Oleh:
TOPIK / CODE : HI -1
Diagnosa keperawatan:
a. Gangguan perfusi serebral b.d gangguan aliran vaskuker serebral, edema serebrak
dan kerusakan struktur serebral
b. Resiko cidera b.d gangguan fungsi regulasi biokimia (neurotrasmiter)
c. Resiko gangguan pertukaran gas b.d depresi sistem saraf pusat (SSP)/ trauma
cerebral
7. Sebutkan 3 rencana tindakan untuk diagnosa keperawatan diatas
10. Hal-hal yang perlu (penting) dilakukan oleh perawat GICU untuk pasien tersebut
Pemantauan (observasi) : Status neurologi (terutama indikator yang
berhubungan dengan ICP dan Cerebral Blood Flow: kulitas kesadaran, GCS dan
agitasi serta indikator neurologis lainnya) dan status pernafasan, status
kardiovaskuler yang diperiksa seriap 1 jam. Perawat juga perlu mengidentifikasi
kemunginan cidera fisik seperti jatuh dan kemungkinan kejang.
Tindakan mandiri keparawatan: tindakan – tindakan yang menurunkan ICP
dan mempertahankan sirkulasi serebral dengan mempertahankan elevasi kepala,
menghindari valsava manufer, meningkatkan ekspansi paru dengan posisi
semifowler, pemantauan semua keadekuatan peralatan yang terpasang dengan
pasien seperti infus, masker oksigen, electroda monitor dan peralan lainnya serta
restrain mekanis pada pasien kejang jika diperlukan.
Edukasi: mengajarkan dan melibatkan keluarga dalam perawatan pasien misal
mengajarkan keluarga untuk memberikan stimulasi kognitif dengan pasien.
Kolaborasi: berkolaborasi dalam pemberian obat – obatan neuroprotektor,
cardiovaskuler dan sedatif termasuk pemeriksaan laboratorium yang diperlukan.
Magister Keperawatan – UNPAD
Keperawatan Kriris 1
Kasus sepsis
Pertanyaan:
1. Apakah pengkajian /pemeriksaan tambahan yang perlu dilakukan pada pasien di atas?
Jelaskan alasannya
a. Pengkajian fisik tambahan
Sistem neurologi: tingkat kesadaran pasien dan GCS untuk mengevaluasi
perfusi serebral pasien dimana pada pasien terjadi penurunan status
hemodinamik (MAP: 60 mmHg) seharusnya pada kondisi normal > 70 mmHg
Sistem respirasi: inspeksi (kesimetrisan pergerakan dinding dada & retraksi),
palpasi (kesimetrisan dan hantaran suara pada struktur paru atau taktil fremitus),
perkusi (seharusnya resonan/sonor menandakan bebas dari kongesti paru)
karena pada pasien sepsis dapat mengalami kongesti paru akibat peningkatan
permeablitas kapiler paru akibat vasodilatasi, auskultasi (vesikuler pada seluruh
lapangan paru kecuali terjadi kongesti paru dapat berubah menjadi rales dan
atau wheezing).
Kardiovaskuler: pemeriksaan CRT, asuhu akral, mukosa oral dan turgor kulit
dan bunyi jantung. Pada pasien sepsis terjadi perpindahan cairan ke spasium ke
tiga sehingga perlu pengkajian indikator cardiovaskuler lainnya.
Gastrointestinal: perdarhan lambung tidak terjadi karena pasien memperoleh
nutrisi enteral, perlu dilakukan pemeriksaan rektal touch (DRE) atau warna
feses untuk mengkaji melena karena pada sepsis terjadi penurunan fungsi
pembekuan darah (perdarahan). Kaji adanya asites (perpindahan cairan ke
spasium ke-3), termasuk laju peristaltik dimana pada pasien dengan penurunan
kadar kalium seum dapat menyebabkan hipoperistaltik.
Sistem perkemihan: perlu mengkaji warna urin untuk menilai status dehidrasi
Muskuloskeltal dan kulit: perlu mengkaji tonus otot (kekuatan otot) karena
berhubungan dengan cairan dan elektrolit serta perlu mengkaji adanya eritema
atau puprura pada kulit menandakan perdarahan.
b. Pemeriksaan penunjang tambahan
Pemeriksaan Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) Score untuk
memrediksi motalitas di ICU berdasarkan temua klinis dan lobarotorium
Pemeriksaan mirosirkulasi status:
o Pemeriksaan laktat serum (normal <2 mmol/L). Peningkatan laktat
diakibatkan oleh perfusi O2 ke jaringan yang buruk sehingga terjadi
metabolisme anaerob dengan hasil metabolisme laktat serum.
o Delivery oxygen (DO2): cardiac ouput (CO) x Content artery O2 (CaO2)
o Komponen CaO2: Hb (ada dalam kasus 9.2 g/dL), Saturasi O2 (SatO2) dan
tekanan partial O2 (PaO2) melalui pemeriksaan analisa gas darah arteri
(AGDA).
RumusCaO2 = (Hb x 1.39 x SaO2) + (PaO2 x 0.003)
o Pemeriksaan saturasi mix-venous (SVO2) yang ukur dengan saturasi vena
sentral (SCVO2) menggunakan sampel darah vena dari central venous
cateter (CVC) normalnya > 70%. Penurunan SCVO2 menandakan pasien
syok septik.
o Pemeriksaan base exces (BE) dan base defisit (BD) melalui analisa gas
darah. Penurunan nilai basa (BD) menunjukkan asidosis laktat.
2. Dilihat dari fungsi faal ginjal bagaimana kondisi pasien tersebut dapat terjadi? Mengapa
hal itu bisa terjadi jelaskan patofisiologinya?
Pada sepsis, terjadi pelepasan mediator inflamasi sitokin TNF dan IL 1 menyebabkan
penurunan ikatan tight jungtion antara lapisan sel endotel vaskuler. Hal ini menyebabkan
peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi perpindahan sejumlah besar plasma
ke interstitial. Selain itu mediator inflamasi juga mengganggu proses pembekuan darah
sehingga menyebabkan perdarahan. Penurunan volume vaskuler menyebabkan
penurunan preload sehingga untuk memenuhi stroke volume maka terjadi peningkatan
denyut jantung dan vasokontriksi perifer (akral dingin). Vasokonstriksi vaskuler
menyebabkan penurunan sirkulasi ke ginjal dan menurunkan laju filtrasi ginjal. Selian itu
endotel ginjal juga mengalami kerusakan akibat radikal bebas yang dimediasi oleh
mediator inflamasi sehinggaa terjadi kebocoran albumin dari ginjal. Penurunan albumin
serum berakibat pada penurunan tekanan onkotik vaskuler yang menyebabkan
peningkatan kehilangan plasma ke insterstial yang memperberat status hemodinamik dan
menurunkan laju filtrasi ginjal. Akibatnya sampah metabolisme seperti ureum dan
creatinin meningkat dalam plasma.
3. Berdasarkan data-data diatas buat analisa data dan tentukan masalah keperawatannya
4. Susun nursing care plan sesuai dengan masalah keperawatan pada kasus di atas
berdasarkan guidelines sepsis terbaru.
Diagnosa Kriteri hasil (outcome) Intervensi
Penururan curah Status sirkulasi Pemantauan dan Manajemen Cairan
jantung bd Pasien Pantau tanda-tanda vital (TD, MAP, N, S
penurunan mencapai/mempertahankan RR) dan O2 (SpO2 dan PaO2) dan AGD
preload dan TD dan DO2 yang stabil. serial jika diindikasikan serta kontraktilitas
gangguan Serum laktat dalam batas jantung (EKG)
afterload normal. Catat intake output dan BB harian
Akral hangat Kaji adanya tanda-tanda perdarahan
Turgor kulit dan mukosa (misalnya perdarahan GI, feses, atau urin);
baik amati adanya petechiae, memar
Atur tetesan infus kristaloid sesuai order
(RL/8 jam) dan pertimbangkan pemb.
Kolaborasi dlm pemantauan laktat serial
hingga batas normal dan profil perdarahan
Kolaborasi pemberian vasopresor
(Norepineprin start target MAP ≥ 65 mmHg)
Kolaborasi dlm pemberian koloid dan produk
darah jika diindikasikan
Gangguan Status Pernafasan Pemantauan Respirasi & Terapi Oksigen
pertukaran gas b.d AGDA dalam batas normal. Pantau SpO2 dan nilai-nilai AGDA, RR dan
edema pulmonal Pasien tidak memiliki bukti pola pernapasan, dan kemampuan batuk,
dan asites edema paru atau atelektasis. Bantu pasien untuk berubah posisi, suction
Suara nafas vesikuler jika diindikasikan.
bilateral. Berikan perkusi dada dengan drainase
postural jika diindikasikan..
Pantau efek asites pada upaya pernapasan.
Head up kepala tempat tidur 30o untuk
meningkatkan gerakan diafragma
Berikan O2 sesuai order (NRM 10 LPM) dan
kolaborasi dalam intubasi dan ventilasi
mekanis jika diperlukan
Resiko Keparahan cidera fisik Pencegahan Perdarahan
perdarahan b.d Tidak ada tanda perdarahan Pantau tanda – tanda perdarahan (ekimosis
perubahan fungsi pada kulit maupun organ pada kulit, hematemesis dan melena pada GI)
koagulasi internal (hematemesis & Pantau PLT dan profil pembekuan darah
melena) lainnya
PLT dn profil pembekuan Berikan perawatan mulit dengan lembut,
darah dalam batas normal. hindari benda – benda yang dapat mengiritasi
mukosa mulut
Lakukan perawatan kulit dan cegah
kekeringan kulit serta cegahkerusakan, iritasi
dan trauma pada kulit
Kolaborasi dalam pemnerian plasma dan
produk darah lainnya
Kolaborasi pemberian obat – obatan PPI
(cegah GI bleeding) dgn Omperazole 2x40
mg
Kolaborasi dalam pemberian anti koagulan
(Heparin 2 x 500 iu,)
Luka Bakar
1. Jelaskan resusitasi cairan pada fase akut yang harus diberikan pada klien beserta pilihan
jenis cairannya!
Rumus Baxter (Parklan)
Penghitungan pada pasien (luka bakar dengan derajat ≥ 2: kepala 6.5%, leher 4.5%
dan 2% pada kedua telapak kaki). Total TBSA luka bakar: 13%, BB pasien: misal
80 kg (tidak terdapat di dalam kasus)
Resusitasi cairan: 4 ml x 80 kg x 13% = 4.160 ml
o Pada pukul 14.00 wib s.d 22.00 wib di RSHS (8 jam pertama): 2.080 mL (4
kolf)
o Pukul 22.00 wib s.d 06.00 wib hari berikutnya/hari ke-2 (8 jam kedua): 1.040
mL (2 kolf)
o Pukul 06.00 wib s.d 14.00 wib hari kedua (8 jam ketiga): 1.040 mL (2 kolf)
Cairan 24 jam berikutnya: Dextrose 5%, ditambah Kalium dan cairan koloid dengan
rumus total cairan (0.3 – 0.5 mL/KgBB/% TBSA) (Motron & Fountain, 2013).
2. Tentukan diagnosa keperawatan yang diperoleh berdasarkan hasil analisis data dari kasus
diatas!
3. Tentukan diagnosa keperawatan prioritas pada kasus tersebut dan jelaskan alasannya!
Diagnosa keperawatan prioritas: Defisit volume cairan bd penurunan preload dan
gangguan afterload.
Alasan: masalah cairan merupakan masalah utama pada pasien ditandai dengan
penurunan perfusi serebral yang menyebabkan penurunan kesaran, penurunan urin ouput
karena evaporasi cairan melalui kulit yang rusak. Sementara untuk nyeri telah ditangani
dengan analgesik (dimana disebutkan pada kasus, pasien saat ini di bawah pengaruh obat
analgetik).
4. Susunlah rencana asuhan keperawatan berdasarkan diagnosa keperawatan prioritas sesuai
dengan jawaban soal sebelumnya!
Sistem Urinary
Pasien didiagnosis AKI ketika dari hasil pemeriksaan darah terjadi peningkatan
(1) Kreatinin serum 0.3 mg/dL atau lebih dari nilai baseline atau peningkatan 1/5 – 2 kali
dari nilai base line (AKI level 1)(Morton & Fountain, 2013)
Ditemukan pula hasil laboratorium nilai Kalium 5,6 mEq, maka perawat perlu untuk
melakukan kolaborasi pemberian
(2a) Pemeriksaan EKG, pemberian diuretik dan pemberian potasium binding resin seperti
Sodium polystirene sulfat oral atau enema (dosis oral 15 – 30 g dalam 60 – 120 mL cairan
sorbitol 20% yang diberikan setiap 4 -6 jam sesuai indikasi atau rektal 50 g dlm 50 mL
sorbitol 70% dan ditambah 150 mL air keran dan dipertahankan didalam kolon selama 30 –
60 menit)
(2b)Pemberian Calcium Gluconate intravena terutama pada pasien dengan perubahan EKG
dan,
(2c) Pemberian zat yang apat memobilisasi kalium ke intraseluler (misal; pemberian insulin
intravena, pemberian dextrose intravena, pemberian bikarbonat dan obat –obatan beta 2
Adrenergik (namun kurang umum digunakan)
bila tidak efektif pemberian therapy maka perlu kolaborasi(4) terapi dyalisis (Morton &
Fontain, 2013)
Magister Keperawatan – UNPAD
Keperawatan Kriris 1
Diabetes mellitus
Pertanyaan?
a. Kondisi apa yang sedang terjadi pada klien? Jelaskan penyebabnya.
Saat ini pasien mengalami Hyperosmolar Hyperglycemic State (HHS) yang ditandai
dengan onset keluhan bertahap biasanya >5 hari (tidak mendadak) dan pada kasus
disebutkan onset berkembang dalam beberapa hari, HHS biasanya terjadi pada pasien >
60 th (pasien kasus berusia 65 tahun) dan biasa terjadi pada DM tipe 2(sesuai dengan
kasus), menurt teori, pasien HHS mengalami dehidrasi (ditandai lemah pada pasien
karena kehilangan cairan mual dan muntah); Tidak ada respirasi Kussmaul (RR pasien
30 kali/menit tidak disebutkan nafas kussmaul dikasus); gula darah sewaktu berdasarkan
teori, 400–4,000 mg/dL (pada kasus 650 mg/dl), dan tidak ditemukan keton dalam urin
(sesuai dengan pasien keton urin negatif) (Morton & Fontaine, 2013). Keluhan pasien
saat ini diperberat dengan infeksi saluran kemih.
b. Pengkajian dan pemeriksaan penunjang apa yang perlu dilakukan kepada klien untuk
membantu menentukan masalah keperawatan pada klien di atas?
Menurut Morton dan Fontain, (2013) anamnesia, pemeriksaan fisik dan penunjang pada
pasien dengan Hyperosmolar Hyperglycemic State (HHS) meliputi:
a. Anamnesa:
Cari tahu penyebab HHS biasanya iatrogenik seperti (penggunaan steroid, diit tinggi
glukosa atau kemungkinan menonak dialisis karena CKD). Cari tahu juga adanya
riwayat infeksi seperti pneumonia atau pankreatitis.
b. Pemeriksaan fisik:
Sistem neurologis: kaji apakah pasien mengantuk atau banyak tidur dalam
beberapa hari terakhir, pingsan bahkan koma
Sistem cardiovaskuler: CRT lambat, turgor jelek, mukosa kering, takikardia,
hipotensi, hipotermi, suhu akral dan peningkatan rasa haus
Sistem respirasi: kaji adanya peningkatan laju pernafasan dan pola serta
kedalaman nafas (misal; kussmaul)
Sistem perkemihan: kaji adanya poliuri dan peningkatan frekuensi BAK termasuk
urin output harus > 0,5 cc/kgBB/jam.
Sistem muskuloskeletal: kaji adanya kelemahan dengan memeriksa kekuatan otot
akibat penuruan energi (hiperglikemia) dan gangguan elektrolit misal kalium.
c. Pemeriksaan penunjang:
Pemeriksaan osmolaritas plasma dengan melakukan periksaan laboratorium
Natrium, GDS (serial)dan BUN. Peningkatan osmolaritas >310 mOsm/L
menunjukkan hiperosmolaritas plasma (dehidrasi)
Pemeriksaan urinalisis: untuk menilai terjadinya ketosis (terdapat keton dalam
urin) yang dapat berkembang menjadi diabetic ketoasidosis dan juga menilai
adanya peningkatan infeksi saluran perkemihan.
Pemeriksaan HbA1C: merupakan pemeriksaan yang bertujuan untuk menghitung
rata-rata gula darah dalam 1 bulan yang bertujuan untuk menilai kepatuhan pasien
dalam diit dan pengobatan.
Pemeriksaan Analisa gas darah bertujuan untuk menilai terjadinya asidosis
teruma asidosis metabolik akibat dari retensi hidrogen yang disebabkan
peningkatan laktat.
Pemeriksaan laktat. Nilai laktat > 2 mosm/L menandakan terdanya metabolisme
anerob akibat gangguan perfusi oksigen ke jaringan.
Pemeriksaan enzim pankreas seperti amilase yang berfungsi dalam metabolisme
glukosa.
b. Penatalaksanaan medis
1) Koreksi hipovolume dengan rehidrasi cairan isotonik (ringer lactat) beberapa
kasus menunjukkan kebutuhan cairan 9 – 12 liter dan mewaspadai tanda – tanda
overhidrasi seperi batuk dan krecles (kongesti paru) atau tanda – tanda dehidrasi
yang muncul.
2) Perlu koreksi kondisi hiperglicemik dengan insulin dosis rendah intravena (0,1
mg / kg / jam) dengan target glukosa mendekati (250 hingga 300 mg / dL)
3) Berikan cairan dektrose intravena untuk mencegah terjadinya penurunan
glukosa secara tiba – tiba (hipoglikemia akibat koreksi glukosa)
4) Pemberian antibiotik pada pasien dengan infeksi misal pankreatitis, pneumonia
atau infeksi saluran kemih
5) Jika terjadi edema serebral akibat asidosis laktat, berikan diuretik osmotik
manitol.
6) Koreksi keseimbangan elektrolit misal hiperkalemia (kalium keluar sel akibat
penurunan insulin) dengan pengguanan calsium glukonas
7) Berikan dukungan pernafasan dengan menggunakan masker non reabreather
jika diperlukan
e. Bagaimana pendapat Anda terkait kasus di atas dari sudut pandang etik dan patient
safety?
a. Sudut pandang etik
1) Respect for autonomy adalah menghargai kewenangan pasien dan keluarga
dalam membuat pilihan terhadap hidupnya sendiri. Sebelum mengambil
keputusan menolak dipasang kateter karena takut nyeri dan ingin berkemih di
toilet pasien dan keluarga perlu diedukasi tentang kegunaan dan kerugiaan jika
tidak dipasang kateter urin. Salah satu dampak negatif dari tidak menggunakan
kateter urin adalah peningkatan aktivitas ke kamar mandi yang dapat
meningkatkan konsumsi energi dan oksigen dan meeningkatkan produksi
energi melalui metabolisme anaerob (pada kondisi hiperglikemik) dan stress
fisiologis (pengeluaran hormon stress) yang berakibat pada perburukan kondisi
hiperglikemik pada pasien. Jika perlu libatkan tenaga medis profesional
lainnya seperti dokter dalam edukasi penggunaan kateter urin agar pasien mau
menggunakannya. Setelah diedukasi pasien diberi pilihan menggunakan atau
menolak kateter urin.
2) Informed consent: jika memang pasien betul – betul menolak pemasangan
kateter setelah dilakukan penjelasan maka pasien harus menandatangani
informed consent yang menyatakan segala resiko akibat tidak menggunakan
kateter ditanggung oleh diri pasien sendiri. Informed consent membutuhkan
saksi seperti keluarga dan perawat lainnya.
3) Non-maleficence adalah prinsip “do no harm” tidak menambah penderitaan
pasien melalui pemberian perawatan yang dibutuhkan. Seperti yang dijelaskan
diatas penggunaan kateter dapat mencegah terjadinya perburukan kondisi
hiperglikemia.
4) Beneficence “do the best” yaitu prinsip yang etik yang memperhatikan bahwa
setiap pasien harus mendapatkan manfaat dari pengobatan yang diterimanya.
Penggunaan kateter urin sangat bermanfaat dalam penghematan energi pada
pasien.
5) Justice merupakan prinsip keadilan. Perlu mengatakan bahwa semua orang
dengan kondisi yang sama perlu pemasangan kateter urin sehingga pasien
merasa bahwa kondisinya perlu untuk dipasang kateter.
Cardiovascular
Pertanyaan?
1. Jelaskan apa yang anda fahami tentang Sindroma Koroner Akut (SKA) ?
Sindrom Koroner Akut (SKA) menrupakan manifestasi akut dari plak ateroma pada
pembuluh darah koroner yang robek atau pecah akibat perubahan komposisi plak dan
penipisan lapisan fibrosa yang menutupi plak tersebut. Proses ini diikuti oleh agregasi
trombosit dan aktivasi jalur koagulasi sehingga membentuk trombus yang kaya trombosit.
Trombus tersebut dapat menyumbat lubang pembuluh darah koroner baik parsial maupun
total atau menjadi mikroemboli yang menyumbat pembuluh darah koroner yang lebih distal.
Selain itu zat vasoaktif juga dikeluarkan menyebabkan vasokontriksi dan memperberat
gangguan aliran darah koroner. Penuruanan arteri koroner menyebabkan iskemia
miokardium. Terhentinya suplay oksigen selama 20 menit atau lebih menyebabkan kematian
miokardium (infark miokard). SKA mencakup kepada 3 bentuk berdasarkan anamesia,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan EKG dan biomarker jantung yaitu:
a. Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (STEMI) merupakan indikator kejadian
oklusi total pada koroner yang terkena yang ditandai dengan angina pektoris akut (nyeri
dada dada tipikal atau ekuivalen) dan disertai elevasi segmen ST minimal pada 2
sadapan yang bersebelahan.
b. Infark miokard akut dengan non-elevasi segmen ST (STEMI)
c. Angina pectoris tidak stabil (UAP)
Sementara STEMI dan UAP ditegakkan jika terjadinya angina tanpa disertai elevasi segmen
ST yang menetap pada 2 sadapan bersebelahan. Rekaman EKG dapat ditandai dengan dpresi
segmen ST, T inversi, gelombang T datar bahkan normal. Perbedaan dari keduanya ditandai
dengan peningkatan biomarker jantung yang sensitif (troponin dan CK-MB) pada NSTEMI
dan sebaliknya pada UAP.
2. Pada monitor EKG didapat gambaran spt dibawah ini: Jelaskan gambaran EKG tersebut
?
HR: 90 kali/menit
Gelombang P: lebar 0,08 ms tinggi 1 mv (normal pada gelombang sinus)
Interval PR: 0,20 ms (normal)
Gelombang QRS: pada gelombang sinus (lebar: 0.06 ms/ normal) namun terdapat
premature venticular contraction (PVC atau VES). VES terbentuk setiap setelah 1
irama sinus (VES Bigemini) dengan bentuk deplesi yang berlawanan (multiformed)
Segemn ST: depresi segmen ST 0,5 mv (iskemia)
Irama: sinus
Interpretasi : VES Bigemini Multifokal
Berdasarkan tabel diatas: lead 1 dan AvF sama – sama positif (kesimpulan:
aksis Normal)
a. Nyeri akut b.d gen biologi dan kimiawi, peningkatan asam laktat akibat iskemia
jaringan
b. Resiko penurunan cardiac output b.d perubahan pada kontraktilitas jantung
c. Intoleransi aktivutas b.d ketidak seimbangan antara permintaan dan suplay oksigen
miokard
d. Ansietas b.d perubahan status kesehatan dan ancaman kematian.
6. Jelaskan / sebutkan manajemen kolaboratif untuk pasien tersebut secara singkat (minimal
5 point)
a. Pemberian obat – obata Dual anti platelet therapi (PERKI, 2018)
1) Pemberian Aspirin (aspilet) 160 – 320 mg sublingual diberikan segera kepada
semua pasien walaupun toleransinya terhadap aspirin tidak diketahuin (Kelas 1-
A). aspirin tidak bersalut merupakan pilihan yang lebih baik karena cepat
diabsorbsi melalui sublingual (Kelas 1-c)
2) Pemberian Clopidogrel (penghambat reseptor Adenosis triposfat/ ADP) 300 mg
sublingual dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75 mg/ hari. Clopidogrel
merupakan terapi yang dianjurkan untuk pasien yang akan menjalani terapi
referfusi fibrinolitik (Kelas 1 -C)
b. Pemberian Nitroglisering (NTG) sublingual pada pasien yang mengeluhkan nyeri
dada yangs edang berlangsung saat datang ke ruang gawat darurat. Isosorbid dinitrat
dapat digunakan sebsagai pengganti NTG jika tidak tersedia. Jika nyeri dada tidak
hilang dalam 1 kali pemberian, maka diulang setiap 5 menit maksimal 3 kali
pemberian. Jika nyeri dada tetap tidak hilang maka diberikan nitrogliserin intravena
(Kelas 1-C)
c. Pemerian Morfin sulfat 1 – 5 mg intravena dan dapat diulang setiap 10 – 30 menit
bagi pasien yang tidak responsif terhadap terapi 3 dosis NTG sublingual (Kelas Iia-
C).
d. Referfusi (Morton & Fontain, 2013).
1) Pemberian terapi fibrinolotik pada pasien tanpa adanya komplikasi perdarahan.
Terapi ini bertujuan merubah plasminogen menjadi plasmin dan degradasi fibrin
dan fibrinogen untuk melisiskan trombus. Diberikan pada pasien STEMI dengan
jenis obat streptokinase dan alteplase. Terapi fibrinolitik diharapkan dapat
diberikan dalam 30 menit saat pasien tiba di IGD dan telah dilakukan
pemeriksaan komprehensif dan memiliki keuntungan maksimal dalam 3 jam
dari onset gejala pertama.
2) Perkutaneous Coronary intervention (PCI). PCI adalah metode dilatasi arteri
koroner menggunakan balon dan dilakukan penempatan stent (cincin) pada area
sumbatan. PCI dilakukan dalam 12 jam dari onset gejala pertama. Antagonis
glikoprotein iiB dan IIIA digunakan selama PCI bertujuan untuk mencegah
agregasi trombosit.
e. Pemberian beta bolker bertujuan menurunkan konsumsi O2 miookardium. Namun
dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan konduksi atrioventrikuler yang
signifikan, asma bronkial dan disfungsi akut vetrikel kiri. Beta blker di indikasikan
lebih pada pasien UAP dan NSTEMI terutama terjadi takikardia dan hipertensi
(kelas 1-b). Contoh betabolker: bisoprolol 50 – 200 mg/hari atau propanolol 2 x 80
mg/hari.