Disusun oleh:
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya
makalah yang berjudul Konsep Pendidikan Karakter menurut Ki Ageng
Suryomentaram. Atas dukungan moral dan materi yang diberikan dalam
penyusunan makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Nurhayati, M.Pd. selaku dosen pembimbing Mata Kuliah Filsafat
Pendidikan yang memberikan dorongan dan masukan kepada penulis.
2. Teman-teman dalam kelompok Mata Kuliah Teori Filsafat Pendidikan yang
telah bekerjasama dalam penyelesaian makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belumlah sempurna. Oleh karena itu, saran
dan kritik yang membangun dari rekan-rekan sangat dibutuhkan untuk
penyempurnaan makalah ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Halaman Judul.......................................................................................................... i
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang ada, maka rumusan masalah dai penulisan
makalah ini adalah:
1. Bagaimana konsep pendidikan karakter Ki Ageng Suryomentaram?
2. Bagaimana tahapan-tahapan pendidikan karakter menurut Ki Ageng
Suryomentaram?
3. Apa saja nilai-nilai pendidikan karakter dalam kehidupan Ki Ageng
Suryomentaram?
1.3 TUJUAN
Berdasarkan latar belakang yang ada, maka tujuan dari penulisan makalah ini
adalah:
1. Mengetahui konsep pendidikan karakter Ki Ageng Suryomentaram.
2. Mengetahui Tahapan-tahapan Pendidikan Karakter Menurut Ki Ageng
Suryomentaram.
3. Mengetahui nilai-nilai pendidikan karakter dalam kehidupan Ki Ageng
Suryomentaram.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Biografi Tokoh
Ki Ageng Suryomentaram lahir di Kraton Yogyakarta pada 20 Mei 1892, anak
ke-55 dari 79 putra-putri Sri Sultan Hamengku Buwono VII. Semasa kecil bernama
BRM Kudiarmaji. Ibunya sendiri bernama BRA Retnomandoyo, putri dari Patih
Danurejo VI yang kemudian bernama Pangeran Cakraningrat. Ki Ageng Surya
Mentaram sendiri ialah sosok yang gemar membaca dan belajar, terutama tentang
sejarah, filsafat, ilmu jiwa, dan agama. Semasa ia belajar, Ki Ageng
Suryomentaram pernah mengambil kursus Klein Ambtenaar, belajar bahasa
Belanda, Inggris, dan Arab, ia juga pernah belajar mengaji agama Islam dengan
K.H. Achmad Dahlan yaitu pendiri Muhammadiyah.
Tidak tahan lagi hidup di lingkungan kraton, ia lalu pergi ke Cilacap menjadi
pedagang batik dan setagen (ikat pinggang) dan berganti nama dengan Notodongso
(Kudiarmaji pada usia 18 tahun bergelar Bendara Pangeran Harya Suryomentaram).
Waktu Perang Dunia I baru selesai, Suryomentaram dan Ki Hadjar Dewantara
beserta beberapa orang lainnya mengadakan sarasehan setiap Selasa Kliwon.
Mereka membicakan masalah-masalah aktual yang dihadapi Indonesia. Pada 1922
Taman Siswa didirikan dengan berorientasi pada pendidikan kebangsaan. Ki Hadjar
Dewantara dipilih sebagai ketua, Ki Gede Suryomentaram diberi tugas mendidik
orang-orang tua. Pada pertemuan tiap Selasa Kliwon inilah oleh Ki Hadjar
Dewantara namanya diubah menjadi Ki Ageng Suryomentaram.
3
Kurang lebih 40 tahun Ki Ageng Suryomentaram menyelidiki alam kejiwaan
dengan menggunakan dirinya sebagai “kelinci percobaan”. Dari penyelidikannya
inilah kemudian tertuang pemikiran-pemikirannya yang sering disebut dengan
Kawruh Jiwa. Ajarannya ini tersebar berkat teman-temannya berdiskusi yang
menyebarkannya kepada orang lain maupun lewat penerbitan buku atas
pemikirannya. Pada 18 Maret 1962, ia tutup usia di rumahnya, Jl Rotowijayan no
22 Yogya dan dimakamkan di makam keluarga di desa Kanggotan, sebelah barat
Yogya.
Karakter adalah kualitas atau kekuatan mental dan moral, akhlak atau budi
pekerti individu yang merupakan kepribadian khusus yang membedakan dengan
individu lain. Istilah karakter dianggap sama dengan kepribadian. Pendidikan
karakter yaitu usaha yang disengaja untuk mengembangkan karakter yang baik
berdasarkan nilai inti yang baik untuk individu serta masyarakat. Karakter dengan
mendasarkan pada struktur kodrati manusia, sesungguhnya bisa diubah. Maka dari
itu, perlu dibedakan adanya dua macam karakter, yaitu karakter sebagaimana yang
dilihat, dan karakter sebagaimana yang dialami. Oleh sebab itu, karakter merupakan
kualitas mental atau moral, akhlak atau budi pekerti individu yang merupakan
kepribadian khusus yang menjadi pendorong dan penggerak, serta yang
membedakan dengan individu lain lainnya.
4
siapa saja asal merasa benar) dan datan melik pawehing liyan (tidak mengharapkan
bantuan orang lain).
5
2) Sifat karep (hasrat) yang mulur-mungkret. Mulur- mungkret ada pada setiap
orang dimana mereka ada karena sebab karep/keinginan, ketika karep
terpenuhi atau tercapai maka akan mulur terus menerus sampai tidak
tercapai lalu menjadi mungkret yang berarti penyebab susah karena
keinginan yang tidak tercapai di sana terjadi mungkret sampai pada tahap
yang diharapkan atau terlaksana. Mulur akan terus selalu mulur sehingga
keinginannya tercapai dan terus menerus menambah keinginan yang ingin
dicapai, di situ seseorang merasa mulur sampai suatu saat ada keinginan
yang tidak dicapai pada posisi itu seseorang merasa mungkret dan ia merasa
gagal, padahal keinginan yang lain sudah tercapai maka ia masih mungkret
hingga keinginannya tercapai dan ia merasa bahagia dan keinginannya
mulur lagi, dan seperti itu seterusnya.
3) Mengenai rasa sama (raos sami) yang dimiliki oleh setiap manusia itu sama.
Karena semua orang memiliki keinginan, maka mereka akan mengusahakan
agar keinginan tersebut tercapai agar bisa bahagia, serta berusaha mencegah
secara mati-matian agar tidak gagal dan menyebabkan kesusahan. Oleh
sebab itu, semua orang pada dasarnya itu sama yaitu samasama memiliki
keinginan, padahal keinginan tersebut bersifat mulur-mungkret yang
menyebabkan bungah-susah.
4) Mengenai rasa tentram, apabila seseorang mengerti bahwa rasa orang
sedunia sama saja, maka bebaslah ia dari penderitaan neraka iri hati dan
sombong. Artinya, dalam segala hal bertindak seenaknya, sebutuhnya,
seperlunya, secukupnya, semestinya dan sebenarnya. Maka seseorang
dapat merasakan rasa hidup yang benar, yaitu mesti sebentar senang,
sebentar susah, sebentar senang sebentar susah. Sebab jika seseorang
dihinggapi rasa iri dan sombong maka seseorang tidak dapat hidup dengan
benar.
5) Mengenai rasa abadi (raos langgeng). Yang disebut dengan rasa abadi
adalah karep/ hasrat, karena karep adalah dasar hidup. Jika memahami
bahwa karep itu abadi maka diri keluar dari neraka getun-sumelang. Getun
yaitu kecewa atau takut terhadap kejadian yang sudah terjadi, sedangkan
sumelang yaitu kekhawatiran terhadap sesuatu yang belum terjadi. Dari sini
6
kemudian dikenal dengan istilah magang cilaka yang yang diartikan jika
sesuatu dilakukan akan mengakibatkan bencana, atau kesusahan. Artinya
suatu tindakan belum dilakukan namun rasa celaka sudah dirasakan.
6) Mengenai rasa tabah yang berarti kita berani menghadapi segala hal.
Penerimaan terhadap rasa susah dan senang, menimbulkan penghayatan
yang mendalam, bahwa sesungguhnya yang susah dan senang itu bukanlah
aku. Aku yang sebenarnya tidaklah merasakan susah dan senang. Pada saat
itu seseorang sudah dapat melacak akunya, seseorang sudah bisa mengenali
dirinya yang sedang susah atau senang.
7) Mengenai mengawasi hasrat (nyawang karep). Seseorang menyadari
adanya jarak antara aku yang mengalami susah dan senang, dengan aku
yang sebenarnya. Gambarannya adalah seperti melihat diri sendiri dari luar
dari inilah yang disebut aku si pengawas.
b. Pemikiran Tentang “Kawruh Jiwa Kramadangsa”
7
2.3 Tahapan-tahapan Pendidikan Karakter Menurut Ki Ageng
Suryomentaram
Manusia secara umum terdiri dari dua bagian, yaitu jiwa dan raga. Jiwa dan raga
selalu saling berhubungan, saling membutuhkan, dan saling mempengaruhi. Bagi
Ki Ageng Suryomentaram, jiwa adalah rasa. Rasa inilah yang mendorong orang
berbuat apa saja. Rasa atau jiwa berperan sebagai generator untuk berbuat atau
melakukan sesuatu. Apa yang diperbuatnya memberikan kesan dan kesan itu
tersimpan di dalam ingatannya. Kesan yang tersimpan di dalam ingatannya itulah
catatan. Catatan tidaklah sama dengan yang dicatat. Yang dicatat adalah sesuatu
yang ada di luar dirinya seperti benda-benda di sekitarnya. Setiap manusia normal
sejak lahirnya sampai menjelang matinya selalu mencatat melalui alat bantunya,
yaitu panca indra. Yang dicatat adalah benda-benda yang ada di sekitarnya. Alat
manusia yang dipergunakan untuk mengetahui segala sesuatu ada tiga, pancaindra,
rasa hati, dan pengertian.Baginya indra ada dua, yaitu indra lahir, yakni pancaindra,
dan indra batin atau indra keenam. Indra adalah alat untuk merasa, mencium bau,
mendengar, melihat, meraba dan merasakan sesuatu secara naluri (intuitif).
8
Indra perasa atau lidah adalah alat untuk mengecap rasa. Lidah, kata juru catat,
adalah lidahku. Aku bukanlah lidah dan lidah adalah alat untuk merasakan rasa
makanan atau minuman yang dengannya aku dapat merasakan manisnya gula,
lezatnya lauk-pauk, asinnya garam, asamnya mangga muda, dan sebagainya. Yang
merasakan adalah aku yang ditempeli nama, misalnya Anisa. Aku merasa bahwa
aku adalah Anisa. Nama Anisa bisa diganti tetapi yang diberi nama tidak bisa
diganti. Nama Anisa bisa diganti dengan nama Ainun. Yang punya nama adalah
aku. Yang merasa sebagai aku itulah esensi dirinya. Indra pencium bau, atau
hidung, merupakan alat yang dengannya seseorang dapat mengenali bau benda
tertentu, misalnya, bau durian berbeda dengan bau jengkol, bau parfum berbeda
dengan bau bawang putih, bau parfum pun bermacam-macam: bau benda apa saja
yang pernah dialami akan dicatat di dalam ingatannya sehingga di dalam ingatannya
terekam berbagai bau barang-barang yang mempunyai bau.
Begitu juga indra penglihatan atau mata adalah alat yang dengannya seseorang
dapat mengenal dan membedakan warna dan bentuk benda-benda atau makhluk di
sekitarnya. Termasuk di dalamnya, setiap orang dengan indra penglihatannya dapat
mengenal ciri-ciri wajah anggota keluarganya atau ciri-ciri wajah anggota keluarga
tetangganya atau kerabatnya, sehingga setiap orang dapat menggunakan catatannya
untuk kepentingan komunikasi atau lainnya secara tepat. Indra yang besar perannya
untuk memperoleh pengetahuan yang berguna bagi jiwa dan raga adalah indra
pendengar, atau telinga, yang dengannya seseorang dapat membedakan macam-
macam suara, suara manusia, suara hewan, suara petir, suara musik, suara angin
gemuruh, suara air menetes, dan sebagainya. Dengan telinga seseorang dapat
memperoleh informasi tentang bagaimana seseorang memelihara kesehatan jiwa
dan raganya atau jasmani dan rohaninya.
Pada saat tidak ada sinar dan tidak ada suara, indra peraba atau kulit sangat
berperan untuk memperoleh informasi terkait dengan benda-benda fisik di
sekitarnya. Dengan kulitnya, seseorang dapat merekam atau mencatat di dalam
ingatannya benda-benda yang mempunyai bentuk atau permukaan. Semua
informasi dunia luar masuk ke dalam akal pikirannya melalui indranya. Sebagian
informasi diketahui dengan rasa hati. Rasa hati, kata Ki Ageng Suryomentaram,
9
untuk merasa aku, merasa ada, merasa senang, merasa susah, dapat merasakan
seperti rasa lapar dan rasa sakit.
2. Dimensi Catatan-Catatan
Catatan-catatan yang dikumpulkannya sangat banyak macamnya dan berjuta-
juta jumlahnya. Secara umum, oleh Ki Ageng Suryomentaram catatan-catatan
tersebut dikelompokkan menjadi sebelas catatan, yaitu (1) harta benda, (2)
kehormatan, (3) kekuasaan, (4) keluarga, (5) golongan,
(6)kebangsaan, (7) jenis, (8) kepandaian, (9) kebatinan, (10) ilmu pengetahuan,
dan (11) rasa hidup.Pengelompokan ini dapat ditambah lagi sesuai dengan
kemampuan masing-masing orang.Catatan-catatan harus dibedakan dengan yang
dicatat. Catatan adalah gambar dalam ingatannya. Sedangkan yang dicatat adalah
barang yang ada di luar dirinya. Jika orang meninggal dunia, catatan akan ikut rusak
tetapi benda yang dicatat tidak ikut rusak. Atau jika benda yang dicatat rusak,
catatan yang ada dalam ingatannya tidaklah secara otomatis ikut rusak. Jika yang
dicatat rusak dan catatannya rusak karena yang menyimpan catatannya rusak, maka
rusaklah semua.
Semua catatan adalah sebagai barang hidup yang dapat tumbuh berkembang
jika dipelihara dan diberi makan atau diberi pupuk dan dapat pula menjadi kurus
dan mati jika tidak diberi makan atau pupuk. Misalnya seorang melihat wanita
cantik. Jika situasi kondusif, dia dapat jatuh cinta kepada wanita tersebut. Catatan
10
wanita cantik hidup dalam dimensi kedua sebagai makhluk hidup yang dapat
tumbuh subur bila dipupuk ataupun sakit dan akhirnya mati jika tidak diberi makan.
Catatan-catatan yang jumlahnya sangat banyak itu sebagian benar dan sebagian
yang lain salah. Catatan yang salah dapat dibetulkan. Catatan-catatan tersebut dapat
dikelompok-kelompokkan. Catatan-catatan yang sejenis atau catatan yang sifatnya
berdekatan dapat dikelompokkan menjadi satu. Antara catatan dalam satu
kelompok dengan catatan dalam kelompok lain kadangkala bertentangan. Semua
catatan dipandangnya bermanfaat sesuai dengan fungsi atau kegunaan masing-
masing. Adanya pertentangan dan nilai guna dari masing-masing catatan inilah
yang sering kali menimbulkan kesulitan bagaikan lingkaran setan yang dapat
merusak kepribadian seseorang dan tatanan kehidupan berkeluarga maupun
bermasyarakat dan bernegara.
3. Dimensi Kramadangsa
Semua catatan tentu berguna sesuai dengan kondisi tertentu. Oleh karena itu,
setiap orang merasa memilikinya dan memandangnya penting dan menjadi sebab
rasa bahagia dan rasa susah. Misalnya seseorang memiliki sebuah rumah. Dia
merasa senang. Jika rumahnya dipuji oleh orang lain, dia merasa (lebih) senang,
tetapi jika rumahnya dirusak orang lain, dia akan merasa susah. Rasa bahagia dan
rasa susah seperti itu adalah salah satu ciri bahwa “kramadangsa” telah terwujud.
Bersatunya antara diri dan catatan-catatannya itulah yang dinamakan kramadangsa
atau ego. Ki Ageng menyatakan: Apabila catatan-catatan sudah cukup banyak
jumlah dan jenisnya, barulah lahir rasa Kramadangsa, yaitu rasa yang menyatukan
diri dengan semua catatan yang berjenis-jenis itu sebagai: hartaku, keluargaku,
bangsaku, golonganku, agamaku, ilmuku, dan sebagainya. Rasa aku si
Kramadangsa ini, bagaikan tali pengikat batang-batang lidi dari sebuah sapu lidi.
Kramadangsa ini pun barang hidup, yang hidup dalam ukuran ketiga karena
tindakannya dengan berpikir. Jadi, Kramadangsa ini tukang pikir, memikirkan
kebutuhan catatan-catatan di atas tadi.
11
dapat dijadikan patokan adalah adanya rasa memiliki, merasa dirinya sebagai yang
mempunyai. Dia merasa bahwa dirinya mempunyai nama tertentu, orang tua,
saudara, baju, dan lain-lain. Kramadangsa inilah yang membedakan dirinya dari
semua orang lain. Kramadangsa bersifat unik dan menjadi penyebab perselisihan,
pertengkaran, perkelahian, peperangan, perceraian, pembunuhan, dan lain
sebagainya. Kramadangsa, sebagai tukang pikir dan buruh bagi semua catatannya,
sering mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan dan oleh karena itu sering
kecewa dan merasa memiliki banyak musuh. Kebanyakan manusia hidup dalam
dimensi ketiga ini. Kesulitan-kesulitan yang dialami manusia karena ulah
kramadangsanya akan teratasi ketika manusia mampu memisahkan antara dirinya
dan catatan-catatannya sebagaimana akan dijelaskan pada tahap keempat.
Manusia tanpa ciri adalah manusia yang hidup dalam dimensi keempat, sebagai
dimensi yang paling tinggi dalam pandangan Ki Ageng Suryomentaram. Derajat
manusia tanpa ciri ini tidak dapat dicapai seseorang kecuali setelah melalui tiga
dimensi sebelumnya. Meskipun demikian, hal ini tidaklah berarti bahwa untuk
mencapai derajat manusia tanpa ciri merupakan hal yang sangat sulit atau
membutuhkan waktu yang lama atau hanya terbuka bagi orang-orang tertentu,
melainkan terbuka untuk semua orang yang mau menempuh jalan-jalan yang telah
dijelaskan oleh Ki Ageng Suryomentaram.
Siapa manusia tanpa ciri itu? Apa ciri-ciri manusia tanpa ciri? Oleh Ki Ageng
Suryomentaram, manusia tanpa ciri adalah manusia yang merdeka, yang
berkepribadian sehat, bahagia, sejahtera, dan berguna bagi orang lain. Mengapa
manusia pada tingkat ukuran keempat atau dimensi keempat ini dikatakan
merdeka? Karena kramadangsa atau ego sudah tidak lagi menjadi budak atau
pesuruh bagi semua catatannya meskipun ia masih juga menggunakan catatan-
catatan tersebut sebagai yang perlu dipertimbangkan. Kramadangsa yang sudah
tidak lagi diikat oleh catatan-catatan yang ada hilang dengan sendirinya dan
berubah menjadi manusia tanpa ciri, yang ciri-cirinya adalah tidak berkepentingan
atau terbebas dari rasa suka dan rasa benci serta rasa memiliki, yakni rasa mencari
aman dan abadi di dalam salah satu kebutuhan.Hilangnya kramadangsa menjadi
12
indikator munculnya kesadaran bahwa dirinya harus menghilangkan rasa
sewenang-wenang.
Agar rasa kasih itu lahir, kramadangsa haruslah mati dahulu. Padahal matinya
kramadangsa itu bila diketahui kesewenangannya tanpa maksud untuk
mengubah.Bila ada maksud untuk mengubah, berarti kramadangsa masih hidup,
sebab yang bermasud untuk mengubah adalah kramadangsa.
Pelajaran yang dapat diambil yaitu penuh kasih sayang, tidak semena-mena
terhadap orang lain, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dicerminkan dengan
mampu hidup berdampingan secara baik dengan sesamanya. Ki Ageng
Suryamentaram juga mengajarkan untuk mengutamakan kepentingan umum diatas
13
kepentingan pribadi melalui bab ukuran keempat untuk mengembangkan hidup
guyub rukun, dan damai.
Dalam pelajaran Kawruh Jiwa juga tidak ada keharusan untuk melakukan atau
menolak sesuatu (dede lelampahan utawi sirikan). Dengan belajar Kawruh Jiwa,
diharapkan seseorang dapat hidup jujur, tulus, percaya diri (tatag), tentram, tenang,
penuh kasih sayang, mampu hidup berdampingan secara baik dengan sesamanya
dan alam lingkungannya, serta penuh rasa damai. Keadaan tersebut akan
mengantarkan seseorang kepada kehidupan yang bahagia sejati, tidak tergantung
pada tempat, waktu, dan keadaan (mboten gumantung papan, wekdal lan
kawontenan).
14
2.5 Implementasi Kawruh Pamomong Ki Ageng Suryomentaram pada Anak
Usia Dini
1. Mengajarkan anak untuk sumerep (memahami dan mengerti) terhadap
barang yang benar agar bisa berpikir benar. Salah satu kegiatannya adalah
mengajarkan anak untuk berani. Seperti berani bertanya dan bercerita di
depan kelas ketika diminta guru untuk bercerita. Sehingga harapannya
adalah anak sejak dini dilatih untuk berani mengungkapkan apa yang
dipikirkan atau dirasakan. Guru mempersilahkan satu persatu murid untuk
bercerita dan bertanya sebelum pembelajaran dimulai.
2. Menumbuhkan rasa cinta kasih terhadap sesama.
Misalnya guru atau orang tua tidak melampiaskan rasa amarahnya kepada
anak, jika anak melakukan kesalahan yang tidak berkenan dalam hatinya.
Seperti ketika murid yang bersikap hiperaktif dalam kegiatan pembelajaran,
guru memberikan pengertian jika hal-hal yang dilakukan anak yang
berkaitan dengan barang yang bisa membahayakan anak itu sendiri
dijelaskan dengan baik.
3. Mencintai keindahan.
Sumber untuk mendapatkan dan mempelajari keindahan melalui perantara
Panca Indera. Salah satunya adalah lidah. Misalnya kegiatan yang bertema
tanaman, di sini guru menjelaskan pentingnya mengonsumsi tanaman
seperti sayuran dan mengajari anak merawat tanaman di sekitar rumah.
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
17