Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER

MENURUT KI AGENG SURYOMENTARAM

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan

Dosen Pengampu: Nurhayati, M.Pd.

Disusun oleh:

1. Arini Manasikaka 18111241048


2. Savira Khairunnisa Putri 18111244030
3. Ellen Rinjani 18111244013
4. Amelia Marselina 18111244003
5. Septiana Miki 18111244026

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU PAUD


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya
makalah yang berjudul Konsep Pendidikan Karakter menurut Ki Ageng
Suryomentaram. Atas dukungan moral dan materi yang diberikan dalam
penyusunan makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Nurhayati, M.Pd. selaku dosen pembimbing Mata Kuliah Filsafat
Pendidikan yang memberikan dorongan dan masukan kepada penulis.
2. Teman-teman dalam kelompok Mata Kuliah Teori Filsafat Pendidikan yang
telah bekerjasama dalam penyelesaian makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu, saran
dan kritik yang membangun dari rekan-rekan sangat dibutuhkan untuk
penyempurnaan makalah ini.

Yogyakarta, 11 November 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Halaman Judul.......................................................................................................... i

Kata Pengantar ........................................................................................................ ii

Daftar Isi................................................................................................................. iii

Bab I Pendahuluan .................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 2

1.3 Tujuan ......................................................................................................... 2

Bab II Pembahasan .................................................................................................. 3

2.1 Biografi Tokoh ............................................................................................ 3

2.2 Konsep Pendidikan Karakter Ki Ageng Suryomentaram ........................... 4

2.3 Tahapan-tahapan Pendidikan Karakter Menurut K.A Suryomentaram ...... 8

2.4 Analisis Pendidikan Karakter Dalam Kehidupan K.A Suryomentaram ... 13

2.5 Implementasi Kawruh Pamomong K.A Suryomentaram pada Anak Usia


Dini............................................................................................................ 15

Bab III Penutup ..................................................................................................... 16

3.1 Kesimpulan ............................................................................................... 16

3.2 Saran .......................................................................................................... 16

Daftar Pustaka ....................................................................................................... 17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Satu decade terakhir bangsa Indonesia menghadapi dekadensi moral yang
begitu luar biasa. Dari mulai masalah perkelahian antar-pelajar, tawuran antar-
mahasiswa, pemerkosaan dari anak-anak hingga nenek-nenek, munculnya gank
motor, maraknya tindak asusila di kalangan anak-anak sampai orang tua,
beredarnya video mesum dari artis hingga pejabat legislatif maupun eksekutif,
suap di tubuh POLRI dan kejaksaan bahkan di kehakiman, korupsi yang tidak
kunjung surut, terakhir kasus yang begitu menghebohkan, yaitu kasus korupsi
Gayus Tambunan, dan masih segudang persoalan lain yang begitu meresahkan
dan memilukan hati.

Persoalan karakter sebenarnya telah menjadi perhatian serius para tokoh


pendiri bangsa ini, Indonesia, seperti Sukarno, Muhammad Hatta, Kyai Ahmad
Dahlan, Kyai Hasyim Asy’ari, Ki Ageng Suryomentaram, dan tokoh-tokoh lainnya.
Namun, nama terakhir ini, Ki Ageng Suryomentaram, memiliki sejumlah keunikan
yang tidak dimiliki tokoh-tokoh lainnya tersebut. Ki Ageng Suryomentaram adalah
sosok ningrat yang bersahaja, sederhana, egaliter, merakyat, dan sulit dicari
padanannya. Ia adalah tokoh perjuangan kemerdekaan. Ia adalah tokoh perjuangan
perbaikan moral dan karakter bangsa. Ia juga tokoh yang jarang disebut dalam
kancah sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia meskipun sebenarnya
ia adalah sosok yang sangat berjasa. Seperti tercatat dalam sejarah bahwa ia
salah seorang penggagas pertama dalam pembentukan PETA, yaitu embrio dari
Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ia juga menyusun sebuah tulisan berjudul Jimat
Perang untuk mengobarkan semangat perjuangan sekaligus karakter
berkebangsaan bagi para pejuang. Bahkan, tulisan-tulisannya dalam Jimat Perang
tersebut digunakan oleh Bung Karno ketika berpidato di radio. Kemudian, ia
mendirikan organisasi pergerakan moral dan sosial, yaitu Taman Siswa bersama Ki
Hadjar Dewantara dan rekan-rekannya dalam Sarasehan Selasa Kliwon. Tidak
hanya itu, hingga akhir-akhir masa hidupnya, ia masih menceramahkan nilai-
nilai moral dan sosial tentang Kawruh Beja atau Kawruh Jiwa kepada masyarakat.

1
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang ada, maka rumusan masalah dai penulisan
makalah ini adalah:
1. Bagaimana konsep pendidikan karakter Ki Ageng Suryomentaram?
2. Bagaimana tahapan-tahapan pendidikan karakter menurut Ki Ageng
Suryomentaram?
3. Apa saja nilai-nilai pendidikan karakter dalam kehidupan Ki Ageng
Suryomentaram?

1.3 TUJUAN
Berdasarkan latar belakang yang ada, maka tujuan dari penulisan makalah ini
adalah:
1. Mengetahui konsep pendidikan karakter Ki Ageng Suryomentaram.
2. Mengetahui Tahapan-tahapan Pendidikan Karakter Menurut Ki Ageng
Suryomentaram.
3. Mengetahui nilai-nilai pendidikan karakter dalam kehidupan Ki Ageng
Suryomentaram.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Biografi Tokoh
Ki Ageng Suryomentaram lahir di Kraton Yogyakarta pada 20 Mei 1892, anak
ke-55 dari 79 putra-putri Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Semasa kecil bernama
BRM Kudiarmaji. Ibunya sendiri bernama BRA Retnomandoyo, putri dari Patih
Danurejo VI yang kemudian bernama Pangeran Cakraningrat. Ki Ageng Surya
Mentaram sendiri ialah sosok yang gemar membaca dan belajar, terutama tentang
sejarah, filsafat, ilmu jiwa, dan agama. Semasa ia belajar, Ki Ageng
Suryomentaram pernah mengambil kursus Klein Ambtenaar, belajar bahasa
Belanda, Inggris, dan Arab, ia juga pernah belajar mengaji agama Islam dengan
K.H. Achmad Dahlan yaitu pendiri Muhammadiyah.

Sebagai pangeran ia merasa tidak mendapatkan kepuasan atau kebahagiaan


hidup. Ia tidak bertemu dengan orang-orang dalam arti yang sesungguhnya. Rasa
tidak puasnya kian bertambah ketika ia menghadapi tiga kejadian yaitu kakeknya
Patih Danurejo VI diberhentikan dari jabatan patih dan tidak lama kemudian
meninggal dunia. Ibunya diceraikan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII dan
dikeluarkan dari kraton kemudian diserahkan kepada dirinya. Dan istrinya yang
meninggal dunia dan meninggalkan seorang putra yang baru berusia 40 hari. Rasa
tidak puasnya makin menjadi-jadi, kemudian ia mengajukan permohonan kepada
ayahnya untuk berhenti sebagai pangeran, tetapi permohonannya tidak dikabulkan.

Tidak tahan lagi hidup di lingkungan kraton, ia lalu pergi ke Cilacap menjadi
pedagang batik dan setagen (ikat pinggang) dan berganti nama dengan Notodongso
(Kudiarmaji pada usia 18 tahun bergelar Bendara Pangeran Harya Suryomentaram).
Waktu Perang Dunia I baru selesai, Suryomentaram dan Ki Hadjar Dewantara
beserta beberapa orang lainnya mengadakan sarasehan setiap Selasa Kliwon.
Mereka membicakan masalah-masalah aktual yang dihadapi Indonesia. Pada 1922
Taman Siswa didirikan dengan berorientasi pada pendidikan kebangsaan. Ki Hadjar
Dewantara dipilih sebagai ketua, Ki Gede Suryomentaram diberi tugas mendidik
orang-orang tua. Pada pertemuan tiap Selasa Kliwon inilah oleh Ki Hadjar
Dewantara namanya diubah menjadi Ki Ageng Suryomentaram.

3
Kurang lebih 40 tahun Ki Ageng Suryomentaram menyelidiki alam kejiwaan
dengan menggunakan dirinya sebagai “kelinci percobaan”. Dari penyelidikannya
inilah kemudian tertuang pemikiran-pemikirannya yang sering disebut dengan
Kawruh Jiwa. Ajarannya ini tersebar berkat teman-temannya berdiskusi yang
menyebarkannya kepada orang lain maupun lewat penerbitan buku atas
pemikirannya. Pada 18 Maret 1962, ia tutup usia di rumahnya, Jl Rotowijayan no
22 Yogya dan dimakamkan di makam keluarga di desa Kanggotan, sebelah barat
Yogya.

2.2 Konsep Pendidikan Karakter Ki Ageng Suryomentaram

Karakter adalah kualitas atau kekuatan mental dan moral, akhlak atau budi
pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang membedakan dengan
individu lain. Istilah karakter dianggap sama dengan kepribadian. Pendidikan
karakter yaitu usaha yang disengaja untuk mengembangkan karakter yang baik
berdasarkan nilai inti yang baik untuk individu serta masyarakat. Karakter dengan
mendasarkan pada struktur kodrati manusia, sesungguhnya bisa diubah. Maka dari
itu, perlu dibedakan adanya dua macam karakter, yaitu karakter sebagaimana yang
dilihat, dan karakter sebagaimana yang dialami. Oleh sebab itu, karakter merupakan
kualitas mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan
kepribadian khusus yang menjadi pendorong dan penggerak, serta yang
membedakan dengan individu lain lainnya.

Wewarah atau ajaran Ki Ageng Suryomentaram mengutarakan bahwa dalam


menjalani hidup ini sebaiknya manusia tidak melakukan tiga hal yaitu, ngangsa-
angsa yang bearti ambisius, bernafsu-nafsu, ngaya-aya yang berarti terburu-buru,
tidak teliti, cermat dan hati-hati, serta golek benere dewe yang berarti mencari
benarnya sendiri atau mau menang sendiri. Hal tersebut tentu tidak sejalan dengan
sifat kesatriya Jawa. Satria Jawa dalam kehidupannya selalu berlandaskan ajaran
berbudi bawa keksana (berbudi luhur atau rendah hati, tawadlu) dan keprawiran
(keperwiraan). Keprawiran yaitu selalu berlaku perwira dalam sehala sesuatu dan
dia temen (jujur), tanggap (bertindak antisipatif), tatag (teguh hati, mampu melihat
dan mengalami kondisi apa saja), dan tanggon (pilih tanding, berani menghadapi

4
siapa saja asal merasa benar) dan datan melik pawehing liyan (tidak mengharapkan
bantuan orang lain).

Terdapat beberapa ajaran pendidikan karakter Ki Ageng Surya, yaitu


(Kamal&Zulfa,2017) :

a. Wejangan pokok ilmu bahagia

Ia membuka konsep pemikirannya dengan pernyataan yang mendasar serta


menjadi benih konsepsinya mengenai kebahagiaan. Ilmu bahagia dimulai dari
pandangan Ki Ageng Suryomentaram bahwasanya di seluruh dunia ini tidak
ada sesuatu yang pantas dicari, atau ditolak secara mati-matian. “Salumahing
bumi, sakurebeng langit puniko boten wonten barang ingkang pantes dipun
padosi kanti mati-matian, utawi dipun ceri-ceri dipun tampik kanthi mati-
matian (suryomentaram, 1989)”.

Pandangan tersebut memberikan arti bahwa manusia tidak sepantasnya


mengejar sesuatu atau menolak sesuatu secara berlebihan. Pandangan tersebut
juga menyiratkan bahwa pada umumnya manusia, pasti mengejar sesuatu secara
berlebihan, sekaligus menolak sesuatu juga secara berlebihan. Pertanyaan itu
menggambarkan kondisi manusia pada umumnya, yang bekerja pagi, siang,
sore, untuk mendapatkan kekayaan, sekaligus untuk menolak secara mati-
matian kemiskinan, meminum segala macam suplemen, menakar makanan
sesuai kebutuhan kalori, mengikuti diet ketat karbohidrat, demi mengusahakan
kesehatan. Penjelasan wejangan ilmu bahagia secara sistematis

1) Wejangan pokok ilmu bahagia dimulai dari pembahasan mengenai bungah


susah, dua hal tersebut silih berganti di dalam kehidupan manusia. Hal itu
terkait dengan keinginan atau karep yang dimiliki. Sedangkan karep atau
keinginan jika tidak tercapai tidak akan membuat celaka dan jika terpenuhi
tidak akan membuat bahagia selamanya. Pemahaman yang sebaliknya
adalah jika keinginan tercapai maka akan bahagia, dan jika tidak tercapai
maka akan menyebabkan penderitaan jelas salah, walaupun sifat keinginan
adalah untuk dipuaskan, dituruti, dan untuk mencari kesenangan.

5
2) Sifat karep (hasrat) yang mulur-mungkret. Mulur- mungkret ada pada setiap
orang dimana mereka ada karena sebab karep/keinginan, ketika karep
terpenuhi atau tercapai maka akan mulur terus menerus sampai tidak
tercapai lalu menjadi mungkret yang berarti penyebab susah karena
keinginan yang tidak tercapai di sana terjadi mungkret sampai pada tahap
yang diharapkan atau terlaksana. Mulur akan terus selalu mulur sehingga
keinginannya tercapai dan terus menerus menambah keinginan yang ingin
dicapai, di situ seseorang merasa mulur sampai suatu saat ada keinginan
yang tidak dicapai pada posisi itu seseorang merasa mungkret dan ia merasa
gagal, padahal keinginan yang lain sudah tercapai maka ia masih mungkret
hingga keinginannya tercapai dan ia merasa bahagia dan keinginannya
mulur lagi, dan seperti itu seterusnya.
3) Mengenai rasa sama (raos sami) yang dimiliki oleh setiap manusia itu sama.
Karena semua orang memiliki keinginan, maka mereka akan mengusahakan
agar keinginan tersebut tercapai agar bisa bahagia, serta berusaha mencegah
secara mati-matian agar tidak gagal dan menyebabkan kesusahan. Oleh
sebab itu, semua orang pada dasarnya itu sama yaitu samasama memiliki
keinginan, padahal keinginan tersebut bersifat mulur-mungkret yang
menyebabkan bungah-susah.
4) Mengenai rasa tentram, apabila seseorang mengerti bahwa rasa orang
sedunia sama saja, maka bebaslah ia dari penderitaan neraka iri hati dan
sombong. Artinya, dalam segala hal bertindak seenaknya, sebutuhnya,
seperlunya, secukupnya, semestinya dan sebenarnya. Maka seseorang
dapat merasakan rasa hidup yang benar, yaitu mesti sebentar senang,
sebentar susah, sebentar senang sebentar susah. Sebab jika seseorang
dihinggapi rasa iri dan sombong maka seseorang tidak dapat hidup dengan
benar.
5) Mengenai rasa abadi (raos langgeng). Yang disebut dengan rasa abadi
adalah karep/ hasrat, karena karep adalah dasar hidup. Jika memahami
bahwa karep itu abadi maka diri keluar dari neraka getun-sumelang. Getun
yaitu kecewa atau takut terhadap kejadian yang sudah terjadi, sedangkan
sumelang yaitu kekhawatiran terhadap sesuatu yang belum terjadi. Dari sini

6
kemudian dikenal dengan istilah magang cilaka yang yang diartikan jika
sesuatu dilakukan akan mengakibatkan bencana, atau kesusahan. Artinya
suatu tindakan belum dilakukan namun rasa celaka sudah dirasakan.
6) Mengenai rasa tabah yang berarti kita berani menghadapi segala hal.
Penerimaan terhadap rasa susah dan senang, menimbulkan penghayatan
yang mendalam, bahwa sesungguhnya yang susah dan senang itu bukanlah
aku. Aku yang sebenarnya tidaklah merasakan susah dan senang. Pada saat
itu seseorang sudah dapat melacak akunya, seseorang sudah bisa mengenali
dirinya yang sedang susah atau senang.
7) Mengenai mengawasi hasrat (nyawang karep). Seseorang menyadari
adanya jarak antara aku yang mengalami susah dan senang, dengan aku
yang sebenarnya. Gambarannya adalah seperti melihat diri sendiri dari luar
dari inilah yang disebut aku si pengawas.
b. Pemikiran Tentang “Kawruh Jiwa Kramadangsa”

Kramadangsa merupakan istilah Ki Ageng Suryomentaram untuk menyebut


aku diri, atau aku identitas. Kramadangsa itulah yang menoleh ketika dipanggil.
Misalkan seseorang yang bernama Suta, ketika dipanggil “hai Suta”, kemudian
menoleh,pada dasarnya kramadangsanya lah yang menoleh.

Ki Ageng Suryomentaram menjelaskan bahwa karep (keinginan) semua


orang sama, yaitu berwatak mulur-mungkret dan merasa bungah-susah. Namun,
ciri pribadi masing-masing orang berbeda menurut catatan- catatannya sendiri
yang diperolehnya selama masa perjalanan hidupnya. Ciri pribadi masing-
masingyang berbeda tersebut dalam kawruh jiwa sering disebut sebagai
kramadangsa. Kramadangsa hidup dalam ukuran ketiga. Tugasnya adalah
berpikir dan menjalankan catatan-catatan yang hidup subur dalam ukuran
kedua. Kramadangsa bersifat hidup egoistik dan sewenang-wenang, tidak
memikirkan kepentingan orang lain. Catatan-catatan tersebut membutuhkan
ekspresi untuk itu dibutuhkan semacam “pelaksana-tugas”, yang dalam Kawruh
Jiwa disebut si Kramadangsa.

7
2.3 Tahapan-tahapan Pendidikan Karakter Menurut Ki Ageng
Suryomentaram

Menurut Ki Ageng Suryo Mentaram, karakter memiliki empat ukuran atau


dimensi. Pada masing-masing dimensi, rasa “Aku” terlibat. Pada dimensi atau
ukuran pertama, “aku’ berfungsi sebagai juru catat yang dengan pancaindranya
selalu mencatat apa saja yang dapat ditangkapnya. Kramadangsa atau ego menurut
Ki Ageng Suryomentaram adalah budak atau buruh pada semua catatannya sebagai
majikannya. Karena sangat banyak, lalu timbullah pertentangan antara satu catatan
dengan catatan-catatan lainnya sehingga ketentraman tidak diperolehnya kecuali
dia meninggalkan kramadangsa menuju kepada rasa aku pada dimensi keempat,
yaitu rasa “aku” yang merdeka, tak lagi menjadi budak atau buruhnya catatan-
catatannya. Berikut adalah tahap-tahap karakter menurut Ki Ageng Suryomentaram
(Sumedi,2012) :

1. Dimensi Juru Catat

Manusia secara umum terdiri dari dua bagian, yaitu jiwa dan raga. Jiwa dan raga
selalu saling berhubungan, saling membutuhkan, dan saling mempengaruhi. Bagi
Ki Ageng Suryomentaram, jiwa adalah rasa. Rasa inilah yang mendorong orang
berbuat apa saja. Rasa atau jiwa berperan sebagai generator untuk berbuat atau
melakukan sesuatu. Apa yang diperbuatnya memberikan kesan dan kesan itu
tersimpan di dalam ingatannya. Kesan yang tersimpan di dalam ingatannya itulah
catatan. Catatan tidaklah sama dengan yang dicatat. Yang dicatat adalah sesuatu
yang ada di luar dirinya seperti benda-benda di sekitarnya. Setiap manusia normal
sejak lahirnya sampai menjelang matinya selalu mencatat melalui alat bantunya,
yaitu panca indra. Yang dicatat adalah benda-benda yang ada di sekitarnya. Alat
manusia yang dipergunakan untuk mengetahui segala sesuatu ada tiga, pancaindra,
rasa hati, dan pengertian.Baginya indra ada dua, yaitu indra lahir, yakni pancaindra,
dan indra batin atau indra keenam. Indra adalah alat untuk merasa, mencium bau,
mendengar, melihat, meraba dan merasakan sesuatu secara naluri (intuitif).

8
Indra perasa atau lidah adalah alat untuk mengecap rasa. Lidah, kata juru catat,
adalah lidahku. Aku bukanlah lidah dan lidah adalah alat untuk merasakan rasa
makanan atau minuman yang dengannya aku dapat merasakan manisnya gula,
lezatnya lauk-pauk, asinnya garam, asamnya mangga muda, dan sebagainya. Yang
merasakan adalah aku yang ditempeli nama, misalnya Anisa. Aku merasa bahwa
aku adalah Anisa. Nama Anisa bisa diganti tetapi yang diberi nama tidak bisa
diganti. Nama Anisa bisa diganti dengan nama Ainun. Yang punya nama adalah
aku. Yang merasa sebagai aku itulah esensi dirinya. Indra pencium bau, atau
hidung, merupakan alat yang dengannya seseorang dapat mengenali bau benda
tertentu, misalnya, bau durian berbeda dengan bau jengkol, bau parfum berbeda
dengan bau bawang putih, bau parfum pun bermacam-macam: bau benda apa saja
yang pernah dialami akan dicatat di dalam ingatannya sehingga di dalam ingatannya
terekam berbagai bau barang-barang yang mempunyai bau.

Begitu juga indra penglihatan atau mata adalah alat yang dengannya seseorang
dapat mengenal dan membedakan warna dan bentuk benda-benda atau makhluk di
sekitarnya. Termasuk di dalamnya, setiap orang dengan indra penglihatannya dapat
mengenal ciri-ciri wajah anggota keluarganya atau ciri-ciri wajah anggota keluarga
tetangganya atau kerabatnya, sehingga setiap orang dapat menggunakan catatannya
untuk kepentingan komunikasi atau lainnya secara tepat. Indra yang besar perannya
untuk memperoleh pengetahuan yang berguna bagi jiwa dan raga adalah indra
pendengar, atau telinga, yang dengannya seseorang dapat membedakan macam-
macam suara, suara manusia, suara hewan, suara petir, suara musik, suara angin
gemuruh, suara air menetes, dan sebagainya. Dengan telinga seseorang dapat
memperoleh informasi tentang bagaimana seseorang memelihara kesehatan jiwa
dan raganya atau jasmani dan rohaninya.

Pada saat tidak ada sinar dan tidak ada suara, indra peraba atau kulit sangat
berperan untuk memperoleh informasi terkait dengan benda-benda fisik di
sekitarnya. Dengan kulitnya, seseorang dapat merekam atau mencatat di dalam
ingatannya benda-benda yang mempunyai bentuk atau permukaan. Semua
informasi dunia luar masuk ke dalam akal pikirannya melalui indranya. Sebagian
informasi diketahui dengan rasa hati. Rasa hati, kata Ki Ageng Suryomentaram,

9
untuk merasa aku, merasa ada, merasa senang, merasa susah, dapat merasakan
seperti rasa lapar dan rasa sakit.

Semua informasi yang diperoleh melalui bantuan indra-indra tersebut disimpan


di dalam ingatannya. Juru catat selalu menyadari bahwa catatan-catatan tersebut
seluruhnya bukanlah dirinya sendiri, tetapi semua catatan adalah miliknya.
Sedangkan pengertian berguna untuk membedakan suatu hal yang berasal dari
pancaindra dan perasaan.Bagaimana sifat-sifat catatan tersebut akan dijelaskan
selanjutnya.Semua alat pencatat tersebut digunakan ketika diperlukan. Setiap orang
sebagai juru catat menyadari bahwa alat pencatat bukanlah dirinya sendiri, dan
catatan merupakan entitas tersendiri. Manusia sebagai juru catat hidup dalam
dimensi pertama. Juru catat yang hidup dalam dimensi pertama yang ciri khasnya
adalah seperti anak yang berumur antara 0 sampai 2 atau 3 tahun.

2. Dimensi Catatan-Catatan
Catatan-catatan yang dikumpulkannya sangat banyak macamnya dan berjuta-
juta jumlahnya. Secara umum, oleh Ki Ageng Suryomentaram catatan-catatan
tersebut dikelompokkan menjadi sebelas catatan, yaitu (1) harta benda, (2)
kehormatan, (3) kekuasaan, (4) keluarga, (5) golongan,

(6)kebangsaan, (7) jenis, (8) kepandaian, (9) kebatinan, (10) ilmu pengetahuan,
dan (11) rasa hidup.Pengelompokan ini dapat ditambah lagi sesuai dengan
kemampuan masing-masing orang.Catatan-catatan harus dibedakan dengan yang
dicatat. Catatan adalah gambar dalam ingatannya. Sedangkan yang dicatat adalah
barang yang ada di luar dirinya. Jika orang meninggal dunia, catatan akan ikut rusak
tetapi benda yang dicatat tidak ikut rusak. Atau jika benda yang dicatat rusak,
catatan yang ada dalam ingatannya tidaklah secara otomatis ikut rusak. Jika yang
dicatat rusak dan catatannya rusak karena yang menyimpan catatannya rusak, maka
rusaklah semua.

Semua catatan adalah sebagai barang hidup yang dapat tumbuh berkembang
jika dipelihara dan diberi makan atau diberi pupuk dan dapat pula menjadi kurus
dan mati jika tidak diberi makan atau pupuk. Misalnya seorang melihat wanita
cantik. Jika situasi kondusif, dia dapat jatuh cinta kepada wanita tersebut. Catatan

10
wanita cantik hidup dalam dimensi kedua sebagai makhluk hidup yang dapat
tumbuh subur bila dipupuk ataupun sakit dan akhirnya mati jika tidak diberi makan.

Catatan-catatan yang jumlahnya sangat banyak itu sebagian benar dan sebagian
yang lain salah. Catatan yang salah dapat dibetulkan. Catatan-catatan tersebut dapat
dikelompok-kelompokkan. Catatan-catatan yang sejenis atau catatan yang sifatnya
berdekatan dapat dikelompokkan menjadi satu. Antara catatan dalam satu
kelompok dengan catatan dalam kelompok lain kadangkala bertentangan. Semua
catatan dipandangnya bermanfaat sesuai dengan fungsi atau kegunaan masing-
masing. Adanya pertentangan dan nilai guna dari masing-masing catatan inilah
yang sering kali menimbulkan kesulitan bagaikan lingkaran setan yang dapat
merusak kepribadian seseorang dan tatanan kehidupan berkeluarga maupun
bermasyarakat dan bernegara.

3. Dimensi Kramadangsa

Semua catatan tentu berguna sesuai dengan kondisi tertentu. Oleh karena itu,
setiap orang merasa memilikinya dan memandangnya penting dan menjadi sebab
rasa bahagia dan rasa susah. Misalnya seseorang memiliki sebuah rumah. Dia
merasa senang. Jika rumahnya dipuji oleh orang lain, dia merasa (lebih) senang,
tetapi jika rumahnya dirusak orang lain, dia akan merasa susah. Rasa bahagia dan
rasa susah seperti itu adalah salah satu ciri bahwa “kramadangsa” telah terwujud.
Bersatunya antara diri dan catatan-catatannya itulah yang dinamakan kramadangsa
atau ego. Ki Ageng menyatakan: Apabila catatan-catatan sudah cukup banyak
jumlah dan jenisnya, barulah lahir rasa Kramadangsa, yaitu rasa yang menyatukan
diri dengan semua catatan yang berjenis-jenis itu sebagai: hartaku, keluargaku,
bangsaku, golonganku, agamaku, ilmuku, dan sebagainya. Rasa aku si
Kramadangsa ini, bagaikan tali pengikat batang-batang lidi dari sebuah sapu lidi.
Kramadangsa ini pun barang hidup, yang hidup dalam ukuran ketiga karena
tindakannya dengan berpikir. Jadi, Kramadangsa ini tukang pikir, memikirkan
kebutuhan catatan-catatan di atas tadi.

Kramadangsa sebagai entitas baru hidup dalam dimensi ketiga. Kramadangsa


tersebut, kata dia, terbentuk pada waktu anak berusia tiga tahun ke
atas.Terbentuknya Kramadangsa ini berbeda-beda waktunya tetapi indikator yang

11
dapat dijadikan patokan adalah adanya rasa memiliki, merasa dirinya sebagai yang
mempunyai. Dia merasa bahwa dirinya mempunyai nama tertentu, orang tua,
saudara, baju, dan lain-lain. Kramadangsa inilah yang membedakan dirinya dari
semua orang lain. Kramadangsa bersifat unik dan menjadi penyebab perselisihan,
pertengkaran, perkelahian, peperangan, perceraian, pembunuhan, dan lain
sebagainya. Kramadangsa, sebagai tukang pikir dan buruh bagi semua catatannya,
sering mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan dan oleh karena itu sering
kecewa dan merasa memiliki banyak musuh. Kebanyakan manusia hidup dalam
dimensi ketiga ini. Kesulitan-kesulitan yang dialami manusia karena ulah
kramadangsanya akan teratasi ketika manusia mampu memisahkan antara dirinya
dan catatan-catatannya sebagaimana akan dijelaskan pada tahap keempat.

4. Dimensi Manusia Tanpa Ciri

Manusia tanpa ciri adalah manusia yang hidup dalam dimensi keempat, sebagai
dimensi yang paling tinggi dalam pandangan Ki Ageng Suryomentaram. Derajat
manusia tanpa ciri ini tidak dapat dicapai seseorang kecuali setelah melalui tiga
dimensi sebelumnya. Meskipun demikian, hal ini tidaklah berarti bahwa untuk
mencapai derajat manusia tanpa ciri merupakan hal yang sangat sulit atau
membutuhkan waktu yang lama atau hanya terbuka bagi orang-orang tertentu,
melainkan terbuka untuk semua orang yang mau menempuh jalan-jalan yang telah
dijelaskan oleh Ki Ageng Suryomentaram.

Siapa manusia tanpa ciri itu? Apa ciri-ciri manusia tanpa ciri? Oleh Ki Ageng
Suryomentaram, manusia tanpa ciri adalah manusia yang merdeka, yang
berkepribadian sehat, bahagia, sejahtera, dan berguna bagi orang lain. Mengapa
manusia pada tingkat ukuran keempat atau dimensi keempat ini dikatakan
merdeka? Karena kramadangsa atau ego sudah tidak lagi menjadi budak atau
pesuruh bagi semua catatannya meskipun ia masih juga menggunakan catatan-
catatan tersebut sebagai yang perlu dipertimbangkan. Kramadangsa yang sudah
tidak lagi diikat oleh catatan-catatan yang ada hilang dengan sendirinya dan
berubah menjadi manusia tanpa ciri, yang ciri-cirinya adalah tidak berkepentingan
atau terbebas dari rasa suka dan rasa benci serta rasa memiliki, yakni rasa mencari
aman dan abadi di dalam salah satu kebutuhan.Hilangnya kramadangsa menjadi

12
indikator munculnya kesadaran bahwa dirinya harus menghilangkan rasa
sewenang-wenang.

Agar rasa kasih itu lahir, kramadangsa haruslah mati dahulu. Padahal matinya
kramadangsa itu bila diketahui kesewenangannya tanpa maksud untuk
mengubah.Bila ada maksud untuk mengubah, berarti kramadangsa masih hidup,
sebab yang bermasud untuk mengubah adalah kramadangsa.

Dengan matinya kramadangsa, maka lahirlah ukuran atau dimensi keempat


yang merupakan alat untuk merasakan rasa orang lain sehingga orang yang hidup
dalam dimensi atau ukuran keempat mampu berempati terhadap orang. Di tempat
lain dia menyatakan bahwa ukuran keempat sebagai alat untuk menghayati rasa
orang lain, enak atau tidak enak, ada dalam diri sendiri dan hubungannya, ternyata
terasa pada diri sendiri.Orang yang hidup dalam ukuran keempat telah menjadi
orang yang bijaksana sehingga tindakannya sesuai dengan situasi dan kondisi,
berguna bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain sehingga dia bisa bahagia abadi.

2.4 Analisis Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Dalam Kehidupan Ki Ageng


Suryomentaram

Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan cinta kasih kepada siapapun. Wujud


cinta kasih ialah segala hasrat dan usaha yang bebas dari kepentingan diri sendiri
(sepi ing pamrih). Kawruh jiwa juga mengajarkan agar mengerti bahwa rasa
manusia itu abadi, senang dan susah itu silih berganti, maka tabahlah batin kita.
Peran apapun yang kita mainkan sebagai manusia diambil sebagai pengalaman
sekarang atau masa mendatang. Sehingga tidak ada yang perlu disesali dan
dikhawatirkan. Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan kita untuk bersedia
melepaskan atribut duniawi, menjadi manusia sederhana yang rendah hati, yang
mendambakan masyarakat Indonesia damai sejahtera.

Pelajaran yang dapat diambil yaitu penuh kasih sayang, tidak semena-mena
terhadap orang lain, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dicerminkan dengan
mampu hidup berdampingan secara baik dengan sesamanya. Ki Ageng
Suryamentaram juga mengajarkan untuk mengutamakan kepentingan umum diatas

13
kepentingan pribadi melalui bab ukuran keempat untuk mengembangkan hidup
guyub rukun, dan damai.

Karakter lainnya yaitu dalam hidup ini bungah-susah bersifat langgeng,


langgeng bungah-susah. Jadi, dalam hidup ini tidak ada yang perlu terlalu
dikhawatirkan pemahaman tersebut akan sangat efektif untuk membangun karakter
berani dalam kehidupan seseorang, karena ia mengetahui tidak ada yang perlu
ditakutkan. Hal ini terlihat dari seorang yang cenderung berpikir positif dalam
menghadapi persoalan, dan memandang segala sesuatu akan berjalan dengan baik
jika disertai usaha.

Dalam pelajaran Kawruh Jiwa juga tidak ada keharusan untuk melakukan atau
menolak sesuatu (dede lelampahan utawi sirikan). Dengan belajar Kawruh Jiwa,
diharapkan seseorang dapat hidup jujur, tulus, percaya diri (tatag), tentram, tenang,
penuh kasih sayang, mampu hidup berdampingan secara baik dengan sesamanya
dan alam lingkungannya, serta penuh rasa damai. Keadaan tersebut akan
mengantarkan seseorang kepada kehidupan yang bahagia sejati, tidak tergantung
pada tempat, waktu, dan keadaan (mboten gumantung papan, wekdal lan
kawontenan).

14
2.5 Implementasi Kawruh Pamomong Ki Ageng Suryomentaram pada Anak
Usia Dini
1. Mengajarkan anak untuk sumerep (memahami dan mengerti) terhadap
barang yang benar agar bisa berpikir benar. Salah satu kegiatannya adalah
mengajarkan anak untuk berani. Seperti berani bertanya dan bercerita di
depan kelas ketika diminta guru untuk bercerita. Sehingga harapannya
adalah anak sejak dini dilatih untuk berani mengungkapkan apa yang
dipikirkan atau dirasakan. Guru mempersilahkan satu persatu murid untuk
bercerita dan bertanya sebelum pembelajaran dimulai.
2. Menumbuhkan rasa cinta kasih terhadap sesama.
Misalnya guru atau orang tua tidak melampiaskan rasa amarahnya kepada
anak, jika anak melakukan kesalahan yang tidak berkenan dalam hatinya.
Seperti ketika murid yang bersikap hiperaktif dalam kegiatan pembelajaran,
guru memberikan pengertian jika hal-hal yang dilakukan anak yang
berkaitan dengan barang yang bisa membahayakan anak itu sendiri
dijelaskan dengan baik.

3. Mencintai keindahan.
Sumber untuk mendapatkan dan mempelajari keindahan melalui perantara
Panca Indera. Salah satunya adalah lidah. Misalnya kegiatan yang bertema
tanaman, di sini guru menjelaskan pentingnya mengonsumsi tanaman
seperti sayuran dan mengajari anak merawat tanaman di sekitar rumah.

15
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa karakter adalah


kualitas atau kekuatan mental dan moral, akhlak atau budi pekerti individu yang
merupakan kepribadian khusus yang membedakan dengan individu lain. Ki
Ageng Suryomentaram mengajarkan cinta kasih kepada siapapun. Wujud cinta
kasih ialah segala hasrat dan usaha yang bebas dari kepentingan diri sendiri
(sepi ing pamrih). Kawruh jiwa juga mengajarkan agar mengerti bahwa rasa
manusia itu abadi, senang dan susah itu silih berganti, maka tabahlah batin kita.
Peran apapun yang kita mainkan sebagai manusia diambil sebagai pengalaman
sekarang atau masa mendatang. Sehingga tidak ada yang perlu disesali dan
dikhawatirkan. Ki Ageng Suryomentaram mengajarkan kita untuk bersedia
melepaskan atribut duniawi, menjadi manusia sederhana yang rendah hati, yang
mendambakan masyarakat Indonesia damaisejahtera.

3.2 Saran

Pendidikan karakter yang diajarkan oleh Ki Ageng Suryomentaram bahwa


dalam menjalani hidup ini manusia harus memiliki sifat satriya Jawa yaitu,
selalu berlaku layaknya perwira dalam segala sesuatu dan dia temen (jujur),
tanggap (antisipatif), tatag (teguh hati), tangguh (tidak mudah kalah), dan
tanggon (berani menghadapi siapa saja asal benar), dan datan melik pawehing
liyan (tidak mengharapkan bantuan orang lain).

16
DAFTAR PUSTAKA

Kamal, Faisal dan Zulfa.2017.”Aktualisasi Ajaran Ki Ageng Suryomentaram


sebagai Basis Pendidikan Karakter”. Dalam Jurnal PANCAR, Volume 1,
Nomor 2, November 2017. Diunduh dari
https://www.academia.edu/37976976/AKTUALISASI_AJARAN_KI_AG
ENG_SURYOMENTARAM_SEBAGAI_BASIS_PENDIDIKAN_KARA
KTER. Pada 31 Oktober 2019.

Nisak Khoirun.2019.“Implementasi Kawruh Pamomong Ki Ageng


Suryomentaram pada Anak Usia Dini di TK Siap Bhakti 02 Segiri Pabelan
Semarang”.Jurnal Pendidikan. Diunduh dari
https://www.academia.edu/36528605/IMPLEMENTASI_KAWRUH_PA
MOMONG_KI_AGENG_SURYOMENTARAM_PADA_ANAK_USIA_
DINI_DI_TK_SIAP_BHAKTI_02_SEGIRI_PABELAN_SEMARANG_I
MPLEMENTASI_KAWRUH_PAMOMONG_KI_AGENG_SURYOME
NTARAM_PADA_ANAK_USIA_DINI_DI_TK_SIAP_BHAKTI_02_SE
GIRI_PABELAN_SEMARANG. Pada 8 November 2019.

Sumedi.2012.”Tahap-Tahap Pendidikan Karakter dalam Pemikiran Ki Ageng


Suryo Mentaram dan Relevansinya dengan Pendidikan Akhlak Islam”.
Dalam Jurnal Pendidikan Islam, Volume 1, Nomor 2, Desember 2012.
Diunduh dari https://docplayer.info/33583494-Tahap-tahap-pendidikan-
karakter-dalam-pemikiran-ki-ageng-suryomentaram-dan-relevansinya-
dengan-pendidikan-akhlak-islam.html. Pada 31 Oktober 2019.

17

Anda mungkin juga menyukai