Anda di halaman 1dari 16

PADEPOKAN GALOEH SALAKA

Beranda Latarbelakang Maksud Dan Tujuan ▼

Sejarah Kerajaan Galuh (Ciamis)


Sejarah Kerajaan Galuh (Ciamis)

Oleh A. Sobana Hardjasaputra

(Putera Galuh, sejarawan dan pustakawan pada Fakultas Sastra Unpad)

Pengantar

Daerah Galuh yang sekarang bernama Ciamis memiliki perjalanan sejarah sangat panjang. Hal itu
terbukti dari periodisasi yang dilewatinya, yaitu masa pra-sejarah, masa kerajaan (abad ke-8 – abad
ke-16), masa kekuasaan Mataram, kekuasaan Kompeni, dan Belanda/Hindia Belanda (akhir abad ke-
16 – awal tahun 1942), masa pendudukan Jepang (awal tahun 1942 – 15 Agustus 1945), dan masa
kemerdekaan (17 Agustus 1945 – sekarang). Perjalanan sejarah Galuh yang panjang itu sampai
sekarang masih belum terungkap secara komprehensip, bahkan beberapa bagian/episode sejarah
Galuh masih “gelap”. Selain itu, sejarah Galuh masa kerajaan masih banyak bercampur dengan mitos
atau legenda, sehingga ceritera tentang Galuh masa kerajaan pun terdapat beberapa versi.

Belum adanya penulisan sejarah Galuh yang komprehensip kiranya disebabkan oleh beberapa
faktor. Pertama, Pemda Kabupaten Ciamis terkesan kurang menaruh perhatian terhadap sejarah
daerahnya sendiri. Kedua, kurangnya sejarawan yang berminat untuk mengungkap sejarah Galuh,
antara lain karena kegiatan itu memerlukan biaya cukup besar untuk mencari dan meneliti
sumbernya. Sekalipun sudah ada hasil penelitian sejarah Galuh, tetapi uraiannya hanya berupa garis
besar mengenai aspek atau kurun waktu tertentu.

Sejarah bukan hanya memiliki fungsi informatif, tetapi juga fungsi edukatif, bahkan sesungguhnya
memiliki fungsi pragmatik, khususnya bagi pemda daerah setempat. Hal itu disebabkan sejarah
adalah suatu proses kausalitas yang ber-kesinambungan. Kehidupan masa kini adalah hasil
kehidupan masa lampau, dan kehidupan masa mendatang akan tergantung dari sikap kita dalam
mengisi kehidupan masa sekarang. Oleh sebab itu kita harus pandai belajar dari sejarah, karena
sejarah adalah “obor kebenaran” dan “obor” agar kita tidak “pareumeun obor”.

Atas dasar hal tersebut, seyogyanya bila Pemda Kabupaten Ciamis dan “Wargi Galuh” menaruh
perhatian terhadap sejarah Galuh, antara lain agar kita benar-benar memahami bagaimana jati diri
putera Galuh.

1. Asal-Usul dan Arti Kata Galuh

“Galuh” berasal dari kata Sansakerta yang berarti sejenis batu permata. Kata “galuh” juga biasa
digunakan sebagai sebutan bagi ratu yang belum menikah (“raja puteri”). Sejarawan W.J. van der
Meulen berpendapat bahwa kata “galuh” berasal dari kata “sakaloh” yang berarti “asalnya dari
sungai”. Ada pula pendapat yang menyatakan, bahwa kata “galuh” berasal dari kata “galeuh” dalam
arti inti atau bagian tengah batang kayu yang paling keras. Pengertian mana yang tepat dari kata
“galuh” untuk daerah yang sekarang bernama Ciamis? Hal itu memerlukan kajian secara khusus dan
mendalam.
2. Galuh Masa Kerajaan

Galuh memang pernah menjadi sebuah kerajaan. Akan tetapi ceritera tentang Kerajaan Galuh,
terutama pada bagian awal, penuh dengan mitos. Hal itu disebabkan ceritera itu berasal dari sumber
sekunder berupa naskah yang ditulis jauh setelah Kerajaan Galuh lenyap. Misalnya, Wawacan
Sajarah Galuh antara lain menceriterakan bahwa Kerajaan Galuh berlokasi di Lakbok dan pertama
kali diperintah oleh Ratu Galuh. Setelah banjir besar yang dialami oleh Nabi Nuh surut, pusat
Kerajaan Galuh pindah ke Karangkamulyan dan nama kerajaan berganti menjadi Bojonggaluh.
Dikisahkan pula putera Ratu Galuh, yaitu Ciung Wanara berselisih dengan saudaranya Hariang
Banga. Perselisihan itu berakhir dengan permufakatan, bahwa kekuasaan atas Pulau Jawa akan
dibagi dua. Ciung Wanara berkuasa di Pajajaran dan Hariang Banga menguasasi Majapahit. Selama
belum ada sumber atau fakta kuat yang mendukungnya, kisah seperti itu adalah mitos (Bagi guru
sejarah, ceritera yang bersifat mitos boleh-boleh saja disampaikan kepada para siswa, dengan
catatan harus benar-benar ditegaskan, bahwa ceritera itu adalah mitos yang kebenarannya sulit
dipertanggungjawabkan).

Ceritera tentang Kerajaan Galuh yang dapat dipercaya adalah berita dalam sumber primer berupa
prasasti, naskah sejaman (ditulis pada jamannya atau tidak jauh dari peristiwa yang
diceriterakannya), dan sumber lain yang akurat. Menurut sumber-sumber tersebut, Galuh sebagai
nama satu daerah di Jawa Barat—Dalam Peta Pulau Jawa, kata “galuh” digunakan pula menjadi
bagian nama atau bagian nama beberapa tempat, seperti Galuh (Purbalingga), Rajagaluh
(Majalengka), Sirah Galuh (Cilacap), Galuh Timur (Bumiayu), Segaluh dan Sungai Begaluh (Leksono),
Samigaluh (Purworejo), dan Hujung (Ujung) Galuh di Jawa Timur) muncul dalam panggung sejarah
pada abad ke-8. Setelah Kerajaan Tarumanagara (abad ke-5 s.d. abad ke-7) berakhir, di daerah Jawa
Barat berdiri Kerajaan Sunda (abad. ke-8 s.d. abad ke-16). Pusat kerajaan itu berpindah-pindah, dari
Galuh pindah ke Pakuan Pajajaran/Bogor (± abad ke-11 s.d abad ke-13), kemudian pindah lagi ke
Kawali (abad ke-14). Selanjutnya kerajaan itu kembali berpusat di Pakuan Pajajaran, sehingga lebih
dikenal dengan nama Kerajaan Pajajaran.

Nama kerajaan seringkali berubah dengan sebutan nama ibukotanya. Oleh karena itu, tidak heran
bila ketika Kerajaan Sunda beribukota di Galuh, kerajaan itu disebut juga Kerajaan Galuh. Diduga
pusat/daerah inti Galuh waktu itu adalah Imbanagara sekarang. Raja terkenal yang berkuasa di
Galuh adalah Sanjaya. Ketika kerajaan itu berpusat di Kawali (abad ke-14) diperintah oleh Prabu
Maharaja (di kalangan masyarakat setempat, raja ini dikenal dengan nama Maharaja Kawali). Pada
masa pemerintahan raja itulah agama Islam masuk ke Kawali dari Cirebon antara tahun 1528-1530.

Ketika Kerajaan Sunda/Pajajaran diperintah oleh Nusiya Mulya (paruh kedua abad ke-16), eksistensi
kerajaan itu berakhir akibat gerakan kekuatan Banten di bawah pimpinan Maulana Yusuf dalam
rangka menyebarkan agama Islam. Peristiwa itu terjadi tahun 1579/1580. Sejak itu Pakuan Pajajaran
berada di bawah kekuasaan Banten.

Setelah Kerajaan Sunda/Pajajaran berakhir, Galuh berdiri sendiri sebagai ke-rajaan merdeka
(1579/1580 – 1595). Sementara itu, berdiri pula Kerajaan Sumedang Larang (± 1580-1620) dengan
ibukota Kutamaya. Kerajaan Galuh diperintah oleh Prabu (Maharaja) Cipta Sanghiang di Galuh,
putera Prabu Haurkuning. Batas-batas wilayah Kerajaan Galuh waktu itu adalah : Sumedang batas
sebelah utara, Galunggung dan Sukapura batas sebelah barat, Sungai Cijulang batas sebelah selatan,
dan Sungai Citanduy batas sebelah timur. Perlu disebutkan bahwa daerah Majenang, Dayeuhluhur,
dan Pegadingan yang sekarang masuk wilayah Jawa Tengah, semula termasuk wilayah Galuh. Di
tempat-tempat tersebut sampai sekarang pun masih terdapat orang-orang berbahasa Sunda.
3. Galuh di bawah kekuasaan Mataram

Di bawah kekuasaan Mataram, daerah-daerah di Priangan yang semula berstatus kerajaan berubah
menjadi kabupaten. Galuh berada di bawah kekuasaan Mataram antara tahun 1595-1705. Galuh
pertama kali jatuh ke dalam kekuasaan Mataram, ketika Mataram diperintah oleh Sutawijaya alias
Panembahan Senopati (1586-1601). Oleh penguasa Mataram, Galuh dimasukkan ke dalam wilayah
administratif Cirebon. Setelah Prabu Cipta Sanghiang di Galuh meninggal, ia digantikan oleh
puteranya bernama Ujang Ngekel bergelar Prabu Galuh Cipta Permana (1610-1618), berkedudukan
di Garatengah (daerah sekitar Cineam, sekarang masuk wilayah Kabupaten Tasikmalaya). Prabu
Galuh Cipta Permana yang telah masuk Islam (semula beragama Hindu) menikah dengan puteri
Maharaja Kawali bernama Tanduran di Anjung. Selain Garatengah, di wilayah Galuh terdapat pusat-
pusat kekuasaan, dikepalai oleh seseorang yang ber-kedudukan sebagai bupati dalam arti raja kecil.
Pusat-pusat kekuasaan itu antara lain Cibatu, Utama (Ciancang), Kertabumi (Bojong Lopang), dan
Imbanagara.

Mataram menguasai Galuh kemudian Sumedang Larang (1620) dalam usaha menjadikan Priangan
sebagai daerah pertahanan di bagian barat dalam menghadapi kemungkinan serangan pasukan
Banten dan Kompeni yang berkedudukan di Batavia. Kekuasaan Mataram di Galuh lebih tampak
ketika Mataram diperintah oleh Sultan Agung (1613-1645) dan Galuh diperintah oleh Adipati
Panaekan (1618-1625), putera Prabu Galuh CiptaPermana, selaku Bupati Wedana. Penguasaan
Mataram terhadap Galuh dan Sumedang Larang sifatnya berbeda. Galuh dikuasai oleh Mataram
melalui cara kekerasan, karena pihak Galuh melakukan perlawanan. Sebaliknya, Sumedang Larang
jatuh ke bawah kekuasaan Mataram karena berserah diri, antara lain karena adanya hubungan
keluarga antara Raden Aria Suriadiwangsa penguasa Sumdang Larang dengan penguasa Mataram.

Tahun 1628 Mataram merencanakan penyerangan terhadap Kompeni di Batavia dan meminta
bantuan para kepala daerah di Priangan. Ternyata rencana itu me-nimbulkan perbedaan pendapat
yang berujung menjadi perselisihan di antara para kepada daerah di Priangan. Dalam hal ini, Adipati
Panaekan berselisih dengan adik iparnya, yaitu Dipati Kertabumi, Bupati Bojonglopang, putera Prabu
Dimuntur. Dalam perselisihan itu Adipati Panaekan terbunuh (1625). Ia digantikan oleh puteranya
bernama Mas Dipati Imbanagara yang berkedudukan di Garatengah (Cineam). Pada masa
pemerintahan Dipati Imbanagara, ibukota Kabupaten Galuh dipindahkan dari Garatengah (Cineam)
ke Calincing. Tidak lama kemudian pindah lagi ke Bendanegara (Panyingkiran).

Ketika pasukan Mataram menyerang Batavia (1628), kepala daerah di Priangan memberikan
bantuan. Pasukan Galuh dipimpin oleh Bagus Sutapura, pasukan Priangan dipimpin oleh Dipati Ukur,
Bupati Wedana Priangan. Dipati Ukur memang mendapat tugas khusus dari Sultan Agung untuk
mengusir Kompeni dari Batavia. Ternyata Dipati Ukur gagal melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu,
ia memberontak terhadap Mataram.

Pemberontakan Dipati Ukur yang berlangsung lebih-kurang empat tahun (1628-1632) merupakan
faktor penting yang mendorong Sultan Agung tahun 1630-an memecah wilayah Priangan di luar
Sumedang menjadi beberapa kabupaten, termasuk Galuh. Wilayah Galuh dipecah menjadi beberapa
pusat kekuasaan kecil, yaitu Utama diperintah oleh Sutamanggala, Imbanagara diperintah oleh
Adipati Jayanagara, Bojong-lopang diperintah oleh Dipati Kertabumi, dan Kawasen diperintah oleh
Bagus Sutapura. Khusus kepala-kepala daerah yang berjasa membantu menumpas pemberontakan
Dipati Ukur diangkat oleh Sultan Agung menjadi bupati di daerah masing-masing. Tahun 1634 Bagus
Sutapura dikukuhkan menjadi Bupati Kawasen—Kepala daerah lain yang diangkat menjadi bupati
antara lain Ki Astamanggala (Umbul Cihaurbeuti) menjadi bupati Bandung dengan gelar Tumenggung
Wiraangunangun, Ki Wirawangsa (Umbul Sukakerta) menjadi bupati Sukapura dengan gelar
Tumenggung Wiradadaha, dan Ki Somahita (Umbul Sindangkasih) menjadi bupati Parakanmuncang
dengan gelar Tumenggung Tanubaya.) (daerah antara Banjarsari – Padaherang). Ia memrintah
Kawasen sampai dengan 1653, kemudian digantikan oleh puteranya bernama Tumenggung
Sutanangga (1653-1676). Sementara itu, Dipati Imbanagara yang dicurigai oleh pihak Mataram
berpihak kepada Dipati Ukur, dijatuhi hukuman mati (1636). Namun puteranya, yaitu Adipati
Jayanagara (Mas Bongsar) diangkat menjadi Bupati Garatengah. Imbanagara dijadikan nama
kabupaten dan Kawasen digabungkan dengan Imbanagara.

Pertengahan tahun 1642 Adipati Jayanagara memindahkan lagi ibukota Kabupaten Galuh ke Barunay
(daerah Imbanagara sekarang). Pemindahan ibukota kabupaten yang terjadi tanggal 14 Mulud tahun
He (12 Juni 1642—Sejak tahun 1970-an, Pemda Kabupaten Ciamis menganggap tanggal 12 Juni 1642
sebagai Hari Jadi Kabupaten Ciamis. Mengenai Hari Jadi Ciamis, dibicarakan pada akhir tulisan ini).
itu dilandasi oleh dua alasan. Pertama, Garatengah dan Bendanegara memberi kenangan buruk
dengan ter-bunuhnya Adipati Panaekan dan Dipati Imbanagara. Kedua, Barunay dianggap lebih
cocok menjadi pusat pemerintahan dan akan membawa perkembangan bagi kabupaten tersebut.
Hal itu antara lain ditunjukkan oleh masa pemerintahan Adipati Jayanagara yang berlangsung selama
42 tahun. Selama waktu itu, daerah-daerah kekuasaan lain, yaitu Kawasen, Kertabumi, Utama,
Kawali, dan Panjalu dihapuskan. Semua daerah itu menjadi wilayah Kabupaten Galuh. Dengan
demikian, Kabupaten Galuh memiliki wilayah yang sangat luas, yaitu dari Cijolang sampai ke pantai
selatan dan dari Citanduy sampai perbatasan Sukapura.

Setelah Adipati Jayanagara meninggal, kedudukannya sebagai bupati digantikan oleh Anggapraja.
Akan tetapi tidak lama kemudian jabatan itu diserahkan kepada adiknya bernama Angganaya.
Sementara itu, daerah Utama digabungkan dengan Bojonglopang, dikepalai oleh Wirabaya. Dipati
Kertabumi yang semula memerintah Bojonglopang, dipindahkan ke Karawang dan menjadi cikal-
bakal bupati Karawang.

Tahun 1645 setelah Sultan Agung meninggal, Amangkurat I putera Sultan Agung kembali melakukan
reorganisasi wilayah Priangan. Wilayah itu dibagi menjadi beberapa daerah ajeg (setarap
kabupaten), antara lain Sumedang, Bandung, Parakan-muncang, Sukapura, Imbanagara, Kawasen,
Galuh, dan Banjar.

4. Galuh di bawah kekuasaan Kompeni (VOC/Verenigde Oost-Indische Compagnie, yaitu


Perkumpulan Perseroan Belanda di Hindia Timur)

Akhir tahun 1705 Galuh sebagai bagian dari wilayah Priangan timur diserahkan oleh penguasa
Mataram kepada Kompeni melalui perjanjian tanggal 5 Oktober 1705. Wilayah Priangan barat jatuh
ke dalam kekuasaan Kompeni lebih dahulu, yaitu tahun 1677—Sejak tahun 1677 di wilayah Priangan
memberlakukan penanaman wajib, terutama kopi dan nila (tarum) dalam sistem yang disebut
Preangerstelsel). Mataram menyerahkan Priangan kepada Kompeni sebagai upah membantu
mengatasi kemelut perebutan tahta Mataram—kompeni membantu Pangeran Puger dalam usaha
merebut tahta Mataram dari keponakannya, yaitu Amangkurat III alias Sunan Mas). Namun
demikian, Galuh dan daerah Priangan timur lainnya tetap berada dalam wilayah administratif
Cirebon.

Sebelum terjadinya perjanjian 5 Oktober 1705, Kompeni sudah mengangkat Sutadinata menjadi
Bupati Galuh (1693-1706) menggantikan Angganaya yang meninggal. Ia kemudian diganti oleh
Kusumadinata I (1706-1727). Waktu itu Priangan berada di bawah pengawasan langsung Pangeran
Aria Cirebon sebagai wakil Kompeni.
Beberapa waktu kemudian, Bupati Kawasen Sutanangga diganti oleh Patih Ciamis yang dianggap
orang ningrat tertua dan terpandai di Galuh. Daerah Utama digabungkan dengan Bojonglopang.

Bupati Galuh berikutnya adalah Kusumadinata II (1727-1732). Oleh karena ia tidak memiliki putera,
maka setelah ia meninggal kedudukannya digantikan oleh keponakannya bernama Mas Garuda,
sekalipun keponakannya itu belum dewasa. Oleh karena itu, pemerintahan dijalankan oleh tiga
orang wali, seorang di antaranya adalah ayah Mas Garuda sendiri, yaitu Raden Jayabaya Patih
Imbanagara. Mas Garuda baru memegang pemerintahan sendiri mulai tahun 1751 hingga tahun
1801, dengan gelar Kusumadinata III. Ia digantikan oleh Raden Adipati Natadikusuma (1801-1806).

Pada masa peralihan kekuasaan dari Kompeni kepada Pemerintah Hindia Belanda, Kabupaten
Imbanagara dihapuskan. Daerah itu digabungkan dengan Galuh dan Utama. Ketiga daerah itu
diperintah oleh Bupati Galuh. Menurut sumber tradisional (Wawacan Sajarah Galuh), peristiwa itu
terjadi akibat konflik antara Raden Adipati Natadikusuma dengan seorang pejabat VOC yang
bersikap dan bertindak kasar. Raden Adipati Natadikusuma ditahan di Cirebon. Kedudukannya
sebagai Bupati Imbanagara diganti oleh Surapraja dari Limbangan (1806-1811).

Di bawah kekuasaan Kompeni, sistem pemerintahan tradisional yang dilakukan para bupati pada
dasarnya tidak diganggu. Hal itu berlangsung pula pada masa pemerintahan Hindia Belanda (1808-
1942).

5. Galuh Masa Pemerintahan Hindia Belanda

Akhir Desember 1799 kekuasaan Kompeni berakhir akibat VOC bangkrut. Kekuasaan di Nusantara
diambilalih oleh Pemerintah Hindia Belanda yang dimulai oleh pemerintahan Gubernur Jenderal
H.W. Daendels (1808-1811). Di bawah pemerintahan Hindia Belanda, Galuh tetap berada dalam
wilayah administratif Cirebon.

Pada akhir masa pemerintahan Daendels, Bupati Imbanagara Surapraja meninggal (1811). Bupati
Imbanagara selanjutnya dijabat oleh Jayengpati Kertanegara, merangkap sebagai Bupati Cibatu
(Ciamis). Setelah pensiun, ia digantikan oleh Tumenggung Natanagara. Penggantinya adalah
Pangeran Sutajaya asal Cirebon. Oleh karena selalu berselisih paham dengan patihnya, Pangeran
Sutajaya kembali ke Cirebon. Jabatan Bupati Imbanagara kembali dipegang oleh putera Galuh, yaitu
Wiradikusuma, dan nama kabupaten ditetapkan menjadi Kabupaten Galuh. Tahun 1815 Bupati
Wiradikusuma memindahkan ibukota kabupaten dari Imbanara ke Ciamis.

Pada masa pemerintahan Bupati Galuh berikutnya, yaitu Adipati Adikusumah (1819-1839), putera
Bupati Wiradikusuma, Kawali dan Panjalu dimasukkan ke dalam wilayah Kabupaten Galuh. Bupati
Adipati Adikusumah menikah dengan puteri Jayengpati (Bupati Cibatu). Dari perkawinan itu
kemudian lahir seorang anak laki-laki bernama Kusumadinata. Ia kemudian menggantikan ayahnya
menjadi Bupati Galuh (1839-1886) dengan gelar Tumenggung Kusumadinata. Selanjutnya ia berganti
nama menjadi Raden Adipati Aria Kusumadiningrat. Ia adalah Bupati Galuh terkemuka yang dikenal
dengan julukan “Kangjeng Prebu”.

Sejak tahun 1853, Bupati R.A.A. Kusumadiningrat tinggal di Keraton Sela-gangga yang dilengkapi oleh
sebuah masjid dan kolam air mancur. Tahun 1872 di halaman keraton dibangun tempat pemandian
yang disebut Jambansari—Pemandian itu sering digunakan oleh warga masyarakat dengan maksud
“ngalap berkah” dari “Kangjeng Prebu”). Antara tahun 1859-1877, dibangun beberapa gedung di
pusat kota kabupaten (Ciamis). Gedung-gedung dimaksud adalah gedung kabupaten yang cukup
megah (di lokasi Gedung DRPD sekarang), Masjid Agung, Kantor Asisten Residen (gedung kabupaten
sekarang), tangsi militer, penjara, kantor telepon, rumah kontrolir, dan lain-lain.
Bupati R.A.A. Kusumadiningrat sangat besar jasanya dalam memajukan ke-hidupan rakyat
Kabupaten Galuh. Jasa-jasa itu antara lain membuat sejumlah irigasi, membuka sawah beribu-ribu
bau, mendirikan tiga buah pabrik penggilingan kopi, membuka perkebunan kelapa, membangun
jalan antara Kawali – Panjalu, mendirikan “Sakola Sunda” di Ciamis (1862) dan di Kawali (1876). Atas
jasa-jasa tersebut, ia memperoleh tanda kehormatan atau atribut kebesaran dari Pemerintah Hindia
Belanda berupa Songsong Kuning (payung kebesaran berwarna kuning mas) tahun 1874) dan
bintang Ridder in de Orde van den Nederlandschen Leeuw (“Bintang Leo”) tahun 1878).

Jabatan Bupati Galuh selanjutnya diwariskan kepada puteranya, yaitu R.A.A. Kusumasubrata (1886-
1914). Pada masa pemerintahan bupati ini, mulai tahun 1911 Ciamis dilalui oleh jalan kereta api jalur
Bandung – Cilacap.via Ciawi-Malangbong-Tasikmalaya. Pada masa pemerintahan Bupati Galuh
berikutnya, yaitu Bupati R.T.A. Sastrawinata (1914-1935), Kabupaten Galuh dilepaskan dari wilayah
administratif Cirebon dan masuk ke dalam wilayah Keresidenan Priangan (tahun 1915). Nama
Kabupaten diubah menjadi Kabupaten Ciamis. Antara tahun 1926-1942, Ciamis masuk ke dalam
Afdeeling Priangan Timur bersama-sama dengan Tasikmalaya dan Garut, dengan ibukota afdeeling di
kota Tasikmalaya.

6. Hari Jadi Kabupaten Ciamis

Telah dikemukakan, bahwa pada masa pemerintahan Adipati Jayanagara ibukota Kabupaten Galuh
dipindahkan ke Barunay (daerah Imbanagara sekarang). Peristiwa itu terjadi tanggal 14 Mulud tahun
He atau tanggal 12 Juni 1642 Masehi. Sekarang tanggal 12 Juni 1642 dipilih dan ditetapkan oleh
Pemda Kabupaten Ciamis sebagai Hari Jadi Kabupaten Ciamis. Alasan atau dasar pertimbangannya
adalah kepindahan ibukota kabupaten itu membawa perkembangan bagi Kabupaten Galuh. Sejak
itulah Kabupaten Galuh mulai menunjukkan perkembangan yang berarti.

Tepatkah pemilihan tanggal tersebut?

Bila dikaji secara objektif dan kritis, menurut penulis, pemilihan tanggal 12 Juni 1642 sebagai Hari
Jadi Kabupaten Ciamis atau Hari Jadi Kabupaten Galuh sekalipun adalah keliru atau kurang tepat.
Pertama, bagi orang yang tidak memahami sejarah Galuh, pemilihan tanggal tersebut akan
mengandung arti bahwa Kabupaten Galuh berdiri pada tanggal 12 Juni 1642, padahal jauh sebelum
tanggal itu Kabupaten Galuh sudah berdiri. Kedua, Kabupaten Galuh berubah namanya menjadi
Kabupaten Ciamis terjadi pada dekade kedua abad ke-20 (1915), setelah Galuh dilepaskan dari
wilayah administratif Cirebon.

Atas dasar hal tersebut dan untuk kebenaran sejarah, seyogyanya hari jadi Kabupaten Ciamis dikaji
ulang. Menurut penulis, hari jadi Kabupaten Ciamis seharusnya mengacu pada momentum awal
berdirinya kabupaten itu, atau mengacu pada tanggal perubahan nama kabupaten dari Kabupaten
Galuh menjadi Kabupaten Ciamis.

SUMBER ACUAN

Atja. 1968.

Tjarita Parahijangan. Bandung : jajasan Kebudajaan Nusalarang.

Atja (ed.). 1975.

Sejarah Jawa Barat dari Masa Prasejarah Hingga Masa Perkembangan Agama Islam. Bandung :
Proyek Penunjang Peningkatan Kebudayaan Nasional Propinsi Jawa Barat.
Ekadjati, Edi S. 1977.

Wawacan Sajarah Galuh. Bandung : EFEO.

de Haan, F. 1910, 1911, 1912.

Priangan; De Preanger-Regentschappen onder het Nederlandsch Bestuur tot 1811. Deel I, II & III.
Batavia : BGKW.

Hardjasaputra, A. Sobana. 1985.

Bupati-Bupati Priangan; Kedudukan dan Peranannya Pada Abad Ke-19. Tesis. Yogyakarta :
Universitas Gadjah Mada.

Kern, R.A. 1898.

Geschiedenis der Preanger-Regentschappen; Kort Overzigt. : De Vries & Fabricius.Bandung

Lubis, Nina H. et al. 2000.

Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa Barat. : Alqaprint.Bandung

Raffles, Thomas Stamford. 1982.

History of Java. II. Kuala Lumpur : Oxford Press. University

van Rees, Otto. 1869.

di ambil dari Web Site Kang Dhipa Galuh Purba


Beranda

Lihat versi web


Diberdayakan oleh Blogger.
diCiamis.com

Sepenggal Sejarah Galuh: Para Penguasa Galuh


diCiamis

7 years ago

Boleh tunjuk tangan bagi orang Ciamis yang mengetahui sejarah Galuh secara
menyeluruh, juga buat yang mengetahuinya episode per episode, atau juga bagi yang
paham secara teoritis mengenainya. Jago we mun loba, mungkin itu bahasa lomanya
untuk tawaran tadi. Termasuk saya yang ibu-bapak-nini-aki-uyut-bao-dan seterusnya
berasal dari Ciamis, sayapun remeng-remeng alias tidak tahu banyak. Menurut para ahli
(sejarah tentunya), sumber mengenai Galuh (sebagai pusat kekuasaan) relatif sedikit,
sedangkan rentang waktunya relatif panjang, belum lagi oral history berkenaan
dengannya relatif banyak, lengkaplah sudah sulitnya menuturkan secara kronologis dan
komprehensif mengenai sejarah Galuh. Bagi saya, penelusuran jejak nama Galuh lebih
sering terbentur kepada mitos. Berbagai mitos tentang asal-usul Galuh dapat dibaca
dalam beberapa naskah kuno yang berbentuk babad atau wawacan. Secara umum,
naskah-naskah kuno itu merupakan historiografi tradisional yang mengandung unsur-
unsur historis, mitos, legenda, dan dongeng. Semakin mendekati waktu penulisan
dengan waktu terjadinya peristiwa, maka semakin tinggi nilainya sebagai sumber
sejarah. Keterangan mengenai Galuh di antaranya dapat dibaca dalam naskah Carita
Parahyangan, Sanghyang Siksa Kandang Karesyan, Wawacan Sajarah Galuh, Ciung
Wanara, dan Carios Wiwitan Raja-Raja di Pulo Jawa.

Dan kalau boleh saya menambahkan, penyebab lainnya adalah kurangnya


dukungan dari pemerintah kabupaten Ciamis dalam upaya mewariskan “cerita
sejarah” dari generasi ke generasi. Jangan lupa, faktor kekuasaan menjadi penting
dalam proses ini karena akan menjadi pelindung bagi live of history. Jangan sampai
ungkapan “yang lalu biarlah berlalu, jangan diungkit kembali” diberlakukan secara
paten terhadap sejarah karena justru dari sejarahlah kita bisa belajar karena sejarah
itu adalah jembatan yang menyambungkan masa lalu, masa kini, dan masa yang
akan datang. Bagaimana kita bangga menjadi manusia jika kita tidak mau
mempelajari sejarah penciptaan manusia? Bagaimana kita bangga terhadap Ciamis
jika kita tidak mengetahui sejarah Galuh? Tidak mungkin pemerintah kabupaten
Ciamis menggunakan semboyan “CIAMIS MANIS MANJING DINAMIS PAKENA
GAWE RAHAYU PAKEUN HEUBEUL JAYA DI BUANA” secara ujug-ujug begitu
saja. Dari mana asalnya pakena gawe rahayu pakeun heubeul di buana? Ya dari
sejarah Galuh! Moal ujug-ujug aya mun teu aya sajarahna, betul atau betul?

Sasieureun sabeunyeureun, semoga ada manfaatnya. Itulah yang ingin saya


sampaikan sebelum bercerita sedikit tentang sejarah Galuh dengan folus para
penguasanya. Bukan berarti sim kuring langkung apal tibatan nu apal, ieu mah
mung sekedar berbagi pengetahuan saya yang sedikit tentang sejarah Galuh.
Sepanjang yang saya ketahui mengenai sejarah Galuh, ada berbagai pemahaman
makna atas kata Galuh. Kata Galuh bisa kita temukan tidak hanya berkaitan dengan
Ciamis saja, tetapi ada banyak Galuh yang berkaitan dengan segala hal. Berkaitan
dengan tempat contohnya, Hujung Galuh di Jawa Timur. Bagelen di Purworejo
atau Begaluh di Banyumas. Adakah kaitannya galuh-galuh tersebut dengan Galuh
baheula Ciamis kiwari? Kita bicarakan belakangan, sekarang mari kita kembali
kepada Galuh dalam perspektif sebuah kekuasaan.

Nama Galuh muncul pada abad VII sebagai nama sebuah kerajaan di ujung timur
Priangan, tepatnya di wilayah Bojong Galuh. Wilayah itu berada di tepat di daerah
pertemuan dua buah sungai, yaitu sungai Citanduy dan Cimuntur. Bojong Galuh
(sekarang Karangkamulyan) adalah pusat kekuasaan kerajaan Galuh yang dipimpin
oleh Ciung Wanara, leluhur penguasa Galuh Rakean Jambri yang bergelar Rahiang
Sanjaya.[1] Ia adalah putra Sanna yang dibunuh oleh saudaranya yang bernama
Purbasora. Sanjaya berhasil merebut tahta Galuh dari Purbasora. Ia menikah
dengan putri kerajaan Sunda yang berpusat di Pakwan Pajajaran, sehingga berhak
atas tahta kerajaan Sunda. Ia menyatukan Sunda ke dalam Galuh dengan pusat
pemerintahan di Bojong Galuh. Sanjaya memutuskan bertahta di Jawa Tengah,
sehingga ia menyerahkan Galuh kepada keponakannya (Seuweu Karma),
sedangkan Sunda diberikan kepada putranya (Rahiang Tamperan). Nama Galuh
tenggelam hingga akhirnya muncul kembali pada abad XIII sebagai nama sebuah
kerajaan yang berpusat di Kawali. Carita Parahyangan menyebutkan bahwa tokoh
Raja Wastu sama dengan Niskala Wastu Kancana, yaitu putra raja Galuh yang
memerintah di Kawali. Ayah Niskala Wastu Kancana adalah Prabu Maharaja
(1350-1357) yang identik dengan Pasundan Bubat. Selain dalam Carita
Parahyangan, keterangan mengenai Pasundan Bubat terdapat juga dalam
kitab Pararaton dari Majapahit. Pararaton menyebutkan bahwa di sebelah barat
Majapahit terdapat sebuah kerajaan yang bernama Galuh dengan rajanya bernama
Prabu Maharaja.[2]

Hubungan Galuh dengan Majapahit terjadi karena adanya pinangan raja Majapahit
yang bernama Hayam Wuruk kepada putri Prabu Maharaja yang bernama Citra
Kirana Diah Pitaloka. Rencana pernikahan itu gagal karena patih Majapahit yang
bernama Gajah Mada mensyaratkan bahwa pernikahan itu adalah tanda tunduknya
Galuh kepada Majapahit. Prabu Maharaja menolak, ia lebih memilih perang dengan
Majapahit dari pada menjadi taklukan kerajaan itu. Perang antara prajurit kedua
kerajaan terjadi di daerah yang bernama Bubat, menewaskan Prabu Maharaja dan
nyaris seluruh prajurit Galuh.[3] Hanya mangkubumi (patih) Rahyang Bunisora dan
putra bungsu raja yang bernama Niskala Wastu Kancana yang selamat dan berhasil
kembali ke Kawali.

Periode keemasan kerajaan Galuh dicapai pada masa pemerintahan putra Prabu
Maharaja yang bernama Niskala Wastu Kancana (1371-1475). Abad XIV, pusat
pemerintahan Galuh dipindahkan ke Pakuan Pajajaran oleh cucunya yang bergelar
Sri Baduga Maharaja Dewata Prana. Ia menikah dengan putri penguasa kerajaan
Sunda, sehingga memiliki hak atas tahta kerajaan itu. Ia menggabungkan kerajaan
Galuh ke dalam kerajaan Sunda dan memindahkan pusat kekuasaan ke Pakuan
Pajajaran. Peristiwa itu sekaligus mengakhiri berita tentang Galuh periode Kawali.

Penguasa-penguasa Kabupaten Galuh

Nama Galuh muncul kembali pada abad XVI sebagai nama sebuah kerajaan
mandiri yang berpusat di Panaekan. Bersama dengan Sumedang Larang, Galuh
menjadi penerus kerajaan Sunda yang hancur oleh Banten. Pada tahun 1595 ketika
Galuh dipimpin oleh Sanghiang Cipta Permana, Mataram Islam berhasil
menanamkan pengaruh politiknya di Galuh. Pengganti Panembahan Senapati yang
bernama Sultan Agung mengangkat putra Sanghiang Cipta Permana yang bergelar
Adipati Panaekan (1618-1625) sebagai wedana Mataram di Galuh.[4] Langkah
awal Adipati Panaekan adalah memindahkan pusat pemerintahan dari Panaekan ke
Gara Tengah. Tahun 1625 ia dibunuh oleh saudara iparnya yang bernama Adipati
Kertabumi.[5] Pembunuhan itu dipicu oleh perbedaan faham dalam menanggapi
rencana penyerangan terhadap Batavia oleh Mataram. Adipati Panekan berpendapat
lebih baik menyerang Batavia secepatnya agar kekuasaan VOC tidak semakin
berkembang. Singaperbangsa I sependapat dengan Rangga Gempol I, yaitu
menginginkan Galuh memperkuat pasukannya dahulu sebelum menyerang Batavia.
Adipati Panaekan dituduh membantu Adipati Ukur yang memberontak kepada
Mataram karena ingin melepaskan Priangan dari kekuasaan raja Jawa.

Pengganti Adipati Panaekan adalah putranya yang bernama Adipati Imbanagara


(1625-1636). Sama seperti ayahnya, ia mati dibunuh oleh prajurit Mataram pada
tahun 1636.[6] Kematiannya mengakibatkan terjadinya kekosongan kepala
pemerintahan kabupaten Galuh yang kemudian dimanfaatkan oleh patih
Wiranangga untuk mengangkat dirinya sebagai bupati Galuh. Ia berbuat curang
dengan cara mengganti nama calon bupati yang ditunjuk penguasa Mataram dengan
namanya. Piagam pengangkatan itu disembunyikan Wiranangga di kolong
rumahnya. Pengasuh putra Adipati Imbanagara berhasil menemukannya lalu
melaporkan kepada prajurit Mataram. Sebagai hukuman atas kecurangannya,
Wiranangga dihukum mati oleh raja Mataram.

Pengganti Adipati Imbanagara adalah putranya yang bergelar Adipati Panji Aria
Jayanagara (1636-1642).[7] Ia resmi menjadi bupati Galuh pada 5 Rabi’ul
Awal tahun Je yang bertepatan dengan 6 Agustus 1636. Atas saran raja Mataram, ia
mengganti nama kabupaten Galuh menjadi kabupaten Galuh Imbanagara.
Jayanagara memindahkan pusat pemerintahan kabupaten Galuh dari Gara Tengah
ke Barunay.[8] Pada masa pemerintahannya, Galuh dikenai kebijakan reorganisasi
Priangan oleh raja Mataram. Tahun 1641 Mataram membentuk kabupaten-
kabupaten baru di sekitar Galuh, yaitu Bojong Lopang, Utama, Kawasen, dan
Banyumas.

Reorganisasi Priangan terulang kembali pada tahun 1645, yaitu ketika Amangkurat
I berkuasa di Mataram. Tetapi pada reorganisasi wilayah kali itu, luas wilayah
kabupaten Galuh tidak berubah, bahkan ketika diserahkan kepada VOC pun relatif
tetap. Mataram menyerahkan Priangan Timur yang terdiri dari kabupaten
Limbangan, Sukapura, Galuh, dan Cirebon kepada VOC melalui perjanjian 19-20
Oktober 1677. Bupati Galuh yang berkuasa saat itu adalah putra Jayanagara yang
bergelar R.A. Angganaya (1678-1693).[9] VOC menetapkan jumlah cacah untuk
kabupaten Galuh sebanyak 708 jiwa, Kawasen sebanyak 605 jiwa, sedangkan
Bojong Lopang sebanyak 20 jiwa dan 10 desa. Beralihnya kekuasaan dari Mataram
kepada VOC telah memberikan keuntungan, yaitu semakin teraturnya sistem
pemerintahan kabupaten.[10]

Bupati Galuh berikutnya adalah putra Angganaya yang bergelar R.A. Sutadinata
(1693-1706).[11] Bertepatan dengan masa pemerintahannya, VOC
memberlakukan Prianganstesel sebagai sistem ekonomi dan indirect rule sebagai
sistem pemerintahan di seluruh daerah kekuasaannya. Sutadinata adalah bupati
Galuh pertama yang diakui sebagai bupati VOC. Kabupaten Galuh resmi
diserahkan kepada VOC oleh Mataram melalui perjanjian tanggal 5 Oktober 1705
sebagai imbalan atas jasa VOC membantu Pangeran Puger merebut tahta Mataram
dari Amangkurat III.

Pengganti Sutadinata adalah putranya yang bergelar R.A. Kusumadinata I (1706-


1727).[12] Untuk mengawasi para bupati di wilayah Priangan Timur, VOC
mengangkat Pangeran Aria dari Cirebon sebagai opziener.[13] Ia mengeluarkan
kebijakan yang berkaitan dengan Galuh, yaitu mengangkat patih Cibatu sebagai
bupati Kawasen karena dianggap sebagai menak tertua dan pandai. Ia juga melebur
kabupaten Utama ke dalam kabupaten Bojong Lopang.

Pengganti Kusumadinata I adalah putranya yang bergelar R.A. Kusumadinata II


(1727-1751).[14] Ia menjabat bupati dalam waktu yang singkat karena meninggal
dalam usia muda. Ia belum berkeluarga, sehingga jabatan bupati diwariskan kepada
keponakannya yang kelak bergelar R.A. Kusumadinata III. VOC tidak mengangkat
salah satu adik Kusumadinata II, yaitu Danumaya dan Danukriya karena mereka
berlainan ibu, oleh karena itu VOC memutuskan untuk mencalonkan putra kakak
perempuan Kusumadinta II.
Pemerintahan Galuh dijalankan sementara oleh 3 orang wali Kusumadinata III yang
dipimpin oleh R.T. Jagabaya. Pada masa pemerintahannya, terjadi kericuhan besar
di daerah Ciancang yang menyebabkan daerah itu porak-poranda.[15] Peristiwa itu
dipimpin oleh Tumenggung Banyumas dan dibantu oleh Ngabehi Dayeuh Luhur.
VOC menggabungkan Ciancang ke dalam wilayah Imbanagara dan menyerahkan
pengawasannya kepada Jagabaya. Pemerintahan Galuh diserahkan kepada
Kusumadinta III (1751-1801) setelah dewasa.[16] Ia berhasil memulihkan kondisi
Ciancang yang telah digabungkan ke dalam wilayah Imbanagara.[17] Selain
berhasil memulihkan kondisi wilayah Galuh yang menurun, Kusumadinta III
berhasil memperkuat kehidupan agama masyarakat Galuh.[18]

Pengganti Kusumadinata III adalah putranya yang bergelar R.A. Natadikusuma


(1801-1806).[19] Natadikusuma menjabat bupati Galuh dalam waktu yang relatif
singkat. Ia dianggap menghina pejabat Belanda yang bernama Van Bast, sehingga
dipecat dari jabatan bupati.[20] Akibat perbuatannya itu, ia ditahan untuk beberapa
waktu di Cirebon tetapi kemudian dibebaskan dan dikembalikan ke Imbanagara.
Jabatan bupati Galuh tidak diwariskan kepada putra Natadikusuma, tetapi
diserahkan kepada bupati penyelang dari Limbangan, yaitu R.T. Surapraja (1806-
1811).[21]

Akibat perbuatan Natadikusuma, pemerintah kolonial memutuskan untuk


mengurangi wilayah kekuasaan Galuh. Banyumas dan Dayeuh Luhur dikeluarkan
dari wilayah Galuh. Kawasen, Pamotan, Pangandaran, dan Cijulang digabungkan
ke dalam wilayah kabupaten Sukapura, sedangkan Utama dan Cibatu digabungkan
ke dalam wilayah Imbanagara.[22] Bupati Cibatu yang bernama R.T. Jayengpati
Kartanagara (1811-1812) diangkat menjadi bupati Galuh, ia dibebankan kewajiban
membayar utang kabupaten Galuh sebanyak 23.000 Rds.[23]

Jayengpati memindahkan pusat pemerintahan Galuh dari Imbanagara ke Cibatu. Ia


tidak lama menjabat karena pemerintah kolonial menggantinya dengan R.T.
Natanagara (1812) dari Cirebon. Natanagara mengusulkan kepada pemerintah
kolonial untuk memindahkan pusat pemerintahan ke Randengan, tetapi usul itu
ditolak. Natanagara dipecat karena dianggap tidak mampu mengatasi
pemberontakan yang terjadi di Nusa Kambangan. Penggantinya adalah P.
Sutawijaya (1812-1815) dari Cirebon.

Sutawijaya didampingi oleh tiga orang patih, yaitu Wiradikusuma, Wiratmaka, dan
Jayadikusuma. Pada masa pemerintahannya, daerah Dayeuh Luhur, Madura, dan
Nusa Kambangan dimasukkan ke dalam kabupaten Banyumas. Imbanagara
diserahkan kepada patih Wiradikusuma, Cibatu kepada Jayakusuma, sedangkan
Utama kepada Wiratmaka. Sutawijaya memindahkan pusat pemerintahan dari
Cibatu ke Burung Diuk untuk memudahkan pengawasan pembangunan Dayeuh
Anyar yang dipersiapkan sebagai ibu kota kabupaten yang baru.[24]

Patih Galuh yang bernama Wiradikusuma (1815-1819) diangkat sebagai bupati


Galuh menggantikan Sutawijaya yang kembali ke Cirebon.[25] Meskipun sudah
lanjut usia, pemerintah kolonial mempercayainya untuk memimpin kabupaten
Galuh. Pada masa pemerintahannya, pusat pemerintahan Galuh dipindahkan dari
Cibatu ke Ciamis.[26] Ia mengajukan pensiun kepada pemerintah kolonial yang
disetujui pada tahun 1819. Penggantinya adalah putranya yang bergelar R.A.
Adikusuma (1819-1939).[27] Pada masa pemerintahannya, kabupaten Kawali dan
Panjalu digabungkan ke dalam kabupaten Galuh. Untuk selanjutnya kabupaten
Galuh dibagi menjadi 4 distrik, yaitu Ciamis, Kepel, Kawali, dan Panjalu.[28] Pada
masa pemerintahan Adikusuma, pemerintah kolonial menggulirkan Sistem Tanam
Paksa atau Cultuurstelsel. Komoditas tanaman perdagangan yang dikenai tanam
wajib di Galuh adalah kopi, beras, tebu, dan tarum.

Pengganti Adikusuma adalah putranya yang bergelar R.A.A. Kusumadiningrat


(1839-1886).[29] Galuh mengalami perkembangan relatif signifikan di bawah
kepemimpinannya, terutama di bidang pendidikan dan pembangunan fisik.
Kusumadiningrat memprakarsai pembangunan beberapa saluran irigasi yang sangat
berguna bagi pertanian rakyat, yaitu bendungan Nagawangi, Wangundireja,
Cikatomas, dan Nagawiru. Ia juga memprakarsai pembangunan 3 buah pabrik
minyak kelapa dan sebuah pabrik penggilingan kopi.[30] Ia juga membangun
masjid agung Galuh dan gedung-gedung perkantoran di daerah Ciamis. Selain itu,
ia juga berhasil meyakinkan pemerintah kolonial untuk mengalihkan jalur kereta
api melewati daerah kota Ciamis. Jalur kereta itu terpaksa dibangun di atas
jembatan Cirahong agar bisa dialihkan ke kota Ciamis.

Pengganti Kusumadiningrat adalah putranya yang bernama R.A.A. Kusumasubrata


(1886-1914). Sejak kecil ia sudah dibimbing dan persiapkan oleh ayahnya untuk
menjadi penggantinya. Salah satu bentuknya adalah memasukkan Kusumasubrata
(juga saudara-saudaranya) ke sekolah formal selain pesantren.[31] Awalnya
Kusumasubrata disekolahkan di Sakola Kabupaten Sumedang yang memiliki guru
bahasa Belanda bernama Warnaar.[32] Ia tidak melanjutkan sekolahnya karena
sakit, lalu dibawa pulang ke Galuh dan di sekolahkan di Sakola Kabupaten Galuh.
Kusumasubrata melanjutkan sekolahnya, ia didaftarkan ke Kweekschool di
Bandung, tetapi tidak diterima.[33] Akhirnya ia sekolah di Hoofdenschool yang
baru saja dibuka di Bandung.[34] Setelah menyelesaikan sekolahnya, ia magang di
kabupaten Galuh sebagai juru tulis kabupaten.[35]

Keturunan Kusumasubrata tidak ada yang menjadi bupati Galuh. Meskipun dekat
dengan para pejabat Belanda, namun tidak membuat mereka memihak kepada
Belanda. Tidak hanya kepada pejabat Belanda saja mereka memberontak, kepada
para ayah angkatnya yang berkebangsaan Belanda pun mereka cenderung
memberontak. Putra Kusumasubrata yang bernama R. Otto Gurnita Kusumasubrata
menjadi salah satu pendiri Negara Pasundan yang menentang Belanda.

Bupati Galuh berikutnya adalah R.A.A. Sastrawinata (1914-1936). Ia mengganti


nama kabupaten Galuh menjadi kabupaten Ciamis pada tahun 1916. Tahun 1926
bersama-sama dengan kabupaten Tasikmalaya dan Garut, Ciamis dimasukkan ke
dalam afdeeling Priangan Timur. Sastrawinata mendapat Bintang Willems
Orde karena berhasil menumpas pemberontakan komunis yang dipimpin oleh
Egom, Hasan, dan Dirja yang meletus di Ciamis. Ia juga mendapatkan penghargaan
Bintang Tanjung dan stempel singa dari pemerintah kolonial atas jasanya membuka
rawa-rawa di daerah Cisaga untuk dijadikan area pesawahan.

 [1] Nama Sanjaya diidentikan dengan nama penguasa yang disebutkan dalam Prasasti
Canggal (723). Keterangan prasasti Canggal saling melengkapi dan menunjang
dengan Carita Parahyangan.
 [2]Pararaton menyebutkan bahwa Perang Bubat terjadi pada tahun 1357,
sedangkan Carita Parahyangan menyebutkan bahwa Prabu Maharaja memerintah
Galuh hanya 7 tahun sejak 1350. Berdasarkan dua keterangan itu, dapat disimpulkan
bahwa Prabu Maharaja yang memerintah dari tahun 1350 hingga 1357 sezaman
dengan Hayam Wuruk dari Majapahit.
 [3] Konon Gajah Mada mendatangi rombongan Galuh yang beristirahat di daerah
Bubat sebelum melanjutkan perjalanan ke Majapahit. Prabu Maharaja menolak syarat
yang diajukan oleh Gajah Mada karena pada awal pinangan tidak ada persyaratan
apapun. Prabu Maharaja memutuskan kembali ke Kawali tetapi dicegah oleh pasukan
Gajah Mada yang akhirnya menjadi peperangan. Raja dan keluarganya, para pengiring,
dan pasukan Galuh gugur dalam pertempuran itu. Calon pengantin putri memutuskan
bunuh diri dari pada harus menikah dengan Hayam Wuruk yang dianggap sebagai
penyebab kematian seluruh rombongan Galuh.
 [4] Penguasa Galuh sejak Adipati Panaekan tercantum dalam beberapa catatan VOC
dan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Adipati Panaekan adalah bupati pertama yang
diangkat sebagai wedana Mataram di wilayah Mancanagara Kilen dengan anugerah
960 cacah. Tidak berlebihan jika Adipati Panaekan disebut sebagai De oudste der
Wedana’s in de Wester Ommelanden van Mataram. Lihat F. de Haan, ibid, hlm. 68.
 [5] Adipati Kertabumi adalah penguasa kabupaten Bojong Lopang yang dibentuk oleh
Mataram tahun 1641 sebagai kelanjutan dari penanganan pemberontakan Ukur (1630-
1632). Wilayahnya meliputi Majenang, Dayeuh Luhur, Nusa Kambangan, dan daerah
pantai Selatan. Sultan Agung menugasi Adipati Kertabumi untuk menjaga daerah yang
paling dekat dengan Batavia, yaitu Karawang dengan Adipati Kertabumi sebagai
bupatinya. Salah satu keturunannya yang bernama Sastrawinta kelak pada tahun 1914
menjadi bupati Galuh menggantikan Kusumasubrata.
 [6] Berdasarkan keterangan tradisi lisan Galuh, kematian Adipati Imbanagara
disebabkan oleh kemarahan Sultan Agung yang mendapat kabar bahwa Adipati
Imbanagara telah menodai wanita Galuh yang diminta oleh Sultan Agung.
 [7] Namanya adalah Yogaswara, sedangkan nama kecilnya adalah Mas Bongsar. Gelar
Raden Panji Aria dianugerahkan oleh raja Mataram karena Jayanagara dianggap satu
visi dengan raja Mataram.
 [8] Barunay berada sekitar 10 km di sebelah barat ibu kota kabupaten Ciamis. Nama
Barunay diganti menjadi Imbanagara setelah menjadi pusat pemerintahan yang baru.
Pemindahan pusat pemerintahan itu dilakukan tanggal 14 Mulud tahun He atau
bertepatan dengan tanggal 12 Juni 1642 yang dijadikan sebagai hari jadi kabupaten
Ciamis.
 [9] Angganaya adalah putra kedua Jayanagara, ia diangkat menjadi bupati Galuh karena
kakaknya yang bernama R. Anggapraja (nama kecilnya adalah Mas Tumbal) menolak
jabatan bupati yang diwariskan ayahnya karena ia tidak mau bekerja sama dengan
VOC. Angganaya memiliki empat orang anak dari seorang istri, yaitu R. A. Sutadinata, R.
Angganata, R. Ay. Gilang, dan R. Kartadinata.
 [10] Selain bupati, ada beberapa kepala daerah di bawahnya yaitu wedana, penghulu,
dan kepala cutak. Penghasilan para pejabat pemerintahan kabupaten diatur oleh VOC
melalui pembagian tanah jabatan (bengkok) dan wajib kerja (pancen).
 [11] Nama kecilnya adalah Mas Pato, ia adalah bupati Galuh pertama yang
menyerahkan hasil penanaman kepada VOC. Tahun 1695, ia menyerahkan 90 pikul lada
yang ditanam di daerah Kawasen (50 pikul) dan Imbanagara (40 pikul). Selain lada, ia
juga menyerahkan 80 pikul tarum dan 55 pikul kapas.
 [12] Kusumadinata I memiliki nama kecil Mas Bani. Dari pernikahannya dengan dua
orang istri, ia memiliki 5 orang anak, yaitu R. Ay. Candranagara, R.A. Kusumadinata II, R.
Danukria, R. Danumaya, R.Ay. Sarati.
 [13] Kabupaten Karawang dan Cianjur tidak diawasi oleh opziener karena kedua
kabupaten itu dianggap sebagai bagian dari Batavia. Bupati kedua kabupaten itu
berada dalam pengawasan langsung para pejabat VOC. Lihat Otto van Rees, op.cit, hlm.
87.
 [14] Kusumadinata II memiliki nama kecil Mas Baswa, ia juga mendapatkan
sebutan Dalem Kasep yang artinya bupati tampan.
 [15] Nama Ciancang diubah menjadi Utama setelah tiga kali berturut-turut dilanda
kericuhan (nista maja utama).
 [16] Nama kecil Kusumadinata III adalah Mas Garuda, ia masih anak-anak ketika ditujuk
sebagai calon pengganti Kusumadinata II.
 [17] Berkat keberhasilan Kusumadinata III memulihkan kondisi Ciancang, VOC
menganugerahkan baju kebesaran dan lencana perak yang bertuliskan Vergeet Mij
Niet.
 [18] Ia bersahabat dengan beberapa ulama besar dari Cirebon. Salah satu guru
agamanya adalah Kyai Bagus Satariyah yang mengajarkan tarikat satariyah.
 [19] Natadikusuma memiliki nama kecil Demang Gurinda, ia dikenal sebagai bupati
yang sangat dekat dengan rakyatnya dan membenci Belanda. Ia cenderung keras dalam
menghadapi para pejabat Belanda. Ayahnya sempat merasa khawatir dengan sikapnya
yang sering menentang kebijakan kolonial. Ia sangat melindungi rakyatnya dan tidak
segan-segan melawan pejabat Belanda yang dianggap bertindak keterlaluan. Tidak
heran jika pemerintah kolonial mengawasinya secara ketat karena tingkah lakunya
lebih banyak memberontak dari pada patuh kepada mereka. Ia memiliki 22 orang anak
dari 8 orang istri.
 [20] Edi S. Ekajati, op.cit, hlm. 81.
 [21] Sebutan bupati penyelang digunakan untuk mengidentifikasi bupati yang bukan
keturunan Galuh.
 [22] Nama Galuh dipakai kembali sebagai nama kabupaten mengganti Galuh
Imbanagara.
 [23] Natadikusuma dianggap tidak membayar upeti selama 4 tahun, seingga ia
berhutang kepada pemerintah kolonial sebesar 200.000 real yang harus ditanggung
oleh bupati berikutnya.
 [24] Dayeuh Anyar berarti kota baru, kelak dinamai Ciamis setelah pusat pemerintahan
pindah ke kota itu. Nama Ciamis dianggap sebagai penghinaan Sutawijaya kepada
Galuh. Dalam bahasa Cirebon, Ciamis artinya air anyir, sedangkan dalam bahasa Sunda
Ciamis artinya adalah air manis. Kota Ciamis hingga sekarang tetap menjadi ibu kota
kabupaten Ciamis.
 [25] Wiradikusuma mendapat gelar Raden Tumenggung dari pemerintah kolonial
setelah menjabat bupati Galuh.
 [26] Kabupaten Galuh resmi menjadi bagian dari Keresidenan Cirebon
berdasarkan Besluit no. 23/ 5 Januari 1819.
 [27] Pada tahun 1820, Adikusuma secara resmi mendapatkan gaji dari pemeritnah
kolonial sebesar f. 500 dan bengkok seluas 100 bau.
 [28] Kabupaten Galuh dibagi ke dalam empat distrik, yaitu distrik Ciamis, Panjalu,
Kawali, dan Kepel (diubah menjadi distrik Rancah). Jumlah desa mencapai 91 desa,
yang kelak bertambah menjadi 238 desa pada pemerintahan Kusumadiningrat.
 [29] Kusumadiningrat yang lebih dikenal dengan sebutan Kangjeng Prebu sangat besar
minatnya dalam kesenian. Beberapa kesenian rakyat
seperti angklung, reog, ronggeng, calung, terbang, rudat, wayang, penca, dan berbagai
macam ibing (tarian) berkembang pesat pada masa pemerintahannya. Ia bahkan
menciptakan ibing baksa, yaitu ibingnyoderan atau tarian pembuka pada ibing tayub.
 [30] Salah satunya adalah pabrik minyak Olvado yang didirikan di Ciamis, sedangkan
pabrik penggilingan kopi didirikan di Kawali.
 [31] Semua putra Kusumadiningrat disekolahkan di berbagai sekolah, ada yang
di Sakola Kabupaten Galuh, Bandung, dan Sumedang, bahkan di Hoofdenschool.
 [32] R.A.A. Koesoemasubrata, Ti Ngongkoak doegi ka Ngoengkoeeoek, (Bandung:
Mijvorking, 1926), hlm.102.
 [33] Tidak ada keterangan mengenai alasan tidak diterimanya Kusumasubrata di
sekolah itu.
 [34] Sikap Kusumadiningrat mencerminkan kesadarannya dalam menghadapi dan menyikapi
perkembangan serta perubahan zaman. Ia beranggapan bahwa kualitas para putranya harus
ditingkatkan untuk memenuhi tuntutan perubahan zaman.
 [35] Para magang harus mempelajari etiket dan gaya hidup menak serta menghayati
metode. Mereka tinggal dalam lingkungan keluarga menak dan mengerjakan apa saja tanpa
bayaran.

[alert style=”white”] referensi: miniskripmi.blogspot.com (Yulia Sofiani)[/alert]

Anda mungkin juga menyukai