Anda di halaman 1dari 43

ANALISA GAS DARAH (pH, POC3, PAO2, TCO2, HCO3, B3)

DI SUSUN OLEH :

KELOMPOK : I

KLS :A

PROGRAM STUDI D-III ANALIS KESEHATAN

STIKES BINA MANDIRI GORONTALO

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena

atas berkat rahmat dan karunianya, penyusun dapat menyelesaikan makalah ini

untuk memenuhi syarat mata kuliah ”Kimia Klinik”

Dalam penyusunan makalah ini mungkin penyusun mengalami kesulitan dan

kendala yang cukup banyak sehingga terdapat kekurangan pada lmakalah ini.

Namun dengan usaha sunggguh-sungguh akhirnya semua hambatan dapat diatasi

dengan baik.

Dengan demikian penyusun berharap bahwa makalah yang penyusun buat ini

dapat bermanfaat bagi penyusun dan juga bagi pembaca lainnya.

Gorontalo, Oktober 2019

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................... i
DAFTAR ISI . ..................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang. ................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 2
1.3 Tujuan Praktikum............................................................................. 2
1.4 Manfaat Praktikum........................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Analisa Gas Darah ............................................................................ 3
2.2 Fisiologis Keseimbangan Asam- Basa.............................................. 4
2.3 Gangguan Keseimbangan Asam – Basa Campuran.......................... 5
2.4 Faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan Asam dan Basa ........... 8
2.5 Indikasi Pemeriksaan Analisa Gas Darah ......................................... 12
2.6 Metode Pemeriksaan ......................................................................... 13
2.7 Spesimen Pemeriksaan Analisa Gas Darah ...................................... 17
2.8 Prosedur Pemeriksaan Analisa Gas Darah ........................................ 18
2.9 pH ...................................................................................................... 23
2.10 PCO2 ............................................................................................... 25
2.11 PAO2............................................................................................... 27
2.12 TCO2............................................................................................... 30
2.13 HCO3 .............................................................................................. 33
2.14 Base Excess (BE) ........................................................................... 35
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ..................................................................................... 36
3.2 Saran ............................................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 37
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem pernapasan terdiri dari mekanisme pompa, membran pertukaran

gas, dan kontrol saraf pusat. Dasar dari pengaturan ini adalah keseluruhan

fungsi pernapasan dan sirkulasi yang menjamin tidak hanya efisiensi

pertukaran gas tetapi juga kemampuan beradaptasi dengan kebutuhan hidup

lainnya (Sukinem, 2013).

Tingkat oksigen darah normal adalah pengukuran saturasi oksigen dalam

darah. Sel-sel darah merah mengandung molekul yang dikenal sebagai

hemoglobin yang mengikat oksigen atmosfer, dan membawanya ke berbagai

bagian tubuh. pH normal plasma darah 7,35-7,45 yang setara dengan (H+) 36–

44 nmol/L. Makin tinggi konsentrasi ion (H+), makin rendah pH-nya dan

sebaliknya (Sukinem, 2013).

Tekanan Parsial O2 (PaO2), merupakan indikator utama untuk mengetahui

oksigenasi darah. Nilai normal pada darah arteri 80 – 100 mmHg. Dalam

keseimbangan asam-basa PaO2 sendiri hanya memberikan petunjuk fisiologi

yang kecil. Peningkatan PaCO2 dalam darah disebut hiperkapnea. Penurunan

PaCO2 dalam darah disebut hipokapnea. Cara yang paling umum untuk

menentukan apakah tingkat kejenuhan oksigen yang sehat, adalah dengan

bantuan tes darah digunakan untuk memeriksa gas darah arteri (Darwis, 2008).

Pemeriksaan gas darah arteri sudah secara luas digunakan sebagai

pegangan dalam penatalaksanaan pasien-pasien penyakit berat yang akut dan

menahun. Pemeriksaan gas darah dipakai untuk menilai respirasi yaitu


pertukaran gas darah paru antara darah dan jaringan yang menganggu

keseimbangan asam basa sehingga dapat menyebabkan penurunan kesadaran.

Keseimbangan asam basa adalah suat keadaan dimana konsentrasi ion

hidrogen yang diproduksi setara dengan konsentrasi ion hidrogen yang

dikeluarkan oleh sel (Suraatmaja, 2007).

Base Excess/base deficit menggambarkan secara langsung kelebihan atau

kekurangan basa dalam darah, Jadi BE adalah jumlah asam-basa yang perlu

dititrasikan ke dalam darah agar pH kembali ke nilai normal pada keadaan

standar (PaCO2 40 mmHg dan suhu 37°C). Base excess/deficit (BE/D) adalah

cara praktis untuk mengetahui berapa besar kelainan asam-basa metabolik,

yaitu dengan melakukan titrasi invitro pada sediaan darah dengan asam/basa

kuat untuk mengembalikan pH menjadi normal (pH 7.4) (Muhardi dkk, 2001).

1.2 Rumusan Masalah

Apa tujuan pemeriksaan analisa gas (AGD) yang diantaranya terdapat

pemeriksaan pH, tekanan parsial CO2 dan tekanan parsial O2 dalam darah?

1.3 Tujuan Makalah

Untuk mengetahui tujuan pemeriksaan analisa gas (AGD) diantaranya

pemeriksaan pH, tekanan parsial CO2 dan tekanan parsial O2 dalam darah.

1.4 Manfaat Makalah

Agar mahasiswa dapat mengetahui tujuan pemeriksaan mengenai analisa

gas (AGD) diantaranya pemeriksaan pH, tekanan parsial CO2 dan tekanan

parsial O2 dalam darah.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Analisa Gas Darah

Analisis Gas Darah Analisis gas darah (AGD) adalah pemeriksaan pH,

tekanan parsial CO2 dan tekanan parsial O2 dalam darah pada saat dan

keadaan tertentu dengan analisis khusus, yang dilakukan dengan cara astrup

untuk menilai keseimbangan asam basa, ekskresi CO2 dan oksigenasi

(Warsi, 2013).

Seperti halnya pemeriksaan laboratorium yang lain digunakan sebagai

sarana penunjang diagnosis penyakit primer maupun penyakit sekunder. Gas

darah arteri memungkinkan untuk pengukuran pH dan juga keseimbangan

asam basa, oksigenasi, kadar karbondioksida, kadar bikarbonat, saturasi

oksigen, dan kelebihan atau kekurangan basa. Pemeriksaan gas darah arteri

dan pH sudah secara luas digunakan sebagai pegangan dalam

penatalaksanaan pasien-pasien penyakit berat yang akut dan menahun, juga

dapat menggambarkan hasil berbagai tindakan penunjang yang dilakukan,

tetapi kita tidak dapat menegakkan suatu diagnosa hanya dari penilaian

analisis gas darah dan keseimbangan asam basa saja, harus dihubungkan

dengan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik dan data-data laboratorim

lainnya. Pemeriksaan AGD sangat berguna sebagai penuntun dalam

penatalaksanaan terapi pasien kritis khususnya yang disertai dengan

kesadaran menurun (Warsi, 2013).

Tujuan pemeriksaan AGD adalah untuk menilai kemampuan sistem

respirasi menyediakan oksigen tubuh dan mengeluarkan CO2 dari dalam


tubuh. disamping itu pemeriksaan AGD dilakukan untuk menilai status asam

basa cairan tubuh (Warsi, 2013).

2.2 Fisiologis Keseimbangan Asam- Basa

Fisiologi asam-basa adalah bagian dari homeostasis manusia tentang

keseimbangan yang tepat antara asam dan basa, dengan kata lain, pH tubuh

sangat sensitif terhadap tingkat pH, mekanismenya begitu kuat untuk

mempertahankannya. Proses-proses fisiologis dalam tubuh hanya dapat

berlangsung dalam suasana dengan pH tertentu, yaitu 7.35 – 7.45. diluar pH

ini akan terjadi proses biokimiawi tubuh, sehingga organorgan tidak dapat

berfungsi atau bahkan menderita kerusakan. Derajat pH cairan tubuh

dipertahankan melalui 3 mekanisme yaitu :

1. Mekanisme Penyangga Kimia

Penyangga kimia darah dalam ukuran waktu detik segera bekerja,

untuk mempertahankan pH darah konstan terhadap perubahan

keseimbangan asam basa dan memfasilitasi transport ion H+ dan HCO3

(Warsi, 2013).

2. Mekanisme Respirasi

PaCO2 di dalam alveolus berada dalam keseimbangan dengan PaCO2

dan H2CO3 dalam darah. Tiap perubahan pada PaCO2 akan 28

mempengaruhi PaCO2 dan HCO3. Bila kadar HCO3 meningkat, maka

akan menyebabkan PaCO2 juga meningkat yang akan diikuti oleh

perangsangan pusat pernapasan sehingga timbul hiperventilasi untuk

mengeluarkan CO2 lebih banyak. Perubahan primer dalam konsentrasi

HCO3 darah dapat juga diatur oleh mekanisme pernapasan, dengan


pemberian HCO3 yang masif akan menyebabkan berkurangnya ventilasi

agar terdapat kenaikan CO2 sehingga perbandingan HCO3 – H2CO3 pada

pH tetap tidak berubah (Warsi, 2013).

Menurut Warsi (2013).Pusat pernapasan di medulla oblongata sangat

peka terhadap perubahan keseimbangan asam basa dan PaCO2 di darah

selalu seimbang dengan PaCO2 di alveoli sehingga :

a) Peningkatan H+ di jaringan menyebabkan reaksi bergeser ke kanan :

Peningkatan (H+ ventilasi) memacu pernapasan asidosis CO2

lebih banyak diekskresi di paru meningkat terkompensasi.  terjadi

gangguan ekskresi CO2 meningkat.

b) Kelainan paru H+ meningkat, terjadi asidosisreaksi bergeser ke kiri

respiratorik : HCO3 - reseptor H+ ikut meningkat (kompensasi

dilakukan oleh ginjal) (Warsi, 2013).

3. Mekanisme Ginjal

Pada keadaan keasaman darah yang meningkat, ginjal akan

mengeluarkan ion H+ dan menahan HCO3 - untuk mempertahankan pH

darah dalam batas normal, sehingga akan menghasilkan urine yang bersifat

asam (pH: 5,5 – 6,5). Mekanisme tersebut terdiri dari :

a) Reabsorpsi ion HCO3 –

Dalam keadaan normal seluruh ion bikarbonat yang keluar melalui

glomerulus dan masuk kedalam tubulus proksimal dan bertukar dengan

ion H+, yang dihasilkan yang berasal dari lumen tubulus

(Warsi, 2013).
b) Asidifikasi dari garam-garam penyangga

Akan terjadi ekskresi ion H+ masuk ke dalam lumen tubulus urine

untuk bergabung dengan NaH2PO4 yang dikeluarkan ke dalam urine,

sementara itu akan terbentuk HCO3 - baru.

c) Sekresi amoniak (NH3)

Amoniak (NH3) yang akan terbentuk dari hasil oksidasi asam

amino glutamin akan diubah menjadi NH4 dikeluarkan sebagai NH4Cl

(Warsi, 2013).

2.3 Gangguan Keseimbangan Asam – Basa Campuran

a) Campuran Asidosis Metabolik dan Asidosis Respiratorik

Pada keadaan ini didapatkan peningkatan PaCO2 dan penurunan

HCO3 - serta penurunan yang jelas dari pH plasma. Pada kasus ini

kelainan sistem pernapasan menghambat penurunan kompensi dari PaCO2

pada alkalosis metabolik dan kelainan metabolik menghambat mekanisme

sistem penyangga ginjal sehingga meningkatkan HCO3 - sebagai upaya

mengatasi asidosis respiratorik. Kunci untuk mengenali gangguan

campuran ini adalah perubahan komponen pernapasan dan komponen

metabolik dari persamaan reaksi penyangga kearah yang berlawanan

(Warsi, 2013).

Keadaan yang paling sering menimbulkan asidosis metabolik dan

asidosis respiratorik adalah henti cardiopulmoner yang tidak ditangani.

Henti napas tanpa ventilasi alveolar mengakibatkan penumpukan CO2

yang cepat dan hipoksia jaringan. Hal ini menyebabkan metabolisme

anaerob, sehingga terjadi penumpukan asam laktat. Contoh lain adalah


pasien penyakit paru obstruksi menahun/PPOM (asidosis respiratorik

kronis) yang jatuh ke dalam syok (asidosis metabolik), pasien gagal ginjal

kronis (asidosis metabolik) yang mengalami komplikasi insufisiensi

pernapasan akibat beban cairan berlebihan dan edema paru (Warsi, 2013).

Pengobatan pada gangguan campuran asidosis respiratorik dan

metabolik ditujukan untuk menangani kelainan yang mendasari. Pada

kasus henti cardiopulmoner, tujuannya adalah memulihkan perfusi dan

oksigenasi jaringan dengan memulihkan fungsi jantung dan paru-paru.

Perlu juga ditambahkan sedikit NaHCO3 untuk meningkatkan pH sampai

tingkat optimal (7,2) sehingga fungsi jantung dapat berespon terhadap

usaha resusitasi (Warsi, 2013).

b) Campuran Alkalosis Metabolik dan Alkalosis Respiratorik

Pada keadaan ini, terjadi peningkatan yang jelas dari pH, PaCO2 dan

HCO3 - bergeser dari batas-batas normal dalam arah yang berlawanan.

Menurut Schrier, kombinasi kelainan ini merupakan salah satu gangguan

asam basa campuran yang paling sering (Warsi, 2013).

Contoh klinik yang sering ditemukan adalah penderita penyakit paru

obstruksi menahun/PPOM (asidosis respiratorik terkompensasi dengan

peningkatan HCO3-) yang mengalami hiperventilasi akibat respirasi.

Penderita gagal jantung kongestif yang hiperventilasi (alkalosis

respiratorik) dan diobati dengan diuretik kuat (alkalosis metabolik dan

hipokalemia), atau mengalami muntah atau aspirasi nasogastrik yang lama

dan juga orang dengan hiperventilasi neurogenik sentral pada trauma

batang otak yang mendapatkan pengobatan diuretic (Warsi, 2013).


Pada gangguan alkalosis campuran ini, masing-masing gangguan

akan menghambat respon kompensatorik satu sama lain. Pada perawatan

pasien penyakit paru obstruksi menahun yang menggunakan ventilator,

penentuan ventilasi dan kadar oksigen harus diperhatikan benar-benar agar

PaO2 dipertahankan pada kadar aman minimal sekitar 60-70 mmHg,

sementara itu PaCO2 diturunkan perlahanlahan sekali, sehingga memberi

kesempatan pada ginjal untuk meningkatkan HCO3 - . Pada penderita

gagal jantung kongesti dan penderita hiperventilasi neurogenik sentral

diatasi dengan NaCl dan KCl sebagai upaya untuk menurunkan HCO3 -

dan memulihkan pH ke batas yang aman, oleh karena akan sulit atau tidak

mungkin untuk dapat langsung menaikkan PaCO2 (Warsi, 2013).

c) Campuran Asidosis Metabolik dan Alkalosis Respiratorik

Gangguan campuran asidosis metabolik dan alkalosis respiratorik

dapat diketahui jika HCO3 - plasma dan PaCO2 sama-sama rendah, dan

pH normal atau mendekati normal oleh karena gangguan ini cendrung

saling menutupi satu dengan yang lainnya. Alkalosis respiratorik primer

dapat timbul bersama berbagai tipe asidosis metabolik. Sering timbul pada

asidosis laktat sebagai komplikasi subseptik disertai hiperventilasi.

Alkalosis respiratorik juga sering menyertai asidosis ginjal pada sindrom

hepatorenal dan asidosis organik pada intoksikasi salisilat (Warsi, 2013).

Pada gangguan campuran antara asidosis metabolik dan alkalosis

respiratorik, maka penurunan PaCO2 akan lebih besar dari perkiraan

kompensasi asidosis metabolik primer, dan penurunan HCO3 - akan lebih

besar daripada perkiraan sebagai kompensasi alkalosis respiratorik primer.


Penanganan harus ditujukan terhadap keadaan yang menyebabkan

ketidakseimbangan asam-basa campuran, oleh karena pH normal atau

mendekati normal (Warsi, 2013).

d) Campuran Alkalosis Metabolik dan Asidosis Respiratorik

Diagnosis dari campuran antara asidosis respiratorik dan alkalosis

metabolik dapat dibuat jika HCO3 - plasma dan PaCO2 kedua-duanya

meningkat dan pH normal atau mendekati normal

Gangguan-gangguan pada pasien PPOM (asidosis respiratorik kronik)

yang mendapatkan diuretik kuat atau yang mengalami gangguan lain yang

menyebabkan alkalosis metabolik, seperti muntah-muntah, aspirasi

nasogastrik, atau terapi steroid. Gangguan asam-basa ganda ini juga terjadi

pada sindrom distress napas. Pada kasus penyakit paru obstruksi

menahun/PPOM, penanganan alkalosis akan memperbaiki ventilasi secara

bermakna. Diet tinggi klorida atau pengobatan KCl akan membantu

menurunkan HCO3 – plasma (Warsi, 2013).

2.4 Faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan Asam dan Basa

Pengaturan keseimbangan asam basa diselenggarakan melalui koordinasi

dari 3 sistem :

1. Sistem Buffer

Sistem penyangga asam basa kimiawi dalam cairan tubuh, yang

dengan segera bergabung dengan asam atau basa untuk mencegah

perubahan konsentrasi ion hidrogen yang berlebihan. Sistem buffer ini

menetralisir kelebihan ion hidrogen, bersifat temporer dan tidak

melakukan eliminasi. Fungsi utama sistem buffer adalah mencegah


perubahan pH yang disebabkan oleh pengaruh asam fixed dan asam

organic pada cairan ekstraseluler. Sebagai buffer, sistem ini memiliki

keterbatasan yaitu :

a. Tidak dapat mencegah perubahan pH di cairan ekstraseluler yang

disebabkan karena peningkatan CO2.

b. Sistem ini hanya berfungsi bila sistem respirasi dan pusat pengendali

sistem pernafasan bekerja normal

c. Kemampuan menyelenggarakan sistem buffer tergantung pada

tersedianya ion bikarbonat.

Ada 4 sistem buffer :

a. Buffer bikarbonat merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel terutama

untuk perubahan yang disebabkan oleh non-bikarbonat

b. Buffer protein merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel dan intrasel

c. Buffer hemoglobin merupakan sistem dapar di dalam eritrosit untuk

perubahan asam karbonat

d. Buffer fosfat merupakan sistem dapar di sistem perkemihan dan cairan

intrasel.

Sistem dapat kimia hanya mengatasi ketidakseimbangan asam-basa

sementara. Jika dengan buffer kimia tidak cukup memperbaiki

ketidakseimbangan, maka pengontrolan pH akan dilanjutkan oleh paru-

paru yang berespon secara cepat terhadap perubahan kadar ion H dalam

darah akinat rangsangan pada kemoreseptor dan pusat pernafasan,

kemudian mempertahankan kadarnya sampai ginjal menghilangkan

ketidakseimbangan tersebut. Ginjal mampu meregulasi ketidakseimbangan


ion H secara lambat dengan menskresikan ion H dan menambahkan

bikarbonat baru ke dalam darah karena memiliki dapar fosfat dan amonia.

Proses eliminasi dilakukan oleh paru dan ginjal. Mekanisme paru

dan ginjal dalam menunjang kinerja sistem buffer adalah dengan mengatur

sekresi, ekskresi, dan absorpsi ion hidrogen dan bikarbonat serta

membentuk buffer tambahan (fosfat, ammonia). Untuk jangka panjang,

kelebihan asam atau basa dikeluarkan melalui ginjal dan paru sedangkan

untuk jangka pendek, tubuh dilindungi dari perubahan pH dengan sistem

buffer. Mekanisme buffer tersebut bertujuan untuk mempertahankan pH

darah antara 7,35- 7,45.

2. Sistem Paru

Paru-paru, dibawah kendali medula otak, mengendalikan

karbondioksida, dan karena itu juga mengendalikan kandungan asam

karbonik dari cairan ekstraseluler. Paru-paru melakukan hal ini dengan

menyesuaikan ventilasi sebagai respons terhadap jumlah karbon dioksida

dalam darah. Kenaikan dari tekanan parsial karbondioksida dalam darah

arteri (PaCO2) merupakan stimulan yang kuat untuk respirasi. Tentu saja,

tekanan parsial karbondioksida dalam darah arteri (PaCO2) juga

mempengaruhi respirasi. Meskipun demikian, efeknya tidak sejelas efek

yang dihasilkan oleh PaCO2. Pada keadaan asidosis metabolik, frekuensi

pernapasan meningkat sehingga menyebabkan eliminasi karbon dioksida

yang lebih besar (untuk mengurangi kelebihan asam).


Pada keadaan alkalosis metabolik, frekuensi pernapasan

diturunkan, dan menyebabkan penahanan karbondioksida (untuk

meningkatkan beban asam).

3. Sistem Ginjal

Untuk mempertahankan keseimbangan asam basa, ginjal harus

mengeluarkan anion asam non volatile dan mengganti HCO3 - Ginjal

mengatur keseimbangan asam basa dengan sekresi dan reabsorpsi ion

hidrogen dan ion bikarbonat. Pada mekanisme pemgaturan oleh ginjal ini

berperan 3 sistem buffer asam karbonat, buffer fosfat dan pembentukan

ammonia. Ion hidrogen, CO2, dan NH3 diekskresi ke dalam lumen tubulus

dengan bantuan energi yang dihasilkan oleh mekanisme pompa natrium di

basolateral tubulus. Pada proses tersebut, asam karbonat dan natrium

dilepas kembali ke sirkulasi untuk dapat berfungsi kembali. Tubulus

proksimal adalah tempat utama reabsorpsi bikarbonat dan pengeluaran

asam.

Ion hidrogen sangat reaktif dan mudah bergabung dengan ion

bermuatan negative pada konsentrasi yang sangat rendah. Pada kadar yang

sangat rendahpun, ion hidrogen mempunyai efek yang besar pada sistem

biologi. Ion hidrogen berinteraksi dengan berbagai molekul biologis

sehingga dapat mempengaruhi struktur protein, fungsi enzim dan

ekstabilitas membrane. Ion hidrogen sangat penting pada fungsi normal

tubuh misalnya sebagai pompa proton mitokondria pada proses fosforilasi

oksidatif yang menghasilkan ATP.


Produksi ion hidrogen sangat banyak karena dihasilkan terus

meneru1s di dalam tubuh. Perolehan dan pengeluaran ion hidrogen sangat

bervariasi tergantung diet, aktivitas dan status kesehatan. Ion hidrogen di

dalam tubuh berasal dari makanan, minuman, dan proses metabolism

tubuh. Di dalam tubuh ion hidrogen terbentuk sebagai hasil metabolism

karbohidrat, protein dan lemak, glikolisis anaerobik atau ketogenesis.

2.5 Indikasi Pemeriksaan Analisa Gas Darah

Pemeriksaan AGD akan memberikan hasil pengukuran yang tepat dari

kadar oksigen dan karbon dioksida dalam tubuh. Hal ini dapat membantu

dokter menentukan seberapa baik paru-paru dan ginjal bekerja. Biasanya

dokter memerlukan tes analisa gas darah apabila menemukan gejala-gejala

yang menunjukkan bahwa seorang pasien mengalamai ketidakseimbangan

oksigen, karbon dioksida, atau pH darah. Gejala yang dimaksud meliputi:

 Sesak napas

 Sulit bernafas

 Kebingungan

 Mual

Perlu diingat bahwa ini merupakan gejala dari suatu penyakit yang

menyebabkannya seperti pada asma dan penyakit paru obstruktif kronik,

“PPOK”. Di sisi lain, apabila dokter sudah mencurigai adanya penyakit, maka

pemeriksaan analisa gas darah juga akan diperlukan, seperti pada

kondisikondisi di bawah ini: Penyakit paru-paru, misalnya asma, PPOK,

pneumonia, dan lain-lain.

- Penyakit ginjal, misalnya gagal ginjal.


- Penyakit metabolik, misalnya diabetes melitus atau kencing manis

- Cedera kepala atau leher yang mempengaruhi pernapasan

Dengan melakukan pemeriksaan ini, selain untuk menentukan penyakit,

dokter juga bisa memantau hasil perawatan yang sebelumnya diterapkan

kepada pasien. Untukk tujuan ini, pemeriksaan AGD sering dipesan bersama

dengan tes lain, seperti tes glukosa darah untuk memeriksa kadar gula darah

dan tes darah kreatinin untuk mengevaluasi fungsi ginjal.

2.6 Metode Pemeriksaan

Menurut Manokharan (2017), metode pemeriksaan analisa gas darah yaitu:

1. Pulse oximetry

a. Kegunaan Pulse oximetry

Pulse oximetry adalah sebuah alat monitor elektronik yang

digunakan sebagai pengukur noninvasif saturasi oksigen arteri secara

kontinyu dan merupakan alat standar yang rutin digunakan di unit

emergensi, unit intensif, kamar operasi, dan tempat lainnya. Pengukuran

saturasi oksigen dengan menggunakan pulse oximetry ini amatlah

penting dan mudah sehingga sudah diajukan sebagai tanda vital yang ke

lima. Dari sebuah penelitian baru-baru ini menyatakan bahwa

penggunaan pulse oximetry bersama dengan pemeriksaan analisis darah

vena sentral dapat memberikan banyak manfaat dan informasi

dibandingkan dengan pemeriksaan darah arteri saja.

b. Prinsip kerja Pulse oximetry

Prinsip kerja alat ini adalah dengan mengukur persentase dari

saturasi hemoglobin dengan menggunakan oksigen molekul. Alat ini


bekerja dengan cara mengobservasi absorpsi gelombang cahaya yang

melewati kulit dan berinteraksi dengan sel darah merah. Prinsipnya

didasarkan pada karakteristik khusus dari oxyhemoglobin dan

deoxyhemoglobin yang mengabsorpsi cahaya dengan panjang gelombang

yang berbeda. Dengan mengukur perbedaan tersebut oxymeter dapat

menghitung jumlah cahaya 17 yang diabsorpsi dari aliran arteri sehingga

persentase oxyhemoglobin dapat diperhitungkan.

c. Keuntungan Pulse oximetry

1. Noninvasif

2. Dapat digunakan secara terus menerus

3. Sederhana

4. Cukup akurat untuk mendeteksi saturasi oksigen

5. Mengurangi risiko tindakan medis

d. Kelemahan Pulse oximetry

1. Dipengaruhi gerakan

2. Kurang akurat pada keadaan dengan perfusi jelek seperti pada syok,

hipotermi, gangguan jantung

3. Dipengaruhi warna kulit dan warna cat kuku karena akan

mempengaruhi pembacaan.

4. Kurang akurat pada takiaritmia

5. Dipengaruhi gelombang elektromagnetik

6. Dipengaruhi posisi probe dari pulse oximetry

7. Dipengaruhi oleh hemoglobin yang tidak normal yaitu

carboxyhemoglobin dan methemoglobine


2. Metode Henderson – Hasselbach (H – H)

Persamaan H – H menitik beratkan pada sistem buffer asam

karbonat yang memegang peranan penting dalam pengaturan asam basa

melalui ginjal dan paru – paru. Karbondioksida bereaksi dengan air

untuk membentuk HCO3- dan H+.

CO2 + H2O ↔ H2CO3 ↔ H+ + HCO3-

Berdasarkan hukum kekekalan massa, maka [H+] [HCO3-] /

[H2CO3] = konstan. Sehingga, dapat ditentukan bahwa pH = pKa +

log([H+] [HCO3-] / [H2CO3]). Dari persamaan tersebut, pH dapat

dikatakan sebagai rasio antara bikarbonat dan karbondioksida.

Perubahan pH dapat disebabkan oleh perubahan CO2 (respirasi) atau

HCO3- (metabolik). Sistem kompensasi tubuh berusaha

mempertahankan rasio tersebut tetap 20:1.

Namun, persamaan H – H tidak membahas mekanisme perubahan

pH akibat efek metabolik sejelas efek respiratoriknya, karena secara in

vivo kadar bikarbonat sangat tergantung pada tekanan parsial

karbondioksida (pCO2). Oleh sebab itu, muncullah konsep standard

bikarbonat dan standard base excess (BE) untuk membantu menghitung

efek metabolik terhadap perubahan pH. Standard bikarbonat adalah

jumlah bikarbonat yang seharusnya ada pada PCO2 = 40 mmHg,

sehingga dapat menyingkirkan efek respirasi pada suatu perubahan pH.

Sementara standard BE melihat jumlah asam (dalam mmol/l) yang

harus ditambahkan atau dikurangkan pada sampel darah yang sama


dengan Hb 5,5 g/dl untuk mencapai pH normal pada PCO2 40 mmHg.

Semakin negatif BE menunjukkan sampel darah tersebut semakin asam.

3. Metode Stewart

Metode pendekatan asam basa yang diakui secara luas. Metode ini

menggunakan pendekatan matematis dan menyimpulkan bahwa jika

hukum keseimbangan muatan terjadi pada suatu larutan, maka pH atau

konsentrasi ion H+ akan ditentukan terutama oleh derajat disosiasi air.

Terdapat tiga variabel yang masing-masing dapat mempengaruhi

derajat disosiasi air, yaitu PCO2, strong ion difference (SID), dan

konsentrasi total asam lemah (Atot). Ion bikarbonat dan asam lemah

merupakan variabel yang terikat.

Metode pendekatan asam basa yang diakui secara luas. Metode ini

menggunakan pendekatan matematis dan menyimpulkan bahwa jika

hukum keseimbangan muatan terjadi pada suatu larutan, maka pH atau

konsentrasi ion H+ akan ditentukan terutama oleh derajat disosiasi air.

Terdapat tiga variabel yang masing-masing dapat mempengaruhi

derajat disosiasi air, yaitu PCO2, strong ion difference (SID), dan

konsentrasi total asam lemah (Atot). Ion bikarbonat dan asam lemah

merupakan variabel yang terikat.

4. Metode Berbeau Test

Metode Berbeau test ini digunakan dalam mendeteksi secara dini dan

menilai terhadap terjadinya penurunan aliran darah serta oklusi di arteri

radialis selama proses kompresi yang menggunakan alat kompresi.

Barbeau test mampu mengenali gejala gangguan kepatenan arteri radialis


selama proses kompresi secara cepat dan akurat, sehingga hal tersebut

dapat meminimalisir terjadinya RAO (Radial Artery Occlusion).

2.7 Spesimen Pemeriksaan Analisa Gas Darah

Menurut Ariosta, (2017), specimen yang digunakan untuk pemeriksaan

analisa gas darah yaitu :

1. Arteri Arteri radialis dan arteri ulnaris (sebelumnya dilakukan allen’s

test) merupakan pilihan pertama yang paling aman dipakai untuk fungsi

arteri kecuali terdapat banyak bekas tusukan atau haematoem juga apabila

Allen test negatif.

2. Arteri Dorsalis Pedis, merupakan pilihan kedua.

3. Arteri Brachialis, merupakan pilihan ketiga karena lebih banyak resikonya

bila terjadi obstruksi pembuluh darah.

4. Arteri Femoralis, merupakan pilihan terakhir apabila pada semua arteri

diatas tidak dapat diambil. Bila terdapat obstruksi pembuluh darah akan

menghambat aliran darah ke seluruh tubuh / tungkai bawah dan

bila yang dapat mengakibatkan berlangsung lama dapat menyebabkan

kematian jaringan. Arteri femoralis berdekatan dengan vena besar,

sehingga dapat terjadi percampuran antara darah vena dan arteri.

5. Arteri tibialis posterior, dan Arteri dorsalis pedis

Arteri femoralis atau brakialis sebaiknya tidak digunakan jika masih

ada alternatif lain, karena tidak mempunyai sirkulasi kolateral yang cukup

untuk mengatasi bila terjadi spasme atau trombosis. Sedangkan arteri

temporalis atau axillaris sebaiknya tidak digunakan karena adanya risiko

emboli otak.
2.8 Prosedur Pemeriksaan Analisa Gas Darah

Menurut Farhan dkk, (2015), prosedur pemeriksaan gas darah yaitu :

1. Pra Analitik

a. Persiapan Pasien :

1. Memberikan penjelasan pada klien (bila mungkin) dan keluarga

mengenai tujuan pengambilan darah dan prosedur yang akan

dilakukan.

2. Jelaskan bahwa dalam prosedur pengambilan akan menimbulkan rasa

sakit

3. Jelaskan komplikasi yang mungkin timbul

4. Mengatur posisi pasien

b. Persiapan Sampel :

Antikoagulan yang digunakan dalam pengambilan darah arteri

adalah heparin. Pemberian heparin yang berlebiham akan menurunkan

tekanan CO2. Antikoagulan dapat mendilusi konsentrasi gas darah dalam

tabung. Sedangkan pH tidak terpengaruh karena efek penurunan CO2

terhadap pH dihambat oleh keasaman heparin.

c. Metode Pemeriksaan : Allens Test

d. Prinsip Pemeriksaan :

Gas sampel yang diambil melalui probe akan masuk ke setiap

sampel sel secara bergiliran dimana gas sampel akan dibandingkan

dengan gas standar melalui pemencaran system infra red dimana akan

menghasilkan perbedaan panjang gelombang yang akan dikonversi

receiver menjadi signal analog (420).


e. Alat dan Bahan :

1. 3 ml sampai 5 ml gelas syringe,

2. 1 ml ampul heparin aqueous,

3. 20 G 11/4‖ jarum,

4. 22 G 1‖ jarum,

5. Sarung tangan,

6. Alkohol atau povidone-iondine pad,

7. Gauze pads,

8. Topi karet untuk syringe hub atau penutup karet untuk jarum,

9. Label,

10. Ice-filled plastic bag,

11. Perekat balutan,

12. Opsional:

a. 1% licoaine solution,

b. Peralatan siap AGD.

2. Analitik

a. Prosedur pada tindakan analisa gas darah ini adalah sebagai berikut:

1. Siapkan peralatan dan bahan yang dibutuhkan sebelum memasuki

ruangan pasien.

2. Cuci tangan dengan menggunakan tujuh langkah benar

3. Bila menggunakan peralatan AGD yang sudah siap, buka peralatan

tersebut serta pindahkan labelcontoh dan tas plastik (plastic bag).


4. Catat label nama pasien, nomor ruangan, temperatur suhu pasien,

tanggal dan waktu pengambilan,metode pemberian oksigen, dan nama

perawat yang bertugas pada tindakan tersebut.

5. Beritahu pasien alasan dalam melakukan tindakan tersebut dan

jelaskan prosedur ke pasien untuk membantu mengurangi kecemasan

dan meningkatkan kooperatif pasien dalam melancarkan tindakan

tersebut.

6. Cuci tangan dan setelah itu gunakan sarung tangan.

7. Lakukan pengkajian melalui metode tes Allen :

Minta klien untuk mengepalkan tangan dengan kuat, berikan

tekanan langsung pada arteri radialisdan ulnaris, minta klien untuk

membuka tangannya, lepaskan tekanan pada arteri, observasi

warna jari-jari, ibu jari dan tangan. Jari-jari dan tangan harus memerah

dalam 15 detik, warna merah menunjukkan test allen’s positif.

Apabila tekanan dilepas, tangan t etap pucat, menunjukkan test allen’s

negatif. Jika pemeriksaan negatif, hindarkan tangan tersebut dan

periksa tangan yang lain.

8. Bersihkan daerah yang akan di injeksi dengan alkohol atau

povidoneiodine pad.

9. Gunakan gerakan memutar (circular ) dalam membersihkan area

injeksi, dimulai dengan bagian tengah lalu ke bagian luar.

10. Palpasi arterti dengan jari telunjuk dan tengah satu tangan ketika

tangan satunya lagi memegang syringe


11. Pegang alat pengukur sudut jarum hingga menunjukkan 30-45

derajat. Ketika area injeksi arteribrankhial, posisikan jarum 60

derajat.

12. Injeksi kulit dan dinding arterial dalam satu kali langkah.

13. Perhatikan untuk blood backflow di syringe

14. Setelah mengambil contoh, tekan gauze pad pada area injeksi

hingga pedarahan berhenti yaitu sekitar 5 menit.

15. Periksa syringe dari gelembung udara. Jika muncul gelembung

udara, pindahkan gelembung tersebut dengan memegang syringe ke

atas dan secara perlahan mengeluarkan beberapa darah ke gauze pad

16. Masukan jarum ke dalam penutup jarum atau pindahkan jarum dan

tempatkan tutup jarum pada jarum yang telah digunakan tersebut.

17. Letakkan label pada sampel yang diambil yang sudah diletakkan

pada ice-filled plastic bag

18. Ketika pedarahan berhenti, area yang di injeksi diberikan balutan

kecil dan direkatkan.

19. Pantau tanda vital pasien, dan observasi tanda dari sirkulasi.

20. Pantau atau perhatikan risiko adanya perdarahan di area injeksi.

2.2 Pemeriksaan Analisa Gas Darah.

Pemeriksaan Analisa Gas darah dilkukan dengan menggunakan alat

otomatik yang disebut Blood Gas Analyzer. Adapun prosedure untuk

pemeriksaan ini adalah :

1. Nyalakan power ON
2. Setiap pertama kali menghidupkan alat, lalu kalibrasi dengan cara

tekan calibrate kemudian enter. Alat akan melakukan kalibrasi secara

otomatis.

3. Apabila ada sample pemeriksaan sebelum melakukan pemeriksaan

tekan status untuk mengetahui kondisi apakah pH, PCO2 dan

PO2 kondisinya OK. Jika OK sample langsung dapat diperiksa.

Setelah dilakukan pemeriksaan, alat ini akan mengkalibrasi secara

otomatis.

4. Apabila alat sudah dalam kondisi ready for analysa berarti alat

sudah siap melakukan pemeriksaan, tekan Analyzer. Selang pengisap

sample akan keluar secara otomatis kemudian masukan sample

bersamaan tekan lagi analyzer sampai sample terhisap secara

otomatis selang akan masuk sendiri.

3. Pasca Analitik

a. Interpretasi Hasil Tekanan Parsial Oksigen (PaO2).

PaO2 adalah ukuran tekanan parsial yang dihasilkan oleh sejumlah

oksigen yang terlarut dalam plasma. Nilai ini menunjukkan kemampuan

paru-paru dalam menyediakan oksigen bagi darah.

1. Nilai Normal (suhu kamar, tergantung umur): 75 - 100 mmHg

2. SI : 10 - 13.3 kPa

b. Implikasi Klinik:

1. Penurunan nilai PaO2 dapat terjadi pada penyakit paru obstruksi

kronik, PPOK, penyakit obstruksi paru, anemia, hipoventilasi akibat

gangguan fisik atau neoromuskular dan gangguan fungsi jantung.


Nilai PaO2 kurang dari 40 mmHg perlu mendapatkan perhatian

khusus.

2. Peningkatan nilai PaO2 dapat terjadi pada peningkatan penghantaran

O2 oleh alat bantu, contohnya nasal prongs, alat ventilasi mekanik

hiperventilasi dan polisitemia, peningkatan sel darah merah dan daya

angkut oksigen.

2.9 pH

pH adalah logaritma negatif dari konsentrasi ion hidrogen, atau pH = -log

(H+ ). pH normal plasma darah 7,35-7,45 yang setara dengan (H+ ) 36–44

nmol/L. Makin tinggi konsentrasi ion (H+ ), makin rendah pH-nya dan

sebaliknya. pH darah yang kurang dari 7,35 disebut asidemia dan prosesnya

disebut asidosis. pH darah yang lebih besar dari 7,45 disebut alkalemia dan

prosesnya disebut alkalosis. Rentang pH terjauh yang masih dapat

ditanggulangi yaitu antara 6,8 – 7,8. pH ≤ 7,25 dan ≥ 7,55 dapat

membahayakan jiwa. pH darah < 6,8 dan > 7,8 sudah tidak dapat

ditanggulangi. Pada asidosis dan alkalosis (respiratorik dan metabolik) pH

dapat berubah atau tidak berubah tergantung pada derajat kompensasi dan

adanya gangguan asam basa campuran (Warsi, 2013).

Konsentrasi ion hidrogen normalnya adalah rendah dan dalam jumlah

yang kecil ini tidak praktis, biasanya konsentrasi ion hidrogen disebutkan

dalam skala logaritma, dengan menggunakan satuan pH. pH berhubungan

dengan konsentrasi ion hidrogen.

pH normal darah arteri adalah 7,4, sedangkan pH darah vena dan cairan

interstetial sekitar 7,35 akibat jumlah ekstra karbondioksida (CO2) yang


dibebaskan dari jaringan untuk membentuk H2CO3. 3 Karena pH normal

darah arteri 7,4 seseorang diperkirakan mengalami asidosis saat pH turun

dibawah nilai ini dan mengalami alkolisis saat pH meningkat diatas 7,4. Batas

rendah pH dimana seseorang dapat hidup lebih dari beberapa jam adalah

sekitar 6,8 dan batas atas adalah sekitar 8,0.

pH intraseluler biasanya sedikit lebih rendah daripada pH plasma karena

metabolisme sel menghasilkan asam, terutama H2CO3. Bergantung pada

jenis sel, pH cairan intraseluler diperkirakan berkisar antara 6,0 dan 7,4.

Hipoksia jaringan dan aliran darah yang buruk ke jaringan dapat

menyebabkan pengumpulan asam dan itu dapat menurunkan pH intraseluler.

Interpretasi Hasil Pemeriksaan pH Serum pH menggambarkan

keseimbangan asam basa dalam tubuh. Sumber ion hidrogen dalam tubuh

meliputi asam volatil dan campuran asam seperti asam laktat dan asam keto.

Nilai normal pH serum:

Nilai normal : 7.35 - 7.45

Nilai kritis : < 7.25 - 7.55

Implikasi Klinik:

1. Umumnya nilai pH akan menurun dalam keadaan asidemia

peningkatan pembentukan asam

2. Umumnya nilai pH meningkat dalam keadaan alkalemia kehilangan

asam

3. Bila melakukan evaluasi nilai pH, sebaiknya PaCO2 dan HCO3

diketahui juga untuk memperkirakan komponen pernafasan atau

metabolik yang mempengaruhi status asam basa


2.10 PCO2

Di dalam alveolus berada dalam keseimbangan dengan PaCO2 dan

H2CO3 dalam darah. Tiap perubahan pada PaCO2 akan 28 mempengaruhi

PaCO2 dan HCO3. Bila kadar HCO3 meningkat, maka akan menyebabkan

PaCO2 juga meningkat yang akan diikuti oleh perangsangan pusat

pernapasan sehingga timbul hiperventilasi untuk mengeluarkan CO2 lebih

banyak. Perubahan primer dalam konsentrasi HCO3 darah dapat juga diatur

oleh mekanisme pernapasan, dengan pemberian HCO3 yang masif akan

menyebabkan berkurangnya ventilasi agar terdapat kenaikan CO2 sehingga

perbandingan HCO3 – H2CO3 pada pH tetap tidak berubah. Menurut

Muhardi dan Tampubolon (1989) Pusat pernapasan di medulla oblongata

sangat peka terhadap perubahan keseimbangan asam basa dan PaCO2 di

darah selalu seimbang dengan PaCO2 di alveoli sehingga : a. Peningkatan H+

di jaringan menyebabkan reaksi bergeser ke kanan : Peningkatan (H+

ventilasi) memacu pernapasan asidosis CO2 lebih banyak diekskresi di paru

meningkat terkompensasi. terjadi gangguan ekskresi CO2 meningkat b.

Kelainan paru H+ meningkat, terjadi asidosisreaksi bergeser ke kiri

respiratorik : HCO3 - reseptor H+ ikut meningkat (kompensasi dilakukan

oleh ginjal)

Ukuran ini berbanding langsung dengan konsentrasi asam karbonat dan

merupakan ukuran yang sangat penting untuk menentukan kelainan respirasi

dan kelainan metabolik. Nilai normal pada darah arteri 35 – 45 mmHg.

Peningkatan PaCO2 dalam darah disebut hiperkapnea. Keadaan ini terjadi

akibat penurunan ventilasi alveolar karena penyakit pada paru atau cabang
bronkus, obstruksi jalan napas, atau bernapas dalam udara 41 yang banyak

mengandung CO2, depresi pusat pernapasan atau gangguan neuromuskular

alat pernapasan juga menyebabkan retensi CO2. Pada peningkatan PaCO2

akan merangsang pusat pernapasan untuk menurunkan PaCO2, akan tetapi

pada keadaan PaCO2 sangat tinggi (> 70 mmHg) justru terjadi penekanan

pusat pernapasan. Penurunan PaCO2 dalam darah disebut hipokapnea.

Keadaan ini terjadi akibat peningkatan ventilasi alveolar pada bantuan

respirasi mekanik yang terlalu cepat atau stimulasi pusat pernapasan.

PaCO2 menggambarkan tekanan yang dihasilkan oleh CO2 kyang

terlarut dalam plasma. Dapat digunakan untuk menetukan efektifitas ventilasi

dan keadaan asam basa dalam darah. Interpretasi Hasil Tekanan Parsial

Karbon Dioksida, (PaCO2).

Nilai Normal : 35 - 45 mmHg

SI : 4.7 - 6.0 kPa

Implikasi Klinik:

1. Penurunan nilai PaCO2 dapat terjadi pada hipoksia, anxiety/ nervousness

dan emboli paru. Nilai kurang dari 20 mmHg perlu mendapatkan

perhatiaan khusus.

2. Peningkatan nilai PaCO2 dapat terjadi pada gangguan paru atau penurunan

fungsi pusat pernafasan. Nilai PaCO2 > 60 mmHg perlu mendapat

perhatian khusus.

3. Umumnya peningkatan PaCO2 dapat terjadi pada hipoventilasi sedangkan

penurunan nilai menunjukkan hiperventilasi. 4. Biasanya penurunan 1

mEq HCO3 akan menurunkan tekanan PaCO2 sebesar 1.3 mmHg.


2.11 PAO2

A. Pengukuran Oksigen Darah

PO2, adalah tekanan gas O2 dalam darah. Kadar yang rendah

menggambarkan hipoksemia dan pasien tidak bernafas dengan adekuat.

PO2 dibawah 60 mmHg mengindikasikan perlunya pemberian oksigen

tambahan. Kadar normal PO2 adalah 80-100 mmHg (Sukinem N. 2013).

Tingkat oksigen di dalam tubuh dapat diukur dengan bantuan

berbagai metode. Cara yang paling umum untuk menentukan apakah

tingkat kejenuhan oksigen yang sehat, adalah dengan bantuan tes darah

digunakan untuk memeriksa gas darah arteri. Cara lain yang mudah

untuk memeriksa tingkat oksigen dalam darah, adalah dengan

menggunakan oksimeter pulsa. Ini adalah sebuah perangkat kecil yang

mengukur kadar oksigen dalam darah dengan cara sensor cahaya

(Sukinem N. 2013).

B. Cara Pengukuran O2

Menurut Guyton dkk (2008), ada tiga cara mengukur O2 darah yaitu:

1. Kandungan O2 merupakan jumlah O2 yang terbawa oleh 100 ml darah.

2. PO2 atau tekanan yang diciptakan oleh O2 yang terlarut dalam plasma.

3. Saturasi oksigen hemoglobin yang merupakan pengukuran persentase

O2 yang dibawa Hb yang berhubungsn dengan jumlah total yang dapat

dibawa Hb. Mayoritas O2 dalam darah dibawa oleh Hb, dan jumlah

sangat sedikit dilarutkan dalam plasma. Persentase saturasi Hb dengan

O2 memberikan perkiraan mendekati jumlah total O2 yang dibawa

oleh darah.
PaO2 adalah ukuran tekanan parsial yang dihasilkan oleh sejumlah

oksigen yang terlarut dalam plasma. Nilai ini menunjukkan kemampuan

paru-paru dalam menyediakan oksigen bagi darah. Interpretasi Hasil

Tekanan Parsial Oksigen, (PaO2):

Nilai Normal (suhu kamar, tergantung umur): 75 - 100 mmHg

SI : 10 - 13.3 kPa

Implikasi Klinik:

1. Penurunan nilai PaO2 dapat terjadi pada penyakit paru obstruksi

kronik, PPOK, penyakit obstruksi paru, anemia, hipoventilasi akibat

gangguan fisik atau neoromuskular dan gangguan fungsi jantung.

Nilai PaO2 kurang dari 40 mmHg perlu mendapatkan perhatian

khusus.

2. Peningkatan nilai PaO2 dapat terjadi pada peningkatan penghantaran

O2 oleh alat bantu, contohnya nasal prongs, alat ventilasi mekanik

hiperventilasi dan polisitemia, peningkatan sel darah merah dan daya

angkut oksigen.

C. Kadar Oksigen Dalam Darah

Kadar oksigen dalam darah diuji untuk memeriksa beberapa fungsi

dari tubuh manusia. Kandungan oksigen dalam darah, merupakan indikasi

dari gangguan yang mendasarinya. Artikel ini menjelaskan apa fluktuasi

ini berarti, dan juga mendefinisikan kadar oksigen darah normal. Oksigen

merupakan kebutuhan pokok untuk kelangsungan hidup. Tingkat oksigen

darah normal adalah pengukuran saturasi oksigen dalam darah. Sel-sel

darah merah mengandung molekul yang dikenal sebagai hemoglobin yang


mengikat oksigen atmosfer, dan membawanya ke berbagai bagian tubuh.

Bila ada jenis variasi dalam kadar oksigen dalam darah, dapat

menyebabkan komplikasi kesehatan. Diberikan di bawah ini adalah rincian

yang berkaitan dengan tingkat normal oksigen dalam darah, dan apa

variasi menandakan. Dalam kebanyakan kasus, tingkat oksigen yang

melayang-layang sekitar 95 sampai 100% dianggap sehat

(Farhan dkk, 2015).

D. Tekanan Parsial O2 (PaO2)

Merupakan indikator utama untuk mengetahui oksigenasi darah. Nilai

normal pada darah arteri 80 – 100 mmHg. Dalam keseimbangan asam-

basa PaO2 sendiri hanya memberikan petunjuk fisiologi yang kecil. Selain

menunjukkan cukup tidaknya oksigen darah arteri, PaO2 mengukur

keefektivan paru untuk mengambil oksigen ke dalam darah dari atmosfer

(Darwis, 2008).

PaO2 yang meningkat didapatkan pada orang yang bernapas di udara

yang kaya O2, pemberian 100% O2 dapat meningkatkan PaO2 sampai 640

mmHg. Hipoksemia adalah suatu keadaan PaO2 kurang dari 80 mmHg

pada orang yang bernapas dalam udara kamar setinggi permukaan laut

(Darwis, 2008).

Menurut Darwis, (2008), hipoksemia didapatkan pada keadaan :

1. Kapasitas difusi paru menurun, akibat sindrom distress pernapasan.

2. Penurunan luas permukaan membran alveoli akibat reseksi atau

kompresi paru.
3. Ketidakseimbangan ventilasi-perfusi akibat bronkitis, asma,

emfisema, obstruksi paru oleh neoplasma, benda asing, dan sekret.

4. Hipoventilasi karena penyebab perifer maupun sentral.

2.12 TCO2

A. Transpor Karbon diosida

Transpor karbon dioksida dari jaringan ke paru-paru untuk dibuang

dilakukan dengan tiga cara. Sekitar 10% CO2 secara fisik larut dalam

plasma, karena tidak seperti O2, CO2 mudah larut dalam plasma. Sekitar

20% CO2 berikatan dengan gugus amino pada hemoglobin

(karbaminohemoglobin) dalam sel darah merah dan sekitar 70% diangkut

dalam bentuk bikarbonat plasma(Utami, 2008).

Karbon dioksida berikatan dengan air dalam reaksi berikut ini:

CO2 + H2O ↔ H2CO3 ↔ H+ + HCO3-

Reaksi ini reversibel dan dikenal dengan nama persamaan dapar

(buffer) asam karbonat-bikarbonat. Keseimbangan asam-basa tubuh ini

sangat dipengaruhi oleh fungsi paru-paru dan homeostasis CO

(Utami, 2008).

B. Transpor CO2 di dalam otot

Karbon dioksida di dalam mitokondria otot berdifusi ke kompartemen

intraselular dan melintasi membran sarkolema dan dinding pembuluh

kapiler. Semua membran dilintasi oleh CO2 yang memiliki permeabilitas

yang tinggi terhadap CO2 dan ion-ion yang berhubungan dengan

pertukaran gas. Aliran O2 maksimal pada daerah dinding pembuluh

kapiler adalah 1,3-1,9 µl O2/menit/cm2. Aliran CO2 dalam darah yang


melintasi dinding pembuluh kapiler diperkirakan 15% lebih rendah dari

aliran O2darah (~60 nmol CO2/menit/cm2) (Utami, 2008).

Permukaan membran mitokondria lebih besar, aliran CO2 darah

melintasi daerah ini diperkirakan ~0,3 nmol CO2/menit/cm2. Ini

menunjukkan bahwa dinding pembuluh kapiler dapat menjadi barier yang

bermakna dalam peredaran ion yang berhubungan dengan transpor CO2

(Utami, 2008).

C. Transpor CO2 di dalam darah

Kelarutan CO2 di dalam darah sekitar 20 kali kelarutan O2, sehingga

CO2 lebih banyak dari O2 di dalam larutan sederhana pada tekanan parsial

seimbang. Karbon dioksida yang berdifusi ke dalam eritrosit cepat

dihidrasi ke H2CO3 (asam karbonat), karena adanya karbonat anhidrase.

Asam karbonat berdisosiasi ke H+dan HCO3-serta H+ didapar, terutama

oleh hemoglobin, sementara HCO3-memasuki plasma. Sejumlah CO2 di

dalam eritrosit bereaksi dengan gugusan amino protein, terutama

hemoglobin untuk membentuk senyawa karbamino (gambar 4). Karena

hemoglobin dideoksigenasi membentuk senyawa karbamino jauh lebih

cepat dibandingkan HbO2, maka transpor CO2 dipermudah di dalam darah

vena (Utami, 2008).

D. Transpor CO2 di dalam paru paru

Karbon dioksida keluar dari darah menembus lapisan sel endotelium

menuju sel epitel alveolus. Karbonat anhidrase terdapat di sitoplasma sel

epitel alveolus, mengkonversi CO2 menjadi H+dan HCO3-. Ion-ion


tersebut menembus sel dengan cara difusi. Ion hidrogen diikat oleh dapar

kemudian menuju subfase alveolus dengan bantuan jembatan channel H+

bervoltase di membran apikal dan HCO3-berdifusi secara pasif melewati

channel anion atau pertukaran Cl-dengan HCO3-. Ion hidrogen dan

HCO3- bergabung membentuk CO2 dan H2O di dalam lapisan cair tipis di

permukaan sel epitel (aqueous subphase). Karbon dioksida masuk ke udara

dan H2O diabsorbsi (Utami, 2008).

E. Interpretasi Hasil Pemeriksaan Karbon Dioksida (CO2)

Dalam plasma normal, 95% dari total CO2 terdapat sebagai ion

bikarbonat, 5% sebagai larutan gas CO2 terlarut dan asam karbonat.

Kandungan CO2 plasma terutama adalah bikarbonat, suatu larutan yang

bersifat basa dan diatur oleh ginjal. Gas CO2 yang larut ini terutama

bersifat asam dan diatur oleh paruparu. Oleh karena itu nilai CO2 plasma

menunjukkan konsentrasi bikarbonat.

Nilai Normal Karbon Dioksida (CO2) : 22 - 32 mEq/L

SI : 22 - 32 mmol/L

Kandungan CO2 plasma terutama adalah bikarbonat, suatu larutan

yang bersifat basa dan diatur oleh ginjal. Gas CO2 yang larut ini terutama

yang 10 bersifat asam dan diatur oleh paru-paru. oleh karena itu nilai CO2

plasma menunjukkan konsentrasi bikarbonat.

Implikasi Klinik:

1. Peningkatan kadar CO2 dapat terjadi pada muntah yang parah,

emfisema, dan aldosteronisme


2. Penurunan kadar CO2 dapat terjadi pada gagal ginjal akut, diabetik

asidosis dan hiperventilasi

3. Peningkatan dan penurunan dapat terjadi pada penggunaan

nitrofurantoin.

2.13 HCO3

Bikarbonat (HCO−3) bersifat alkalis, dan merupakan komponen vital

pada sistem pendaparan pH tubuh manusia (mempertahankan homeostatis

asam-basa). Sebanyak 70–75% CO2 dalam tubuh dikonversi menjadi asam

karbonat (H2CO3), yang dapat diubah dengan cepat menjadi bikarbonat.

Dengan asam karbonat sebagai spesies intermediat pusat, bikarbonat -

yang berkonjugasi dengan air, ion hidrogen, dan karbon dioksida -

membentuk sitem dapar, yang dijaga pada kesetimbangan volatil yang

diperlukan untuk menjaga resistensi perubahan pH ke kedua arah, baik

menuju asam dan basa. Hal ini penting untuk melindungi jaringan sistem

saraf pusat. JIka pH berubah terlalu jauh dari kisaran normal akan

menghasilkan bencana (lihat asidosis atau alkalosis).

Bikarbonat juga bertindak mengatur pH dalam usus kecil. Ia dibebaskan

dari pankreas sebagai tanggapan terhadap hormon sekretin untuk

menetralkan bubur lambung (chyme) yang masuk ke kusus besar dari

lambung. HCO3 (bikarbonat) berperan sebagai komponen basa dan disebut

juga sebagai komponen metabolik. Nilai normalnya adalah 24 mEq/L.

Asam didefinisikan sebagai zat yang dapat memberikan ion H+ ke zat

lain (disebut sebagai donor proton), sedangkan basa adalah zat yang dapat

menerima ion H+ dari zat lain (disebut sebagai akseptor proton). Suatu asam
baru dapat melepaskan proton bila ada basa yang dapat menerima proton

yang dilepaskan. Satu contoh asam adalah asam hidroklorida (HCL), yang

berionasi dalam air membentuk ion- ion hidrogen (H+) dan ion klorida (CL-

) demikian juga, asam karbonat (H2CO3) berionisasi dalam air membentuk

ion H+ dan ion bikarbonat (HCO3 - ).

Asam kuat adalah asam yang berdiosiasi dengan cepat dan terutama

melepaskan sejumlah besar ion H+ dalam larutan, contohnya adalah HCL.

Asam lemah mempunyai lebih sedikit kecenderungan untuk mendisosiasikan

ion-ionnya dan oleh karena itu kurang kuat melepaskan H+, contohnya adalah

H2CO3.

Basa adalah ion atau molekul yang menerima ion hidrogen. Sebagai

contoh, ion bikarbonat (HCO3 -), adalah suatu basa karena dia dapat

bergabung dengan satu ion hidrogen untuk membentuk asam karbonat

(H2CO3). Protein- protein dalam tubuh juga berfungsi sebagai basa karena

beberapa asam amino yang membangun protein dengan muatan akhir negatif

siap menerima ion-ion hidrogen. Protein hemoglobin dalam sel darah merah

dan protein dalam sel-sel tubuh yang lain merupakan basa-basa tubuh yang

paling penting.

Basa kuat adalah basa yang bereaksi secara cepat dan kuat dengan H+.

Oleh karena itu dengan cepat menghilangkannya dari larutan. Contoh yang

khas adalah OH-, yang bereaksi dengan H+ untuk membentuk air (H2O).

Basa lemah yang khas adalah HCO3 - karena HCO3 - berikatan dengan H+

secara jauh lebih lemah daripada OH-. Kebanyakan asam dan basa dalam
cairan ekstraseluler yang berhubungan dengan pengaturan asam basa normal

adalah asam dan basa lemah.

2.14 Base Excess (BE)

Base Excess/base deficit menggambarkan secara langsung kelebihan

atau kekurangan basa dalam darah, Jadi BE adalah jumlah asam-basa yang

perlu dititrasikan ke dalam darah agar pH kembali ke nilai normal pada

keadaan standar (PaCO2 40 mmHg dan suhu 37°C).

Nilai normal BE adalah ± 2,5 mmol. Nilai positif menggambarkan

kelebihan basa, sementara nilai negatif menggambarkan kekurangan basa

(kelebihan asam). Jika nilai BE dibawah – 2,5 mmol/L berarti terdapat

asidosis metabolik, sebaliknya bila diatas 2,5 mmol/L berarti terjadi alkalosis

metabolik

Astrup menyatakan nilai BE dapat digunakan untuk diagnosis dan juga

untuk pedoman pengobatan asidosis metabolik atau asidosis metabolik

dengan rumus : 45 Kebutuhan basa = BE x Berat badan (kg) x 0,3 mEq

Standardized Base Excess (SBE) Karena persamaan H-H tidak dapat

menentukan beratnya gangguan keseimbangan asambasa maka beberapa ahli

telah menemukan cara untuk mengukur derajat kelainan asam-basa, yaitu

dengan menghitung buffer base, base excess/deficit dan standardized base

excess/defisit (SBE). 496 Kation Anion Na+ Kation lain K+ ClHCO3 -

Protein Sulfat, Fosfat, Anion organik, Anion tak terukur Anion Gap Buffer

base (BB) adalah jumlah ion bikarbonat dan ion nonvolatile buffer (terutama

albumin, fosfat dan hemoglobin).


BB secara tidak langsung dihitung dari selisih jumlah seluruh kation dan

anion kuat di dalam darah (pada saat itu yang dapat diperiksa hanya ion

natrium, kalium dan klor), karena menurut kaidah elektronetralitas selisih

jumlah kation dan anion kuat tersebut sama dengan jumlah anion lemah

(bikarbonat, protein, fosfat). Peningkatan BB terjadi pada alkalosis metabolik

dan penurunan BB terjadi pada asidosis metabolik. Kadar BB normal sama

dengan Na+ + K+ - Cl- . Base excess/deficit (BE/D) adalah cara praktis untuk

mengetahui berapa besar kelainan asam-basa metabolik, yaitu dengan

melakukan titrasi invitro pada sediaan darah dengan asam/basa kuat untuk

mengembalikan pH menjadi normal (pH 7.4) dengan syarat faktor

respiratorik ditiadakan (PCO2 contoh darah dibuat 40 mmHg dan suhu

37oC). Perdefinisi BE/D adalah jumlah asam/basa kuat yang dibutuhkan

untuk menaikkan/menurunkan pH menjadi 7.4 pada PaCO2 40 mmHg dan

suhu 37oC. Dengan perkataan lain BE/D adalah besarnya penyimpangan

kadar BB dari nilai normal. Kadar normal BE antara -2 s/d 2mEq/L. Asidosis

terjadi pada BE < -2 mEq/L dan alkalosis BE > 2mEq/L. Karena perhitungan

BE/D menggunakan darah lengkap yang kurang menggambarkan cairan

ekstraseluler/interstitial maka dilakukan standarisasi BE/BD yang sesuai

dengan cairan ekstrasel/interstitial yaitu pada Hb 5 g/dL disebut SBE. SBE

dapat dihitung dengan persamaan Van Slyke. Perubahan SBE pada gangguan

keseimbangan asam-basa primer dapat dilihat pada Tabel 1. Kombinasi hasil

pemeriksaan PaCO2, bikarbonat dan SBE belum dapat menentukan penyebab

asidosis metabolik. Untuk maksud tersebut diperlukan pemeriksaan

kesenjangan anion (anion gap, AG) yang diperkenalkan oleh Emmett dan
Narin pada tahun 1975. Pada saat itu tidak semua elektrolit diperiksa secara

rutin, oleh karena itu bila dipadankan antara jumlah hasil pemeriksaan kation

akan berbeda dengan anion, perbedaan tersebut disebut AG (Gambar 1.).

Anion gap dapat dihitung dengan rumus: AG = (Na+ + K+ ) – (Cl - + HCO3 -

) mEq/L, atau bila kalium diabaikan karena nilainya kecil , menjadi AG =

Na+ - (Cl- + HCO3 - ) mEq/L. Nilai normal AG antara 8 – 16 mEq/L.

Berdasarkan AG asidosis metabolik dibagi menjadi asidosis metabolik

dengan peningkatan AG dan tanpa peningkatan AG (Tabel 2.) Meningkatnya

AG menandakan adanya anion (unmeasured anions) sebagai penyebab

metabolik asidosis. Gambar 1. Gamblegram kesenjangan anion (Anion Gap).

Tabel 2. Klasifikasi asidosis metabolik berdasarkan anion gap. AG meningkat

AG normal 497 Asidosis laktat Ketoasidosis Uremia Toksin (metanol,

salisilat, glikol etilen dan propilen glikon) Diare Gagal ginjal Asidosis

tubulus ginjal Keracunan toluen Hiperalimentasi.


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Analisis gas darah (AGD) adalah pemeriksaan pH, tekanan parsial CO2

dan tekanan parsial O2 dalam darah pada saat dan keadaan tertentu dengan

analisis khusus, yang dilakukan dengan cara astrup untuk menilai

keseimbangan asam basa, ekskresi CO2 dan oksigenasi. (Suharyono., 2008).

Tujuan pemeriksaan AGD adalah untuk menilai kemampuan sistem

respirasi menyediakan oksigen tubuh dan mengeluarkan CO2 dari dalam

tubuh. disamping itu pemeriksaan AGD dilakukan untuk menilai status asam

basa cairan tubuh (Suraatmaja dan Widodo., 2007).


DAFTAR PUSTAKA

Ariosta, Indranila, Indrayani. 2017. Prediksi Nilai Analisa Gas Darah Arteri. 24
September 2017.

Darwis D. 2008. Gangguan Keseimbangan Air-Elektrolit dan Asam Basa. FK.UI.


Ed.2. Jakarta.

Farhan AR, Calcarina FRW, Bhisrowo YP. 2015. Aplikasi Klinis Analisis Gas
Darah Pendekatan Stewart Pada Periode Perioperatif. Vol 3, No 1 2015.

Guyton. Athur, C. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran; Text Book of Medical
Physiology . Penerbit Buku Kedokteran ECG.Jakarta.

Manokharan P. 2017. Analisis Gas Darah dan Aplikasinya di Klinik. Universtas


Udayan : Fakultas Kedokteran.

Sukinem N. 2013. Analisa Gas Darah. Ministry Of Health Department Kariadi


Hospital Of Semarang Central Jawa, Indonesia.

Utami C W, 2008. Perubahan pH, PCO2, HCO3- DAN TCO2 Akibat Pemberian
Minuman Beroksigen Pada Latihan Fisik. (TESIS), Jurusan Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan.

Warsi A, 2013. Gambaran Gas Darah Pada Anak Dengan Kesadaran Menurun.
Konsentrasi Pendidikan Dokter Spesialis Terpadu Bidang Ilmu Kesehatan
Anak Program Studi Biomedik Program Pascasarjana Universitas
Hasanuddin Makassar

Warsi A. 2013. Gambaran Gas Darah pada Anak dengan Kesadaran Menurun.
Makassar: UNHAS.

Anda mungkin juga menyukai