Anda di halaman 1dari 58

LAPORAN LONG CASE STUDY

KEPANITERAAN ILMU KEDOKTERAN KELUARGA


PUSKESMAS PEKUNCEN

DEMAM TIFOID

Disusun Oleh:
Nining Sariwati
G4A016111

Pembimbing:
dr. Diah Krisnansari, M.Si
dr. Dhini Puspitosari

KEPANITERAAN KLINIK STASE KOMPREHENSIF


ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

2018
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kepaniteraan Kedokteran Keluarga


Long Case

Demam Tifoid

Disusun untuk memenuhi sebagian syarat


Kepaniteraan Ilmu Kedokteran Komunitas/Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran
Universitas Jenderal Soedirman

Oleh:
Nining Sariwati
G4A016111

Telah diperiksa, disetujui dan disahkan:


Hari :
Tanggal : Desember 2018

Preseptor Lapangan Preseptor Fakultas

dr. Dhini Puspitosari dr. Diah Krisnansari, M.Si


NIP. 19810129.200501.2.0.11 NIP. 19770202.200501.2.001
I. KARAKTERISTIK DEMOGRAFI KELUARGA

Nama Kepala Keluarga : Tn. S


Alamat lengkap : Desa Kranggan RT/RW 2/3.
Kecamatan , Pekuncen, Kabupaten Banyumas
Bentuk Keluarga : Extended family
Tabel 1.1 Daftar anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah
No. Nama Kedudukan L/P Umur Pendidikan Pekerjaan Keterangan
1. Tn. S Kepala L 58 SD Pedagang
keluarga
(Suami)
2. Ny. R Istri P 56 SD Pedagang
(Pasien)
3. Tn. SH Anak L 28 SMA Pedagang
4. Ny. A Menantu P 26 SMA IRT
5. Ny. D Anak P 27 SMA IRT
6. Tn. G Menantu L 28 SMA Pedagang
7. An. B Cucu P 6 SD Pelajar
8. An. F Cucu P 5 TK Pelajar
Sumber : Data Primer, Desember 2018
Kesimpulan :
Dari karakteristik demografi diatas, bentuk keluarga Ny. R adalah Extended family,
tinggal dalam satu rumah dengan kedua Suami Tn. K (58 tahun), Anak Tn. SH (28
tahun) dan Ny. D (27 tahun), Menanatu Ny. A (26 tahun) dan Tn. G (28 tahun), Cucu
An. B (6 tahun) dan An. F (5 tahun).
II. STATUS PENDERITA

A. PENDAHULUAN
Laporan ini disusun berdasarkan kasus yang diambil dari seorang pasien jenis
kelamin perempuan berusia 56 tahun yang datang ke IGD Puskesmas pekuncen
dengan keluhan demam sejak 7 hari sebelum datang ke IGD.

B. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. R
Usia : 56 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status : Menikah
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : siswa
PendidikanTerakhir : SD
Penghasilan/bulan : Rp 750.000-1.000.000
Alamat : Desa Kranggan RT/RW 2/3, Pekuncen.
Pengantar : Anak pasien
Tanggal Periksa : 12 Desember 2018

C. ANAMNESIS (diambil melalui autoanamnesis)


1. Keluhan Utama
Demam
2. Keluhan Tambahan
Nyeri kepala cekot-cekot, badan lemas, lidah terasa pahit, nafsu makan
menurun, pegal-pegal pada daerah sendi, mual, muntah, nyeri perut, batuk
berdahak.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD Puskesmas Pekuncen dengan keluhan demam
mendadak yang naik turun, terutama pada malam hari sejak 7 hari sebelum
masuk puskesmas. Demam tidak disertai dengan adanya kejang, kaku leher,
nyeri saat kencing, Pasien juga menyangkal datang dari bepergian ke suatu
daerah endemis penyakit.
Keluhan tersebut disertai nyeri kepala cekot-cekot, badan lemas, lidah terasa
pahit, nafsu makan menurun, pegal-pegal pada daerah sendi, mual, muntah,
nyeri perut, batuk berdahak. Pasien menyangkal adanya kulit kemerahan,
bintik bintik merah. Sebelum keluhan muncul, pasien mengaku sering jajan di
luar rumah sepulang kerja di tempat yang terbuka terkena udara luar, serta
tidak diketahui kebersihan dari makanan dan penjualnya. Sering makan pedas
dan yang bersantan. Pasien juga mengaku habis berburu tikus dirumah.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat mengalami keluhan yang sama : disangkal
- Riwayat mondok : disangkal
- Riwayat operasi : disangkal
- Riwayat kecelakaan : disangkal
- Riwayat jantung : disangkal
- Riwayat kencing manis : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
- Riwayat alergi makanan/obat : disangkal
- Riwayat diare : disangkal
- Riwayat sulit BAB : disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat mengalami keluhan yang sama : disangkal
- Riwayat kencing manis : disangkal
- Riwayat darah tinggi : disangkal
- Riwayat jantung : disangkal
- Riwayat asma : disangkal
- Riwayat batuk lama : disangkal
6. Riwayat Sosial dan Exposure
a. Community : Pasien dalam kesehariannya tinggal bersama dengan kedua
anak, menantu dan cucu. Rumah berada di pedesaan yang tidak terlalu
berdekatan. Pasien memiliki banyak teman di lingkungan tempat tinggal,
dan hubungan baik.
b. Home : Rumah Ny. R memiliki ukuran 12x15 m2 ventilasi cukup,
pencahayaan yang kurang pada masing-masing ruangan. Dinding rumah
terbuat dari tembok dan kayu, lantai rumah pasien keramik pada ruang
tamu dan ruangan lainnya menggunakan lantai semen termasuk kamar
mandi. Atap pada ruang tengah, ruang tamu dan kamar telah
menggunakan pelapon. Dalam rumah terdapat 3 kamar tidur, 1 ruang
keluarga, 1 ruang tamu, 1 kamar mandi dan 1 dapur didalam rumah, dan 1
dapur untuk memasak ayam dagangan berada di samping rumah. Kamar
mandi memiliki jamban namun tidak memiliki septic tank, untuk
pembuangan berada pada kali yang berjarak 30 meter dari rumah pasien.
dapur dengan kompor gas. Sumber air untuk mandi dan mencuci berasal
dari air pegunungan, untuk memasak dan mandi berasal dari sumur, air
minum juga berasal dari galon. Jarak dari sumber air (sumur) ke kali
sekitar 2 meter. Tingkat kelembaban rumah cukup lembab. Tempat
sampah keluarga diletakkan disamping rumah dan dibuang ke kali
samping rumah. Pasien juga mengaku banyak tikus dirumah pasien.
Didepan rumah terdapat banyak terdapat pepohonan yang rindang.
Tempat tinggal Ny. R merupakan lingkungan pemukiman yang tidak
padat, jarak rumah rumah pasien dengan tetangganya tidak berdekatan,
rumah pasien bersebelahan dengan kali..
c. Hobby : Pasien tidak memiliki kebiasaan khusus atau rutin. Pasien sering
berkumpul bersama teman-temannya.
d. Occupational : Pasien adalah seorang pedagang ayam dipasar. Aktivitas
sehari hari berada di pasar untuk berdagan. Pasien bekerja dari pagi
hingga sore.
e. Personal Habit : Pasien selalu mengkonsumsi makanan yang dimasak
dirumah sebelum berangkat bekerja. Sebelum dan sesudah makan pasien
selalu mencuci tangan. Setelah keluar dari kamar mandi pasien jarang
mencuci tangan dengan sabun. Keluarga pasien mencuci peralatan
memasak dan makan menggunakan air pegunungan dan sumur. Pasien
memiliki kebiasaan menggantungkan pakaian di dalam kamar.
f. Diet : Pasien makan 2-3 kali sehari dengan menu variative seperti nasi,
sayur dan lauk (tahu, tempe, telur). Kadang pasien makan tidak makan
dengan sayur. Pasien kadang jajan diluar rumah, seperti gorengan setelah
pasien pulang bekerja.
g. Drug : Pasien tidak mengkonsumsi obat-obatan tertentu.
7. Riwayat Psikologi :
Pasien tinggal bersama ke dua anak, menantu dan cucu . Dalam
kesehariannya, pasien jarang bertengkar dengan anak, menantu ataupun cucu.
Mental pasien juga sesuai dengan mental seusianya.
8. Riwayat Ekonomi
Pasien tergolong dalam keluarga ekonomi kelas menengah kebawah.
Pasien bekerja untuk membantu anak memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.
Pekerjaan pasien dibantu suami berserta anak dan menantu. Pendapatan
pasien beserta suami sekitar Rp 750.000-1.000.000 per bulan, pendapatan
anak pasien tidak menentu.
9. Riwayat Demografi
Hubungan antara pasien dengan keluarganya dapat dikatakan rukun
dan harmonis. Hal tersebut dapat terlihat dari cara berkomunikasi pasien
dengan anak, menantu dan cucu yang tampak baik. Hubungan dengan anak-
anak pasien yang sudah tidak tinggal serumah serta tetangga juga harmonis.
Pasien sering bermain dan bergaul dengan temannya.
10. Riwayat Sosial
Pasien mengenal baik tetangga di sekitar rumah. Pasien sering
mengikuti kegiatan didesa dengan tetangga.
11. Anamnesis Sistemik
a. Keluhan Utama : demam
b. Kulit : warna kulit sawo matang
c. Kepala : pusing cekot-cekot
d. Mata : tidak ada keluhan
e. Hidung : tidak ada keluhan
f. Telinga : tidak ada keluhan
g. Mulut : mulut terasa pahit
h. Tenggorokan : tidak ada keluhan
i. Pernafasan : tidak ada keluhan
j. Sistem Kardiovaskuler : tidak ada keluhan
k. Sistem Gastrointestinal : nafsu makan menurun, belum BAB 2 hari
l. Sistem Saraf : demam
m. Sistem Muskuloskeletal : badan lemas
n. Sistem Genitourinaria : tidak ada keluhan
o. Ekstremitas : Atas : tidak ada keluhan
Bawah : tidak ada keluhan

D. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum/Kesadaran
Tampak lemas, kesadaran compos mentis.
2. Tanda Vital
a. Tekanan Darah : 110/70 mmHg
b. Nadi : 91 x/menit
c. Pernafasan : 20 x/menit
d. Suhu : 37.8 oC
3. Status gizi
a. BB : 40 kg
b. TB : 150 cm
c. BMI :

d. Kesan status gizi : status gizi kurus


4. Kulit : Sianosis (-), ikterik (-), ptekie (-)
5. Kepala : Bentuk mesosefal, rambut tidak mudah dicabut
6. Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
7. Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), discharge (-/-)
8. Telinga : Bentuk dan ukuran normal, sekret (-/-)
9. Mulut : Bibir sianosis (-), mukosa mulut basah (+), lidah
tampak kotor (-), hiperemis (-), tremor (-)
10. Tenggorokan : Faring hiperemis (-), Tonsil T1-T1
11. Leher : Deviasi trakea (-), limfonodi cervicalis tidak teraba
12. Thoraks :
a. Pulmo
Inspeksi : pergerakan dada kanan = kiri
Palpasi : fremitus raba kanan = kiri
Perkusi : sonor/sonor
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+) suara tambahan RBH (-/-)
RBK (-/-) wheezing (-/-)
b. Cor :
Inspeksi : ictus cordis tak tampak
Palpasi : ictus cordis tak kuat angkat
Perkusi : batas kiri atas : SIC II LPSS
batas kiri bawah : SIC IV LMCS
batas kanan atas : SIC II LPSD
batas kanan bawah : SIC IV LPSD
batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : bunyi jantung normal, reguler, gallop (-), murmur (-)
13. Abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, pekak alih (-), pekak sisi (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (+) hipogastri, hepar dan lien tidak teraba
pembesaran
14. Sistem Collumna Vertebralis
Inspeksi : deformitas (-), skoliosis (-), kiphosis (-), lordosis (-)
Palpasi : nyeri tekan (-)
15. Ektremitas : Uji Rumple Leed (-)
Akral dingin - - Oedem - -
- - - -

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Hb 12.7 gr/Dl (N)
Leukosit 11.520 (H)
Trombosit 188.000 (N)
Tes widal : Salmonela typhi O : 1/320
Salmonela typhi H : 1/320
RDT Leptospirosis negatif

F. DIAGNOSIS HOLISTIK
1. Aspek Personal
Idea
Pasien mengeluhkan demam naik turun, nyeri kepala cekot-cekot, badan
lemas, lidah terasa pahit, nafsu makan menurun, pegal-pegal pada daerah
sendi, mual, muntah, nyeri perut dan batuk berdahak.
Concern
Pasien merasa tidak nyaman dan lemas, keluarga pasien khawatir kondisi
pasien semakin lemas dan demam tidak menurun sehingga membuat pasien
sulit untuk beraktivitas
Expectacy
Pasien dan keluarga mempunyai harapan agar penyakit pasien dapat segera
sembuh dan dapat segera beraktivitas seperti biasanya.
Anxiety
Pasien dan keluarganya khawatir keadaan pasien semakin memburuk.
2. Aspek Klinis
Diagnosis : Demam tifoid
Gejala klinis yang muncul : Demam, nyeri kepala cekot-cekot, badan lemas,
lidah terasa pahit, nafsu makan menurun, pegal-
pegal pada daerah sendi, mual, muntah, nyeri
perut dan batuk berdahak.
Diagnosa banding : Leptospirosis, ISK.
3. Aspek Faktor Risiko Intrinsik Individu
Pasien usia 56 tahun, jenis kelamin perempuan. Setelah keluar dari
kamar mandi kadang mencuci tangan dengan sabun. Pasien sering jajan di
luar rumah yang tidak diketahui kebersihan dan higienitas pangannya.
4. Aspek Faktor Risiko Ekstrinsik Individu
a. Pengetahun dan pemahaman pasien dan keluarga mengenai penyakit
demam tifoid.
b. Kondisi ekonomi pasien dan keluarga termasuk ke dalam ekonomi
menengah ke bawah.
c. Lingkungan rumah pasien yang lembab, atap ruangan dapur tidak
menggubakan pelapon, mengaku banyak tikus dirumah pasien dan ada
disamping kali.
5. Aspek Skala Penilaian Fungsi Sosial
Skala penilaian fungsi sosial pasien adalah 3, karena pasien mulai terganggu
dalam melakukan aktivitas dan kegiatan sehari-hari seperti bekerja atau
berkumpul bersama keluarga.

G. PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
1. Personal Care
Aspek kuratif
a. Initial Plan
Usulan pemeriksaan penunjang:
1) Pemeriksaan darah rutin setiap hari (Hb, Ht, leukosit, eritrosit,
trombosit).
2) Pemeriksaan darah lengkap (Hitung Jenis Leukosit).
3) Serologi :
a) Enzyme Immunoassay test : Deteksi IgM dan IgG Salmonella typhi
b) Kultur Salmonella typhi pada sampel darah
c) Pemeriksaan RDT Leptospirosis
4) Urin lengkap

b. Medikamentosa
1) IVFD RL 20 tpm makro
2) PO Tiamfenikol tab 3x500 mg
3) PO Paracetamol tab 3x500 mg k/p demam
4) PO Omeprazol tab 2x20 mg
5) PO Guaifenesin tab 3x100 mg
c. Non Medikamentosa
1) Istirahat tirah baring, pengaturan mobilisasi
2) Diet gizi seimbang, lunak, rendah serat, cukup kalori dan protein
3) Perbanyak minum air putih
4) Konsumsi obat-obatan teratur
d. KIE (konseling, informasi dan edukasi)
Pasien dan keluarganya perlu mendapatkan konseling, informasi dan
edukasi mengenai:
1) Penyakit demam tifoid meliputi faktor risiko, cara penularan, tanda
dan gejala serta pengobatan,
2) Kegawatan demam tifoid seperti mengigau, gelisah, penurunan
kesadaran, perdarahan saat BAB, BAB hitam, seluruh tubuh tampak
kuning,
3) Minum obat teratur, konsumsi antibiotik sampai habis walaupun gejala
sudah membaik.
4) Istirahat cukup.
5) Selalu mencuci tangan dengan sabun sebelum dan sesudah makan,
serta setelah dari kamar mandi.
6) Hindari jajan sembarangan dimana makanan tercemar polusi udara,
sampah atau yang mudah dilewati oleh hewan (tikus, kucing),
serangga (kecoa, lalat).
7) Bahan makanan mentah harus dicuci dengan air bersih dan mengalir
sebelum dimasak/direbus. Masak atau merebus makanan sampai benar
- benar matang.
Aspek Preventif
a. Menjelaskan mengenai faktor risiko seperti makanan dan minuman yang
kurang sehat dan bersih, perilaku diri yang kurang menjaga kebersihan,
binatang yang dapat bebas lewat tanpa kita ketahui terutama bila
mencemari udara, air dan makanan.
b. Memberikan anjuran gaya hidup sehat.
c. Meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat.
Aspek Promotif
a. Memberi informasi mengenai penyebab, faktor risiko, pencegahan,
hygiene secara komprehensif
b. Menyalurkan informasi mengenai penyakit, pencegahan, dan perilaku
hidup bersih dan sehat ke anggota keluarga lain dan tetangga.
Aspek Rehabilitatif
a. Kontrol dan monitor tanda vital (kesadaran, nadi, suhu, respirasi, tekanan
darah).
b. Monitoring tanda komplikasi tifoid: penurunan kesadaran, hemodinamik
terganggu (nadi teraba halus dan cepat), akral dingin, gejala akut
abdomen, hepatomegaly, perdarahan saluran cerna.
c. Monitoring terhadap keluhan pasien, keadaan umum, tanda vital,
mobilisasi pasca perawatan di puskesmas.
2. Family Care
a. Motivasi keluarga untuk menjaga kebersihan pribadi dan lingkungan
sekitar rumah, cuci tangan sebelum dan sesudah makan serta setelah dari
kamar mandi.
b. Penerapan gaya hidup sehat, memasak sendiri bahan pangan.
c. Edukasi keluarga mengenai hidup bersih dan sehat bagi diri sendiri,
makanan dan lingkungan.
d. Meningkatkan support kepada pasien supaya pasien semangat untuk
sembuh.
e. Edukasi keluarga mengenai memperbaiki kondisi lingkungan yang dapat
menjadi sumber penyebaran demam tifoid, seperti jarak sumber air dan
septic tank minimal 10 m.
3. Community Care
Melakukan konseling atau edukasi pada masyarakat di tempat tinggal pasien
tentang aspek pencegahan demam tifoid melalui:
a. Perbaikan sanitasi lingkungan, baik didalam keluarga dan tetangga,
menjaga kebersihan diri dan hewan peliharaan yang berada di depan
rumah
b. Peningkatan higiene makanan dan minuman, dengan promosi kesehatan
c. Peningkatan higiene perorangan, mencuci tangan dengan sabun sebelum
dan setelah makan, serta setelah dari kamar mandi.

H. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
A. FLOW SHEET
Tabel 2.1 Flow Sheet Ny. R
No Hari, Problem Tanda Pemeriksaan Fisik Planning
. Tanggal Vital
1. Selasa Badan lemas, N: 80 Mata:CA -/- SI -/- IVFD RL 20
11 Desember pusing, batuk, x/menit Mulut: lidah kotor (- tpm makro
2018 demam, nafsu RR:18x/ ) PO Tiamfenikol
makan kurang menit P/ SD ves+/+, Rbk- tab 3x500 mg
S:37.7 0 /-, Rbh-/-, Wh-/- PO Paracetamol
C C/ bunyi jantung tab 3x500 mg
TD: normal, reg, M-, G- k/p demam
100/70 A/ datar, BU(+)N, PO Omeprazol
mmHg timpani, NT (+) tab 2x20 mg
epigastrium PO Guaifenesin
Eks: Uji Rumple tab 3x100 mg
leed (-), akral hangat
++/++ Tirah baring
Diet lunak, gizi
LAB seimbang
Hb 12.7 gr/Dl (N) Banyak minum
Leukosit 11.520 (H) air putih.
Trombo 188.000 (N)
Tes widal :
Salmonela typhi O :
1/320
Salmonela typhi H :
1/320
RDT Leptospirosis
negatif
2. Rabu Badan lemas, TD : Mata:CA -/- SI -/- IVFD RL 20
12 Desember pusing 110/70 Mulut: lidah kotor (- tpm makro
2018 berkurang, mmHg ) PO Tiamfenikol
demam N: 91 P/ SD ves+/+, Rbk- tab 3x500 mg
membaik, nafsu x/menit /-, Rbh-/-, Wh-/- PO Paracetamol
makan masih RR:20x/ C/ bunyi jantung tab 3x500 mg
sulit namun menit normal, reg, M-, G- k/p demam
dipaksa, lidah S:36.9 0 A/ datar, BU(+)N, PO Omeprazol
masih terasa C timpani, NT (-) tab 2x20 mg
pahit, batuk Eks: akral hangat PO Guaifenesin
++/++ tab 3x100 mg

Tirah baring
Diet lunak, gizi
seimbang
Banyak minum
air putih.
3. Kamis Badan lemas TD : Mata:CA -/- SI -/- IVFD RL 20
13 Desember membaik, 110/70 Mulut: lidah kotor tpm makro
2018 pusing mmHg (-). PO Tiamfenikol
membaik akan N: 77 P/ SD ves+/+, tab 3x500 mg
kambuh x/menit Rbk-/-, Rbh-/-, PO Paracetamol
tab 3x500 mg
terutama sore RR:20x/ Wh-/- k/p demam
hari, batuk, menit C/ bunyi jantung PO Omeprazol
sudah tidak S:36.30 normal, reg, M-, tab 2x20 mg
demam, nafsu C G- PO Guaifenesin
makan masih A/ datar, BU(+)N, tab 3x100 mg
sulit namun timpani, NT (-)
dipaksa, lidah Eks: akral hangat Tirah baring
masih terasa ++/++ Diet lunak, gizi
pahit seimbang
Hasil Lab Banyak minum
(18/10/2018) air putih.

Trombosit 80.000
(L)
4. Jumat Pusing TD : Mata:CA -/- SI -/- IVFD RL 20
14 Desember membaik, sudah 110/70 Mulut: lidah kotor tpm makro
2018 tidak demam, mmHg (-). PO Tiamfenikol
batuk, nafsu N: 80 P/ SD ves+/+, tab 3x500 mg
makan x/menit Rbk-/-, Rbh-/-, PO Paracetamol
tab 3x500 mg
membaik RR:20x/ Wh-/- k/p demam
menit C/ bunyi jantung PO Omeprazol
S:36.10 normal, reg, M-, tab 2x20 mg
C G- PO Guaifenesin
A/ datar, BU(+)N, tab 3x100 mg
timpani, NT (-)
Eks: akral hangat Tirah baring
++/++ Diet lunak, gizi
seimbang
Banyak minum
air putih.

Boleh pulang
sore hari
III. IDENTIFIKASI FUNGSI-FUNGSI KELUARGA

A. FUNGSI HOLISTIK
1. Fungsi Biologis
Bentuk keluarga Sdr. HAS adalah nuclear family. Ny. R adalah
Extended family, tinggal dalam satu rumah dengan kedua Suami Tn. K (58
tahun), Anak Tn. SH (28 tahun) dan Ny. D (27 tahun), Menanatu Ny. A (26
tahun) dan Tn. G (28 tahun), Cucu An. B (6 tahun) dan An. F (5 tahun).
Pasien merupakan anak ke lima dari lima bersaudara. Saudara-saudara
pasien sudah memiliki keluarga dan tidak tinggal serumah. Anggota keluarga
yang tinggal bersama sekarang tidak ada yang mengalami gejala seperti
pasien.
2. Fungsi Psikologis
Hubungan antara pasien dengan keluarganya cukup harmonis. Antar
anggota keluarga sering bercerita dan nyaman dalam berkomunikasi. Saat
pasien sakit, anak dan menantu saling bergantian untuk menjaga Ny. R yang
berada di puskesmas, dan Tidak ada rasa ketidaknyamanan dan ketakutan bila
bertemu anggota keluarga.
3. Fungsi Sosial
Pasien memiliki banyak teman baik dari tetangga maupun teman di
tempat kerja. Pasien termasuk suka berkumpul melakukan kegiatan bersama
teman-temannya. Hubungan antar tetangga baik dan harmonis, rumah sering
ramai dengan kedatangan tetangga. Banyak teman pasien yang juga ikut
menjenguk saat pasien sakit dan dirawat di Puskesmas Pekuncen.
4. Fungsi Ekonomi
Pasien berasal dari keluarga ekonomi kelas menengah ke bawah.
Pasien bekerja sebagai pedagang dengan penghasilan perbulan bersama suami
Rp 750.000-1.000.000. Anak dan menantu pasien bekerja sebagai pedagang
dengan penghasilan tidak tetap. Suami pasien sehari-hari bekerja sebagai
pedagang bekerja sama dengan pasien. Pembiayaan kesehatan pasien
menggunakan jaminan kesehatan Kartu Indonesia Sehat.
B. FUNGSI FISIOLOGIS (A.P.G.A.R SCORE)
Untuk menilai fungsi fisiologis keluarga ini digunakan A.P.G.A.R
SCORE dengan nilai hampir selalu = 2, kadang = 1, hampir tidak pernah = 0.
A.P.G.A.R SCORE dilakukan pada masing-masing anggota keluarga, kemudian
dirata-rata untuk menentukan fungsi fisiologis keluarga secara keseluruhan. Nilai
rata-rata 1-5 = jelek, 5-7 = sedang, 8-10 = baik.
Adaptation
Kemampuan anggota keluarga untuk beradaptasi dengan anggota keluarga
lain serta penerimaan dukungan dan saran dari anggota keluarga lainnya.
Partnership
Menggambarkan komunikasi, saling membagi, saling mengisi antar anggota
keluarga dalam segala masalah yang dialami keluarga tersebut.
Growth
Menggambarkan dukungan keluarga terhadap hal baru yang dilakukan anggota
keluarga tersebut.
Affection
Menggambarkan hubungan kasih sayang dan interaksi antar anggota keluarga.
Resolve
Menggambarkan kepuasan anggota keluarga tentang kebersamaan dan waktu
yang dihabiskan bersama anggota keluarga lain.
Tabel 3.1 Nilai APGAR dari Ny. R terhadap keluarga
Hampir
Hampir Kadang-
A.P.G.A.R Sdr. HAS Terhadap Keluarga tidak
selalu kadang
pernah
Saya puas bahwa saya dapat kembali ke
A keluarga saya bila saya menghadapi 
masalah
Saya puas dengan cara keluarga saya
P membahas dan membagi masalah dengan 
saya
Saya puas dengan cara keluarga saya
menerima dan mendukung keinginan saya
G 
untuk melakukan kegiatan baru atau arah
hidup yang baru
Saya puas dengan cara keluarga saya
mengekspresikan kasih sayangnya dan
A 
merespon emosi saya seperti kemarahan,
perhatian dll
Saya puas dengan cara keluarga saya dan
R 
saya membagi waktu bersama-sama

Total poin = 9, fungsi fisiologis Ny. R terhadap keluarga sehat


Tabel 3.2 Nilai APGAR dari Tn. S terhadap keluarga
Hampir
T Hampir Kadang
A.P.G.A.R Tn. K Terhadap Keluarga tidak
selalu -kadang
pernah
Saya puas bahwa saya dapat kembali ke
A keluarga saya bila saya menghadapi 
masalah
Saya puas dengan cara keluarga saya
P membahas dan membagi masalah 
dengan saya
Saya puas dengan cara keluarga saya
menerima dan mendukung keinginan
G 
saya untuk melakukan kegiatan baru
atau arah hidup yang baru
Saya puas dengan cara keluarga saya
mengekspresikan kasih sayangnya dan
A 
merespon emosi saya seperti
kemarahan, perhatian dll
T Saya puas dengan cara keluarga saya
R 
dan saya membagi waktu bersama-sama
T
Total poin = 10, fungsi fisiologis Tn. S terhadap keluarga sehat
Tabel 3.2 Nilai APGAR dari Tn. SH terhadap keluarga
Hampir
Hampir Kadang-
A.P.G.A.R Ny. S Terhadap Keluarga tidak
selalu kadang
pernah
Saya puas bahwa saya dapat kembali ke
A keluarga saya bila saya menghadapi 
masalah
Saya puas dengan cara keluarga saya
P membahas dan membagi masalah dengan 
saya
Saya puas dengan cara keluarga saya
menerima dan mendukung keinginan saya
G 
untuk melakukan kegiatan baru atau arah
hidup yang baru
Saya puas dengan cara keluarga saya
mengekspresikan kasih sayangnya dan
A 
merespon emosi saya seperti kemarahan,
perhatian dll
Saya puas dengan cara keluarga saya dan
R 
saya membagi waktu bersama-sama

Total poin = 8, fungsi fisiologis Tn. SH terhadap keluarga cukup sehat

Tabel 3.2 Nilai APGAR dari Ny. A terhadap keluarga


Hampir
Hampir Kadang-
T A.P.G.A.R Ny. S Terhadap Keluarga tidak
selalu kadang
pernah
Saya puas bahwa saya dapat kembali ke
A keluarga saya bila saya menghadapi 
masalah
Saya puas dengan cara keluarga saya
P membahas dan membagi masalah dengan 
saya
Saya puas dengan cara keluarga saya
menerima dan mendukung keinginan saya
G 
untuk melakukan kegiatan baru atau arah
hidup yang baru
Saya puas dengan cara keluarga saya
mengekspresikan kasih sayangnya dan
A 
merespon emosi saya seperti kemarahan,
perhatian dll
Saya puas dengan cara keluarga saya dan
R 
saya membagi waktu bersama-sama
T
Total poin = 8, fungsi fisiologis Ny. A terhadap keluarga cukup sehat
Tabel 3.1 Nilai APGAR dari Ny. D terhadap keluarga
Hampir
Hampir Kadang-
A.P.G.A.R Sdr. HAS Terhadap Keluarga tidak
selalu kadang
pernah
Saya puas bahwa saya dapat kembali ke
A keluarga saya bila saya menghadapi 
masalah
Saya puas dengan cara keluarga saya
P membahas dan membagi masalah dengan 
saya
Saya puas dengan cara keluarga saya
menerima dan mendukung keinginan saya
G 
untuk melakukan kegiatan baru atau arah
hidup yang baru
Saya puas dengan cara keluarga saya
mengekspresikan kasih sayangnya dan
A 
merespon emosi saya seperti kemarahan,
perhatian dll
Saya puas dengan cara keluarga saya dan
R 
saya membagi waktu bersama-sama

Total poin = 9, fungsi fisiologis Ny. D terhadap keluarga sehat


Tabel 3.1 Nilai APGAR dari Tn. G terhadap keluarga
Hampir
Hampir Kadang-
A.P.G.A.R Sdr. HAS Terhadap Keluarga tidak
selalu kadang
pernah
Saya puas bahwa saya dapat kembali ke
A keluarga saya bila saya menghadapi 
masalah
Saya puas dengan cara keluarga saya
P membahas dan membagi masalah dengan 
saya
Saya puas dengan cara keluarga saya
menerima dan mendukung keinginan saya
G 
untuk melakukan kegiatan baru atau arah
hidup yang baru
Saya puas dengan cara keluarga saya
mengekspresikan kasih sayangnya dan
A 
merespon emosi saya seperti kemarahan,
perhatian dll
Saya puas dengan cara keluarga saya dan
R 
saya membagi waktu bersama-sama

Total poin = 8, fungsi fisiologis Tn. G terhadap keluarga sehat.


A.P.G.A.R SCORE keluarga pasien = (9+10+8+8+9+8)/6 = 8
Kesimpulan : fungsi fisiologis keluarga pasien sehat
Secara keseluruhan total poin dari A.P.G.A.R keluarga pasien adalah 56
sehingga rata-rata A.P.G.A.R dari keluarga pasien adalah 8. Hal ini menunjukkan
bahwa fungsi fisiologis yang dimiliki keluarga pasien dalam keadaan sehat.

C. FUNGSI PATOLOGIS (S.C.R.E.E.M)


Fungsi patologis dari keluarga Ny. R dinilai dengan menggunakan
S.C.R.E.E.M sebagai berikut:
Tabel 3.3 Nilai SCREEM dari keluarga pasien
Sumber Patologi Ket
Social Interaksi sosial keluarga dengan anggota keluarga dan -
tetangga di sekitar rumah cukup baik.
Cultural Bahasa mudah dipahami, menggunakan Jawa, percaya -
pengobatan alternatif, pengobatan herbal, mengobati
dengan pengetahuan sendiri
Religion Pemahaman agama cukup baik. Penerapan ajaran juga baik, -
hal ini dapat dilihat dari pasien dan keluarga rutin
menjalankan sholat dan mengikuti kegiatan keagamaan
seperti pengajian
Economic Ekonomi keluarga ini tergolong kelas menengah kebawah, +
yang bekerja di dalam keluarga semua anggota dalam
keluarga pasien. Untuk kebutuhan primer sudah bisa
terpenuhi, dan mampu mencukupi kebutuhan sekunder,
diperlukan skala prioritas untuk pemenuhan kebutuhan hidup.
Education Pendidikan anggota keluarga kurang baik. Latar belakang +
pendidikan pasien dan suami adalah SD, anak-anak dan
menantu pasien SMA. Pengetahuan keluarga pasien tentang
penyakit yang diderita masih kurang.
Medical Dalam mencari pelayanan kesehatan, keluarga menggunakan -
pelayanan puskesmas dan menggunakan Kartu Indonesia
Sehat (KIS). Akses layanan kesehatan yang dapat
dijangkau yaitu puskesmas.
Keterangan :
1. Economic (+) oleh karena pasien dan keluarga tergolong menengah ke
bawah.
2. Education (+) oleh karena pengetahuan pasien tentang kesehatan
terutama yang berkaitan dengan penyakitnya masih kurang.
Kesimpulan :
Keluarga Ny. R fungsi patologis yang ditemukan antara lain fungsi ekonomi dan
fungsi pendidikan.
D. FAMILY GENOGRAM

Ny. R, 56 th Tn. S, 58 th

Ny. A, 26 th Tn. SH, 28 th Ny. D, 27 th Tn. G, 286 th

An. F, 5 th An. B, 6 th

Gambar 3.1 Genogram Keluarga Ny. R


Keterangan :
: Perempuan
: Laki-laki

: Pasien

: Tinggal satu rumah

: Meninggal Dunia
IV. IDENTIFIKASI FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
KESEHATAN

A. IDENTIFIKASI FAKTOR PERILAKU DAN NON PERILAKU


KELUARGA
1. Faktor Perilaku
Pasien sering pergi jajan diluar rumah dengan kondisi makanan yang
terbuka bebas, tidak tertutup, tidak diketahui higienitas dari makanan dan
penjual. Pasien juga jarang mencuci tangan menggunakan sabun saat keluar
kamar mandi atau setelah buang air. Saat anggota keluarga sakit, hal yang
dilakukan adalah memeriksakan ke dokter untuk mendapatkan kesehatan.
2. Faktor Non Perilaku
Faktor pengetahuan dan pemahaman pasien serta keluarga mengenai
kesehatan, termasuk faktor risiko, agen penyebab, gejala klinis dan
pengobatan demam tifoid masih kurang. Dari faktor ekonomi, pasien
memiliki pendapatan perbulan sebesar Rp 750.000-1.000.000, pasien
memiliki pendapatan menengah kebawah. Pasien memiliki jaminan kesehatan
Kartu Indonesia Sehat untuk akses kesehatan sehingga bila terjadi masalahan
kesehatan, dapat memakai program tersebut.
Faktor lingkungan rumah pasien yang kurang bersih, pencahayaan
yang kurang pada masing-masing ruangan. Dinding rumah terbuat dari
tembok dan kayu, lantai rumah pasien keramik pada ruang tamu dan ruangan
lainnya menggunakan lantai semen termasuk kamar mandi. Atap pada ruang
tengah, ruang tamu dan kamar telah menggunakan pelapon. Dalam rumah
terdapat 3 kamar tidur, 1 ruang keluarga, 1 ruang tamu, 1 kamar mandi dan 1
dapur didalam rumah, dan 1 dapur untuk memasak ayam dagangan berada di
samping rumah. Kamar mandi memiliki jamban namun tidak memiliki septic
tank, untuk pembuangan berada pada kali yang berjarak 30 meter dari rumah
pasien. dapur dengan kompor gas. Sumber air untuk mandi dan mencuci
berasal dari air pegunungan, untuk memasak dan mandi berasal dari sumur,
air minum juga berasal dari galon. Jarak dari sumber air sekitar 2 meter.
Tingkat kelembaban rumah cukup lembab. Tempat sampah keluarga
diletakkan disamping rumah dan dibuang ke kali samping rumah. Pasien juga
mengaku banyak tikus dirumah pasien Didepan rumah terdapat banyak
terdapat pepohonan yang rindang.
Demam tifoid merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan
ditularkan melalui makanan dan minuman sehingga penyakit ini erat
hubungannya dengan perilaku hidup bersih dan sehat. Seseorang berkebiasaan
sehat atau tidak sehat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan
pengetahuannya. Kurangnya kesadaran seseorang untuk berperilaku bersih
dan sehat akan meningkatkan risiko orang tersebut untuk terpapar bakteri
Salmonella typhi.
Demam tifoid juga lebih banyak mengenai penduduk dengan tingkat
sosial ekonomi rendah. Hal tersebut berdasarkan asumsi bahwa penghasilan
seseorang dapat digunakan untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan
perbaikan lingkungan sehingga dapat mencegah terkena suatu penyakit. Selain
itu, kebiasaan penduduk dengan membeli makanan siap santap dengan mutu
yang rendah dan tidak terjamin kebersihannya.
Lingkungan:

- Pencahayaan rumah
Perilaku:
kurang
- tidak memiliki septic
- Sering jajan diluar rumah tank, pembuangan ke
dengan makanan keadaan kali
terbuka, tidak diketahui - Atap dapur belum
kebersihannya. menggunakan pelapon
- Perilaku kebersihan diri - Jarak rumah ke kali ± 30
kurang, jarang mencuci tangan meter
dengan sabun sebelum makan - Banyak tikus dirumah
dan setelah dari kamar mandi. - Dapur untuk
pengelolaan dagangan
ayam berada disamping
rumah
Ny. R - Penguhuni rumah yang
padat
Demam Tifoid
Pendidikan dan
pengetahuan:
Ekonomi:
Pasien merupakan tamatan
Termasuk keluarga kelas SD yang tingkat
menengah ke bawah. pengetahuan tentang
penyakit kurang
Gambar 4.1. Faktor Perilaku dan Non Perilaku Keluarga

Keterangan:
= Faktor Perilaku
= Faktor Non-Perilaku

B. IDENTIFIKASI LINGKUNGAN RUMAH


1. Gambaran Lingkungan
Pasien tinggal di Desa Kranggan RT/RW 2/3, Pekuncen, Kabupaten
Banyumas. Pasien tinggal disebuah rumah ukuran 12x15 meter dengan jumlah
penghuni 8 orang, pencahayaan yang kurang pada masing-masing ruangan.
Dinding rumah terbuat dari tembok dan kayu, lantai rumah pasien keramik
pada ruang tamu dan ruangan lainnya menggunakan lantai semen termasuk
kamar mandi. Atap pada ruang tengah, ruang tamu dan kamar telah
menggunakan pelapon. Dalam rumah terdapat 4 kamar tidur, 1 ruang
keluarga, 1 ruang tamu, 1 kamar mandi dan 1 dapur didalam rumah, dan 1
dapur untuk memasak ayam dagangan berada di samping rumah. Kamar
mandi memiliki jamban namun tidak memiliki septic tank, untuk pembuangan
berada pada kali yang berjarak 30 meter dari rumah pasien. dapur dengan
kompor gas. Sumber air untuk mandi dan mencuci berasal dari air
pegunungan, untuk memasak dan mandi berasal dari sumur, air minum juga
berasal dari galon. Jarak dari sumber air (sumur) ke kali sekitar 2 meter.
Tingkat kelembaban rumah cukup lembab. Tempat sampah keluarga
diletakkan disamping rumah dan dibuang ke kali samping rumah. Pasien juga
mengaku banyak tikus dirumah pasien. Didepan rumah terdapat banyak
terdapat pepohonan yang rindang. Tempat tinggal Ny. R merupakan
lingkungan pemukiman yang tidak padat, jarak rumah rumah pasien dengan
tetangganya tidak berdekatan, rumah pasien bersebelahan dengan kali.

Kesan: jarak kali dari rumah dan sumber air terlalu dekat sekitar 2 m.
2. Denah Rumah

Dapur untuk mengolah Kamar Tidur


dagangan ayam Kamar Mandi Dapur

Ruang makan Kamar Tidur

Kamar Tidur

Ruang Tengah

Ruang Tamu Kamar Tidur

Gambar 4.2 Denah Rumah Ny. R


V. DAFTAR MASALAH DAN PEMBINAAN KELUARGA

A. MASALAH MEDIS :
Pasien, Perempuan, usia 56 tahun dengan demam tifoid.

B. MASALAH NONMEDIS :
1. Pengetahuan orang tua dan pasien yang kurang terhadap penyakit tifoid.
2. Perilaku jajan diluar rumah yang tidak diketahui kebersihan makanan dan
higienitas.
3. Perilaku jarang mencuci tangan menggunakan sabun.
4. Lingkungan rumah pasien masih kurang sehat, yaitu penchayaan pada rumah
kurang, tidak ada septic tank, sumber air sumur terlalu dekat (2 m), atap dapur
yang belum di pelapon, banyak tikus dirumah pasien dan rumah samping kali.
5. Kondisi keluarga yang termasuk ekonomi menengah ke bawah.

C. DIAGRAM PERMASALAHAN PASIEN

Kebiasaan tidak mencuci


Pengetahuan tentang
tangan dengan sabun
penyakit yang rendah
sebelum dan setelah
makan, setelah buang air.

Kelas ekonomi Ny. R


menengah kebawah
Demam Tifoid

Kebiasaan membeli makanan Lingkungan rumah pasien


di luar rumah yang tidak yang masih kurang sehat
diketahui kebersihannya

Gambar 5.1 Diagram Permasalahan Pasien


D. MATRIKULASI MASALAH
Prioritas masalah ini ditentukan melalui teknik kriteria matriks:
Tabel 5.1 Matrikulasi Masalah
I T R Jumlah
No. Daftar Masalah
P S SB Mn Mo Ma IxTxR
1. Pengetahuan tentang
5 5 5 5 4 5 5 115
penyakit yang rendah
2. Perilaku jarang cuci
tangan menggunakan 5 4 4 5 4 5 5 98.9
sabun
3. Perilaku sering membeli
makanan luar yang tidak 5 4 5 5 4 5 5 105.8
diketahui kebersihannya
4. Lingkungan rumah yang
4 5 5 5 4 4 3 82.8
kurang sehat
5. Kondisi ekonomi keluarga
adalah kelas menengah
4 5 5 1 1 1 1 4,60
kebawah

Keterangan:
I : Importancy (pentingnya masalah)
P : Prevalence (besarnya masalah)
S : Severity (akibat yang ditimbulkan oleh masalah)
SB : Social Benefit (keuntungan sosial karena selesainya masalah)
T : Technology (teknologi yang tersedia)
R : Resources (sumber daya yang tersedia)
Mn : Man (tenaga yang tersedia)
Mo : Money (sarana yang tersedia)
Ma : Material (ketersediaan sarana)

Kriteria penilaian:
1 : tidak penting
2 : agak penting
3 : cukup penting
4 : penting
5 : sangat penting

E. PRIORITAS MASALAH
Berdasarkan kriteria matriks diatas, maka urutan prioritas masalah keluarga Ny. R
adalah sebagai berikut :
1. Pengetahuan tentang penyakit yang kurang
2. Perilaku sering membeli makanan luar yang tidak diketahui kebersihannya
3. Perilaku higienitas diri kurang seperti cuci tangan sebelum makan dan setelah
dari kamar mandi
4. Lingkungan yang kurang sehat
5. Ekonomi kelas menengah kebawah
Prioritas masalah yang diambil adalah pengetahuan tentang penyakit yang kurang.

F. PENENTUAN ALTERNATIF TERPILIH


Penentuan alternatif terpilih berdasarkan Metode Rinke yang
menggunakan dua kriteria yaitu efektifitas dan efiseiensi jalan keluar. Kriteria
efektifitas terdiri dari pertimbangan mengenai besarnya masalah yang dapat
diatasi, kelanggengan selesainya masalah, dan kecepatan penyelesaian masalah.
Efisiensi dikaitkan dengan jumlah biaya yang diperlukan untuk menyelesaikan
masalah. Skoring efisiensi jalan keluar adalah dari sangat murah (1), hingga
sangat mahal (5).
Tabel 5.2 Kriteria dan Skoring Efektivitas dan Efisiensi Jalan Keluar
C
M
I V (jumlah biaya
(besarnya
(kelanggengan (kecepatan yang diperlukan
Skor masalah
selesainya penyelesaian untuk
yang dapat
masalah) masalah) menyelesaikan
diatasi)
masalah)
1 Sangat kecil Sangat tidak Sangat lambat Sangat murah
langgeng
2 Kecil Tidak langgeng Lambat Murah
3 Cukup besar Cukup langgeng Cukup cepat Cukup murah
4 Besar Langgeng Cepat Mahal
5 Sangat besar Sangat langgeng Sangat cepat Sangat mahal
Prioritas alternatif terpilih dengan menggunakan metode Rinke adalah sebagai
berikut:

Tabel 5.3 Alternatif Terpilih


Urutan
Efektivitas Efisiensi MxIxV
No. Daftar Alternatif Jalan Keluar Prioritas
M I V C C
Masalah
1. Penyuluhan edukasi tentang 4 3 3 1 36 1
penyakit demam tifoid dari
penyebab, faktor risiko, tanda
dan gejala, terapi dan
pencegahannya
2. Edukasi tentang hidup bersih dan 4 3 3 2 18 2
sehat dalam lingkungan keluarga
dan lingkungan sekitar rumah
Berdasarkan hasil perhitungan penentuan alternatif terpilih menggunakan
metode Rinke, didapatkan alternatif terpilih yaitu penyuluhan tentang penyakit
demam tifoid dari penyebab, faktor risiko, tanda dan gejala, terapi serta
pencegahannya dengan skor 36.
VI. RENCANA PEMBINAAN KELUARGA

A. RENCANA PEMBINAAN KELUARGA


1. Tujuan
Tujuan Umum
Meningkatkan pengetahuan mengenai penyakit demam tifoid terutama
mengenai sumber penularan, tanda dan gejala, serta penanganan dini.
Tujuan Khusus
Mengubah perilaku pasien dan keluarga dalam menjaga kebersihan dan
kesehatan anggota keluarga.
2. Cara Pembinaan
Pembinaan dilakukan di rumah pasien dalam waktu yang sudah ditentukan
bersama dengan memberikan penyuluhan dan edukasi pada pasien dan
keluarga. Penyuluhan dan edukasi dilakukan dalam suasana santai sehingga
materi yang disampaikan dapat diterima.
3. Materi Pembinaan
Materi utama pada penyuluhan dan edukasi kepada pasien dan keluarga yaitu
mengenai pengertian, penyebab, faktor risiko, cara penularan, tanda dan
gejala, serta penanganan dan pencegahan demam tifoid. Materi selanjutnya
berupa penyuluhan tentang perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) sebagai
salah satu upaya pencegahan terhadap penyakit demam tifoid.
4. Sasaran Pembinaan
Sasaran dari pembinaan yang dilakukan adalah pasien beserta anggota
keluarga pasien yang tinggal di rumah tersebut sebanyak 8 orang.
5. Evaluasi Pembinaan
Evaluasi yang dilakukan adalah dengan memberikan beberapa pertanyaan
mengenai materi yang telah disampaikan sebelumnya kepada pasien dan
keluarga. Jika pasien atau keluarganya dapat menjawab pertanyaan, maka
mereka dianggap sudah memahami materi yang telah disampaikan
sebelumnya dan dapat saling mengingatkan antar anggota keluarga.
B. HASIL PEMBINAAN KELUARGA
Tabel 6.1. Hasil Pembinaan Keluarga
Anggota
Hari,
No. Kegiatan yang dilakukan keluarga yang Hasil kegiatan
Tanggal
terlibat
1. Selasa, 11 a. Membina hubungan Keluarga dan Pasien bersedia untuk
Desember saling percaya dengan pasien dikunjungi lebih lanjut
2018 pasien, diantaranya untuk dipantau
perkenalan dan bercerita
perkembangannya.
mengenai kehidupan
sehari-hari
b. Melakukan tanya jawab
terhadap kondisi pasien
dan keluarga
c. Memeriksa kondisi
pasien
d. Mendiskusikan dengan
pasien untuk kedatangan
ke rumahnya.
2. Rabu, 12 a. Memeriksa kondisi keluarga Keluarga Pasien bersedia
Desember rumah dan lingkungan untuk ditanya-tanya lebih
2018 tempat tinggal pasien lanjut.
b. Menggali pengetahuan
dan pemahaman pasien
dan keluarga tentang
penyakitnya
3. Sabtu, 15 a. Memberikan penjelasan Pasien dan a. Pasien sudah tidak
Desember mengenai pengertian, keluarga demam, gejala
2018 penyebab, faktor risiko, simptomatis sudah
tanda dan gejala, cara berkurang.
penularan serta b. Pasien dan keluarga
penatalaksanaan demam memahami tentang
tifoid penyakit demam tifoid
b. Memotivasi pasien dan c. Pasien dan keluarga
keluarga untuk sepakat untuk
memperbaiki higienitas menerapkan PHBS
perorangan dengan
menerapkan PHBS

Sabtu, 15 Des 2018


C. HASIL EVALUASI
1. Evaluasi Formatif
Pelaksanaan kegiatan dilakukan pada 8 orang yaitu, pasien, duan anak
pasien, 2 menantu pasien dan 2 cucu pasienMetode yang digunakan berupa
konseling dan edukasi tentang penyakit demam tifoid mulai dari pengertian,
penyebab, faktor risiko, cara penularan, tanda dan gejala, penanganan dan
edukasi PHBS sebagai salah satu upaya pencegahan terhadap penyakit demam
tifoid.
2. Evaluasi Promotif
Sasaran konseling sebanyak 8 orang yaitu, pasien, duan anak pasien, 2
menantu pasien dan 2 cucu pasien. Waktu pelaksanaan kegiatan pada Selasa,
15 Desember 2018 di rumah pasien. Konseling berjalan dengan lancar dan
pasien serta keluarga merasa puas karena merasa lebih diperhatikan dengan
adanya kunjungan ke rumahnya untuk memberikan edukasi tentang penyakit
yang sedang diderita Ny. R.
3. Evaluasi Sumatif
Sebelum dilakukan konseling pasien dan keluarga belum memahami penyakit
yang diderita oleh Ny. R , dengan tingkat pemahaman Tn. S 20% (buruk),
pemahaman Ny. R 30 % (buruk), pemahaman Tn. SH 30% (buruk), Ny. A
40% (buruk), Tn. G 20% (buruk) Ny. D 30% (buruk) sehingga dengan adanya
edukasi pasien dan keluarga lebih mengetahui dan sadar karena menjadi lebih
paham tentang penyakitnya. Setelah edukasi selesai, dilakukan tanya jawab
ulang serta praktik penerapannya kepada keluarga. Hasil evaluasi dari
pemahaman Tn. S 80% (baik), pemahaman Ny. R 80 % (baik), pemahaman
Tn. SH 80% (baik), Ny. A 90% (baik), Tn. G 80% (baik) Ny. D 80% (baik).
VII. TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Demam tifoid merupakan penyakit sistemik yang disebabkan oleh infeksi
dan diseminasi bakteri Salmonella typhii dan/atau Salmonella paratyphii dengan
karakteristik berupa demam dan nyeri abdomen. Infeksi ini melibatkan
pembesaran plak peyer dan limfenodi mesenterikus (Pegues dan Miller, 2011).

B. ETIOLOGI
Bakteri penyebab demam tifoid adalah Salmonella typhii dan/atau S.
paratyphii A, S. paratyphii B dan S. paratyphii C. Serotipe S. typhii dan S.
paratyphii hanya mampu hidup di manusia dan dapat menyebabkan demam
tifoid. Bakteri tersebut merupakan bagian dari genus Salmonella, yaitu bakteri
berbentuk basil berukuran 2-3 x 0,4-0,6 mikrometer, gram negatif, anaerob
fakultatif, motil, serta tidak memiliki kemampuan membentuk spora. Secara
biokimiawi, Salmonella mampu memproduksi asam pada fermentasi glukosa dan
mereduksi nitrat, namun tidak memproduksi sitokrom oksidase (Haraga et al.,
2008; Pegues dan Miller, 2011).
Salmonella typhii dan paratyphii sejatinya merupakan bagian dari spesies
Salmonella enterica subspesies enterica serotipe typhimurium. Serotipe/serovar
dari bakteri ini dibagi berdasarkan antigen somatis O (antigen lipopolisakarida
pada dinding sel), antigen permukaan Vi (hanya ditemukan pada S. typhii dan S.
paratyphii C), serta antigen flagella H. Dalam serum penderita demam tifoid akan
terbentuk antibodi terhadap ketiga macam antigen tersebut (Haraga et al., 2008;
Pegues dan Miller, 2011). Kuman ini tumbuh dalam suasana aerob dan fakultatif
anaerob. Kuman ini mati pada suhu 56ºC dan pada keadaan kering. Di dalam air
dapat bertahan hidup selama 4 minggu dan hidup subur pada medium yang
mengandung garam empedu. (Widoyono, 2008).
C. FAKTOR RISIKO
1. Karakteristik Individu
a. Usia
Prevalensi demam tifoid terbanyak pada kelompok umur 6-14
tahun dan 15-24 tahun. Determinan faktor usia ini dianggap dominan
terhadap kejadian demam tifoid. Apabila dicermati penyakit demam tifoid
ini banyak diderita anak usia sekolah, usia remaja dan dewasa muda
dimana kelompok ini mempunyai kebiasaan ruang lingkup gerak yang
tinggi, sehingga dimungkinkan kelompok ini mengenal jajanan diluar
rumah, sedang tempat jajan tersebut belum tentu terjamin kebersihannya
(Maria, 2007).
b. Jenis kelamin
Berdasarkan laporan riset kesehatan dasar (Riskesdas) Provinsi
Jawa Tengah tahun 2007, kejadian demam tifoid lebih banyak ditemukan
pada laki-laki daripada perempuan (Depkes RI, 2006). Penelitian yang
dilakukan Okky Purnia Pramitasari (2013) menyatakan bahwa jenis
kelamin berhubungan dengan kejadian demam tifoid. Laki-laki lebih
beresiko menderita demam tifoid karena laki-laki lebih banyak
mengkonsumsi makanan siap saji atau makanan warung yang biasanya
banyak mengandung penyedap rasa dan kehigienisan yang belum
terjamin, dibandingkan wanita yang lebih suka memasak makanan sendiri
sehingga lebih memperhatikan kebersihan makanannya. Kebiasaan ini
menyebabkan pria lebih rentan menderita penyakit yang ditularkan
melalui makanan seperti tifoid bila makanan yang dibeli kurang higienis.
c. Tingkat sosial ekonomi
Demam tifoid lebih banyak menyerang penduduk dengan tingkat
sosial ekonomi rendah. Penduduk dengan tingkat sosial ekonomi rendah
berisiko menderita demam tifoid 8,8 kali lebih besar dibandingkan
penduduk dengan tingkat sosial ekonomi tinggi. Hal ini menunjukkan
tingkat kesehatan sebagian besar ditentukan oleh status ekonomi.
Penghasilan seseorang dapat digunakan untuk memperoleh pelayanan
kesehatan dan perbaikan lingkungan sehingga membantu mencegah
penyakit. Selain itu, penduduk kota berpenghasilan rendah lebih
mengandalkan pada makanan jajanan siap santap dengan mutu yang
rendah dan tidak terjamin keamanannya sehingga lebih mudah terjangkit
penyakit menular seperti demam tifoid (Artanti, 2013).
d. Tingkat pendidikan dan Pengetahuan
Demam tifoid merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri
dan ditularkan melaui makanan dan minuman sehingga penyakit ini erat
hubungannya dengan perilaku hidup bersih dan sehat. Seseorang
berkebiasaan sehat atau tidak sehat dipengaruhi oleh tingkat pendidikan
dan pengetahuannya. Kurangnya kesadaran seseorang untuk berperilaku
bersih dan sehat akan meningkatkan risiko orang tersebut untuk terpapar
bakteri Salmonella typhii. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suprapto
tahun 2012 menunjukkan bawa penderita yang memiliki pengetahuan
yang kurang mengenai penularan demam tifoid berisiko 3.8 kali untuk
menderita demam tifoid dibandingkan responden yang memiliki
pengetahuan yang cukup mengenai penularan demam tifoid di RSUP Dr.
Kariadi Semarang (Suprapto, 2012).
2. Faktor Perilaku
a. Kebiasaan mencuci tangan
Salah satu media utama penularan kuman Salmonella typhii adalah
melalui tangan. Mencuci tangan sebelum makan dengan sabun diikuti
dengan pembilasan akan banyak menghilangkan mikroba yang terdapat
pada tangan. Kombinasi antara aktivitas sabun sebagai pembersih,
penggosokan dan aliran air akan menghanyutkan partikel kotoran yang
banyak mengandung mikroba. Kuman Salmonella pada tangan carrier
convalescent dapat hilang dengan mudah melalui cuci tangan pakai sabun
dan air (Kurniasih, 2011). Penelitian yang dilakukan Rakhman dkk tahun
2009 menunjukkan bahwa orang yang tidak mencuci tangan dengan sabun
sebelum makan berisiko 2,625 kali lebih besar menderita demam tifoid
dibandingkan dengan orang yang mempunyai kebiasaan mencuci tangan
dengan sabun sebelum makan (Rakhman et al., 2009).
Mencuci tangan dengan sabun juga penting dilakukan setelah
buang air besar. Virus, kuman, atau bakteri bisa menular jika BAB benar-
benar mengandung Salmonella typhii yang hidup dan dapat bertahan, serta
dalam jumlah yang cukup untuk menginfeksi dan kuman tersebut benar-
benar masuk ke dalam tubuh (Rakhman et al., 2009).
b. Kebiasaan jajan di warung/pinggir jalan
Pada masa sekarang ini banyak orang yang lebih suka membeli
makanan di luar rumah karena dianggap praktis. Orang yang memiliki
kebiasaan jajan di warung atau pinggir jalan berisiko menderita demam
tifoid 5,80 kali lebih besar dibandingkan orang yang tidak pernah jajan di
warung atau pinggir jalan (Santoso, 2007). Penularan demam tifoid dapat
terjadi ketika seseorang makan di tempat umum dan makanannya
disajikan oleh carrier tifoid yang kurang menjaga kebersihan saat
memasak, mengakibatkan penularkan bakteri Salmonella typhii pada
pelanggannya. Selain itu, makanan di tempat-tempat umum biasanya
terdapat lalat yang beterbangan dimana-mana bahkan hinggap di makanan.
Lalat-lalat tersebut dapat menularkan Salmonella typhii dengan cara lalat
yang sebelumnya hinggap di feses atau muntah penderita demam tifoid
kemudian hinggap di makanan yang akan dikonsumsi (Artanti, 2013).
c. Kebiasaan mencuci bahan makanan mentah
Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih
banyak daripada yang telah dimasak, namun sebaiknya dicuci terlebih
dahulu dengan air mengalir untuk menghindari makanan mentah yang
tercemar. Jika tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci, dapat
dipilih buah yang dapat dikupas. Di beberapa negara penularan demam
tifoid terjadi karena mengkonsumsi kerang-kerangan yang berasal dari air
yang tercemar, buah-buahan, sayuran mentah yang dipupuk dengan
kotoran manusia, susu dan produk susu yang terkontaminasi (Suprapto,
2012). Orang yang mempunyai kebiasaan tidak mencuci bahan makanan
mentah langsung konsumsi berisiko 5,200 kali lebih besar menderita
demam tifoid dibandingkan orang yang memiliki kebiasaan mencuci
bahan makan mentah langsung konsumsi (Risani et al., 2015).
3. Faktor Lingkungan
a. Sumber air bersih
Feses manusia yang terinfeksi S. Typhii dan dibuang secara tidak
layak tanpa memenuhi persyaratan sanitasi dapat menyebabkan terjadinya
pencemaran tanah dan sumber-sumber air. Hal ini menyebabkan bakteri S.
typhii sering ditemukan di sumur-sumur penduduk yang telah
terkontaminasi oleh feses manusia yang terinfeksi oleh kuman tifoid.
Penelitian yang dilakukan Rakhman dkk (2009) menunjukkan bahwa
orang yang menggunakan sumber air bersih bukan dari penyediaan
PDAM berisiko menderita demam tifoid sebesar 1,74 kali dibandingkan
dengan orang yang di rumahnya menggunakan penyediaan air bersih dari
PDAM (Rakhman et al., 2009).
Jarak antara sumber air bersih dengan septic tank juga
mempengaruhi kejadian demam tifoid. Syarat minimal sumber air bersih
dengan septic tank yaitu 10 meter. Sumur merupakan sumber air yang
sering digunakan di masyarakat secara luas. Jarak sumur dengan septic
tank yang sangat dekat dapat mempengaruhi kualitas air. Rembesan air
dari septic tank dapat mencemari air tanah di sekitarnya termasuk air
sumur yang digunakan untuk kebutuhan minum dan memasak sehari-hari
sehingga dapat menjadi sumber penularan demam tifoid. Hasil penelitian
yang dilakukan tahun menunjukkan bahwa responden yang menggunakan
sumber air bersih dari sumur yang berjarak kurang dari 10 meter dari
septic tank berisiko 2,613 kali lebih besar menderita demam tifoid
dibandingkan dengan sumur yang berjarak lebih dari 10 meter dari septic
tank (Kristina et al., 2015).
b. Kepemilikan jamban keluarga
Seseorang yang tidak mempunyai jamban berisiko menderita
demam tifoid 1,867 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang
mempunyai jamban. Setiap rumah tangga harus memiliki jamban sendiri
yang digunakan untuk buang air besar dan buang air kecil karena untuk
menjaga lingkungan yang bersih, sehat dan tidak berbau, tidak mencemari
sumber air yang ada disekitarnya, tidak mengundang datangnya lalat atau
serangga yang dapat menjadi penularan diare, kolera, disentri, tifoid,
kecacingan dan penyakit infeksi saluran pencernaan. Selain itu juga harus
memelihara agar jamban tetap sehat dengan cara membersihkan lantai
jamban, membersihkan jamban secara teratur sehingga ruang jamban
dalam keadaan bersih, di dalam jamban tidak ada kotoran yang terlihat,
tidak ada seranga (kecoa, lalat) dan tikus yang berkeliaran serta
tersediannya alat pembersih (Depkes RI, 2006).
c. Pengelolaan sampah dan air limbah
Pengelolaan sampah dan air limbah merupakan masalah untuk
kesehatan lingkungan karena sampah berkaitan erat dengan kesehatan
masyarakat, sehingga dari sampah tersebut akan hidup berbagai
mikroorganisme penyebab penyakit (bakteri patogen), dan juga binatang
serangga sebagai pemindah atau penyebar penyakit (vektor). Seseorang
yang sanitasinya buruk dalam pengelolaan sampah berisiko 3,1 kali lebih
besar menderita demam tifoid (Wulan, 2013).
Pengelolaan sampah meliputi pengumpulan dan pengangkutan
sampah yang menjadi tanggung jawab dari masing-masing rumah tangga
atau institusi yang menghasilkan sampah, sehingga masyarakat harus
membangun atau mengadakan tempat khusus untuk mengumpulkan
sampah dan kemudian dari masing-masing tempat pengumpulan sampah
tersebut harus diangkut ke tempat penampungan sementara (TPS) sampah,
dan selanjutnya ke tempat penampungan akhir (TPA). Kemudian adanya
pemusnahan dan pengolahan sampah terutama untuk sampah padat dapat
dilakukan melalui berbagai cara antara lain pemusnahan sampah dengan di
tanam atau menimbum dalam tanah, memusnahkan sampah dengan jalan
membakar didalam tungku pembakaran, dan pengolahan sampah yaitu
sampah dapat dijadikan sebagai pupuk kompos (Notoatmodjo, 2007).
4. Riwayat demam tifoid pada keluarga
Orang yang dalam keluarganya pernah menderita demam tifoid
berisiko untuk menderita demam tifoid 2,244 kali lebih besar dibandingkan
orang yang dalam keluarganya tidak ada yang menderita demam tifoid dalam
3 bulan terakhir. Penderita yang baru sembuh dari demam tifoid masih terus
mengekskresi S. typhii dalam tinja dan air kemih sampai tiga bulan (fase
konvalesen) dan hanya 3% penderita yang mengekskresi lebih dari satu tahun.
Hal inilah yang menyebabkan penularan demam tifoid ke anggota
keluarganya (Widodo, 2009; Rakhman et al., 2009).
5. Pelayanan Kesehatan
Faktor pelayanan kesehatan yang dapat mempengaruhi status
kesehatan seseorang antara lain karena akses ke fasilitas kesehatan yang jauh,
kurang aktifnya kader kesehatana dalam melakukan tindakan promotif dan
preventif terhadap demam tifoid kepada masyarakatnya (Kristina et al., 2015).

D. PATOMEKANISME
Bakteri Salmonella typhii dan paratyphii masuk ke dalam tubuh melalui
ingesti makanan/air yang terkontaminasi. Dosis infeksi yang dibutuhkan adalah
103-106 colony-forming units (CFU). Kondisi yang dapat menurunkan keasaman
gaster (misalnya usia <1 tahun, konsumsi antasida, dan penyakit aklorhidrik),
mengganggu integritas usus (misalnya inflammatory bowel disease, riwayat
operasi gastrointestinal, perubahan keseimbangan flora usus akibat konsumsi
antibiotik) dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi Salmonella (Grassl
dan Finlay, 2008; Haraga et al., 2008; Pegues dan Miller, 2011).
Setelah bakteri mencapai ileum, maka akan menembus lapisan mukosa
dan melewati lapisan-lapisan usus melalui sel fagosit microfold (sel M) yang
berada di dalam plak peyer. Salmonella dapat memicu pembentukan lipatan
membran pada sel epitel nonfagosit, sehingga lipatan tersebut menyelimuti
bakteri dalam sebuah vesikel besar, yang disebut sebagai proses bacteria-
mediated endocytosis (BME). Proses BME tergantung kepada penyajian protein
Salmonella secara langsung pada sitoplasma epitel usus melalui sekresi bakteri
tipe III. Protein bakteri tersebut memiliki efek merubah aktin sitoskeleton yang
dibutuhkan untuk endositosis bakteri Salmonella (Grassl dan Finlay, 2008;
Haraga et al., 2008; Pegues dan Miller, 2011).
Setelah menembus lapisan epitel ileum, bakteri ini akan difagositosis oleh
makrofag. Salmonella dapat bertahan dalam makrofag melalui kemampuannya
dalam mendeteksi perubahan lingkungan yang berbahaya. Berkat kemampuan
tersebut, bakteri ini mampu memodifikasi lipopolisakarida dan mengubah
ekspresi protein membran luar sehingga ia dapat bertahan melawan aktivitas
mikrobisidal serta dapat pula mengubah proses signalling sel fagosit. Sistem
sekresi tipe III yang dimiliki oleh Salmonella mampu menyajikan protein bakteri
melewati membran fagosom menuju sitoplasma makrofag, sehingga sistem
sekresi tersebut akan memicu remodeling vakuola berisi bakteri, dalam rangka
menunjang keberlangsungan hidup dan replikasi bakteri Salmonella (Grassl dan
Finlay, 2008; Haraga et al., 2008; Pegues dan Miller, 2011).
Sejak difagositosis, bakteri Salmonella akan terbawa menuju seluruh
tubuh dalam makrofag melalui saluran limfatik, untuk kemudian berkolonisasi di
jaringan retikuloendotelial (seperti hepar, lien, limfe nodi, dan sum-sum tulang).
Dalam stadium inkubasi dini tersebut, belum muncul tanda dan gejala yang
dirasakan pasien. Demam dan nyeri abdomen mulai muncul saat makrofag dan sel
epitel mulai memproduksi sitokin, akibat terstimulasi oleh produk bakteri dalam
jumlah besar, karena sejumlah produk bakteri tersebut mulai memicu rangsang
imun bawaan. Hepatosplenomegali mulai muncul sebagai akibat sekunder
rekrutmen sel mononuklear dan aktivasi respon imun yang dimediasi sel, sebagai
respon kolonisasi bakteri Salmonella. Rekrutmen dan infiltrasi sel mononuklear
dan limfosit tambahan menuju plak Peyer terjadi beberapa minggu setelah
infeksi/kolonisasi awal. Rekrutmen tersebut dapat menyebabkan pembesaran dan
nekrosis plak peyer, sebagai akibat dari produk proapoptotik dari bakteri maupun
dari respon inflamasi tubuh (Grassl dan Finlay, 2008; Haraga et al., 2008; Pegues
dan Miller, 2011).
Gastroenteritis yang disebabkan oleh Salmonella non tifoid (NTS)
memiliki ciri khas yang berbeda, dimana rekrutmen melibatkan sel leukosit
polimorfonuklear pada usus halus dan usus besar, akibat dari sekresi IL-8 oleh sel
usus, sebagai respon adanya kolonisasi dan translokasi protein bakteri pada
sitoplasma sel inang. Degranulasi dan pelepasan zat toksik neutrofil menyebabkan
kerusakan mukosa usus yang menyebabkan diare inflamatorik pada NTS.
Sedangkan, Salmonella tifoid hanya melibatkan sel mononuklear dan usus halus
(Grassl dan Finlay, 2008; Haraga et al., 2008; Pegues dan Miller, 2011).

E. PENEGAKAN DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Gejala yang dikeluhkan pasien berupa demam. Demam pada penyakit
ini umumnya muncul malam hari, dengan kisaran suhu 38,8-40,5oC. Demam
berkisar antara seminggu hingga 4 minggu apabila dibiarkan tanpa terapi.
Waktu inkubasi S. typhii umumnya sekitar 10-14 hari. Selain kedua gejala
tersebut, dapat pula muncul gejala sistemik seperti nyeri kepala, batuk,
menggigil, arthralgia, dan myalgia. Gejala gastrointestinal yang timbul antara
lain anoreksia, nyeri abdomen, mual, muntah, dan diare atau bahkan
konstipasi (Pegues dan Miller, 2011).
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan suhu badan meningkat,
bersifat kontinyu, meningkat perlahan-lahan terutama sore dan malam hari,
tapi kadang-kadang bersifat intermiten atau remiten. Pada minggu kedua
dapat ditemukan bradikardi relatif, rose spots (ruam makulopapular
kemerahan) di kulit dada dan perut, lidah kotor, splenomegali, nyeri tekan
abdomen dan gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium dan
psikosis (Pegues dan Miller, 2011; Depkes RI, 2006).
3. Pemeriksaan Penunjang
Mengingat tanda dan gejala demam tifoid tidak spesifik, diperlukan
pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis. Beberapa diagnosis
banding yang dapat dipikirkan adalah malaria, hepatitis, enteritis bakterial,
demam dengue, infeksi rickettsia, leptospirosis, abses hepar amoebik, dan
infeksi HIV akut (Pegues dan Miller, 2011).
Satu-satunya tes laboratorium yang menjadi standar baku emas untuk
penegakan diagnosis demam tifoid adalah hasil kultur yang positif. Kultur
dapat dilakukan dari sampel darah, sumsum tulang, ruam kulit, feses, dan
sekresi usus. Spesimen darah diambil pada minggu I sakit saat demam tinggi.
Spesimen feses dan urin diambil pada minggu ke II dan minggu-minggu
seanjutnya. Sensitivitas kultur darah hanya 40-80% akibat penggunaan
antibiotik yang tinggi di daerah endemik maupun akibat jumlah bakteri di
darah yang terlalu sedikit (<15 organisme per mL) (Depkes RI, 2006; Pegues
dan Miller, 2011).
Selain itu terdapat beberapa pemeriksaan lain yang dapat mengarahkan
diagnosis yaitu:
a. Darah rutin
Leukopenia dan neutropenia dapat ditemukan pada 15-25%, sedangkan
leukositosis juga dapat ditemukan pada pasien anak-anak, terutama pada
10 hari pertama saat sakit dan kondisi perforasi usus atau infeksi sekunder
(Pegues dan Miller, 2011).
b. Tes serologi Widal
Pemeriksaan ini menguji reaksi aglutinasi antara reagen aglutinogen
(reagen S. typhii) dan aglutinin (antibodi) yang terdapat dalam darah.
Pemeriksaan Widal tidak cukup sensitif maupun spesifik untuk
menggantikan kultur sebagai standar baku emas. Batas titer yang dijadikan
diagnosis hanya berdasarkan kesepakatan pada suatu daerah. Sebagian
besar pendapat bahwa titer O 1/320 sudah menyokong kuat diagnosis
demam tifoid. Diagnosis demam tifoid dianggap pasti adalah apabila
didapatkan kenaikan titer 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan
interval 5-7 hari (Depkes RI, 2006; Pegues dan Miller, 2011).
c. PCR dan DNA mampu mendeteksi S. typhii dalam darah, namun masih
belum digunakan dan dikembangkan dalam penggunaan klinis (Depkes
RI, 2006; Pegues dan Miller, 2011).

F. PENATALAKSANAAN
1. Non Medikamentosa
a. Tirah baring
Penderita yang dirawat harus tirah baring dengan sempurna untuk
mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan perforasi. Bila klinis
berat, penderita harus istirahat total (Depkes RI, 2006).
b. Diet
Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah
serat untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita
tifoid diklasifikasikan atas diet cair, diet lunak, tim dan nasi biasa
(Depkes RI, 2006).
c. Cairan yang cukup kalori dan elektrolit dengan dilakukan pemantauan
harian (Depkes RI, 2006).
2. Medikamentosa
Terapi simptomatik yang dapat diberikan untuk perbaikan keadaan umum
penderita (Depkes RI, 2006):
a. Antibiotik
Antibiotik lini pertama untuk tifoid yaitu kloramfenikol, ampisilin
atau amoxicilin (aman untuk penderita yang sedang hamil), trimetoprim-
sulfametoksazol. Bila pemberian salah satu antibiotik lini pertama dinilai
tidak efektif dapat diganti dengan antibiotik yang lain atau dipilih
antibiotik lini kedua. Antibiotik lini kedua untuk tifoid adalah ceftriaxon,
cefixime (efektif untuk anak), quinolone (tidak dianjurkan untuk anak <18
tahun karena dinilai mengganggu pertumbuhan tulang).

Tabel 7.1 Dosis Antibiotik untuk Demam Tifoid (Depkes RI, 2006).
Antibiotik Dosis
Kloramfenikol - Dewasa 4x500 mg selama 14 hari
- Anak 50-100 mg/KgBB/hari selama 10-14
hari dibagi 4 dosis
Ceftriaxon - Dewasa 2-4 gr/hari selama 3-5 hari
- Anak 80 mg/KgBB/hari dosis tunggal
selama 5 hari
Ampisilin dan - Dewasa 3-4 gr/hari selama 14 hari
Amoxicilin - Anak 100 mg/KgBB/hari selama 10 hari
TMP-SMX - Dewasa 2x(160-800) selama 2 minggu
- Anak TMP 6-10 mg/KgBB/hari atau
SMX 30-50 mg/KgBB/hari selama 10 hari
Quinolone - Siprofloxacin 2x500 mg 1 minggu
- Ofloxacin 2x(200-400) 1 minggu
- Pefloxacin 1x400 mg selama 1 minggu
- Fleroxacin 1x400 mg selama 1 minggu
Sefiksim - Anak 15-20 mg/KgBB/hari dibagi 2 dosis
selama 10 hari
Thiamfenikol - Dewasa 4x500 mg/hari
- Anak: 50 mg/kgBB/hari selama 5-7 hari
bebas panas

b. Antipiretik
Antipiretik seperti paracetamol dosis 3x500 mg dapat digunakan untuk
memperbaiki kondisi febris pada pasien (Widoyono, 2008).
c. Antiemetik
Antiemetik diberikan bila penderita muntah hebat. Obat yang biasa
digunakan yaitu ondansetron HCl (Widoyono, 2008).
d. Roboransia/vitamin
G. PENCEGAHAN
Pencegahan demam tifoid melalui gerakan nasional sangat diperlukan
karena akan berdampak cukup besar terhadap penurunan kesakitan dan kematian
akibat demam tifoid. Tindakan preventif dan kontrol penularan kasus luar biasa
(KLB) demam tifoid mencakup banyak aspek, mulai dari segi kuman S. typhii
sebagai agen penyakit dan faktor pejamu (host) serta faktor lingkungan (Widodo,
2009).
Secara garis besar, terdapat tiga strategi pokok untuk memutuskan
transmisi tifoid, yaitu (Widodo, 2009):
1. Identifikasi dan eradikasi S. typhii pada pasien demam tifoid asimptomatik,
karier dan akut
Pelaksanaanya dapat dilakukan secara aktif dengan mendatangi
sasaran dan pasif dengan menunggu bila ada penerimaan pegawai di suatu
instansi. Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu seperti
pengelola sarana makanan/ minuman. Sasaran lainnya adalah yang terkait
dengan pelayanan masyarakat, yaitu petugas kesehatan dan petugas
kebersihan.
2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien yang terinfeksi S. typhii akut
maupun karier
Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik, maupun di rumah dan
lingkungan sekitar orang yang telah diketahui pengidap kuman S. typhii.
3. Proteksi pada orang yang berisiko tinggi tertular dan terinfeksi
Sarana proteksi pada populasi ini dapat dilakukan dengan cara
vaksinasi tifoid di daerah endemik maupun hiperendemik. Sasaran vaksinasi
tergantung daerahnya endemis atau non-endemis, tingkat risiko tertularnya
yaitu berdasarkan tingkat hubungan perorangan dan jumlah frekuensinya,
serta golongan individu yang berisiko yaitu golongan
imunokompromise dan golongan rentan.
VIII. PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dapat disimpulkan bahwa Ny. R adalah seorang pasien yang menderita penyakit
demam tifoid.
1. Aspek Personal
Idea
Pasien datang ke IGD Puskesmas Pekuncen dengan keluhan demam
mendadak yang naik turun, terutama pada malam hari sejak 7 hari sebelum
masuk puskesmas. Keluhan tersebut disertai nyeri kepala cekot-cekot, badan
lemas, lidah terasa pahit, nafsu makan menurun, pegal-pegal pada daerah
sendi, mual, muntah, nyeri perut, batuk berdahak.

Concern
Pasien merasa badannya tidak nyaman dan lemas, keluarga pasien kawatir
kondisi pasien semakin lemas dan memburuk sehingga membuat pasien sulit
untuk beraktivitas dan belajar.
Expectacy
Pasien dan keluarga mempunyai harapan agar penyakit pasien dapat segera
sembuh dan dapat segera beraktivitas seperti semula.
Anxiety
Pasien dan keluarganya khawatir keadaan pasien semakin memburuk.
2. Aspek Klinis
Diagnosis : Demam Tifoid
Diagnosa banding : Leptospirosis, ISK
3. Aspek Faktor Risiko Intrinsik Individu
Pasien sering mengkonsumsi jajanan dan makanan diluar rumah.
Sebelum dan sesudah dari kamar mandi pasien jarang mencuci tangan
menggunakan sabun.
4. Aspek Faktor Risiko Ekstrinsik Individu
a. Keadaan dan kebersihan lingkungan rumah yang kurang sehat, jarak
sumber air dengan septic tank kurang dari 10 meter.
b. Rendahnya pemahaman pasien dan keluarga mengenai penyakit
demam tifoid.
c. Ekonomi keluarga pasien menengah kebawah.

5. Aspek Skala Penilaian Fungsi Sosial


Skala penilaian fungsi sosial pasien adalah 3, karena pasien mulai terganggu
dalam melakukan aktivitas dan kegiatan sehari-hari seperti bersekolah,
berkumpul bersama keluarga, dan bermain dengan teman-temannya.
B. SARAN
Pemberian penyuluhan dengan materi utama mengenai pengertian,
penyebab, faktor risiko, cara penularan, tanda dan gejala, serta penanganan dan
pencegahan demam tifoid. Materi selanjutnya berupa penyuluhan tentang perilaku
hidup bersih dan sehat (PHBS) sebagai salah satu upaya pencegahan terhadap
penyakit demam tifoid.
DAFTAR PUSTAKA

Artanti NW. 2013. Hubungan antara Sanitasi Lingkungan, Higiene Perorangan, dan
Karakteristik Individu dengan Kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja
Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang Tahun 2012. Skripsi. Available at
:http://lib.unnes.ac.id/18354/1/6450408002.pdf. Diakses pada 22 Oktober 2018.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. KMK No. 364/SK/V/2006 Tentang


Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Jakarta : Direktorat Jenderal PP dan
PL.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2012. Profil Kesehatan Indonesia tahun


2011. Jakarta.

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2010. Profil Kesehatan Jawa Tengah.
Semarang.

GA dan Finlay BB. 2008. Pathogenesis of Enteric Salmonella Infections. Curr Opin
Gastroenterol. Vol. 24(1): 22-26.

Haraga A et al. 2008. Salmonella Interplay with Host Cells. Nat Rev Micobiol; 6:53.

Herliani D, Usep AH, Rika N. 2015. Hubungan antara Faktor Risiko dengan Kejadian
Demam Tifoid pada Pasien yang di Rawat di Rumah Sakit Al-Islam Bandung
Periode Februari - Juni 2015. Bandung : Universitas Islam.

Kristina RT, Andi ZA, Ansariadi. 2014. Faktor Risiko Demam Tifoid di Wilayah
Kerja Puskesmas Galesong Utara Kabupaten Takalar. Skripsi. Makasar :
Unversitas Hasanudin.

Kurniasih. 2011. Hubungan Faktor Risiko dengan Kejadian Demam Tifoid di Rumah
Sakit Jasa Kartini Kecamatan Rancah Kabupaten Tasikmalaya. Skripsi.
Bandung : Universitas Siliwangi.

Maria HW. 2007. Hubungan Faktor Determinan dengan Kejadian Demam Tifoid di
Indonesia Tahun 2006. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Vol.
19 (4) : 165-173.

Okky PP. 2013. Faktor Risiko Kejadian Penyakit Demam Tifoid pada Penderita yang
Dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Ungaran. Jurnal Kesehatan
Masyarakat. Vol 2 (1) : 108-117.

Pegues DA, Miller SI. 2011. Salmonellosis. Dalam Harrison's Principles of Internal
Medicine 18th edition. New York: McGraw and Hill.
Rakhman A, Rizka H, Dibyo P. 2009. Faktor – Faktor Risiko yang Berpengaruh
terhadap Kejadian Demam Tifoid pada Orang Dewasa. Berita Kedokteran
Masyarakat. Vol. 25 (4) : 167-175.

Risani ES, Henry P, Vandry DK. 2015. Hubungan Personal Hygiene dengan
Kejadian Demam Tifoid di Wilayah Kerja Puskesmas Tumaratas. Ejournal.
Vol. 3(2) : 1-8.

Santoso. 2007. Faktor-Faktor Risiko Kejadian Demam Tifoid di Kabupaten


Purworejo. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Suprapto. 2012. Faktor Risiko Pejamu yang Mempengaruhi Kejadian Demam Tifoid
(Studi Kasus Di RSUP Dr. Kariadi Semarang). Tesis. Semarang: Universitas
Diponegoro

Vollaard AM, Van A, Widjaja S, Visser LG, Surjadi C. 2004. Risk factors for
Typhoid and Paratyphoid Fever in Jakarta, Indonesia. Journal of American
Medical Association. Vol. 291(21) : 2607-2615.

WHO, 2014. Typhoid : Immunization, Vaccines and Biologicalis. Available at :


http://www.who.int/immunization/diseases/typhoid/en/, diakses pada 16
Desember 2018.

Widodo D. 2009. Demam Tifoid. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III
Edisi V. Jakarta : Interna Publishing.

Widoyono. 2008. Penyakit Tropis, Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan


Pemberantasannya. Jakarta : Erlangga.

Wulan YS. 2013. Faktor Kebiasaan dan Sanitasi Lingkungan Hubunganya dengan
Kejadian Demam Thypoid Di Wilayah Kerja Puskesmas Ngemplak Kabupaten
Boyolali. Skripsi. Avilable at:
http://eprints.ums.ac.id/27257/11/02._NASKAH_PUBLIKASI.pdf, diakses
pada 16 Desember 2018.
Lampiran 1

a. Home Visit Pertama


b. Home Visit Kedua
Lampiran 2.

No. Pertanyaan Benar = 10 Salah atau tidak


menjawab = 0

1. Pengertian demam tifoid ?

2. Apa yang dapat menyebabkan


demam tifoid ?
3. Faktor risiko apa saja yang
meningkatkan kejadian
demam tifoid ?
4. Gejala apa saja yang dapat
muncul pada demam tifoid ?
5. Tanda yang dapat ditemukan
pada demam tifoid apa saja ?
6. Terapi awal yang dilakukan
saat menemukan gejala
demam tifoid ?
7. Terapi lanjutan bila gejala
belum membaik ?
8. Perawatan pasca rawat inap di
rumah ?
9. Komplikasi bila tidak diterapi
dengan baik ?
10. Pencegahan yang dapat
dilakukan apa saja ?
Total

Anda mungkin juga menyukai