Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN HASIL DISKUSI KELOMPOK KECIL

MANAJEMEN KESEHATAN

BLOK 21 MODUL 5

“MANAJEMEN KESEHATAN KERJA”

DISUSUN OLEH : KELOMPOK 8

Adheya Putrindashafa 1510015006


Sepriani Indriati Aziz 1510015013
Jessica Manaek Manika 1510015027
Nabilah Shabrina 1510015035
Andra Destyan Gunawan 1510015042
Mildawati 1510015049
Dinni Astriani 1510015061
Arina Dini 1510015074
M Rasyid Fikri 1510015077

Tutor :
DR. Dr. Swandari Paramita, M.Kes

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2018

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat
dan hidayah-Nyalah laporan "Manajemen Kesehatan Kerja" ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya. Laporan ini disusun dari berbagai sumber ilmiah sebagai hasil dari diskusi
kelompok kecil (DKK) kami. Laporan ini secara menyeluruh membahas mengenai
kedokteran keluarga, konsep pelayanan kesehatan, sistem rujukan, dan sistem pembiayaan
kesehatan secara detail.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu hingga
terselesaikannya laporan ini. Pertama-tama kami ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. dr. Swandari Paramita, M.Kes, selaku tutor kelompok 8 yang telah membimbing
kami dalam melaksanakan diskusi kelompok kecil (DKK) dalam skenario modul 5 blok
21 ini.
2. Teman-teman kelompok 8 yang telah mencurahkan pikiran dan tenaganya sehingga
diskusi kelompok kecil (DKK) 1 dan 2 dapat berjalan dengan baik dan dapat
menyelesaikan laporan hasil diskusi kelompok kecil (DKK) kelompok 8.
3. Teman-teman mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman angkatan 2015
segala fasilitas yang telah kami gunakan untuk menambah pengetahuan tentang modul
kali ini, serta pihak-pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.

Akhirnya, tiada gading yang tak retak, tentunya laporan ini sangat jauh dari sempurna.
Oleh karena itu, saran serta kritik yang membangun sangat kami harapkan demi tercapainya
kesempurnaan dari isi laporan hasil diskusi kelompok kecil (DKK) ini.

Samarinda, 17 Desember 2018

Kelompok 8

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................................ii

DAFTAR ISI........................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 1

1.2 Manfaat........................................................................................................................ 1

BAB II ISI ................................................................................................................................. 2

2.1 Skenario……………………………..………………………………………………….........2

2.3 Step 2. Identifikasi Masalah ........................................................................................ 3

2.4 AnalisaMasalah………………………………………………………………………………4

2.5 Strukturisasi................................................................................................................. 4

2.6 Learning Objective ...................................................................................................... 5

2.7 Belajar Mandiri ........................................................................................................... 5

2.8 Sintesis ........................................................................................................................ 6

Learning Objective I Penyakit Akibat Kerja ...................................................................... 6

Learning Objective II Jaminan Kesehatan Ketenagakerjaan ............................................ 13

Learning Objetif III Pos Upaya Kesehatan Kerja (UKK)…………………………………..........21

BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 26

3.1 Kesimpulan................................................................................................................ 26

3.2 Saran .......................................................................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 27

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Selalu ada resiko kegagalan (risk of failures) pada setiap aktifitas pekerjaan. Dan
saat kecelakaan kerja (work accident) terjadi, seberapapun kecilnya, akan mengakibatkan
efek kerugian (loss). Kecelakaan ditempat kerja merupakan penyebab utama penderita
perorangan dan penurunan produktivitas. Menurut ILO (2003), setiap hari rata-rata 6000
orang meninggal akibat sakit dan kecelakaan kerja atau 2,2 juta orang pertahun sebanyak
300.000 orang pertahun, diantaranya meninggal akibat sakit atau kecelakaan kerja.
Kondisi kerja yang buruk berpotensi menyebabkan kecelakaan kerja, mudah sakit,
stres, sulit berkonsentrasi sehingga menyebabkan menurunnya produktif kerja. Kondisi
lingkungan yang buruk juga berpotensi sebagai penyebab kecelakaan kerja.
Karena itu sebisa mungkin dan sedini mungkin, potensi kecelakaan kerja harus
dicegah atau setidak-tidaknya dikurangi dampaknya. Penanganan masalah keselamatan
kerja di dalam sebuah sector baik formal maupun informal harus dilakukan secara serius
oleh seluruh komponen pelaku usaha.

1.2 Manfaat
Dalam modul ini diharapkan mahasiswa mampu memahami konsep dan
prinsip dasar dari Manajemen Kesehatan, khususnya mengenai Manajemen Kesehatan
di tempat kerja khususnya pada sektor informal. Diharapkan mahasiswa dapat
memahami bagaimana penerapan Manajemen Kesehatan Kerja yang mampu
memujudkan tempat kerja yang aman, nyaman, sehat dan tenaga kerja yang produktif,
sehingga akan meningkatkan produktivitas kerja dan produktivitas perusahaan.

1
BAB II
ISI

1.1. Skenario

Kesehatan Kerja Sektor Informal

Puskesmas Y terletak dikawasan pedesaan mempunyai ilayah kerja seluas 754,5 km 2


yang terbagi dalam 8 desa, dengan penduduk 40.531 jiwa (8106 rumah tangga) yang
umumnya bekerja disektor informalk. Melihat masyarakatnya menghadapi banyak bahaya
dan faktor resiko kesehatan dan keselamatan bkerja (K3), kepala puskesmas Y ingin
mengimplementasikan permenkes yang berkaitan dengan pos upaya kesehatahn kerja (UKK)
terintegrasi. Sebagai institusi pelayanan kesehatan kerja dasar Puskesmas merupakan
pembina pos UKK dan mitra kerja klinik perusahaan diwilayah bkerjanya. Diwilayah tersebut
terdapat juga perusahaan minyak dan gas alam serta beberapa perusahaan tambang batubara
yang mempunyai semboyan “safety first” dan jaminan pelayanan kesehatan dan keselamatan
kerja (BPJS Keetenagakerjaan). Beberapa perusahaan mengalami pengurangan tenaga kerja
bahkan berhenti berproduyksi alias tutup, sehingga tenaga kerja banyak beralih ke pekerjaan
informal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

1.2. Step 1 Identifikasi Istilah

1. Sektor informal adalah lingkugan usaha tidak resmi, diciptakan pekerja itu sendiri
(swasta) atau sektor yang tidak terorganisasi, pekerjaan tidak tetap, penghasilan tidak
tetap
2. Upaya Kesehatan kerja adalah upaya pemeliharaan kesehatan kerja dari, oleh, untuk
masyarakat pekerja, besifat teratur dan berkesinambungan.

1.3. Step 2 Identifikai Masalah


1. Apa saja bahaya dan faktor resiko bagi pekerja?
2. Bagaimana pencegahan penyakit akibat kerja?
3. Apoa jaminan kesehatan bagi sektor informal?
4. Bagaimana UKK dibentuk?
5. Siapa yang melaksanakan dan memanfaatkan UKK?
6. Apa yang dilakukan dalam UKK?

2
1.4. Step 3 Brainstorming
1. Bahaya dan faktor resiko bagi pekerja:
a. Faktor Fisik
 Suara tinggi atau bising
 Temperature atau suhu tinggi
 Radiasi sinar elektromagnetik infra merah dapat menyebabkan katarak
b. Faktor Biologi
c. Faktor Kimia
d. Faktor Ergonomi
e. Faktor Psikologis

2. Pencegahan Penyakit Akibat Kerja


a. Penggunaan alat pelindung diri
b. Peningkatan sanitasi
c. Early diagnosis dan treatment
d. Mencegah dan menurunkan penyakit
 Primer
 Sekunder
 Tersier
e. Segi ergonomis

3. BPJS Ketenagakerjaan
a. Status
 Pekerja upah
 Pekerja nonupah
 Konstruksi
b. Jaminan
 Jaminan Kecelakaan kerja
 Jaminan pensiun
 Jaminan masa tua
 Jaminan kematian
c. Pendaftaran dengan datang pribadi atau kelompok

3
d. Iuran tergantung nominal pendapatan

4. Pembentukan UKK
a. Pertemuan tingkat desa
b. Survei mawas diri
c. Musyawarah desa
d. Pelatihan pos kader UKK

5. Yang melaksanakan dari mayarakat pekerja dibimbing oleh petugas kesehatan


(puskesmas). Yang memanfaatkan adalah pekerja atau masyarakat yang bernaung
dibawah UKK.

6. Pelayanan:
a. Promotif
b. Preventif
c. Kuratif

1.5. Step 4 Strukturisasi Konsep

Sektor Informal

Kesehatan dan Keselamatan Kerja

UKK BPJS
Ketenagakerjaan

Promotif Preventif Kuratif

4
1.6. Step 5 Learning Objective
Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mengenai:
1. Penyakit Akibat Kerja
a. Definisi
b. Penyebab
c. Alur diagnosis
d. Pencegahan

2. Jaminan Kesehatan Ketenagakerjaan


a. Kepesertaan
b. pendaftaran
d. Jenis jaminan dan Iuran atau pembayaran

3. Pos Upaya Kesehatan Kerja (UKK)


a. Definisi
b. Tujuan dan manfaat
c. Peran dan fungsi
d. Pembentukan
 Syarat
 Operasional (pembiayaan)
 Peran puskesmas
e. Jenis Pelayanan

2.1 Belajar Mandiri


Mahasiswa melakukan belajar mandiri secara individu mengenai learning objective yang
sudah disepakati bersama pada DKK 1

5
2.2 Sintesis
Learning Objektif I

Penyakit Akibat Kerja

A. Definisi
Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan
atau lingkungan kerja termasuk penyakit terkait kerja. Penyakit terkait kerja adalah
penyakit yang mempunyai beberapa agen penyebab dengan faktor pekerjaan dan atau
lingkungan kerja memegang peranan bersama dengan faktor risiko lainnya.

B. Penyebab Penyakit Akibat Kerja


Penyebab penyakit akibat kerja dibagi menjadi 5 (lima) golongan, yaitu:

1. Golongan fisika Suhu ekstrem, bising, pencahayaan, vibrasi, radiasi pengion


dan non pengion dan tekanan udara
2. Golongan kimia Semua bahan kimia dalam bentuk debu, uap, uap logam, gas,
larutan, kabut, partikel nano dan lain-lain.
3. Golongan biologi Bakteri, virus, jamur, bioaerosol dan lain-lain.
4. Golongan ergonomi Angkat angkut berat, posisi kerja janggal, posisi kerja
statis, gerak repetitif, penerangan, Visual Display Terminal (VDT) dan lain-
lain.
5. Golongan psikososial Beban kerja kualitatif dan kuantitatif, organisasi kerja,
kerja monoton, hubungan interpersonal, kerja shift, lokasi kerja dan lain-lain.

C. Penegakan Diagnosis Penyakit Akibat Kerja


Diagnosis penyakit akibat kerja memiliki :

1. Aspek medik: dasar tata laksana medis dan tata laksana penyakit akibat kerja
serta membatasi kecacatan dan keparahan penyakit.
2. Aspek komunitas: untuk melindungi pekerja lain

6
3. Aspek legal: untuk memenuhi hak pekerja Diagnosis penyakit akibat kerja
dilakukan dengan pendekatan sistematis untuk mendapatkan informasi yang
diperlukan dalam melakukan interpretasi secara tepat. Pendekatan tersebut
dilakukan melalui 7 (tujuh) langkah diagnosis penyakit akibat kerja dilakukan
sebagai berikut :

Keterangan:

Langkah 1. Menegakkan diagnosis klinis Diagnosis klinis harus ditegakkan terlebih


dahulu dengan melakukan:

1. anamnesa;
2. pemeriksaan fisik;
3. bila diperlukan dilakukan pemeriksaan penunjang dan pemeriksaan khusus.

Langkah 2. Menentukan pajanan yang dialami pekerja di tempat kerja Beberapa


pajanan dapat menyebabkan satu penyakit, sehingga dokter harus mendapatkan informasi

7
semua pajanan yang dialami dan pernah dialami oleh pekerja. Untuk memperoleh informasi
tersebut, dilakukan anamnesis pekerjaan yang lengkap, mencakup:

1. Deskripsi semua pekerjaan secara kronologis dan pajanan yang dialami


(pekerjaan terdahulu sampai saat ini).
2. Periode waktu melakukan masing-masing pekerjaan.
3. Produk yang dihasilkan.
4. Bahan yang digunakan.
5. Cara bekerja.
6. Proses kerja.
7. riwayat kecelakaan kerja (tumpahan bahan kimia).
8. Alat Pelindung Diri (APD) yang digunakan. Informasi tersebut semakin
bernilai, bila ditunjang dengan data yang objektif, seperti MSDS (Material
Safety Data Sheet) dari bahan yang digunakan dan catatan perusahaan
mengenai informasi tersebut diatas.

Langkah 3. Menentukan hubungan antara pajanan dengan diagnosis klinis Pajanan


yang teridentifikasi berdasarkan evidence based dihubungkan dengan penyakit yang dialami.
Hubungan pajanan dengan diagnosis klinis dipengaruhi oleh waktu timbulnya gejala setelah
terpajan oleh bahan tertentu. Penyakit lebih sering timbul apabila berada di tempat kerja dan
berkurang saat libur atau cuti. Hasil pemeriksaan pra-kerja dan berkala dapat digunakan
sebagai salah satu data untuk menentukan penyakit berhubungan dengan pekerjaannya.

Langkah 4. Menentukan besarnya pajanan Penilaian untuk menentukan kecukupan


pajanan tersebut untuk menimbulkan gejala penyakit dapat dilakukan secara :

1. kualitatif :
a. pengamatan cara, proses dan lingkungan kerja dengan
memperhitungkan lama kerja dan masa kerja.
b. Pemakaian alat pelindung secara benar dan konsisten untuk
mengurangi besar pajanan.
2. kuantitatif :
a. data pengukuran lingkungan kerja yang dilakukan secara periodik.
b. data monitoring biologis.

8
Langkah 5. Menentukan faktor individu yang berperan Faktor individu yang berperan
terhadap timbulnya penyakit antara lain:

1. jenis kelamin
2. usia
3. kebiasaan
4. riwayat penyakit keluarga (genetik)
5. riwayat atopi
6. penyakit penyerta.

Langkah 6. Menentukan pajanan di luar tempat kerja Penyakit yang timbul mungkin
disebabkan oleh pajanan yang sama di luar tempat kerja sehingga perlu informasi tentang
kegiatan yang dilakukan di luar tempat kerja seperti hobi, pekerjaan rumah dan pekerjaan
sampingan.

Langkah 7. Menentukan Diagnosis Penyakit Akibat Kerja Berdasarkan enam langkah


diatas, dibuat kesimpulan penyakit yang diderita oleh pekerja adalah penyakit akibat kerja
atau bukan penyakit akibat kerja.

9
Alur Diagnosis

Pasien datang ke fasilitas pelayanan kesehatan dan dilakukan anamnesis dan


pemeriksaan fisik untuk menegakan diagnosis klinis. Jika diperlukan, dilakukan
pemeriksaan penunjang. Apabila terdapat keraguan dalam mendiagnosis dokter dapat
dapat berkonsultasi atau merujuk ke dokter spesialis klinis terkait.

Setelah diagnosis klinis ditegakkan, langkah selanjutnya adalah melakukan


diagnosis penyakit akibat kerja dengan menggunakan tujuh langkah diagnosis
penyakit akibat kerja. Apabila terdapat keraguan dalam mendiagnosis penyakit akibat
kerja, dapat berkonsultasi atau merujuk ke dokter spesialis kedokteran okupasi.

10
Langkah selanjutnya melakukan penatalaksanaan kasus yaitu penatalaksaan medis
dan penatalaksanaan okupasi. Dalam melakukan penatalaksaan medis, apabila terdapat
keraguan, maka dokter merujuk ke dokter spesialis terkait sedangkan, apabila terdapat
keraguan dalam penatalaksanaan okupasi, dokter berkonsultasi ke spesialis kedokteran
okupasi.

D. Pencegahan Penyakit Akibat Kerja

Pencegahan terjadinya penyakit akibat kerja dapat dilakukan dalam tiga cara :

A. Pencegahan primer
Pencegahan primer yaitu usaha atau tindakan para pekerja agar tidak terpajan zat-zat
beresiko. Usaha itu diantaranya :

1. Membuat Undang-undang dan ketentuan menyangkut penyakit karena kerja


2. Memodifikasi alat industri
3. Mengubah bahan-bahan yang membahayakan dengan bahan yg tidak berbahaya,
tanpa mengurangi hasil pekerjaan ataupun kualitasnya.
4. Ventilasi
5. Baik secara umum ataupun secara lokal yakni dengan udara bersih yang dialirkan
ke ruang kerja dengan menghisap udara keluar ruangan.
6. Alat Pelindung Diri. Alat ini dapat berupa pakaian, topi, pelindung kepala, sarung
tangan, sepatu yang dilapisi baja bagian depan untuk menahan beban yang berat,
masker khusus membuat perlindungan pernapasan pada debu atau gas berbahaya,
kaca mata khusus dll.
7. Kontrol kesehatan sebelum kerja. Hal semacam ini mencakup pengecekan
kesehatan sebelum bekerja dan pengecekan secara berkala untuk mencari aspek
pemicu yang menyebabkan masalah ataupun kelainan kesehatan pada tenaga kerja.
8. Latihan dan info sebelum bekerja
9. Agar pekerja memahami dan waspada pada beragam kemungkinan adanya bahaya.
10. Pendidikan dan penyuluhan mengenai K3, Dikerjakan secara teratur

11
b. Percegahan sekunder
Pencegahan sekunder diperlukan untuk mendeteksi dini penyakit karena kerja. Pencegahan
sekunder diantaranya dapat dilakukan seperti :

1. Penyuluhan
2. Identifikasi zat berbahaya
3. Pemerikasaan kesehatan berkala
4. Surveilans penyakit karena kerja

c. Pencegahan tersier
Yakni menghindar terjadi kecacatan pada pekerja yang telah terkena penyakit karena kerja.
Hal semacam ini dapat dilakukan diantaranya sebagai berikut :

1. Mengistrahatkan pekerja
2. Melakukan perpindahan pekerja dari tempat yang terpajan
3. Melakukan kontrol berkala untuk evaluasi penyakit.

12
Learning Objective II
Jaminan Kesehatan Ketenagakerjaan

A. Peserta dan Kepesertaan Jaminan Kesehatan

Peserta dan kepesertaan Jaminan Kesehatan diatur dalam Bab II, mulai dari Pasal
2 sampai dengan Pasal 9 Perpres Nomor 12 Tahun 2013.

Menurut Pasal 2 Perpres, Peserta Jaminanmeliputi:

a Penerima Bantuan Iuran (PBI), yang meliputi orang yang tergolong fakir miskin dan
orang tidak mampu.

b Penetapan Peserta PBI Jaminan Kesehatan dilakukan sesuai dengan ketentuan


peraturan perundang-undangan,dalam hal ini Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun
2012 tentang PBI Jaminan Kesehatan.

c Bukan PBI Jaminan Kesehatan,yaitu orang yang tidak tergolong fakir miskin dan
orang tidak mampu yang terdiri atas:

1 Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya;

2 Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya;dan

3 Bukan Pekerja dan anggota keluarganya.

Perpres Nomor 12 Tahun 2013 tidak membatasi jumlah anggota keluarga yang menjadi
Peserta Jaminan Kesehatan.

Ketentuan tersebut diatas berbeda dengan Pasal 20 ayat (1) UU SJSN yang menentukan
”Peserta jaminan kesehatan adalah setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya
dibayar oleh pemerintah.” Kemudian pada ayat (2) ditentukan ”Anggota keluarga peserta
berhak menerima manfaat jaminan kesehatan.”

Pada ayat (3) ditentukan ”Setiap peserta dapat mengikutsertakan anggota keluarga yang
lain yang menjadi tanggungannya dengan penambahan iuran. Dari Penjelasan ayat (3)
dapat disimpulkan bahwa UU SJSN membatasi anggota keluarga peserta yang berhak
menerima manfaat jaminan kesehatan paling banyak 5(lima)orang yaitu suami/istri dan
paling banyak 3 (tiga) orang anak sah, karena anak ke empat dan seterusnya, ayah, ibu
dan mertua dapat diikutsertakan dengan menambah iuran.

Perlu ditambahkan bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat(6) Perpres, warga
Negara asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam bulan) termasuk dalam
kelompok Pekerja Penerima Upah dan Pekerja Bukan Penerima Upah.Sedangkan

13
Jaminan kesehatan bagi warga Negara Indonesia yang bekerja di luar negeri, menurut
Pasal 4 ayat (7) Perpres diatur dengan peraturan perundang-undangan tersendiri.

RINCIAN KELOMPOK PESERTA

Rincian masing-masing kelompok Peserta Jaminan Kesehatan bukan PBI Jaminan


Kesehatan diatur dalam Pasal 4 Perpres,sebagai berikut.

1 Pekerja Penerima Upah terdiri atas:

a Pegawai Negeri Sipil;

b Anggota TNI;

c Anggota Polri;

d Pejabat Negara;

e Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri;

f Pegawai swasta; dan

g Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf f yang menerima
Upah.

Tidak jelas dalam Perpres apakah “pegawai tidak tetap”yang diangkat pejabat yang
berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat(3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1974 tentang Kepegawaian sebagimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun
1999 termasuk Pekerja Penerima Upah atau tidak?

2 Pekerja Bukan Penerima Upah terdiri atas:

a Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja mandiri;dan

b Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan Penerima Upah.

3 Bukan Pekerja terdiri atas:

a Investor;

b Pemberi Kerja;

c penerima pensiun;

d Veteran;

e Perintis Kemerdekaan;dan

f Bukan Pekerja yang tidak termasuk huruf a sampai dengan huruf e yang mampu
membayar Iuran.

14
g Perpres juga mengatur secara rinci siapa yang dimaksud dengan penerima
pensiun yang dikelompokkan ke dalam kelompok Peserta Bukan Pekerja.

Penerima pensiun terdiri atas:

a Pegawai Negeri Sipil yang berhenti dengan hak pensiun;

b Anggota TNI dan Anggota Polri yang berhenti dengan hak pensiun;

c Pejabat Negara yang berhenti dengan hak pensiun;

d penerima pensiun selain huruf a, huruf b, dan huruf c, dan

e Janda, atau anak yatim piatu dari penerima pensiun yang mendapat hak pensiun.

Perpres tidak menyebutkan secara ekplisit penerima pensiun pegawai swasta atau
buruh yang berhenti dengan hak pensiun.

Mungkin mereka dapat dikategorikan pada penerima pensiun selain huruf a, huruf b,
dan huruf c.

ANGGOTA KELUARGA PEKERJA PENERIMA UPAH

Anggota keluarga Peserta Bukan PBI Jaminan Kesehatan dari Pekerja Penerima
Upah, menurut Pasal 5 ayat (1) Perpres meliputi:

a Istri atau suami yang sah dari Peserta; dan

b Anak kandung,anak tiri dan/atau anak angkat yang sah dari Peserta, dengan
criteria:

1 Tidak atau belum pernah menikah atau tidak mempunyai penghasilan sendiri;
dan

2 Belum berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau belum berusia 25 (dua puluh
lima) tahun yang masih melanjutkan pendidikan formal.

Perpres tidak mengatur siapa yang dimaksud dengan anggota keluarga dari Peserta
Bukan PBI dari Pekerja Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja.

Pada ayat (2) ditentukan Peserta bukan PBI Jaminan Kesehatan dapat mengikut
sertakan anggota keluarganya yang lain.

Tidak ada penjelasan siapa yang dimaksud dengan anggota keluarganya yang lain.

Juga tidak ditentukan masalah penambahan iuran bagi Peserta yang ingin mengikut
sertakan anggota keluarganya yang lain,sebagaimana diatur dalam pasal 20 ayat(3)
UU SJSN.

15
Mengenai siapa yang dimaksud dengan “anggota keluarga yang lain” dapat
ditemukan dalam Penjelasan Pasal 20 ayat (3) UU SJSN sebagai berikut: ”Yang
dimaksud dengan” anggota keluarga yang lain ”dalam ketentuan ini adalah anak ke 4
dan seterusnya, ayah, ibu, dan mertua.”

KEPESERTAAN WAJIB DAN PENTAHAPAN KEPESERTAAN

Menurut Pasal 6 ayat (1) Perpres, ditentukan bahwa kepesertaan Jaminan Kesehatan
bersifat wajib dan dilakukan secara bertahap sehingga mencakup seluruh penduduk.

Pentahapan kepertaan Jaminan Kesehatan menurut ayat (2), dilakukan sebagai


berikut:

a Tahap pertama mulai tanggal 1 Januari 2014 paling sedikit meliputi:

1 PBI Jaminan Kesehatan;

2 Anggota TNI/Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Pertahanan dan


anggota keluarganya;

3 Anggota Polri/Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Polri dan anggota


keluarganya;

4 Peserta asuransi kesehatan Perusahaan Persero(Persero) Asuransi Kesehatan


Indonesia dan anggota keluarganya;dan

5 Peserta Jaminan Pemeliharaan kesehatan Perusahaan Persero(Persero) Jaminan


Sosial tenaga Kerja(Jamsostek) dan anggota keluarganya.

Perpres tidak mencantumkan Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Markas Besar TNI
sebagai Peserta Jaminan Kesehatan tahap pertama.

Juga tidak ada penjelasan apakah anggota TNI/Polri dan anggota keluarganya
sebagaimana dimaksud diatas adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2)
huruf b UU BPJS serta Peserta Jamsostek yang dimaksud diatas adalah Peserta yang
dialihkan sesuai dengan ketentuan Pasal 61 huruf a UU BPJS

b Tahap kedua meliputi seluruh penduduk yang belum masuk sebagai Peserta
BPJS Kesehatan paling lambat pada tanggal 1 Januari 2019.

Perpres tidak mengatur rincian kegiatan yang harus dilakukan oleh BPJS Kesehatan
untuk mencapai universal coverage pada tahun 2019.

Selain itu, juga tidak ada pendelegasian untuk penyususunanroad map menuju
universal coverage Jaminan Kesehatan.

16
PESERTA YANG MENGALAMI PHK DAN CACAT TOTAL TETAP

Menurut Pasal 7 ayat(1) Perpres, Peserta yang mengalami PHK tetap memperoleh
hak Manfaat jaminan kesehatan paling lama 6 (enam) bulan sejak di PHK tanpa
membayar iuran.

Pada ayat (2) ditentukan, Peserta yang terkena PHK dan telah bekerja kembali wajib
memperpanjang status kepesertaannya dengan membayar iuran.

Ketentuan ini menimbulkan persoalan, terutama yang berkaitan dengan ketentuan


membayar iuran. Apakah iuran dibayar oleh Peserta yang mengalami PHK dan telah
bekerja kembali atau iuran bagi mereka dibayar oleh Pemberi Kerja dan/atau Pekerja .

Dalam hal Peserta yang terkena PHK tidak bekerja kembali dan tidak mampu, berhak
menjadi Peserta PBI Jaminan Kesehatan, demikian ditentukan pada ayat (3).

Kemudian Pasal 8 ayat (1) Perpres menentukan, Peserta Bukan PBI Jaminan
Kesehatan yang mengalami cacat total tetap dan tidak mampu, berhak menjadi
Peserta PBI Jaminan Kesehatan.

Pada ayat (2) ditentukan, penetapan cacat total tetap dilakukan oleh dokter yang
berwenang.

Tidak jelas siapa yang dimaksud dengan dokter yang berwenang. Apakah dokter yang
merawatnya, atau dokter yang ditunjuk oleh BPJS Kesehatan atau oleh Menteri?

PERUBAHAN STATUS KEPESERTAAN

Perubahan status kepesertaan dari Peserta PBI Jaminan Kesehatan menjadi bukan
Peserta PBI Jaminan Kesehatan, menurut Pasal 9 ayat (1) Perpres dilakukan melalui
pendaftaran ke BPJS Kesehatan dengan membayar iuran pertama.

Perubahan status kepesertaan sebagaiman tersebut diatas tidak mengakibatkan


terputusnya Manfaat Jaminan Kesehatan. Ketentuan tersebut diatas secara teknis
operasional belum jelas. Paling tidak ada tiga hal yang memerlukan pengaturan yang
rinci dan operasional. Pertama, siapa atau instansi mana yang berwenang menentukan
perubahan status kepesertaan seseorang?

Kedua, bagaimana tata cara penilaiannya dan penghapusan namanya dari daftar
kepesertaan sebelumnya?

17
Ketiga, siapa yang melakukan pendaftaran dan membayar iuran pertama, apakah
Peserta yang bersangkutan atau Pemberi Kerja/dan atau Pekerja yang bersangkutan
dalam hal yang bersangkutan Pekerja Penerima Upah?

Perubahan status kepesertaan dari bukan Peserta PBI Jaminan Kesehatan menjadi
Peserta PBI Jaminan Kesehatan, menurut Pasal 9 ayat (3) Perpres dilakukan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

B. Pendaftaran Program Jaminan Sosial Bidang Ketenagakerjaan

Untuk Pekerja Penerima Upah, pemberi kerja wajib mendaftarkan diri- nya
dan seluruh pekerjanya sebagai peserta kepada BPJS Ketenaga- kerjaan. Pemberi
kerja wajib menyerahkan formulir pendaftaran yang telah diisi secara lengkap yang
meliputi data dirinya, data perusahaan, dan data pekerja beserta anggota keluarganya
kepada BPJS Ketenagakerjaan, paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak formulir
pendaftaran diterima dari BPJS Ketenagakerjaan.

BPJS Ketenagakerjaan wajib mengeluarkan Nomor Kepesertaan paling lama


1 (satu) hari kerja sejak formulir pendaftaran diterima secara lengkap dan benar serta
iuran pertama dibayar lunas kepada BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Ketenagakerjaan
menerbitkan sertifikat kepesertaan bagi perusahaan dan Kartu kepesertaan bagi
pemberi kerja dan seluruh pekerja paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak formulir
pendaftaran diterima secara lengkap dan benar serta iuran pertama dibayar lunas
kepada BPJS Ketenagakerjaan. Kepesertaan sebagaimana mulai berlaku sejak Nomor
Kepesertaan dikeluarkan. Selain itu, pekerja juga berhak mendaftarkan dirinya sendiri
dalam program jaminan sosial kepada BPJS Ketenagakerjaan sesuai program yang
diwajibkan dalam penahapan kepesertaan, sekiranya pemberi kerja selain
penyelenggara negara lalai tidak mendaftarkan pekerjanya. Pendaftaran yang
dilakukan oleh pekerja yang bersangkutan wajib dibayarkan oleh pemberi kerja.

Pekerja Bukan Penerima Upah (memiliki usaha atau pekerjaan le- bih dari
satu, wajib mencantumkan uraian kegiatan usaha atau mencantumkan paling banyak
2 (dua) jenis pekerjaan) wajib mendaftarkan dirinya kepada BPJS Ketenagakerjaan
sesuai penahapan kepesertaan. Pendaftaran kepesertaan kepada BPJS
Ketenagakerjaan dapat dilakukan secara sendiri-sendiri atau melalui wadah atau
kelompok tertentu yang dibentuk oleh peserta dengan mengisi formulir pendaftaran.

Paling lama 1 (satu) hari kerja sejak formulir pendaftaran diterima secara lengkap dan
benar serta iuran pertama dibayar lunas, BPJS Ketenagakerjaan wajib mengeluarkan

18
Nomor Kepesertaan berdasarkan pendaftaran. Kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan
mulai berlaku sejak Nomor Kepesertaan dikeluarkan oleh BPJS Ketenagakerjaan.

C. Jenis Jaminan dan Jumlah Iuran

Jaminan Hari Tua (JHT)

Jaminan Hari Tua adalah program jaminan sosial dari BPJS yang diberikan
kepada karyawan yang sudah memasuki masa pensiun, yang dimaksud masa
pensiun, adalah ketika karyawan berusia 56 tahun, cacat total tetap, dan termasuk
karyawan yang berhenti kerja karena mengundurkan diri, terkena PHK, atau
meninggalkan wilayah Indonesia untuk selamanya. Program JHT ini dapat
diberikan berupa uang tunai yang akan dibayarkan sekaligus apabila dalam
kondisi karyawan mencapai usia 56 tahun, meninggal dunia, atau cacat tetap.
Jumlah yang akan dibayarkan adalah nilai akumulasi iuran ditambah hasil
pengembangannya. Besarnya iuran ditetapkan 5,7% dari upah. Perusahaan
menanggung 3,7%, dan sisanya 2% dibayar oleh karyawan melalui pemotongan
gaji.

Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)

Jaminan Kecelakaan Kerja adalah jaminan sosial BPJS yang diberikan


apabila terjadi kecelakan dalam proses hubungan kerja. Program JKK ini
memberikan perlindungan kepada karyawan atas resiko kecelakaan yang ada di
proses kerja, termasuk dalam perjalanan atau adanya penyakit. Iuran ini
sepenuhnya ditanggung oleh pemberi kerja atau perusahaan dengan besaran yang
disesuaikan dengan kategori risiko di lingkungan kerja perusahaan. Prinsipnya,
semakin tinggi tingkat risiko kecelakaan kerja, semakin besar pula persentase
iuran JKK.

19
Jaminan Kematian (JKM)

Seperti namanya, Jaminan Kematian (JKM) dari BPJS merupakan


jaminan sosial yang diberikan apabila karyawan meninggal dunia. Program
jaminan kematian ini diberikan kepada ahli waris dalam bentuk uang tunai, ketika
karyawan meninggal dunia tetapi bukan akibat kecelakaan kerja.

Iuran JKM per bulan sebesar 0,3% dari upah, dan sepenuhnya ditanggung oleh
perusahaan.

Jaminan Pensiun

Jaminan pensiun adalah jaminan sosial yang diberikan BPS untuk


mempertahankan kehidupan yang layak bagi karyawan atau ahli waris dengan
memberikan penghasilan ketika karyawan memasuki usia pensiun, cacat total, atau
meninggal dunia. Besarnya iuran JP adalah 3% dari upah, di mana perusahaan
menanggung 2%, dan sisanya 1% dibayar karyawan. Namun, batas maksimal upah
yang dijadikan perhitungan adalah Rp 7 juta.

20
Learning Objektif III

Pos Upaya Kesehetan Kerja (UKK)

a. Definisi
Menurut UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, upaya kesehatan kerja
adalah sesuatu upaya penyerasian antara kapasitas kerja, beban kerja dan lingkungan
kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan dirinya sendiri
maupun masyarakat disekelilingnya dan agar diperoleh produktivitas kerja yang optimal
(KEMENKES RI, 2003).

Pelayanan kesehatan di pos UKK dapat dimanfaatkan oleh :


 Setiap pekerja yang menjadi anggota kelompoknya
 Setiap pekerja yang sehat maujpun yang sakit atau yang mendapat kecelakaan kerja
 Semua anggota keluarga pekerja dan masyarakat umum yang memerlukan pelayanan
kesehatan dasar atau P3K.
Ruang lingkup

Pekerja pada sektor informal

b. Tujuan & Manfaat


Tujuan pembentukan UKK

 Tujuan umum :

Mewujudkan masyarakat pekerja yang sehat dan produktif.

 Tujuan khusus :

 Meningkatnya pengetahuan masyarakat pekerja tentang kesehatan kerja


 Meningkatnya kemampuan masyarakat pekerja, untuk menolong dirinya sendiri
 Meningkatnya pelayanan kesehatan kerja yang dilaksanakan oleh kader, masyarakat
pekerja dan tenaga kesehatan yang terlatih kesehatan kerja
 Meningkatnya kewaspadaan dan kesiapsiagaan masyarakat pekerja terhadap risiko
dan bahaya akibat kerja yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan
 Meningkatnya dukungan dari pengambil kebijakan terhadap pos UKK
21
 Meningkatnya peran aktif lintas program dan lintas sektor terkait dalam
penyelenggaraan pos UKK

Manfaat Pos UKK

Bagi mayarakat pekerja :

 Permasalahan kesehatan kerja dapat dideteksi secara dini, dan masyarakat pekerja
dapat memperoleh pelayanan kesehatan kerja yang dapat dijangkau.

Bagi kader kesehatan :

 Kader dapat mendapatkan informasi lebih awal tentang kesehatan kerja


 Kader mendapat kebanggaan

Bagi puskesmas :

 Memperluas jangkauan pelayanan Puskesmas


 Dapat mengoptimalkan fungsi Puskesmas utamanya pemberdayaan masyarakat

Bagi sektor lain :

 Dapat memadukan kegiatan sektornya utamanya yang berkaitan dengan


kesejahteraan
 Kegiatan pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan lebih efektif dan efisien

c. Peran & Fungsi


Peran Pos UKK :

1. Melakukan identifikasi masalah kesehatan di lingkungan kerja dan sumber daya


pekerja.
2. Menyusun rencana pemecahan masalah kesehatan di lingkungan kerja.
3. Melaksanakan kegiatan kesehatan di lingkungan kerja melalui promosi kesehatan
kerja.
4. Menjalin kemitraan dengan berbagai pihak dalam upaya kesehatan di lingkungan
kerja.
5. Melakukan pelayanan kesehatan kerja dasar.

22
6. Melaksanakan kewaspadaan dini terhadap berbagai risiko dan masalah kesehatan
pekerja.
7. Melaksanakan rujukan ke Puskesmas.
8. Pencatatan dan pelaporan.

d. Pembentukan Pos UKK

SYARAT
1. Ada kelompok pekerja yang membutuhkan pelayanan kesehatankerja.
2. Ada keinginan masyarakat pekerja membentuk POS UKK.
3. Ada kesedian masyarakat pekerja menjadi kader POS UKK.
4. Ada tempat yang memadai untuk dijadikan Pos UKK yang dilengkapi dengan
papan nama Pos UKK, untuk melakukan kegiatan.
5. Tersedianya pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K) kit dan pertolongan
pertama pada penyakit (P3P) kit.
6. Tersedianya contoh alat pelindung diri (APD) untuk pekerja sesuai dengan
pekerjaannya.
7. Timbangan badan dan alatpengukurtinggi badan.
8. Meja, kursi, tempattidur dan lemariobat.
9. Adanyabukupencacatan dan pelaporan.
10. Adanya buku panduan dan media penyuluhan.
11. Alat tulis.
Persyaratan 1 – 6 mutlak untuk dipenuhi sebelum dibentuk Pos UKK dan persyaratan
yang lain dapat dilengkapi secara bertahap sesuai dengan kemampuan masyarakat
pekerja.

Operasional (Pembiayaan)
Pembiayaan kegiatan di pos UKK dapat diperoleh dari :

 Dana sehat pekerja (iuran pekerja)


 Iuran pengguna jas pos UKK
 Sumbangan yang bersifat tidak mengikat (donatur)
 Dana stimulan dari pemerintah

23
 Dan lain-lain

PeranPuskesmas
 Sebagai fasilitator dalam pembentukan dan pembinaan Pos UKK di wilayah
kerjanya
 Memfasilitasi pemeriksaan kesehatan pekerja secara berkala
 Sebagai rujukan pelayanan kesehatan kerja
 Menggalang kerjasama dengan berbagai pihak dalam pembinaan dan
pengembangan pos UKK
 Membangun komitmen dengan kader, tokoh masyarakat, tokoh agama,
perusahaan dan sektor swasta dalam pembinaan dan pengembangan pos UKK

e. Jenis Pelayanan
Konsultasi
Penyuluhan (materi penyuluhan SOP kerja risiko pekerjaannya dan
pencegahan, hygiene perorangan, jenis-jenis Alat Pelindung Diri/APD,
pemakaian APD, pemilihan APD, Gizi kerja).
Norma Sehat dalam Bekerja (Budaya K3)
Memberikan masukan/pertimbangan kebijakan tentang kesehatan kerja
kepada pimpinan manajemen
Inventarisasi jenis pekerjaan agar dapat mengetahui risiko yang
mungkin timbul.
Peningkatan Promosi kesehatan dalam rangka pencegahan penyakit umum PAK,
(Promotif) PAHK dan KK
Sanitasi industri, good house keeping dan potensi risiko ditempat kerja
SOP kerja dan proses produksi
Pelatihan P3K
Pelatihan kader Pos UKK
Pembinaan Pos UKK dan Ppliklinik Perusahaan
Sosialisasi kegiatan tentang kesehatan kerja bagi tokoh masyarakat,
lintas
program, lintas sektor dan dunia Usaha
Pencatatan dan pelaporan

24
Identifikasi dan pengukuran potensi risiko kesehatan ditempat kerja/
lingkungan kerja
Memfasilitasi/merekomendasikan perbaikan lingkungan kerja sep :
perbaikan ventilasi, pengolahan limbah cair, perbaikan ergonomi
Penyediaan contoh dan penggunaan APD
Pemeriksaan kesehatan :
Sebelum kerja (calon pekerja, pra mutasi dan pra mutasi intern)
Pencegahan Pemeriksaan berkala
(Preventif) Pemeriksaan kesehatan khusus
Prosedur Tanggap Darurat (emergency response procedure) dan mana
jemen disaster.
Pemantauan Kondisi Kerja/tempat kerja
Surveilans PAK, PAHK, KK, dan penyakit umum yang dominan
dikalangan pekerja
Pemeriksaan kualitas air minum dan kebersihan makanan/pekerjakatin
Pencatatan dan pelaporan
Penyakit Umum. PAK, PAHK dan KK
Klinik gawat darurat (Emergency clinic)
Pengobatan
Deteksi dini PAK, PAHK dan KK
(Kuratif)
Melakukan Upaya Rujukan
Pencatatan dan Pelaporan
Melakukan evaluasi tingkat kecacatan pekerja
Rekomendasi terhadap penempatan kembali pekerja sesuai kemampuan
Pemulihan
nya dan pentahapan untuk dapat kembali pada pekerjaan semula
(Rehabilitatif)
setelahsenbuh dari sakit/KK
Pencatatan dan pelaporan

25
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Upaya Kesehatan kerja merupakan bentuk upaya penyerasian antara kapasitas kerja,
beban kerja, dan lingkungan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat, untuk
mempengaruhi sikap masing – masing pekerja mengenai kesehatannya secara individu,
sehingga dari hari ke hari mereka akan menentukan pilihannya menuju gaya hidup yang sehat
dan lebih positif, memberikan pekerjaan dan perlindungan bagi pekerja di dalam
pekerjaannya dari kemungkinan bahaya yang disebabkan oleh faktor-faktor yang
membahayakan kesehatan, memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan kerja masyarakat
pekerja di semua lapangan kerja setinggi-tingginya baik fisik, mental maupun kesejahteraan
sosialnya, dan mencegah timbulnya gangguan kesehatan kerja pada masyarakat pekerja yang
diakibatkan oleh keadaan / kondisi lingkungan kerjanya.

3.2 Saran

Dengan memahami LO yang didapat, penulis menyarankan pembaca dapat termotivasi


untuk mendalami materi yang kami ulas. Mengingat masih banyaknya kekurangan dari
kelompok kami, baik dari segi diskusi kelompok, penulisan tugas tertulis dan sebagainya,
untuk itu kami mengharapkan kritik dan saran dari dosen dan teman-teman angkatan.

26
DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Kesehatan. (2014). Pedoman Pos Upaya Kesehatan Kerja Terintegrasi (Bagi
Petugas Kesehatan).

Departemen Kesehatan RI. 2006. Pos Upaya Kesehatan Kerja. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1758/Menkes/SK/XII/2003:


Tentang Standar Pelayanan Kesehatan Kerja Dasar

International Labour Organization. (2013). Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Tempat


Kerja. Geneva: ILO Publisher.

27
28

Anda mungkin juga menyukai