Anda di halaman 1dari 14

Analisa Intonasi dalam Pidato Soekarno

ciri ciri suprasegmental ( fonologi )

M.irsyaddillah
518.06.13.00.14
Pendidikan bahasa dan sastra indonesia universitas islam majapahit
E-mail : cybernyur410@gmail.com

Abstrak
Penelitian tentang intonasi memang bukanlah penelitian yang baru di dunia bahasa, tetapi penelitian
tersebut dapat dikategorikan sebagai penelitian yang unik dalam dunia bahasa. Hal tersebut karena
dalam penelitian intonasi mengkaji aspek bahasa yang berhubungan dengan sifat-sifat bunyi bahasa
sebagai hasil dari getaran pita suara. Penelitian tentang intonasi ini merupakan bagian dari fonetik
suprasegmental. Fonetik suprasegmental dibagi menjadi dua, yakni fonetik artikulatoris dan fonetik
akustik. Intonasi masuk ke dalam kajian fonetik akustik karena penelitian tersebut mengkaji bunyi-
bunyi bahasa menurut sifat-sifatya sebagai getaran udara. Penelitian tentang intonasi ini berfokus
pada data yang berupa kata atau kalimat lisan yang sifatnya agitatif. Agitatif artinya mendorong
atau menggerakkan seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau aksi. Sumber data penelitian
ini adalah rekaman suara pidato Soekarno yang diperoleh dari berbagai sumber di internet. Tujuan
penelitian ini adalah untuk menghasilkan deskripsi tentang intonasi agitatif dalam pidato Soekarno
yang dibatasi pada penggunaan nada, tekanan, dan jeda. Hal tersebut karena intonasi berkaitan
dengan nada, tekanan, dan jeda. Hasil penelitian ini ditemukan penggunaan nada agitatif dalam
pidato Soekarno terjadi secara inklinasi (frekuensi bunyi di akhir ujaran lebih tinggi dibandingkan
dengan di awal ujaran) dan deklinasi (frekuensi bunyi di awal ujaran lebih tinggi dibandingkan
dengan di akhir ujaran). Tekanan agitatif dalam pidato Soekarno cenderung bertekanan atau
berkategori tekanan keras. Tekanan keras diperoleh dari penentuan nilai intensitas tertinggi dan
terendah dalam pidato Soekarno yang sifatnya agitatif. Jeda agitatif dalam pidato Soekarno
cenderung hanya terdapat pada agitatif berbentuk ujaran yang panjang atau kalimat. Pada agitatif
yang berbentuk ujaran pendek atau kata cenderung tidak terdapat jeda.
Kata Kunci : Intonasi, Agitatif, dan Pidato Soekarno

PENDAHULUAN

Intonasi merupakan fenomena bahasa yang universal. Intonasi menjadi salah satu karakteristik yang khas
dari setiap bahasa yang dapat membedakan dengan bahasa yang lain. Menurut Yallop dan Clark
(Sugiyono, 2003:27), intonasi tidak mengubah arti leksikal, tetapi intonasi dapat menjelaskan maksud
atau sikap penutur. Dalam hal ini, seorang penutur dapat menjelaskan maksud dari kata atau kalimat yang
disampaikannya karena meskipun bahasa (dalam hal ini kata atau kalimat) yang diujarkan itu sama, tetapi
ketika diujarkan oleh penutur yang berbeda, maka akan terlihat penggunaan intonasi yang berbeda pula.
Hal tersebut yang membuktikan bahwa intonasi menjadi salah satu fungsi penting yang menandai
maksud atau sikap penutur ketika mengujarkan sebuah kata atau kalimat lisan.
Berdasarkan penjelasan di atas, intonasi dalam kajian bahasa berperan penting dalam komunikasi lisan,
khususnya pidato. Hal tersebut dikarenakan dalam sebuah pidato biasanya tersirat suatu maksud dan
tujuan tertentu yang ingin disampaikan oleh penuturnya, seperti tujuan mempengaruhi, mengajak, atau
menggerakkan. Melalui penggunaan intonasi yang tepat, tujuan atau maksud yang ingin disampaikan
oleh penuturnya akan lebih jelas dan mudah tersampaikan. Selain itu, sikap atau emosi penutur ketika
mengujarkan kata atau kalimat yang menyiratkan maksud tersebut juga lebih tampak secara jelas. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Pane (Halim, 1984:28), yang menyatakan bahwa intonasi memiliki
fungsi emosional, yaitu menyampaikan arti emosional dari penutur.
Berbicara tentang peran intonasi dalam sebuah pidato, maka Soekarno adalah salah satu penutur yang
memaksimaklkan fungsi penting intonasi dalam setiap pidatonya. Dalam berpidato, Soekarno memiliki
kekhasan yang ditunjukkan dari penggunaan bahasanya yang mudah dicerna dan diterima oleh
masyarakat serta penggunaan intonasinya yang mendukung kejelasan dari maksud yang ingin
disampaikan oleh Soekarno. Melalui penggunaan bahasa tersebut banyak masyarakat pada masa itu
berbondong-bondong dan rela berdesakan demi untuk mendengarkan pidato yang disampaikan oleh
Soekarno. Bahasa yang menjadi ciri khas dalam pidato Soekarno tersebut diwujudkan dalam bentuk kata
atau kalimat yang menyiratkan maksud dan tujuan agar rakyat dapat terdorong atau tergerak untuk
melakukan suatu tindakan atau aksi seperti yang diharapkan oleh Soekarno. Bentuk kata atau kalimat
yang menyiratkan maksud tersebut dapat berupa kata perintah baik ajakan atau larangan, serta kata atau
kalimat yang secara tersirat memang menyampaikan maksud untuk tujuan mendorong atau
menggerakkan rakyat agar melakukan suatu tindakan atau aksi. Berdasarkan maksud dari kata atau
kalimat yang diujarkan oleh Soekarno bersifat mendorong dan menggerakkan rakyat menunjukkan
bahwa pidato Soekarno ini bersifat agitatif. Menurut Sastropoetro (1988:126) agitatif memiliki
pengertian sebagai suatu usaha untuk mempengaruhi dan menggerakkan massa. Usaha tersebut adalah
melalui sebuah komunikasi, dalam hal ini pidato.
Selain dari segi bahasa berupa kata atau kalimat yang digunakan dalam pidato Soekarno, penggunaan
intonasi yang menunjukkan suatu sikap atau emosi Soekarno pada saat mengujarkan kata atau kalimat
yang sifatnya agitatif tersebut juga menjadi ciri khas dalam pidato Soekarno. Sikap atau emosi Soekarno
tersebut dapat ditunjukkan dari penggunaan intonasinya di setiap akhir tuturan yang dapat berupa alir
nada naik dan alir nada turun. Intonasi merupakan bagian dari fonetik suprasegmental yang mengkaji
tentang frekuensi fundamental dari gelombang bunyi yang dihasilkan oleh getaran pita suara. Intonasi
juga dapat dikatakan sebagai lagu kalimat atau rima kalimat. Penjelasan tersebut sejalan dengan
pemikiran Pane (Halim, 1984:28) yang menjelaskan bahwa intonasi merupakan lagu kalimat atau rima
kalimat yang keduanya merupakan ekspresi tekanan kalimat. Lagu kalimat dalam hal ini menyampaikan
arti emosional, sedangkan rima kalimat mengandung arti gramatikal. Menurut Keraf (1991) intonasi
merupakan kerja sama antara nada, tekanan, durasi, dan perhentian-perhentian yang menyertai suatu
tutur, dari awal hingga perhentian yang terakhir.
Berkaitan dengan ciri khas pidato Soekarno yang pertama, didapatkan beberapa data melalui observasi
awal yang menunjukkan adanya bentuk kata atau kalimat yang sifatnya agitatif sebagai berikut.
(1) Ayo bangsa Indonesia. Dengan jiwa yang berseri-seri, mari berjalan terus.
(2) Jangan berhenti, revolusimu belum selesai.
(3) Hei seluruh bangsa Indonesia! tetap tegakkenlah kepalamu, jangan mundur!
(4) Sekali merdeka tetap merdeka! merdeka! merdeka buat selama-lamanya!
(5) Pancasila, pancaazimat, trisakti, harus kita pertahanken terus, malahan harus kita
pertumbuhken terus.
Kelima data di atas diperoleh oleh peneliti dari rekaman suara pidato Soekarno dengan topik pidato yang
berbeda-beda. Data berupa kata atau kalimat yang bercetak tebal di atas merupakan data yang menyiratkan
adanya maksud agitatif.
Kelima data di atas merupakan hasil transkripsi dari rekaman suara pidato Soekarno. Kelima data di atas
ketika masih berbentuk ujaran lisan Soekarno tampak penggunaan intonasinya yang terkait nada, tekanan,
dan jeda yang berbeda-beda. Untuk mengetahui penggunaan intonasi pada kelima data di atas, maka pada
penelitian ini dimanfaatkan sebuah program komputer bernama PRAAT. PRAAT adalah nama dari sebuah
program analisis tuturan yang diterbitkan oleh Institute for Perception Research, Eindhoven, Belanda.
Melalui program tersebut dapat diketahui adanya teknik-teknik pencitraan yaitu pelacakan gerak pita suara
maupun pengukuran ciri akustik untuk melihat adanya intonasi. Melalui pengkajian terhadap penggunaan
intonasi yang berupa nada, tekanan, dan jeda dalam kata atau kalimat. lisan yang sifatnya agitatif dapat
menunjukkan ciri khas yang kedua dalam pidato Soekarno, yaitu yang berkaitan dengan sikap atau emosi
Soekarno ketika mengujarkan kata atau kalimat tersebut.
Tujuan penelitian ini, yakni menghasilkan deskripsi tentang intonasi agitatif dalam pidato Soekarno.
Intonasi tersebut berupa nada, tekanan, dan jeda dalam ujaran lisan Soekarno yang sifatnya agitatif.
Intonasi merupakan bagian dari fonetik suprasegmental yang meliputi aspek fisiologikal, akustik, dan
perseptual. Pane (Halim, 1984:28), menyatakan bahwa intonasi adalah lagu kalimat atau rima kalimat yang
keduanya merupakan ekspresi tekanan kalimat. Lagu kalimat dalam hal ini menyampaikan arti emosional,
sedangkan rima kalimat mengandung arti gramatikal. Dari sudut pandang Yallop dan Clark (Sugiyono,
2003:27), intonasi tidak mengubah arti leksikal, tetapi intonasi dapat menjelaskan maksud atau sikap
penutur. Jadi, dapat disimpulkan bahwa intonasi merupakan bagian dari fonetik suprasegmantal yang
khusus mengaji bunyi sebagai hasil dari getaran pita suara yang dapat dinyatakan dalam frekuensi tertentu
melalui pengukuran ciri akustik. Intonasi memiliki fungsi gramatikal dan fungsi emosional, yang mana
pada fungsi emosional intonasi dapat menjelaskan maksud atau sikap penutur.
Intonasi berkaitan dengan nada. Nada merupakan tinggi rendahnya suatu bunyi dalam ujaran lisan.
Nooteboom (Yuwono, dkk, 2007:44) menjelaskan bahwa secara fisik, ketinggian nada bergantung pada
banyaknya getaran pada pita suara. Semakin banyak getaran yang dihasilkan oleh pita suara, semakin tinggi
pula nada bunyi yang dihasilkan. Penjelasan tersebut merupakan pengertian dari frekuensi. Frekuensi
merupakan jumlah getaran udara tiap satuan detik yang menentukan tinggi-rendahnya titinada atau nada.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dinyatakan bahwa besar kecilnya frekuensi dalam ujaran lisan
menjadi penentu suatu ujaran dapat dikatakan bernada tinggi, sedang, atau rendah. Selain frekuensi, nada
juga ditentukan oleh perubahan gerak alir nada. Dalam intonasi, alir nada merupakan satuan terkecil
analisis perseptual. Satuan-satuan alir nada ini berkonfigurasi satu sama lain yang pada akhirnya
membentuk kontur intonasi. Dalam konsep alir nada dikenal juga istilah inklinasi dan deklinasi. Inklinasi
menandai alir nada yang bergerak naik dari awal ujaran hingga akhir ujaran, sedangkan deklinasi menandai
alir nada yang bergerak turun dari awal ujaran hingga akhir ujaran. Perubahan gerak alir nada naik dan alir
nada turun tersebut berpengaruh juga terhadap nilai frekuensinya, sehingga ketika alir nada bergerak naik
maka nilai frekuensinya juga naik, sebaliknya ketika alir nada bergerak turun maka frekuensinya juga ikut
turun. Oleh karena itu, besar kecilnya nilai frekuensi dan perubahan gerak alir nada menjadi penentu suatu
ujaran dikatakan bernada tinggi atau rendah atau bernada naik atau turun.
Tekanan berkaitan dengan masalah keras lemahnya bunyi. Suatu bunyi segmental yang diucapkan dengan
arus udara yang kuat sehingga menyebabkan amplitudonya melebar, pasti diikuti dengan tekanan keras.
Sebaliknya, sebuah bunyi segmental yang diucapkan dengan arus udara yang tidak kuat hingga
amplitudonya menyempit, pasti diikuti dengan tekanan lemah. Kaitannya dengan tekanan, intensitas adalah
salah satu ciri akustik yang menandai tekanan. Ciri akustik intensitas biasanya diukur dengan skala desibel
(dB). Dalam tuturan lisan, intensitas direpresentasikan dalam besar amplitudo gelombang bunyi. Artinya
semakin besar amplitudo gelombang suara maka semakin besar pula intensitas bunyi tersebut. Selain itu,
tekanan juga ditentukan oleh tinggi-rendah frekuensi nada. Ketika frekuensi nada suatu ujaran tinggi, tidak
selamanya intensitas tekanannya juga tinggi. Hal tersebut dikarenakan ambang kepekaan terhadap
intensitas sangat bervariasi bergantung individu dan situasinya serta bergantung pula pada ciri akustik
frekuensi nadanya.
Jeda merupakan hentian bunyi dalam arus ujaran. Menurut Halim (1984:95) jeda dibagi atas jeda final dan
jeda tentatif. Jeda final menandai batas akhir suatu ujaran, sedangkan jeda tentatif atau yang bisa disebut
sebagai jeda bukan final menandai batas terminal kelompok jeda sebelumnya dan juga menandai batas
inisial kelompok jeda berikutnya. Umumnya ada beberapa faktor tertentu yang menentukan ujaran
seseorang, seperti pribadi penutur, kebiasaan berujar, emosi penutur, dan peristiwa tempat pembicaraan itu
terjadi. Terkadang dalam hal kecepatan ujaran dapat bergantung kepada tingkat formalitas peristiwa itu
(Halim, 1984:95). Semakin formal peristiwa berlangsungnya ujaran, maka semakin besar kemungkinan
penutur berbicara cepat. Selain itu, sikap kesengajaan, kehati-hatian, maupun keragu-raguan cenderung
mengurangi kecepatan ujaran tersebut, bahkan kemungkinan penutur dapat berhenti kapan saja jika terjadi
keraguan.
Penggunaan intonasi yang berkaitan dengan nada, tekanan, dan jeda dalam kata atau kalimat lisan
Soekarno yang sifatnya agitatif ini dapat berfungsi untuk mengetahui sikap atau emosi Soekarno pada saat
mengujarkan kata atau kalimat tersebut, selain itu dapat juga diketahui bagian kata mana yang menjadi inti
dari pembicaraan Soekarno. Sikap atau emosi Soekarno pada saat mengujarkan kata atau kalimat tersebut
dapat terlihat melalui pengukuran nada yang berfokus pada perubahan gerak alir nada dan nilai
frekuensinya. Sedangkan untuk memperjelas bagian kata yang menjadi inti agitatif biasanya diberikan
tekanan keras oleh Soekarno dan hal tersebut dapat diukur melalui penentuan nilai intensitas dari ujaran
yang diteliti.
Fenomena kebahasaan di atas menjadi unik untuk dikaji karena dari sinilah kita tidak hanya mengetahui
bagaimana penggunaan intonasi agitatif dalam pidato Soekarno, tetapi dapat juga diketahui kecenderungan
intonasi yang digunakan oleh Soekarno dalam mengujarkan kata atau kalimat lisan yang sifatnya agitatif
tersebut.

METODE
Penelitian ini menggunakan empat rekaman suara pidato Soekarno yang diperoleh melalui berbagai
sumber di internet. Alasan peneliti menggunakan empat rekaman tersebut adalah karena keempat
rekaman suara tersebut yang di dalamnya terdapat kata atau kalimat Soekarno yang sifatnya agitatif
dan empat rekaman tersebut jua memiliki kualitas suara yang jernih atau tidak bertabrakan dengan
suara-suara yang lain. Keempat sumber data tersebut masing-masing berbeda topik pembicaraan.
Sumber data (1) pidato HUT-RI 1953, (2) pidato maulid nabi 1963, (3) pidato jasmerah HUT-RI 1966,
dan (4) pidato berjenis ceramah (tidak diketahui topik pidatonya).
Data dalam penelitian ini adalah kata atau kalimat lisan dalam pidato Soekarno yang sifatnya agitatif.
Kata atau kalimat lisan yang sifatnya agitatif dalam pengertian ini adalah kata atau kalimat yang
dilisankan atau diujarkan oleh Soekarno yang sifatnya mendorong seseorang untuk melakukan suatu
tindakan atau aksi. Dalam kata atau kalimat lisan yang sifatnya agitatif tersebut terdapat intonasi yang
berkaitan dengan tinggi-rendah nada, tekanan, dan jeda.
Penelitian ini menggunakan dua metode untuk pengumpulan data yakni metode dokumentasi dan metode
simak atau metode observasi. Dalam metode dokumentasi, sumber data maupun data sudah tersedia dan
siap pakai, peneliti hanya perlu menemukan dan menentukan data yang akan dijadikan penelitian.
Metode simak dilakukan dengan cara mengamati sumber data yang berbentuk dokumen tersebut. Data
yang berbentuk dokumen tersebut yang berupa kalimat lisan tidak seluruhnya akan digunakan, tetapi
dipilih data yang menunjukkan kata atau kalimat lisan yang sifatnya agitatif. Teknik pengumpulan data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik simak bebas libat cakap (SBLC). Dalam teknik SBLC
ini peneliti hanya sebagai pengamat, yang artinya peneliti tidak perlu terlibat dalam peristiwa
penggunaan bahasa yang diteliti. Instrumen pengumpulan data dalam penelitian ini adalah human
instrument (diri peneliti sendiri). Peneliti sebagai instrumen pengumpulan data memiliki pengertian
bahwa peneliti hanya terlibat dalam proses pengumpulan data kebahasaan tanpa terlibat langsung dalam
munculnya data tentang peristiwa kebahasaan.
Pada pengumpulan data, dilakukan langkah - langkah sebagai berikut.
1) Pencarian sumber data berupa rekaman suara pidato Soekarno yang ada di internet dengan
berdasar pada dua kriteria sumber data yang telah disebut sebelumnya.
2) Mengunduh rekaman pidato Soekarno yang tersedia di internet.
3) Menyimak rekaman pidato Soekarno yang akan dijadikan penelitian untuk mendapatkan data
yang sesuai dengan fokus penelitian.
Metode yang digunakan dalam analisis data penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif
ini bertujuan untuk memaparkan hasil pengolahan data dengan cara mendeskripsikan secara objektif data
yang telah didapat melalui proses pengolahan data. Metode tersebut digunakan sesuai dengan tujuan
penelitian yaitu untuk menghasilkan deskripsi tentang intonasi agitatif dalam pidato Soekarno. Dalam
penyajian hasil analisis data menggunakan metode deskriptif, data diolah terlebih dahulu ke dalam suatu
program komputer yang dikenal dengan nama program “PRAAT” untuk menghasilkan gambaran grafik
dari gelombang suara yang di dalamnya terdapat juga penjelasan tentang ukuran tinggi-rendahnya nada,
tekanan, dan jeda. Dengan demikian, peneliti berusaha menganalisis data dengan seluruh kekayaan
informasi tentang intonasi agitatif pidato Soekarno sebagaimana yang terekam pada tahap pengumpulan
data. Berdasarkan penegasan atas konsep deskriptif di atas, maka untuk teknik analisis data ini peneliti
menggunakan teknik deskriptif analitis. Teknik deskriptif analitis ini digunakan untuk menyajikan data
dari hasil analisis menggunakan program PRAAT. Instrumen analisis data dalam penelitian ini
menggunakan sebuah alat yang berupa program Praat. Cara kerja program ini adalah peneliti harus
memindahkan rekaman suara pidato yang telah diperoleh ke dalam program praat, selanjutnya ada empat
prosedur yang harus dilalui, di antaranya:
1) Membuka program praat
2) Membuka record sound (rekaman pidato Soekarno yang telah siap pakai)
Cara membuka record sound adalah dengan klik menu read yang ada di jendela praat object,
kemudian klik read from file, kemudian pilih file rekaman yang akan dianalisis.
3) Memutar rekaman dan edit rekaman, dengan cara klik menu edit yang berada di sebelah kanan
jendela praat object.
4) Menyimpan ke dalam write to WAV pada praat
Setelah semua proses edit telah dilakukan, semua proses tersebut harus disimpan agar nantinya
dapat dilakukan pengeditan ulang jika dirasa ada yang perlu diedit kembali. Cara menyimpannya
adalah dengan klik menu write yang ada di jendela praat object, kemudian klik write to WAV atau
write to file, kemudian klik save.
Pada pelaksanaan analisis data, dilakukan langkah -langkah sebagai berikut.
1) Transkrip data
2) Analisis Data Menggunakan Program PRAAT
a. Membuka Data Bunyi
b. Edit Data Bunyi
c. Segmentasi Bunyi
3) Penyajian hasil analisis data

HASIL DAN PEMBAHASAN


Berdasarkan data yang diperoleh dan dianalisis, intonasi agitatif dalam pidato Soekarno dapat dilihat
atau ditentukan dengan cara melakukan pengukuran ciri akustik pada nada, tekanan, dan jeda dalam
ujaran lisan tersebut. Nada dapat berfungsi untuk menentukan sikap atau emosi penutur ketika
mengujarkan suatu ujaran yang sifatnya agitatif. Tekanan berfungsi untuk memperjelas bagian penting
dari ujaran yang sifatnya agitatif. Jeda berfungsi untuk memilah ujaran yang dipentingkan atau dalam
kesatuan ujaran yang sifatnya agitatif serta memberikan kesempatan kepada pendengar agar dapat
mencerna kata-kata yang disampaikan oleh agitator yaitu Soekarno.

1. Nada dalam Pidato Soekarno


Nada merupakan bagian dari intonasi. Nada berkaitan dengan tinggi-rendah bunyi dalam ujaran lisan.
Nada agitatif merupakan bagian dari intonasi yang berupa tinggi-rendah bunyi dalam ujaran lisan yang
ujaran tersebut sifatnya mendorong seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau aksi. Penggunaan
nada dalam suatu ujaran lisan dapat ditentukan dengan cara mengidentifikasi serta mendeskripsikan
perubahan gerak alir nada dan frekuensinya. Hal tersebut dilakukan karena baik alir nada maupun
frekuensi merupakan wujud atau realisasi dari adanya nada dalam sebuah ujaran lisan. Dalam hal alir
nada, dikenal adanya istilah naik, turun, atau datar. Istilah tersebut menunjukkan adanya perubahan gerak
alir nada dalam satu ujaran baik kata maupun kalimat. Perubahan gerak alir nada yang berupa naik, turun,
atau datar dapat menujukkan adanya perubahan nilai frekuensi. Oleh karena itu, nada dalam sebuah
ujaran lisan dapat dijelaskan melalui pendeskripsian secara mendalam tentang perubahan gerak alir nada
dan besar kecil frekuensinya.
Untuk menjelaskan arti dari gerak alir nada pada tampilan fonetik, maka akan dideskripsikan gerak alir
nada sebagai berikut.
a. Pendeskripsian alir nada mendatar
Deskripsi verbal : datar
Deskripsi lambang

b. Pendeskripsian alir nada menurun landai dan naik landai


Deskripsi verbal : turun landai
Deskripsi verbal : naik landai

c. Pendeskripsian alir nada naik dan turun


Deskripsi verbal : naik
Deskripsi verbal : turun

d. Pendeskripsian perubahan alir nada pada suku kata yang sama menggunakan kombinasi istilah
naik, turun, atau mendatar. Contoh; alir nada naik dan turun yang terjadi secara berurutan pada
satu suku kata dideskripsikan sebagai berikut.
Deskripsi verbal : naik-turun
Deskripsi lambang
Penjelasan di atas tentang pendeskripsian gerak alir nada yang terdapat pada tampilan fonetik didasarkan
pada penelitian yang pernah dilakukan oleh Irawan (2011). Pendeskripsian alir nada tersebut dapat
berfungsi memberikan gambaran secara rinci dan jelas mengenai nada yang dihasilkan oleh suatu ujaran.
Berikut ini terdapat data rekaman pidato Soekarno yang sudah melaui proses transkrip data.
(1) Ayo bangsa Indonesia. Dengan jiwa yang berseri-seri, mari berjalan terus.

Data di atas merupakan transkrip data yang diperoleh melalui rekaman pidato Soekarno. Data di atas
merupakan penggalan dari rekaman pidato Soekarno yang dikumandangkan pada saat HUT RI tahun
1953. Berdasarkan konteks kalimatnya, pada data di atas tersirat maksud Soekarno ingin mendorong
semangat perjuangan rakyat yang ditandai dengan kalimat perintah ajakan “mari berjalan terus”.
Dorongan yang diberikan oleh Soekarno tersebut dimaksudkan agar rakyat tidak lemah dan patah
semangat, agar rakyat terdorong terus untuk tidak pernah berhenti melakukan suatu usaha. Dalam hal ini
Soekarno sebagai agitator mengajak rakyat agar bersemarak berjuang dengan penuh semangat. Bentuk
agitatif tersebut secara tulis tersirat maknanya mengagitasi rakyat, mengajak rakyat dengan penuh
semangat untuk terus berjuang. Bentuk agitatif tersebut ketika dilisankan atau dituturkan dengan lisan
oleh Soekarno tampak penggunaan nadanya seperti grafik berikut ini.

(1)

500
Frequency (Hz)

ma ri ber ja lan te rus

0
0 1.457
Time (s)

Gambar 4.4 Nada Agitatif Inklinasi

Data di atas merupakan tampilan fonetik berupa nada yang dihasilkan dari pengujaran kalimat yang
berbunyi “mari berjalan terus”. Kalimat tersebut bersifat mendorong semangat rakyat, sebagaimana yang
telah dijelaskan di atas. Melalui tampilan fonetik, tampak grafik tinggi-rendah nada yang digunakan oleh
Soekarno dalam mengujarkan kalimat agitatif tersebut. Data berupa grafik nada di atas merupakan hasil
dari ketiga tahap yang telah dilalui dalam proses pengolahan data menggunakan PRAAT. Data berupa
rekaman pidato agitatif tersebut ditampilkan persilaba atau persuku kata. Hal tersebut bertujuan agar
perubahan tingkat tinggi-rendahnya nada dapat terlihat lebih jelas dan lebih mudah untuk diketahui
frekuensi kenaikan nadanya.
Pada data berupa tampilan fonetik di atas tampak beberapa titik hitam yang menunjukkan perubahan
gerak alir nada. Pada suku kata “ma” tampak bahwa alir nada bergerak naik-naik landai. Kemudian pada
suku kata “ri” alir nada bergerak mendatar-turun. Pada suku kata “ber” terjadi perubahan gerak alir nada
naik landai-turun. Pada suku kata “ja” alir nada bergerak naik. Pada suku kata “lan” hingga suku kata
“te” alir nada bergerak naik landai. Pada suku kata terakhir yaitu “rus” alir nada bergerak turun-naik.
Berdasarkan penjelasan tersebut tampak bahwa ujaran berbunyi “mari berjalan terus” bernada naik di
akhir ujaran, dengan frekuensi yang juga lebih tinggi dibandingkan dengan frekuensi di awal ujaran.
Nada di awal ujaran yaitu pada suku kata pertama “ma” dimulai dari frekuensi 213 Hz, sedangkan nada
di akhir ujaran yaitu pada suku terakhir kata “rus” berfrekuensi 264,5 Hz. Berdasarkan penjelasan
tersebut tampak bahwa bergeraknya alir nada naik pada akhir ujaran menunjukkan nada yang diujarkan
oleh Soekarno tersebut mengekspresikan suatu dorongan semangat. Gerak alir nada naik pada akhir
ujaran menyiratkan suatu ajakan dan dorongan agar rakyat mau melakukan suatu usaha dan tidak pernah
berhenti untuk melakukan usaha tersebut. Berdasarkan peristiwa fonetik yang terjadi pada ujaran
tersebut, maka dapat dikatakan bahwa ujaran yang menyiratkan bentuk agitatif tersebut mengalami
peristiwa fonetik inklinasi. Inklinasi merupakan peristiwa fonetik yang terjadi ketika frekuensi nada di
akhir ujaran lebih tinggi dibandingkan dengan frekuensi nada pada awal ujaran. Artinya frekuensi nada
yang digunakan untuk mengakhiri ujaran lebih tinggi jika dibandingkan dengan frekuensi nada untuk
memulai suatu ujaran. Selain itu, tampak juga bahwa gerak alir nada pada akhir ujaran adalah naik, dan
hal tersebut membuktikan adanya peristiwa fonetik inklinasi.
Bentuk agitatif dalam pidato Soekarno ada juga yang menyatakan ajakan untuk bertindak dalam bentuk
kata perintah, seperti yang tampak pada data berikut ini.

(2) Hei seluruh bangsa Indonesia. Tetap tegakkenlah kepalamu! Jangan mundur! Tetap derapkenlah
kakimu di muka bumi!

Data (2) di atas merupakan data dari hasil transkrip rekaman pidato Soekarno tahun 1965. Pada potongan
kalimat tersebut tampak beberapa kata yang menyiratkan bentuk agitatif. Kata tersebut yakni
“tegakkenlah” dan “derapkenlah”. Kata “tegakkenlah” menyiratkan suatu perintah atau memprofokasi
rakyat agar dengan gagah berani menatap keadaan dan bertindak. Kata “derapkenlah” menyiratkan suatu
perintah agar rakyat terus bergerak atau bertindak maju dan tidak pernah berhenti. Kata-kata tersebut
ketika diujarkan oleh Soekarno dalam keadaan yang pada masa itu masih masa perjuangan dan
kemerdekaan, tampak penggunaan nadanya seperti data grafik berikut ini.

500
Frequency (Hz)

te gak ken lah

0
0 0.7603
(2a) Time (s)

Gambar 4.13 Nada Agitatif Deklinasi

Data (2a) di atas merupakan kata yang mengandung agitatif. Melalui tampilan fonetik pada data grafik
(2a) tampak perubahan gerak alir nada yang diujarkan pada kata tersebut. Pada kata yang bersifat agitatif
tampak alir nada pada suku kata “te” bergerak turun, kemudian pada suku kata “gak” alir nada bergerak
turun-naik landai. Pada suku kata “ken” alir nada bergerak naik landai-turun landai sampai pada suku
kata terakhir “lah”. Frekuensi nada awal ujaran yakni pada suku kata “te” adalah 243,1 Hz, sedangkan
pada akhir ujaran yakni pada suku kata “lah” 196,3 Hz.
Berdasarkan tampilan fonetik pada data grafik (2a) dan uraian di atas menunjukkan adanya peristiwa
fonetik deklinasi, artinya frekuensi bunyi di awal ujaran lebih tinggi dibandingkan dengan frekuensi
bunyi pada akhir ujaran. Peristiwa fonetik deklinasi pada ujaran tersebut tampak perubahan alir nadanya
yang berangsur-angsur turun. Meskipun begitu dalam tampilan fonetik tersebut tampak bahwa pada suku
kata “ken” alir nadanya bergerak naik landai, yang itu artinya nada agitatif yang bersifat ajakan untuk
bertindak tersebut diujarkan dengan nada yang tidak begitu berlebihan. Peristiwa fonetik deklinasi pada
ujaran Soekarno yang bersifat agitatif berbunyi “tegakkenlah” tersebut menunjukkan nada agitatif yang
lembut atau halus. Ajakan yang dilakukan oleh Soekarno bersifat mempengaruhi dengan halus, tetapi
masih menyiratkan ajakan atau dorongan untuk bertindak.

2. Tekanan dalam Pidato Soekarno


Tekanan berkaitan dengan masalah keras lemahnya bunyi di dalam ujaran lisan. Kaitannya dengan
tekanan, intensitas adalah salah satu ciri akustik yang menandai tekanan. Ciri akustik intensitas biasanya
diukur dengan skala desibel (dB). Dalam tuturan, intensitas direpresentasikan dalam besar amplitudo
gelombang bunyi. Artinya semakin besar amplitudo gelombang suara maka semakin besar pula intensitas
bunyi tersebut.
Berikut ini terdapat data agitatif dalam pidato Soekarno yang mendapat tekanan pada setiap suku katanya.
Jangan berhenti, revolusimu belum selesai. Jangan berhenti, sebab siapa yang berhenti akan
diseret oleh penjara dan siapa yang menentang sorak dan saratnya sejarah, tidak perduli tiada
bangsa apapun, ia akan digiling, digilas oleh sejarah itu sama sekali.

Data (3) di atas merupakan potongan pidato yang dikumandangkan oleh Soekarno pada saat perayaan
hari ulang tahun Republik Indonesia tahun 1963. Pada data (3) di atas terdapat kata yang menyatakan
bentuk agitatif yaitu pada kata yang dicetak tebal berbunyi “jangan berhenti”. Pada data (3) di atas
Soekarno mengujarkan kata “jangan berhenti” sebanyak dua kali. Hal tersebut dimaksudkan oleh
Soekarno agar rakyat merasa terdorong untuk tidak pernah berhenti melakukan perjuangan. Pada kata
“jangan berhenti” menyiratkan adanya profokasi agar tidak mudah menyerah dan terus berjuang. Kata
“jangan berhenti” yang diujarkan oleh Soekarno sebanyak dua kali tersebut ketika sudah dianalisis
menggunakan program PRAAT tampak adanya tekanan pada setiap suku katanya yang dibuktikan
dengan besaran nilai intensitasnya.

(3a)
SOUND-jangan_berhenti_1-Pidato_HUT-RI_195

100
Intensity (dB)

ja ngan ber hen ti

50
0 1.291
Time (s)

(3b)
SOUND-jangan_berhenti_sebab-Pidato_HUT-RI_1953

100
Intensity (dB)

ja ngan ber hen ti

50
0 1.137
1.291
Time (s)

Gambar 4.22 Agitatif Bertekanan

Gambar di atas merupakan tampilan fonetik gelombang bunyi yang dihasilkan dari ujaran agitatif dalam
pidato Soekarno. Agitatif yang berbunyi “jangan berhenti” diujarkan oleh Soekarno sebanyak dua kali
dalam pidatonya pada perayaan HUT RI tahun 1963 (penjelasannya terdapat pada transkrip data nomor
(3) sebelumnya di atas). Data (3a) menunjukkan gelombang bunyi yang terjadi pada agitatif “jangan
berhenti” yang bagian pertama, sedangkan data (3b) menunjukkan gelombang bunyi yang terjadi pada
agitatif “jangan berhenti” yang bagian kedua. Pada data (3a) menjelaskan suatu ujaran agitatif yang
bertekanan. Dalam hal ini, nilai intensitas tertinggi pada data (3a) adalah 88,23 dB yang terdapat pada
suku kata pertama berbunyi “ja”, sedangkan nilai intensitas terendahnya adalah 75,65 dB. Hal tersebut
menunjukkan bahwa nilai intensitas yang tedapat pada ujaran agitatif di atas berkategori sebagai tekanan
keras. Oleh karena itu, ujaran agitatif dengan gelombang bunyi yang tampak pada data (3a) dikatakan
sebagai ujaran agitatif yang bertekanan.
Pada data (3b) dijelaskan mengenai suatu ujaran agitatif yang tidak bertekanan pada akhir ujaran atau
suku kata terakhir berbunyi “ti”. Pada data (3b) nilai intensitas tertingginya sebesar 88,13 dB yang
terdapat pada awal ujaran atau suku pertama berbunyi “ja”, sedangkan nilai intensitas terendahnya
sebesar 68,85 dB yang terdapat pada akhir ujaran berbunyi “ti”. Dengan nilai intensitas terendah sebesar
68,85 dB pada akhir ujaran menunjukkan adanya suatu bunyi yang dapat dikatakan tidak bertekanan
yaitu pada akhir ujarannya, namun untuk keseluruhan suku kata tetap menunjukkan adanya tekanan keras
yang artinya ujaran berbunyi “jangan berhenti” tersebut tetap bertekanan, tetapi ditonjolkan pada “jangan
berhenti” yang bagian pertama (3a).
Berdasarkan data dan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa menurunnya nilai intensitas pada ujaran
agitatif yang bagian kedua menunjukkan tingkat kelantangan suara atau intensitas yang tidak begitu
berlebihan, sedangkan tingkat kelantangan suara atau intensitas tinggi yang terjadi pada ujaran agitatif
yang bagian pertama menunjukkan inti agitatif terdapat pada ujaran tersebut. Hal tersebut menunjukkan
bahwa pemberian tekanan keras pada suatu ujaran dapat menentukan ujaran tersebut sebagai inti atau
pokok pembicaraan. Dan meskipun data (3a) dan (3b) sama-sama menunjukkan ujaran yang bersifat
agitatif, tetapi kedua ujaran tersebut memiliki tingkat kelantangan suara yang berbeda.

3. Jeda dalam Pidato Soekarno


Tidak semua bentuk agitatif dalam pidato Soekarno memiliki jeda. Jeda agitatif dalam pidato Soekarno
hanya terdapat pada bentuk agitatif yang strukturnya berupa ujaran yang panjang atau kalimat. Berikut
terdapat data agitatif pidato Soekarno yang termasuk dalam ujaran panjang dan di dalamnya terdapat
jeda.

Pancasila, pancaazimat, trisakti, harus kita pertahanken terus, malahan harus kita
pertumbuhken terus.

Data (4) di atas merupakan hasil transkripsi data dari rekaman pidato Soekarno yang dikumandangkan
pada tahun 1966 dengan tema “jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah”. Pada data di atas terdapat
bentuk agitatif yang ditandai dengan kalimat “harus kita pertahanken terus” dan kalimat “malahan harus
kita pertumbuhken terus”. Pada data (4) agitatif yang tampak adalah berbentuk kalimat. Agitatif yang
diujarkan oleh Soekarno tersebut menyiratkan suatu dorongan atau ajakan dari Soekarno agar rakyat
dapat mempertahankan dan menumbuhkan terus nilai-nilai baik pancasila, pancaazimat, dan trisakti.
Melalui bentuk agitatif tersebut Soekarno bermaksud membakar semangat rakyat agar rakyat tidak
pernah meninggalkan nilai-nilai tersebut. Kalimat agitatif tersebut jika dilisankan oleh Soekarno tampak
di dalamnya terdapat kesenyapan pendek yang tampak pada tampilan fonetik sebagai berikut.

(4)

500
Frequency (Hz)

ma la han ha rus ki ta per tum buh ken te rus

0
0 2.486
Time (s)

Gambar 4.26 Jeda Tentatif dalam Kalimat Agitatif

Data (4) menunjukkan suatu bentuk agitatif dalam pidato Soekarno yang strukturnya berbentuk ujaran
yang panjang atau kalimat. Data (4) di atas merupakan tampilan fonetik yang menunjukkan perubahan
gerak alir nada, namun pada tampilan fonetik data di atas tampak adanya kotak putih kosong yang berada
di tengah-tengah suku kata “ta” dari kata “kita” dan suku kata “per” dari kata “pertumbuhken”. Pada data
(4) dapat dijelaskan bahwa terdapat jeda dalam agitatif pidato Soekarno yang berupa ujaran panjang atau
kalimat. Jeda pada data tersebut merupakan jeda tentatif karena jeda tersebut berada di tengah-tengah
ujaran atau kalimat. Penempatan jeda tentatif dalam tuturan agitatif pidato Soekarno disesuaikan dengan
kata utama atau yang menjadi inti dari agitatif tersebut. Dalam hal ini, Soekarno menempatkan jeda
tentatif pada posisi tengah antara kata “malahan harus kita” dengan kata “pertumbuhken terus” dengan
tujuan agar makna atau maksud yang ingin disampaikan oleh Soekarno tetap dapat berterima meskipun
diberikan jeda dalam ujaran panjang atau kalimat tersebut. Jika jeda tentatif ditempatkan pada posisi
tengah antara kata “malahan harus” dengan “kita pertahanken terus” maknanya akan kurang mengagitasi
karena pada kata “malahan harus” kurang menunjukkan siapa yang dikatakan harus. Sedangkan pada
saat jeda tentatif ditempatkan pada posisi antara kata “malahan harus kita” dengan kata “pertumbuhken
terus” dapat tampak lebih jelas siapa yang dikatakan harus yaitu “kita” dan harus apa yaitu
mempertumbuhkan terus sesuatu yang dimaksud oleh Soekarno. Jeda tentatif yang terdapat pada data (4)
berdurasi 0,141 detik. Nilai durasi tersebut menunjukkan durasi yang pendek pada jeda tentatif data di
atas. Pendeknya durasi jeda tentatif tersebut dimaksudkan agar makna yang tersirat dalam agitatif
tersebut dapat secara langsung tersampaikan dengan jelas dan tidak terhambat serta memberikan
kesempatan pada pendengar agar dapat mencerna maksud yang disampaikan melalui kata-kata tersebut

4. Pembahasan
Berdasarkan analisis pada hasil penelitian dapat dinyatakan bahwa intonasi berkaitan dengan nada,
tekanan, dan jeda. Nada merupakan tinggi rendah bunyi dalam ujaran lisan. Nada dalam suatu ujaran
lisan berkaitan dengan frekuensi dan perubahan gerak alir nada. Apabila suatu bunyi segmental
diucapkan dengan frekuensi getaran yang tinggi, tentu akan disertai dengan nada tinggi, sebaliknya
apabila bunyi segmental diucapkan dengan frekuensi getaran yang rendah, tentu akan disertai juga
dengan nada rendah. Frekuensi merupakan banyaknya getaran yang terjadi dalam setiap waktu.
Frekuensi dinyatakan dalam satuan berupa Hertz (Hz). Frekuensi sebesar 1 Hz menyatakan peristiwa
getaran yang terjadi satu kali per detik. Melalui program PRAAT, nilai frekuensi suatu ujaran yang
dianalisis dapat terbaca dengan jelas, caranya yaitu dengan mengklik salah satu poin dari bunyi yang
akan dilihat besaran frekuensinya. Selain frekuensi, penggunaan nada dalam suatu ujaran lisan juga dapat
ditentukan melalui gerak perubahan alir nada. Perubahan gerak alir nada dapat berupa alir nada naik atau
alir nada turun. Dalam penelitian ini, perubahan gerak alir nada dapat dilihat melalui tampilan fonetik
dari program PRAAT yang berupa grafik naik-turun. Grafik naik-turun dalam tampilan fonetik tersebut
menyatakan suatu perubahan gerak alir nada yang terjadi dalam suatu ujaran yang dianalisis. Perubahan
gerak alir nada dalam penelitian ini dinyatakan dalam bentuk istilah naik, turun, naik-naik-turun, naik
landai-turun landai. Istilah naik ketika terjadi perubahan gerak alir nada berupa garis dari bawah ke atas
(menunjukkan nilai frekuensinya juga bertambah), istilah turun ketika terjadi perubahan gerak alir nada
berupa garis dari atas ke bawah (menunjukkan nilai frekuensinya juga berkurang atau turun), istilah naik-
turun ketika terjadi perubahan gerak alir nada dalam satu suku kata yang sama berupa garis yang bergerak
dari bawah ke atas kemudian ke bawah lagi atau turun lagi (menunjukkan nilai frekuensinya yang juga
iku naik-turun), istilah naik landai dan turun landai ketika terjadi perubahan gerak alir nada berupa garis
dari bawak ke atas atau dari atas ke bawah yang tidak terlalu tajam (artinya frekuensinya hanya naik atau
turun beberapa hertz).
Nada dalam kajian intonasi memiliki fungsi emosional, artinya penggunaan nada dalam suatu ujaran
dapat menentukan emosi atau sikap penutur ketika mengujarkan suatu kata atau kalimat. Dalam hal ini,
nada agitatif memiliki pengertian sebagai tinggi-rendah bunyi dalam ujaran lisan yang sifatnya
mendorong seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau aksi. Penggunaan tinggi-rendah bunyi dalam
ujaran lisan tersebut dapat berfungsi menentukan sikap atau emosi penutur ketika mengujarkan kata atau
kalimat yang sifatnya mempengaruhi, menggerakan, atau mendorong semangat juang rakyat. Agitatif
dalam hal ini memiliki pengertian sebagai suatu usaha untuk mempengaruhi dan menggerakkan massa
atau rakyat. Usaha tersebut adalah melalui sebuah komunikasi. Agitatif dalam pidato Soekarno ada yang
berbentuk ujaran pendek atau kata/frasa dan ada pula yang berbentuk ujaran panjang atau kalimat.
Berdasarkan hasil penelitian, nada agitatif dalam pidato Soekarno dapat terjadi secara inklinasi dan
deklinasi. Inklinasi merupakan peristiwa fonetik yang terjadi ketika frekuensi nada di akhir ujaran lebih
tinggi dibandingkan dengan frekuensi di awal ujaran. Pada peristiwa fonetik inklinasi ini terjadi
perubahan gerak alir nada yang secara berangsur-angsur naik dari awal hingga akhir ujaran. Nada agitatif
dalam pidato Soekarno yang terjadi secara inklinasi menunjukkan adanya suatu sikap atau emosi
Soekarno yang tampak bersemangat (semangatnya berlebih atau berapi-api). Dalam hal ini, nada agitatif
yang terjadi secara inklinasi tersebut menunjukkan terjadinya suatu peningkatan emosi atau sikap yang
berapi-api secara berlebihan dari Soekarno. Hal tersebut dimaksudkan untuk dapat lebih membakar
semangat perjuangan rakyat dan menggerakkan rakyat agar dapat terus bertindak melakukan perjuangan.
Sebaliknya, ketika nada agitatif dalam pidato Soekarno terjadi secara deklinasi menandakan adanya
perubahan gerak alir nada dan frekuensi di awal ujaran lebih tinggi dibandingkan dengan di akhir ujaran.
Nada agitatif yang terjadi secara deklinasi tersebut menunjukkan suatu sikap Soekarno dalam
menyampaikan kata atau kalimat agitasinya tersebut dengan sikap atau emosi yang mengalami
penurunan. Artinya, sikap atau emosi Soekarno ketika mengujarkan kata atau kalimat tersebut kurang
disertai dengan semangat yang berapi-api. Dalam hal ini, usaha Soekarno dalam mendorong,
mempengaruhi, dan menggerakkan rakyat ditunjukkan dengan sikap atau emosi yang menyatakan ajakan
halus, tetapi tetap menyiratkan maksud mendorong rakyat untuk melakukan suatu usaha atau tindakan.
Peristiwa fonetik yang berupa inklinasi dan deklinasi tersebut didapat atau ditentukan melalui
pengukuran ciri akustik berupa frekuensi dan perubahan gerak alir nada yang tampak pada tampilan
fonetik program PRAAT.
Adanya nada agitatif yang terjadi secara inklinasi dan deklinasi tersebut dapat disebabkan karena
perbedaan posisi dan pemilihan bentuk kata atau kalimat agitatif yang diujarkan. Nada agitatif yang
terjadi secara deklinasi cenderung terdapat pada agitatif berbentuk kata perintah baik larangan maupun
ajakan serta cenderung terdapat pada bentuk kata yang diujarkan sebanyak dua kali, seperti yang tampak
pada agitatif berbunyi “jangan berhenti” dan “bangun kembali”. Sedangkan untuk nada agitatif yang
terjadi secara inklinasi cenderung terdapat pada agitatif yang posisinya sebagai kata atau kalimat akhir,
artinya setelah bentuk agitatif tersebut tidak ada bentuk kata atau kalimat lain yang menyertainya.
Tekanan berkaitan dengan keras lemahnya bunyi dalam ujaran lisan. Untuk menentukan keras lemahnya
suatu bunyi maka dilakukan dengan cara mengukur besar kecilnya nilai intensitas. Intensitas merupakan
salah satu ciri akustik yang menandai tekanan. Oleh sebab itu, ketika berbicara mengenai tekanan, maka
sebenarnya juga berbicara mengenai intensitas. Dalam tuturan atau ujaran lisan, intensitas
direpresentasikan dalam besar amplitudo gelombang bunyi. Artinya semakin besar amplitudo gelombang
suara maka semakin besar pula intensitas bunyi tersebut. Intensitas biasanya diukur dengan skala desibel
(dB). Untuk menentukan suatu ujaran bertekanan keras atau lemah, maka dicari terlebih dahulu nilai
intensitas tertinggi dan terendahnya. Dari pencarian nilai intensitas tertinggi dan terendah tersebut akan
didapat nilai kisaran yang dapat menentukan berapa nilai intensitas yang berkategori sebagai tekanan
keras dan tekanan lemah. Penentuan nilai kisaran tersebut dihitung dengan menggunakan cara
penghitungan berikut ini.

It – Ir
= 𝑲𝒔
2

Keterangan:

It : Intensitas tertinggi

Ir : Intensitas terendah

Ks : Nilai kisaran

Suatu ujaran yang memiliki nilai intensitas antara 73,55 dB – 89,42 dB berkategori sebagai tekanan keras,
sedangkan ujaran yang memiliki nilai intensitas antara 57,67 dB – 73,54 dB berkategori sebagai tekanan
lemah. Ujaran yang berkategori sebagai tekanan keras dikatakan sebagai ujaran yang bertekanan,
sedangkan ujaran yang berkategori sebagai tekanan lemah dikatakan sebagai ujaran yang tidak
bertekanan. Ujaran agitatif baik yang berbentuk kata atau kalimat dalam program PRAAT dianalisis
persilaba atau per suku kata. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui bunyi apa yang diujarkan dengan
tekanan keras dan bunyi apa yang diujarkan dengan tekanan lemah.
Tekanan agitatif merupakan keras-lemahnya bunyi dalam ujaran lisan yang sifatnya mempengaruhi,
menggerakkan, dan mendorong seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau aksi. Pemberian tekanan
dalam ujaran lisan dapat menentukan bagian inti atau pokok dari suatu ujaran. Dalam hal ini, pemberian
tekanan keras baik dalam ujaran lisan yang bersifat agitatif menunjukkan adanya suatu bagian yang
dipentingkan dalam ujaran tersebut. Dalam penelitian ini, agitatif dalam bentuk kata atau frasa cenderung
bertekanan atau berkategori tekanan keras. Dengan memberikan tekanan keras pada agitatif yang
berbentuk kata atau frasa secara keseluruhan menunjukkan bahwa penutur yakni Soekarno ingin
memperjelas maksud yang disampaikannya melalui kata atau frasa tersebut. Lain halnya dengan agitatif
dalam bentuk kalimat, tekanan keras cenderung jatuh pada bentuk verba atau predikatnya. Hal tersebut
seperti yang terjadi pada agitatif berbunyi “gestok kita kutuk”, di mana pada ujaran tersebut tekanan
keras jatuh pada kata “kutuk”. Hal tersebut menunjukkan bahwa tekanan agitatif berfungsi untuk
memperjelas maksud yang ingin disampaikan oleh sang agitator serta memberikan kejelasan terhadap
kata yang menjadi inti dari agitatif tersebut.
Jeda merupakan perhentian bunyi dalam arus ujaran. Jeda dibagi menjadi dua macam yakni jeda final
dan jeda tentatif (Halim, 1984:95). Jeda final merupakan hentian dalam arus ujaran yang menandai
berakhirnya satu kalimat, sedangkan jeda tentatif merupakan hentian bunyi dalam arus ujaran yang
berada di tengah-tengah kalimat, biasanya disebut juga dengan istilah jeda bukan final. Panjang-pendek
jeda diukur dengan satuan detik. Jeda agitatif merupakan bagian dari intonasi yang berupa perhentian
bunyi dalam arus ujaran lisan yang sifatnya mempengaruhi, menggerakkan, dan mendorong seseorang
untuk melakukan suatu tindakan atau aksi. Jeda agitatif dalam pidato Soekarno cenderung terdapat pada
ujaran panjang atau kalimat. Ujaran dalam bentuk kata atau frasa yang sifatnya agitatif cenderung tidak
terjadi suatu perhentian. Jeda agitatif dalam pidato Soekarno hanya berupa jeda tentatif yaitu jeda yang
terdapat pada posisi di tengah-tengah ujaran. Durasi kepanjangan jeda agitatif dalam pidato Soekarno
relatif pendek, hal tersebut disebabkan karena ujaran masih dalam kesatuan kalimat serta menjaga makna
atau maksud yang ingin disampaikan oleh penutur yaitu Soekarno dapat tersalurkan dengan baik. Fungsi
adanya jeda dalam ujaran lisan yang sifatnya agitatif adalah untuk memilah bagian penting dari suatu
ujaran serta memberikan kesempatan kepada pendengar untuk mencerna ujaran yang disampaikan.
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, terdapat tiga hal yang dapat disimpulkan, yakni.
a. Nada agitatif dalam pidato Soekarno ada yang terjadi secara inklinasi dan deklinasi. Dikatakan inklinasi
ketika ujaran lisan yang sifatnya agitatif tersebut diujarkan dengan nada naik secara berangsur-angsur dari
awal ujaran hingga akhir ujaran, atau ketika frekuensi nada di akhir ujaran lebih tinggi dibandingkan dengan
di awal ujaran. Dikatakan deklinasi ketika ujaran lisan yang sifatnya agitatif tersebut diujarkan dengan
frekuensi nada di awal ujaran lebih tinggi dibandingkan dengan di akhir ujaran. Deklinasi dalam ujaran yang
sifatnya agitatif tidak selalu ditandai dengan perubahan gerak alir nada menurun, tetapi ditandai dengan
frekuensi nada yang lebih tinggi di awal ujaran dibandingkan dengan di akhir ujaran. Nada agitatif yang
terjadi secara inklinasi dapat menunjukkan sikap atau emosi penutur yang cenderung berlebihan karena
adanya peningkatan frekuensi nada dan perubahan gerak alir nada. Sedangkan nada agitatif yang terjadi
secara deklinasi menunjukkan sikap atau emosi penutur yang cenderung halus karena adanya penurunan
frekuensi nada dan perubahan gerak alir nada. Tinggi-rendahnya frekuensi nada dan perubahan gerak alir
nada dapat menentukan sikap atau emosi penutur ketika mengujarkan kata atau kalimat lisan yang sifatnya
agitatif.
b. Ujaran lisan yang sifatnya agitatif dalam pidato Soekarno ada yang berbentuk ujaran pendek yang terdiri
atas satu atau dua kata, dan ada yang berupa ujaran panjang yakni kalimat. Ujaran lisan pendek cenderung
bertekanan secara keseluruhan. Sedangkan ujaran lisan yang panjang cenderung bertekanan pada bentuk
verba atau predikatnya. Bertekanan artinya tekanan yang terdapat dalam ujaran agitatif tersebut adalah
tekanan keras. Pemberian tekanan keras dalam ujaran lisan yang sifatnya agitatif dimaksudkan untuk
memperjelas maksud penutur terkait dengan sifat ujaran tersebut yang mendorong seseorang untuk
melakukan suatu tindakan atau aksi.
c. Jeda dalam ujaran lisan yang sifatnya agitatif cenderung hanya terdapat pada ujaran lisan yang panjang yakni
yang berbentuk kalimat. Jeda yang terdapat dalam ujaran lisan yang sifatnya agitatif tersebut berupa jeda
tentatif, yakni jeda yang terdapat di tengah-tengah kalimat. Jeda dalam ujaran lisan yang sifatnya agitatif
tersebut berfungsi untuk memilah bagian penting dari suatu ujaran serta memberikan kesempatan kepada
pendengar untuk dapat mencerna maksud ujaran yang disampaikan.

Saran
Berdasarkan hasil penelitian, saran yang dapat diberikan kepada pembaca dan peneliti selanjutnya
adalah sebagai berikut.
a. Penelitian tentang kajian intonasi masih jarang dilakukan, oleh sebab itu disarankan bagi peneliti selanjutnya
untuk melakukan penelitian dengan kajian intonasi, mengingat bahwa saat ini sudah terdapat alat atau
program bernama PRAAT yang dapat menampilkan gelombang bunyi dari hasil getaran pita suara, sehingga
memudahkan peneliti untuk mendapatkan gambaran intonasi.
b. Penelitian ini masih terbatas pada intonasi dalam Pidato Soekarno. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian ini
dapat dikembangkan dengan cara membandingkan penelitian ini dengan penelitian tentang intonasi pidato
presiden-presiden yang lain untuk diketahui perbedaan gaya berpidato masing-masing presiden melalui
intonasinya.
c. Penelitian ini juga terbatas pada Pidato Soeakarno yang terlaksana di luar gedung (non-formal). Bagi peneliti
selanjutnya, penelitian ini dapat dikembangkan dengan melakukan penelitian terhadap Pidato Soekarno yang
terlaksana di dalam gedung (formal), sehingga dapat diketahui perbedaan gaya berpidato Soekarno yang
terlaksana di luar gedung dan di dalam gedung melalui intonasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan, dkk. 2010. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Pusat Bahasa dan Balai
Pustaka.
Creswell, John W. 2014. Research Design (Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed). Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Cruttenden, Alan. 1997. Intonation. Britania Raya: Cambridge University Press.
Daras, Roso. 2001. Aktualisasi Pidato Terakhir Bung Karno: Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah (Never
Leave History). Jakarta: Grasindo.
Denzin, Norman K & Yvonna S. Lincoln. 1994. Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, CA: Sage.
Halim, Amran. 1969. Intonation in Relation to Syntax in Indonesian. Disertasi Universitas Michigan:
Diterbitkan tahun 1984.
Halim, Amran. 1984. Intonasi dalam Hubungannya dengan Sintaksis Bahasa Indonesia. Jakarta: Anggota
IKAPI.
Irawan, Yusup. 2011. Kontras Intonasi Deklaratif-Interogatif Dalam Bahasa Sunda. Tesis Universitas
Indonesia.
Mackey, W.F. 1984. Analisis Bahasa untuk Pengajaran Bahasa. Surabaya: Usaha Nasional.
Mahsun. 2014. Metode Penelitian Bahasa (Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya). Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Marsono. 2006. Fonetik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Muslich, Masnur. 2012. Fonologi Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Pateda, Mansur dan Pulubuhu. 2003. Bahasa Indonesia. Gorontalo: Viladon.
Rumaiyah, Siti. 2013. Prosodi Pisuhan Bahasa Jawa Subdialek Surabaya. Skripsi Universitas Negeri Surabaya:
Tidak Diterbitkan.
Rumpoko, Hadi. 2012. Panduan Pidato Luar Biasa. Yogyakarta: Megabooks.
Sastropoetro, Ahmad Santoso. 1988. Propaganda Salah Satu Bentuk Komunikasi Massa. Bandung: Alumni.
Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press.
Sugiyono. 2003. Pedoman Penelitian Bahasa Lisan: Fonetik. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional.
Thoir, Nazir & Wayan Simpen. 1987. Fonologi. Denpasar: CV Kayumas.
Verhaar, J.WM. 2010. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Yuwono, Untung dkk. 2007. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai