TINJAUAN PUSTAKA
Buku KIA merupakan alat untuk mendeteksi secara dini adanya gangguan atau
masalah kesehatan ibu dan anak, alat komunikasi dan penyuluhan dengan informasi
yang penting bagi ibu, keluarga dan masyarakat mengenai pelayanan, kesehatan ibu
dan anak termasuk rujukannya dan paket (standar) pelayanan KIA, gizi, imunisasi,
Salah satu tujuan Program Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) adalah
Dalam keluarga, ibu dan anak merupakan kelompok yang paling rentan terhadap
berbagai masalah kesehatan seperti kesakitan dan gangguan gizi yang seringkali
berakhir dengan kecacatan atau kematian. Depkes RI dan JICA, (2003) Untuk
mewujudkan kemandirian keluarga dalam memelihara kesehatan ibu dan anak maka
keluarga melalui penggunaan Buku Kesehatan Ibu dan Anak (Buku KIA)
Manfaat Buku KIA secara umum adalah ibu dan anak mempunyai catatan
kesehatan yang lengkap, sejak ibu hamil sampai anaknya berumur lima tahun
sedangkan manfaat buku KIA secara khusus ialah (1) untuk mencatat dan memantau
kesehatan ibu dan anak (2) alat komunikasi dan penyuluhan yang dilengkapi dengan
10
Universitas Sumatera Utara
informasi penting bagi ibu, keluarga dan masyarakat tentang kesehatan, gizi dan paket
(standar) pelayanan KIA (3) alat untuk mendeteksi secara dini adanya gangguan atau
masalah kesehatan ibu dan anak (4) catatan pelayanan gizi dan kesehatan ibu dan anak
ibu dan bayi, antara lain dengan kegiatan Gerakan Sayang Ibu ( GSI), strategi making
pregnancy safer dan pengadaan buku KIA. Buku KIA telah diperkenalkan sejak 1994
dengan bantuan Badan Kerjasama Internasional Jepang (JICA). Buku KIA diarahkan
dan anak. Buku KIA selain sebagai catatan kesehatan ibu dan anak, alat monitor
kesehatan dan alat komunikasi antara tenaga kesehatan dengan pasien (Hasanbasri dan
Ernoviana, 2006).
Buku KIA dapat diperoleh secara gratis melalui puskesmas, rumah sakit
umum, puskesmas pembantu, polindes, dokter dan bidan praktek swasta. Buku KIA
berisi informasi dan materi penyuluhan tentang gizi dan kesehatan ibu dan anak, kartu
ibu hamil, KMS bayi dan balita dan catatan pelayanan kesehatan ibu dan anak. Buku
lengkap di buku KIA, agar ibu dan keluarga lainnya mengetahui dengan pasti
menggunakan fasilitas kesehatan. Bagi petugas puskesmas, buku KIA dapat dipakai
kepada ibu dan anak dapat diberikan secara menyeluruh dan berkesinambungan.
Pemanfaatan buku KIA oleh petugas dalam melaksanakan pemeriksaan ibu dan anak
dapat mencegah terjadinya ibu hamil anemia, BBLR, angka kematian ibu dan bayi,
serta mencegah terjadinya balita kurang gizi (Hasanbasri dan Ernoviana, 2006).
materi yaitu (1) apa saja yang perlu dilakukan ibu hamil (2) bagaimana menjaga
kesehatan ibu hamil (3) bagaimana makan yang baik selama hamil (4) apa saja tanda-
tanda bahaya pada ibu hamil (5) apa saja persiapan keluarga menghadapi persalinan
(6) apa saja tanda-tanda persalinan (7) apa saja yang dilakukan ibu bersalin (8) apa
saja tanda-tanda bahaya pada ibu hamil (9) apa saja yang dilakukan ibu nifas (10)
bagaimana menjaga kesehatan ibu nifas (11) apa saja tanda-tanda bahaya dan penyakit
pada ibu nifas (12) mengapa setelah bersalin ibu perlu ikut program Keluarga
Berencana (KB) (13) apa saja alat kontrasepsi/cara ber-KB (Depkes, 2005).
Menurut Green (1980) yang di kutip Soekidjo perilaku manusia dalam hal
kesehatan dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu faktor perilaku (behaviour causes)
dan faktor di luar perilaku (non behaviour cause), selanjutnya menurut Soekidjo,
yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan dan nilai-nilai yang
dianut oleh masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya; b)
faktor pendukung, yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia tidaknya fasilitas
atau sarana kesehatan; c) faktor pendorong, yang terwujud dalam sikap dan perilaku
petugas kesehatan atau petugas lainnya yang merupakan kelompok referensi dari
perilaku masyarakat.
tradisi dari masyarakat itu sendiri. Di samping itu ketersediaan fasilitas, sikap dan
perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan
Implisit dari proses perubahan perilaku adalah adanya sesuatu ide atau gagasan
baru yang diperkenalkan kepada individu dan diharapkan untuk diterima/dipakai oleh
individu tersebut (Liliweri, 2007). Menurut Shoemaker (1971) dalam Soekidjo, proses
adopsi inovasi itu melalui lima tahap, yaitu: 1) mengetahui/menyadari tentang adanya
ide baru itu (awareness); 2) menaruh perhatian terhadap ide itu (interest); 3)
menyukainya; 5) menerima ide baru (adoption). Proses adopsi ini tidak berhenti
segera setelah suatu inovasi diterima/ditolak. Situasi ini kelak dapat berubah lagi
inovasi ini menjadi empat tahap: 1) individu menerima informasi dan pengetahuan
minatnya untuk mengenal lebih jauh tentang objek tersebut, dan kemudian petugas
membentuk suatu sikap kurang baik atau yang baik terhadap inovasi; 3) tahap
decision, yaitu tahap dimana individu mengambil keputusan untuk menerima konsep
perubahan perilaku pada hakekatnya adalah sama dengan proses belajar. Proses
Perubahan Perilaku tersebut menggambarkan proses belajar pada individu yang terdiri
dari:
1. Stimulus (rangsang) yang diberikan pada organisme dapat diterima atau ditolak.
Apabila stimulus tersebut tidak diterima atau ditolak berarti stimulus itu tidak
efektif mempengaruhi perhatian individu, dan berhenti di sini. Tetapi bila stimulus
diterima oleh organisme berarti ada perhatian dari individu dan stimulus tersebut
efektif.
3. Setelah itu organisme mengolah stimulus tersebut sehingga terjadi kesediaan untuk
stimulus tersebut mempunyai efek tindakan dari pada individu tersebut (perubahan
perilaku).
Organisme:
‐ Perhatian
Stimulus
‐Pengertian
‐ Penerimaan
Reaksi
Reaksi (Perubahan
(Perubahan skrip) praktek)
diharapkan diperlukan suatu strategi perubahan perilaku. WHO seperti yang dikutip
kelompok, yaitu:
anggota masyarakat. Cara ini menghasilkan perubahan perilaku yang cepat, akan
tetapi perubahan tersebut tidak atau belum didasari oleh kesadaran sendiri.
ini akan memakan waktu lama tetapi perubahan yang dicapai akan bersifat
3. Diskusi dan partisipasi, cara ini adalah sebagai peningkatan cara yang kedua
bersifat satu arah saja, tetapi juga keaktifan berpartisipasi melalui diskusi-diskusi
2.3. Bidan
dan diadopsi oleh seluruh organisasi bidan di seluruh dunia dan diakui oleh WHO dan
terakhir disusun melalui koggres ICM ke 27, pada bulan Juli tahun 2005 di Brisbane
Australia ditetapkan sebagai berikut: Bidan adalah seseorang yang telah mengikuti
tersebut, serta memenuhi kualifikasi untuk didaftar (regfister) dan atau memiliki izin
yang sah (lisensi) untuk melakukan praktik bidan (Mufdillah dan Asri, 2009).
Bidan diakui sebagai tenaga kerja professional yang bertanggung jawab dan
asuhan dan nasehat selama masa hamil, masa persalinan dan masa nifas, memimpin
persalinan atas tanggung jawab sendiri dan memberikan asuhan kepada bayi baru lahir
dan bayi. Asuhan ini mencakup upaya pencegahan, promosi persalinan normal,
deteksi komplikasi pada ibu dan anak, dan akses bantuan medis atau bantuan lain
penting dalam konseling dan pendidikan kesehatan tidak hanya kepada perempuan
tetapi juga kepada keluarga dan masyarakat. Kegiatan ini harus mencakup pendidikan
antenatal dan persiapan menjadi orang tua serta dapat meluas pada kesehatan
maka Ikatan Bidan Indonesia (IBI) menetapkan bahwa bidan Indonesia adalah:
Seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang diakui pemerintah dan
dan kualifikasi untuk diregister, sertifikasi dan atau secara sah mendapatkan lisensi
untuk menjalankan praktik kebidanan. Bidan diakui sebagai tenaga professional yang
bertanggung jawab dan akuntabel yang bekerja sebagai mitra perempuan untuk
memberikan dukungan, asuhan dan nasehat selama masa hamil, masa persalinan dan
asuhan kepada bayi. Asuhan ini mencakup upaya pencegahan, promosi persalinan
RI, 2004).
tidak hanya kepada perempuan tetapi juga kepada keluarga dan masyarakat. Kegiatan
ini harus mencakup pendidikan antenatal dan persiapan menjadi orang tua serta dapat
meluas pada kesehatan perempuan, kesehatan seksual atau kesehatan reproduksi dan
kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kesehatan, sistem nilai yang dianut oleh masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial
2.4.1.1. Pengetahuan
yang tidak didasari oleh pengetahuan cenderung tidak bersifat langgeng atau
adalah merupakan hasil “tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan
terhadap suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia,
yaitu:
1. Tahu (know); tahu diartikan pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali
(recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsang yang telah diterima. Oleh karena itu ”tahu” ini adalah merupakan
menggunakan materi yang telah dipelajari pada suatu kondisi nyata (sebenanya).
menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau
responden ke dalam pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur. Pengetahuan
dalam penelitian ini akan diukur dengan menggunakan jenis kuesioner yang bersifat
self administered questioner yaitu jawaban diisi sendiri oleh responden. Dan bentuk
pertanyaannya berupa pilihan berganda, dimana hanya ada satu jawaban yang benar.
2.4.1.2 Sikap
Sikap individu tidak terlepas dari perilaku, sebab proses terjadinya perilaku
Berkowitz (1972) dalam kutipan Azwar sikap seseorang terhadap suatu obyek adalah
atau memihak (unfavourable) pada obyek tersebut. Secara lebih spesifik Thurstone
memformulasikan sikap sebagai derajat efek positif atau negatif terhadap suatu obyek
Pengertian yang kurang lebih sama dikemukakan oleh Purwanto bahwa sikap
sebenarnya sudah mengandung unsur penilaian suka atau tidak suka, positif atau
negatif, yang disebut subyek atau obyek. Kalau seseoorang bersikap positif terhadap
tersebut. Sebaliknya kalau orang bersikap negatif terhadap suatu obyek, orang tersebut
menyesuaikan diri dalam situasi sosial atau secara sederhana, sikap adalah respons
terhadap stimulus sosial yang telah terkondisikan. Hal yang sama juga dikemukakan
oleh Soekidjo (1997) bahwa sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas,
akan tetapi merupakan “predisposisi” bagi suatu tindakan atau perilaku tertentu.
Dari bahan-bahan di atas dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak
melalui suatu rangkaian proses tertentu, seperti terlihat pada skema berikut:
Reaksi
Rangsang Proses
stimulus stimulus
Tingkah laku
(terbuka)
Sikap
(tertutup)
Gambar 2.2. Skema Proses terjadinya sikap dan reaksi tingkah laku
terdapat suatu dorongan yang didasarkan pada kebutuhan, perasaan, perhatian dan
kemampuan untuk mengambil suatu keputusan pada suatu saat terhadap suatu
perubahan atau stimulus. Proses dalam tahapan ini sesungguhnya masih bersifat
tertutup, tetapi sudah merupakan keadaan yang disebut sikap. Bila terus menerus
diarahkan, maka pada suatu saat akan meningkatkan menjadi lebih terbuka dan
2.4.1.3 Pendidikan
pekerjaan. De Partie Santis (1996) dikutip oleh Laurenta (2001) dimana dalam
Faktor pendidikan adalah salah satu hal yang sangat besar pengaruhnya
pendidikan maka semakin besar kemungkinan tenaga kerja dapat bekerja dan
Laksmono dan Tirto, makin tinggi pendidikan makin mudah menerima informasi
sehingga makin banyak pula pengetahuan yang dimiliki . Pendidikan diperlukan untuk
juga perilaku seseorang akan pola hidup terutama dalam memotivasi untuk siap
Pendidikan adalah suatu proses belajar yang berarti di dalam pendidikan itu terjadi
proses pertumbuhan, perkembangan atau berubah ke arah yang lebih dewasa, lebih
Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan
bagi masyarakat. Sarana dalam hal ini adalah tersedianya buku KIA di Puskesmas.
perbandingan antara manusia dengan alat kerja sehingga turut menjamin adanya
suasana kerja yang mengairahkan. Peralatan dan perlengakapan harus tepat guna yang
Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh
agama (toga), sikap dan perilaku para petugas kesehatan. Termasuk juga undang-
undang, peraturan-peraturan, baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait
kegiatan dalam upaya pencapaian tujuan. Evaluasi yang digunakan berdasarkan pada
dan prioritas pilihan dan nilai-nilai yang tersedia, dan kecukupan (adequency) yang
programkan. Rosidin dalam Putra, 2008, menyimpulkan bahwa supervisi yang baik
dilakukan sebanyak enam kali dalam satu tahun. Sulasmi dalam Putra juga
mengemukakan hal yang sama bahwa ada hubungan yang bermakna antara supervisi
dengan kinerja bidan dimana bidan yang kurang mendapat supervisi mempunyai
samping itu ketersediaan fasilitas terhadap kesehatan juga akan mendukung dan
Menurut Green 1980 yang dikutip oleh Notoatmodjo (1990), yang mendasari
reinforcing. Faktor –faktor yang tergolong sebagai faktor predisposing antara lain
ketersediaan sarana dan prasarana dalam hal ini buku KIA. Sedangkan faktor
bidan sehubungan dengan pemanfaatan buku KIA berupa pengawasan, serta sanksi
sebagai berikut:
Faktor predisposing:
1. Pengetahuan
2. Sikap
3. Pendidikan
Faktor Enabling:
Ketersediaan buku Pemanfaatan buku KIA
KIA/sarana
Faktor Reinforcing:
Penilaian/
Supervisi