Teori Fix
Teori Fix
1. Pengertian Disabilitas
Disabilitas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang
menyandang (menderita) sesuatu, sedangkan disabilitas merupakan kata bahasa
Indonesia yang berasal dari kata serapan bahasa Inggris Disability yang berarti cacat
atau ketidakmampuan. Anak dengan disabilitas atau sering disebut dengan anak
berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam proses pertumbuhan atau
perkembangannya secara signifikan mengalami kelainan atau penyimpangan
dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya (Triutari, 2014).
Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat, menyatakan bahwa Penyandang Cacat adalah setiap orang yang
mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan
rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari:
a. Penyandang cacat fisik;
b. Penyandang cacat mental; dan
c. Penyandang cacat fisik dan mental (ganda).
Sedangkan dalam undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011
tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi
mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) sudah tidak menggunakan istilah
Penyandang Cacat lagi, diganti dengan istilah Penyandang Disabilitas.
Penyandang Disabilitas adalah orang yang memiliki keterbatasan fisik,
mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama, dimana ketika
ia berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat menyulitkannya untuk
berpartisipasi penuh dan efektif dalam masyarakat berdasarkan kesamaan hak.
Kemudian menurut undang-undang yang terbaru yaitu Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2016, bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami
keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama
yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan
untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan
kesamaan hak.
Menurut WHO, disabilitas adalah suatu ketidakmampuan melaksanakan suatu
aktivitas atau kegiatan tertentu sebagaimana layaknya orang normal, yang disebabkan
oleh kondisi impairment (kehilangan atau ketidakmampuan) baik psikologis, fisiologis
maupun kelainan struktur atau fungsi anatomis yang berhubungan dengan usia dan
masyarakat.
Anak dengan disabilitas dapat dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu :
1. Anak dengan penurunan fungsi tubuh.
2. Anak dengan keterbatasan dalam beraktivitas.
3. Anak dengan pembatasan dalam berprestasi.
Anak-anak disabilitas termasuk orang-orang dengan kondisi kesehatan seperti
cerebral palsy, spina bifida, distrofi otot,cedera tulang belakang traumatik, down
sindrom, dan anak-anak dengan gangguan pendengaran, visual, fisik,komunikasi dan
gangguan intelektual (WHO, 2012).
3. Psikis
a. Mental atau intelektual
Intelektual atau kecerdasan tuna netra umumnya tidak berbeda jauh
dengan manusia normal lainnya. Kecenderungan IQ tuna netra ada pada
batas atas sampai batas bawah, jadi ada yang sangat pintar, cukup pintar dan
ada yang kurang pintar. Intelegensi mereka lengkap yakni memiliki
kemampuan dedikasi, analogi, asosiasi dan sebagainya. Mereka juga punya
emosi negatif dan positif, seperti sedih, gembira, punya rasa benci, kecewa,
gelisah, bahagia dan sebagainya.
b. Sosial
Hubungan sosial yang pertama terjadi adalah dengan anggota
keluarga. Kadang kala ada orang tua atau anggota keluarga yang tidak siap
menerima kehadiran seorang tunanetra, sehingga muncul ketegangan,
gelisah di antara keluarga, disebabkan dari keterbatasan rangsangan visual
untuk menerima perlakuan orang lain terhadap dirinya. Sehingga, Tunanetra
mengalami hambatan dalam perkembangan kepribadian dengan timbulnya
beberapa masalah antara lain:
1. Curiga terhadap orang lain.
2. Perasaan mudah tersinggung.
3. Ketergantungan yang berlebihan.
b. Intelegensi
Intelegensi merupakan faktor yang sangat penting dalam
belajar, meskipun disamping itu ada faktor – faktor lain yang dapat
diabaikan. begitu saja seperti kondisi kesulitan, faktor lingkungan
intelegensi merupakan motor dari perkembangan siswa.
c. Sosial
1. Perasaan rendah diri dan merasa diasingkan oleh keluarga atau masyarakat.
2. Perasaan cemburu dan salah sangka diperlakukan tidak adil.
3. Kurang menguasai irama gaya bahasa.
d. Emosi
Kekurangan bahasa lisan dan tulisan seringkali menyebabkan
siswa tuna rungu akan menafsirkan sesuatu negatif atau salah dalam hal
pengertiannya. Hal ini disebabkan karena tekanan pada emosinya.
2. Gangguan Sosial
Tuna laras mengalami gangguan atau merasa kurang senang
menghadapi pergaulan. Mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan
tuntutan hidup bergaul. Perbuatan mereka sangat mengganggu ketenteraman
dan kebahagiaan orang lain.
Beberapa data tentang tunalaras dengan gangguan sosial antara lain
adalah:
a. Mereka datang dari keluarga pecah (broken home) atau yang sering kena
marah karena kurang diterima oleh keluarganya.
b. Biasa dari kelas sosial rendah berdasarkan kelas-kelas sosial.
c. Mengalami konflik kebudayaan yaitu, perbedaan pandangan hidup
antara kehidupan sekolah dan kebiasaan pada keluarga.
d. Berkecerdasan rendah atau yang kurang dapat mengikuti kemajuan
pelajaran sekolah.
e. Pengaruh dari kawan sekelompok yang tingkah lakunya tercela dalam
masyarakat.
f. Dari keluarga miskin.
g. Dari keluarga yang kurang harmonis sehingga hubungan kasih sayang
dan batin umumnya bersifat perkara.
2.2.2.3 Autisme
Kata autisme berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu
“aut” yang berarti “diri sendiri” dan “isme” yang berarti paham atau aliran.
Baron-Cohen (1993, dalam Anak Berkebutuhan Khusus, 2009: 277)
berpendapat bahwa:
3. Pola bermain:
a. Tidak bermain dengan teman sebaya pada umumnya
b. Senang akan benda-benda yang berputar, seperti kipas angin, gasing
c. Tidak bermain sesuai fungsi mainan, misalnya sepeda dibalik lalu
rodanya di putar-putar, tidak kreatif, tidak imajinatif
d. Dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang dipegang terus dan
dibawa kemana-mana.
4. Gangguan sensoris:
a. Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga
b. Sering menggunakan indera pencium dan perasanya, seperti senang
mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda
c. Dapat sangat sensistif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk
d. Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut.