Anda di halaman 1dari 55

I. ANAMNESIS (12 Juli 2019 pukul 02.

30)
Keluhan Utama : nyeri perut selama 2 hari
Riwayat Penyakit Riwayat kencing manis : disangkal

STATUS Leher
o Inspeksi
o Auskultasi : BU -
o Perkusi : redup seluruh abdomen
o Palpasi : lembut, nyeri tekan seluruh abdomen, defens
muskular seluruh abdomen
 Kulit : turgor kulit baik, tidak ada kelainan kulit
 Anus dan genital : tidak tampak kelainan
 Ekstremitas : akrat hangat, CRT < 2 detik

II. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Hasil pemeriksaan laboratorium (11 Juli 2019)
NILAI
PARAMETER HASIL SATUAN
RUJUKAN
A. Hematologi
Darah Rutin
Hemoglobin 10,4 11,7 – 15,5 g/dl
Hematokrit 31,0 35 - 47 %
Leukosit 14,1 4 - 11 10^3/uL
Trombosit 406 150 – 440 10^3/uL
Golongan darah O A/B/AB/O mg/L
Rhesus (+) POS - mg/L
B. Kimia
GD Sewaktu 101 80 – 120 mg/dl
Ureum 71,9 10,0 – 50,0 null
Kreatinin 1,95 0,60 – 1,30 mg/dl
SGOT 8 0 – 35 U/L
SGPT 9 0 - 35 U/L
Albumin 2,52 3,50-5,50 g/dL
Natrium 130 135-145 mmol/L
Kalium 5,6 3,5-5,3 mmol/L
Chlorida 102 95-106 mmol/L
Gas Darah
pH 7,45 7,35-7,45
pCO2 17 35-45 mmHg
pO2 187 71-104 mmHg
HCO3 11 22-29 mmol/L
Sat O2 99,7 94-98 %
BE -9,8 - Mmol/L
C. Pemeriksaan Urine
Urine Lengkap
Warna orange Kuning
Kekeruhan keruh Jernih
Berat Jenis 1,025 1,010-1,030
pH 5,0 4,8-7,4
Leukosit 1+ Negative
Nitrit -/negative Negative
Protein 1+ Negative
Glukosa Normal Normal
Keton -/negative Negative
Urobilinogen 3,2 3,2-16
Bilirubin -/negative Negative
Eritrosit 2+ Negative
Sedimen
Eritrosit (sedimen) 20-35 0-1 /LPB
Leukosit (sedimen) 4-6 0-5 /LPB
Silinder -/negative Negative
Kristal -/negative Negative
Epitel Transisitional 0 0-2 /LPB
Epitel Tubular Ginjal -/negative Negative
Epitel Gepeng 5-7 0-2 /LPB
Bakteri -/negative Negative
Jamur -/negative Negative
Test Kehamilan Negative Negative Mg/L

2. Hasil Foto Polos Thorax AP/PA CR (11 Juli 2019)


Bronchopneumonia
3. Hasil BNO 3 Posisi CR (11 Juli 2019)
Ileus, curiga perforasi
Scoliosis vertebra lumbal dengan konveksitas ke kiri
III. RESUME
Pasien mengeluh nyeri perut pada seluruh abdomen selama 2
tahun dengan intensitas nyeri 3 dari 10. Nyeri perut berawal dari nyeri
perut kanan bawah. Nyeri dirasakan hilang timbul dengan frekuensi 5-
6 kali sehari selama 10-15 menit. Nyeri yang dirasakan merupakan
nyeri tumpul. Faktor pemberat nyeri adalah gerakan. Pasien juga
mengeluh demam dan tidak bisa BAB serta flatus selama 2 hari ini.
Pasien juga merasa mual
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit
sedang. Pada pemeriksaan fisik abdomen didapatkan abdomen yang
cembung, BU (-) dan perkusi redup diseluruh abdomen. Saat
dipalpasi, abdomen terasa lembut, nyeri tekan dan defans muscular
diseluruh abdomen.
Pada pemeriksaan darah, didapatkan penurunan hemoglobin dan
hematokrit, leukositosis, peningkatan ureum kreatinin, hipoalbumin,
hiponatremi, dan hiperkalsemi. Pada pemeriksaan gas darah,
didapatkan penurunan pCO2 dan HCO3, dan peningkatan pO2. Pada
pemeriksaan urin, didapatkan urin dengan warna orange keruh dan
terdapat leukosit, eritrosit, dan peningkatan jumlah epitel gepeng.
Pemeriksaan status fisik menurut ASA didapatkan ASA III.

IV. DIAGNOSA KERJA


Peritonitis et causa perforasi caecum dengan ASA III.

V. PENGKAJIAN
a. Rencana Diagnostic
-
b. Rencana Terapi Farmakologis
ANESTESI UMUM
o Induksi
- Fentanyl 200 mcg IV
- Ketamine 80 mg IV
- Propofol 30 mg IV
- Atracurium 25 mg IV
o Maintenance
- Air : O2 : Sevoflurance = 2:2:2
o Post-operative
- Ketorolac 30 mg IV
- Tramadol drip 100mg IV dalam 500cc RL
- Ondansentron 4 mg IV
o Airway : Intubasi – single lumen ETT no. 7,5 dengan balon

BLOKADE REGIONAL
o Teknik: Epidural
o Lokasi tusukan L2-3
o Anestesi lokal
 Lidocaine 2% 3mL
 Pehacaine 1mL
o Anestesi epidural
 Levica 0,5% 17mL

c. Evaluasi
 Tanda-tanda vital :
o TD 88/74 mmHg
o HR 122x/m
o Respirasi terkontrol oleh ventilator
 Mode: SIMV (Synchronized Intermittent Mandatory
Ventilation)
 Tidal volume 400, mLRR 12x/menit, FiO2 50%,
SpO2 100%
 Alderete score  Total 4 ( Aktivitas 0, Respirasi 0, Tekanan
darah 2, Kesadaran 0, Saturasi oksigen 2)
-
ALDERETE SCORE
Kriteria Skor Kondisi
2 Mampu menggerakkan 4 ekstremitas dengan / tanpa
perintah
Aktivitas 1 Mampu menggerakkan 2 ekstremitas dengan / tanpa
perintah
0 Tidak dapat menggerakkan semua ekstremitas
Respirasi 2 Mampu bernafas dalam dan batuk dengan bebas
1 Dispnea nafas dangkal atau terbatas
0 Apnea
Sirkulasi 2 TD 20 mm dari nilai pra-anestesia
1 TD 10 – 50 mm dari nilai pra-anestesia
0 TD 50 mm dari nilai pra-anestesia
Kesadaran 2 Sadar penuh
1 Bangun ketika dipanggil
0 Tidak berespon
Saturasi 2 Mampu mempertahankan satuwasi O2 > 92%
O2 dengan udara kamar
1 Memerlukan inhalasi O2 untuk mempertahankan
saturasi O2 > 90 %
0 Saturasi O2 > 90 % meski dengan suplemen O2
Score : 4

d. Edukasi
 Menjelaskan kepada pasien resiko komplikasi dari blokade
regional epidural:
- Blok tidak merata
- Pungsi dura
- Komplikasi kateter
o Kegagalan pemasangan kateter epidural
o Kateter dapat terinsersi masuk kedalam pembuluh
darah epidural sehingga darah teraspirasi oleh kateter
atau takikardia ditemukan dengan tes dosis.
o Keteter dapat rusak atau menjadi terikat dalam ruang
epidural.
- Injeksi subarachnoid tidak sengaja
- Injeksi intravaskuler anestesi lokal tidak sengaja.
- Overdosis anestesi lokal
- Kerusakan serabut spinal
- Pendarahan akibat perforasi oleh jarum
- Sakit kepala post pungsi dural
- Infeksi abses epidural
- Hematoma epidural
- Depresi kardiovaskuler (hipotensi)
- Hipoventilasi ( hati-hati keracunan obat)
- Mual-muntah
 Menjelaskan kepada pasien resiko komplikasi dari anestesi
umum, seperti :
- Nyeri pada luka operasi setelah efek anestesi
- Mual dan muntah
- Trauma pada gigi
- Nyeri pada tenggorokan dan laring
- Reaksi anafilaksis akibat obat-obat anestesi
- Kolaps kardiovaskular
- Depresi napas
- Peneumonitis aspirasi
- Hipotermi
- Kerusakan otak akibat hipoksia
- Trauma saraf
- Emboli
- Nyeri punggung
- Nyeri kepala
- Iatrogenic
- Kematian

VI. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia
Quo ad functionam : malam
Quo ad sanatiomam : bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANESTESI UMUM
1. Definisi
Anestesi umum (general anesthesia) merupakan keadaan yang
didapatkan ketika agen obat-obatan anestetik mencapai konsentrasi
tertentu untuk memberikan efeknya secara reversibel pada sistem saraf
pusat, dimana keadaan tidak sadar (unconsciousness), amnesia,
analgesik, immobilisasi, dan melemahnya respon autonom pada stimulasi
berbahaya telah dicapai. Komponen anestesia yang ideal terdiri: sedasi,
analgesia, relaksasi otot. Sedangkan menurut ASA, anestesi umum
berarti kehilangan kesadaran yang diinduksi obat dimana tidak berespon
terhadap rangsang nyeri sekalipun dan membutuhkan intervensi bantuan
jalan napas karena napas spontan yang tidak adekuat serta funsgsi
jantung mungkin bisa terganggu.1,2,3

2. Stadium Anestesi
Gambaran klasik tentang tanda dan tingkat anestesi (tanda Guedel)
berasal dari pengamatan atas efek pembiusan dengan eter yang
berlangsung lambat, walaupun tak lagi banyak digunakan karena anestesi
modern cenderung memperlihatkan masa induksi yang singkat. Semua
zat anestetik menghambat SSP secara beratahap, yang mula-mula
dihambat adalah fungsi yang kompleks, dan yang paling akhir dihambat
ialah medulla oblongata tempat pusat vasomotor dan pernafasan. Adapun
pembagian stadium anestesi menurut Guedel dapat dibagi menjadi: 1,2
 Stadium I (Analgesia/Disorientasi)
Stadium I dimulai dari saat pemberian zat anestetik sampai
hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih dapat mengikuti
perintah dan terdapat analgesi. Tindakan pembedahan ringan, seperti
pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium ini.
Stadium ini berakhir ditandai oleh hilangnya refleks bulu mata.
 Stadium II (Eksitasi/Delirium)
Stadium II dimulai dari akhir stadium I dan ditandai dengan
pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss cahaya (+),
pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi
dan diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata.
 Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan
hingga hilangnya pernapasan spontan. Stadium ini ditandai oleh
hilangnya pernapasan spontan, hilangnya reflekss kelopak mata dan
dapat digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan mudah. Stadium
ini dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu :
a. Tingkat I : Dari napas teratur sampai berhentinya gerakan bola
mata. Ditandai dengan napas teratur, napas torakal sama dengan
abdominal. Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks
cahaya (+), lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah
menghilang, tonus otot menurun.
b. Tingkat II : Dari berhentinya gerakan bola mata sampai
permulaan paralisis otot interkostal. Ditandai dengan pernapasan
teratur, volume tidak menurun dan frekuensi napas meningkat,
mulai terjadi depresi napas torakal, bola mata berhenti, pupil
mulai melebar dan refleks cahaya menurun, refleks kornea
menghilang dan tonus otot makin menurun.
c. Tingkat III : Dari permulaan paralisis otot interkostal sampai
paralisis seluruh otot interkostal. Ditandai dengan pernapasan
abdominal lebih dorninan dari torakal, pupil makin melebar dan
refleks cahaya menghilang, lakrimasi negafif, refleks laring dan
peritoneal menghilang, tonus otot makin menurun.
d. Tingkat IV : Dari paralisis semua otot interkostal sampai
paralisis diafragma. Ditandai dengan paralisis otot interkostal,
pernapasan lambat, iregular dan tidak adekuat, terjadi jerky
karena terjadi paralisis diafragma. Tonus otot makin menurun
sehingga terjadi flaccid, pupil melebar, refleks cahaya negatif,
refleks spincter ani negatif.
 Stadium IV
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian
akan segera diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya
pasien meninggal. Pada stadium ini berarti terjadi kedalaman anestesi
yang berlebihan.

Gambar 1. Depth of anesthesia (goedle’s sign)

3. Indikasi, Kontraindikasi Dan Tujuan Anestesi Umum


Indikasi anestesi umum diantaranya:1
a) Operasi di sekitar kepala, leher, intra-torakal atau intra-abdomen
b) Pada bayi atau anak-anak
c) Pasien gelisah, tidak kooperatif atau disorientasi gangguan jiwa
d) Pembedahan lama
e) Pembedahannya luas atau ekstensif
f) Memiliki riwayat alergi terhadap anestesi lokal
g) Pasien yang memilih anestesi umum

Tidak ada kontraindikasi yang absolut untuk anestesi umum.


Kontraindikasi relative anestesi umum dilakukannya anestesi umum yaitu
gangguan kardivaskular yang berat, hipertensi berat atau tak terkontrol
(diastolik >110 mmHg), diabetes tak terkontrol, infeksi akut, sepsis.
Kombinasi agen anestestik yang digunakan pada anestesi umum memiliki
beberapa tujuan, diantaranya: 1,2,4
 Analgesia (respon terhadap nyeri hilang)
 Amnesia (kehilangan memori atau tidak mengingat apa yang terjadi)
 Immobilitas (hilangnya refleks motorik)
 Kehilangan kesadaran
 Relaksasi otot skeletal

4. Kelebihan Dan Kekurangan Anestesi Umum


Kelebihan anestesi umum: 1,2,4
 Mengurangi kesadaran dan ingatan pasien selama operasi
 Memungkinkan relaksasi otot untuk jangka waktu yang lama
 Dapat mempertahankan jalan napas, pernapasan dan sirkulasi yang
adekuat
 Dapat digunakan pada pasien yang sensitif terhadap agen anestetik lokal
 Dapat dilakukan tanpa merubah posisi pasien dari posisi supine
 Dapat dengan mudah disesuaikan pada durasi yang tidak terduga atau
lebih lama
 Dapat diberikan dengan cepat dan bersifat reversible

Kerugian anestesi umum: 1,2,4


 Membutuhkan perawatan yang lebih rumit dan biaya yang lebih besar
 Membutuhkan beberapa persiapan preoperatif
 Dapat menginduksi fluktuasi fisiologi yang membutuhkan intervensi
aktif
 Berhubungan dengan komplikasi seperti mual, muntah, sakit
tenggorokan, sakit kepala, menggigil dan lamanya perbaikan
psikomotorik
5. Faktor Yang Mempengaruhi Anestesi Umum
 Faktor Respirasi
Sesudah obat anestesi inhalasi sampai di alveoli, maka akan
mencapai tekanan parsiel tertentu. Semakin tinggi konsentrasi zat yang
dihirup tekanan parsialnya makin tinggi. Perbedaan tekanan parsial zat
anestesi dalam alveoli dan di dalam darah menyebabkan terjadinya
difusi. Bila tekanan di dalam alveoli lebih tinggi maka difusi terjadi dari
alveoli ke dalam sirkulasi dan sebaliknya difusi terjadi dari sirkulasi ke
dalam alveoli bila tekanan parsiel di dalam alveoli lebih rendah (keadaan
ini terjadi bila pemberian obat anestesi dihentikan). Proses difusi akan
terganggu bila terdapat penghalang antara alveoli dan sirkulasi darah
misalnya pada edema paru dan fibrosis paru. 1,2,4
 Faktor Sirkulasi
Aliran darah paru menentukan pengangkutan gas anestesi dari paru
ke jaringan dan sebaliknya. Pada gangguan pembuluh darah paru makin
sedikit obat yang dapat diangkut demikian juga pada keadaan kardiak
output yang menurun. 1,2,4
 Faktor Jaringan
Faktor jaringan yang berpengaruh adalah: 1,2,4
 Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan
jaringan.
 Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar
zat anestesika, kecuali halotan.
 Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
o Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD): otak, jantung,
hepar, ginjal. Organ-organ ini menerima 70-75% curah
jantung hingga tekanan parsial zat anestesika ini meninggi
dengan cepat dalam organ-organ ini. Otak menerima 14%
curah jantung.
o Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.
o Lemak : jaringan lemak
o Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada
aliran darah: ligament dan tendon.
 Faktor Zat Anestesi
Tiap-tiap zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda. Untuk
mengukur potensi obat anestesi inhalasi dikenal adanya Minimal
Alveolar Concentration (MAC). MAC adalah konsentrasi obat anestesi
inhalasi minimal pada tekanan udara 1 atm yang dapat mencegah gerakan
otot skelet sebagai respon rangsang sakit supra maksimal pada 50%
pasien. Makin rendah MAC, maka semakin tinggi potensi obat anestesi
tersebut. 1,2,4

Gambar 2. Kadar MAC pada agen inhalasi


Gambar 3. Faktor yang mempengaruhi MAC
6. Metode Pemberian Anestesi Umum
Pemberian/induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien
dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya
pembedahan. Induksi anestesi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi,
intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesi
langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai tindakan
pembedahan selesai. Sebelum memulai induksi anestesi disiapkan peralatan
dan obat-obatan yang diperlukan, sehingga jika terjadi keadaan gawat
darurat dapat diatasi lebih cepat dan lebih baik. 1,2,4,5
 Induksi intravena
Induksi intravena (IV) paling banyak dikerjakan dan digemari,
apalagi jika sudah terpasang jalur vena pada pasien. Induksi intravena
hendaknya dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan
terkendali. Obat induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-
60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan
tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi
cara ini dikerjakan pada pasien yang kooperatif. Obat yang biasa
digunakan untuk induksi IV yaitu thiopental, propofol dan ketamine.
1,2,4,5

 Induksi intramuskular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan
secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit
pasien tidur. 1,2,4,5
 Induksi inhalasi
Anestetik inhalasi yang umum digunakan adalah N2O, halotan,
enfluran, isoflurane, dan sevoflurane. Induksi inhalasi hanya dikerjakan
dengan halotan (fluotan) atau sevofluran. Cara induksi ini dikerjakan
pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau pada dewasa
yang takut disuntik. Induksi semakin cepat apabila disertai oleh N2O
(efek gas kedua). Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau
campuran N2O dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 >4 liter/menit
atau campuran N2O:O2=3:1 aliran >4 liter/menit, dimulai dengan
halotan 0,5 vol% sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien
batuk, konsentrasi halotan diturunkan untuk kemudian jika sudah
tenang dinaikkan lagi sampai konsentrasi yang diperlukan.
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang
batuk, walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8
vol%. Seperti dengan halotan konsentrasi dipertahankan sesuai
kebutuhan. Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran)
atau desfluran jarang dilakukan, karena pasien sering menjadi batuk dan
waktu induksi yang lama. 1,2,4,5
 Induksi per rektal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi, menggunakan thiopental
atau midazolam. 1,2,4,5
 Induksi mencuri
Induksi mencuri (steal induction) dilakukan pada anak atau bayi
yang sedang tidur. Untuk yang sudah ada jalur vena tidak masalah,
tetapi pada yang belum terpasang jalur vena, harus dikerjakan dengan
hati-hati supaya pasien tidak terbangun. Induksi mencuri inhalasi
seperti induksi inhalasi biasa hanya sungkup muka tidak ditempelkan
pada muka pasien, tetapi kita berikan jarak beberapa sentimeter sampai
pasien tertisur baru sungkup muka ditempelkan. 1,2,3,4,5

7. Obat – Obat Anestesi Umum


A. Premedikasi
Premedikasi merupakan tindakan pemberian obat-obatan
pendahuluan dalam rangka pelaksanaan anestesia dengan tujuan sebagai
berikut: 4,5
i. Menimbulkan suasana nyaman bagi pasien, yaitu menghilangkan
rasa cemas, member ketenangan, membuat amnesia, mencegal mual
ataupun muntah serta bebas dari nyeri.
ii. Mengurangi dosis dari anestesia
iii. Memudahkan dan memperlancar induksi
iv. Menekan dan mengurangi sekresi kelenjar
v. Menekan reflek-refleks yang tidak dinginkan
Pada umumnya premedikasi tidak diberikan terkecuali pasien terlalu
gelisah ataupun sulit dikendalikan. Premedikasi akan memerpanjang masa
pulih. Obat premedikasi yang umumnya diberikan adalah sulfat atropin,
terutama bila memakai eter atau ketamin yang menambah produksi sekresi
jalan napas. Narkotika tidak diberikan karena memperpanjang masa pulih
dan menyebabkan mual atau muntah pasca bedah.
Obat-obatan yang biasanya digunakan untuk premedikasi adalah: 4,5
 Antimuskarinik
Hipersekresi kelenjar ludah dan bronkus yang ditimbulkan
oleh anestesi inhalasi dapat mengganggu pernapasan selama
anestesia. Atropine 0,4-0,6 mg IM dapat mencegah hipersekresi ini
10-15 menit setelah penyuntikan. Efek ini berlangsung selama ± 90
menit. Dosis obat ini tidaklah cukup untuk mencegah perubahan
kardiovaskular akibat rangsangan parasimpatis, berupa hipotensi dan
bradikardia, yang disebabkan oleh manipulasi sinus karotikus atau
pemberian berulang suksinilkolin IV. Untuk keadaan ini diperlukan
dosis IV 1,5-2 mg pada dewasa dan 0,02 mg/kgBB pada anak
 Analgetik narkotik
Morfin dapat digunakan untuk mengurangi cemas dan
ketegangan pasien, mengurangi nyeri. Teknik anestesi berimbang
dapat membuat dampak buruk morfin yaitu memperpanjang waktu
pemulihan dan depresi kardiovaskular, dapat diatasi, dan mual,
muntah serta nyeri paska bedah dapat dikurangi. Morfin 8-10 mg
yang diberikan IM biasanya sudah cukup untuk tujuan tersebut,
sedangkan dosis 0,01-0,2 mg/kg IV sudah cukup untuk
menimbulkan analgesia. Dalam dosis berimbang dengan N2O
diperlukan morfin sampai 3 mg/kgBB, sedangkan apabila digunakan
anestetik inhalasi lainnya dianjurkan dosis tidak lebih dari 1-2
mg/kgBB.

Opioid lain yang biasa digunakan sebagai premedikasi, sesuai


dengan urutan kekuatannya adalah sulfentanil (1000 kali),
remifentanil (300 kali), fentanil (100 kali), alfentanil (15 kali),
morfin (1 kali) dan meperidin (0,1 kali). Pemilihan penggunaan
analgesik opioid didasarkan pada lama kerja karena semuanya dapat
memberikan efek analgesia dan efek samping sama. Berdasarkan
lama kerjanya, analgesik opioid dibedakan atas opioid dengan lama
kerja singkat misalnya remifentanil (10 menit), dan opioid lama kerja
sedang misalnya sulfentanil (15 menit), alfentanil (20 menit) dan
fentanil (30 menit). Dosis fentanil pada dewasa 3-6 mcg/kgBB atau
1-3 mcg/kgBB pada anak

 Barbiturat

Barbiturat (Pentobarbital dan Sekobarbital) biasanya


diberikan untuk sedasi dam untuk mengurangi kekhawatiran
sebelum operasi. Obat ini dapat diberikan secara oral atau IM. Dosis
dewasa 100-150 mg dan 1 mg/kgBB pada anak di atas 6 bulan.
Keuntungan dari pemakaian barbiturate adalah masa pemulihan
tidak diperpanjang dan efek depresannya yang lemah terhadap
pernapasan dan sirkulasi serta jarang menyebabkan mual dan muntah

 Benzodiazepine

Golongan benzodiazepine yang lebih dianjurkan


dibandingkan opioid dan berbiturat. Pada dosis biasa, obat tersebut
tidak menambah depresi napas akibat opioid. Opioid menyebabkan
tidur, amnesia retrograde dan dapat mengurangi rasa cemas.
Penggunaan benzodiazepine untuk premedikasi berbeda dosis
dengan induksi, diazepam oral 0,2-0,5 mg/kgBB, midazolam
intramuscular 0,07-0,15 mg/kgBB serta lorazepam oral 0,05
mg/kgBB

 Neuroleptik
Kelompok obat neuroleptik digunakan untuk mengurangi mual
dan muntah akibat anestetik pada masa induksi maupun pemulihan,
misalnya droperidol yang biasa digunakan bersama fentanil. Kualitas
sedasinya pun lebih baik daripada kualitas sedasi yang ditimbulkan
bila menggunakan morfin saja. Golongan fenotiazin seperti
klorpromazin atau prometazin juga dapat mengurangi muntah, tetapi
penggunaannya dibatasi oleh adanya efek hipotensi intraoperatif dan
takikardi.

B. Induksi Anestesi
 Induksi Intravena
Paling banyak dikerjakan dan digemari. Induksi intravena
dikerjakan dengan hati-hati, perlahan, lembut dan terkendali. Obat
induksi bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama
induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus
diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien yang
kooperatif. Obat-obat induksi intravena: 1,3,4
 Tiopental (pentotal, tiopenton) amp 500 mg atau 1000 mg
Sebelum tiopental digunakan dilarutkan dalam akuades
steril sampai kepekatan 2,5% (1ml=25mg). Tiopental hanya boleh
digunakan untuk intravena yaitu dengan dosis 3-7 mg/kg
disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik.
Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan
menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hipnosis,
anestesi atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran darah
otak, tekanan likuor, tekanan intracranial dan diguda dapat
melindungi otak akibat kekurangan O2. Dosis rendah bersifat anti-
analgesik
 Propofol (diprivan, recofol)
Propofol dikemas ke dalam cairan emulsi lemak berwarna
putih susu yang bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1 ml = 10
mg). Suntikan intravena seringkali menyebabkan nyeri, sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg
intravena. Dosis bolus propofol untuk induksi adalah 2-2,5 mg/kg,
sedangkan untuk dosis rumatannya adalah anesthesia intravena
total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0.2
mg/kg. pengenceran hanya diperbolehkan menggunakan dekstrosa
5%. Propofol tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada
wanita hamil.
 Ketamin (ketalar)
Ketamin seringkali menimbulkan takikardia, hipertensi,
hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anesthesia bahkan dapat
menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur serta mimpi buruk.
Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi midazolam
(dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis 0,1 mg/kg
intravena dan untuk mengurangi salvias diberikan sulfas atropin
0,01 mg/kg. Dosis ketamin untuk bolus adalah 1-2 mg/kg dan
untuk intramuscular 3-10 mg. Ketamin dikemas dalam cairan
bening kepekatan 1% (1 ml = 10 mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% (
1 ml = 100 mg).
 Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Opioid diberikan dosis tinggi. Obat ini tidak mengganggu
kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien
dengan kelainan jantung. Anestesi opioid ini sendiri digunakan
fentanil dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1
mg/kg/menit.
 Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan
secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit
pasien tidur. 1,3,4
 Induksi inhalasi
Berikut ini adalah agen induksi inhalasi: 1,3,4
 N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen
monoksida)
Gas ini berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi,
tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian
harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah,
analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk
mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi
inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi
dengan salah satu cairanan astetik lain seperti halotan.
 Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan
diberikan analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar
faring laring.Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas,
menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi,
vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard,
dan inhibisi reflex baroreseptor. Merupakan analgesi lemah,
anestesi kuat. Halotan menghambat pelepasan insulin
sehingga meninggikan kadar gula darah.
 Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat disbanding halotan dan
enfluran lebih iritatif dibanding halotan. Depresi terhadap
sirkulasi lebih kuat disbanding halotan, tetapi lebih jarang
menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik
lebih baik dibanding halotan.
 Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga
isofluran banyak digunakan untuk bedah otak.Efek terhadap
depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga
digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak
digunakan pada pasien dengan gangguan coroner.
 Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan
isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang
jalan napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi
inhalasi di samping halotan.
 Single Breath Vital Capacity Induction
Single breath vital capacity induction adalah induksi dengan
agen inhalasi (biasanya sevofluren) dosis tinggi saat inspirasi pada
kapasitas vital. Pertama-tama pasien diminta untuk
menghembuskan volume residual pada paru, kemudian letakkan
mask pada wajah yang diikuti dengan inhalasi pada kapasitas vital.
Setelah itu nafas ditahan selama minimal 20 detik baru kemudian
ekspirasi. Teknik ini dapat digunakan sebagai alternative dari
induksi intravena atau pada anak-anak. Pada anak-anak, efeknya
lebih maksimal pada usia diatas 9 tahun. Teknik ini menggunakan
8% sevofluarane ditambah dengan 6 L/min O2 atau bisa ditambah
dengan agen inhalasi kedua, N2O yang berdasarkan penelitian
dapat pempercepat induksi. 6,7
 Induksi perektal
Dapat dipakai pada anak untuk induksi anestesi atau tindakan
singkat. Obat induksi per rektal adalah tiopental atau midazolam.
Midazolam memiliki kontraindikasi dengan glaukoma sudut sempit
akut, miastenia gravis, syok atau koma, intoksikasi alkohol akut
dengan depresi tanda- tanda vital, bayi prematur. Efek samping dapat
menyebabkan kejadian- kejadian kardiorespirasi, fluktuasi pada tanda-
tanda vital. 1,3,4
 Induksi mencuri
Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi
inhalasi biasa hanya sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka
pasien, tetapi kita berikan jarak beberapa sentimeter, sampai pasien
tertidur baru sungkup muka kita tempelkan. 1,3,4
 Pelumpuh otot nondepolarisasiTracurium 20 mg (Atracurium)
Berikatan dengan reseptor nikotinik - kolinergik, tetapi tidak
menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin
menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja. Dosis awal
0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasi selama 20-45
menit, kecepatan efek kerjanya -2 menit. Tanda-tanda kekurangan
pelumpuh otot: cegukan (hiccup), dinding perut kaku, dan ada tahanan
pada inflasi paru. 1,3,4

C. Rumatan
Rumatan anestesia (maintenance) dapat diberikan secara intravena
(anestesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran
intravena dan inhalasi. Rumatan anestesia biasanya mengacu pada trias
anestesia yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia
cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri
dan relaksasi otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis
tinggi, fentanil 10-50 mikrogram/kgbb. Dosis tinggi opioid menyebabkan
pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan
relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan
opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infus propofol 4-12
mg/kgbb/jam. Bedah lama dengan anestesia total intravena menggunakan
opioid, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru
digunakan inhalasi dengan udara O2 atau N2O dan O2. 1,8,9

8. Teknik Anestesi Umum


i. Teknik anestesi dengan sungkup/ nasal kanul
Indikasi: 1,2,3,4
 Untuk tindakan yang singkat (0,5 – 1 jam) tanpa membuka
rongga perut.
 Keadaan umum pasien cukup baik ( ASA 1 atau 2).
 Lambung harus kosong.
ii. Teknik Anestesi dengan menggunakan ETT
ETT yang seringkali digunakan adalah ETT No 7,5 untuk pipa
orotrakea dan No. 7 untuk pipa nasotrakea. Ukuran ETT untuk anak-
anak rata-rata sebesar jari kelingking. Indikasi dari menggunakan
teknik ETT ini seperti pada operasi-operasi yang memerlukan waktu
yang cukup lama dan kesulitan mempertahankan jalan napas bebas
pada anestesi dengan sungkup muka. Thiopental harus disediakan
obat pelemas otot jangka pendek seperti suksinil-kolin 2% atau
alkuronium (allonefrin) 10mg/ampul. 1,2,3,4
iii. Teknik Anestesi dengan menggunakan Intravena (TIVA)
Teknik anestesi dengan menggunakan Intravena (TIVA)
merupakan teknik anestesi umum dengan hanya menggunakan obat-
obat anestesi yang dimasukkan lewat jalur intravena. TIVA
digunakan untuk ketiga trias anestesi yaitu hipnotik, analgetik
maupun relaksasi otot yang lengkap. Kebanyakan obat-obat anestesi
intravena hanya mencakup 2 komponen anestesi, akan tetapi ketamin
mempunyai trias anestesi. Kelebihan TIVA adalah :
 TIVA dapat dikombinasikan atau terpisah dan dapat dititrasi
dalam dosis yang lebih akurat dalam pemakaiannya.
 Tidak menggangg jalan nafas pada pasien
 TIVA mudah untuk dilakukan
Untuk indikasi TIVA sendiri antara lain digunakan sebagai
berikut:
 TIVA digunakan sebagai obat induksi anestesi mum
 TIBA digunakan sebagai Obat tunggal untuk anestesi
pembedahan singkat
 TIVA sebagai tambahan obat inhalasi yang kurang kuat
 TIVA sebagai obat tambahan anestesi regional
 TIVA dapat menghilangkan keadaan patologis akibat ransangan
sistem saraf pusat (SSP).
Cara pemberian TIVA ini sendiri diberikan dengan:
 Suntikan tunggal, untuk operasi singkat
 Suntikan yang berulang sesuai dengan kebutuhan
 TIVA dititrasi lewat infus. 2,8,9

9. Langkah – Langkah Anestesi Umum


A. Evaluasi Pra Anestesia
Evaluasi pra anestesia adalah langkah awal dari tindakan anestesia
yang dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk menjalani
tindakan operatif. Tujuannya: 1,3,4,5
 Mengetahui status fisik pasien praoperatif
 Mengetahui dan menganalisis jenis operasi
 Memilih jenis atau teknik anestesia yang sesuai
 Meramalkan penyulit yang mungkin terjadi selama operasi dan atau
pasca bedah.
 Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi penyulit yang
diramalkan.
Pada kasus bedah elektif, evaluasi pra anestesia dilakukan beberapa
hari sebelum operasi. Kemudian evaluasi ulang dilakukan sehari menjelang
operasi, selanjutnya evaluasi ulang dilakukan lagi pada pagi hari menjelang
pasien dikirim ke kamar operasi dan evaluasi terakhir dilakukan di kamar
persiapan Instalasi Bedah Sentral (IBS) untuk menentukan status fisik ASA.
Pada kasus bedah darurat, evaluasi dilakukan pada saat itu juga di ruang
persiapan operasi Instalasi Rawat Darurat (IRD), karena waktu yang
tersedia untuk evaluasi sangat terbatas, sehingga sering kali informasi
tentang penyakit yang diderita kurang akurat. 1,3,4,5
Tatalaksana evaluasi praanestesia adalah sebagai berikut: 1,3,8,9
 Anamnesis
 Identitas pasien atau biodata
 Anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah yang
mungkin menimbulkan gangguan fungsi sistem organ
 Anamnesis umum, meliputi:
 Riwayat penyakit sistemik yang pernah diderita atau sedang
menderita penyakit sistemik selain penyakit bedah yang diderita,
yang bisa mempengaruhi anestesia atau dipengaruhi anestesia
 Riwayat pemakaian obat yang telah/sedang digunakan yang
mungkin berinteraksi dengan obat anestesia, misalnya
kortikosteroid, obat antihipertensi, obat anti-diabetik, antibiotik
golongan aminoglikosid, digitalis, diuretika, transquilizer, obat
penghambat enzim mono-amin oksidase dan bronkodilator
 Riwayat operasi/anestesia terdahulu, misalnya apakah pasien
mengalami komplikasi anestesia
 Kebiasaan buruk, antara lain; perokok, peminum minuman keras
(alkohol), pemakai obat-obat terlarang (sedatif dan narkotik)
 Riwayat alergi terhadap obat atau yang lain
 Pemeriksaan
Pemeriksaan atau pengukuran status pasien: kesadaran, frekuensi
napas, tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi badan untuk
menilai status gizi/BMI. Pemeriksaan fisik umum, meliputi
pemeriksaan status:
 Psikis: gelisah, takut, atau kesakitan
 Saraf (otak, medula spinalis, dan saraf tepi)
 Respirasi
 Hemodinamik
 Penyakit darah
 Gastrointestinal
 Hepatobilier
 Urogenital dan saluran kencing
 Metabolik dan endokrin
 Otot rangka
 Integumen
Pemeriksaan fisik secara khusus juga memeriksa skor Malapati
dengan tujuan untuk memprediksi kemudahan intubasi. Pemeriksaan
dilakukan dalam keadaan duduk tegak dengan mulut terbuka lebar,
lidah terjulur dan tanpa mengucapkan kata apapun. Klasifikasi
tampakan faring pada saat mulut terbuka maksimal dan lidah
dijulurkan maksimal menurut Mallapati dibagi menjadi :
 Grade I : pilar faring, uvula, dan palatum mole terlihat jelas,
seluruh tonsil terlihat jelas
 Grade II : uvula dan palatum mole terlihat sedangkan pilar
faring tidak terlihat
 Grade III : hanya palatum mole yang terlihat
 Grade IV : palatum mole tidak terlihat.

Gambar 4. Skor Malapati

 Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya


o Pemeriksaan rutin
Ditujukan kepada pasien yang dipersiapkan untuk operasi kecil dan
sedang. Hal-hal yang diperiksa adalah:
 Darah: Hb, Ht, eritrosit, leukosit dan hitung jenis, trombosit, masa
perdarahan dan masa pembekuan
 Urin: pemeriksaan fisik, kimiawi dan sedimen urin
o Pemeriksaan khusus
Ditujukan kepada pasien yang dipersiapkan untuk operasi besar dan pasien
yang menderita penyakit sistemik tertentu dengan indikasi tegas. Hal-hal
yang diperiksa adalah:
 Pemeriksaan laboratorium lengkap meliputi: fungsi hati, fungsi
ginjal, analisis gas darah, elektrolit, hematologi dan faal hemostasis
lengkap, sesuai dengan indikasi.
 Pemeriksaan radiologi: foto toraks, IVP dan yang lainnya sesuai
indikasi
 Evaluasi kardiologi terutama untuk pasien yang berumur di atas
usia 35 tahun
 Pemeriksaan spirometri pada penderita PPOM
 Untuk pemeriksaan khusus yang lebih mendalam misalnya
ekhokardiografi atau kateterisasi jantung diperlukan konsultasi
dengan dokter spesialisnya.
 Menentukan prognosis pasien perioperatif
Berdasarkan hasil evaluasi pra operatif tersebut di atas maka dapat
disimpulkan status fisik pasien pra anestesia. American Society of
Anesthesiologist (ASA) membuat klasifikasi status fisik praanestesia
menjadi 5 kelas seperti pada gambar 5. Apabila tindakan pembedahannya
dilakukan secara darurat, dicantumkan tanda E (emergency) di belakang
angka, misalnya ASA 1 E. 11
Gambar 5. Klasifikasi ASA

Obat-obatan yang dapat digunakan untuk premedikasi adalah :1,2,4

Jenis Obat Dosis (Dewasa)


Sedatif
Diazepam 5 – 10 mg
Difenhidramin 1 mg/kgBB
Promethazin 1 mg/kgBB
Midazolam 0.1 – 0.2 mg/kgBB
Lanjutan Jenis Obat yang dapat digunakan sebagai
premedikasi
Analgetik opiat
Petidin 1 – 2 mg/kgBB
Morfin 0.1 – 0.2 mg/kgBB
Fentanil 1 – 2 mikrogram/kgBB
Analgetik non opiat Disesuaikan
Antikholinergik
Sulfas atropin 0.1 mg/kgBB
Antiemetik
Ondansetron 4 – 8 mg (IV)
Metoklopramid 10 mg (IV)
Profilaksis aspirasi
Cimetidin Dosis disesuaikan
Ranitidin
Antasid
Tabel 1, Obat pada anestesi umum

B. Pemberian Anestesi
 Induksi Anestesi
Tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar,
sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi
dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal.
Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan
dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan pembedahan selesai.
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICSS’: 2,5,8

 S (Scope) :Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan


jantung. Laringo-Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
 T : Tube :Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa
balon (cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
 A : Airway :Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau
pipa hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan
lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak
menyumbat jalan napas.
 T : Tape :Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong
atau tercabut.
 I : Introducer :Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic
(kabel) yang mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa
trakea mudah dimasukkan.
 C : Connector :Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
 S : Suction :Penyedot lender, ludah danlain-lainnya.
 S: Syringe :Spuit 10cc yang diisi udara dan dibuang jarumnya
untuk mengembangkan balon Endotracheal Tube
 Rumatan Anestesi
Rumatan anestesia (maintenance) dapat dikerjakan dengan secara
intravena (anestesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan
campuran intravena inhalasi. Rumatan anestesia biasanya mengacu pada
trias anestesia yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia
cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri
dan relaksasi otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis
tinggi, fentanil 10-50 mikrogram/kgBB. Dosis tinggi opioid
menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal
memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga
menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infus
propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesia total
intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk
mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O +
O2. 1,8,9
 Ekstubasi
Mengangkat keluar pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan
tidak disetai batuk dan kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan
nafas, hipoksia sianosis. Ekstubasi dapat dilakukan dengan menunggu
pasien sampai sadar betul (ekstubasi sadar) atau menunggu sewaktu
pasien masih dalam keadaan anestesi yang agak dalam (ekstubasi dalam).
Dengan cara terakhir dihindarkan reaksi spasme kejang otot perut, dada
dan jalan nafas. Syarat ekstubasi sadar: nafas adekuat, hemodinamik
stabil, efek muscle relaxan tidak ada lagi, tidak ada indikasi intubasi
sulit, dan pasien dalam kondisi sadar. Syarat ekstubasi dalam: nafas
adekuat, hemodinamik stabil, efek muscle relaxan tidak ada lagi, tidak
ada indikasi intubasi sulit, dan pasien dalam kondisi teranestesi dengan
agen propofol/opioid. Ekstubasi dalam banyak dilakukan pada operasi
mata, membrane timpani, craniotomy, riwayat hipertensi, dan asma
dimana gejolak ekstubasi dan batuk dihindari.
 Pasca bedah
Pasien harus di observasi terus (pernapasan, tekanan darah dan
nadi) sesudah operasi dan anestesi selesai sewaktu di kamar bedah dan
kamar pulih. Bila pasien gelisah harus diteliti apakah karena kesakitan
atau karena hipoksia (tekanan darah menurun, nadi cepat) misalnya karena
hipovolemia (perdarahan di dalam perut atau kekurangan cairan). Bila
kesakitan harus diberi analgetik seperti petidin 15-25 mg intravena, tetapi
kalau gelisah karena hipoksia harus diobati sebabnya, misalnya dengan
menambah cairan elektrolit (ringer laktat), koloid (dextran) atau darah.
Oksigen selalu diberikan sebelum pasien sadar betul. Pasien hendaknya
jangan dikirim ke ruangan sebelum sadar, tenang, reflek jalan nafas sudah
aktif tekanan darah dan nadi dalam batas-batas normal. 2,5,6

C. Monitoring Perianestesi
 Monitoring Standar
Rekam medis sebelum anestesia sangat penting diketahui, apakah
pasien berada dalam keadaan segar bugar atau sedang menderita suatu
penyakit sistemik. Monitoring dasar pada pasien dalam keadaan
anestesia adalah monitoring tanpa alat atau dengan alat sederhana
seperti stetoskop dan tensimeter, serta dengan pemeriksaan fisik
inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.
 Monitoring Kardiovaskular
 Non-invasif (tak langsung)
o Nadi
Monitoring terhadap nadi merupakan keharusan, karena
gangguan sirkulasi sering terjadi selama anastesi. Makin
bradikardi makin menurunkan curah jantung. Monitoring
terhadap nadi dapat dilakukan dengan cara palpasi arteria
radialis, brakialis, femoralis atau karotis. Dengan palpasi dapat
diketahui frekuensi, irama dan kekuatan nadi. Cara palpasi dan
cara auskultasi ini terbatas, karena kita tidak dapat
melakukannya secara terus menerus.
o Tekanan darah
Monitoring nadi secara kontinyu dapat dilakukan dengan
peralatan elektronik seperti EKG atau oksimeter yang disertai
dengan alarm. Pemasangan EKG untuk mengetahui secara
kontinyu frekuensi nadi, distrimia, iskemia jantung, gangguan
konduksi, abnormalitas elektrolit dan fungsi ‘pacemaker’.
Tekanan darah dapat diukur secara manual atau otomatis dengan
manset yang harus tepat ukurannya (lebarnya kira-kira 2/3 lebar
jarak olekranon-akromion, atau 40% dari keliling besarnya
lengan), karena terlalu lebar menghasilkan nilai lebih rendah
dan terlalu sempit menghasilkan nilai lebih tinggi. Tekanan
sistolik-diastolik diketahui dengan cara auskultasi, palpasi,
sedangkan tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure)
diketahui secara langsung dengan monitor tekanan darah
elektronik atau dengan menghitung yaitu 1/3 (tekanan sistolik +
2 x tekanan diastolik) atau tekanan diastolik + 1/3 (tekanan
sistolik – tekanan diastolik).
o Banyaknya perdarahan

Usia Frekuensi Nadi TekananSistolik TekananDiastolik


(per menit) (mmHg) (mmHg)
Prematur 150 ± 20 50 ± 3 30 ± 2
Cukup bulan 133 ± 18 67 ± 3 42 ± 4
6 bulan 120 ± 20 89 ± 29 60 ± 10
12 bulan 120 ± 20 96 ±30 66 ± 25
2 tahun 105 ± 25 99 ± 25 64 ± 25
5 tahun 90 ± 10 94 ± 14 55 ± 9
12 tahun 70 ± 17 109 ± 16 58 ± 9
Dewasa 65 ± 8 120 ± 10 80 ± 10
Monitoring terhadap perdarahan dilakukan dengan menimbang
kain kasa ketika sebelum kena darah dan sesudahnya, mengukur
jumlah darah di botol pengukur darah ditambah 10-20% untuk
yang tidak dapat diukur
Tabel 2. Nilai Normal Frekuensi Nadi dan Tekanan Darah
 Monitoring Respirasi
 Tanpa alat
Dengan inspeksi kita dapat mengawasi pasien secara langsung
gerakan dada-perut baik pada saat bernapas spontan atau dengan
napas kendali dan gerakan kantong cadang apakah sinkron. Untuk
oksigenasi warna mukosa bibir, kuku pada ujung jari dan darah
pada luka bedah apakah pucat, kebiruan atau merah muda.
 Stetoskop
Dengan stetoskop prekordial atau esofageal dapat didengar suara
pernapasan.
 Oksimeter denyut (pulse oximetry)
Untuk mengetahui saturasi oksigen (SaO2). Selain itu dapat
diketahui frekuensi darah dan adanya distrimia.
 Monitoring Suhu Badan
Dilakukan pada bedah lama atau pada bayi dan anak kecil.
Pengukuran suhu sangat penting pada anak terutama bayi, karena bayi
mudah sekali kehilangan panas secara radiasi, konveksi, evaporasi dan
konduksi, dengan konsekuensi depresi otot jantung, hipoksia, asidosis,
pulih anastesia lambat dan pada neonatus dapat terjadi sirkulasi
persistent fetal.
 Monitoring Ginjal
Untuk mengetahui keadaan sikulasi ginjal. Produksi air kemih
normal minimal 0.5-1,0 ml/kgBB/jam dimonitor pada bedah lama dan
sangat bermanfaat untuk menghindari retensi urin atau distenti buli-
buli. Monitoring produksi air kemih harus dilakukan dengan hait-hati,
karena selain traumatis juga mengundang infeksi sampai ke
pielonefritis, secara rutin digunakan kateter Foley karet lunak ukuran 5-
8F. kalau >1 ml/kgBB/jam dan reduksi urin positif 2, dicurigai adanya
hiperglikemia.
 Monitoring Blokade Neuromuskular
Stimulasi saraf untuk mengetahui apakah relaksasi otot sudah
cukup baik atau sebaliknya setelah selesai anestesia apakah tonus otot
sudah kembali normal.
 Monitoring Sistem Saraf
Pada pasien sehat sadar, oksigenasi pada otaknya adekuat kalau
orientasi terhadap personal, waktu dan tempat baik. Pada saat pasien
dalam keadaan tidak sadar, monitoring terhadap SSP dikerjakan dengan
memeriksa respon pupil terhadap cahaya, respons terhadap trauma
pembedahan, respons terhadap otot apakah relaksasi cukup atau tidak.
1,2,4,8,11

D. Tatalaksana Pasca Bedah


Setelah operasi selesai pasien dibawa ke ruang pemulihan
(recovery room) atau ke ruang perawatan intensif (bila ada indikasi).
Secara umum, ekstubasi terbaik dilakukan pada saat pasien dalam
anestesi ringan atau sadar. Di ruang pemulihan dilakukan pemantauan
keadaan umum, kesadaran, tekanan darah, nadi, pernapasan suhu,
sensibilitas nyeri, pendarahan dari drain, dan lain-lain. Pemeriksaan
tekanan darah, frekuensi nadi, dan frekuensi pernapasan dilakukan paling
tidak setiap dalam 15 menit pertama atau hingga stabil, setelah itu
dilakukan setiap 15 menit, selama 2 jam pertama. Dan setiap 30 menit
selama 4 jam berikutnya Pulse oximetry dimonitor hingga pasien sadar
kembali. Pemeriksaan suhu juga dilakukan. Bila keadaan umum dan
tanda vital pasien normal dan stabil, maka pasien dapat dipindahkan ke
ruang rawat dengan pemberian instruksi pasca operasi.
 Gangguan Pernapasan
Obstruksi napas parsial (napas berbunyi) atau total, tak ada
ekspirasi (tidak ada suara napas). Pasien pasca anastesia umum
yang belum sadar sering mengalami: lidah jatuh menutup faring
atau oleh edema laring. Selain itu dapat terjadi spasme laring
karena laring terangsang oleh benda asing, darah, ludah sekret atau
sebelumnya ada kesulitan pada saat intubasi intubasi trakea.
Apabila terjadi obstruksi saat pasien masih dalam anestesi
dan lidah menutup faring, maka harus dilakukan manufer tripel
dengan memasang jalan napas mulut-faring, hidung faring dan
tentunya berikan O2 100%. Jika tidak berhasil menolong pasang
sungkup laring.
Bila terjadi obstruksi karena kejang laring atau edema laring,
selain perlu O2 100%, harus dibersihkan jalan napas, berikan
preparat kortokosteroid (oradekson) dan kalau tak berhasil perlu
dipertimbangkan memberikan pelumpuh otot.
Obstruksi napas mungkin tidak terjadi, tetapi pasien sianosis
(hiper-karbi, hiper-kapni, PaCO2>45 mmHg) atau saturasi O2
menurun (hipoksemi, SaO2<90). Hal ini disebabkan pernapasan
pasien lambat dan dangkal (hipoventilasi). Pernapasan lambat
sering akibat opioid terlalu banyak dan dangkal sering akibat
pelumpuh otot masih bekerja. Jika penyebab jelas karena opioid,
dapat diberikan nalokson dan kalau oleh pelumpuh otot dapat
diberikan prostikmin-atropin. Hipoventilasi yang berlanjut
menyebabkan asidosis, hipertensi, takikardi yang dapat berakhir
dengan depresi sirkulasi dan henti jantung.
 Gangguan Kardiovaskular
Hipertensi dapat disebabkan karena nyeri akibat
pembedahan, iritasi pipa trakea, cairan infus berlebihan, buli-buli
penuh atau aktivasi saraf simpatis karena hipoksia, hiperkapni dan
asidosis. Hipertensi akut dan berat yang berlangsung lama
menyebabkan gagal ventrikel kiri, infark miokard, disritmia, edema
paru atau pendarahan otak. Terapi hipertensi ditujukan pada faktor
penyebab dan kalau perlu dapat diberikan klonidin (catapres) atau
nitroprusid (niprus) 0.5 - 1.0 µg/kg/menit.
Hipotensi yang terjadi isian balik vena (venous return)
menurun disebabkan pendarahan, terapi cairan kurang adekuat,
diuresis, kontraksi miokardium kurang kuat atau tahanan veskuler
perifer menurun. Hipotensi harus segera diatasi untuk mencegah
terjadi hipoperfusi organ vital yang dapat berlanjut dengan
hipoksemia dan kerusahan jaringan. Terapi hipotensi disesuaikan
dengan faktor penyebabnya. Berikan O2 100%dan infus kristaloid
RL atau Asering 300-500 ml. Distritmia yang terjadi dapat
disebabkan oleh hipokalemia, asidosis-alkalosis, hipoksia,
hiperkapnia atau penyakit jantung.
 Gelisah
Gelisah pasca anestesia dapat disebabkan oleh hipoksia,
asidosis, hipotensi, kesakitan, efek samping obat misalnya ketamin
atau buli-buli penuh. Setelah disingkirkan sebab-sebab tersebut
diatas, pasien dapat diberikan penenang midazolam (dormikum)
0.05 – 0.1 mg/kgBB.
 Mual-Muntah
Mual-muntah pasca anestesi sering terjadi setelah anestesi
umum terutama pada penggunaan opioid, bedah intra-abdomen,
hipotensi dan pada analgesia regional. Obat mual-muntah yang
sering digunakan pada perianestesia adalah :
 Dehydrobenzoperidol 0.05-0.1 mg/kgBB (amp 5 mg/ml) i.m
atau i.v.
 Metoklopramid 0.1 mg/kgBB i.v.,supp 20 mg
 Ondansetron 0.05-0.1 mg/kgBB i.v
 Menggigil
Menggigil (shivering) terjadi akibat hipotermia atau efek obat
anestesi. Hipotermi terjadi akibat suhu ruang operasi, ruang UPPA
yang dingin, cairan infus dingin, cairan irigasi dingin, bedah abdomen
luas dan lama. Terapi petidin 10-20 mg i.v. pada pasien dewasa,
selimut hangat, infus hangat dengan infusion warmer, lampu t untuk
menghangatkan suhu tubuh.
 Nilai Pulih dari Anestesi
Adapun setelah prosedur diatas selesai, pasien dipindahkan ke
ruang pemulihan dan terus diobservasi dengan cara menilai Aldrette’s
score-nya, nilai 8-10 bisa dipindahkan ke ruang perawatan, 5-8
observasi secara ketat, kurang dari 5 pindahkan ke ICU. Selain itu
dapat juga digunakan Postanesthetic Discharge Scoring System. Pada
pasien yang diberi anestesi regional, perlu dicek juga blokade motorik
dan sensorik. Pemulihan dari propioseptif, symphatetic tone, fungsi
berkemih, dan kekuatan otot adalah kriteria tambahan yang perlu
dilihat untuk menilai pemulihan dari anestesi. 2,4,12

Gambar 6. Skor Pemulihan Pasca Anestesi


B. ANESTESI EPIDURAL
1. Definisi
Anestesia atau analgesia epidural adalah blokade saraf dengan
menempatkan obat di ruang epidural (peridural, ekstradural). Ruang
epidural merupakan ruang potensial bertekanan negative dengan
komponen terdiri dari jaringan lemak, saluran limfatik, dan pembuluh
darah tanpa ada cairan bebas dalam ruang epidural. Ruang ini berada
diantara ligamentum flavum dan duramater. Bagian atas berbatasan
dengan foramen magnum di dasar tengkorak dan di bawah dengan selaput
sakrogsigeal. Kedalaman ruang ini rata-rata 5 mm dan dibagian posterior
kedalaman maksimal pada daerah lumbal.

Gambar 7. Ruang epidural

Obat anestetik lokal di ruang epidural bekerja langsung pada akar


saraf spinal yang terletak di bagian lateral. Awal kerja anesthesia epidural
lebih lambat (10-20 menit) dibanding anesthesia spinal. Sedangkan
kualitas blokade sensorik motorik juga lebih lemah. 1,4
2. Indikasi
Indikasi anesthesia epidural adalah sebagai berikut: 1,4
 Pembedahan dan penangulangan nyeri pasca bedah
 Bedah daerah panggul dan lutut
Anestesi epidural untuk pembedahan daerah panggul dan lutut
berhubungan dengan rendahnya kejadian trombosis vena dalam.
Perdarahan juga minimal apabila dilakukan pembedahan dengan
teknik anestesi epidural.
 Revaskularisasi ekstremitas bawah
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pasien dengan penyakit
pembuluh darah perifer yang dioperasi dengan teknik anestesi
epidural aliran darah ke distal lebih besar dan oklusi pembuluh
darah post operatif juga menunjukkan angka yang lebih kecil
dibandingkan dengan anestesi umum.
 Tatalaksana nyeri saat persalinan
Pada proses persalinan yang sulit, apabila dilakukan dengan teknik
epidural anestesi menyebabkan stress peripartum berkurang. Hal
ini berhubungan dengan menurunnya produksi katekolamin.
 Penurunan tekanan darah saat pembedahan supaya tidak banyak
pendarahan
 Manajemen post operasi
Pasien dengan gangguan cadangan paru, misalnya PPOK
menunjukkan maintenance fungsi paru lebih bagus dengan teknik
epidural anestesi dibandingkan dengan general anestesi.
 Tambahan pada anesthesia umum ringan karena penyakit tertentu
pasien
 Penangulangan nyeri kronis
3. Kontraindikasi
Pada gambar berikut ini adalah kontraindikasi dari anestesi spinal.

Gambar 8. Kontraindikasi anesthesia epidural

4. Pendekatan Anatomis
Blokade epidural dapat dilakukan pada level lumbal, torakal, atau
servikal. Lumbal epidural merupakan daerah anatomis yang paling sering
menjadi tempat insersi atau tempat memasukan epidural anestesia dan
analgesia. Pendekatan median atau paramedian dapat dikerjakan pada
tempat ini. Anestesia lumbal epidural dapat dikerjakan untuk tindakan-
tindakan dibawah diafragma. Oleh karena medula spinalis berakhir pada
level L1, keamanan blok epidural pada daerah lumbal dapat dikatan aman,
terutama apabila secara tidak sengaja sampai menembus dura. 1,4
Torakal epidural secara teknik lebih sulit dibandingkan teknik
lumbal epidural. Selain itu, risiko cedera pada medula spinalis lebih besar.
Pendekatan median dan paramedian dapat dipergunakan. Teknik torakal
epidural lebih banyak digunakan untuk intra atau post operatif analgesia.
1,4

Servikal epidural biasanya dikerjakan dengan posisi pasien duduk,


leher ditekuk dan menggunakan pendekatan median. Secara klinis
digunakan terutama untuk penanganan nyeri. Selain itu, dapat juga
dilakukan segmental blok yang dikarakteristikan dengan anestesi pada
beberapa serabut saraf tertentu dan tidak mempengaruhi saraf diatas dan
dibawahnya. Contohnya pada epidural torakal dimana dilakukan anestesi
perut atas dan tidak mengenai saraf servikal dan lumbal. 1,4

5. Teknik
Berikut ini adalah teknik tatalaksana anestesi epidural: 1,4
 Posisi pasien saat tusukan seperti pada analgesi spinal, lateral
decubitus (pada pasien dengan cedera/fraktur pinggul dan kaki)
atau duduk (pada pasien obesitas dan sering diindikasikan untuk
operasi lumbar bawah dan sacral)
 Tusukan jarum epidural biasanya dikerjakan pada ketinggian L3-4
karena jarak antara ligementum flavum-duramater pada ketinggian
ini adalah yang terlebar. Untuk lumbal dan torakal, teknik yang
digunakan adalah median dan paramedian, sedangkan untuk
servikal adalah median.
 Jarum yang digunakan bisa jarum ujung panjang (Crawdord)
unutuk dosis tunggal atau jarum ujung khusus (Tuohy) sebagai
pemandu untuk memasukkan kateter ke ruang epidural.
Gambar 9. Jarum epidural
 Untuk mengenal ruang epidural, digunakan teknik hilangnya
resistensi dan teknik tetes tergantung
o Teknik hilangnya resistensi (loss of resistance)
Teknik ini lebih banyak digunakan oleh klinisi. Teknik ini
menggunakan spuit gelas yang diisi oleh udara atau NaCl
sebanyak 2-3 mL. Setelah diberikan anestetik local pada
tempat suntikan, jarum epidural ditusukkan sedalam 1-2 cm
menembus jaringan subkutan dengan stilet masih terpasang
sampai mencapai ligamentum interspinosum yang ditandai
dengan meningkatnya resistensi jaringan. Kemudian stilet
atau introducer dilepaskan dan spuit gelas yang terisi 2-3
ml cairan disambungkan ke jarum epidural tadi. Kemudian
udara atau NaCl disuntikkan perlahan-lahan secara
terputus-putus (intermiten) sambal mendorong jarum
epidural sampai terasa menembus jaringan keras
(ligamentum flavum) yang disusul oleh hilangnya
resistensi. Bila ujung jarum masih berada pada ligamentum,
suntikan secara lembut akan mengalami hambatan dan
suntikan tidak bisa dilakukan. Setelah yakin ujung jarum
berada dalam ruang epidural, lakukan uji dosis (test dose).
o Teknik tetes bergantung (hanging drop)
Persiapan sama seperti teknik hilangnya resistensi, tetapi
pada teknik ini hanya menggunakan jarum epidural yang
diisi NaCl sampai terlihat ada tetes NaCL yang
menggantung. Dengan mendorong jarum epidural perlahan-
lahan secara lembut sampai terasa menembus jaringan
keras, kemudia disusul dengan tersedotnya NaCl ke ruang
epidural/ setelah yakin ujung jarum berada di ruang
epidural, lakukan uji dosis.
Gambar 10. A. Teknik hilangnya resistensi. B. Teknik tetes
bergantung.

 Uji dosis (test dose)


Jumlah (volume dan konsentrasi) dari obat anestesi lokal yang
dibutuhkan untuk anestesi epidural relatif lebih banyak bila
dibandingkan dengan anestesi spinal. Keracunan akan terjadi bila
jumlah obat sebesar itu masuk intratekal atau intravaskuler. Untuk
mencegah timbulnya hal tersebut, dilakukan uji tes epidural. Hal ini
dapat dilakukan dengan menggunakan jarum ataupun melalui
kateter epidural yang telah terpasang. Uji dosis anestetik lokal
untuk epidural dosis tunggal dilakukan setelah ujung jarum
diyakini berada dalam ruang epidural dan untuk dosis berulang
(kontinyu) melalui kateter.
Masukkan anestesik lokal 3 ml lidokain 1,5% yang sudah
dicampur dengan epinefrin 1:200.000. Apabila 45 mg lidokain
disuntikan kedalam ruang subaraknoid akan timbul anestesi spinal
secara cepat. 15 μg epineprin bila disuntikan intravaskuler akan
menimbulkan kenaikan nadi 20% atau lebih. Fentanil telah
dianjurkan untuk digunakan sebagai test dose intravena, yang
mempunyai efek analgesia yang besar tanpa epineprin. Yang lain
menyarankan untuk melakukan tes aspirasi sebelum injeksi dan
dilakukan untuk mencegah injeksi obat anestesi lokal secara
intravena. Hasil tes:
o Tidak ada efek setelah beberapa menit  letak jarum atau
kateter benar
o Terjadi blokade spinal  obat masuk ke ruang
subarachnoid karena terlalu dalam
o Terjadi peningkatan laju nadi 20-30%  obat masuk vena
epidural
 Cara penyuntikan
Setelah diyakini posisi jarum atau kateter benar, suntikkan
anestetik lokal secara bertahap setiap 3-5 menit sebanyak 3-5 ml
hingga tercapai dosis total. Suntikan terlalu cepat menyebabkan
tekanan dalam ruang epidural mendadak tinggi, sehinga
menimbulkan peninggian tekanan intracranial, nyeri kepala, dan
gangguan sirkulasi darah epidural.
 Pemasangan keteter
Kateter epidural digunakan untuk injeksi ulang anestesi local
pada operasi yang lama dan pemberian analgesia post operasi.
Kateter radiopaq ukuran 20 disusupkan melalui jarum epidural,
ketika bevel diposisikan kearah cephalad. Jika kateter berisi stylet
kawat, harus ditarik kembali1-2 cm untuk menurunkan insiden
parestesia dan pungsi dural atau vena. Kateter dimasukkan 2-5 cm
ke dalam ruang epidural.
Pasien dapat mengalami parasthesia yang tiba-tiba dan
biasanya terjadi dalam waktu yang singkat. Jika kateter tertahan,
kateter harus direposisikan. Jika kateter harus ditarik kembali,
maka kateter dan jarum dikeluarkan bersama-sama. Jarak dari
permukaan belakang pasien diberi tanda pada pengukuran kateter.
Jarum ditarik kembali secara hati-hati melalui kateter dan jarak
dari bagian belakang pasien yang diberi tanda pada kateter diukur
lagi. Jika kateter telah masuk, kateter ditarik kembali 2-3 cm dari
ruang epidural.
Bila kateter sudah sesuai kemudian dihubungkan dengan spuit.
Aspirasi dapat dilakukan untuk mengecek adanya darah atau cairan
serebrospinal, dan kemudian kateter diplester dengan kuat pada
bagian belakang pasien dengan ukuran yang besar, bersih dan
diperkuat dengan pembalutan.
 Dosis maksimal dewasa muda sehat 1,6 ml/segmen yang tentunya
bergantung pada konsentrasi obat. Pada manula dan neonates, dosis
dikurangi hingga 50% dan pada bumil dikurangi hingga 30% akibat
pengaruh hormone dan mengecilnya ruang epidural akibat
ramainya vaskularisasi darah dalam ruang epidural.
 Uji keberhasilan epidural
Keberhasilan anestesi epidural:
o Blok simpatis  perubahan suhu
o Blok sensorik  uji tusuk jarum
o Blok motorik  skala bromage

Gambar 11. Kriteria bromage

6. Obat Anestesi
Obat-obatan digunakan sesuai dengan efek klinis yang dibutuhkan,
apakah untuk sebagai anestesi primer, suplementasi pada anestesi umum,
atau untuk analgetia. Berikan bolus 1-2ml per segmen. Suntikan 10-15 ml
obat akan menyebar ke kedua sisi sebanyak 5 segmen. Dosis ulangan
melalui kateter epidural dilakukan apabila telah menunjukkan regresi blok.
Waktu regrasi dua segmen sesuai dengan karakteristik anestesi lokal dan
didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya penurunan
level sensoris sebanyak 2 level dermatom. Bila terjadi penurunan level
sensoris, berikan suntikan ulang. Anestesi lokal yang digunakan untuk
epidural: 1,4
 Lidokain (xylokain, lodonest)
Umumnya digunakan 1-2% dengan mula kerja 10 menit dan
relaksasi otot baik. 0,8% untuk blokade sensorik baik tanpa
blokade motorik. 1,5 % untuk pembedahan. 2% untuk relaksasi
pasien berotot.
 Bupivakain (markain)
Konsentrasi 0,5% tanpa adrenalin, analgesianya sampai 8 jam.
Volum yang digunakan < 20mk
Gambar 12. Obat anestesi epidural

Gambar 13. Lama kerja obat anestesi epidural

Penambahan epinefrin (5 mg/ml) kedalam anestesi lokal yang


disuntikkan kedalam ruang epidural tidak hanya memperpanjang efeknya
dengan cara menekan absorbsi, menurunkan konsentrasi obat dalam darah
dan juga mengurangi keracunan sitemik. Sejumlah kecil epinefrin
diabsorbsi dari ruang epidural yang akan membentuk efek beta adrenergik,
peningkatan tahanan pembuluh darah sistemik dan peningkatan denyut
jantung. 1,4
Penyebaran obat anestesi lokal dalam ruang epidural hanya
tergantung pada volume yang dinjeksikan, sedangkan konsentrasi anestesi
lokal dalam larutan hanya berpengaruh pada derajat dan densitas dari blok.
Volume larutan anestetik yang tepat untuk anestesi epidural lumbal
berkisar dari 15 – 25 ml. 1,4
Pada ruang epidural thorakal yang sempit kurang lebih dibutuhkan
setengahnya. Pasien yang tua, pasien hamil, dan pasien dengan tekanan
intra abdominal yang meningkat diperlukan volume anestesi lokal lebih
sedikit untuk mencapai distribusi yang diberikan. Penambahan anestetik
local yang dibutuhkan ditentukan oleh pilihan ahli anestesiologi pada
observasi klinik. Bila anestesi dihabiskan untuk dua dermatom,
penambahan sepertiga sampai setengah dari jumlah anestesi lokal semula
akan diperoleh anestesi yang adekuat. Bilamana menggunakan anestesi
epidural dan anestesi umum bersama-sama, penambahan dosis diberikan
pada interval waktu yang sesuai dengan karakteristik obat anestesi lokal.
1,4

7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah: 1,4
 Blok tidak merata
Blok unilateral dapat terjadi bila obat diberikan lewat
kateter yang keluar dari ruang epidural. Bila blok unilateral terjadi,
masalah tersebut dapat diatasi dengan menarik kateter 1-2 cm dan
disuntikan ulang dimana pasien diposisikan dengan bagian yang
belum terblok berada disisi bawah.
 Pungsi dura
Pungsi dural yang tidak disengaja terjadi pada 1 % injeksi
epidural. Jika
hal ini terjadi, perubahan ke anestesi spinal dapat terjadi oleh
injeksi sejumlah anestesi kedalam aliran cairan serebrospinal.
Kemudian anestesi spinal dapat dikerjakan dengan menyuntikkan
sejumlah anestesi lokal ke ruang subarachnoid melalui jarum. Jika
anestesi epidural diperlukan (misalnya untuk analgesia post-
operasi), kateter akan direposisikan kedalam interspace diatas
pungsi dengan demikian ujung dari kateter epidural berada jauh
dari tempat pungsi dural. Kemungkinan anestesi spinal dengan
injeksi kateter epidural dapat dipertimbangkan.
 Komplikasi kateter
o Kegagalan pemasangan kateter epidural
o Kateter dapat terinsersi masuk kedalam pembuluh darah
epidural sehingga darah teraspirasi oleh kateter atau
takikardia ditemukan dengan tes dosis.
o Keteter dapat rusak atau menjadi terikat dalam ruang
epidural.
 Injeksi subarachnoid tidak sengaja
Injeksi dengan sejumlah besar volume anestesi lokal
kedalam ruang subarachnoid dapat menghasilkan anestesi spinal
yang total.
 Injeksi intravaskuler anestesi lokal tidak sengaja
Menyebabkan toksisitas pada sistim saraf pusat dan
kardiovaskuler yang menyebabkan konvulsi dan cardiopulmonary
arrest.
 Overdosis anestesi lokal
Toksisitas anestesi local secara sistemik kemungkinan
disebabkan oleh adanya penggunaan obat yang jumlahnya relatif
basar pada anestesi epidural.
 Kerusakan serabut spinal
Dapat terjadi jika injeksi epidural diatas lumbal 2. Onset
paresthesia unilateral menandakan insersi jarum secara lateral
masuk kedalam ruang epidural. Injeksi atau insersi kateter pada
bagian ini dapat menyebabkan trauma pada serabut saraf. Saluran
kecil arteri pada arteri spinal anterior juga masuk kedalam area ini
dimana melewati celah pada foramen intervertebral. Trauma pada
arteri tersebut dapat menyebabkan iskemia kornu anterior atau
hematoma epidural.
 Pendarahan akibat perforasi oleh jarum
Dapat menyebabkan suatu perdarahan yang emergensi dan
mematikan. Jarum seharusnya dipindahkan dan direposisikan.
Lebih baik mereposisikan jarum pada ruang yang berbeda, dimana
jika terdapat perdarahan pada tempat itu maka
dapat meyebabkan kesulitan dalam penempatan jarum secara tepat.
 Sakit kepala post pungsi dural
Jika dural dipungsi dengan jarum epidural ukuran 17,
menyebabkan sebanyak 75 % dari pasien muda untuk menderita
sakit kepala post pungsi dural.
 Infeksi abses epidural
Suatu komplikasi yang sangat jarang timbul akibat anestesi
epidural. Sumber infeksi dari sebagian besar kasus berasal dari
penyebaran secara hematogen pada ruang epidural dari suatu
infeksi pada bagian yang lain . Infeksi dapat juga timbul dari
kontaminasi sewaktu insersi, kontaminasi kateter yang
dipergunakan untuk pertolongan nyeri post-operasi atau melalui
suatu infeksi kulit pada tempat insersi.
Pasien akan mengalami demam, nyeri punggung yang
hebat dan lemah punggung secara lokal. Selanjutnya dapat terjadi
nyeri serabut saraf dan paralisis. Pada awalnya pemeriksaan
laboratorium ditemukan suatu lekosit dari lumbal pungsi. Diagnosa
pasti ditegakkan dengan pemeriksaan Myelography atau Magnetic
Resonance Imaging (MRI). Penanganan yang dianggap penting
adalah dekompresi laminektomi dan pemberian antibiotik.
Penyembuhan neurologik yang baik adalah berhubungan dengan
cepatnya penegakan diagnosis dan penanganan.
 Hematoma epidural
Suatu komplikasi yang sangat jarang dari anestesi epidural.
Trauma pada vena epidural menimbulkan coagulophaty yang dapat
menyebabkan suatu hematoma epidural yang besar. Pasien akan
merasakan nyeri punggung yang hebat dan defisit neurologi yang
persisten setelah anestesi epidural. Diagnosis dapat segera
ditegakkan dengan computered tomography atau MRI. Dekompresi
laminektomi penting dilakukan untuk memelihara fungsi neurologi
 Depresi kardiovaskuler (hipotensi)
 Hipoventilasi ( hati-hati keracunan obat)
 Mual-muntah

Anda mungkin juga menyukai