30)
Keluhan Utama : nyeri perut selama 2 hari
Riwayat Penyakit Riwayat kencing manis : disangkal
STATUS Leher
o Inspeksi
o Auskultasi : BU -
o Perkusi : redup seluruh abdomen
o Palpasi : lembut, nyeri tekan seluruh abdomen, defens
muskular seluruh abdomen
Kulit : turgor kulit baik, tidak ada kelainan kulit
Anus dan genital : tidak tampak kelainan
Ekstremitas : akrat hangat, CRT < 2 detik
V. PENGKAJIAN
a. Rencana Diagnostic
-
b. Rencana Terapi Farmakologis
ANESTESI UMUM
o Induksi
- Fentanyl 200 mcg IV
- Ketamine 80 mg IV
- Propofol 30 mg IV
- Atracurium 25 mg IV
o Maintenance
- Air : O2 : Sevoflurance = 2:2:2
o Post-operative
- Ketorolac 30 mg IV
- Tramadol drip 100mg IV dalam 500cc RL
- Ondansentron 4 mg IV
o Airway : Intubasi – single lumen ETT no. 7,5 dengan balon
BLOKADE REGIONAL
o Teknik: Epidural
o Lokasi tusukan L2-3
o Anestesi lokal
Lidocaine 2% 3mL
Pehacaine 1mL
o Anestesi epidural
Levica 0,5% 17mL
c. Evaluasi
Tanda-tanda vital :
o TD 88/74 mmHg
o HR 122x/m
o Respirasi terkontrol oleh ventilator
Mode: SIMV (Synchronized Intermittent Mandatory
Ventilation)
Tidal volume 400, mLRR 12x/menit, FiO2 50%,
SpO2 100%
Alderete score Total 4 ( Aktivitas 0, Respirasi 0, Tekanan
darah 2, Kesadaran 0, Saturasi oksigen 2)
-
ALDERETE SCORE
Kriteria Skor Kondisi
2 Mampu menggerakkan 4 ekstremitas dengan / tanpa
perintah
Aktivitas 1 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas dengan / tanpa
perintah
0 Tidak dapat menggerakkan semua ekstremitas
Respirasi 2 Mampu bernafas dalam dan batuk dengan bebas
1 Dispnea nafas dangkal atau terbatas
0 Apnea
Sirkulasi 2 TD 20 mm dari nilai pra-anestesia
1 TD 10 – 50 mm dari nilai pra-anestesia
0 TD 50 mm dari nilai pra-anestesia
Kesadaran 2 Sadar penuh
1 Bangun ketika dipanggil
0 Tidak berespon
Saturasi 2 Mampu mempertahankan satuwasi O2 > 92%
O2 dengan udara kamar
1 Memerlukan inhalasi O2 untuk mempertahankan
saturasi O2 > 90 %
0 Saturasi O2 > 90 % meski dengan suplemen O2
Score : 4
d. Edukasi
Menjelaskan kepada pasien resiko komplikasi dari blokade
regional epidural:
- Blok tidak merata
- Pungsi dura
- Komplikasi kateter
o Kegagalan pemasangan kateter epidural
o Kateter dapat terinsersi masuk kedalam pembuluh
darah epidural sehingga darah teraspirasi oleh kateter
atau takikardia ditemukan dengan tes dosis.
o Keteter dapat rusak atau menjadi terikat dalam ruang
epidural.
- Injeksi subarachnoid tidak sengaja
- Injeksi intravaskuler anestesi lokal tidak sengaja.
- Overdosis anestesi lokal
- Kerusakan serabut spinal
- Pendarahan akibat perforasi oleh jarum
- Sakit kepala post pungsi dural
- Infeksi abses epidural
- Hematoma epidural
- Depresi kardiovaskuler (hipotensi)
- Hipoventilasi ( hati-hati keracunan obat)
- Mual-muntah
Menjelaskan kepada pasien resiko komplikasi dari anestesi
umum, seperti :
- Nyeri pada luka operasi setelah efek anestesi
- Mual dan muntah
- Trauma pada gigi
- Nyeri pada tenggorokan dan laring
- Reaksi anafilaksis akibat obat-obat anestesi
- Kolaps kardiovaskular
- Depresi napas
- Peneumonitis aspirasi
- Hipotermi
- Kerusakan otak akibat hipoksia
- Trauma saraf
- Emboli
- Nyeri punggung
- Nyeri kepala
- Iatrogenic
- Kematian
VI. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia
Quo ad functionam : malam
Quo ad sanatiomam : bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. ANESTESI UMUM
1. Definisi
Anestesi umum (general anesthesia) merupakan keadaan yang
didapatkan ketika agen obat-obatan anestetik mencapai konsentrasi
tertentu untuk memberikan efeknya secara reversibel pada sistem saraf
pusat, dimana keadaan tidak sadar (unconsciousness), amnesia,
analgesik, immobilisasi, dan melemahnya respon autonom pada stimulasi
berbahaya telah dicapai. Komponen anestesia yang ideal terdiri: sedasi,
analgesia, relaksasi otot. Sedangkan menurut ASA, anestesi umum
berarti kehilangan kesadaran yang diinduksi obat dimana tidak berespon
terhadap rangsang nyeri sekalipun dan membutuhkan intervensi bantuan
jalan napas karena napas spontan yang tidak adekuat serta funsgsi
jantung mungkin bisa terganggu.1,2,3
2. Stadium Anestesi
Gambaran klasik tentang tanda dan tingkat anestesi (tanda Guedel)
berasal dari pengamatan atas efek pembiusan dengan eter yang
berlangsung lambat, walaupun tak lagi banyak digunakan karena anestesi
modern cenderung memperlihatkan masa induksi yang singkat. Semua
zat anestetik menghambat SSP secara beratahap, yang mula-mula
dihambat adalah fungsi yang kompleks, dan yang paling akhir dihambat
ialah medulla oblongata tempat pusat vasomotor dan pernafasan. Adapun
pembagian stadium anestesi menurut Guedel dapat dibagi menjadi: 1,2
Stadium I (Analgesia/Disorientasi)
Stadium I dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai
hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti
perintah dan terdapat analgesi. Tindakan pembedahan ringan, seperti
pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini.
Stadium ini berakhir ditandai oleh hilangnya refleks bulu mata.
Stadium II (Eksitasi/Delirium)
Stadium II dimulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan
pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss cahaya (+),
pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi
dan diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata.
Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan
hingga hilangnya pernapasan spontan. Stadium ini ditandai oleh
hilangnya pernapasan spontan, hilangnya reflekss kelopak mata dan
dapat digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan mudah. Stadium
ini dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu :
a. Tingkat I : Dari napas teratur sampai berhentinya gerakan bola
mata. Ditandai dengan napas teratur, napas torakal sama dengan
abdominal. Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks
cahaya (+), lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah
menghilang, tonus otot menurun.
b. Tingkat II : Dari berhentinya gerakan bola mata sampai
permulaan paralisis otot interkostal. Ditandai dengan pernapasan
teratur, volume tidak menurun dan frekuensi napas meningkat,
mulai terjadi depresi napas torakal, bola mata berhenti, pupil
mulai melebar dan refleks cahaya menurun, refleks kornea
menghilang dan tonus otot makin menurun.
c. Tingkat III : Dari permulaan paralisis otot interkostal sampai
paralisis seluruh otot interkostal. Ditandai dengan pernapasan
abdominal lebih dorninan dari torakal, pupil makin melebar dan
refleks cahaya menghilang, lakrimasi negafif, refleks laring dan
peritoneal menghilang, tonus otot makin menurun.
d. Tingkat IV : Dari paralisis semua otot interkostal sampai
paralisis diafragma. Ditandai dengan paralisis otot interkostal,
pernapasan lambat, iregular dan tidak adekuat, terjadi jerky
karena terjadi paralisis diafragma. Tonus otot makin menurun
sehingga terjadi flaccid, pupil melebar, refleks cahaya negatif,
refleks spincter ani negatif.
Stadium IV
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian
akan segera diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya
pasien meninggal. Pada stadium ini berarti terjadi kedalaman anestesi
yang berlebihan.
Induksi intramuskular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan
secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit
pasien tidur. 1,2,4,5
Induksi inhalasi
Anestetik inhalasi yang umum digunakan adalah N2O, halotan,
enfluran, isoflurane, dan sevoflurane. Induksi inhalasi hanya dikerjakan
dengan halotan (fluotan) atau sevofluran. Cara induksi ini dikerjakan
pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau pada dewasa
yang takut disuntik. Induksi semakin cepat apabila disertai oleh N2O
(efek gas kedua). Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau
campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 >4 liter/menit
atau campuran N2O:O2=3:1 aliran >4 liter/menit, dimulai dengan
halotan 0,5 vol% sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien
batuk, konsentrasi halotan diturunkan untuk kemudian jika sudah
tenang dinaikkan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang
batuk, walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8
vol%. Seperti dengan halotan konsentrasi dipertahankan sesuai
kebutuhan. Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran)
atau desfluran jarang dilakukan, karena pasien sering menjadi batuk dan
waktu induksi yang lama. 1,2,4,5
Induksi per rektal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi, menggunakan thiopental
atau midazolam. 1,2,4,5
Induksi mencuri
Induksi mencuri (steal induction) dilakukan pada anak atau bayi
yang sedang tidur. Untuk yang sudah ada jalur vena tidak masalah,
tetapi pada yang belum terpasang jalur vena, harus dikerjakan dengan
hati-hati supaya pasien tidak terbangun. Induksi mencuri inhalasi
seperti induksi inhalasi biasa hanya sungkup muka tidak ditempelkan
pada muka pasien, tetapi kita berikan jarak beberapa sentimeter sampai
pasien tertisur baru sungkup muka ditempelkan. 1,2,3,4,5
Barbiturat
Benzodiazepine
Neuroleptik
Kelompok obat neuroleptik digunakan untuk mengurangi mual
dan muntah akibat anestetik pada masa induksi maupun pemulihan,
misalnya droperidol yang biasa digunakan bersama fentanil. Kualitas
sedasinya pun lebih baik daripada kualitas sedasi yang ditimbulkan
bila menggunakan morfin saja. Golongan fenotiazin seperti
klorpromazin atau prometazin juga dapat mengurangi muntah, tetapi
penggunaannya dibatasi oleh adanya efek hipotensi intraoperatif dan
takikardi.
B. Induksi Anestesi
Induksi Intravena
Paling banyak dikerjakan dan digemari. Induksi intravena
dikerjakan dengan hati-hati, perlahan, lembut dan terkendali. Obat
induksi bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama
induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus
diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien yang
kooperatif. Obat-obat induksi intravena: 1,3,4
Tiopental (pentotal, tiopenton) amp 500 mg atau 1000 mg
Sebelum tiopental digunakan dilarutkan dalam akuades
steril sampai kepekatan 2,5% (1ml=25mg). Tiopental hanya boleh
digunakan untuk intravena yaitu dengan dosis 3-7 mg/kg
disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik.
Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan
menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hipnosis,
anestesi atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran darah
otak, tekanan likuor, tekanan intracranial dan diguda dapat
melindungi otak akibat kekurangan O2. Dosis rendah bersifat anti-
analgesik
Propofol (diprivan, recofol)
Propofol dikemas ke dalam cairan emulsi lemak berwarna
putih susu yang bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1 ml = 10
mg). Suntikan intravena seringkali menyebabkan nyeri, sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg
intravena. Dosis bolus propofol untuk induksi adalah 2-2,5 mg/kg,
sedangkan untuk dosis rumatannya adalah anesthesia intravena
total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2
mg/kg. pengenceran hanya diperbolehkan menggunakan dekstrosa
5%. Propofol tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada
wanita hamil.
Ketamin (ketalar)
Ketamin seringkali menimbulkan takikardia, hipertensi,
hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anesthesia bahkan dapat
menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur serta mimpi buruk.
Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi midazolam
(dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg
intravena dan untuk mengurangi salvias diberikan sulfas atropin
0,01 mg/kg. Dosis ketamin untuk bolus adalah 1-2 mg/kg dan
untuk intramuscular 3-10 mg. Ketamin dikemas dalam cairan
bening kepekatan 1% (1 ml = 10 mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% (
1 ml = 100 mg).
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Opioid diberikan dosis tinggi. Obat ini tidak mengganggu
kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien
dengan kelainan jantung. Anestesi opioid ini sendiri digunakan
fentanil dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1
mg/kg/menit.
Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan
secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit
pasien tidur. 1,3,4
Induksi inhalasi
Berikut ini adalah agen induksi inhalasi: 1,3,4
N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen
monoksida)
Gas ini berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi,
tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian
harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah,
analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk
mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi
inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi
dengan salah satu cairanan astetik lain seperti halotan.
Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan
diberikan analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar
faring laring.Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas,
menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi,
vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard,
dan inhibisi reflex baroreseptor. Merupakan analgesi lemah,
anestesi kuat. Halotan menghambat pelepasan insulin
sehingga meninggikan kadar gula darah.
Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat disbanding halotan dan
enfluran lebih iritatif dibanding halotan. Depresi terhadap
sirkulasi lebih kuat disbanding halotan, tetapi lebih jarang
menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik
lebih baik dibanding halotan.
Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga
isofluran banyak digunakan untuk bedah otak.Efek terhadap
depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga
digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak
digunakan pada pasien dengan gangguan coroner.
Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan
isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang
jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi
inhalasi di samping halotan.
Single Breath Vital Capacity Induction
Single breath vital capacity induction adalah induksi dengan
agen inhalasi (biasanya sevofluren) dosis tinggi saat inspirasi pada
kapasitas vital. Pertama-tama pasien diminta untuk
menghembuskan volume residual pada paru, kemudian letakkan
mask pada wajah yang diikuti dengan inhalasi pada kapasitas vital.
Setelah itu nafas ditahan selama minimal 20 detik baru kemudian
ekspirasi. Teknik ini dapat digunakan sebagai alternative dari
induksi intravena atau pada anak-anak. Pada anak-anak, efeknya
lebih maksimal pada usia diatas 9 tahun. Teknik ini menggunakan
8% sevofluarane ditambah dengan 6 L/min O2 atau bisa ditambah
dengan agen inhalasi kedua, N2O yang berdasarkan penelitian
dapat pempercepat induksi. 6,7
Induksi perektal
Dapat dipakai pada anak untuk induksi anestesi atau tindakan
singkat. Obat induksi per rektal adalah tiopental atau midazolam.
Midazolam memiliki kontraindikasi dengan glaukoma sudut sempit
akut, miastenia gravis, syok atau koma, intoksikasi alkohol akut
dengan depresi tanda- tanda vital, bayi prematur. Efek samping dapat
menyebabkan kejadian- kejadian kardiorespirasi, fluktuasi pada tanda-
tanda vital. 1,3,4
Induksi mencuri
Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi
inhalasi biasa hanya sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka
pasien, tetapi kita berikan jarak beberapa sentimeter, sampai pasien
tertidur baru sungkup muka kita tempelkan. 1,3,4
Pelumpuh otot nondepolarisasiTracurium 20 mg (Atracurium)
Berikatan dengan reseptor nikotinik - kolinergik, tetapi tidak
menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin
menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja. Dosis awal
0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasi selama 20-45
menit, kecepatan efek kerjanya -2 menit. Tanda-tanda kekurangan
pelumpuh otot: cegukan (hiccup), dinding perut kaku, dan ada tahanan
pada inflasi paru. 1,3,4
C. Rumatan
Rumatan anestesia (maintenance) dapat diberikan secara intravena
(anestesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran
intravena dan inhalasi. Rumatan anestesia biasanya mengacu pada trias
anestesia yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia
cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri
dan relaksasi otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis
tinggi, fentanil 10-50 mikrogram/kgbb. Dosis tinggi opioid menyebabkan
pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan
relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan
opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infus propofol 4-12
mg/kgbb/jam. Bedah lama dengan anestesia total intravena menggunakan
opioid, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru
digunakan inhalasi dengan udara O2 atau N2O dan O2. 1,8,9
B. Pemberian Anestesi
Induksi Anestesi
Tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar,
sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi
dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal.
Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan
dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan pembedahan selesai.
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICSS’: 2,5,8
C. Monitoring Perianestesi
Monitoring Standar
Rekam medis sebelum anestesia sangat penting diketahui, apakah
pasien berada dalam keadaan segar bugar atau sedang menderita suatu
penyakit sistemik. Monitoring dasar pada pasien dalam keadaan
anestesia adalah monitoring tanpa alat atau dengan alat sederhana
seperti stetoskop dan tensimeter, serta dengan pemeriksaan fisik
inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
Monitoring Kardiovaskular
Non-invasif (tak langsung)
o Nadi
Monitoring terhadap nadi merupakan keharusan, karena
gangguan sirkulasi sering terjadi selama anastesi. Makin
bradikardi makin menurunkan curah jantung. Monitoring
terhadap nadi dapat dilakukan dengan cara palpasi arteria
radialis, brakialis, femoralis atau karotis. Dengan palpasi dapat
diketahui frekuensi, irama dan kekuatan nadi. Cara palpasi dan
cara auskultasi ini terbatas, karena kita tidak dapat
melakukannya secara terus menerus.
o Tekanan darah
Monitoring nadi secara kontinyu dapat dilakukan dengan
peralatan elektronik seperti EKG atau oksimeter yang disertai
dengan alarm. Pemasangan EKG untuk mengetahui secara
kontinyu frekuensi nadi, distrimia, iskemia jantung, gangguan
konduksi, abnormalitas elektrolit dan fungsi ‘pacemaker’.
Tekanan darah dapat diukur secara manual atau otomatis dengan
manset yang harus tepat ukurannya (lebarnya kira-kira 2/3 lebar
jarak olekranon-akromion, atau 40% dari keliling besarnya
lengan), karena terlalu lebar menghasilkan nilai lebih rendah
dan terlalu sempit menghasilkan nilai lebih tinggi. Tekanan
sistolik-diastolik diketahui dengan cara auskultasi, palpasi,
sedangkan tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure)
diketahui secara langsung dengan monitor tekanan darah
elektronik atau dengan menghitung yaitu 1/3 (tekanan sistolik +
2 x tekanan diastolik) atau tekanan diastolik + 1/3 (tekanan
sistolik – tekanan diastolik).
o Banyaknya perdarahan
4. Pendekatan Anatomis
Blokade epidural dapat dilakukan pada level lumbal, torakal, atau
servikal. Lumbal epidural merupakan daerah anatomis yang paling sering
menjadi tempat insersi atau tempat memasukan epidural anestesia dan
analgesia. Pendekatan median atau paramedian dapat dikerjakan pada
tempat ini. Anestesia lumbal epidural dapat dikerjakan untuk tindakan-
tindakan dibawah diafragma. Oleh karena medula spinalis berakhir pada
level L1, keamanan blok epidural pada daerah lumbal dapat dikatan aman,
terutama apabila secara tidak sengaja sampai menembus dura. 1,4
Torakal epidural secara teknik lebih sulit dibandingkan teknik
lumbal epidural. Selain itu, risiko cedera pada medula spinalis lebih besar.
Pendekatan median dan paramedian dapat dipergunakan. Teknik torakal
epidural lebih banyak digunakan untuk intra atau post operatif analgesia.
1,4
5. Teknik
Berikut ini adalah teknik tatalaksana anestesi epidural: 1,4
Posisi pasien saat tusukan seperti pada analgesi spinal, lateral
decubitus (pada pasien dengan cedera/fraktur pinggul dan kaki)
atau duduk (pada pasien obesitas dan sering diindikasikan untuk
operasi lumbar bawah dan sacral)
Tusukan jarum epidural biasanya dikerjakan pada ketinggian L3-4
karena jarak antara ligementum flavum-duramater pada ketinggian
ini adalah yang terlebar. Untuk lumbal dan torakal, teknik yang
digunakan adalah median dan paramedian, sedangkan untuk
servikal adalah median.
Jarum yang digunakan bisa jarum ujung panjang (Crawdord)
unutuk dosis tunggal atau jarum ujung khusus (Tuohy) sebagai
pemandu untuk memasukkan kateter ke ruang epidural.
Gambar 9. Jarum epidural
Untuk mengenal ruang epidural, digunakan teknik hilangnya
resistensi dan teknik tetes tergantung
o Teknik hilangnya resistensi (loss of resistance)
Teknik ini lebih banyak digunakan oleh klinisi. Teknik ini
menggunakan spuit gelas yang diisi oleh udara atau NaCl
sebanyak 2-3 mL. Setelah diberikan anestetik local pada
tempat suntikan, jarum epidural ditusukkan sedalam 1-2 cm
menembus jaringan subkutan dengan stilet masih terpasang
sampai mencapai ligamentum interspinosum yang ditandai
dengan meningkatnya resistensi jaringan. Kemudian stilet
atau introducer dilepaskan dan spuit gelas yang terisi 2-3
ml cairan disambungkan ke jarum epidural tadi. Kemudian
udara atau NaCl disuntikkan perlahan-lahan secara
terputus-putus (intermiten) sambal mendorong jarum
epidural sampai terasa menembus jaringan keras
(ligamentum flavum) yang disusul oleh hilangnya
resistensi. Bila ujung jarum masih berada pada ligamentum,
suntikan secara lembut akan mengalami hambatan dan
suntikan tidak bisa dilakukan. Setelah yakin ujung jarum
berada dalam ruang epidural, lakukan uji dosis (test dose).
o Teknik tetes bergantung (hanging drop)
Persiapan sama seperti teknik hilangnya resistensi, tetapi
pada teknik ini hanya menggunakan jarum epidural yang
diisi NaCl sampai terlihat ada tetes NaCL yang
menggantung. Dengan mendorong jarum epidural perlahan-
lahan secara lembut sampai terasa menembus jaringan
keras, kemudia disusul dengan tersedotnya NaCl ke ruang
epidural/ setelah yakin ujung jarum berada di ruang
epidural, lakukan uji dosis.
Gambar 10. A. Teknik hilangnya resistensi. B. Teknik tetes
bergantung.
6. Obat Anestesi
Obat-obatan digunakan sesuai dengan efek klinis yang dibutuhkan,
apakah untuk sebagai anestesi primer, suplementasi pada anestesi umum,
atau untuk analgetia. Berikan bolus 1-2ml per segmen. Suntikan 10-15 ml
obat akan menyebar ke kedua sisi sebanyak 5 segmen. Dosis ulangan
melalui kateter epidural dilakukan apabila telah menunjukkan regresi blok.
Waktu regrasi dua segmen sesuai dengan karakteristik anestesi lokal dan
didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya penurunan
level sensoris sebanyak 2 level dermatom. Bila terjadi penurunan level
sensoris, berikan suntikan ulang. Anestesi lokal yang digunakan untuk
epidural: 1,4
Lidokain (xylokain, lodonest)
Umumnya digunakan 1-2% dengan mula kerja 10 menit dan
relaksasi otot baik. 0,8% untuk blokade sensorik baik tanpa
blokade motorik. 1,5 % untuk pembedahan. 2% untuk relaksasi
pasien berotot.
Bupivakain (markain)
Konsentrasi 0,5% tanpa adrenalin, analgesianya sampai 8 jam.
Volum yang digunakan < 20mk
Gambar 12. Obat anestesi epidural
7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah: 1,4
Blok tidak merata
Blok unilateral dapat terjadi bila obat diberikan lewat
kateter yang keluar dari ruang epidural. Bila blok unilateral terjadi,
masalah tersebut dapat diatasi dengan menarik kateter 1-2 cm dan
disuntikan ulang dimana pasien diposisikan dengan bagian yang
belum terblok berada disisi bawah.
Pungsi dura
Pungsi dural yang tidak disengaja terjadi pada 1 % injeksi
epidural. Jika
hal ini terjadi, perubahan ke anestesi spinal dapat terjadi oleh
injeksi sejumlah anestesi kedalam aliran cairan serebrospinal.
Kemudian anestesi spinal dapat dikerjakan dengan menyuntikkan
sejumlah anestesi lokal ke ruang subarachnoid melalui jarum. Jika
anestesi epidural diperlukan (misalnya untuk analgesia post-
operasi), kateter akan direposisikan kedalam interspace diatas
pungsi dengan demikian ujung dari kateter epidural berada jauh
dari tempat pungsi dural. Kemungkinan anestesi spinal dengan
injeksi kateter epidural dapat dipertimbangkan.
Komplikasi kateter
o Kegagalan pemasangan kateter epidural
o Kateter dapat terinsersi masuk kedalam pembuluh darah
epidural sehingga darah teraspirasi oleh kateter atau
takikardia ditemukan dengan tes dosis.
o Keteter dapat rusak atau menjadi terikat dalam ruang
epidural.
Injeksi subarachnoid tidak sengaja
Injeksi dengan sejumlah besar volume anestesi lokal
kedalam ruang subarachnoid dapat menghasilkan anestesi spinal
yang total.
Injeksi intravaskuler anestesi lokal tidak sengaja
Menyebabkan toksisitas pada sistim saraf pusat dan
kardiovaskuler yang menyebabkan konvulsi dan cardiopulmonary
arrest.
Overdosis anestesi lokal
Toksisitas anestesi local secara sistemik kemungkinan
disebabkan oleh adanya penggunaan obat yang jumlahnya relatif
basar pada anestesi epidural.
Kerusakan serabut spinal
Dapat terjadi jika injeksi epidural diatas lumbal 2. Onset
paresthesia unilateral menandakan insersi jarum secara lateral
masuk kedalam ruang epidural. Injeksi atau insersi kateter pada
bagian ini dapat menyebabkan trauma pada serabut saraf. Saluran
kecil arteri pada arteri spinal anterior juga masuk kedalam area ini
dimana melewati celah pada foramen intervertebral. Trauma pada
arteri tersebut dapat menyebabkan iskemia kornu anterior atau
hematoma epidural.
Pendarahan akibat perforasi oleh jarum
Dapat menyebabkan suatu perdarahan yang emergensi dan
mematikan. Jarum seharusnya dipindahkan dan direposisikan.
Lebih baik mereposisikan jarum pada ruang yang berbeda, dimana
jika terdapat perdarahan pada tempat itu maka
dapat meyebabkan kesulitan dalam penempatan jarum secara tepat.
Sakit kepala post pungsi dural
Jika dural dipungsi dengan jarum epidural ukuran 17,
menyebabkan sebanyak 75 % dari pasien muda untuk menderita
sakit kepala post pungsi dural.
Infeksi abses epidural
Suatu komplikasi yang sangat jarang timbul akibat anestesi
epidural. Sumber infeksi dari sebagian besar kasus berasal dari
penyebaran secara hematogen pada ruang epidural dari suatu
infeksi pada bagian yang lain . Infeksi dapat juga timbul dari
kontaminasi sewaktu insersi, kontaminasi kateter yang
dipergunakan untuk pertolongan nyeri post-operasi atau melalui
suatu infeksi kulit pada tempat insersi.
Pasien akan mengalami demam, nyeri punggung yang
hebat dan lemah punggung secara lokal. Selanjutnya dapat terjadi
nyeri serabut saraf dan paralisis. Pada awalnya pemeriksaan
laboratorium ditemukan suatu lekosit dari lumbal pungsi. Diagnosa
pasti ditegakkan dengan pemeriksaan Myelography atau Magnetic
Resonance Imaging (MRI). Penanganan yang dianggap penting
adalah dekompresi laminektomi dan pemberian antibiotik.
Penyembuhan neurologik yang baik adalah berhubungan dengan
cepatnya penegakan diagnosis dan penanganan.
Hematoma epidural
Suatu komplikasi yang sangat jarang dari anestesi epidural.
Trauma pada vena epidural menimbulkan coagulophaty yang dapat
menyebabkan suatu hematoma epidural yang besar. Pasien akan
merasakan nyeri punggung yang hebat dan defisit neurologi yang
persisten setelah anestesi epidural. Diagnosis dapat segera
ditegakkan dengan computered tomography atau MRI. Dekompresi
laminektomi penting dilakukan untuk memelihara fungsi neurologi
Depresi kardiovaskuler (hipotensi)
Hipoventilasi ( hati-hati keracunan obat)
Mual-muntah