Anda di halaman 1dari 14

TUGAS MATA KULIAH

DASAR ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


DAN KESEHATAN LINGKUNGAN

MAKALAH
DERMATITIS AKIBAT KERJA PADA PEKERJA BINATU

Dosen Pengampu:
Dr. Isna Qodrijati, dr., M.Kes

Oleh:
Tyas Aisyah Putri
NIM. S021902059

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
TAHUN 2019

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
penulis dapat untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas akhir dari mata kuliah
Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Kesehatan Linkungan dengan judul “Dermatitis
Akibat Kerja pada Pekerja Binatu”. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak khususnya kepada Ibu Dr. Isna Qodrijati, dr., M.Kes yang telah membimbing dalam
penulisan makalah ini.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima
kasih.

Surakarta, 8 Juli 2019


Tyas Aisyah Putri

ii
DAFTAR ISI

Halaman
JUDUL ............................................................................................................................. i
KATA PENGANTAR .................................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................. iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1


A. Latar Belakang Masalah................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 2
C. Tujuan ............................................................................................................ 2
D. Manfaat ......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................. 3


A. Antisipasi ....................................................................................................... 3
B. Rekognisi ....................................................................................................... 4
C. Evaluasi .......................................................................................................... 6
D. Controlling/ Pengendalian.............................................................................. 8

BAB III PENUTUP ....................................................................................................... 10


A. Kesimpulan .................................................................................................. 10
B. Saran............................................................................................................. 10

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 11

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap orang yang terlibat dalam suatu pekerjaan, apakah bekerja pada
perusahaan besar atau wiraswasta, pelajar, pensiunan atau ibu rumah tangga, dapat
terkena bahaya kesehatan kerja. Bahaya ini jika diabaikan dapat menyebabkan penyakit
akibat kerja. Kesadaran akan bahaya dan tindakan pencegahan yang tepat mengurangi
atau mencegah sebagian besar penyakit akibat kerja (Pingle, 2005). Menurut Peraturan
Menteri Tenaga Kerja Nomor 03/Men/98, kecelakaan akibat kerja adalah suatu kejadian
yang tidak dikehendaki dan tidak diduga semula yang dapat menimbulkan korban
manusia dan atau harta benda.
Kesehatan dan keselamatan kerja (K3) didefinisikan oleh layanan konsultasi K3
18001 (OHSAS 18001) sebagai “kondisi dan faktor yang mempengaruhi, atau dapat
mempengaruhi, kesehatan dan keselamatan karyawan, pekerja sementara, personil
kontraktor, pengunjung atau orang lain di tempat kerja (Dunmire, 2007). Tujuan utama
dalam Penerapan K3 berdasarkan UndangUndang No. 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja yaitu antara lain: melindungi dan menjamin keselamatan setiap
tenaga kerja dan orang lain di tempat kerja, menjamin setiap sumber produksi dapat
digunakan secara aman dan efisien, serta meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas
nasional. Menurut Dewan Keamanan Nasional AS (2009) upaya keselamatan kerja yang
efektif melibatkan kontrol dan penghapusan bahaya di tempat kerja yang diakui untuk
mencapai tingkat risiko yang dapat diterima dan untuk mempromosikan kesejahteraan
pekerja. Keselamatan kerja yang optimal dihasilkan dari proses proaktif yang
berkesinambungan untuk mengantisipasi, mengidentifikasi, merancang,
mengimplementasikan, dan mengevaluasi praktik pengurangan risiko.
Dermatitis adalah gangguan kulit akibat kerja yang paling umum, 30% dari
semua kasus penyakit akibat kerja di negara-negara industri. Data epidemiologis
menunjukkan bahwa dermatitis kontak menyumbang 90% hingga 95% dari semua kasus
penyakit kulit akibat kerja. Dermatitis kontak akibat kerja secara luas diklasifikasikan
menjadi subtipe alergi dan iritan. Dermatitis kontak iritan secara luas dikutip dari
literatur bahwa 80% berasal dari kontak kerja dengan 20% sisanya berasal dari kasus
alergi (Clark et al,2009). Reaksi yang timbul pada reaksi akut maupun kronis dari

1
dermatitis kontak ini memiliki spektrum gejala klinis meliputi ulserasi, folikulitis,
erupsi akneiformis, milier, kelainan pembentukkan pigmen, alopesia, urtikaria, dan
reaksi granulomatosa (Sularsito, 2005).
Beberapa faktor terkait dengan kejadian dermatitis kontak akibat kerja adalah
adanya paparan bahan kimia iritan, lama masa kerja, serta penggunaan alat
pelindung diri (APD) yang tidak maksimal (Saftarina et al, 2015). Selain itu dalam
penelitian Afifah (2012) terdapat hubungan antara jenis pekerjaan, frekuensi paparan,
riwayat atopi, adanya faktor mekanis, terhadap terjadinya dermatitis kontak akibat
kerja pada karyawan binatu.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas penulis akan memaparkan metode dalam implementasi
Higiene industri pada kasus Dermatitis Kontak Kerja pada Pekerja Binatu yang terdiri
dari:
1. Apa saja antisipasi pada pekerja binatu terhadap kejadian dermatitis?
2. Bagaimana rekognisi pada pekerja binatu terhadap kejadian dermatitis?
3. Bagaimana evaluasi higiene industri pada pekerja binatu terhadap kejadian
dermatitis?
4. Bagaimana controlling/ pengendalian pada pekerja binatu terhadap kejadian
dermatitis?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui antisipasi pada pekerja binatu terhadap kejadian dermatitis.
2. Untuk mengetahui rekognisi pada pekerja binatu terhadap kejadian dermatitis.
3. Untuk mengetahui evaluasi higiene industri pada pekerja binatu terhadap kejadian
dermatitis.
4. Untuk mengetahui controlling/ pengendalian pada pekerja binatu terhadap kejadian
dermatitis.
D. Manfaat
1. Diharapkan dapat digunakan sebagai bahan masukan dalam membuat kebijakan SOP
untuk pekerja binatu.
2. Diharapkan dapat menambah kesadaran diri akan keselamatan kerja bagi pekerja dan
dan orang-orang disekitanya.
3. Diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi dan referensi pembaca.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Antisipasi
Antisipasi merupakan kegiatan untuk memprediksi potensi bahaya dan risiko di
tempat kerja yang berasal dari semua faktor lingkungan kerja dan aktivitas. Tujuan
antisipasi antara lain: mengetahui potensi bahaya dan risiko lebih dini sebelum muncul
menjadi bahaya dan risiko yang nyata, mempersiapkan tindakan yang perlu sebelum
suatu proses dijalankan atau suatu area dimasuki, meminimalisasi kemungkinan risiko
yang terjadi pada saat suatu proses dijalankan atau suatu area dimasuki
(http://staff.ui.ac.id/ konsepantisipasidanrekognisi.pdf).
Daftar potensi bahaya dan risiko yang dapat dikelompokkan:
1. Berdasarkan lokasi atau unit:
a. Di area mencuci, para pekerja meiliki risiko jatuh. Lantai di area ini mungkin licin
karena tumpahan larutan sabun dan air.
b. pekerja harus menggambil pakaian yang terjerat atau yang berada di bagian bawah
pada mesin cuci sehingga berisiko mengalami cidera fisik pada muskuloseletal
(otot-otot tangan, dada, dan bahu).
c. pekerja membungkung saat mengambil pakaian dan mengangkatnya diatas kepala
dan membentangkan pakaian tersebut di atas kain saat menjemur dapat berpotensi
menyebabkan gangguan muskuloskeletal.
d. alat-alat yang digunakan pekerja binatu menggunakan aliran listrik yang perlu
diwaspadai mengenai hubungan pendek, apalagi aliran listrik yang berdekatan
dengan air akan meningkatkan potensi hubungan pendek (korsleting)
e. bahan-bahan kimia (detergen, softener, lysol, bleach) disimpan pada tempat
tersendiri sehingga lebih aman dalam proses penyimpanan
f. pencahayaan ruangan yang harus memadai
g. setrika dapat melukai kulit apabila pekerja teledor dalam menggunakannya
h. sirkulasi udara yang harus memadai
2. Berdasarkan kelompok pekerja
a. pekerja yang mengerjakan semua tahapan dalam binatu (memilah, mencuci,
menyetrika, pengemasan) secara individu kemungkinan mengalami bahaya kerja
lebih besar daripada ada pekerja setiap tahapannya

3
b. pekerja yang kurang produktif, misalnya karena usia
c. rekan kerja yang menderita penyakit menular
3. Berdasarkan jenis potensi bahaya
a. terkilir saat mengangkat muatan cucian
b. kelainan pada otot punggung apabila cara mengangkutnya salah
c. terpeleset di area pencucian
d. terpapar baju kotor (potensi bahaya biologi)
e. terpapar bahan kimia (detergen, softener, lysol, bleach)
f. terpapar debu kapas
g. terkena setrika
h. tersengat arus listrik bila terjadi arus pendek
4. Berdasarkan tahapan proses produksi
a. pekerja yang mengerjakan semua tahapan dalam binatu (memilah, mencuci,
menyetrika, pengemasan) secara individu kemungkinan mengalami bahaya kerja
lebih besar daripada ada pekerja setiap tahapannya
b. pada tahap pemilahan dapat terjadi kontak dengan baju kotor
c. pada tahap pencucian dapat terjadi kontak dengan bahan-bahan kimia dan
hubungan arus pendek
d. pada tahap menyetrika dapat terjadi kontak dengan bahan-bahan kimia dan
hubungan arus pendek
e. pada tahap pengemasan dapat terjadi kontak dengan bahan-bahan kimia
(pengharum/parfum baju)
B. Rekognisi
Rekognisi merupakan serangkaian kegiatan untuk mengenali suatu bahaya lebih
detil dan lebih komprehensif dengan menggunakan suatu metode yang sistematis
sehingga dihasilkan suatu hasil yang objektif dan bisa dipertanggungjawabkan. Tujuan
rekognisi antara lain: untuk mengetahui karakteristik suatu bahaya secara detil (sifat,
kandungan, efek, severity, pola pajanan, besaran, dll), mengetahui sumber bahaya dan
area yang berisiko, mengetahui proses kerja yang berisiko, mengetahui pekerja yang
berisiko (http://staff.ui.ac.id/ konsepantisipasidanrekognisi.pdf).

4
1. Faktor Fisik:
a. Kebisingan: bersumber dari mesin cuci
b. Pencahayaan: pencahayaan tertinggi diperlukan di tempat penyetrikaan, selain itu
di tempat pencucian dan distribusi juga diperlukan pencahyaan untuk mengurangi
kelelahan mata pekerja saat bekerja, bila penerangan kurang dapat mengakibatkan
kecelakaan kerja, kualitas kerja rendah dan produktivitas menurun
c. Suhu: pada pekerja bagian penyetrikaan akan memiliki suhu ruang lebih panas
(Agustina et al, 2009)
2. Faktor Kimia:
a. Debu: debu dapat berasal dari baju otor maupun baju bersih dapat menimbulkan
gangguan pada saluran pernafasan
b. Bahan Kimia: detergen, softener, lysol, bleach dapat menyebabkan iritasi pada
kulit dan dermatitis kontak (Agustina et al, 2009)
3. Faktor Biologis: terdapat pada pakaian kotor seperti jamur, bakteri (Agustina et al,
2009)
4. Faktor Fisiologis:
a. sikap kerja duduk di kursi sebagai landasan kerja dengan posisi tinggi atau rendah
mempengaruhi sikap badan membungkuk atau tidak
b. sikap kerja angkat-angkat pada proses pencucian sampai dengan distribusi dapat
mengakibatkan kelainan pada otot punggung apabila cara mengangkutnya salah
c. sikap kerja berdiri pada proses penyetrikaan khususnya dengan mesin roll
d. dengan ketinggian landasan mesin tidak menyebabkan sikap badan membungkuk
pada saat bekerja, tetapi apabila terlalu lama berdiri maka akan mengakibatkan
kelelahan otot kaki (Agustina et al, 2009)
5. Faktor Mental-Psikologis: dapat mengalami kejenuhan pada saat bekerja, hubungan
kerja dengan sesama ataupun dengan atasan (Agustina et al, 2009)
6. Faktor Endogen:
a. Usia: pada usia tua reaksi terhadap bahan kimia mungkin meningkat tetapi bentuk
kelainan kulit berupa kemerahan yang terlihat pada usia tua berkurang. Usia
setelah 30 tahun, produksi hormon-hormon penting seperti testosteron, growth
hormone, dan estrogen mulai menurun, padahal hormon-hormon tersebut
berpengaruh terhadap kesehatan kulit (Taylor et al., 2008).

5
b. riwayat atopi: adanya riwayat atopi meningkatkan risiko timbulnya dermatitis
kontak sebesar 3,6 kali, hal tersebut disebabkan karena penurunan ambang batas
akibat kerusakan fungsi barier kulit (Afifah et al, 2012).
7. Faktor Mekanis: berupa tekanan dan atau gesekan meningkatkan permeabilitas kulit
akibat adanya kerusakan stratum korneum pada kulit. Peningkatan permeabilitas kulit
ini, menyebabkan bahan kimia yang kontak langsung denan kulit dapat lebih mudah
masuk ke kulit. Pada pekerja binatu hal tersebut bisa di dapatkan akibat gesekan
ketika mengucek, menyikat, maupun menyetrika pakaian (Afifah et al, 2012)
C. Evaluasi
Evaluasi adalah suatu kegiatan sampling dan mengukur bahaya dengan metode
yang lebih spesifik, contohnya : mengukur kebisingan dengan sound level meter,
pengukuran kadar debu/ partikel dengan menggunakan digital dust indicator, melakukan
pengukuran pencahayaan dengan menggunakan lux meter dan sebagainya, hasil dari
pengukuran ini dibandingan dengan peraturan-peraturan pemerintah yang berlaku,
apakah melibihi nilai ambang batas (NAB) atau tidak.
1. Faktor fisik:
a. kebisingan: merupakan suara yang tidak dikehendaki. Kebisingan ditempat kerja
adalah semua bunyi yang tidak dikehendaki yang bersumber dari mesin-mesin
yang bergerak yang berada ditempat kerja (Suma’mur, 1996). Mengukur
kebisingan dengan sound level meter. NAB (Nilai Ambang Batas) ditempat kerja
adalah nilai rata-rata yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan
penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari untuk waktu yang
tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu, ketentuan tersebut sesuai
dengan Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja No : KEP-51/MEN/1999 tentang
Nilai Ambang Batas Faktor Fisika di Tempat Kerja (Agustina et al, 2009).
b. pencahayaan: Menurut Suma’mur (1996) Pencahayaan yang baik memungkinkan
tenaga kerja melihat objek-objek yang dikerjakannya secara jelas, cepat tanpa
upaya yang tidak perlu. Penerangan yang memadai memberikan kenyamanan
pada tenaga kerja. Sehingga tidak menimbulkan gangguan atau kelelahan
pengelihatan selama bekerja. Pengukuran pencahayaan dengan menggunakan lux
meter. Pencahayaan harus disesuaikan dengan Peraturan Menteri Perburuhan No.
7 Tahun1964 tentang syarat-syarat kesehatan, kebersihan serta penerangan dalam

6
tempat kerja, untuk membedakan bahan yang kasar (linen, pakaian, sprei dam
selimut) intensitas penerangannya minimal 50 lux (Agustina et al, 2009).
c. suhu: panas yang diakibatkan metabolisme sangat tergantung dari kegiatan tubuh.
Kemampuan untuk menyesuaikan diri pada batasnya yaitu tubuh manusia masih
dapat menyesuaikan dirinya dengan temperatur luar jika perubahan dari
temperatur luar tidak lebih dari 20% untuk kondisi panas dan 35% untuk kondisi
dingin. Suhu yang tinggi merupakan beban kerja tambahan dan sangat
berpengaruh bila tenaga kerja tersebut melakukan kerja fisik. Apabila suhu di
ruang kerja mencapai 400C dan menggunakan peralatan yang panas dapat
menyebabkan keluarnya banyak keringat yang mempercepat timbulnya
kelelahan, dapat berakibat menurunnya kemampuan kerja dan produktivitas kerja
(Suma’mur, 1996). Berdasarkan Kepmenkes No. Kep. 1405/Menkes/SK/XI/2002
Tentang Persyaratan dan Tata Cara Penyelenggaraan Kesehatan Lingkungan
Kerja Perkantoran dan Industri. Nilai standart untuk suhu yaitu 18-280C.
Pengukuran suhu ruangan dengan termometer ruangan (Agustina et al, 2009).
2. Faktor Kimia
a. debu: pada lingkungan kerja ditetapkan menurut Surat Edaran Menteri Tenaga
Kerja No. SE. 01/MEN/1997 tentang NAB Faktor Kimia di Udara Lingkungan
Kerja adalah 3 mg/m3 untuk debu respirable xxvii dan 10 mg/m3 untuk debu
total. Pengukuran kadar debu/ partikel dengan menggunakan digital dust indicator
(Agustina et al, 2009).
b. bahan kimia: penggunaan bahan kimia berbahaya diatur dalam Keputusan Mentri
Tanaga Kerja RI No. Kep. 187/Men/1999 tentang pengendalian bahan kimia
berbahaya di tempat kerja.
3. Faktor Biologi: penelitian bakteriologi pada unit laundry menunjukkan bahwa jumlah
total bakteri meningkat 50 kali selama periode waktu sebelum cucian mulai diproses
(Depkes RI, 2004).
4. Faktor Fisiologis: penerapan teknologi untuk menyerasikan atau menyeimbangkan
antara segala fasilitas yang digunakan baik dalam beraktivitas maupun istirahat
dengan kemampuan dan keterbatasan manusia fisik maupun mental sehingga kualitas
hidup secara keseluruhan menjadi lebih baik (Tarwaka, 2004)

7
5. Faktor Mental-Psikologis: diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi RI No. Per.25/Men/XII/2008 tentang pedoman diagnosis dan penilaian
cacat karena kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
D. Controlling/ Pengendalian
Kontrol menerapkan metode untuk menghilangkan atau mengurangi paparan mencegah
terjadinya risiko. Upaya pengendalian terhadap faktor bahaya melalui tahap eliminasi,
substitusi, engineering control, administrasi kontrol, dan APD. Upaya pengendalian
tersebut dilakukan dengan:
1. Faktor Fisik:
a. kebisingan: perawatan dan perbaikan pada bagian mesin cuci yang rusak, adanya
proosedur kerja yang aman dan mengadakan rotasi kerja.
b. pencahayaan: perbaikan sistem penerangan baik penerangan alami maupun
buatan serta pemilihan warna yang sesuai agar tidak menimbulkan kesilauan
seperti cat dinding warna putih.
c. suhu: pemasangan ventilasi, pengaturan pemaparan kerja, penyediaan suplai air
minum, tinggi langit-langit dari lantai minimal 2,5 m, bila suhu >28oC perlu
menggunakan kipas angin/ AC
2. Faktor Kimia:
a. debu: sistem ventilasi yang baik dan cukup, pengepelan lantai minimal 2 kali
sehari, Pembersihan secara rutin menggunakan cara yang tidak menebarkan debu,
menggunakan APD (masker) pada saat bekerja, untuk mengurangi kadar debu
yang terhirup
b. bahan kimia: detergen, softener, lysol, bleach disimpan di tempat tersendiri,
penggunaan bahan kimia detergen dibungkus dalam plastik terlebih dahulu
sehingga tidak kontak langsung dengan kulit, penggunaaan masker, sarung
tangan panjang, dan pakaian kerja lengan panjang.
3. Faktor Biologis: adanya prosedur kerja yang aman, setiap tenaga kerja menjaga
kebersihan diri, tidak boleh makan dan minum pada saat sedang bekerja ataupun
makan di tempat area kerja, membersihkan mesin dan tempat kerja.
4. Faktor Fisiologis:
a. disediakan kursi pada saat penyetrikaan dengan ketinggian yang sesuai dengan
postur tubuh pegawai dan ketinggian meja setrika

8
b. disediakan troli untuk mengangkut baju-baju kotor yang terlalu banyak
5. Faktor Mental-Psikologis: menjalin hubungan yang baik antara tenaga kerja dengan
sesama maupun atasannya, saling menjaga komunikasi dengan baik.
Dalam tahap-tahapan pengendalian:
1. Eliminasi adalah teknik pengendalian dengan menghilangkan sumber bahaya.
Eliminasi merupakan langkah awal dan merupakan solusi terbaik dalam
mengendalikan paparan
a. pembuatan SOP kerja untuk pekerja binatu
b. posisi pekerja binatu dibuat ergonimis
c. pengaturan suhu ruangan dibuat senyaman mungkin disesuaikan dengan kondisi
lingkungan
2. Substitusi adalah teknik pengendalian bahaya dengan mengganti alat, bahan, sistem
atau prosedur yang berbahaya dengan lebih aman atau lebih rendah bahayanya
a. pencahayaan ruangan yang cukup/ sesuai standar untuk mengurangi risiko
pekerja mengalami kecelakaan kerja
b. dilakukan pencabutan kabel dari stop kontak sebelum dilakukan pengambilan
pakaian dari mesin cuci untuk menghindari sengatan listrik
c. pengecekan mesin cuci, setrika, dan alat-alat kerja secara berkala dan dilakukan
penggantian alat apabila alat sudah tidak memenuhi standar
3. Engineering control adalah pengendalian bahaya dengan melakukan modifikasipada
faktor lingkungan kerja
a. Mengatur suhu setrika agar terhindar kejadian kebakaran ataupun pakaian lubang
4. Administrasi kontrol adalah pengendalian bahaya dengan melakukan
modifikasipada interaksi pekerja dengan lingkungan kerja
a. Merolling tugas kerja pada pekerja binatu
b. mengatur jam kerja
c. memberikan hari libur kerja
5. Alat Perlindungan Diri (APD) adalah kelengkapan yang wajib digunakan saat bekerja
sesuai bahaya dan risiko kerja untuk menjaga keselamatan pekerja itu sendiri dan orang
di sekelilingnya
a. penggunaan sarung tangan dan atau sarung tangan panjang
b. penggunaan masker
c. penggunaan baju kerja lengan panjang

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Ruang lingkup Higiene Industri terdiri dari : antisipasi, rekognisi, evaluasi, dan
pengendalian
2. Antisipasi merupakan kegiatan untuk memprediksi potensi bahaya dan risiko di
tempat kerja yang berasal dari semua faktor lingkungan kerja dan aktivitas.
3. Rekognisi merupakan serangkaian kegiatan untuk mengenali suatu bahaya lebih detil
dan lebih komprehensif dengan menggunakan suatu metode yang sistematis sehingga
dihasilkan suatu hasil yang objektif dan bisa dipertanggungjawabkan.
4. Evaluasi adalah suatu kegiatan sampling dan mengukur bahaya dengan metode yang
lebih spesifik.
5. Kontrol menerapkan metode untuk menghilangkan atau mengurangi paparan
mencegah terjadinya risiko.
B. Saran
1. Meningkatkan upaya pencegahan/ preventif terhadap kecelakaan kerja dengan
membuat/ menerapkan SOP sesuai dengan pekerjaan sehingga dapat mengurangi
terjadinya kecelakaan kerja.
2. Pekerja lebih sadar pada penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) yang sering
diabaikan
3. Pembaca dapat menambah informasi dengan membaca

10
DAFTAR PUSTAKA

Afiah, Adilah, Dhiana E, Sudaryanto. 2012. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan


Terjadinya Dermatitis Kontak Akibat Kerja Pada Karyawan Binatu. Semarang: Jurnal
Media Medika Muda

Clark, Shane C., Matthew J. Zirwas. 2009. Managemnt of Occupation Dermatitis. Dematol
Clin 27. 365-383

Dunmire T. 2007. What is Occupational Safety and Health?. OHSAS 18001 Expert Blog.

http://staff.ui.ac.id/ konsepantisipasidanrekognisi.pdf. Konsep HI. Diakses Tanggal 27 Juni


2019.

Kumar, M. Shashi, B. Ramakrishna Goud, Bobby Joseph. 2014. A study of occupational


health and safety measures in the Laundry Department of a private tertiary care
teaching hospital, Bengaluru. PubMed Vol 18 (1): 13-20

National Safety Council. 2009. Occupational safety terms and concepts

Pingle SR. 2005. Occupational Health. The Godrej House Magazine

Saftarina, Fitria, dkk. 2015. Prevalensi Dermatitis Kontak Akibat Kerja dan Faktor yang
Mempengaruhinya pada Pekerja Cleaning. Lampung: Prosiding Seminar Presentasi
Artikel Ilmiah Dies Natalis FK Unila

Sari, Desi Nurtrika. 2013. Identifikasi Bahaya dan Gambaran Perilaku Penggunaan Alat
Pelindung Diri pada Pekerja Laundry di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita
Jakarta Tahun 2013. Jakarta: Repository uinjkt

Sularsito SA, Djuanda S. 2005. Ilmu penyakit kulit dan kelamin edisi ke-4. Jakarta: FKUI.

Taylor JS, Sood A, Amado A. 2008. Irritant contact dermatitis. Dalam: Fitzpatricks et al,
editors. Dermatology in general medicine vol.1 7thed. New York: Mc Graw Hill
Medical.p.395-401.

Tarwaka, Sholichul, Lilik Sudiajeng, 2004. Ergonomi Untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja
dan Produktivitas. Surakarta : UNIBA PRESS.

11

Anda mungkin juga menyukai