitter yang lain dalam
sistem saraf pusat. Oksitosin disintesiskan dalam hipotalamus, kelenjar
gonad, plasenta dan uterus. Mulai dari usia kehamilan 32 minggu dan
selanjutnya, konsentrasi oksitosin dan demikian pula aktivitas uterus akan
lebih tinggi pada malam harinya (Hirst et al,1993)
b) Efek Samping
Bila oksitosin sintetik diberikan, kerja fisiologis hormon ini akan
berambah sehingga dapat menimbulkan efek samping yang potensial
berbahaya. Efek samping tersebut yaitu stimulasi berlebih pada uterus,
kontraksi pembuluh darah tali pusat, kerja antidiuretika, kerja pada pembuluh
darah (kontraksi dan dilatasi), mual, reaksi hipersensitivitas (Jordan, 2004).
Stimulasi berlebih pada uterus
Selama sembilan bulan terakhir kehamilan, daya reaksi otot rahim
terhadap oksitosin meningkat sebesar delapan kali lipat (Graves, 1996).
Bila dilakukan pemberian oksitosin, baik frekuensi maupun kekuatan
kontraksi otot polos rahim akan meningkat sehingga rasa nyeri
persalinan semakin hebat (Olah da Gee, 1996). Peguatan persalinan
dengan oksitosin membawa risiko hiperstimulasi uterus, karena beberapa
individu hipersensitif terhadap oksitosin, pemberian infus oksitosin
selalu mengandung bahaya kontraksi uterus tetanik atau spasmodk
sekalipun dosis yang diberikan sudah rendah (BNF, 2000).
Pemberian oksitosin akan mengganggu masuknya kepala janin ke
dalam serviks (Allman et al, 1996). Jika serviks tidak melunak atau
mengalami dilatasi, proses persalinan tidak dapat berlangsung dan dalam
keadaan ini kontraksi uterus yang keras, lama serta kuat dapat
menimbulkan konsekuensi yang serius diantaranya :
Trauma pada neonatus dan ibu
12
Jika bayi dipaksa lahir melewati serviks yang masih belum
berdilatasi secara lengkap, jaringan lunak ibu dapat mengalami
laserasi (luka yang disebabkan oleh robekan, bukan bentuk yang
teratur seperti sayatan bedah) yang luas.
Ruptura Uteri
Kemungkinan terjadinya ruptura uteri lebih kecil pada ibu yang
multipara kendati peristiwa tersebut pernah terjadi. Pemberian
oksitosin merupakan kontraindikasi pada ibu hamil dengan risiko
ruptura uteri yang tinggi seperti misalnya grande multipara,
kehamilan kembar dan polihidramnion atau pada ibu hamil dengan
sikatriks pada rahimnya (BNF, 2000).
Perdarahan Postpartum
Keadaan ini sudah pernah terjadi, tetapi mungkin berkaitan dengan
komplikasi obstetrol atau ruptura uteri dan bukan karena
hiperstimulasi uterus (Reynolds et al, 1996).
Hematoma Pelvik
Hematoma adalah didapatkannya gumpalan darah sebagai akibat
cidera atau robeknya pembuluh darah wanita hamil aterm tanpa
cidera mutlak pada lapisan jaringan luar. Keadaan ini dapat terjadi
karena kontraksi yang kuat. Jika hematomanya luas, deplesi faktor-
faktor pembekuan dapat terjadi sehingga timbul koagulopati
intravaskuler diseminata, kegagalan koagulasi dan perdarahan.
Solusio Plasenta
Terlepasnya sebagian atau seluruh perukaan maternal plasenta dari
tempat implantasinya yang normal pada lapisan desibua
endometrium sebelum waktunya yaitu anak lahir. Solusio plasenta
berkaitan dengan kontraksi uterus yang kuat dan turut terlibat dalam
peristiwa kematian Ibu.
Emboli Cairan Amnion
Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh rposes persalinan yang sulit,
khususnya jika di dalam caoran amnion terlihat noda-noda
mekonium atau bila sudah terjadi kematian janin in utero.
Hipoksia Fetal
13
Pada saat kontraksi uterus terjadi kompresi pembuluh darah yang
mengganggu pengangkutan oksigen ke dalam uterus, plasenta dan
janin. Normalnya, oksigenasi akan pulih kembali setelah terjadi
relaksasi uteru dan pemulihan keadaan ini mencegah penumpukan
asam laktat. Akan tetapi, jika uterus mengalami stimulasi yang
berlebihan dan relaksasinya terlalu singkat, maka akan terjadi
hipoksia serta asidosis pada janin (Kulb, 1990).
14
2.2.4 Indikasi
Sebagai stimulan uterus pada :
1. Induksi partus aterm.
2. Inertia uteri (atonia uteri) atau hipotoni uteri.
3. Perdarahan post-partum.
4. Abortus inkompletus kehamilan setelah 20 minggu.
2.2.5 Kontraindikasi
Toksemia, disproporsi sevalopelvik, distres janin, hipersensitivitas, persalinan
nonvaginal yang telah diantisipasi, kehamilan (intranasal), Disproporsi
sefalopelvik, Malpresentasi, Plasenta previa, Jaringan ikat pada uterus akibat
sectio caesarea.
2.2.7 Dosis
a) Injeksi intravena :
Induksi partus : mula-mula 0.5 miliunit/menit; dapat ditambah 1 – 2
miliunit/menit tiap 30 – 40 menit sampai kontraksi uterus optimal (3 – 4
kali kontraksi tiap 10 menit).
15
Induksi partus aterm : 8 – 10 miliunit/menit sudah cukup.
b) Infus :
Mencegah atoni atau perdarahan post-partum : 20 – 40 miliunit/mL dalam
larutan elektrolit dengan kecepatan 40 miliunit/menit.
2.2.6 Sediaan
P = TD
L = 2 – 3 jam
P = TD
L = 1 jam
P = TD
L = 20 menit
a) Suhu di bawah 25 0C
16
b) Sebaiknya 2 – 10 0C
c) Terlindung dari sinar langsung.
2.3 Methergin
2.3.1 Pengertian Methylergometrine atau Methergin
Methylergometrine (Methergin) merupakan obat golongan alkaloid ergot
semi sintetis yang mengandung zat aktif methylergonovine maleate. Methergin
tersedia dalam bentuk tablet dan suntikan. Obat ini bekerja pada otot polos rahim
secara langsung meningkatkan tonus, frekuensi, dan amplitudo dari ritme
kontraksi rahim. Peningkatan kontraksi ini berguna untuk mencegah dan
mengontrol perdarahan rahim setelah melahirkan (post partum). Methergin
bekerja cepat, yaitu sekitar 5-10 menit setelah diminum.
17
Pembuluh darah mengalami vasokonstraksi sehingga tekanan darah naik
dan terjadi efek oksitosik pada kandungan mature
c) Indikasi Methylergometerine
Penanganan aktif kala ke-3 proses kelahiran, atonia (tidak adanya tegangan
atau kekuatan otot)/perdarahan rahim, perdarahan dalam masa nifas, subinvolusi
(mengecilnya kembali rahim sesudah persalinan hampir seperti bentuk asal),
lokiometra (pembendungan getah nifas di dalam rongga rahim).
d) Kontraindikasi Methylergometerine
Wanita hamil, belum terjadi penurunan kepala tetapi persalinan telah
memasuki kala pertama dan kedua, hipertensi berat, toksemia hipertensif,
penyakit sumbatan pembuluh darah, sepsis (reaksi umum disertai demam karena
kegiatan bakteri, zat-zat yang dihasilkan bakteri, atau kedua-duanya),
hipersensitifitas. Gangguan fungsi hati atau ginjal. Hati-hati penggunaan pada
penderita hipertensi, penyakit hati, jantung, ginjal, infeksi puerpuralis dan
penyakit penyumbatan pembuluh darah. Tidak dianjurkan untuk induksi partus
karena masa kerja yang lama dan memberikan kontraksi uterus non fisiologik.
18
2.3.4 Interaksi Obat Methylergometerine
Makrolid, protease HIV atau penghambat transkiptase, anti jamur azole,
vasokonstriktor lain atau alkaloid ergot, bromokriptin, anestesi. Obat tersebut
dapat menurunkan efektivitas methergin dan dapat meningkatkan resiko efek
samping methergin.
19
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan hal diatas dapat disimpulkan bahwa obat-obat yang digunakan dalam
dunia kebidanan terutama dalam persalinan beberapa diantaranya adalah lidokain,
oksitosin syntocinon, dan methergin. Adapun fungsi dari setiap obat-obatan tersebut
berbeda-beda. Lidokain adalah obat yang digunakan untuk anestesia infiltrasi (anestesia
lokal) dan blok saraf. Salah satu fungsi lidokain adalah anestesi lokal untuk memperbaiki
episiotomi dan laserasi serta blok pundedus saat proses persalinan pervaginam spontan,
forsep rendah atau persalinan dengan bantuan vakum atau penjahitan episiotomi.
Ositosin syntocinon merupakan obat yang digunakan untuk menginduksi persalinan serta
memperbaiki motilitas otot uterus. Methergin merupakan obat untuk memperbaiki
motilitas uterus dan mengontrol perdarahan. Adapun farmakokinetik, farmakodinamik,
interaksi obat, serta interaksi farmakokinetik setiap obat berbeda-beda.
20
DAFTAR PUSTAKA
21