Anda di halaman 1dari 6

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka
1. Kecelakaan Kerja
Kecelakaan Kerja ada beberapa macam menurut para ahli. Pada
dasarnya, Kecelakaan tidak terjadi kebetulan, melainkan ada sebabnya.
Oleh karena ada penyebabnya, sebab kecelakaan harus diteliti dan
ditemukan, agar untuk selanjutnya dengan tindakan korektif yang
ditujukan kepada penyebab itu serta dengan upaya preventif lebih lanjut
kecelakaan dapat dicegah dan kecelakaan serupa tidak berulang kembali
(Suma’mur, 2009).

2. HIRADC
HIRADC adalah salah satu bagian dari standar ohsas 18001;2007
clause 4.3.1, di Indonesia biasa juga disebut sebagai risk assesment atau
identifikasi bahaya dan aspek K3L. Klausa tersebut menyebutkan bahwa
organisasi harus menetapkan, membuat, menerapkan dan memelihara
prosedur untuk melakukan identifikasi bahaya, penilaian risiko dan

4
menentukan pengendalian bahaya dan risiko yang diperlukan. Klausa ini
menjelaskan mengenai proses/hal-hal yang harus diperhatikan dalam
pelaksananaan HIRADC:
a) Identifikasi Bahaya
Langkah pertama dalam proses manajemen risiko adalah melakukan
identifikasi bahaya tempat kerja atau tempat yang berpeluang mengalami
kerusakan. Cara sederhana untuk memulai menentukan bahaya dapat
dilakukan dengan membagi area kerja berdasarkan kelompok (Rudi
Suardi, 2007:74), seperti:
1) Kegiatan-kegiatan (seperti pekerjaan pengelasan, pengolahandata)

2) Lokasi (kantor, gudang, lapangan)

3) Aturan-aturan (pekerja kantor, atau bagian elektrik)

4) Fungsi atau proses produksi (administrasi, pembakaran,


pembersihan, penerimaan,finishing)
Identifikasi sumber bahaya dilakukan dengan mempertimbangkan:

1) Kondisi dan kejadian yang dapat menimbulkan potensi bahaya


2) Jenis kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang mungkin akan terjadi.
b) Penilaian risiko
Tingkat risiko adalah perkalian antara tingkat kekerapan (probability)
dan keparahan (consequence) dari suatu kejadian yang dapat menyebabkan
kerugian, kecelakaan atau cidera dan sakit yang mungkin timbul dari
pemaparan suatu bahaya di tempat kerja (Tarwaka, 2014)

Gambar 2.1 Bagan Penentuan Tingkat Risiko Menurut Tarwaka (2014)

Proses penilaian risiko dilakukan untuk menilai tingkat risiko


kecelakaan atau cidera maupun sakit. Proses penilaian risiko memiliki
beberapa tahapan, yaitu :

5
1) Estimasi Tingkat Kekerapan (Probability)
Estimasi terhadap tingkat kekerapan atau keseringan terjadinya
kecelakaan harus mempertimbangkan tentang berapa sering dan berapa
lama seorang pekerja terpapar potensi bahaya.

Gambar 2.2 Bagan Proses Penilaian Risiko Menurut Tarwaka


(2014)
Tingkat kekerapan atau keseringan (probability) kecelakaan atau
sakit dikategorikan menjadi 4 (empat) kategori, yaitu :
a) Sering (Frequent) adalah kemungkinan terjadinya sangat sering
dan berulang (Nilai : 4)
b) Agak sering (Probable) adalah kemungkinan terjadinya
beberapa kali (Nilai : 3)
c) Jarang (Occasional) adalah kemungkinannya jarang terjadi atau
terjadinya sekali waktu (Nilai : 2)
d) Jarang sekali (Remote) adalah kemungkinan terjadinya kecil tetapi
tetap ada kemungkinan (Nilai : 1)
Dari kategori diatas, kita dapat memilih salah satu kategori yang paling
tepat untuk mengestimasi tingkat kekerapan atau keseringan terjadinya
kecelakaan dan sakit dari setiap potensi bahaya yang telah diidentifikasi.
1) Estimasi Tingkat Keparahan (Consequence)
Penentuan tingkat keparahan (consequence) memerlukan
pertimbangan tentang berapa banyak orang yang ikut terkena dampak
akibat kecelakaan dan bagian- bagian tubuh mana saja yang terpapar

6
potensi bahaya. Tingkat keparahan (consequence) kecelakaan atau
sakit dapat dikategorikan menjadi 5 yaitu :
a) Bencana (Catastrophic) adalah kecelakaan yang banyak
menyebabkan kematian (Nilai : 5)
b) Fatal adalah kecelakaan yang menyebabkan kematian tunggal (Nilai
: 4)
c) Cidera berat (Critical) adalah kecelakaan yang menyebabkan
cidera atau sakit yang parah untuk waktu yang lama tidak mampu
bekerja atau menyebabkan cacat tetap (Nilai : 3)
d) Cidera ringan (Marginal) adalah kecelakaan yang menyebabkan
cidera atau sakit ringan dan segera dapat bekerja kembali atau
tidak menyebabkan cacat tetap (Nilai : 2)
e) Hampir cidera (Negligible) adalah kejadian hampir celaka yang
tidak mengakibatkan cidera atau tidak memerlukan perawatan
kesehatan (Nilai : 1)
2) Penentuan Tingkat Risiko
Setelah dilakukan estimasi dapat ditentukan tingkat risiko dari
masing-masing bahaya yang telah diidentifikasi dan dinilai.
a) Nilai 15-20 : Risiko Sangat Tinggi (Urgent)
b) Nilai 10-14 : Risiko Tinggi/Serius (High)
c) Nilai 5-9 : Risiko Sedang (Medium)
d) Nilai 2-4 : Risiko rendah (Low)
e) Nilai 1 : Hampir tidak terdapat risiko bahaya (None)

3) Prioritas Risiko

Tabel 2.1 Klasifikasi Tingkat Risiko Menurut Tarwaka (2014)

TINGKAT
TINGKAT BAHAYA KLASIFIKASI
RISIKO
Tingkat bahaya
URGENT Hazard kelas : A
sangat tinggi
Tingkat bahaya
HIGH Hazard kelas : B
serius
Tingkat bahaya
MEDIUM Hazard kelas : C
sedang
LOW Tingkat bahaya kecil Hazard kelas : D
Hampir tidak ada
NONE Hazard kelas : E
bahaya

7
c) Menetapkan Pengendalian
Perusahaan harus merencanakan pengelolaan dan pengendalian
kegiatan- kegiatan, produk barang dan jasa yang dapat menimbulkan risiko
kecelakaan kerja yang tinggi. Pengendalian risiko kecelakaan dilakukan
melalui metode Hirarki Pengendalian Risiko

Menghilangkan Bahaya

Penggantian

Engineering/Rekayasa

Administrasi

Alat Pelindung Diri (APD)

a. Eliminasi atau Menghilangkan Bahaya


Menghilangkan bahaya adalah langkah ideal yang dapat dilakukan
dan menjadi pilihan pertama dalam melakukan pengendalian risiko.
Ini berarti menghentikan peralatan atau prasarana yang dapat
menimbulkan bahaya atau dengan kata lain peralatan tersebut tidak
digunakan lagi (Rudi Suardi, 2007:85).
b. Substitusi atau Mengganti
Prinsipnya adalah menggantikan sumber risiko dengan
sarana/peralatan lain yang tingkat risikonya lebih rendah atau tidak
ada. Ciri khas tahap ini adalah melibatkan pemikiran yang lebih
mendalam bagaimana membuat lokasi kerja yang lebih aman dengan
melakukan pengaturan ulang lokasi kerja, memodifikasi peralatan,
melakukan kombinasi kegiatan, perubahan prosedur, mengurangi
frekuensi dalam melakukan kegiatan berbahaya (Rudi Suardi,
2007:86).

8
c. Isolasi
Pada tahap ini dilakukan isolasi terhadap area berbahaya dari
pekerja atau dari orang yang ingin memasuki area tersebut (Rudi
Suardi,2007;87)
d. Pengendalian secara Administrasi
Tahap ini menggunakan prosedur, Standard Operational n
Procedure (SOP) atau panduan sebagai langkah untuk mengurangi
risiko. Beberapa bentuk pengendalian secara administratif (Rudi
Suardi, 2007:88) adalah sebagai berikut:
1) Melakukan rotasi kerja untuk mengurangi efekrisiko
2) Membatasi waktu atau frekuensi untuk memasukiarea.
3) Melakukan supervisipekerjaan.
4) Membuat prosedur, instruksi kerja atau pelatihanpengamanan.
5) Melakukan pemeliharaan pencegahan dan membuat prosedur
housekeeping
6) Membuat tandabahaya.
e. Penggunaan Alat Pelindung Diri(APD)
Sarana pengaman diri adalah pilihan terakhir yang dapat kita
lakukan untuk mencegah bahaya (Rudi Suardi, 2007:89). Alat
pelindung diri mencakup semua pakaian dan aksesoris yang
digunakan pekerja yang didesain untuk menjadi pembatas sumber
bahaya. Beberapa perlindungan yang disediakan oleh beberapa jenis
Personal Protective Equipment.

B. Perundang-Undangan
1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja Pasal 13,
“Barang siapa akan memasuki sesuatu tempat kerja diwajibkan menaati semua
petunjuk keselamatan kerja dan memakai alat-alat perlindungan diri yang
diwajibkan”.
2. Undang-Undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

Anda mungkin juga menyukai