Anda di halaman 1dari 6

Cari artikel atau penulis


Depan Politik Ekonomi Hukum Iptek Perempuan Keluarga Olahraga Kuliah Qureta Lainnya

Memahami Konsep Tashawwur


dan Tashdiq
Ngaji Mantik (Bag.4)

Muhammad Nuruddin

Penulis
Mahasiswa Fak.
Ushuluddin, Dept. Akidah-
Filsaf at, Unv. Al-Azhar,
Kairo, Mesir. Peminat Kajian
Suf isme, Filsaf at dan
Keislaman. Fb: Muhammad
Nuruddin. WhatsApp:
+201033847947
www.nu.or.id
Follow
23/11/2017 13.6rb 7 min baca

Lembaran pertama buku-buku mantik klasik biasanya


menyuguhkan pembahasan mengenai dua jenis pengetahuan,
yakni tashawwur dan tashdiq. Apa itu tashawwur? Dan apa itu
tashdiq? Tulisan ini akan membahas dua istilah tersebut beserta
contoh-contoh dan pembagian-pembagiannya.

Pengertian Tashawwur (Concept)

Dari sudut kebahasaan, kata tashawwur adalah bentuk


mashdar dari kata kerja tashawwara-yatashawwaru , yang
berarti membayangkan, atau menggambarkan. Dengan akar
kata yang sama terangkailah kata shûrah, yang berarti gambar.

Dengan demikian, secara bahasa, tashawwur dapat diartikan


sebagai bayangan atau gambaran. Adapun secara istilah,
tashawwur itu ialah pengetahuan atau gambaran kita terhadap
sesuatu yang tidak disertai penghukuman apapun terhadap
sesuatu tersebut ( idrâk al-Sya’i ma’a ‘adam al-Hukmi ‘alaihi ).

Contohnya seperti pengetahuan kita terhadap buku, pulpen,


kertas, kelas, masjid, rumah, hotel, dan sebagainya.
Pengetahuan kita terhadap lafaz-lafaz tunggal itu, dalam
bahasa ilmu mantik, dinamai tashawwur. Singkatnya,
tashawwur itu ialah pengetahuan “telanjang” kita terhadap
sesuatu.

Ada orang yang mengucapkan kata "buku", misalnya.


Kemudian terbayanglah dalam benak Anda bentuk buku, seperti
yang sering kita lihat. Tanpa menyertakan atribut seperti buku
itu bagus, buku itu mahal, dan sebagainya. Nah, bayangan kita
terhadap sesuatu yang tak disertai penghukuman itu, sekali
lagi, namanya tashawwur.

Namun, penting untuk diketahui sejak awal bahwa contoh


tersebut hanya salah satu jenis tashawwur, bukan satu-
satunya. Tidak selamanya tashawwur itu dihasilkan melalui
lafaz-lafaz yang berbentuk tunggal. Bisa jadi suatu kalimat itu
tersusun ( murakkab), tapi dia masih tergolong tashawwur.

Contohnya seperti: "Laptop Vero", "Baju Nabila", "Rumah


Nurma", "Mobil Radit", "Nayla putri Nuruddin", dan sejenisnya.
Meskipun ia terangkai dari dua kata, tapi karena tidak adanya
unsur penghukuman yang pasti, maka ia tetap dinamai
tashawwur. Biasanya, dalam bahasa Arab, kalimat-kalimat
seperti di atas itu disebut dengan istilah murakkab idhafiy.

Atau bisa jadi juga lafaznya tersusun, disertakan atribut, tapi


karena tidak adanya unsur penghukuman, maka ia tetap
digolongkan kedalam tashawwur. Contohnya seperti: "hewan
yang berpikir", "hewan yang meringkik", "cowok ganteng",
"cewek cantik", “ustad jomblo” dan sebagainya.

Sekalipun tersusun, ia tetap dinamai tashawwur, karena di sana


tidak ada unsur penghukuman. Dalam bahasa Arab, biasanya
contoh kalimat kedua ini disebut dengan murakkab
taushifiy, karena di samping tersusun, di sana juga ada
penyertaan atribut atau sifat.  

Begitu juga halnya dengan kalimat yang berisikan perintah dan


larangan. Sekalipun tersusun, ia masuk kedalam kategori
tashawwur. Mengapa? Karena di sana tidak ada unsur
penghukuman.

Misalnya, pacar Anda menggombal. “Sayang, please, jangan


tinggalkan aku.” Atau, “Cinta, biarkan aku hidup selamanya di
sampingmu.” Atau Anda berandai-andai: “Oh Tuhan, andaikan
aku menjadi kekasihnya.” Semua ini masih tergolong
tashawwur.

Mengapa? Karena, sekali lagi, tidak ada unsur penghukuman.


Dengan kata lain, kalimat-kalimat tersebut tak bisa diuji benar
atau salahnya. Dalam bahasa Arab, contoh kalimat seperti ini
biasanya disebut dengan istilah murakkab insyai.

Bisa jadi juga kalimatnya sudah sempurna, ada objek, ada


atribut, dan ada unsur penghukuman, tapi kita meragukan
kebenarannya. Misalnya ada orang berkata: Mirza Ghulam
Ahmad itu adalah seorang Nabi.

Meskipun kalimat tersebut sudah sempurna, ada subjek dan


atribut, tapi kalau kita menyangsikan kebenarannya, maka itu
juga masih tergolong tashawwur (gambaran), belum sampai
pada tingkat tashdiq (pembenaran).

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa tashawwur itu ialah


pengetahuan kita terhadap sesuatu yang hanya sebatas
gambaran, sementara tashdiq itu ialah pembenaran kita
terhadap suatu proposisi, baik secara afirmatif maupun negatif.
Dua Macam Tashawwur 

Selanjutnya, tashawwur ini kemudian dibagi menjadi dua. Ada


yang disebut dengan tashawwur dharuriy (apodictic), lalu ada
yang disebut tashawwur nazhariyy ( speculative).

Apa bedanya? Bedanya hanya satu, yang pertama tidak


memerlukan penalaran ( la yahtâju ilâ al-Nazhr), sedangkan
yang kedua membutuhkan penalaran ( yahtaju ila al-Nazhr).

Contoh tashawwur yang pertama, bayangan Anda terhadap


pacar Anda. Ketika Anda terhanyut dalam kerinduan, lalu tiba-
tiba ada seseorang yang menyebut nama pacar Anda, apa perlu
Anda mikir berjam-jam untuk membayangkan wajah pacar
Anda itu? Tentu tidak, bukan?

Contoh lain, bayangan Anda terhadap rasa lapar, dingin, panas


dan sejenisnya. Perlukah Anda repot-repot pergi ke
perpustakaan sambil mikir dalam-dalam untuk membayangkan
rasa lapar ketika Anda ditimpa lapar? Tentu saja tidak.

Nah, gambaran kita terhadap sesuatu yang tidak membutuhkan


penalaran itu namanya tashawwur dharuriy, atau badihiy.

Kebalikannnya adalah tashawwur jenis kedua, yakni tashawwur


nazhariy. Jika yang pertama tak membutuhkan penalaran, maka
yang kedua membutuhkan perenungan. Misalnya seperti
gambaran kita tentang malaikat, jin, ruh, akal, dan hal-hal
metafisik lainnya.

Ketika ada orang yang menyebut kata malaikat, misalnya,


biasanya kita berspekulasi macam-macam. Kita
membayangkan malaikat itu punya sayap, terbang ke langit,
berwarna putih, menyertai orang-orang saleh, dan sebagainya.

Begitu juga ketika ada orang yang menyebut kata jin. Kita
membayangkan jin itu adalah makhluk yang menyeramkan,
memiliki tanduk, wajahnya seperti tengkorak, tubuhnya
terangkai dari tulang belulang, punya ekor, dan lain-lain.
Padahal, jinnya sendiri belum tentu sesuai dengan yang kita
bayangkan itu.

Kesimpulannya, gambaran kita terhadap sesuatu yang


membutuhkan penalaran itu namanya tashawwur nazhariyy.
Sedangkan yang tidak membutuhkan penalaran disebut dengan
tashawwur dharuriy, atau tashawwur badihiy.

Pengertian Tashdiq (Assentment)

Sama halnya dengan kata tashawwur, kata tashdiq adalah


bentuk mashdar, dari kata kerja shaddaqa-yushaddiqu , yang
berarti membenarkan. Tashdiq secara kebahasaan bisa
diartikan sebagai pembenaran, atau persetujuan.

Pengertian singkatnya, kalau tashawwur itu hanya sekedar


gambaran, maka tashdiq itu ialah tashawwur yang disertai
hukum, baik secara negatif ( al-Nafy) maupun secara afirmatif
( al-Itsbat). Dalam tashdiq ini ada empat unsur yang harus kita
ketahui, yaitu:
Maudhu/Mahkum ‘alaih (subjek)
Mahmul/Mahkum bih (atribut/predikat)
Al-Nisbah al-Hukmiyyah (keterkaitan antara atribut dan
subjek)
Al-Hukm (penghukuman)

Kita ambil contoh yang sederhana.

Kalimat: Islam itu Indah.

Dari struktur kalimat di atas, kita melihat ada kata Islam,


sebagai subjek, kemudian ada kata indah, sebagai atribut. 

Nah, ketika ada orang yang berkata kepada Anda: Islam itu
Indah, tentu Anda belum bisa mengamini benar tidaknya
pernyataan tersebut kecuali setelah mengetahui dan
membayangkan keempat unsur di atas, yakni kata Islam,
kemudian kata Indah, lalu keterkaitan antara Islam dan Indah,
dan terakhir ialah berlaku-tidaknya keindahan untuk ajaran
Islam.

Kalau Anda membenarkan pernyataan di atas, dalam arti


mengakui keindahan Islam, baik secara pasti ( al-Jazm ) maupun
hanya sekedar sangkaan ( zhann), bukan rasa ragu ( al-Syakk ),
maka itu namanya tashdiq (pembenaran).

Jadi, intinya, tashdiq itu ialah pengetahuan kita terhadap


sesuatu yang disertai penghukuman baik secara negatif
ataupun secara afirmatif ( idrak al-Syai ma’a al-Hukmi ‘alaihi bi
al-Nafy aw al-Itsbat).

Atau, seperti yang saya singgung di atas, tashdiq itu ialah


pembenaran dan penerimaan kita terhadap suatu propisi
( qadhiyyah) baik secara yakin dan pasti ( al-Jazm wa al-Yaqin ),
maupun hanya sekedar sangkaan ( al-Zhann).

Dua Macam Tashdiq

Sama halnya seperti tashawwur yang terbelah kedalam dua


bagian, pembagian yang sama juga berlaku untuk tashdiq. Ada
yang disebut tashdiq dharuriy, juga ada yang disebut tashdiq
nazhariy.

Yang pertama bersifat apodiktik, yang kedua bersifat spekulatif.


Yang kedua membutuhkan penalaran, sedangkan yang pertama
tidak memerlukan pemikiran.

Contoh tashdiq yang dharuriy atau badihiy: Dua hal yang


bertentangan itu tidak akan pernah berkumpul. Matahari itu
terbit di sebalah Timur. Angka satu adalah setengah dari angka
dua. Satu tambah satu itu sama dengan dua. Langit itu ada di
atas. Dan contoh-contoh lainnya.

Contoh tashdiq yang nazhariy: Muhammad Saw itu adalah


utusan Allah. Alam ini diciptakan dari ketiadaan. Allah Swt itu
Maha Kekal. Indonesia itu adalah negara maju. Bumi ini datar
(bagi orang-orang yang mengimaninya). Dan contoh-contoh
lainnya.
Kesimpulannya, tashawwur adalah penggambaran kita
terhadap sesuatu yang tidak disertai penghukuman. Sementara
tashdiq adalah tashawwur yang disertai penghukuman.

Masing-masing dari keduanya terbagi kedalam dua bagian,


yaitu dharuriy dan nazhariy. Dharuriy artinya yang tidak
memerlukan penalaran, sementara nazhariy berarti sebaliknya.

Konsep Tashdiq Menurut al-Razi

Di atas telah penulis kemukakan bahwa tashdiq itu terdiri dari


empat unsur, yakni maudhu’, mahmul, al-Nisbah al-hukmiyyah
dan al-Hukm. Menurut Fakr al-Din al-Razi (w. 606 H), keempat
unsur tersebut merupakan bagian ( syathr) yang tak terpisahkan
dari tashdiq.

Artinya, jika salah satu dari keempat unsur itu hilang, maka
suatu frase tidak bisa menghasilkan tashdiq. Sama halnya
seperti salat yang tak dipenuhi salah satu rukunnya.

Salat yang tak memenuhi salah satu rukun jelas tidak sah.
Karena masing-masing dari rukun salat itu merupakan satu-
kesatuan yang tak terpisahkan. Begitu juga halnya dengan
tashdiq yang tak memenuhi keempat unsur di atas.

Konsep tashdiq menurut al-Razi ini berbeda dengan konsep


tashdiq yang dipahami oleh al-Hukama (para filsuf). Kelompok
kedua ini memiliki konsep yang simpel ( basith). Bagi mereka,
tashdiq itu ialah hukum, yakni unsur keempat dari empat unsur
sudah penulis sebutkan tadi.

Jika kita merujuk pada contoh kalimat di atas, maka tashdiq


dalam kalimat tersebut ialah pemastian atau pembenaran kita
bahwa Islam itu Indah. Sementara tiga unsur lainnya, yakni
maudhu’, mahmul, al-Nisbah al-Hukmiyyah, itu hanya sebagai
syarat saja.

Artinya, kalau salah satu unsur dari yang tiga itu hilang, maka,
dalam mazhab kedua ini, ia masih mungkin menghasilkan
tashdiq, tapi tidak sempurna alias cacat ( fâsid).

Sama halnya seperti salat yang tak memenuhi syarat. Wudhu


itu termasuk salah satu syarat sahnya salat. Jika Anda salat
tanpa berwudhu, maka salat Anda tidak sah.

Tapi, apakah salat yang Anda lakukan itu bukan salat? Itu tetap
salat. Tapi bukan salat yang sah. Begitu juga halnya dengan
konsep tashdiq menurut al-Hukama ini. Jika salah satu
syaratnya tak terpenuhi, bisa saja ia dikatakan sebagai tashdiq,
tapi tashdiq-nya tidak sempurna.

Kesimpulannya, al-Razi berpandangan bahwa keempat unsur di


atas adalah rukun atau bagian yang tak terpisahkan dari
tashdiq. Sementara para filsuf memandang bahwa tashdiq itu
hanya yang nomer empat, tiga sisanya hanya sebagai syarat.

Kendati demikian, baik al-Razi maupun para filsuf sepakat


bahwa tashdiq yang sempurna itu harus memenuhi keempat
unsur tadi, yaitu maudhu, mahmul, al-Nisbah al-Hukmiyyah,
dan al-Hukm. 

Tashawwur dan tashdiq ini termasuk dua konsep kunci yang


akan mengantarkan kita pada dua poros pembahasan utama
dalam ilmu mantik klasik, yakni ta’rif (definisi) dan qiyas
(silogisme). Dua konsep kunci ini akan disusul dengan konsep-
konsep lain yang insya Allah akan diulas pada bagian
mendatang. Sekian. 

Melihat dari Dekat Makna Bangunan Ihwal Manusia Super dan Uighur dan Penind
Gaya Hidup Perbatasan Motaain, Data Religion
Centenarian Jepang NT T

Ariza Fahlaivi Meea Wulan Freddy Nababan T auf ik Khalid Ahmad


02/04/2019 29/04/2019 12/03/2019
Penulis Arsitek Penulis Penulis

4 Comments Sort by Oldest

Add a comment...

Siti Hardiiantii Pratiiwii


InsyaAllah akan mengikuti terus pembahasan ilmu mantiq secara kontinue,
terima kasih atas ilmunya, semoga brkah lagi manfaat..
Like · Reply · 1y

Muhammad Nuruddin
Terima kasih sudah membaca
Like · Reply · 1y

Muhammad Aldi
Mantap Bang Nuruddin penjelasannya gamblang sekali tapi, afwan kalau boleh
usul alangkah lebih baik disertakan matan yg dibahas agar para pembaca tahu
kitab apa yang harus dibaca
Syukron
Like · Reply · 1 · 1y

Mayut Elbasiriya
Assalamu'alaikum wr.wb
Kak Maaf Boleh saya izin copas
Like · Reply · 41w

Maria Ulfa S
‫ﺷﻜﺮا ﻛﺜﻴﺮا ﺟﺪا‬
Like · Reply · 36w

Anda mungkin juga menyukai