Anda di halaman 1dari 25

TEORI

1. Pengertian Disabilitas
Disabilitas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang
menyandang (menderita) sesuatu, sedangkan disabilitas merupakan kata bahasa
Indonesia yang berasal dari kata serapan bahasa Inggris Disability yang berarti cacat
atau ketidakmampuan. Anak dengan disabilitas atau sering disebut dengan anak
berkebutuhan khusus adalah anak yang dalam proses pertumbuhan atau
perkembangannya secara signifikan mengalami kelainan atau penyimpangan
dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya (Triutari, 2014).
Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang
Penyandang Cacat, menyatakan bahwa Penyandang Cacat adalah setiap orang yang
mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan
rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya, yang terdiri dari:
a. Penyandang cacat fisik;
b. Penyandang cacat mental; dan
c. Penyandang cacat fisik dan mental (ganda).
Sedangkan dalam undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011
tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi
mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) sudah tidak menggunakan istilah
Penyandang Cacat lagi, diganti dengan istilah Penyandang Disabilitas.
Penyandang Disabilitas adalah orang yang memiliki keterbatasan fisik,
mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama, dimana ketika
ia berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat menyulitkannya untuk
berpartisipasi penuh dan efektif dalam masyarakat berdasarkan kesamaan hak.
Kemudian menurut undang-undang yang terbaru yaitu Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2016, bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami
keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama
yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan
untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan
kesamaan hak.
Menurut WHO, disabilitas adalah suatu ketidakmampuan melaksanakan suatu
aktivitas atau kegiatan tertentu sebagaimana layaknya orang normal, yang disebabkan
oleh kondisi impairment (kehilangan atau ketidakmampuan) baik psikologis, fisiologis
maupun kelainan struktur atau fungsi anatomis yang berhubungan dengan usia dan
masyarakat.
Anak dengan disabilitas dapat dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu :
1. Anak dengan penurunan fungsi tubuh.
2. Anak dengan keterbatasan dalam beraktivitas.
3. Anak dengan pembatasan dalam berprestasi.
Anak-anak disabilitas termasuk orang-orang dengan kondisi kesehatan seperti
cerebral palsy, spina bifida, distrofi otot,cedera tulang belakang traumatik, down
sindrom, dan anak-anak dengan gangguan pendengaran, visual, fisik,komunikasi dan
gangguan intelektual (WHO, 2012).

2.2.1 Penyandang Disabilitas Fisik


Disabilitas fisik merupakan gangguan pada tubuh yang membatasi fungsi fisik
salah satu anggota badan bahkan lebih atau kemampuan motorik seseorang. Disabilitas
fisik lainnya termasuk sebuah gangguan yang membatasi sisi lain dari kehidupan sehari-
hari. Misalnya saja gangguan pernapasan dan juga epilepsy. Penyandang disabilitas fisik
antara lain :

2.2.1.1 Buta (Tuna Netra)


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tuna Netra adalah tidak dapat
melihat dengan kedua matanya dan menurut literatur berbahsa inggris adalah visually
handicapped (visual cacat) atau visual impaired (visual terganggu).
Gangguan penglihatan pada seseorang yang rusak penglihatannya, walaupun
dibantu dengan perbaikan, masih mempunyai pengaruh yang merugikan (School,
1986). Pengertian ini mencakup seseorang yang masih memiliki sisa penglihatan dan
buta. Ini berarti bahwa ada orang tuna netra yang masih mempunyai sedikit sisa
penglihatan seperti membedakan terang dan gelap, sehingga masih dapat digunakan
untuk kegiatan sehari-hari. Orang tuna netra yang memiliki sisa penglihatan yang
fungsional seperti ini kita sebut sebagai orang “kurang awas” atau dikenal dengan
sebutan “low vision”
Orang yang buta biasanya memiliki kemampuan mendeteksi benda-benda
yang ada di sekitarnya dengan memaksimalkan kemampuan lainnya, seperti
kemampuan pendengarannya dengan mendeteksi benda-benda lewat suara atau
getaran yang didengarnya. Selain buta total, ada juga orang yang mengalami
kebutaan parsial yang tidak dapat mengidentifikasi tes menghitung jumlah jari dari
jarak tiga meter.

2.2.1.1.1 Klasifikasi Tuna Netra


Menurut Lowenfeld (1955: 219), klasifikasi tunanetra yang didasarkan pada
waktu terjadinya ketunanetraan, yaitu :
1. Tuna netra sebelum dan sejak lahir adalah mereka yang sama sekali tidak
memiliki pengalaman penglihatan.
2. Tuna netra setelah lahir atau pada usia kecil adalah mereka telah memiliki
kesan-kesan serta pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan.
3. Tuna netra pada usia sekolah atau pada masa remaja yaitu mereka telah
memiliki kesan-kesan visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam
terhadap proses perkembangan pribadi.
4. Tuna netra pada usia dewasa yaitu pada umumnya mereka yang dengan segala
kesadaran mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.
5. Tuna netra dalam usia lanjut yaitu sebagian besar sudah sulit mengikuti latihan-
latihan penyesuaian diri.
6. Tuna netra akibat bawaan (partial sight bawaan) yaitu tunanetra yang
disebabkan keturunan dari kedua orang tuanya.

Klasifikasi tuna netra berdasarkan kemampuan daya penglihatan, yaitu :


1. Tuna netra ringan (defective vision atau low vision) yakni mereka yang memiliki
hambatan dalam penglihatan akan tetapi mereka masih dapat mengikuti
program-program pendidikan dan mampu melakukan pekerjaan/kegiatan yang
menggunakan fungsi penglihatan.
2. Tuna netra setengah berat (partially sighted) yakni mereka yang kehilangan
sebagian daya penglihatan, hanya dengan menggunakan kaca pembesar mampu
mengikuti pendidikan biasa atau mampu membaca tulisan yang bercetak tebal.
3. Tuna netra berat (totally blind) yakni mereka yang sama sekali tidak dapat
melihat.

2.2.1.1.2 Karakteristik Tuna Netra


Beberapa karakteristik umum yang tampak pada low vision, adalah sebagai
berikut :
1. Menulis dan membaca dengan jarak yang sangat dekat.
2. Hanya dapat membaca huruf yang berukuran besar.
3. Kondisi mata tampak lain, terlihat putih di tengah mata (katarak) atau kornea
(bagian bening di depan mata) terlihat berkabut.
4. Terlihat tidak menatap lurus ke depan.
5. Memicingkan mata atau mengerutkan kening terutama di cahaya terang atau
saat mencoba melihat sesuatu.
6. Lebih sulit melihat pada malam hari daripada siang hari.
7. Pernah menjalani operasi mata atau memakai kacamata yang sangat tebal tetapi
masih tidak dapat melihat dengan jelas.

Karakteristik tuna netra secara khusus adalah sebagai berikut :


1. Fisik (Physical)
a. Mata juling
b. Sering berkedip
c. Menyipitkan mata
d. Kelopak mata merah
e. Mata infeksi
f. Gerakan mata tidak beraturan dan cepat
g. Mata selalu berair (mengeluarkan air mata)
h. Pembengkakan pada kulit tempat tumbuh bulu mata.
2. Perilaku (Behavior)
Ada beberapa gejala tingkah laku yang tampak sebagai petunjuk dalam
mengenal seseorang yang mengalami gangguan penglihatan secara dini :
1. Menggosok mata secara berlebihan.
2. Menutup atau melindungi mata sebelah, memiringkan kepala atau
mencondongkan kepala ke depan.
3. Sukar membaca atau dalam mengerjakan pekerjaan lain yang sangat
memerlukan penggunaan mata.
4. Berkedip lebih banyak daripada biasanya atau lekas marah apabila
mengerjakan suatu pekerjaan.
5. Membawa bukunya ke dekat mata.
6. Tidak dapat melihat benda-benda yang agak jauh.
7. Menyipitkan mata atau mengkerutkan dahi.
8. Tidak tertarik perhatiannya pada objek penglihatan atau pada tugas-tugas
yang memerlukan penglihatan seperti melihat gambar atau membaca.
9. Janggal dalam bermain yang memerlukan kerjasama tangan dan mata.
10. Menghindar dari tugas-tugas yang memerlukan penglihatan atau
memerlukan penglihatan jarak jauh.

3. Psikis
a. Mental atau intelektual
Intelektual atau kecerdasan tuna netra umumnya tidak berbeda jauh
dengan manusia normal lainnya. Kecenderungan IQ tuna netra ada pada
batas atas sampai batas bawah, jadi ada yang sangat pintar, cukup pintar dan
ada yang kurang pintar. Intelegensi mereka lengkap yakni memiliki
kemampuan dedikasi, analogi, asosiasi dan sebagainya. Mereka juga punya
emosi negatif dan positif, seperti sedih, gembira, punya rasa benci, kecewa,
gelisah, bahagia dan sebagainya.
b. Sosial
Hubungan sosial yang pertama terjadi adalah dengan anggota
keluarga. Kadang kala ada orang tua atau anggota keluarga yang tidak siap
menerima kehadiran seorang tunanetra, sehingga muncul ketegangan,
gelisah di antara keluarga, disebabkan dari keterbatasan rangsangan visual
untuk menerima perlakuan orang lain terhadap dirinya. Sehingga, Tunanetra
mengalami hambatan dalam perkembangan kepribadian dengan timbulnya
beberapa masalah antara lain:
1. Curiga terhadap orang lain.
2. Perasaan mudah tersinggung.
3. Ketergantungan yang berlebihan.

2.2.1.2 Tuli (Tuna Rungu)


Tunarungu adalah seseorang yang mengalami kekurangan atau kehilangan
kemampuan mendengar baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena tidak
berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran, sehingga ia tidak dapat
menggunakan alat pendengaranya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa
dampak terhadap kehidupannya secara kompleks.
Menurut Donald F. Morees (1978:3) dalam Murni Winarsih (2007),
mendefinisikan tunarungu sebagai berikut:
“Hearing impairment a generic term indicating a hearing disability that may
range in severty from mild to profound it concludes hearing disability preclude
succesfull processing of linguistic information through audition, with or without
a hearing aid. A hard of hearing is one who generally with use of hearing aid,
hs residual hearing sufficient to enable succesfull processing og linguistic
information through audition”
Dari definisi tersebut dapat diartikan bahwa tunrungu adalah suatu istilah umum
yang menunjukan kesulitan mendengar atau tuli yang memiliki kehilangan
pendengaran.

2.2.1.2.1 Klasifikasi Tuna Rungu


Klasifikasi anak tunarung menurut Samuel A. Kirk :
1. 0 dB :Menunjukan pendengaran yang optimal.
2. 0 – 26 dB :Menunjukan seseorang masih mempunyai
pendengaran yang optimal.
3. 27 – 40 dB :Mempunyai kesulitan mendengar bunyi-bunyi yang
jauh, membutuhkan tempat duduk yang strategis letaknya dan
memerlukan terapi bicara ( tergolong tuna rungu ringan ).
4. 41 – 55 dB :Mengerti bahasa percakapan, tidak dapat mengikuti
diskusi kelas, membutuhkan alat bantu dengar dan terapi bicara
( tergolong tuna rungu sedang ).
5. 56 – 70 dB :Hanya bisa mendengar suara dari jarak yang dekat,
masih punya sisa pendengaran untuk belajar bahasa dan bicara
dengan menggunakan alat Bantu dengar serta dengan cara yang
khusus (tergolong tuna rungu berat ).
6. 71 – 90 db :Hanya bisa mendengar bunyi yang sangat dekat,
kadang-kadang dianggap tuli, membutuhkan pendidikan
khusus yang intensif, membutuhkan alat Bantu dengar dan
latihan bicara secara khusus. ( tergolong tuna rungu berat ).
7. 91 db :Mungkin sadar akan adanya bunyi atau suara dan
getaran, banyak bergantung pada penglihatan dari pada
pendengaran untuki proses menerima informasi dan yang
bersangkutan diangap tuli ( tergolong tuna rungu berat sekali).

2.2.1.2.2 Karakteristik Tuna Rungu


a. Fisik
1. Cara berjalannya kaku dan anak membungkuk. Hal ini disebabkan terutama
terhadap alat pendengaran.
2. Gerakan matanya cepat agak beringas. Hal ini menunjukkan bahwa ia ingin
menangkap keadaan yang ada di sekelilingnya.
3. Gerakan kaki dan tangannya sangat cepat atau kidal. Hal tersebut tampak
dalam mengadakan komunikasi dengan gerak isyarat.
4. Pernafasannya pendek dan agak terganggu.

b. Intelegensi
Intelegensi merupakan faktor yang sangat penting dalam
belajar, meskipun disamping itu ada faktor – faktor lain yang dapat
diabaikan. begitu saja seperti kondisi kesulitan, faktor lingkungan
intelegensi merupakan motor dari perkembangan siswa.

c. Sosial
1. Perasaan rendah diri dan merasa diasingkan oleh keluarga atau masyarakat.
2. Perasaan cemburu dan salah sangka diperlakukan tidak adil.
3. Kurang menguasai irama gaya bahasa.

d. Emosi
Kekurangan bahasa lisan dan tulisan seringkali menyebabkan
siswa tuna rungu akan menafsirkan sesuatu negatif atau salah dalam hal
pengertiannya. Hal ini disebabkan karena tekanan pada emosinya.

2.2.1.3 Bisu (Tuna Wicara)


Menurut Heri Purwanto dalam buku Ortopedagogik Umum (1998) tuna wicara
adalah apabila seseorang mengalami kelainan baik dalam pengucapan (artikulasi)
bahasa maupun suaranya dari bicara normal, sehingga menimbulkan kesulitan dalam
berkomunikasi lisan dalam lingkungan.
Sedangkan menurut Menurut Frieda Mangunsong,dkk dalam Psikologi dan
Pendidikan Anak Luar Biasa, tuna wicara atau kelainan bicara adalah hambatan dalam
komunikasi verbal yang efektif. Kemudian menurut Dr. Muljono Abdurrachman dan
Drs.Sudjadi S dalam Pendidikan Luar Biasa Umum (1994) gangguan wicara atau
tunawicara adalah suatu kerusakan atau gangguan dari suara, artikulasi dari bunyi
bicara, dan atau kelancaran berbicara.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa anak tunawicara adalah
individu yang mengalami gangguan atau hambatan dalam dalam komunikasi verbal
sehingga mengalami kesulitan dalam berkomunikasi.

2.2.1.3.1 Klasifikasi Tuna Wicara


Dalam buku Ortopedagogik Umum(1998), Heri Purwanto mengemukakan
tunawicara secara umum diklasifikasikan menjadi 4 bagian,yaitu :
1. Keterlambatan bicara (Delayed speech), yaitu seseorang yang mengalami
keterlambatan dalam perkembangan bicaranya jika dibandingkan dengan anak
seusianya.
2. Gagap (stuttering), yaitu kelainan dalam memulai pembicaraan dapat berupa:
a. Pemanjangan fonom atau suku kata depan (prolongation),
b. Pengulangan suku kata depan ( repetition ),
c. Gerak mulut berbicara namun tidak keluar suara (silent struggle)
d. Anak dengan kekacauan dalam berbicara (cluttering), biasanya berupa
bicara terlalu cepat, struktur kalimat tidak karuan, repitisi berlebihan.
3. Kehilangan kemapuan berbahasa (disphasia), yaitu kehilangan kemampuan
berbahasa mulai dari kesalahan dalam inti pembicaraan sampai tidak dapat
bebicara sama sekali.
4. Kelainan suara (voice disorder), ditandai dengan perbedaan suara dengan anak
normal. Adapun kelainan suara berupa:
a. Kelainan nada (pitch), yaitu kelainan nada bicara dapat berupa nada
terlalu tinggi, terlalu rendah, atau monoton.
b. Kelainan kualitas suara, yaitu kelainan kualitas atau warna suara berupa
serak, lemah, atau desah.
c. Kelainan keras lembutnya suara, yaitu kelainan ini dapat berupa suara
keras ataupun suara lembut.

2.2.1.3.2 Karakteristik Tuna Wicara


Menurut Heri Purwanto dalam Ortopedagogik umum (1998) yang
merupakan karakterisktik tunawicara adalah :
1. Karakteristik bahasa dan wicara
Pada umumnya tunawicara memiliki kelambatan dalam
perkembangan bahasa wicara bila dibandingkan dengan perkembangan
bicara anak-anak normal.
2. Kemampuan intelegensi
Kemamapuan intelegensi (IQ) tidak berbeda dengan orang normal,
hanya pada skor IQ verbalnya akan lebih rendah dari IQ performanya.
3. Penyesuaian emosi,sosial dan perilaku
Dalam melakukan interaksi sosial di masyarakat banyak
mengandalkan komunikasi verbal, hal ini yang menyebabkan tuna wicara
mengalami kesulitan dalam penyesuaian sosialnya.Sehingga tunawicara
terkesan agak eksklusif atau terisolasi dari kehidupan masyarakat normal.

Sedangkan yang merupakan ciri-ciri fisik dan psikis anak tunawicara


adalah :
a. Berbicara keras dan tidak jelas
b. Suka melihat gerak bibir atau gerak tubuh teman bicaranya
c. Telinga mengeluarkan cairan
d. Biasanya Menggunakan alat bantu dengar
e. Bibir sumbing
f. Suka melakukan gerakan tubuh
g. Cenderung pendiam
h. Suara sengau
i. Cadel

2.2.1.4 Cacat Fisik (Tuna Daksa)


Menurut Sutjihati Somantri, bahwa tuna daksa adalah suatu keadaan
rusak atau terganggu, sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada
tulang, otot, dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat
disebabkan oleh penyakit, kecelakaan atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan
sejak lahir (Sutjihati Somantri, 121:2006).
Sedangkan menurut Mohammad Efendi, bahwa tuna daksa adalah
ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya disebabkan oleh
berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk
melaksanakan fungsi secara normal akibat luka, penyakit, atau pertumbuhan yang
tidak sempurna.
2.2.1.4.1 Klasifikasi Tuna Daksa
Menurut Hallahan & Kauffman (dalam Effendi, 2006:115), secara umum
karakteristik yang dikategorikan sebagai penyandang tuna daksa dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
1. Tuna Daksa Ortopedi (orthopedically handicapped) ialah tunadaksa yang
mengalami kelainan, kecacatan, ketunaan tertentu pada bagian tulang, otot
tubuh, ataupun daerah persendian baik yang dibawa sejak lahir (congenital)
maupun yang diperoleh kemudian (karena penyakit atau kecelakaan)
sehingga mengakibatkan terganggunya fungsi tubuh secara normal.
2. Tuna Daksa Saraf (neurologically handicapped), yaitu tunadaksa yang
mengalami kelainan akibat gangguan pada susunan saraf di otak.

Menurut France G. Koening yang dikutip oleh


Sutjihati Somantri menyebutkan klasifikasi untuk tuna daksa antara lain :
a. Club-foot (kaki seperti tongkat),
b. Club-hand (tangan seperti tongkat),
c. Polydactylism (jari yang lebih dari lima pada masing-masing tangan atau
kaki),
d. Syndactylism (jari-jari yang berselaput atau menempel satu dengan lainnya),
e. Torticolis(gangguan pada leher sehingga kepala terkulai ke muka),
f. Spina-bifida (sebagian dari sum-sum tulang belakang tidak tertutup),
g. Cretinism (kerdil),
1. Mycrocephalus (kepala yang kecil atau tidak normal)

2.2.1.4.2 Karakteristik Tuna Daksa


a. Anggota gerak tubiuh kaku/lemah/lumpuh
b. Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna,tidak lentur/tidak terkendali)
c. Terdapat bagian anggota gerak yang tidak lengkap/tidak sempurna/lebih
kecil dari biasa
d. Terdapat cacat pada alat gerak
e. Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam
f. Kesulitan pada saat berdiri/berjalan/duduk,dan menunjukkan sikap tubuh
tidak normal
g. Hiperaktif/tidak dapat tenang.

2.2.2 Penyandang Disabilitas Mental


Disabilitas mental biasanya sering digunakan pada orang-orang yang memiliki
kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Akan tetapi tidak hanya itu saja, disabilitas
mental juga merupakan sebuah istilah yang menggambarkan berbagai kondisi emosional
dan mental. Gangguan kejiwaan adalah istilah yang digunakan pada saat disabilitas
mental secara signifikan mengganggu kinerja aktivitas hidup yang besar, misalnya saja
seperti mengganggu belajar, berkomunikasi dan bekerja serta lain sebagainya.
Penyandang disabilitas mental antara lain :

2.2.2.1 Keterbelakangan Mental (Tuna Grahita)


Somantri (2005) berpendapat bahwa tunagrahita adalah kondisi dimana
seseorang yang kecerdasannya jauh dibawah rata-rata yang ditandai oleh keterbatasan
intelegensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial. Tunagrahita atau dikenal juga
dengan istilah terbelakang mental karena keterbatasan kecerdasannya sukar untuk
mengkuti program pendidikan disekolah biasa secara klasikal, oleh karena itu
tunagrahita membutuhkan pelayanan pendidikan secara khusus, yakni disesuaikan
dengan kemampuannya.

2.2.2.1.1 Klasifikasi Tuna Grahita


Effendi (2006:90) mengklasifikasikan tunagrahita berdasarkan tingkat
intelegensinya, sebagai berikut:
1. Idiot (IQ: 0-25) atau tunagrahita berat
Tunagrahita mampu rawat (idiot) adalah tunagrahita yang memiliki
kecerdasan sangat rendah dan membutuhkan perawatan sepenuhnya
sepanjang hidupnya, karena ia tidak mampu terus hidup tanpa bantuan
orang lain.
2. Imbecil (IQ: 25-50) atau tunagrahita sedang
Tunagrahita mampu latih (imbecil) adalah tunagrahita hanya dapat dilatih
untuk mengurus diri sendiri melalu aktivitas kehidupan sehari-hari, serta
melakukan fungsi sosial kemasyarakatan menurut kemampuannya.
3. Debil atau moron (IQ: 50-75) atau tunagrahita ringan
Tunagrahita mampu didik (debil) adalah tunagrahita yang dapat dididik
secara minimal dalam bidang-bidang akademis, sosial, dan pekerjaan.

2.2.2.1.2 Karakteristik Tuna Grahita


Menurut Wardani (2008:6.9) karakteristik berdasarkan kelainan jasmani
(klinis) sebagai berikut:
1. Down Syndrome (Mongoloid) yaitu tunagrahita yang memiliki raut muka
menyerupai otang mongol. Ciri-cirinya antara lain:
a. Mata sipit dan miring
b. Lidah tebal suka menjulur ke luar
c. Telinga kecil
d. Kulit kasar
e. Susunan gigi kurang baik.
2. Kretin (Cebol) yaitu tunagrahita yang memiliki ciri-ciri:
a. Badan gemuk dan pendek
b. Kaki dan tangan bengkok
c. Kulit kering, tebal dan keriput
d. Rambut kering
e. Lidah, bibir, kelopak mata, telapak tangan, dan kaki tebal
f. Pertumbuhan gigi terlambat
3. Hydrocephal yaitu tunagrahita yang memiliki ciri-ciri:
a. Kepala besar
b. Raut muka kecil
c. Pandangan dan pendengaran tidak sempurna
d. Mata kadang-kadang juling
e. Mikrocephal yaitu anak tunagrahita yang memiliki ciri-ciri ukuran
kepala yang kecil
f. Macrocephal yaitu anak tunagrahita yang memiliki ciri-ciri ukuran
kepala yang besar dari ukuran normal.

2.2.2.2 Cacat Pengendalian Diri (Tuna Laras)


Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Luar
Biasa, dinyatakan bahwa tunalaras adalah gangguan atau kelainan tingkah laku
sehingga kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungan keluarga,
sekolah dan masyarakat.
Menurut istilah, tulanaras adalah orang yang bertingkahlaku kurang sesuai
dengan lingkungan. Perilakunya sering bertentangan dengan norma-norma yang
terdapat di masyarakat tempat ia berada. Penggunaan istilah tunalaras sangat bervariasi
berdasarkan sudut pandang tiap-tiap ahli yang mengemukakannya.
Menurut T.Sutjihati Somantri, (2007 : 139) “Tunalaras sering juga disebut tuna
sosial karena tingkah laku orang ini menunjukkan penentangan terhadap norma-norma
sosial masyarakat yang berwujud seperti mencuri, mengganggu, dan menyakiti orang
lain.”

2.2.2.2.1 Klasifikasi Tuna Laras


a. Menurut Rosembera dkk. (1992), klasifikasi tunalaras yang bersiko tinggi
adalah hyperactive, agresif, pembangkang, dan lain-lain serta ada yang
beresiko rendah adalah autisme dan skizofrenia, bahagia melihat api, sering
meninggalkan rumah dan lain-lain.
b. Sistem klasifikasi yang dikemukakan oleh Quay (1979) adalah gangguan
perilaku atau kekacauan tingkah laku, kecemasan penarikan diri,
ketidakmatangan dan agresi sosialisasi.

2.2.2.2.2 Karakteristik Tuna Laras


1. Gangguan Emosi
Tunalaras yang mengalami hambatan atau gangguan emosi terwujud
dalam tiga jenis perbuatan, yaitu: senang-sedih, lambat cepat marah, dan
releks-tertekan.
Gangguan atau hambatan terutama tertuju pada keadaan dalam
dirinya. Macam-macam gejala hambatan emosi, yaitu:
a. Gentar, yaitu suatu reaksi terhadap suatu ancaman yang tidak disadari,
misalnya ketakutan yang kurang jelas obyeknya.
b. Takut, yaitu rekasi kurang senang terhadap macam benda, mahluk,
keadaan atau waktu tertentu.
c. Gugup nervous, yaitu rasa cemas yang tampak dalam perbuatan-
perbuatan aneh.
d. Sikap iri hati yang selalu merasa kurang senang apabila orang lain
memperoleh keuntungan dan kebahagiaan.
e. Perusak, yaitu memperlakukan bedan-benda di sekitarnya menjadi
hancur dan tidak berfungsi.
f. Malu, yaitu sikap yang kurang matang dalam menghadapi tuntunan
kehidupan.
g. Rendah diri, yaitu sering minder yang mengakibatkan tindakannya
melanggar hukum karena perasaan tertekan.

2. Gangguan Sosial
Tuna laras mengalami gangguan atau merasa kurang senang
menghadapi pergaulan. Mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan
tuntutan hidup bergaul. Perbuatan mereka sangat mengganggu ketenteraman
dan kebahagiaan orang lain.
Beberapa data tentang tunalaras dengan gangguan sosial antara lain
adalah:
a. Mereka datang dari keluarga pecah (broken home) atau yang sering kena
marah karena kurang diterima oleh keluarganya.
b. Biasa dari kelas sosial rendah berdasarkan kelas-kelas sosial.
c. Mengalami konflik kebudayaan yaitu, perbedaan pandangan hidup
antara kehidupan sekolah dan kebiasaan pada keluarga.
d. Berkecerdasan rendah atau yang kurang dapat mengikuti kemajuan
pelajaran sekolah.
e. Pengaruh dari kawan sekelompok yang tingkah lakunya tercela dalam
masyarakat.
f. Dari keluarga miskin.
g. Dari keluarga yang kurang harmonis sehingga hubungan kasih sayang
dan batin umumnya bersifat perkara.

2.2.2.3 Autisme
Kata autisme berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu
“aut” yang berarti “diri sendiri” dan “isme” yang berarti paham atau aliran.
Baron-Cohen (1993, dalam Anak Berkebutuhan Khusus, 2009: 277)
berpendapat bahwa:

“Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang yang sejak


lahir ataupun saat balita, yang membuat dirinya tidak dapat
membentuk hubungan social atau komunikasi yang normal,
sehingga mengakibatkan terisolasi dari manusia lain dan masuk
dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif”

Mardiyantmi, (2000) menyatakan bahwa:

“Autis merupakan salah satu gangguan perkembangan fungsi otak


yang bersifat, pervasife (inco) yaitu meliputi gangguan kognitif,
bahasa, perilaku, komunikasi, dan gangguan interaksi sosial”
Dapat disimpulkan bahwa Autisme adalah suatu jenis kecacatan terhadap
pengembangan diri yang bisa kelihatan ketika seseorang masih anak-anak yang
diakibatkan ketidak seimbangan kerja otak dalam berfikir dan menerima
rangsangan.

2.2.2.3.1 Klasifikasi Autis


Menurut Yatim (2002) dalam YAI, Autis dapat dikelompokkan menjadi
tiga yaitu:
1. Autisme persepsi adalah autisme yang dianggap asli karena kelainan sudah
timbul sebelum lahir. Ketidakmampuan dalam berbahasa termasuk pada
penyimpangan reaksi terhadap rangsangan dari luar, begitu juga
kemampuan dalam bekerjasama dengan orang lain, sehingga bersikap masa
bodoh.
2. Autisme reaksi adalah autisme yang terjadi karena beberapa permasalahan
yang menimbulkan kecemasan seperti orang tua meninggal, sakit berat,
pindah rumah, sekolah, dan sebagainya. Autisme ini akan memuncukan
gerakan-gerakan tertentu berulang –ulang, kadang-kadang disertai kejang-
kejang.
3. Autisme yang timbul kemudian adalah autisme yang terjadi dalam
perkembangan dan pertumbuhan seseorang, dikarenakan kelainan jaringan
otak yang terjadi setelah lahir. Hal ini akan mempersulit dalam hal
pemberian pelatihan dan pelayanan pendidikan untuk mengubah
perilakunya yang sudah melekat.

2.2.2.3.2 Karakteristik Autis


Menurut Powers (1989) ada lima karakteristik autis, yaitu dalam bidang:
1. Interaksi sosial:
a. Tidak tertarik untuk bermain bersama teman atau lebih suka menyendiri
b. Tidak ada atau sedikit kontak mata, atau menghindar untuk bertatapan
c. Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang ia
inginkan.
2. Komunikasi (bicara, bahasa dan komunikasi):
a. Perkembangan bahasa lambat atau sama sekali tidak ada
b. Senang meniru atau membeo (echolalia). Bila senang meniru, dapat
hafal betul kata-kata atau nyanyian tersebut tanpa mengerti artinya
c. Tampak seperti tuli, sulit berbicara, atau pernah berbicara tapi sirna
d. Kadang kata-kata yang digunakan tidak sesuai artinya
e. Mengoceh tanpa arti berulang-ulang, dengan bahasa yang tak dapat
dimengerti orang lain. Bicara tidak dipakai untuk alat berkomunikasi
f. Sebagian dari autis ini tidak berbicara (non verbal) atau sedikit berbicara
(kurang verbal).

3. Pola bermain:
a. Tidak bermain dengan teman sebaya pada umumnya
b. Senang akan benda-benda yang berputar, seperti kipas angin, gasing
c. Tidak bermain sesuai fungsi mainan, misalnya sepeda dibalik lalu
rodanya di putar-putar, tidak kreatif, tidak imajinatif
d. Dapat sangat lekat dengan benda-benda tertentu yang dipegang terus dan
dibawa kemana-mana.

4. Gangguan sensoris:
a. Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga
b. Sering menggunakan indera pencium dan perasanya, seperti senang
mencium-cium, menjilat mainan atau benda-benda
c. Dapat sangat sensistif terhadap sentuhan, seperti tidak suka dipeluk
d. Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut.

5. Perkembangan terlambat atau tidak normal:


a. Perkembangan tidak sesuai seperti orang pada umumnya, khususnya
dalam ketrampilan sosial, komunikasi dan kognisi
b. Dapat mempunyai perkembangan yang normal pada awalnya, kemudian
menurun atau bahkan sirna, misalnya pernah dapat bicara kemudian
hilang.

Ketika seseorang mengalami autis, mereka pasti memiliki persoalan-


persoalan tentang:
a. Membutuhkan perhatian yang berlebihan, kalau sampai perhatian terhadap autis
ini kurang, maka emosi bisa meledak-ledak.
b. Acuh tak acuh dan memikirkan diri sendiri dan tidak peduli pada lingkungan
sekitar, punya kesibukan sendiri.
c. Tidak tahan dengan bunyi-bunyian dan suara.
d. Menolak suatu benda atau orang yang dianggap asing.
e. Sensitif terhadap sentuhan dan akan sangat marah ketika dia disentuh.
f. Tidak bisa mengontrol perasaan mereka sehingga terkadang mereka memiliki
tingkat emosi yang tinggi.
g. Tidak bisa bergaul dengan teman sebayanya.
h. Tidak bisa menerima segala bentuk perubahan.

2.2.3 Penyandang Disabilitas Fisik dan Mental (Ganda)


2.2.3.1 Tuna Ganda
Menurut Johnston dan Magrab 1976 : 7
“Tuna ganda adalah mereka yang mempunyai kelainan
perkembangan mencakup kelompok yang mempunyai hambatan-
hambatan perkembangan neorologis yang disebabkan oleh satu atau
dua kombinasi kelainan dalam kemampuan seperti intelegensi,
gerak, bahasa atau hubungan pribadi di masyarakat”

2.2.3.1.1 Klasifikasi Tuna Ganda


1. Kelainan utama adalah tunagrahita.
Gabungannya dapat tunagrahita atau tunanetra, meliputi tuna grahita dan
celebral palsy, tuna grahita dan gangguan pendengaran, tuna grahita dan
masalah-masalah prilaku. Gabungan dengan tunanetra inilah yang dipandang
paling berat cara menanganinya.
2. Kelainan utama adalah tunarungu.
Gabungannya dapat tunagrahita atau tunanetra. Gabungan dengan tunanetra
inilah yang dipandang paling berat cara menanganinya.
3. Kelainan utama adalah tunanetra.
Gabungannya dapat berwujud tunalaras, tunarungu, dan kelainan yang lain.
4. Kelainanan utama adalah tunadaksa.
Gabungannya dapat berwujud tunagrahita, tunanetra, tunarungu, gaya emosi,
dan kelainan lain.
5. Kelainan utama adalah tunalaras.
Gabungannya dapat berwujud austisme dan pendengaran.
6. Kombinasi kelainan lain.

2.2.3.1.2 Karakteristik Tuna Ganda


1. Kurang komunikasi atau sama sekali tidak dapat berkomunikasi.
2. Perkembangan motorik dan fisiknya terlambat.
3. Seringkali menunjukkan perilaku yang aneh dan tidak bertujuan.
4. Kurang dalam keterampilan menolong diri sendiri.
5. Jarang berperilaku dan berinteraksi yang sifatnya konstruktif.
6. Kecenderungan lupa akan keterampilan keterampilan yang sudah dikuasai.
Memiliki masalah dalam mengeneralisasikan keterampilan keterampialan
dari suatu situasi ke situasi lainnya

2.3 Penyebab Disabilitas


Rustanto, dalam buku Pekerja Sosial dengan Disabilitas, faktor penyebab disabilitas
adalah sebagai berikut:
2.3.1 Penyandang Disabilitas Fisik
2.3.1.1 Tuna Netra
a. Masa Prenatal
1. Akibat penyakit campak Jerman. Jika menyerang ibu yang sedang hamil 1-3
bulan, besar kemungkinan bayinya lahir dalam keadaan tuna netra.
2. Akibat penyakit Syphilis, bayi yang ada dalam kandungan kemungkinan
terlahir dengan keadaan tuna netra.
3. Akibat kecelakaan, keracunan obat2an/zat kimia, sinar laser, minuman keras
yg mengakibatkan kerusakan janin khususnya pada bagian mata.
4. Infeksi virus Rubella, toxoplasmosis.
5. Malnutrisi berat pada tahap embrional minggu ke 3 sampai ke 8.
b. Masa Natal
1. Kerusakan mata atau syaraf mata pada saat proses kelahiran. Terjadi karena
proses kelahiran yang sulit, sehingga bayi harus keluar dengan bantuan alat
(vakum).
2. Ibu menderita penyakit Gonorrchoe, sehingga kuman gonococcus (GO)
menular pada bayi saat kelahiran.
3. Retrolenta Fibroplasia yang disebabkan karena bayi lahir sebelum waktunya,
sehingga diberikan konsentrasi oksigen yang tinggi dalam inkubator.
c. Masa Perkembangan
1. Kekurangan vitamin A.
2. DM, menyebabkan kelainan retina.
3. Darah tinggi ; pandangan rangkap/kabur.
4. Stroke ; kerusakan syaraf mata.
5. Radang kantung air mata, radang kelenjar kelopak mata, hemangiona,
retinoblastoma, efek obat/zat kimiawi.

2.3.1.2 Tuna Rungu


a. Masa Prenatal
1. Salah satu dari orang tua penderita merupakan pembawa sifat abnormal.
2. Ibu yang sedang mengandung mengalami sakit pada masa 3 bulan pertama
kehamilan, yaitu pada masa pembentukan ruang telinga.
3. Keracunan obat-obatan.
b. Masa Natal
1. Kesulitan pada saat melahirkan, sehingga harus dibantu oleh beberapa alat.
2. Kelahiran prematur.
c. Masa Perkembangan
1. Ketulian karena terjadinya infeksi, difteri, dan morbili.
2. Karena kecelakaan yang mengakibatkan rusaknya alat pendengaran bagian
dalam.

2.3.1.3 Tuna Daksa


a. Masa Prenatal
1. Anoxia prenatal, disebabkan pemisahan bayi dari placenta, penyakit anemia,
kondisi jantung yang gawat, shock, percobaan abosrtus.
2. Gangguan metabolisme pada ibu.
3. Kromosom, gen yang tidak sempurna.
4. Pembelahan sel telur, sperma yang kualitasnya buruk.
b. Masa Natal
1. Kesulitan saat persalinan karena letak bayi sungsang, atau pinggul ibu terlalu
kecil.
2. Pendarahan pada otak saat kelahiran.
3. Kelahiran prematur.
4. Gangguan pada placenta yang dapat mengurangi oksigen sehingga
mengakibatkan terjadinya anorexia.
c. Masa Perkembangan
1. Faktor penyakit, seperti meningitis, radang otak, diptheri, partusis, dan lain-
lain.
2. Faktor kecelakaan.
3. Pertumbuhan tubuh atau tulang yang tidak sempurna.

2.3.2 Penyandang Disabilitas Mental


2.3.2.1 Tuna Laras
a. Masa Prenatal
1. Disfungsi kelenjar endokrin dapat mempengaruhi gangguan tingkah laku.
2. Berupa kelainan atau kecacatan baik tubuh maupun sensoris yang dapat
mempengaruhi perilaku seseorang.
b. Masa Perkembangan
1. Setiap memasuki perkembangan baru, individu dihadapkan pada berbagai
tantangan atau krisis emosi.
2.3.2.2 Tuna Grahita
a. Masa Prenatal
1. Infeksi Rubella (cacar Jerman), Rubella telah menggantikan sifilis sebagai
penyebab utama tunagrahita yang disebabkan oleh infeksi maternal.
2. Penyakit inklusi sitomegalik, anak-anak dengan tunagrahita dari penyakit ini
seringkali memiliki klasifikasi serebral, mikrosefali, atau hidrosefalus.
3. Sifilis, sifilis pada wanita hamil dahulu merupakan penyebab utama berbagai
perubahan neuropatologis pada keturunannya, termasuk tuna grahita.
4. Toxoplasmosis, dapat ditransmisikan dari ibu kepada janinnya.
5. Herpes simpleks, dapat ditransmisikan transplasental, walaupun cara yang
paling sering adalah selama kelahiran.
6. Sindroma AIDS, banyak janin dari ibu dengan AIDS tidak pernah cukup
bulan karena terjadi lahir mati dan abortus spontan.
7. Gejala putus zat pada bayi adalah iritabilitas, hipertonia, tremor, muntah,
tangisan dengan nada tinggi, dan kelainan pola tidur.
b. Masa Natal
1. Disebabkan oleh kejadian yang terjadi saat kelahiran adalah luka-luka pada
saat kelahiran, sesak nafas (asphyxia), dan lahir prematur.
c. Masa Perkembangan
1. Penyakit-penyakit akibat infeksi misalnya; meningitis (peradangan pada
selaput otak) dan problema nutrisi (kekurangan gizi, misalnya kekurangan
protein yang diderita bayi dan awal masa kanak-kanak), cedera kepala yang
disebabkan karena kendaraan bermotor yang dapat menyebabkan kecacatan
mental.
2.3.3 Penyandang Disabilitas Fisik dan Mental (Ganda)
2.3.3.1 Tuna Ganda
a. Masa Prenatal
1. Ketidaknormalan kromosom komplikasi-komplikasi pada anak dalam
kandungan ketidakcocokan Rh infeksi pada ibu yang kekurangan gizi pada
saat sedang mengadung, serta terlalu banyak menkonsumsi obat dan alkohol.
b. Masa Natal
1. Kelahiran prematur dan kekurangan oksigen
2. Terdapat luka pada otak saat kelahiran.
c. Masa Perkembangan
1. Kepala mengalami kecelakaan kendaraan ,jatuh ,dan mendapat pukulan atau
siksaan.
2. Anak tidak dirawat dangan baik, keracunan makanan atau penyakit tertentu
yang sama, sehingga dapat berpengaruh tehadap otak (meningitis atau
encephalities).

2.4 Hak-Hak Penyandang Disabilitas


Hak-hak penyandang disabilitas tertuang dalam Pasal 5 Undang-Undaqng
Nomor 8 Tahun 2016 yaitu :
a) Hidup;
b) Bebas dari stigma;
c) Privasi;
d) Keadilan dan perlindungan hukum;
e) Pendidikan;
f) Pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi;
g) Kesehatan;
h) Politik;
i) Keagamaan;
j) Keolahragaan;
k) Kebudayaan dan pariwisata;
l) Kesejahteraan sosial;
m) Aksesibilitas;
n) Pelayanan Publik;
o) Pelindungan dari bencana;
p) Habilitasi dan rehabilitasi;
q) Konsesi;
r) Pendataan;
s) Hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat;
t) Berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi;
u) Berpindah tempat dan kewarganegaraan;
v) Bebas dari tindakan Diskriminasi, penelantaran, penyiksaan, dan eksploitasi.

Anda mungkin juga menyukai