Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN KEPANITERAAN KEDOKTERAN KELUARGA

LONG CASE
PUSKESMAS 1 CILONGOK

LEPTOSPIROSIS

Oleh:
M Edo Antariksa P
G4A016137

Pembimbing:
Dr. dr. Nendyah Roestijawati, MKK
dr. Nurul Eka Santi

KEPANITERAAN KLINIK STASEKOMPREHENSIF


ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

2018
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kepaniteraan Kedokteran Keluarga


Long Case
Leptospirosis

Disusun untuk memenuhi sebagian syarat


Kepaniteraan Ilmu Kedokteran Komunitas/Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran
Universitas Jenderal Soedirman

Oleh:
M Edo Antariksa P
G4A016137

Telah diperiksa, disetujui dan disahkan:


Hari :
Tanggal : Desember 2018

Preseptor Lapangan Preseptor Fakultas

dr. NurulEka Santi Dr. dr, Nendyah Roestijawati, MKK


NIP: 19780714 201001 2 002 NIP.19701110 200801 2 026
I. KARAKTERISTIK DEMOGRAFI KELUARGA

Nama Kepala Keluarga : Tn. T


Alamat lengkap : Desa Turipan RT 02/ RW 02
Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas
Bentuk Keluarga : Dyad family
Tabel 1. Daftar anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah
No Nama Kedudukan L/P Umur Pendidikan Pekerjaan
1. T Kepala L 58 th SD Petani
keluarga
(Pasien)
2. W Istri P 54 th SD IRT
Sumber : Data Primer, Oktober 2018
Kesimpulan dari karakteristik demografi diatas adalah bentuk keluarga Tn.
Wadalah Dyad family dengan Tn.T (58 tahun) sebagai kepala keluarga yang
bekerja sebagai petani. Ny. W (54 tahun) adalah istri dari Tn. T. Dapat
disimpulkan pada keluarga ini terdapat istri, dan suami yang hidup bersama.
II. STATUS PENDERITA

A. PENDAHULUAN
Laporan ini disusun berdasarkan kasus yang diambil dari seorang bapak
berusia58 tahun yang datang ke Puskesmas Cilongok 1. Pasien ini datang
dengan keluhannyeri kepala sejak 7 hari sebelum masuk puskesmas.
B. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. T
Usia : 58 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : menikah
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : Petani
Pendidikan : SD
Penghasilan/bulan : Rp 1.000.000 – Rp 1.500.000
Alamat : Desa PernasidiRT 02/ RW 02
Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas
Pengantar (Pasien) : Pasien datang diantar oleh istri
Tanggal Periksa : Rabu, 12 Desember 2018

C. ANAMNESIS (diambil melalui autoanamnesis)


1. Keluhan Utama
Demam sejak 7 hari sebelum masuk puskesmas
2. Keluhan Tambahan
Nyeri kepala dan badan lemas, badan terasa pegal-pegal terutama
di daerah kaki
3. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke IGD Puskesmas Cilongok 1hari Selasatanggal 12
Desember 2018 dengan keluhan demam sejak 7 hari sebelum masuk IGD.
Demam muncul mendadak dan dirasakan sepanjang hari hingga disertai
rasa menggigil. 5 hari sebelum masuk IGD pasien telah minum obat
penurun demam (paracetamol) namun demam hanya turun beberapa hari
kemudian muncul kembali. Pasien juga mengeluhkan nyeri kepala yang
dirasakan berdenyut, badan lemas dan badan pegal terutama daerah kaki.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat mengalami keluhan yang sama : disangkal
- Riwayat mondok : disangkal
- Riwayat operasi : disangkal
- Riwayat kecelakaan : disangkal
- Riwayat darah tinggi : disangkal
- Riwayat jantung : disangkal
- Riwayat kencing manis : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
- Riwayat alergi makanan/obat : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat mengalami keluhan yang sama : disangkal
- Riwayat kencing manis : disangkal
- Riwayat darah tinggi : disangkal
- Riwayat jantung : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
6. Riwayat Sosial dan Exposure
- Community : Pasien dalam kesehariannya tinggal dalam
lingkungan Dyad family yang di dalamnya hanya
terdapat seorang istri
- Home : Rumah Tn. T berukuran 11x12 m2 ,
memilikiventilasi udara seperti lubang angin,
cahaya matahari yang masuk ke rumah cukup,
lantai rumah bagian dalam terbuat dari keramik,
namun bagian dapur dan luar terbuat dari plesteran
semen, dinding sudah bertembok, Rumah Tn. T
berplafon namun terlihat sudah berusia tua serta
sering terdengar suara-suara tikus. Jendela terdapat
satu di setiap ruangan dan sering dibuka.
Pencahayaan pada setiap ruangan kamar kurang baik,
dimana sulit membaca di dalam ruangan tanpa
penerangan tambahan, kebersihan rumah kurang
dijaga dengan baik terutama pada bagian dapur.
Rumah terdiri dari 1 ruang tamu, 1 ruang
keluarga,2tempat tidur, 1 ruang makan yang
menyatu dengan dapur serta 1 kamar mandi.
Terdapat kandang kambingtepat di sebelah rumah.
Pasien memasak dengan menggunakan kompor gas
yang berada di dalam rumahdan kadang
menggunakan tungku yang berada diluar rumah.
Sumber air bersih berasal dari sumur yang terletak
di luar rumah bagian belakang. Sumur berjarak 10
meter dari septic tank.Antara rumah pasien dan
rumah tetangga saling berdekatan. Jarak antar
rumah sekitar 4 meter. Lingkungan tempat tinggal
Tn. W merupakan lingkungan pemukiman. Tempat
sampah keluarga diletakkan di belakang rumah dan
tidak tertutup, kadang sampah langsung dibakar di
belakang rumah.
- Hobby : Pasien tidak memiliki hobby yang spesifik.
- Occupational : Pasien adalah seorang petaniyang bekerja di daerah
Pernasidi dan sekitarnya.
- Diet : Pasien makan 3 kali sehari dengan nasi, lauk,
tempe, tahu, dan sayur. Pasien jarang
mengkonsumsi susu dan buah.
- Drug : Pasien sebelumnya mengkonsumi obat penurun
demam (paracetamol)
7. Riwayat Psikologi :
Pasien merupakan anak tunggal.Pasien hanya tinggal bersama istri.
Pasien memiliki 4 anak, namun anaknya bertempat tinggal dekat sekitar
rumah pasien sehingga pasien tidak merasa kesepian. Setiap masalah yang
dihadapi pasien dan anggota keluarganya selalu didiskusikan bersama-
sama.
8. Riwayat Ekonomi
Pasien berasal dari keluarga ekonomi kelas menengah kebawah.
Pasien bekerja sebagai kuli bangunandengan penghasilanRp1.000.000,00 –
Rp 1.500.000,00 per bulan.
9. Riwayat Demografi
Hubungan antara pasien dengan keluarganya harmonis. Kadang-
kadang ia bertengkar wajar mengenai hal sepele dengan keluarganya.
10. Riwayat Sosial
Saat sakit ini, pasien sulit melakukan aktivitas sehari-hari. Pasien
sementara tidak bekerja. Hubungan pasien dengan tetangga sekitarnya
cukup baik.
11. Anamnesis Sistemik
a. Keluhan Utama : demam
b. Kulit : tidak ada keluhan
c. Kepala : nyeri kepala
d. Mata : tidak ada keluhan
e. Hidung : tidak ada keluhan
f. Telinga : tidak ada keluhan
g. Mulut : tidak ada keluhan
h. Tenggorokan : tidak ada keluhan
i. Pernafasan : tidak ada keluhan
j. Sistem Kardiovaskuler : tidak ada keluhan
k. Sistem Gastrointestinal : tidak ada keluhan
l. Sistem Saraf : tidak ada keluhan
m. Sistem Muskuloskeletal : tidak ada keluhan
n. Sistem Genitourinaria : tidak ada keluhan
o. Ekstremitas Atas : tidak ada keluhan
Bawah : tidak ada keluhan
D. PEMERIKSAAN FISIK
1. KU/ KES
Tampak lemas, kesadaran compos mentis.
2. Tanda Vital
a. Nadi : 100x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
b. Pernafasan : 20x/menit, costoabdominal, reguler
c. Suhu : 39.8oC
d. TD : 110/80 mmHg
3. Status gizi

a. BB : 65 kg
b. TB : 170 cm
c. IMT : 22. 49
d. Kesan status gizi : baik
4. Kulit
Turgor kulit kembali dalam satu detik.
5. Kepala
Kepala dalam batas normal.
6. Mata
Sklera , kornea, pupil, iris, lensa dalam batas normal.Injeksi konjungtiva (-)
Air mata normal, mata cekung (-)
7. Hidung
Nafas cuping hidung (-), sekret (-), epistaksis (-), deformitas hidung (-),
massa (-)
8. Mulut
Mukosa bukkal basah (+).
9. Telinga
Telinga luar, tengah, dalam dalam batas normal
10. Tenggorokan
Tonsil , dan pharing dalam batas normal. Hiperemis (-).
11. Leher
Trakea ditengah, pembesaran kelenjar tiroid (-), pembesaran kelenjar limfe
(-), distensi vena jugularis (-).
12. Thoraks
Simetris, retraksi interkostal (-), retraksi subkostal (-)
a. Cor : Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi : ictus cordis tak kuat angkat
Perkusi : batas kiri atas : SIC II LPSS
batas kiri bawah : SIC V LMCS
batas kanan atas : SIC II LPSD
batas kanan bawah : SIC IV LPSD
batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : S1>S2, regular, gallop (-), murmur (-)
b. Pulmo :
1) Statis (depan dan belakang)
I : pengembangan dada kanan = kiri
Pal : fremitus raba kanan = kiri
Per : sonor/sonor
A : suara dasar vesikuler (+/+)
suara tambahan RBH (-/-), wheezing (-/-)
2) Dinamis (depan dan belakang)
I : pergerakan dada kanan = kiri
Pal : fremitus raba kanan = kiri
Per : sonor/sonor
A : suara dasar vesikuler (+/+)
suara tambahan RBH (-/-), wheezing (-/-)
13. Abdomen
I :dinding perut sejajar dengan dinding dada
A : bising usus (+) meningkat
Per : timpani, pekak alih (-), pekak sisi (-)
Pal :supel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tak teraba

14. Sistem Collumna Vertebralis


I : deformitas (-), skoliosis (-), kiphosis (-), lordosis (-)
Pal :nyeri tekan (-)
15. Ektremitas: palmar eritema(-/-) capilarry refill 1 detik.
akral dingin - - oedem - -
- - - -
Articulatio genue dextra et sinistra :
I : oedem (-), eritema (-),hambatan dalam berjalan (-).
P : nyeri (-), hangat (-), krepitasi (-).
16. Sistem genitalia: dalam batas normal
17. Pemeriksaan Neurologik
Fungsi Luhur : dalam batas normal
Fungsi Vegetatif : dalam batas normal
Fungsi Sensorik : dalam batas normal

Fungsi Motorik :
K 5 5 T N N RF ++ RP - -
5 5 N N ++ - -

18. Pemeriksaan Psikiatrik


Penampilan : sesuai umur, perawatan diri cukup
Kesadaran : kualitatif tidak berubah; kuantitatif compos mentis
Afek : appropriate
Psikomotor : normoaktif
Insight : baik

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dilakukan pemeriksaan penunjang berupa :
1. Hemoglobin : 13,1 gr/dL
2. Leukosit : 8.700 / jul
3. Trombosit : 293.000 / jul
4. IgM Leptospira: (+)
F. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah lengkap, fungsi ginjal (bilirubin, ureum, kreatinin)
dan fungsi hati (SGOT, SGPT) untuk mendeteksi adanya komplikasi

G. RESUME
Pasien datang ke IGD Puskesmas Cilongok 1hari Rabu tanggal 12
Desember 2018 dengan keluhan demam sejak 7 hari sebelum masuk IGD.
Demam muncul mendadak dan dirasakan sepanjang hari hingga disertai rasa
menggigil. 5 hari sebelum masuk IGD pasien telah minum obat penurun
demam (paracetamol) namun demam hanya turun beberapa hari kemudian
muncul kembali. Pasien juga mengeluhkan nyeri kepala yang dirasakan
berdenyut, badan lemas dan badan pegal terutama daerah kaki. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan nadi 100x/menit, laju pernafasan 20x/menit,
suhu 39.80C, tekanan darah 110/80 mmHg,sedangkan pemeriksaan lain dalam
batas normal.

H. DIAGNOSIS HOLISTIK
1. Aspek Personal
Keluhan Utama: Demam sejak 7 hari
Keluhan tambahan :Pasien mengeluhdemam, nyeri kepala, badan lemas
dan badan pegal terutama daerah kaki.
Idea : Pasien ingin mengetahui penyakit dan berobat
Concern : Mengganggu aktivitas bekerja
Expectacy : Pasien dan keluarga pasien mempunyai harapan agar
penyakit pasien dapat segera sembuh dan dapat segera
beraktivitas lagi.
Anxiety :Pasien dan keluarga pasien khawatir penyakit pasien tidak
sembuh-sembuh karena demam tidak kunjung turun. serta
pasien dan keluarga pasien khawatir penyakit ini menular
dan akan menulari angggota keluarga yang lain.
2. Aspek Klinis
Diagnosis : Leptospirosis
Gejala klinis yang muncul : Demam hingga mengigil, nyeri kepala,
badan lemas dan badan pegal terutama daerah kaki.
Diagnosa banding : Demam Tifoid, DHF
3. Aspek Faktor Risiko Intrinsik Individu
a. Laki-laki, usia 58 tahun
b. Kebiasaan pasien lupa untuk mencuci tangan sebelum dan setelah
makan. Maupun setelah beraktivitas di luar rumah.
c. Kebiasaan pasien tidak menggunakan alas kaki saat bekerja
d. Kebiasaan pasien memasak didapur yang menurut pasien adalah
tempat sarang tikus.
4. Aspek Faktor Risiko Ekstrinsik Individu
a. Status sosial ekonomi keluarga pasien yang rendah, menyebabkan kondisi lingkungan
hunian tidak sehat, antara lain terdapat kandang kambing yang tidak terawat, dan
dapur yang berubin tanah, serta kebersihan dan keadaan lingkungan rumah secara
umum yang kurang sehat.
b. Banyaknya tikus yang terdapat disekitaran rumah pasien menjadi faktor risiko
penularan penyakit ini. Pasien mengaku dirumahnya terdapat banyak tikus yang
berkeliaran di dapur.
5. Aspek Skala Penilaian Fungsi Sosial
Skala penilaian fungsi sosial pasien adalah 3, karena pasien mulai terganggu dalam
melakukan aktivitas dan kegiatan sehari-hari seperti biasanya, antara lain bertani serta
berkumpul dengan keluarganya.

I. PENATALAKSANAAN
1. Personal Care
a. Aspek kuratif
1) Medikamentosa
a) Injeksi Ranitidin 1A/12 jam
b) Injeksi Ondansetron 1A/8 jam
c) PO Doxiciklin 2x100 mg
d) PO Parasetamol 3x500 mg
e) PO Vit B komplek 3x1 tab
2) Non Medika mentosa
a) IVFD RL 500 cc 20 tpm makro
b) Diet lunak tinggi kalori tinggi protein
3) KIE (konseling, informasi dan edukasi)
Pasien dan keluarganya perlu diedukasi mengenai:
a) Memberi informasi mengenai penyebab dan cara penularan leptospira serta
pencegahan dan tatalaksana dari penyakit leptospirosis
b) Selalu mencuci tangan dengan sabun setelah makan maupun setelah
melakukan kegiatan diluar rumah
c) Memakai alas kaki jika bekerja
d) Mencegah munculnya genangan-genangan air disekitar rumah dan kandang
kambing serta menjaga kebersihan disekitar lingkungan rumah
e) Menjelaskan mengenai syarat-syarat rumah sehat secara lengkap, beberapa
contohnya antara lain mengenai adanya kandang kambingdi dekat rumah dan
toilet yang tidak higienis.
f) Selalu menutup makanan dan minuman maupun bahan makanan yang akan
dimasak
g) Menjelaskan cara membuang sampah yang baik dengan menutup tempat
pembuangan sampah
h) Menjelaskan pentingnya menjaga nutrisi melalui makanan yang sehat dan
bergizi, memenuhi kebutuhan karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan
mineral.
b. Aspek Preventif
1) Menjelaskan mengenai kriteria rumah sehat serta memberi saran-saran yang dapat
diterapkan dan tepat guna
2) Memberikan anjuran pola hidup bersih dan sehat
3) Menjelaskan pentingnya penggunanan alat pelindung diri untuk mencegah
masuknya leptospira ke tubuh
4) Memasang perangkap tikus untuk mencegah penyebaran penyakit leptospirosis
c. Aspek Promotif
1) Memberi informasi mengenai penyebab dan cara penularan leptospira hingga
menyebabkan penyakit leptospirosis, serta pencegahan dan
tatalaksanaleptospirosis
2) Memberi informasi mengenai komplikasi penyakit leptospirosisserta pentingnya
penanganan tepat dan dini dalam kasus leptospirosis
d. Aspek Rehabilitatif
Monitoring terhadap keluhan pasien, keadaan umum, tanda vital, serta tanda
komplikasi leptospirosis

2. Family Care
a. Memotivasi keluarga untuk menjaga lingkungan yang sehat dan bersih.
b. Memberikan edukasi pengetahuan kepada keluarga mengenai perjalanan penyakit
leptospirosis, pencegahan penularan dan pemantauan penyakit
leptospirosisberkelanjutan, sehingga mendukung kontrol dan pengobatan pasien.
c. Dukungan moral dari keluarga dalam pengendalian dan penyembuhanpenyakit
pasien, pemantauan penyakit leptospirosissecara berkelanjutan.
d. Memberikan anjuran kepada anggorta keluargalainnya yang berisiko tinggi untuk
pola hidup sehat dan menjaga kebersihan.
3. Community Care
a. Memotivasi lingkungan untuk menjaga lingkungan yang sehat dan bersih, karena
lingkungan yang tidak sehat akan memicu faktor risiko penyebaran penyakit
leptospirosis
b. Memberikan pengetahuan kepada masyarakatmengenai penyakit leptospirosis, baik
tanda gejala penyakit tersebut dan perjalanan alamiahnya melalui penyuluhan.
c. Memotivasi komunitas untuk memberikan dukungan psikologis terhadap pasien
mengenai penyakitnya.

J. Flow Sheet
Tabel 2. Flow Sheet Tn. W (33tahun)
No Tanggal Problem Tanda Vital Planning
1 Kamis Demam N:100x/menit IVFD RL 30
13/12/2018 disertai rasa RR:20 tpm Diet lunak
08.30 menggigil, x/menit tinggi kalori
badan lemas, S:39.80 C tinggi protein
nyeri kepala, TD:110/80 Terapi lanjut
badan pegal
terutama pada
kaki.
2 Jumat Demam, N:89x/menit IVFD RL 20
14/12/2018 badan terasa RR:20 (terapi
07.00 linu-linu dan x/menit rumatan) tpm
kaku, nyeri S:38.60 C Diet lunak
kepala, badan TD: 120/70 tinggi kalori
masih lemas Igm tinggi protein
Leptospira: Terapi lanjut
(+)
3 Sabtu Demam terasa N:89x/menit IVFD RL 20
15/12/2018 naik turun, RR:20 (terapi
07.00 turun setelah x/menit rumatan) tpm
minum obat S:38,40 C Diet lunak
saja, badan TD: 120/70 tinggi kalori
terasa linu- tinggi protein
linu dan Terapi lanjut
lemas, nyeri
kepala,
III. IDENTIFIKASI FUNGSI-FUNGSI KELUARGA

A. Fungsi Holistik
1. Fungsi Biologis
Ny.S adalah Dyad family dengan Tn.T (58 tahun) sebagai kepala keluarga yang
bekerja sebagai kuli bangunan.Ny. W (54 tahun) adalah istri dari Tn. T. Dapat
disimpulkan pada keluarga ini terdapat suami dan istri.
2. Fungsi Psikologis
Hubungan antara pasien dengan keluarganya harmonis..
3. Fungsi Sosial
Saat sakit ini, pasien sulit melakukan aktivitas sehari-hari. Hubungan pasien dengan
tetangga sekitarnya cukup baik.
4. Fungsi Ekonomi dan Pemenuhan Kebutuhan
Pasien berasal dari keluarga ekonomi kelas menengah kebawah. Pasien bekerja
sebagai kuli bangunandengan penghasilanRp1.000.000,00 sampai Rp 1.500.000,00 per
bulan. Pasien dan keluarga pasien hidup sedehana dalam mencukupi keperluan hidup sehari-
hari. Biaya pengobatan di sarana pelayanan kesehatan menggunakan BPJS.
Dapat disimpulkan bahwa bentuk keluarga Tn. T adalah Dyadfamily. Keluarga Tn. T
adalah keluarga yang cukup harmonis, dan merupakan keluarga dengan perekonomian kelas
menengah kebawah.
B. Fungsi Fisiologis (A.P.G.A.R Score)
ADAPTATION
Dalam menghadapi masalah selama ini pasienmendapatkan dukungan berupa nasihat
dari keluarganya.Jika pasien menghadapi suatu masalah pasien menceritakan kepada istri dan
keluarganya.
PARTNERSHIP
Komunikasi terjalin satu sama lain. Setiap ada permasalahan didiskusikan bersama dengan
anggota keluarga lainnya, komunikasi dengan anggota keluarga berjalan dengan baik.
GROWTH
Antar anggota keluarga selalu mendukung pasien. Anggota keluarga selalu
mendukung pola makan, dan pengobatan yang dianjurkan demi kesehatan Tn. T.
AFFECTION
Pasien merasa hubungan kasih sayang dan interaksi dengan istriberjalan dengan lancar.
Pasien juga sangat menyayangi keluarganya, begitu pula sebaliknya.Dalam hal mengekspresikan
perasaan atau emosi, antar anggota keluarga berusaha untuk selalu jujur. Apabila ada hal
yang tidak berkenan di hati, maka anggota keluarga akan mencoba untuk segera
menyampaikan tanpa dipendam, sehingga permasalahan dapat segera selesai.
RESOLVE
Rasa kasih sayang yang diberikan kepada pasien cukup, baik dari keluarga maupun dari
saudara-saudara. Pasien merasa senang apabila semuanya berkumpul di rumah walaupun hanya
untuk menonton televisi atau makan bersama.
Untuk menilai fungsi fisiologis keluarga ini digunakan A.P.G.A.R Score dengan nilai
hampir selalu = 2, kadang = 1, hampir tidak pernah = 0. A.P.G.A.R Score dilakukan pada
masing-masing anggota keluarga dan kemudian dirata-rata untuk menentukan fungsi
fisiologis keluarga secara keseluruhan. Nilai rata-rata 1-4 = jelek, 4-6 = sedang, 7-10 = baik.

Tabel 3. Nilai APGAR dari Keluarga Tn. W


A.P.G.A.R Tn W Ny R
A Saya puas bahwa saya dapat 2 2
kembali ke keluarga saya bila
saya menghadapi masalah
P Saya puas dengan cara keluarga 2 2
saya membahas dan membagi
masalah dengan saya
G Saya puas dengan cara keluarga 1 2
saya menerima dan mendukung
keinginan saya untuk melakukan
kegiatan baru atau arah hidup
yang baru
A Saya puas dengan cara keluarga 2 2
saya mengekspresikan kasih
sayangnya dan merespon emosi
saya seperti kemarahan,
perhatian dll.
R Saya puas dengan cara keluarga 2 2
saya dan saya membagi waktu
bersama-sama
TOTAL 9 10
Rerata nilai skor APGAR keluarga Tn. T adalah (9+10)/2 = 9.5. Secara keseluruhan total
poin dari skor APGAR keluarga pasien adalah 19, sehingga rata-rata skor APGAR dari
keluarga pasien adalah 9.5. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi fisiologis yang dimiliki
keluarga pasien berada dalam keadaan baik.

C. FUNGSI PATOLOGIS (S.C.R.E.E.M)


Fungsi patologis dari keluarga Tn. Wdinilai dengan menggunakan S.C.R.E.E.M sebagai
berikut :
Tabel 7. Nilai SCREEM dari keluarga pasien
Sumber Patologi Ket
Social Interaksi yang baik antara anggota keluarga serta -
masyarakat sekitar.
Cultural Dalam sehari-hari keluarga ini menggunakan adat +
ketimuran, hal ini terlihat pada pergaulan mereka sehari –
hari yang menggunakan bahasa Jawa, walaupun dicampur
dengan Bahasa Indonesia. Keluarga pada awalnya masih
menganggap hanya penyakit demam biasa dan memiliki
kebiasaan membeli obat sendiri di warung.
Religion Pemahaman agama baik. Penerapan ajaran juga baik, hal ini -
dapat dilihat dari pasien dan keluarga rutin menjalankan
sholat lima waktu di rumahnya, walaupun pasien dan
suaminya kadang masih belum lengkap sholatnya.
Economic Ekonomi keluarga ini tergolong kelas menengah kebawah, +
untuk kebutuhan primer sudah bisa terpenuhi, meski belum
mampu mencukupi kebutuhan sekunder, diperlukan skala
prioritas untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Rumah pasien
masih dalam tahap pembangunan.
Education Pendidikan angota keluarga kurang. Latar belakang +
pendidikan suami pasien dan pasien adalah SMA.
Pengetahuan keluarga pasien tentang penyakit yang diderita
pasien kurang, keluarga pasien mengaku baru mengetahui
mengenai penyakit leptospirosis.
Medical Dalam mencari pelayanan kesehatan keluarga menggunakan -
pelayanan puskesmas dengan jenis pembiayaannya
menggunakan pembiayaan BPJS.
Keterangan :
1. Culture (+) artinya keluargaTn. T masih memiliki budaya dan kebiasaan yang kurang
mendukung kesehatan, khususnya mengenai permasalahan kesehatan dan penyakit yang
sedang dideritanya.
2. Economic(+) artinya keluarga Tn. T tergolong ekonomi menengah kebawah dengan
pendapatan Rp 1.000.000,00 sampai Rp 1.500.000,00 per bulan.
3. Education(+) artinya keluarga Tn. T tergolong kurang, pengetahuan keluarga pasien
tentang penyakit yang diderita pasien kurang, keluarga pasien mengaku baru mengetahui
mengenai penyakit leptospirosis.

Kesimpulan :
Dalam keluarga Tn. W fungsi patologis yang positif adalah fungsi budaya, fungsi
ekonomi dan fungsi edukasi.
D. Family Genogram

76 th 72 th

54 th
58 th

34 th
32 th 29 th 27 th

Keterangan:

: pasien : perempuan

: laki-laki : tinggal serumah

E. Pola Interaksi Keluarga

Tn. T Ny. W

Gambar2 . Pola Interaksi KeluargaTn. W


Keterangan : hubungan baik
Sumber : Data Primer

Kesimpulan :
Hubungan antara anggota keluarga di keluarga Tn. T dinilai harmonis dan saling
mendukung.
IV. IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTORYANG MEMPENGARUHI KESEHATAN

A. Identifikasi Faktor Perilaku dan Non Perilaku Keluarga


1. Faktor Perilaku
Perilaku pada anggota keluarga secara umum baik, namun pasien, memiliki
kebiasaan untuk tidakmencuci tangan sebelum dan setelah makan sehingga mudah
terkontaminasi oleh mikroorganisme penyebab leptospirosis, keluarga pasien memiliki
kebiasaan tidak membersihkan dapur dan tidak menutup makanan atau bahan makanan
untuk dimasak, tidak menggunakan alas kaki saat bekerja.
Selain itu, pasien juga memiliki peliharaan kambing yang kebersihan sekitar
kandang kurang terjaga. Keluarga pasien tidak menyangkal bahwa dilingkungan
rumahnya terdapat banyak tikus, yang berada diatap rumah pasien. Mengenai medis,
keluarga percaya pada tenaga kesehatan yaitu dokter umum dan puskesmas 1 Cilongok,
dengan menggunakan BPJS.
2. Faktor Non Perilaku
Dipandang dari segi ekonomi, keluarga ini termasuk keluarga kelas menengah
kebawah. Keluarga ini memiliki sumber penghasilan dari pasien yang bekerja sebagai
kuli bangunan dengan penghasilan yang tidak menentu, berkisar Rp 1.000.000 sampai
Rp 1.500.000 per bulan. Rumah yang dihuni keluarga ini memiliki luas berkisar 11x12 m2,
terdapat jendela dan ventilasi yang sering dibuka, lantai plesteran semen pada area dapur.
Septic tank terletak sekitar 10 meter dari sumur.
Pasien termasuk keluarga dengan latar belakang pendidikan yang kurang karena
pendidikan pasien dan istri hanya sampai SD. Hal tersebut mempengaruhi pengetahuan dan
pemahaman pasien mengenai kesehatan.
Pengetahuan :
Kurangnya Lingkungan:
pengetahuan pada Kondisi rumah dan
pasien penyakit lingkungan yang
tidak sehat.

Fungsi Fisiologis :
Sikap: Skor APGAR
Menganggap keluarga pasien
penyakit demam baik
biasa dan akan semuh
dengan obat yang Keluarga Tn. T
dibeli sendiri
Pelayanan
Kesehatan:
Jika sakit berobat
ke puskesmas
Tindakan:
Tidak mencuci
tangan dengan sabun
ketika ingin makan,
jarang menutup Penularan:
makanan di rumah, Keluarga pasien tidak
jarang menggunakan mengetahui penyakit
alas kaki saat bekerja, tersebut berasal dan
dapur yang tidak ditularkan melalui apa.
terjaga
kebersihannya.
Gambar 3. Faktor Perilaku dan Nonperilaku Keluarga
Keterangan :
= Faktor Perilaku
= Faktor Non-Perilaku
B. Identifikasi Lingkungan Rumah
1. Gambaran Lingkungan
Pasien tinggal di Desa Pernasidi RT 02 RW 02, Kecamatan Cilongok,
Kabupaten Banyumas. Rumah Tn. T luasnya berukuran 11x12 m2, memilikiventilasi
udara seperti lubang angin, cahaya matahari yang masuk ke rumah cukup, lantai rumah
terbuat dari keramik dan plesteran semen pada bagian dapur, dinding sudah bertembok.
Rumah Tn. W berplafon namun usianya sudah tua.Keluarga mengakui sering
mendengar suara-suara tikus pada plafon. Jendela terdapat satu di setiap ruangan dan
sering dibuka. Pencahayaan pada setiap ruangan kamar kurang baik, dimana sulit membaca
di dalam ruangan tanpa penerangan tambahan, kebersihan rumah kurang dijaga dengan
baik.Tingkat kelembapan rumah dikatakan tidak terlalu lembab. Rumah terdiri dari 1
ruang tamu,1 ruang keluarga, 2tempat tidur, 1 ruang makan yang menyatu dengan
dapur, serta 1 kamar mandi. Terdapat kandang kambing tepat di sebelah rumah. Pasien
memasak dengan menggunakan kompor gas namun tak jarang pasien juga memasak
dengan menggunakan kayu bakar. Sumber air bersih berasal dari air sumur. Kamar
mandi dan toilet menyatu. Antara rumah pasien dan rumah tetangga saling berdekatan.
Jarak antar rumah sekitar 4 meter. Lingkungan tempat tinggal Tn. T merupakan
lingkungan pemukiman. Tempat sampah keluarga diletakkan di belakangrumah dan
tidak tertutup. Kesan: kebersihan rumah dan lingkungannya belum adekuat.
2. Denah Rumah

Dapur
Ruang
Kamar mandi, makan
ruang cuc baju

Ruang
keluarga

Kamar
tidur 2

Ruang
tamu
Kamar
tidur 1

Gambar 4. Denah Rumah Tn. T


V. DAFTAR MASALAH DAN PEMBINAAN KELUARGA

A. Masalah medis :
1. Leptospirosis

B. Masalah nonmedis :
1. Pendapatan perkapita yang relatif kurang (Rp 1.000.000,00 – Rp 1.500.000,00).
2. Pasien sering lupa mencuci tangan sebelum dan setelah makan, maupun setelah
berkativitas diluar rumah
3. Pasien jarang memakai alas kaki saat bekerja
4. Pasien sering mandi di sungai
5. Pasien belum mengetahui faktor resiko,pola penularan, dan pengobatan mengenai
penyakit leptospirosis, begitupun dengan keluarga pasien.
6. Keadaan dan kebersihan lingkungan rumah yang kurang sehat,berdebu dan kamar mandi
yang kotorserta adanya kandang ayam dekat rumah.
C. Diagram Permasalahan Pasien

Kurangnya
pengetahuan baik
pasien maupun
keluarga menge
leptospirosis
Pasien sering lupa untuk
mencuci tangan sebelum
Tn. T, 58tahun dan setelah makan,
Ekonomi Leptospirosis memiliki kebiasaan tidak
menengah ke menutup makan dan dan
bawah bahan masakan, jarang
menggunakan alas kaki
saat bekerja.

Belum mengetahui faktor Keadaan dan kebersihan


risiko, pola penularan, dan lingkungan rumah yang
pengobatan penyakit kurang sehat
leptospirosis

Gambar 5. Hubungan Penyakit dengan Faktor Risiko

D. Matrikulasi Masalah
Prioritas masalah ini ditentukan melalui teknik kriteria matriks:
Tabel 8. Matrikulasi Masalah
I T R Jumla
No P S SB M Mo Ma h
Daftar Masalah
. n IxTx
R
Pengetahuan tentang
1 5 5 5 4 5 4 5 93,33
penyakit rendah
Perilaku tidak mencuci
tangan, jarang
2 5 5 4 3 4 5 5 65,38
menggunakan alas kaki,
sering mandi di sungai
Kondisi rumah dan
3 lingkungan sekitar yang 5 5 4 3 2 1 1 18,67
tidak sehat
Kondisi ekonomi keluarga
4. 4 5 5 1 1 1 1 4,67
adalah kelas menengah
kebawah
Keterangan:
I : Importancy (pentingnya masalah)
P : Prevalence (besarnya masalah)
S : Severity (akibat yang ditimbulkan oleh masalah)
SB : Social Benefit (keuntungan sosial karena selesainya masalah)
T : Technology (teknologi yang tersedia)
R : Resources (sumber daya yang tersedia)
Mn : Man (tenaga yang tersedia)
Mo : Money (sarana yang tersedia)
Ma : Material (ketersediaan sarana)

Kriteria penilaian:
1 : tidak penting
2 : agak penting
3 : cukup penting
4 : penting
5 : sangat penting

E. Prioritas Masalah
Berdasarkan kriteria matriks diatas, maka urutan prioritas masalah keluarga Tn. T adalah
sebagai berikut :
1. Pengetahuan tentang penyakit rendah
2. Perilaku pasien tidakmencuci tangan, jarang memakai alas kaki, sering mandi di sungai
3. Kondisi rumah dan lingkungan sekitar yang tidak sehat
4. Kondisi ekonomi keluarga adalah kelas menengah kebawah
Prioritas masalah yang diambil adalah tingkat pengetahuan pasien dan keluarga tentang
penyakit yang diderita masih rendah.
VI. RENCANA PEMBINAAN KELUARGA

A. Rencana Pembinaan Keluarga


1. Tujuan
Tujuan Umum
Meningkatkan pengetahuan mengenai penyakit leptopsirosisterutama mengenai sumber
penularan, tanda-gejala, serta penanganan dini
Tujuan Khusus
Mengubah perilaku pasien dan keluarga dalam menjaga kebersihan dan kesehatan
anggota keluarga
2. Cara Pembinaan
Pembinaan dilakukan di rumah pasien dalam waktu yang sudah ditentukan bersama
dengan cara memberikan penyuluhan dan edukasi pada pasien dan keluarga. Penyuluhan
dan edukasi dilakukan dalam suasana santai sehingga materi yang disampaikan dapat
diterima.
3. Materi Pembinaan
Materi utama pada penyuluhan dan edukasi yang diberikan kepada pasien dan keluarga
adalah mengenai pengertian, penyebab, cara penularan, tanda dan gejala, serta
penanganan dan pencegahan leptopspirosis.
4. Sasaran Pembinaan
Sasaran dari pembinaan yang dilakukan adalah pasien beserta seluruh anggota keluarga
pasien yang tinggal di rumah tersebut sebanyak 2 orang.
5. Evaluasi Pembinaan
Evaluasi yang dilakukan adalah dengan memberikan beberapa pertanyaan mengenai
materi yang telah disampaikan sebelumnya kepada pasien dan keluarga.Jika salah satu
dari anggota keluarga ada yang bisa menjawab, maka dianggap mereka sudah memahami
materi yang telah disampaikan sebelumnya dan dapat saling mengingatkan antar anggota
keluarga.
VII. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang disebabkan oleh patogen
spirochaeta, genus Leptospira. Spirochaeta ini pertama kali diisolasi di Jepang oleh Inada
setelah sebelumnya digambarkan oleh Adolf Weil tahun 1886. Weil menemukan bahwa
penyakit ini menyerang manusia dengan gejala demam, ikterus, pembesaran hati dan limpa,
serta kerusakan ginjal. Penyakit ini disebut juga sebagai Weil disease, Canicola fever,
Hemorrhagic jaundice, Mud fever,atau Swineherd disease (Andani, 2014).
Menurut WHO (2003), leptospirosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
bakteri patogen Leptospira, yang ditularkan secara langsung maupun tidak langsung dari
hewan ke manusia, sehingga penyakit ini digolongkan dalam zoonosis. Berdasarkan cara
transmisinya, leptospirosis merupakan salah satu direct zoonoses (host to host transmission)
karena penularannya hanya memerlukan satu vertebrata saja. Penyakit ini bisa berkembang
di alam pada hewan baik liar maupun domestik dan manusia merupakan infeksi terminal.
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang terjadi terutama di negara-negara
tropis atau subtropis. Kejadian leptospirosis dikaitkan dengan perubahan iklim, masyarakat
dengan timpat tinggal kumuh, dan berkaitan dengan pekerjaan tertentu. Gejala klinis yang
mungkin timbul bervariasi antar individu mulai dari gejala ringan hingga berat.
Leptospirosis terkadang jarang dilaporkan karena sulit untuk mendiagnosis secara klinis dan
keterbatasan fasilitas laboratorium (WHO, 2003).

B. Epidemiologi
International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai negara dengan
insidensi leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga didunia untuk mortalitas. Di Indonesia
leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Lampung, Sumatera
Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Utara, Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Pada kejadian banjir besar di
Jakarta tahun 2002, dilaporkan lebih dari 100 kasus leptospirosis dengan 20 kematian (Zein,
2009).
Leptospirosis masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia terutama di daerah
rawan banjir. Musim penghujan dan banjir dikhawatirkan berpotensi menimbulkan kejadian
luar biasa (KLB) Leptospirosis. Kejadian luar biasa (KLB) Leptospirosis terjadi di
Kabupaten Kota Baru Kalimantan Selatan pada tahun 2014. Peningkatan kasus terjadi di
Provinsi Jawa Tengah dan DKI Jakarta setelah terjadi banjir besar yang cukup lama. Menurut
Profil Data Kesehatan Indonesia Indonesia tahun 2011, leptospirosis di Indonesia mengalami
peningkatan baik jumlah kasus maupun kematian pada 3 tahun terakhir (2009-2011).
Dilaporkan pada tahun 2011, jumlah kasus sebanyak 857 orang, kasus meninggal 82 orang,
dan crude fatality rate (CFR) 9,57%. Provinsi Jawa Tengah adalah penyumbang kedua untuk
jumlah kasus (184 orang) dan kematian (33 orang) setelah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta (Kemenkes, 2015).
Leptospirosis di Kabupaten Banyumas pertama kali terjadi di Kecamatan Kebasen
pada bulan Mei 2010. Tahun 2010 hanya terdapat satu kasus, namun tahun 2011 meningkat
menjadi 6 kasus, meliputi 1 kasus pada bulan Maret di Kecamatan Purwojati, 1 kasus pada
bulan Mei di Kecamatan Gumelar, 1 kasus di Bulan Juni di Kecamatan Kembaran, 1 kasus
pada Bulan November di Kecamatan Ajibarang, dan 2 kasus di Bulan Desember yang terjadi
di Kecamatan Banyumas dan Rawalo. Tahun 2012 menurun menjadi 3 kasus, meliputi 1
kasus terjadi pada bulan Juli di Kecamatan Sumpiuh, 1 kasus pada bulan Agustus di
Kecamatan Pekuncen, dan 1 kasus terjadi di bulan Juni di Kecamatan Cilongok. Tahun 2013
dilaporkan terdapat 4 kasus di bulan Mei yang terjadi di Kecamatan Sumpiuh. Pada tahun
2014, terjadi 4 kasus leptospirosis yaitu di 1 kasus di Kecamatan Kedung Banteng dan 4
kasus di Kecamatan Kemranjen. Terdapat peningkatan kejadian Leptospirosis pada tahun
2015 yaitu sebanyak 14 kasus. Sebanyak 2 kasus terjadi di Kecamatan Kalibagor, 2 kasus
terjadi di Kecamatan Sokaraja, 5 kasus di Kecamatan Pekuncen, 1 kasus di Kecamatan
Rawalo, 2 kasus di Kecamatan Patikraja, 1 kasus di Kecamatan Purwokerto Barat, dan 1
kasus di Kecamatan Kebasen. Sampai bulan Juni 2016 sudah terjadi 7 kasus Leptospirosis di
Kabupaten Banyumas yaitu 1 kasus di Kecamatan Purwokerto Selatan, 4 kasus di Kecamatan
Somagede, 1 kasus di Kecamatan Banyumas, dan 1 kasus di Kecamatan Cilongok (Rejeki et
al, 2013; Dinkes Banyumas, 2016).

C. Etiologi
Leptospirosis disebabkan oleh kontak dengan air, tanah, dan lumpur yang tercemar
oleh bakteri Leptospira, atau konsumsi makanan yang terkontaminasi. Leptospira masuk
melalui kulit yang terluka atau membran mukosa. Menurut aspek cara transmisinya
Leptospirosis merupakan salah satu direct zoonosis (host to host transmision) karena
penularannya hanya memerlukan satu vertebrata. Penularan pada manusia merupakan
infeksi terminal. Dari aspek ini penyakit ini termasuk golongan anthropozoonoses karena
manusia merupakan “dead end” infeksi (Widarso et al., 2008).
Leptospira merupakan bakteri yang patogenik dan saprofitik. Bakteri patogenik
merupakan bakteri yang memiliki potensial untuk menyebabkan penyakit pada hewan dan
manusia. Bakteri saprofitik merupakan bakteri yang hiduo bebasa dan biasanya tidak
menyebabkan penyakit. Leptopira yang patogenik dapat hidup di tubulus renalis paha hewan
tertentu. Leptopira saprofitik dapat ditemukan di daerah yang lembab dan basah yaitu
berkisar antara permukaan air, lumpur, hingga air keran. Saprofitik halofilik (salt-loving)
dapat ditemukan di air laut (Widarso et al., 2008).
Leptospirosis berbentuk spiral, hal yang membedakan dengan spirochaeta lainnya
adalah adanya kait pada ujungnya. Leptospira masuk dalam ordo Spirochaetales, family
Leptospiraceae, dan genus Leptospira. Bakteri ini memiliki panjang 6-20 µm dan diameter
0,1 µm. Bakteri ini terlalu kecil untuk dilihat dibawah mikroskop biasa sehingga hanya
dapat dilihat dibawah mikroskop lapangan gelap. Semua leptospirosis terlihat sama saja
denga sedikit perbedaan minor sehingga melihat morfologinya saja tidak akan bisa
membedakan antara leptospira patogenik, saprofitik, atau antara sesama jenis leptospira
patogenik (Widarso et al., 2008).
Penularan dapat terjadi melalui kontak melalui mukosa atau kulit yang terluka
dengan air, tanah yang lembab, atau vegetasi yang terkontaminasi urin hewan yang
terinfeksi. Infeksi juga dapat terjadi melalui ingesti atau inhalasi dari makanan yang terkena
urin reservoir. Maksa inkubasi biasanya terjadi sekitar 10 hari (2-30 hari) (Widarso et al.,
2008).
Bakteri leptospira dapat hidup dan berkembang biak dalam tubuh hewan tertentu
yang selanjutnya disebut sebagai reservoir. Beberapa hewan vertebrae merupakan host alami
bakteri leptospira yang hidup di ginjal mereka. Walaupun leptospirosis tidak membahayakan
bagi host alaminya namun tetap dapat menimbulkan infeksi bagi manusia. Setelah
menginfeksi hewan, leptospira akan beredar mengikuti aliran darah dan menginvasi jaringan
dan organ. Sistem imun hewan reservoir diharapkan dapat mengeliminasi bakteri leptospira,
namun bakteri ini dapat bertahan dalam tubulus ginjal dan terbuang melalui urin hewan
tersebut (Widarso et al., 2008).

D. Patogenesis dan Patofisiologi


Transmisi infeksi dari hewan ke manusia biasanya terjadi elalui kontak dengan air
atau tanah lembab yang terkontaminasi. Leptospira masuk ke sirkulasi manusia melalui
penetrasi kulit terabrasi atau membrane mukosa intak (mata, mulut, nasofaring atau
esophagus). Temuan mikroskopikutamanya adalah vaskulitis sistemik dengan cedera
endotel, sel endotel rusak dengan berbagai derajat pembengkakan dan nekrosis. Leptospira
ditemukan di pembuluh darah berukuran medium dan besar serta kapiler berbagai organ.
Organ utama yang terkena adalah (Watt, 2013; Day & Edwards, 2010):
1. Ginjal, dengan inflamasi tubulointerstisial difus dan nekrosis tubular
2. Paru, biasanya kongesti, dengan massif, deposisi linier immunoglobulin dan komplemen
pada permukaan alveolar
3. Hati, yang menunjukan kolestasis terkait perubahan degenerative ringan pada hepatosit
Pada pasien yang bertahan hidup, fungis hatidan ginjal akan sembuh sempurna sesuai
dengan ringannya kerusakan structural pada organ tersebut (Watt, 2013).
Sistem lain juga dapat terkena, padakasus berat dapat berupa
miokarditis,meningoensefalitis, dan uveitis. Cederavaskuler dapat disebabkan oleh efek
toksikLeptospira secara langsung atau oleh responsimun. Protein membran sisi luar
Leptospira(outer membrane protein / OMPs) danlipopolisakarida dapat menimbulkan
inflamasi melalui jalur yang bergantung Toll like receptor 2. Trombositopenia dan aktivasi
kaskadekoagulasi juga sering ditemukan. Pada masapenyembuhan, Leptospira terus
diekskresikandi urin selama beberapa hari (Day & Edwards, 2010).

E. Penegakan Diagnosis
Infeksi dapat asimptomatik, tetapi pada 5-15% kasus dapat berat atau fatal. Masa
inkubasi leptospirosis 7-12 hari. Perjalanan peyakit secara klasik bifasik, yaitu fase
bakteremik akut diikuti fase imun, pada kasus beratkedua fase ini bergabung, pada kasus
ringanfase imun mungkin tidak terjadi. Manifestasiklinis leptospirosis secara umum
terbagidua, yaitu penyakit anikterik yang self limiteddan penyakit ikterik (Penyakit Weil)
dengantampilan lebih berat.
Leptospirosis Anikterik
Fase akut dicirikan oleh demam awitan mendadak, menggigil, nyeri kepala
retroorbita, anoreksia, nyeri perut, mual dan muntah. Demam sering melebih 40 C dan
didahului kekakuan. Terdapat juga myalgia dengan karakteristik nyeri tekan betis,
paha,abdomen, dan regio paraspinal (lumbosakral),jika mengenai regio leher dan kuduk
akanmenyerupai meningitis. Nyeri tekan abdomendapat menyerupai akut abdomen. Pada
kasusringan demam akan menghilang setelah 3-9hari.Injeksi konjungtiva biasanya muncul
2-3hari setelah awitan demam dan melibatkankonjungtiva bulbi. Tidak ada pus
ataupunsekret serosa dan tidak ada perlengketanbulu mata dan kelopak mata. Dapat
puladitemukan injeksi faring, splenomegali,hepatomegali, limfadenopati, dan lesi
kulit,namun jarang dan tidak jelas.Sebagian besar pasien menjadi asimptomatikdalam 1
minggu. Setelah beberapa hari (2-3hari), pada beberapa pasien gejala kembalimuncul,
disebut fase kedua atau faseimun. Leptospira hilang dari darah, cairanserebrospinal, dan
jaringan, namun munculdi urin (leptospiruria). Muncul antibody IgM, karena itu disebut fase
imun. Gejalautama fase ini adalah meningitis pada 50%kasus, meskipun pleiositosis pada
cairanserebrospinal dapat ditemukan pada 80-90%pasien pada minggu kedua. Dapat
terjadipula neuritis optik dan neuropati perifer.Uveitis biasanya merupakan manifestasi
yangmuncul belakangan, 4-8 bulan setelah awitanpenyakit.
Leptospirosis Ikterik (Penyakit Weil)
Penyakit Weil merujuk pada leptospirosis beratdan mengancam nyawa, dicirikan
oleh ikterus,disfungsi ginjal, dan perdarahan. Meskipunikterus merupakan tanda utama,
kematianbukan disebabkan oleh gagal hati. Prognosistidak ditentukan oleh derajat ikterus,
namun oleh adanya ikteru karena semua kematianpada leptospirosis terjadi pada kasus
ikterik.Ikterus tampak pertama kali antara hari kelimahingga kesembilan, intensitas
maksimum4 atau 5 hari kemudian dan terus berlanjutselama rata-rata 1 bulan. Mayoritas
pasienmemiliki hepatomegali dan nyeri ketok pada perkusi hati menunjukkan penyakit
masihaktif.
Perdarahan kadang terjadi pada kasus anikteriktetapi paling sering pada penyakit
yang berat.Manifestasi perdarahan yang paling seringadalah purpura, petekie, epistaksis,
perdarahangusi, dan hemoptisis minor. Kematian dapatterjadi akibat perdarahan subaraknoid
danperdarahan masif saluran cerna. Adanyaperdarahan konjungtiva sangat bergunauntuk
diagnostik, dan jika disertai sklera ikterikdan injeksi konjungtiva, merupakan temuanyang
sangat sugestif untuk leptospirosis.
Semua bentuk leptospirosis dapatmenyebabkan disfungsi ginjal. Gambaranmulai dari
yang ringan berupa proteinuriaringan dan abnormalitas sedimen urin hinggaberat berupa
cedera ginjal akut. Yang seringditemukan adalah gagal ginjal non-oliguriadengan
hipokalemia ringan (41-45% kasus).Anuria total dengan hiperkalemia merupakan tanda
prognostik buruk (Leptospirosis Clinical Practice Guidelines, 2010). Gangguankesadaran
pada leptospirosis berat biasanyadisebabkan oleh ensefalopati uremikum, padakasus
anikterik biasanya disebabkan ensefalitisaseptik. Pada pasien penyakit Weil yangberhasil
bertahan, fungsi ginjal akan kembalinormal (Watt, 2013; Daher et al., 2010).
Pemeriksaan Laboratorium
Leptospira dapat diisolasi dari sampel darah dancairan serebrospinal pada hari
ketujuh hinggakesepuluh sakit, dan dari urin selama minggukedua dan ketiga. Kultur dan
isolasi masihmenjadi baku emas, dapat mengidentifikasiserovar, tetapi membutuhkan media
khususdengan waktu inkubasi beberapa minggu,dan membutuhkan mikroskop
lapangangelap, sehingga tidak sesuai untuk perawatanindividual. Sejumlah metode deteksi
DNAleptospira dengan reaksi rantai polymerase lebih sensitif daripada kultur, dan
dapatmemberikan konfirmasi diagnosis lebih awalpada fase akut, namun belum menjadi
standarrutin.
Respons antibodi IgM yang kuat, munculsekitar 5-7 hari setelah awitan gejala,
dapatdideteksi menggunakan beberapa ujikomersial berbasis ELISA, aglutinasi latex
danteknologi uji cepat imunokromatografik. Uji serologi ini mendeteksi antibodi IgM
yangspesifik terhadap genus Leptospira. Tetapiuji ini sensitivitasnya rendah (63-72%) pada
sampel fase akut (penyakit kurang dari 7 hari). Jika sampel serum diambil setelah
hariketujuh, sensitivitas meningkat menjadi >90%.Oleh karena itu, sampel kedua
hendaknyadiambil pada kasus tersangka leptospirosisdengan hasil awal negatif atau
meragukan.Antibiotik yang diberikan sejak awal penyakitmungkin menyebabkan respons
imun danantibodi tertunda. IgM positif menunjukkanleptospirosis saat ini atau baru terjadi,
namunantibodi IgM dapat tetap terdeteksi selamabeberapa tahun.
Pada uji aglutinasi mikroskopik, peningkatantiter empat kali lipat dari serum akut
kekonvalesens merupakan konfirmasi diagnosis.Akan tetapi metode ini kompleks,
deteksiantibodi terhadap suspensi antigen hidup dengan cara serum pasien diencerkan
laludiletakkan pada panel leptospira patogenik
hidup. Hasilnya dilihat pada mikroskoplapangan gelap dan diekspresikan
sebagaipersentase organisme yang dibersihkandari lapang pandang melalui aglutinasi.
Ujihanya dilakukan di laboratorium rujukan,dapat memberikan informasi mengenaiserovar
yang diduga menginfeksi, sehinggamemiliki nilai epidemiologis. Di daerahendemis, titer
yang meningkat hanya sekaliharus diinterpretasikan secara hati-hati karenaantibodi bertahan
selama bertahun-tahunsetelah infeksi akut. Reaksi silang juga dapatterjadi pada sifilis,
hepatitis virus, HIV, relapsingfever, penyakit Lyme, legionellosis, dan penyakitautoimun.
Pemeriksaan mikroskopiklangsung dari sampel klinis bernilai diagnostic kecil, pewarnaan
imunohistokimia dari spesimen otopsi sangat berguna (Day & Edwards, 2010).
Mengingat sulitnya konfirmasi diagnosisleptospirosis, dibuatlah sistem skor
yangmencakup parameter klinis, epidemiologis, dan laboratorium. Berdasarkankriteria Faine
yang dimodifikasi, diagnosispresumtif leptospirosis dapat ditegakkan jika:
(i) Skor bagian A atau bagian A + bagian B =26 atau lebih; atau
(ii) Skor bagian A + bagianB + bagian C = 25 atau lebih.
Skor antara 20dan 25 menunjukkan kemungkinan diagnosisleptospirosis tetapi belum
terkonfirmasi.
Tabel 10. Kriteria Faine yang dimodifikasi (Kumar, 2013)
Bagian A : Data Klinis Skor
Sakit kepala 2
Demam 2
Jika demam, suhu 39 C atau lebih 2
Injeksi konjungtiva (bilateral) 4
Meningismus 4
Myalgia (khususnya otot betis) 4
Injeksi konjungtiva + myalgia + meningismus 10
Ikterus 1
Albuminuria atau retensi nitrogen 2
Hemoptysis atau dyspnea 2
Bagian B : Faktor epidemiologis Skor
Curah hujan 5
Kontak dengan lingkungan terkontaminasi 4
Kontak dengan binatang 1
Bagian C : Temuan bakteriologis dan laboratorium Skor
Isolasi leptospira pada kultur Diagnosis pasti
PCR 25
Serologi positif
ELISA IgM positif, SAT* positif; rapid test lain***, 15
satu kali titer tinggi pada MAT** (masing-masing dari
ketiga pemeriksaan ini harus diberikan nilai)
Peningkatan titer MAT** atau serokonversi (serum yang 25
berpasangan)
* SAT: Slide agglutination tes; **MAT: Microscopic agglutination test; *** Latex
agglutination test/ Leptodipstick/ Lepto Tek lateral flow/ Lepto Tek Dri-Dot test.

F. Komplikasi
Komplikasi paru yang paling sering pada leptospirosis adalah sindrom perdarahan
paru berat terkait leptospirosis (severe pulmonary hemorrhagic syndrome/ SPHS) danacute
respiratory distress syndrome (ARDS).Komplikasi ini dapat terjadi dengan atautanpa ikterus
ataupun gagal ginjal. Hemoptisismerupakan tanda utama, namun biasanyatidak jelas hingga
pasien diintubasi. Faktorrisiko komplikasi paru adalah keterlambatan pemberian antibiotik
dan trombositopenia pada awitan penyakit (Watt, 2013; 3). Perdarahan paru
terjadi akibat vaskulitis, juga dapat dikaitkandengan trombositopenia dan koagulopati
konsumtif (7). Kematian akibat leptospirosisterjadi pada 10-15% kasus, biasanya
akibatperdarahan paru, gagal ginjal, atau gagaljantung dan aritmia akibat miokarditis (5).

G. Tatalaksana
Antibiotik hendaknya diberikan pada semua pasien leptospirosis pada fase penyakit
mana pun. Pada kasus ringan obat terpilih adalah doksisiklin. Obat alternative adalah
amoksisilin dan azitromisin dohidrat. Pasien sakit berat hendaknya dirawat inap. Antibiotic
terpilih pada leptospirosis sedang-berat adalah penicillin G. Obat alternatif di
antaranyasefalosporin generasi ketiga (seftriakson,sefotaksim) dan azitromisin
dihidratparenteral. Antibiotik harus diberikan selama 7hari, kecuali azitromisin dihidrat
selama 3 hari.
Tabel 2. Dosis antibiotik rekomendasi untuk leptospirosis
Leptospirosis Ringan Leptospirosis Sedang-Berat
Antibiotik Dosis Antibiotik Dosis
Agen Lini Pertama
Doksisiklin 100 mg 2 kali Penisilin G 1,5 jt unit setiap 6-
sehari per oral 8 jam
Agen Alternatif
Amoksisilin 500 mg 4 kali Ampisilin iv 0,5 – 1 g setiap 6
sehari atau 1 g jam
setiap 8 jam per
oral
Ampisilin 500-750 mg 4 kali Azitromisisn 500 mg sekali
sehari dihidrat sehari selama 5
hari
Azitromisisn Inisial 1 g, Seftriakson 1 g setiap 24 jam
dihidrat dilanjutkan 500 mg
per hari untuk 2
hari berikutnya Sefotaksim 1 g setiap 6 jam

Pada leptospirosis sedang berat, terapi suportifdengan perhatian pada keseimbangan


cairandan elektrolit serta fungsi paru dan jantungsangat penting. Pasien yang menderita
gagalginjal diterapi dengan hemodialisis atau
hemodiafiltrasi jika tersedia (5). Transfusi darahdan produk darah mungkin diperlukan
padaperdarahan berat. Transfusi trombosit dinidianjurkan jika trombosit kurang dari 50 ribu
/mm3 atau pada turun bermakna dalam waktusingkat (7).
Perdarahan paru erring membutuhan intubasi dan ventilasi mekanik segera. Pasien SPHS
memiliki bukti mekanik segera. Pasien SPHS memiliki bukti fisiologis dan patologis untuk
ARDS, sehingga ventilasi dengan volume tidal rendah dan post-expiratory end pressure
tinggi. Bukungan pernapasan untuk mempertahankan oksigenasi jaringan yang adekuat
sangat penting karena pada kasus tidak fatal fungsi paru dapat sembuh sempurna (1).
Penggunaan kortikosteroid pada ARDS masih diperdebatkan, beberapa studi menunjukan
manfaat jika diberikan pada awal ARDS. Metil prednisolone diberikan dalam 12 jam
pertama awitan keterlibatan paru dengan dosis 1 g iv/hari selama 3 hari dilanjutkan
prednisolone oral 1 mg/kgBB/hari selama 7 hari (3). Plasmaferesis dosis rendah (25 mL/kg)
juga bermanfaat pada perdarahan paru ringan (11). Dua siklus plasmaferesis berjarak 24 jam
disertai siklofosmid 20 mg/kg setelah siklus pertama plasmaferesis dapat meningkatkan
ketahanan hidup (7).

K. Pencegahan
Pencehagan infesi menggunakan doksisiklin 200 mg 1 kali seminggu dapat bermanfaat
pada orang berisiko tinggi untuk periode singkat, misalnya anggota militer dan pekerja
agrikultur tertentu. Antibiotic dimulai 1 sampai 2 hari sebelum paparan dan dilanjutkan
selama periode paparan (3). Infeski leptospira hanya memberikan imunitas spesifik serovar,
sehingga dapat terjadi infeksi berikutnya oleh serovar berbeda. Leptospirosis di daerah tropik
suli dicegah karena banyaknya hewanreservoir yang tidak mungkin dieliminasi.Banyaknya
serovar menyebabkan vaksinspesifik serovar kurang bermanfaat. Padakondisi ini, cara paling
efektif adalahmenyediakan sanitasi yang layak di komunitas daerah kumuh perkotaan (1).
Pada orang yang sudah terpapar denganleptospira, masih dapat diberikan terapiprofilaksis
pasca-paparan; digunakandoksisiklin disesuaikan berdasarkan risikoindividu (3).
VII. PENUTUP

A. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa Tn. T adalah seorang pasien yang didiagnosis leptospirosis
1. Aspek Personal
Idea : Pasien mengeluhdemam hingga mengigil disertai nyeri kepala, mata
merah, badan terasa pegal pada bagian kaki
Concern : Pasien merasa badannya demam, tidak nyaman dan lemas, keluarga
pasien khawatir kondisi pasien semakin memburuk.
Expectacy : Pasien dan keluarga pasien mempunyai harapan agar penyakit pasien
dapat segera sembuh dan dapat segera beraktivitas kembali
Anxiety :Pasien dan keluarga pasien khawatir penyakit pasien tidak sembuh-
sembuh dan jatuh ke kondisi yang lebih berat
2. Aspek Klinis
Diagnosis : Leptospirosis
Gejala klinis yang muncul :demam hingga mengigil, nyeri kepala, mata merah,
badan lemas dan terasa pegal pada kaki
Diagnosa banding : Demam tifoid, DHF
3. Aspek Faktor Risiko Intrinsik Individu
a. Kebiasaan pasien lupa untuk mencuci tangan sebelum dan setelah makan. Maupun
setelah beraktivitas di luar rumah.
b. Kebiasaan tidak menutup makanan di rumah
c. Kebiasaan jarang menggunakan alas kaki saat bekerja
d. Kebiasaan sering mandi di sungai
4. Aspek Faktor Risiko Ekstrinsik Individu
a. Status sosial ekonomi keluarga pasien yang rendah, menyebabkan kondisi hunian
tidak memenuhi kriteria rumah sehat dan buruknya lingkungan, antara lain
pencahayaan, ventilasi, dan plafon, kebersihan dan keadaan lingkungan rumah secara
umum yang kurang sehat.
b. Rumah yang bersebelahan dengan kandang ayam juga memudahkan tercemarnya
lingkungan rumah oleh kotoran ayam.
c. Banyaknya tikus yang terdapat disekitaran rumah pasien menjadi factor risiko
penularan penyakit ini. Pasien mengaku dirumahnya terdapat banyak tikus yang
berkeliaran di atap rumah. Sebelum terkena sakit pasien sempat mengambil bahan
makanan yang diambil oleh tikus. Pasien mengaku lupa mencuci tangan setelah itu.
5. Aspek Skala Penilaian Fungsi Sosial
Skala penilaian fungsi sosial pasien adalah 3, karena pasien mulai terganggu dalam
melakukan aktivitas dan kegiatan sehari-hari seperti biasanya.

B. Saran
1. Pemberian penyuluhan dengan materi utama pada penyuluhan dan edukasi yang
diberikan kepada pasien dan keluarga beserta warga yang berada di lingkungan sekitar
adalah mengenai pengertian, penyebab, cara penularan, tanda dan gejala, serta
penanganan dan pencegahan leptospirosis.
2. Penyuluhan materi selanjutnya adalah mengenali pengendalian penularan leptospira yang
biasa berada pada genangan-genangan air, dan tikus-tikus yang ada di rumah
3. Menyarankan untuk menjaga kebersihan lingkungan rumah, menghilangkan genangan-
genangan air yang ada disekitar rumah dan menggunakan alat pelindung diri saat
beraktivitas disekitar rumah.
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 2005. Pedoman Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia. Jakarta: Depkes RI


Ditjen P2M dan PLP.
Kusmiati, dkk. 2005. Leptospirosis pada Hewan dan Manusia di Indonesia. Balai Penelitian
Veteriner. Bogor.
Mansjoer, A. 2005. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 Bagian I. Media Aesculapius, FKUI.
Jakarta.
Profil Kesehatan Indonesia. 2012. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Profil Pengendalian Zoonosis. 2013. Kementerian Kesejahteraan Rakyat Republik Indonesia.
Saroso, S. 2003. Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium Leptospirosis di
Rumah Sakit. Departemen Kesehatan R.I. : Jakarta.
Soemirat, J. 2005. Epidemiologi Lingkungan. Edisi 2. Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press.
Suratman. 2008. Analisis Faktor Risiko Lingkungan dan Perilaku yang Berpengaruh Terhadap
Kejadian Leptospirosis Berat di Kota Semarang (Studi Kasus Leptospirosis yang Dirawat
di Rumah Sakit Dr. Kariadi, Semarang)dalamJurnal Media Kesehatan Masyarakat
Indonesia, Vol 7 No 2.
Widoyono. 2011. Penyakit Tropis : Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasan.
Erlangga : Jakarta.
DOKUMENTASI KEGIATAN

Halaman depan Ventilasi

Ruang Keluarga Dapur

Kandang Kambing Kebun

Anda mungkin juga menyukai