Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH DINASTI ABBASIYAH

Oleh :
Dimas Rizky 175020500111021

Program Studi Ekonomi Islam


Jurusan Ilmu Ekonomi
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Brawijaya
Malang
2019
Daftar Isi

DAFTAR ISI…………………………………………………………………...i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………ii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………..……1
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………...1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………………..2
1.3 Ruang Lingkup Materi..………………………………………………..2
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………...3
A Sejarah Berdirinya Dinasti Abbasiyah………………………………....3
B Nama-Nama Khalifah Dinasti Abbasiyah……………………………...5
C Pemerintahan Dinasti Abbasiyah………………………………………8
D Masa Kejayaan Dinasti Abbasiyah……………………………..……..16
E Dinasti-Dinasti Yang Memerdekakan Diri Dari Abbasiyah.………….22
F Kemunduran Dinasti Abbasiyah……………….…………………..….24
G Akhir Kekuasaan Dinasti Abbasiyah……...……………………...…...26
BAB III KESIMPULAN……………………………………………………..27
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………...….28
Kata Pengantar

Puji serta syukur alhamdulillah saya panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah
ini bisa selesai pada waktunya.
Terima kasih juga saya ucapkan kepada dosen saya, Bapak Aji Purba Trapsila, yang
telah memberikan kesempatan kepada saya untuk menyusun makalah ini sehingga
saya dapat mengasah kemampuan dan pemahaman saya.
Saya berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu, saya memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, sehingga saya sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat
membangun demi terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Peradaban dalam Islam, dapat ditelusuri dari sejarah kehidupan Rasulullah, para
sahabat (Khulafaur Rasyidin), dan sejarah kekhalifahan Islam hingga kehidupan
umat Islam dewasa ini. Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad telah
membawa bangsa Arab yang semula terbelakang, bodoh, dan diabaikan oleh
bangsa-bangsa lain, menjadi bangsa yang maju. Bahkan, kemajuan Barat pada
mulanya bersumber pada peradaban Islam yang masuk ke Eropa melalui Spanyol.
Islam memang berbeda dari agama-agama lain, sebagaimana pernah diungkapkan
oleh H.A.R. Gibb dalam bukunya Whither Islam kemudian dikutip M.Natsir,
bahwa, “Islam is andeed much more than a system of theology, it is a complete
civilization” (Islam sesungguhnya lebih dari sekedar sebuah agama, ia adalah
suatu peradaban yang sempurna). Landasan “peradaban Islam” adalah
“kebudayaan Islam” terutama wujud idealnya, sementara landasan “kebudayaan
Islam” adalah agama. Jadi, dalam Islam, tidak seperti pada masyarakat yang
menganut agama “bumi” (non-samawi), agama bukanlah kebudayaan tetapi dapat
melahirkan kebudayaan. Kalau kebudayaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa
manusia, maka agama Islam adalah wahyu dari Tuhan.
Maju mundurnya peradaban Islam tergantung dari sejauh mana dinamika umat
Islam itu sendiri. Dalam sejarah Islam tercatat, bahwa salah satu dinamika umat
Islam itu dicirikan oleh kehadiran kerajaan-kerajaan Islam, diantaranya Dinasti
Umayah dan Dinasti Abbasiyah. Terlebih lagi Dinasti Abbasiyah, karena
memiliki peradaban yang tinggi. Salah satu indikasinya adalah munculnya
ilmuwan-ilmuwan dan para pemikir muslim.
Atas dasar itulah, saya merasa penting untuk mengusung pembahasan mengenai
bani Abbasiyah, demi memenuhi tugas makalah kuliah “ Pemikiran Ekonomi
Islam ”. Adapun topik bahasan yang saya ketengahkan adalah latar belakang
berdirinya kekhalifahan Abbasiyah, pemerintahan dinasti Abbasiyah, dan
kemajuan dan kemunduran pada masa ini, baik dari aspek ekonomi, politik, dan
sosial.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana sejarah berdirinya Bani Abbasiyah?
2. Seperti apa masa kekuasaan Bani Abbasiyah?
3. Apa saja yang diperoleh pada masa kejayaan Bani Abbasiyah?
4. Apa faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran Bani Abbasiyah?
5. Bagaimana akhir masa kekuasaan Bani Abbasiyah?

1.3 Tujuan
1. Menjelaskan bagaimana berdirinya Bani Abbasiyah, sehingga berhasil
menguasai ke khalifahan yang sebelumnya di pegang oleh Bani Umayyah.
2. Mendeskripsikan masa kekuasaan Bani Abbasiyah dalam megelola
pemerintahan.
3. Mendeskripsikan kemajuan-kemajuan yang diperoleh saat Bani Abbasiyah
memegang kekhalifahan, baik itu dibidang ekonomi, politik, dan ilmu
pengetahuan.
4. Mendeskripsikan faktor-faktor penyebab kemunduran Bani Abbasiyah.
5. Menjelaskan bagaimana akhir dari masa kekuasaan Bani Abbasiyah.
BAB 2
PEMBAHASAN

A. Sejarah Berdirinya Dinasti Abbasiyah


Dinasti Abbasiyah didirikan secara revolusioner, yakni dengan menggulingkan
kekuasaan dinasti Umayyah. Maka, bangkitnya Daulah Abbasiyah bukan saja
pergantian Dinasti akan tetapi lebih dari itu adalah penggantian struktur sosial dan
ideologi. Sehingga dapat dikatakan kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah
merupakan suatu revolusi. Terdapat beberapa faktor yang mendukung
keberhasilan pembentukan dinasti ini diantaranya adalah meningkatnya
kekecewaan kelompok Mawalli terhadap Bani Umayyah, pecahnya persatuan
antar suku bangsa Arab, dan timbulnya kekecewaan masyarakat agamis dan
keinginan mereka memiliki pemimpin kharismatik.

Kekuatan baru ini muncul pada masa pemerintahan khalifah Hisyam ibn Abd al-
Malik, yang pada akhirnya menjadi tantangan berat bagi pemerintahan bani
Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan bani Hasyim yang dipelopori
keturunan al-Abbas ibn Abd al-Muthalib. Gerakan ini menghimpun beberapa
kelompok, diantaranya adalah:
a. Bani Alawiyah pemimpinnya Abu Salamah
b. Bani Abbasiyah pemimpinnya Ibrahim al-Aiman
c. Keturunan bangsa Persia pemimpinnya Abu Muslim al-Khurasany, mereka
memusatkan kegiatannya di khurasan.
d. Golongan Syi’ah

Sebelum daulah Bani Abbasiyah berdiri, terdapat 3 tempat yang menjadi pusat
kegiatan kelompok Bani Abbas, antara satu dengan yang lain mempunyai
kedudukan tersendiri dalam memainkan peranannya untuk menegakkan
kekuasaan keluarga besar paman nabi SAW yaitu Abbas Abdul Mutholib (dari
namanya Dinasti itu disandarkan). Tiga tempat itu adalah Humaimah, Kufah dan
Khurasan.

Humaimah merupakan kota kecil tempat keluarga Bani Hasyim bermukim, baik
dari kalangan pendukung Ali maupun pendukung keluarga Abbas. Humaimah
terletak berdekatan dengan Damsyik. Kufah merupakan kota yang penduduknya
menganut aliran Syi‘ah pendukung Ali bin Abi Tholib. Ia bermusuhan secara
terang-terangan dengan golongan Bani Umayyah. Demikian pula dengan
Khurasan, kota yang penduduknya mendukung Bani Hasyim. Ia mempunyai
warga yang bertemperamen pemberani, kuat fisiknya, tegap tinggi,teguh pendirian
tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung dengan kepercayaan
yang menyimpang. Disinilah diharapkan dakwah kaum Abbassiyah mendapatkan
dukungan.

Di bawah pimpinan Muhammad bin Ali al-Abbasy, gerakan Bani Abbas


dilakukan dalam dua fase yaitu :
1) fase sangat rahasia; dan
2) fase terang-terangan dan pertempuran.
Selama Imam Muhammad masih hidup gerakan dilakukan sangat rahasia.
Propaganda dikirim keseluruh pelosok negara, dan mendapat pengikut yang
banyak, terutama dari golongan yang merasa tertindas, bahkan juga dari golongan
yang pada mulanya mendukung Bani Umayyah.

Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan di seluruh negeri. Gerakan-gerakan


perlawanan untuk melawan kekuasaan dinasti Bani Umayyah sebenarnya sudah
dilakukan sejak masa-masa awal pemerintahan dinasti Bani Umayyah, hanya saja
gerakan tersebut selalu digagalkan oleh kekuatan militer Bani Umayyah, sehingga
gerakan-gerakan kelompok penentang tidak dapat melancarkan serangannya
secara kuat. Tapi, dimasa-masa akhir pemerintahan dinasti Bani Umayyah
gerakan tersebut semakin menguat seiring banyaknya protes dari masyarakat yang
merasa tidak puas atas kinerja dan berbagai kebijakan pemerinatah dinasti Bani
Umayyah. Gerakan ini menemukan momentumnya ketika para tokoh dari Bani
Hasyim melancarkan serangannya.

Para tokoh tersebut antara lain Muhammad bin Ali, salah seorang keluarga Abbas
yang menjadikan kota Khufa sebagai pusat kegiatan perlawanan. Gerakan
Muhammad bin Ali mendapat dukungan dari kelompok Mawali yang selalu
ditempatkan sebagai masyarakat kelas dua. Selain itu, juga dukungan kuat dari
kelompok Syi’ah yang menuntut hak mereka atas kekuasaan yang pernah
dirampas oleh dinasti Banui UmayyahPemberontakan yang paling dahsyat dan
merupakan puncak dari segala pemberontakan, yakni perang antara pasukan
Abbul Abbas melawan pasukan Marwan ibn Muhammad (Dinasti Bani
Umayyah). Yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abbul Abbas. Dengan
jatuhnya negeri Syiria, berakhirlah riwayat Dinasti Bani Umayyah dan bersama
dengan itu bangkitlah kekuasaan Abbasiyah.

Akhirnya, pada tahun 132 H (750 M) tumbanglah daulah Umayyah dengan


terbunuhnya khalifah terakhir yaitu Marwan bin Muhammad. Pada tahun inilah
berdirilah kekuasaan dinasti bani abbas atau khalifah abbasiyah karena para
pendiri dan penguasa dinasti ini keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad
Saw., dinasti abbasiyah didirikan oleh Abdullah ibn al-Abbas (Abul Abbas al-
Saffah). Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang dari tahun
132 H sampai dengan 656 H. selama berkuasa pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, social dan budaya.

B. Nama-Nama Khalifah Dinasti Abbasiyah


Sebelum Abul Abbas Ash-Shaffah meninggal, ia sudah mewasiatkan siapa
penggantinya, yakni saudaranya, Abu Ja'far, kemudian Isa bin Musa,
keponakannya. Sistem pengumuman putra mahkota itu mengikuti cara Dinasti
Bani Umayyah. Dan satu hal yang baru lagi bagi para khalifah Abbasiyah, yaitu
pemakaian gelar. Abu Ja'far misalnya, ia memakai gelar Al-Manshur. Para
khalifah Bani Abbasiyah berjumlah 37 khalifah, mereka adalah:
1. Abul Abbas As-Shaffah. (Pendiri) 749-754 M
2. Abu Ja'far Al-Manshur 754-775 M
3. Abu Abdullah Muhammad Al-Mahdi 775-785 M
4. Abu Muhammad Musa Al-Hadia 785-786 M
5. Abu Ja'far Harun Ar-Rasyid 786-809 M
6. Abu Musa Muhammad Al-Amin 809-813 M
7. Abu Ja'far Abdullah Al-Makmun 813-833 M
8. Abu Ishaq Muhammad Al-Mu'tashim 833-842 M
9. Abu Ja'far Harun Al-Watsiq 842-847 M
10. Abu Fadl Ja'far Al-Mutawakil 847-861 M
11. Abu Ja'far Muhammad Al-Muntashir 861-862 M
12. Abul Abbas Ahmad Al-Musta'in 862-866 M
13. Abu Abdullah Muhammad Al-Mu'taz 866-869 M
14. Abu Ishaq Muhammad Al-Muhtadi 869-870 M
15. Abul Abbas Ahmad Al-Mu'tamid 870-892 M
16. Abul Abbas Ahmad Al-Mu'tadid 892-902 M
17. Abul Muhammad Ali Al-Muktafi 902-905 M
18. Abul Fadl Ja'far Al-Muqtadir 905-932 M
19. Abu Mansur Muhammad Al-Qahir 932-934 M
20. Abul Abbas Ahmad Ar-Radi 934-940 M
21. Abu Ishaq Ibrahim Al-Muttaqi 940-944 M
22. Abul Qasim Abdullah Al-Mustaqfi 944-946 M
23. Abul Qasim Al-Fadl Al-Mu'ti 946-974 M
24. Abul Fadl Abdul Karim At-Thai 974-991 M
25. Abul Abbas Ahmad Al-Qadir 991-1031 M
26. Abu Ja'far Abdullah Al-Qaim 1031-1075 M
27. Abul Qasim Abdullah Al-Muqtadi 1075-1094 M
28. Abul Abbas Ahmad Al-Mustadzir 1094-1118 M
29. Abu Manshur Al-Fadl Al-Mustarsyid 1118-1135 M
30. Abu Ja'far Al-Mansur Ar-Rasyid 1135-1136 M
31. Abu Abdullah Muhammad Al-Muqtafi 1136-1160 M
32. Abul Mudzarfar Al-Mustanjid 1160-1170 M
33. Abu Muhammad Al-Hasan Al-Mustadi 1170-1180 M
34. Abu Al-Abbas Ahmad An-Nasir 1180-1225 M
35. Abu Nasr Muhammad Az-Zahir 1225-1226 M
36. Abu Ja'far Al-Mansur Al-Mustansir 1226-1242 M
37. Abu Ahmad Abdullah Al-Mu'tashim Billah 1241-1258 M

Pada masa bangsa Mongol dapat menaklukkan Baghdad tahun 656 H/1258 M, ada
seorang pangeran keturunan Abbasiyah yang lolos dari pembunuhan dan
meneruskan kekhalifahan dengan gelar khalifah yang hanya berkuasa di bidang
keagamaan di bawah kekuasaan kaum Mamluk di Kairo, Mesir tanpa kekuasaan
duniawi yang bergelar Sultan. Jabatan khalifah yang disandang oleh keturunan
Abbasiyah di Mesir berakhir dengan diambilnya jabatan itu oleh Sultan Salim I
dari Turki Usmani ketika menguasai Mesir pada tahun 1517 M. Dengan demikian,
hilanglah kekhalifahan Abbasyiah untuk selama-lamanya.
Para khalifah Bani Abbasiyah yang ada di Mesir adalah sebagai berikut.
1. Al-Muntashir 1261-1261 M
2. Al-Hakim I 1261-1302 M
3. Al-Mustakfi 1302-1340 M
4. Al-Wasiq 1340-1341 M
5. Al-Hakim II 1341-1352 M
6. Al-Mutadid I 1352-1362 M
7. Al-Mutawakkil I 1362-1377 M
8. Al-Mu'tashim 1377-1377 M
9. Al-Mutawakkil I 1377-1383 M
10. Al-Watsiq II 1383-1386 M
11. Al-Mu'tashim 1386-1389 M
12. Al-Mutawakkil I 1389-1406 M
13. Al-Musta'in 1406-1414 M
14. Al-Mu'tadid 1414-1441 M
15. Al-Mustakfi II 1441-1451 M
16. Al-Qaim 1451-1455 M
17. Al-Mustanjid 1455-1479 M
18. Al-Mutawakkil II 1479-1497 M
19. Al-Mustamsik 1497-1508 M
20. Al-Mutawakkil III 1508-1516 M
21. Al-Mustamsik 1516-1517 M
22. Al-Mutawakkil III 1517-1517 M

C. Pemerintahan Dinasti Abbasiyah


Pada zaman Abbasiyah konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem politik.
Menurut pandangan para pemimpin Bani Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada
pemerintahan (Khalifah) adalah berasal dari Allah, bukan dari rakyat sebagaimana
diaplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman khalifahurrasyidin. Hal ini
dapat dilihat dengan perkataan Khalifah Al-Mansur “Saya adalah sultan Tuhan
diatas buminya “.

Pada zaman Dinasti Bani Abbasiyah, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-
beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik
yang dijalankan oleh Daulah Bani Abbasiyah I antara lain :
a. Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima,
Gubernur dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan mawali.
b. Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan
politik, ekonomi sosial dan kebudayaan.
c. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia.
d. Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya.
e. Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya
dalam pemerintah

Selanjutnya periode II, III, IV, kekuasaan Politik Abbasiyah sudah mengalami
penurunan, terutama kekuasaan politik sentral. Hal ini dikarenakan negara-negara
bagian (kerajaan-kerajaan kecil) sudah tidak menghiraukan pemerintah pusat,
kecuali pengakuan politik saja. Panglima di daerah sudah berkuasa di daerahnya,
dan mereka telah mendirikan atau membentuk pemerintahan sendiri misalnya saja
munculnya Daulah- Daulah kecil, contoh; daulah Bani Umayyah di Andalusia atau
Spanyol, Daulah Fatimiyah.

Pada masa awal berdirinya Daulah Abbasiyah ada 2 tindakan yang dilakukan oleh
para Khalifah Daulah Bani Abbasiyah untuk mengamankan dan mempertahankan
dari kemungkinan adanya gangguan atau timbulnya pemberontakan yaitu : pertama,
tindakan keras terhadap Bani Umayah dan kedua, pengutamaan orang-orang
keturunan Persia.

Dalam menjalankan pemerintahan, Khalifah Bani Abbasiyah pada waktu itu


dibantu oleh seorang wazir (perdana mentri) atau yang jabatanya disebut dengan
wizaraat. Sedangkan wizaraat itu dibagi lagi menjadi 2 yaitu:
1) Wizaraat Tanfiz (sistem pemerintahan presidentil) yaitu wazir hanya sebagai
pembantu Khalifah dan bekerja atas nama Khalifah.
2) Wizaaratut Tafwidl (parlemen kabinet). Wazirnya berkuasa penuh untuk
memimpin pemerintahan.
Sedangkan, Khalifah sebagai lambang saja. Pada kasus lainnya fungsi Khalifah
sebagai pengukuh Dinasti-Dinasti lokal sebagai gubernurnya Khalifah

Selain itu, untuk membantu Khalifah dalam menjalankan tata usaha negara
diadakan sebuah dewan yang bernama diwanul kitaabah (sekretariat negara) yang
dipimpin oleh seorang raisul kuttab (sekretaris negara). Dan dalam menjalankan
pemerintahan negara, wazir dibantu beberapa raisul diwan (menteri departemen-
departemen). Tata usaha negara bersifat sentralistik yang dinamakan an-nidhamul
idary al-markazy.

Lalu, dalam zaman daulah Abbassiyah juga didirikan angkatan perang, amirul
umara, baitul maal, organisasi kehakiman. Selama Dinasti ini berkuasa, pola
pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik,
sosial, ekonomi dan budaya.
Para sejarawan membagi masa pemerintahan Bani Abbasiyah menjadi lima
periode:
1. Periode pertama (750–847 M)
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbasiyah mencapai masa keemasannya.
Secara politis, para Khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat
kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat
mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi
perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam.

Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri Dinasti ini sangat singkat, yaitu dari
tahun 750 M sampai 754 M. Karena itu, pembina sebenarnya dari Daulah
Abbasiyah adalah Abu Ja’far al-Mansur (754–775 M). Pada mulanya ibu kota
negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan
menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, al-Mansur memindahkan ibu kota
negara ke kota yang baru dibangunnya, yaitu Baghdad, dekat bekas ibu kota Persia,
Ctesiphon, tahun 762 M. Dengan demikian, pusat pemerintahan Dinasti bani
Abbasiyah berada ditengah-tengah bangsa Persia.

Di ibu kota yang baru ini al-Mansur melakukan konsolidasi dan penertiban
pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki jabatan di
lembaga eksekuti dan yudikatif. Di bidang pemerintahan dia menciptakan tradisi
baru dengan mengangkat wazir sebagai koordinator departemen. Jabatan wazir
yang menggabungkan sebagian fungsi perdana menteri dengan menteri dalam
negeri itu selama lebih dari 50 tahun berada di tangan keluarga terpandang berasal
dari Balkh, Persia (Iran). Wazir yang pertama adalah Khalid bin Barmak, kemudian
digantikan oleh anaknya, Yahya bin Khalid. Yang terakhir ini kemudian
mengangkat anaknya, Ja’far bin Yahya, menjadi wazir muda. Sedangkan anaknya
yang lain, Fadl bin Yahya, menjadi Gubernur Persia Barat dan kemudian Khurasan.
Pada masa tersebut persoalan-persoalan administrasi negara lebih banyak ditangani
keluarga Persia itu. Masuknya keluaraga non Arab ini ke dalam pemerintahan
merupakan unsur pembeda antara Daulah Abbasiyah dan Daulah Umayyah yang
berorientasi ke Arab.
Khalifah al-Mansur juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara,
dan kepolisian negara di samping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk
Muhammad ibn Abd al-Rahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara.
Jawatan pos yang sudah ada sejak masa Dinasti Bani Umayyah ditingkatkan
peranannya dengan tambahan tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar
surat, pada masa al-Mansur, jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh
informasi di daerah-daerah sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar.
Para direktur jawatan pos bertugas melaporkan tingkah laku Gubernur setempat
kepada Khalifah.
Khalifah al-Mansur juga berusaha menaklukan kembali daerah-daerah yang
sebelumnya membebaskan diri dari pemerintahan pusat, dan memantapkan
keamanan di daerah perbatasan. Di pihak lain, dia berdamai dengan kaisar
Constantine V dan selama genjatan senjata 758-765 M, Bizantium membayar upeti
tahunan.

Pada masa al-Mansur pengertian Khalifah kembali berubah. Konsep khilafah


dalampandangannya ——dan berlanjut ke generasi sesudahnya—— merupakan
mandat dari Allah, bukan dari manusia, bukan pula sekedar pelanjut nabi
sebagaimana pada masa al Khulafa’ al-Rasyidin.

Popularitas Daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman Khalifah Harun al-


Rasyid (786-809 M) dan putranya al-Ma’mun (813-833 M). Kekayaan yang
banyak, dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit,
lembaga pendidikan dokter dan farmasi didirikan. Tingkat kemakmuran paling
tinggi terwujud pada zaman Khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan,
pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada
zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai
negara terkuat dan tak tertandingi (Yatim, 2003:52-53).

Dengan demikian telah terlihat bahwa pada masa Khalifah Harun al-Rasyid lebih
menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada perluasan
wilayah yang memang sudah luas. Orientasi kepada pembangunan peradaban dan
kebudayaan ini menjadi unsur pembanding lainnya antara Dinasti Abbasiyah dan
Dinasti Umayyah.

Selanjutnya, Al-Makmun, pengganti al-Rasyid, dikenal sebagai Khalifah yang


sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku
asing digalakkan. Ia juga mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang
terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang
berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa al-
Makmun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

Al-Muktasim, Khalifah berikutnya (833-842 M) memberi peluang besar kepada


orang- orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan. Demikian ini di latar
belakangi oleh adanya persaingan antara golongan Arab dan Persia pada masa al-
Ma’mun dan sebelumnya. Keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal.
Tidak seperti pada masa Daulah Umayyah, Dinasti Abbasiyah mengadakan
perubahan sistem ketentaraan. Praktek orang-orang Muslim mengikuti perang
sudah terhenti. Tentara dibina secara khusus menjadi prajurit-prajurit pro esional.
Dengan demikian, kekuatan militer Dinasti Bani Abbasiyah menjadi sangat kuat.

Dalam periode ini, sebenarnya banyak gerakan politik yang mengganggu stabilitas,
baik dari kalangan Bani Abbas sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu
seperti gerakan sisa-sisa Dinasti Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas dan
lain-lain semuanya dapat dipadamkan. Dalam kondisi seperti itu para Khalifah
mempunyai prinsip kuat sebagai pusat politik dan agama sekaligus. Apabila tidak,
seperti pada periode sesudahnya, stabilitas tidak lagi dapat dikontrol, bahkan para
Khalifah sendiri berada di bawah pengaruh kekuasaan yang lain.

2. Periode kedua (847-945 M)


Perkembangan peradaban dan kebudayaan serta kemajuan besar yang dicapai
Dinasti Abbasiyah pada periode pertama telah mendorong para penguasa untuk
hidup mewah, bahkan cenderung mencolok. Kehidupan mewah para Khalifah ini
ditiru oleh para hartawan dan anak-anak pejabat. Demikian ini menyebabkan roda
pemerintahan terganggu dan rakyat menjadi miskin. Kondisi ini memberi peluang
kepada tentara profesional asal Turki yang semula diangkat oleh Khalifah al-
Mu’tasim untuk mengambil alih kendali pemerintahan. Usaha mereka berhasil,
sehingga kekuasaan sesungguhnya berada di tangan mereka, sementara kekuasaan
Bani Abbas di dalam Khilafah Abbasiyah yang didirikannya mulai pudar, dan ini
merupakan awal dari keruntuhan Dinasti ini, meskipun setelah itu usianya masih
dapat bertahan lebih dari empat ratus tahun.

Khalifah Mutawakkil (847-861 M) yang merupakan awal dari periode ini adalah
seorang Khalifah yang lemah. Pada masa pemerintahannya orang-orang Turki
dapat merebut kekuasaan dengan cepat. Setelah Khalifah al-Mutawakkil wafat,
merekalah yang memilih dan mengangkat Khalifah. Dengan demikian kekuasaan
tidak lagi berada di tangan Bani Abbas, meskipun mereka tetap memegang jabatan
Khalifah. Sebenarnya ada usaha untuk melepaskan diri dari para perwira Turki itu,
tetapi selalu gagal. Dari dua belas Khalifah pada periode kedua ini, hanya empat
orang yang wafat dengan wajar, selebihnya kalau bukan dibunuh, mereka
diturunkan dari tahtanya dengan paksa. Wibawa Khalifah merosot tajam. Setelah
tentara Turki lemah dengan sendirinya, di daerah-daerah muncul tokoh-tokoh kuat
yang kemudian memerdekakan diri dari kekuasaan pusat, mendirikan Dinasti-
Dinasti kecil. Inilah permulaan masa disintregasi dalam sejarah politik Islam.

Adapun faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada


periode ini adalah sebagai berikut:
a. Luasnya wilayah kekuasaan Daulah Abbasiyah yang harus dikendalikan,
sementara komunikasi lambat. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di
kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah.
b. Dengan profesionalisasi tentara, ketergantungan kepada mereka menjadi sangat
tinggi.
c. Kesulitan keuangan karena beban pembiayaan tentara sangat besar. Setelah
Khalifah merosot, Khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.
3. Periode ketiga (945 -1055 M)
Pada periode ini, Daulah Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Bani Buwaih.
Khalifah pada masa ini tidak lebih sebagai pegawai yang diperintah dan diberi gaji.
Bani Buwaih membagi kekuasaannya kepada tiga bersaudara : Ali untuk wilayah
bagian selatan negeri Persia, Hasan untuk wilayah bagian utara, dan Ahmad untuk
wilayah Al- Ahwaz, Wasit dan Baghdad. Dengan demikian Baghdad pada periode
ini tidak lagi merupakan pusat pemerintahn Islam karena telah pindah ke Syiraz di
masa berkuasa Ali bin Buwaih yang memiliki kekuasaan Bani Buwaih.

Meskipun demikian, dalam bidang ilmu pengetahuan Daulah Abbasiyah terus


mengalami kemajuan pada periode ini. Pada masa inilah muncul pemikir-pemikir
besar seperti al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Biruni, Ibnu Maskawaih, dan kelompok studi
Ikhwan as-Shafa. Bidang ekonomi, pertanian, dan perdagangan juga mengalami
kemajuan. Kemajuan ini juga diikuti dengan pembangunan masjid dan rumah sakit.
Pada masa Bani Buwaih berkuasa di Baghdad, telah terjadi beberapa kali kerusuhan
aliran antara Ahlussunnah danSyi’ah, pemberontakan tentara dan sebagainya.

4. Periode keempat (1055-1199 M)


Periode ini ditandai dengan kekuasaan Bani Seljuk atas Daulah Abbasiyah.
Kehadiran Bani Seljuk ini adalah atas undangan Khalifah untuk melumpuhkan
kekuatan Bani Buwaih di Baghdad. Keadaan Khalifah memang membaik, paling
tidak karena kewibawaannya dalam bidang agama kembali setelah beberapa lama
dikuasai oleh orang- orang Syi’ah.

Sebagaimana pada periode sebelumnya, ilmu pengetahuan juga berkembang pada


periode ini. Nizam al-Mulk, perdana menteri pada masa Alp Arselan dan
Malikhsyah, mendirikan Madrasah Nizamiyah (1067 M) dan madrasah Hanafiyah
di Baghdad. Cabang- cabang Madrasah Nizamiyah didirikan hampir di setiap kota
di Irak dan Khurasan. Madrasah ini menjadi model bagi perguruan tinggi
dikemudian hari. Dari madrasah ini telah lahir banyak cendekiawan dalam berbagai
disiplin ilmu. Di antara para cendekiawan Islam yang dilahirkan dan berkembang
pada periode ini adalah al-Zamakhsari, penulis dalam bidang Tafsir dan Ushul al-
Din (teologi), Al-Qusyairi dalam bidang tafsir, al-Ghazali dalam bidang ilmu kalam
dan tasawwuf, dan Umar Khayyam dalam bidang ilmu perbintangan.

Dalam bidang politik, pusat kekuasaan juga tidak terletak di kota Baghdad. Mereka
membagi wilayah kekuasaan menjadi beberapa propinsi dengan seorang Gubernur
untuk mengepalai masing-masing propinsi tersebut. Pada masa pusat kekuasaan
melemah, masing-masing propinsi tersebut memerdekakan diri. Konflik-konflik
dan peperangan yang terjadi di antara mereka melemahkan mereka sendiri, dan
sedikit demi sedikit kekuasaan politik Khalifah menguat kembali, terutama untuk
negeri Irak. Kekuasaan mereka tersebut berakhir di Irak di tangan Khawarizm Syah
pada tahun 590 H/ 1199 M.

5. Periode kelima (1199-1258 M)


Berakhirnya kekuasaan Dinasti Seljuk atas Baghdad atau khilafah Abbasiyah
merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khilafah Abbasiyah tidak
lagi berada di bawah kekuasaan Dinasti tertentu, walaupun banyak sekali Dinasti
Islam berdiri. Ada di antaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah
Dinasti kecil. Para Khalifah Abbasiyah sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi
hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan Khalifah yang sempit ini
menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar
menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancur luluhkan tanpa
perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini
awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.

Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran


dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab
kemunduran ini tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada
periode pertama, hanya karena Khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih
itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa
apabila Khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai
sipil, tetapi jika Khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda
pemerintahan.
D. Masa Kejayaan Dinasti Abbasiyah
Peradaban dan kebudayaan Islam tumbuh dan berkembang bahkan mencapai
kejayaannya pada masa Abbasiyyah. Hal tersebut dikarenakan dinasti Abbasiyyah
pada periode awal lebih menekankan pembinaan dan kebudayaan Islam dari pada
perluasan wilayah, serta menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan dalam Islam. Disini letak perbedaan pokok antara Dinasti Umayyah
dan Dinasti Abbasiyyah.

Puncak kejayaan dinasti Abbasiyyah terjadi pada masa khalifah Harun al-Rasyid
(786-809 M) dan anaknya al-Makmun (813-833 M). Ketika al-Rasyid memerintah,
negara dalam keadaan makmur, kekayaan melimpah, keamanan terjamin meski ada
pemberontakan, dan luas wilayahnya mulai dari Afrika utara hingga ke India.

Di masanya berkembang ilmu pengetahuan agama seperti ilmu al-Qur’an, Qiraat,


Hadis, Fiqh, ilmu kalam, bahasa dan sastra. Salah satu karya sastra yang sangat
fenomenal di masa itu adalah Alf Lailah Wa Lailah (seribu satu malam). Disamping
itu berkembang pula ilmu filsafat, logika, metafisika, matematika, astronomi,
musik, kedokteran, al- jabar, aritmatika, geografi, dan kimia. Karena kecintaannya
terhadap ilmu, maka didirikanlah perpustakaan sekaligus lembaga ilmu
pengetahuan yang diberi nama Baitul Hikmah, di dalamnya orang dapat membaca,
menulis dan berdiskusi.

Ilmu-ilmu umum masuk ke dalam Islam melalui terjemahan dari bahasa Yunani,
Persia dan India. Pada masa al-Makmun, beliau memerintahkan supaya dibeli dan
dikumpulkan untuknya buku-buku karya bangsa asing, kemudian diterjemahkan
kedalam bahasa arab, lalu dikumpulkan di Baitul Hikmah. Di antara penerjemah
yang masyhur adalah Hunain bin Ishak, seorang Kristen Nestorian yang banyak
menerjemahkan buku-buku Yunani kedalam bahasa Arab. Ia menerjemahkan kitab
Republick dari Plato, dan kitab Katagori, Metafisika, Magna Moralia dari
Aristoteles. Lalu ada al-Hajaj bin Yusuf bin Matr telah menerjemahkan untuk al-
Makmun beberapa buah buku karya Euclides dan buku Ptolemy. Sehingga pada
zamannya itulah lahir filosof Arab yang terkenal seperti al-Kindi dan ahli astronomi
al-Khawarizmi yang menyusun ringkasan astronomi berdasarkan ilmu Yunani dan
India.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan lembaga pendidikan di masa Dinasti Abbasiyah
paling tidak ditentukan oleh dua hal yaitu:

1. Terjadinya asimilasi antara bahasa Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih
dahulu mengalami perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Bangsa Persia
banyak berjasa dalam perkembangan ilmu filsafat dan sastra. Bangsa India terlihat
dalam bidang ilmu kedokteran, matematika, dan astronomi. Sedangkan pengaruh
Yunani masuk melalui terjemahan-terjemahan di berbagai bidang ilmu, terutama
filsafat.

2. Gerakan penerjemahan berlangsung dalam tiga fase. Fase pertama,pada masa


khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Buku-buku yang banyak
diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan mantiq. Fase
kedua, pada masa al-Makmun hingga tahun 300 H. Buku-buku dalam bidang
filsafat dan kedokteran adalah yang paling banyak diterjemahkan. Fase
ketiga, berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan
kertas. Selanjutnya bidang-bidang ilmu lainnya yang diterjemahkan semakin
meluas.

Dengan demikian, Dinasti Abbasiyah dengan pusatnya di Baghdad sangat maju


sebagai pusat peradaban dan pusat ilmu pengetahuan. Berikut daftar beberapa
kemajuan yang berhasil dicapai pada masa Dinasti Abbasiyyah:

1. Bidang Agama.

a. Fiqh:

Para tokoh bidang fiqih dan pendiri mazhab, antara lain:

1) Imam Abu Hanifah (700-767 M).

2) Imam Malik (713-795 M).

3) Imam Syafi’i (767-820 M).

4) Imam Ahmad bin Hanbal (780-855 M).


b. Ilmu Tafsir:

Para tokoh bidang ilmu Tafsir, antara lain:

1) Ibnu Jarir Al-Tabari

2) Ibnu Atiyah al-Andalusi

3) Abu Muslim Muhammad bin Bahar Isfahani.

c. Ilmu Hadist:

Para tokoh ilmu Hadis, antara lain:

1) Imam Bukhari

2) Imam Muslim

3) Ibnu Majah

4) Abu Dawud

5) Imam al-Nasa’i

6) Imam Baihaqi.

d. Ilmu Kalam:

Para ahli ilmu kalam (teologi), antara lain:

1) Imam Abu Hasan al-Asy’ari (260 H/873 M - 324 H/935 M).

2) Imam Abu Mansur Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi (w. 333 H/944 M).

3) Zamakhsyari (w. 528 H), tokoh Mu’tazilah sekaligus pengarang kitab Tafsir al
Kasysya

e. Ilmu Bahasa:

Diantara ilmu bahasa yang berkembang pada masa dinasti Abbasiyyah adalah ilmu
Nahwu, ilmu Sharaf, ilmu Bayan, ilmu Badi’, dan ilmu Arudh. Bahasa Arab
dijadikan bahasa ilmu pengetahuan, di samping alat komunikasi antar bangsa,
tokohnya antara lain:

1) Imam Sibawaih (w. 183 H), karyanya terdiri dari 2 jilid setebal 1.000 halaman.

2) Abu Zakaria al-Farra (w. 208 H), kitab Nahwunya terdiri dari 6.000 halaman
lebih.

2. Bidang Umum.

a. Filsafat

Para filusuf Islam kala itu antara lain:

1) Abu Ishaq al-Kindi (809-873 M), karyanya lebih dari 231 judul.

2) Abu Nasr al-Farabi (961 M), karyanya lebih dari 12 buku. Dijuluki al-
Mua’llimuts Tsani ( the second teacher), guru kedua, sedang guru pertama bidang
filsafat adalah Aristoteles.

3) Ibnu Sina, terkenal dengan Avicenna (980-1037 M), menghidupkan kembali


filsafat Yunani aliran Aristoteles dan Plato.

4) Ibnu Tufail (w. 581 H), penulis buku novel filsafat Hayy binYaqzan.

5) Al-Gazali (1058-1111 M), dijuluki Hujjatul Islam. Karyanya antara lain Maqasid
al-Falsafiyyah, Tahafut al-falsafiyyah, danIhya Ulumuddin.

6) Ibnu Rusyd dikenal dengan Averros (1126-1198 M), seorang filosof, dokter, dan
ulama. Karyanya antara lain: Mabadi al-Falsafiyyah, Tahafut al-Tahafut al
Falsafiyyah, al-Kuliah fi al-Tib , dan Bidayah al-Mujtahid.
b. Ilmu Kedokteran.

Diantara ahli kedokteran ternama saat itu adlah:

1) Ibnu Sina (Avicenna), karyanya yang terkenal adalah al-Qanun fi al-Tib tentang
teori dan praktik ilmu kedokteran serta membahas pengaruh obat-obatan.
Kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Eropa, Canon of Medicine.

2) Abu Bakar ar-Razi (Rhazez) (864-932 M) dikenal sebagai “ Galien Arab”. Tokoh
pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles, penulis buku
mengenai kedokteran anak.

c. Matematika

Terjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab, menghasilkan karya-karya


dalam bidang matematika. Di antara ahli matematika yang terkenal adalah al-
Khawarizmi. Al-Khawarizmi adalah pengarang kitab al-Jabar wal
Muqabalah (ilmu hitung), dan penemu angka nol. Sedangkan angka lain: 1, 2, 3, 4,
5, 6, 7, 8, 9, 0 disebut angka arab karena diambil dari Arab. Sebelumnya dikenal
angka Romawi I, II, III, IV, V dan seterusnya. Tokoh lain adalah Abu al-Wafa
Muhammad bin Muhammad bin Ismail bin al-Abbas (940-998) terkenal sebagai
ahli ilmu matematika.

d. Farmasi

Di antara ahli farmasi pada masa dinasti Abbasiyah adalah ibnu Baithar, karyanya
yang terkenal adalah al-Mughni (berisi tentang obat-obatan), Jami al-Mufradat al-
Adawiyah (berisi tentang obat-obatan dan makanan bergizi).

e. Ilmu Astronomi

Kaum muslimin mengkaji dan menganalisis berbagai aliran ilmu astronomi dari
berbagai bangsa seperti Yunani, India, Persia, Kaldan, dan ilmu falak Jahiliah. Di
antara ahli astronomi Islam adalah:
1) Abu Mansur al-Falaki (w. 272 H). karyanya yang terkenal adalah Isbat al-
Ulum dan Hayat al-Falak.

2) Jabir al-Batani (w.319 H). al-Batani adalah pencipta teropong bintang pertama.
Karyanya yang terkenal adalah kitab Ma’rifat Mathiil Buruj Baina Arbai al-Falak.

3) Raihan al-Biruni (w.440). karyanya adalah al-Tafhim li awal as-Sina al-Tanjim.

f. Geografi

Dalam bidang geografi umat Islam sangat maju, karena sejak semula bangsa Arab
merupakan bangsa pedagang yang biasa menempuh jarak jauh untuk berniaga. Di
antara wilayah pengembaraan umat Islam adalah umat Islam mengembara ke Cina
dan Indonesia pada masa-masa awal kemunculan Islam.

Di antara tokoh ahli geografi yang terkenal adalah:

1) Abul Hasan al-Mas’udi (w.345 H/956 M), seorang penjelajah yang mengadakan
perjalanan sampai Persia, India, Srilanka, Cina, dan penulis buku Muruj al-Zahab
wa Ma’adin al-Jawahir.

2) Ibnu Khurdazabah (820-913 M) berasal dari Persia yang dianggap sebagai ahli
geografi Islam tertua. Di antara karyanya adalah Masalik wa al-Mamalik, tentang
data-data penting mengenai sistem pemerintahan dan peraturan keuangan.

3) Ahmad el-Yakubi, penjelajah yang pernah mengadakan perjalanan sampai ke


Armenia, Iran, Mesir, Maghribi, dan menulis buku al-Buldan.

4) Abu Muhammad al-hasan al-Hamadani (w.334 H/946 M), karyanya


berjudul Sifatu Jazirah al-Arab.

g. Sejarah

Masa dinasti Abbasiyah banyak muncul tokoh-tokoh sejarah. Beberapa tokoh


sejarah antara lain:

1) Ahmad bin Ya’kubi (w.895 M) karyanya adalah al-Buldan(negeri-negeri), al-


Tarikh (sejarah).
2) Ibnu Ishaq.

3) Abdullah bin Muslim al-Qurtubah (w.889 M), penulis buku al-Imamah wa al-
Siyasah, al-Ma’arif, Uyunul Ahbar, dan lain-lain.

4) Ibnu Hisyam.

5) Al-Tabhari (w.923 M), penulis buku kitab al-Umam wa al-Muluk.

6) Al-Maqrizi

7) Al-Baladzuri (w.892 M), penulis buku-buku sejarah.

h. Sastra

Dalam bidang sastra, Baghdad merupakan kota pusat seniman dan sastrawan. Para
tokoh sastra antara lain:

1) Abu Nuwas, salah seorang penyair terkenal dengan karya cerita humornya.

2) Al-Nasyasi, penulis buku alfu lailah wa lailah (the Arabian night), adalah buku
cerita sastra Seribu satu Malam yang sangat terkenal dan diterjemahkan ke dalam
hampir seluruh bahasa dunia.

E. Dinasti-Dinasti Yang Memerdekakan Diri Dari Abbasiyah

Dalam bidang politik, disintegrasi sebenarnya sudah mulai terjadi pada akhir zaman
Umayah. Sebagaimana diketahui, wilayah kekuasaan bani Umayyah mulai dari
awal berdirinya sampai masa keruntuhannya, sejajar dengan batas-batas wilayah
kekuasaan Islam. Hal ini berbeda dengan masa Dinasti Abbasiyah. Kekuasaan
dinasti ini tidak pernah diakui oleh Islam di wilayah Spanyol dan Afrika Utara,
kecuali Mesir. Bahkan dalam kenyataannya, banyak wilayah tidak dikuasai
khalifah. Secara riil, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaan gubernur-
gubernur provinsi bersangkutan. Hubungannya dengan khalifah ditandai dengan
pembayaran upeti.
Ada kemungkinan bahwa para khalifah Bani Abbasiyah sudah cukup puas dengan
pengakuan nominal dari provinsi-provinsi tertentu, dengan pembayaran upeti.
Alasannya, pertama, mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat
mereka tunduk kepadanya. Kedua, penguasa bani Abbas lebih menitikberatkan
pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan
kebudayaan Islam daripada persoalan politik itu, beberapa provinsi tertentu di
pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbasiyah.
Adapun dinasti yang lahir dan melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa
khalifah Abbasiyah, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Thahiriyah di Khurasan, Persia (820-872 M)
2. Safariyah di Fars, Persia (868-901 M)
3. Samaniyah di Transoxania (873-998 M)
4. Sajiyyah di Azerbaijan (878-930 M)
5. Buwaihiyah, Persia (932-1055 M)
6. Thuluniyah di Mesir (837-903 M)
7. Ikhsidiyah di Turkistan (932-1163 M)
8. Ghazwaniyah di Afghanistan (962-1189 M)
9. Dinasti Saljuk (1055-1157 M)
10. Al-Barzuqani, Kurdi (990-1095 M)
11. Abu Ali, Kurdi (990-1095 M)
12. Ayyubiyah, Kurdi (1167-1250 M)
13. Idrisiyah di Maroko (788-985 M)
14. Aghlabiyah di Tunisia (800-900 M)
15. Dulafiyah di Kurdistan (825-898 M)
16. Alawiyah di Tabiristan (864-928 M)
17. Hamdaniyah di Aleppo dan Musil (929-1002 M)
18. Mazyadiyah di Hillah (1011-1150 M)
19. Ukailiyah di Mausil (996-1095 M)
20. Mirdasiyah di Aleppo (1023-1079 M)
21. Dinasti Umayyah di Spanyol
22. Dinasti Fatimiyah di Mesir
Dari latar belakang dinasti tersebut, tampak jelas adanya persaingan antarbangsa
terutama antara Arab, Persia, dan Turki. Di samping latar belakang kebangsaan,
dinasti-dinasti itu juga dilatarbelakangi paham keagamaan, ada yang berlatar
belakang Syi’ah, dan ada pula yang Sunni.

F. Kemunduran Dinasti Abbasiyah


Kebesaran, keagungan, kemegahan, dan gemerlapnya Baghdad sebagai pusat
pemerintahan dinasti Abbasiyah seolah-olah hanyut dibawa sungai Tigris, setelah
kota itu dibumihanguskan oleh tentara Mongol di bawah Hulaggu Khan pada tahun
1258 M. semua bangunan kota termasuk istana emas tersebut dihancurkan pasukan
Mongol, meruntuhkan perpustakaan yang merupakan gedung ilmu, dan membakar
buku-buku yang ada di dalamnya. Pada tahun 1400 M, kota ini diserang pula oleh
pasukan Timur Lenk, dan pada tahun 1508 M oleh tentara Kerajaan Safawi.
Menurut W. Montgomery Watt, bahwa beberapa factor yang menyebabkan
kemunduran pada masa daulah Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut.
1. Luasnya wilayah kekuasaan daulah Abbasiyah, sementara komunikasi pusat
dengan daerah sulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya di
kalangan para penguasa dan pelaksana pemerintah sangat rendah.
2. Dengan profesionalisme angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah kepada
mereka sangat tinggi.
3. Keuangan Negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk bayaran
tentara sangat besar. Pada saat kekuasaan militer menurun, khalifah tidak sanggup
memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.

Sedangkan menurut DR. Badri Yatim, M.A. di antara hal yang menyebabkan
kemunduran daulah Bani Abbasiyah adalah sebagai berikut.
1. Persaingan antara bangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang
Persia. Persekutuan dilatarbelakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada
masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah dinasti
Abbasiyah berdiri, Bani Abbasiyah tetap mempertahankan persekutuan itu. Pada
masa ini persaingan antarbangsa menjadi pemicu untuk saling berkuasa.
Kecenderungan masing-masing bangsa unutk mendominasi kekuasaan sudah
dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri.
2. Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan
dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani
Abbasiyah merupakan pemerintah yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari
pada yang keluar, sehingga Baitul Mal penuh dengan harta. Setelah khilafah
mengalami periode kemunduran, pendapatan Negara menurun, dan dengan
demikian terjadi kemerosotan dalam bidang ekonomi.
3. Konflik keagamaan
Fanatisme keagamaan terkait erat dengan persoalan kebangsaan.
Pada periode Abbasiyah, konflik keagamaan yang muncul menjadi isu sentra
sehingga mengakibatkan terjadi perpecahan. Berbagai aliran keagamaan seperti
Mu’tazilah, Syi’ah, Ahlus sunnah, dan kelompok-kelompok lainnya menjadikan
pemerintahan Abbasiyah mengalami kesulitan untuk mempersatukan berbagai
faham keagamaan yang ada.
4. Munculnya dinasti-dinasti kecil sebagai akibat perpecahan sosial yang
berkepanjangan.
5. Perang Salib
Perang salib merupakan sebab dari eksternal umat Islam. Perang Salib yang
berlangsung beberapa gelombang banyak menelan korban. Konsentrasi dan
perhatian pemerintahan Abbasiyah terpecah belah untuk menghadapi tentara Salib
sehingga memunculkan kelemahan-kelemahan.
6. Serangan Bangsa Mongol (1258 M)
Serangan 28antara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam menyebabkan kekuatan
Islam menjadi lemah, apalagi serangan Hulagu Khan dengan pasukan Mongol yang
biadab menyebabkan kekuatan Abbasiyah menjadi lemah dan akhirnya menyerah
kepada kekuatan Mongol.
G. Akhir Kekuasaan Dinasti Abbasiyah

Akhir dari kekuasaan Bani Abbasiyah adalah saat Baghdad dihancurkan oleh
pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan (656 H/1258 M). Ia adalah
saudara dari Kubilay Khan yang berkuasa di Cina sampai ke Asia Tenggara, dan
saudaranya Mongke Khan yang menugaskannya untuk mengembalikan wilayah-
wilayah sebelah barat dari Cina kepangkuannya. Baghdad dihancurkan dan
diratakan dengan tanah. Pada mulanya Hulagu Khan mengirim suatu tawaran
kepada Khalifah Bani Abbasiyah yang terakhir Al-Mu’tashim Billah untuk bekerja
sama menghancurkan gerakan Assassin. Tawaran tersebut tidak dipenuhi oleh
khalifah. Oleh karena itu timbullah kemarahan dari pihak Hulagu Khan. Pada bulan
september 1257 M, Khulagu Khan melakukan penjarahan terhadap daerah
Khurasan, dan mengadakan penyerangan didaerah itu. Khulagu Khan memberikan
ultimatum kepada khalifah untuk menyerah, namun khalifah tidak mau menyerah
dan pada tanggal 17 Januari 1258 M tentara Mongol melakukan penyerangan.

Pada waktu penghancuran kota Baghdad, khalifah dan keluarganya dibunuh disuatu
daerah dekat Baghdad sehingga berakhirlah Bani Abbasiyah. Penaklukan itu hanya
membutuhkan beberapa hari saja, tentara Mongol tidak hanya menghancurkan kota
Baghdad tetapi mereka juga menghancurkan peradaban ummat Islam yang berupa
buku-buku yang terkumpul di Baitul Hikmah hasil karya ummat Islam yang tak
ternilai harganya. Buku-buku itu dibakar dan dibuang ke sungai Tigris sehingga
berubah warna air sungai tersebut, dari yang jernih menjadi hitam kelam karena
lunturan air tinta dari buku-buku tersebut.
BAB 3

KESIMPULAN

Bani Abbasiyah merupakan masa pemerintahan ummat Islam yang merupakan


masa keemasan dan kejayaan dari peradaban ummat Islam yang pernah ada. Pada
masa Bani Abbasiyah kekayaan negara melimpah ruah dan kesejahteraan rakyat
sangat tinggi. Pusat peradaban Islam mengalami kemajuan yang pesat sehingga
pada masa ini banyak muncul para tokoh ilmuan dari kalangan Ummat Islam, baik
itu ilmu pengatuhan yang bersifat umum seperti ilmu kedokteran yang telah
mencetak dokter seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd dan lain-lainnya, sehingga pada
masa ini telah ada lebih dari 800 dokter yang berada di kota Baghdad. Dalam bidang
matematika melahirkan ilmuan bernama Al-Khawarizmi yang merupakan penemu
angka Nol. Demikian juga dari biang ilmu agama, adanya perkembangan ilmu
tafsir, ilmu kalam, filsafat Islam, dan ilmu tashauf, yang juga melairkan tokoh-
tokoh dibidang ilmu masing-masing. Pada masa pemerintahan khalifah Harun Al-
rasyid kesejahteraan ummat sangat terjamin, karena pada masa inilah puncak dari
kejayaan Bani Abbasiyah, pembangunan dilakukan dimana-mana, baik
pembangunan rumah sakit, irigasi, dan pemandian-pemandian umum.

Namun diakhir pemerintahan Khalifah Bani Abbasiyah, Islam mengalami


keterpurukan yang sangat parah. Hal ini disebabkan dari serangan tentara Mongol
yang telah mengahncurkan pusat peradaban Ummat Islam di Baghdad dan
mengahancurkan Pusat ilmu pengetahuan yaitu Baitul Hikmah, yang berisi buku-
buku karangan pakar ilmu ummat Islam yang tak ternilai harganya.
Daftar Pustaka

Al-Maududi, Abul a ‘la, Khilafah dan Kerajaan : Evaluasi Kritis Atas Sejarah
Pemerintahan Islam, Bandung : Mizan, 1998.
Ali, K, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003.
Esposito, John L. (ed), The Oxford History of Islam, New York, Oxford University
Press,1999.
Hitti, Philip K., History of The Arabs, London : Mac Millan, 1970.
Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, Gramedia : Jakarta,
1985.
Lapidus, Ira M, Sejarah Sosial Ummat Islam, Jakarta : Rajawali Pers, 1999.
Mubarok, Jaih, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Bani Quraisyi, Cet. 1,
2004.
Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2009.
Musyrifah, Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada Media, 2004.
Nasution, Harun, Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran, Bandung : Mizan, 1995.
Watt, W. Montgomery, Politik Islam dalam Lintasan Sejarah, Jakarta : P3M, 1988.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam : Dirasah Islamiyah II, Jakarta : PT.
Grafindo Persada, 2006.

Anda mungkin juga menyukai