Secara bahasa qadar berasal dari kata qaddara yuqaddiru taqdiiran, sedangkan qadha berasal
dari qadhaa yaqdhii qadhaa-an wa taqdhiyyatan yang berarti:
َسائِ ِلين َ اركَ فِي َها َوقَد ََّر فِي َها أ َ ْق َوات َ َها فِي أ َ ْربَعَ ِة أَيَّ ٍام
َّ س َوا ًء ِلل َ َس َي ِم ْن فَ ْوقِ َها َوب
ِ َو َجعَ َل فِي َها َر َوا
“Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia
memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya
dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.”
(Fushilat, 41: 10)
سانًا ِإ َّما يَ ْبلُغَنَّ ِع ْندَكَ ا ْل ِكبَ َر أ َ َح ُد ُه َما أ َ ْو ِك ََلهُ َما فَ ََل تَقُ ْل لَ ُه َما
َ َْوقَضَى َربُّكَ أ َ ََّل ت َ ْعبُدُوا ِإ ََّل ِإيَّاهُ َو ِبا ْل َوا ِل َد ْي ِن ِإح
ف َو ََل ت َ ْن َه ْرهُ َما َوقُ ْل لَ ُه َما قَ ْو ًَل ك َِري ًما ٍ ُأ
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang
di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah
kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Al-
Israa, 17:23)
َصبِ ِحين
ْ ع ُم ُ ض ْينَا إِلَ ْي ِه ذَ ِلكَ ْاْل َ ْم َر أَنَّ دَابِ َر َهؤ ََُل ِء َم ْق
ٌ طو َ ََوق
“Dan telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan
ditumpas habis di waktu subuh.” (Al-Hijr, 15: 66)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata tentang qadha dan qadar: “Para ulama’
berbeda pendapat tentang perbedaan antara kedua istilah tersebut. Sebagian mengatakan
bahwa Qadar adalah kententaun Allah sejak zaman azali (zaman yang tak ada awalnya),
sedangkan Qadha’ adalah ketetapan Allah terhadap sesuatu pada waktu terjadi.” Beliau
kemudian menegaskan: “Pendapat yang dianggap rajih (unggul/kuat) adalah bahwa kedua
istilah tersebut bila dikumpulkan (Qadar-Qadha’), maka mempunyai makna berbeda, tapi
bila dipisahkan antara satu dengan yang lain maka mempunyai makna yang sama.” (Lihat:
kitab Al-Qadha’ wal Qadar).
Makna beriman kepada qadha dan qadar adalah beriman kepada pengetahuan Allah yang
Maha Dahulu dan beriman kepada kehendak Allah yang telah terjadi serta kekuasaanNya
yang menyeluruh ( )اإليمان بعلم هللا القديم واإليمان بمشيئة هللا النافذة وقدرته الشاملةatau beriman kepada
pengetahuan Allah yang Maha Dahulu dan sesungguhnya Dia mengetahui amal perbuatan
para hamba sebelum dilakukan oleh mereka.
1. Beriman kepada ilmu Allah yang Maha Dahulu bahwa Dia mengetahui perbuatan-
perbuatan hamba-hambaNya sebelum perbuatan-perbuatan tersebut dilakukannya.
2. Beriman kepada catatan tentang hal tersebut di Lauh Mahfuzh.
3. Beriman kepada kehendak Allah yang telah terjadi dan kekuasaanNya yang
menyeluruh
4. Beriman kepada ciptaan Allah terhadap setiap makhluk dan bahwa Dia adalah Khalik
sedang selainnya adalah makhluk.
Beriman kepada qadha dan qadar merupakan salah satu rukun iman, dimana tidaklah
sempurna dan sah iman seseorang kecuali beriman kepada perkara ini. Ibnu Abbas pernah
berkata, “Qadar adalah nidzam (aturan) tauhid. Barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan
beriman kepada qadar, maka tauhidnya sempurna. Dan barangsiapa yang mentauhidkan
Allah dan mendustakan qadar, maka pendustaannya itu merusakkan tauhidnya” (Majmu’
Fataawa Syaikh al-Islam, 8/258).
Oleh karena itu, iman kepada qadha dan qadar ini merupakan faridhah dan kewajiban yang
harus dilakukan setiap muslim dan mukmin. Hal ini berdasarkan beberapa ayat al-Qur’an dan
hadits berikut ini.
Dalil-dalil Al-Qur’an:
ٍ َُوإِ ْن ِم ْن ش َْيءٍ إِ ََّل ِع ْن َدنَا َخ َزائِنُهُ َو َما نُنَ ِزلُهُ إِ ََّل بِقَد ٍَر َم ْعل
وم
“Dan tidak ada sesuatu pun, melainkan pada sisi Kamilah khazanahnya; Kami tidak
menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” (Al-Hijr, 15:21)
ِ َّ سنَةٌ يَقُولُوا َه ِذ ِه ِم ْن ِع ْن ِد
َّللا َوإِ ْن َ أ َ ْينَ َما ت َكُونُوا يُد ِْر ُك ُك ُم ا ْل َم ْوتُ َولَ ْو ُك ْنت ُ ْم فِي بُ ُروجٍ ُم
َ شيَّ َد ٍة َوإِ ْن ت ُ ِص ْب ُه ْم َح
ِ َّ سيِئ َةٌ يَقُولُوا َه ِذ ِه ِم ْن ِع ْن ِدكَ قُ ْل ُك ٌّل ِم ْن ِع ْن ِد
َّللا فَ َما ِل َهؤ ََُل ِء ا ْلقَ ْو ِم ََل يَكَا ُدونَ يَ ْفقَ ُهونَ َحدِيثًا َ ت ُ ِص ْب ُه ْم
“Dimanapun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di
dalam benteng yang tinggi dan kokoh. Jika mereka memperoleh kebaikan, mereka
mengatakan, ‘Ini dari sisi Allah’, dan jika mereka ditimpa suatu keburukan mereka
mengatakan, ‘Ini dari engkau (Muhammad)’. Katakanlah, ‘Semuanya (datang) dari sisi
Allah’. Maka mengapa orang-orang itu (orang-orang munafik) hampir-hampir tidak
memahami pembicaraan (sedikit pun).” (4:78)
Dalil-dalil As-Sunnah:
“dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk“ (H.R. Muslim)
َ َو ِإ ْن اجْ ت َ َمعُوا. َعلَى أ َ ْن يَ ْنفَعُوكَ بِش َْيءٍ لَ ْم يَ ْنفَعُوكَ ِإَلَّ ِبش َْيءٍ قَ ْد َكتَبَهُ هللاُ لَك
علَى َ َْوا ْعلَ ْم أَنَّ اْْل ُ َّمةَ لَ ْو اجْ ت َ َمعَت
ف ُ ص ُح ُّ ت ال ِ َّ َو َجف، ُرفِعَتْ اْْل َ ْقَلَ ُم. َعلَ ْيك
َ ُلَ ْم يَض ُُّروكَ ِإَلَّ ِبش َْيءٍ قَ ْد َكتَبَهُ هللا ٍأ َ ْن يَض ُُّروكَ بِش َْيء
“…dan ketahuilah jika umat bersatu padu untuk memberi manfaat kepadamu dengan
sesuatu, maka tidak akan sampai manfaat itu kecuali yang telah ditetapkan Allah untukmu;
jika mereka bersatu padu untuk mencelakaimu, maka engkau tidak akan celaka kecuali yang
telah ditetapkan Allah untukmu. Pena sudah diangkat dan lembaran catatan sudah kering.”
(HR. Tirmidzi)
Beriman kepada qadha dan qadar berarti mengimani rukun-rukunnya. Rukun-rukun ini ibarat
satuan-satuan anak tangga yang harus dinaiki oleh setiap mukmin. Dan tidak akan pernah
seorang mukmin mencapai tangga kesempurnaan iman terhadap qadar kecuali harus meniti
satuan anak tangga tersebut.
Iman terhadap qadha dan qadar memiliki empat rukun sebagai berikut.
Pertama, Ilmu Allah Ta’ala (Al-Ilmu). Beriman kepada qadha dan qadar berarti harus
beriman kepada Ilmu Allah yang merupakan deretan sifat-sifat-Nya sejak azali. Dia
mengetahui segala sesuatu. Tidak ada makhluk sekecil apa pun di langit dan di bumi ini yang
tidak Dia ketahui. Dia mengetahui seluruh makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan. Dia
juga mengetahui kondisi dan hal-ihwal mereka yang sudah terjadi dan yang akan terjadi di
masa yang akan datang oleh karena ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. Dialah
Tuhan Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata.
Hal ini bisa kita temukan dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits nabi berikut ini.
َِّير َوأَن
ٌ علَى ك ُِل ش َْيءٍ قَد َّ َّض ِمثْلَ ُهنَّ يَتَنَ َّز ُل ْاْل َ ْم ُر بَ ْينَ ُهنَّ ِلت َ ْعلَ ُموا أَن
َ ََّللا ِ ت َو ِمنَ ْاْل َ ْر
ٍ اوا
َ س َم
َ س ْب َع َ ََّللاُ الَّذِي َخل
َ ق َّ
َّللاَ قَ ْد أ َ َحا َط ِبك ُِل ش َْيءٍ ِع ْل ًما َّ
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku
padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan
sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (At-Thalaq, 65: 12)
َّ ش َها َد ِة ُه َو
َّ ُالرحْ َمن
الر ِحي ُم ِ َّللاُ الَّذِي ََل إِلَهَ إِ ََّل ُه َو عَا ِل ُم ا ْلغَ ْي
َّ ب َوال َّ ُه َو
“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata,
Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (59: 22)
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya
kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada
sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir
biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan
tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” (Al-An’am, 6: 59)
Kedua, Penulisan Takdir (Al-Kitabah). Di sini mukmin harus beriman bahwa Allah Ta’ala
menulis dan mencatat takdir atau ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kehidupan
manusia dan sunnah kauniah yang terjadi di bumi di Lauh Mahfuzh—“buku catatan yang
dijaga”. Tidak ada suatu apa pun yang terlupakan oleh-Nya. Perhatikan beberapa ayat di
bawah ini.
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang
dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan
sesuatu pun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (Al-An’am,
6: 38)
ُ ُ ب َو َماذَا أ َ ْكت
ا ُ ْكت ُ ْب َمقَا ِد ْي َر ُك ِل ش َْيءٍ َحتَّى تَقُ ْو َم:َب؟ قَال َ َِإنَّ أ َ َّو َل َما َخل
ِ َر:َ ا ُ ْكت ُ ْب! قَال:ُ قَا َل لَه،ق هللاُ ا ْلقَلَ َم
ُساعَة َّ ال
“Yang pertama kali diciptakan Allah adalah pena (al-qalam). Kemudian Dia berfirman
kepadanya, ‘Tulislah….’ Ia bertanya, ‘Rabb, apa yang harus aku tulis?’ Dia berfirman,
‘Tulislah ketetapan-ketetapan tentang segala sesuatu (apa yang ada dan yang bakal ada)
sampai hari kiamat.” (HR Ahmad)
Ketiga, Masyi`atullah (Kehendak Allah) dan Qudrat (Kekuasaan Allah). Seorang mukmin
yang telah mengimani qadha dan qadar harus mengimani masyi`ah (kehendak) Allah dan
kekuasaan-Nya yang menyeluruh. Apa pun yang Dia kehendaki pasti terjadi meskipun
manusia tidak menginginkannya. Begitu pula sebaliknya, apa pun yang tidak dikehendaki
pasti tidak akan terjadi meskipun manusia memohon dan menghendakinya. Hal ini bukan
dikarenakan Dia tidak mampu,melainkan karena Dia tidak menghendakinya. Allah
Ta’ala berfirman,
Adapun dalil-dalil tentang masyi`atullah sangat banyak kita temukan dalam Al-Qur’an, di
antaranya sebagai berikut.
َب ا ْلعَالَ ِمين َّ َو َما ت َشَا ُءونَ إِ ََّل أ َ ْن يَشَا َء
ُّ َّللاُ َر
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki
Allah, Tuhan semesta alam.” (81: 29)
ٍ ست َ ِق
يم َ ُض ِل ْلهُ َو َم ْن يَشَأ ْ يَ ْجعَ ْله
ْ علَى ِص َراطٍ ُم ْ َُّللاُ ي َ َت َم ْن ي
َّ ش ِأ ُ َوالَّ ِذينَ َكذَّبُوا ِبآيَا ِتنَا
ِ ص ٌّم َوبُ ْك ٌم ِفي ال ُّظلُ َما
“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu dan berada dalam
gelap gulita. Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya.
Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia
menjadikan-Nya berada di atas jalan yang lurus.” (Al-An’am, 6: 39)
Simaklah apa jawaban Imam Syafi’i ketika ditanya tentang qadar berikut ini.
“Maka, apa-apa yang Engkau kehendaki pasti terjadi meskipun aku tidak berkehendak
Dan apapun yang aku kehendaki—apabila Engkau tidak berkehendak—tidak akan pernah
ada
Maka dalam (bingkai) ilmu ini, lahirlah pemuda dan orang tua renta
Kepada (hamba) ini, Engkau telah memberikan karunia dan kepada yang ini Engkau hinakan
Yang ini Engkau tolong dan yang ini Engkau biarkan (tanpa pertolongan)
Maka, dari mereka ada yang celaka dan sebagian mereka ada yang beruntung
Dari mereka ada yang jahat dan sebagian mereka ada yang baik
Keempat, Penciptaan-Nya (Al-Khalqu). Ketika beriman terhadap qadha dan qadar, seorang
mukmin harus mengimani bahwa Allah-lah pencipta segala sesuatu, tidak ada Khaliq selain-
Nya dan tidak ada Rabb semesta alam ini selain Dia. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut
ini:
ِ ت َو ْاْل َ ْر
َ َض َولَ ْم يَت َّ ِخ ْذ َولَدًا َولَ ْم يَك ُْن لَهُ ش َِريكٌ فِي ا ْل ُم ْل ِك َو َخل
ُق ُك َّل ش َْيءٍ فَقَد ََّره ِ اوا َّ الَّذِي لَهُ ُم ْلكُ ال
َ س َم
ً ت َ ْقد
ِيرا
“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan
tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu,
dan Dia menetapkan ukuran-ukuranya dengan serapi-rapinya.”(Al-Furqan, 25: 2)
Inilah empat rukun beriman kepada qadha dan qadar yang harus diyakini setiap muslim.
Maka, apabila salah satu di antara empat ini diabaikan atau didustakan, niscaya ia tidak akan
pernah sampai kepada gerbang keimanan yang sesungguhnya. Sebab, mendustakan satu di
antara empat rukun tersebut berarti merusak bangunan iman terhadap qadha dan qadar, dan
ketika bangunan iman terhadap qadar rusak, maka akan menimbulkan pula kerusakan pada
bangunan tauhid itu sendiri.
Macam-macam Takdir
Takdir ada empat macam. Namun, semuanya kembali kepada takdir yang ditentukan pada
zaman azali dan kembali kepada Ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu. Keempat macam
takdir tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, Takdir Umum (Takdir Azali). Takdir yang meliputi segala sesuatu dalam lima
puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Di saat Allah Ta’ala
memerintahkan al-Qalam (pena) untuk menuliskan segala sesuatu yang terjadi dan yang
belum terjadi sampai hari kiamat. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini.
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Al-Hadid, 57: 22)
Kedua, Takdir Umuri. Yaitu takdir yang diberlakukan atas manusia pada awal penciptaannya
ketika pembentukan air sperma (usia empat bulan) dan bersifat umum. Takdir ini mencakup
rizki, ajal, kebahagiaan, dan kesengsaraan. Hal ini didasarkan sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berikut ini.
َ ش ِق ٌّي أ َ ْو
س ِع ْي ٌد َ َو، َوأ َ َج ِل ِه،ب ِر ْز ِق ِه
َ َو،ع َم ِل ِه ِ ْ ِب َكت:ٍ َويُؤْ َم ُر ِبأ َ ْربَ ِع َك ِل َمات،َالر ْوح َ ث ُ َّم يُ ْر
ُّ س ُل ِإلَ ْي ِه ا ْل َملَكُ فيَ ْنفُ ُخ ِف ْي ِه
“…Kemudian Allah mengutus seorang malaikat yang diperintahkan untuk meniupkan ruhnya
dan mencatat empat perkara: rizki, ajal, sengsara, atau bahagia… .” (HR Bukhari)
Ketiga, Takdir Samawi. Yaitu takdir yang dicatat pada malam Lailatul Qadar setiap tahun.
Perhatikan firman Allah Ta’ala berikut ini:
Ahli tafsir menyebutkan bahwa pada malam itu dicatat dan ditulis semua yang akan terjadi
dalam setahun, mulai dari kebaikan, keburukan, rizki, ajal, dan lain-lain yang berkaitan
dengan peristiwa dan kejadian dalam setahun. Hal ini sebelumnya telah dicatat pada Lauh
Mahfudz.
Keempat, Takdir Yaumi. Yaitu takdir yang dikhususkan untuk semua peristiwa yang akan
terjadi dalam satu hari; mulai dari penciptaan, rizki, menghidupkan, mematikan, mengampuni
dosa, menghilangkan kesusahan, dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan firman Allah,
Ketiga takdir yang terakhir tersebut, kembali kepada takdir azali: takdir yang telah ditentukan
dan ditetapkan dalam Lauh Mahfudz.
ب َحتَّى َ ع فِي ا ْلقَد َِر فَغَ ِض ُ ازَ َسلَّ َم َونَحْ نُ نَتَن َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ َّللا
ِ َّ سو ُل ُ علَ ْينَا َرَ ع َْن أَبِي ُه َر ْي َرةَ قَا َل َخ َر َج
َس ْلتُ إِلَ ْي ُك ْم إِنَّ َما َهلَكَ َم ْن كَانِ الر َّمانُ فَقَا َل أَبِ َهذَا أ ُ ِم ْرت ُ ْم أ َ ْم بِ َهذَا أ ُ ْر
ُّ ئ فِي َوجْ نَت َ ْي ِه َ احْ َم َّر َوجْ ُههُ َحتَّى كَأَنَّ َما فُ ِق
ازعُوا ِفي ِه َ َعلَ ْي ُك ْم أ َ ََّل تَتَنَ ُازعُوا ِفي َهذَا ْاْل َ ْم ِر ع ََز ْمت َ َقَ ْبلَ ُك ْم ِحينَ تَن
Dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menemui
kami sementara kami sedang berselisih dalam masalah taqdir, kemudian beliau marah
hingga wajahnya menjadi merah sampai seakan akan pipinya seperti buah delima yang
dibelah, lalu beliau bertanya, ‘Apakah kalian diperintahkan seperti ini atau apakah aku
diutus kepada kalian untuk masalah ini? Sesungguhnya binasanya orang-orang sebelum
kalian adalah lantaran perselisihan mereka dalam perkara ini. Karena itu, aku tekankan
pada kalian untuk tidak berselisih dalam masalah ini.'” (HR. Tirmidzi)
Abdul Malik bin harun bin ‘Antharah mendapatkan riwayat dari bapaknya dari kakeknya,
beliau berkata: “Seseorang mendatangi Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, lalu
bertanya: ‘Beritahukan kepadaku tentang takdir?’, beliau menjawab: ‘Jalan yang gelap
janganlah engkau jalani’, orang ini mengulangi pertanyaannya: ‘Beritahukan kepadaku
tentang takdir?’, dijawab oleh beliau: ‘Laut yang dalam maka janganlah engkau menyelam ke
dalamnya’, orang ini mengulangi pertanyaannya, ‘Beritahukan kepadaku tentang takdir?’
Beliau menjawab: ‘Rahasia Allah maka jangan engkau membebani dirimu’”. (Lihat kitab
Asy Syari’ah, karya Al Ajurry, 1/476).
Berkata Imam Thahawi, “Prinsip qadar adalah rahasia Allah terhadap makhlukNya yang
tidak diketahui rahasia tersebut oleh malaikat yang terdekat dan juga oleh Nabi yang diutus.
Terlalu memperdalam masalah ini akan mengantarkan sikap pasifisme, tangga yang
menghalangi hidayah dan sederajat dengan orang yang melampaui batas. Sebagaimana
firman Allah,
Muhammad bin Wasi’ (seorang tabi’in) pernah ditanya oleh Bilal bin Abi Burdah (Wali
Bashrah): “Bagaimana pendapatmu tentang qadha’ dan qadar, wahai Abu Abdillah?” Maka
beliau menjawab dengan jawaban yang singkat padat tegas: “Wahai Amir, Allah Ta’ala tidak
akan menanyai hambaNya tentang qadha’ dan qadar pada hari kiamat nanti. Namun Dia
akan bertanya tentang amal mereka.”
Allah menolak argumentasi orang-orang musyrik dengan alasan qadar Allah dan
kehendakNya terhadap kemusyrikan dan kemaksiyatan mereka. Firman Allah,
َ ََّّللاُ َما أَش َْر ْكنَا َو ََل آبَا ُؤنَا َو ََل َح َّر ْمنَا ِم ْن ش َْيءٍ َكذَ ِلكَ َكذ
ب الَّ ِذينَ ِم ْن قَ ْب ِل ِه ْم َحتَّى َّ سيَقُو ُل الَّ ِذينَ أ َش َْركُوا لَ ْو شَا َء َ
ُصونَ قُ ْل فَ ِللَّ ِه ا ْل ُح َّجة ْ َ َّ ُ ْ َ ْ َّن َّ َّ َون َّ َ ْ َ َ ْ ُ َ ْ ْ
ُ سنا ق ْل ه ْل ِعن َد ُك ْم ِمن ِعل ٍم فتخ ِر ُجوهُ لنا إِن تتبِعُ إَِل الظ َوإِن أنت ْم إَِل تخ ُر ْ َ ُ َ ْ
َ ذاقوا بَأ ُ َ
َا ْلبَا ِلغَةُ فَلَ ْو شَا َء لَ َهدَا ُك ْم أَجْ َم ِعين
“Orang-orang musyrik akan berkata, “Jika Allah menghendaki, tentu kami tidak akan
mempersekutukanNya, begitu pula nenek moyang kami, dan kami tidak akan mengharamkan
apa pun.” Demikian pula orang-orang sebelum mereka yang telah mendustakan (para Rasul)
sampai mereka merasakan azab Kami. Katakanlah, “Apakah kamu mempunyai pengetahuan
yang dapat kamu kemukakan kepada kami? Yang kamu ikuti hanya persangkaan belaka, dan
kamu hanya mengira.” Katakanlah, “Alasan yang kuat hanya pada Allah. Maka kalau Dia
menghendaki, niscaya kamu semua mendapat petunjuk.” (Al-An’am, 6:148-149)
Batalnya berhujjah dengan taqdir dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah di dalam bukunya
Majmu’atur Rasail Libni Taimiyah: Al-Qadha wal-Qadar wal-Ihtijaaju bil Qodri sebagai
berikut:
Sesungguhnya iman kepada qadar adalah wajib sebagaimana berusaha juga wajib. Keduanya
tidak saling menghilangkan. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya beriman
kepada qadha dan qadar akan tetapi mereka tidak meninggalkan usaha.
Hidayah adalah qadar dari qadar-qadar Allah untuk manusia. Allah memberi hidayah kepada
siapa yang dikehendaki dan menyesatkan orang yang dikehendaki. Dengan pengetahuan
seperti ini Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya mendakwahi manusia kepada
Allah, berjihad dan terbunuh (berperang) di jalanNya.
Rizki juga merupakan qadar dari qadar-qadar Allah. Dengan pengetahuan seperti ini mereka
bekerja dalam mencari rizki. Kesehatan dan sakit adalah qadar dari qadar-qadar Allah.
Dengan keyakinan ini Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang-orang
beriman untuk berobat.
Muslim yang meyakini akan qadha dan qadar Allah Ta’ala secara benar akan melahirkan
buah-buah positif dalam kehidupannya. Ia tidak akan pernah frustrasi atas kegagalan atau
harapan-harapan yang lari darinya, dan ia tidak terlalu berbangga diri atas kenikmatan dan
karunia yang ada di genggamannya. Sabar dan syukur adalah dua senjata dalam menghadapi
setiap permasalahan hidup.
Umar Sulaiman al-Asyqar dalam kitab Al-Qadha wa Al-Qadar dan DR. Muhammad Nu’aim
Yasin dalam bukunya Al-Iman: Arkanuhu, Haqiqatuhu, wa Nawaqidhuhu menyimpulkan
buah beriman terhadap qadar sebagai berikut.
Pertama, jalan yang membebaskan kesyirikan. Dia mengetahui bahwa segala urusan ada di
Tangan Pencipta langit dan bumi dengan segala isinya. Bagaimana ia akan tunduk kepada
hamba yang terbuat dari tanah? Ibnu Rajab mengatakan, “Barangsiapa yang memahami
dengan jelas bahwa setiap makhluk yang ada di atas tanah adalah tanah, maka tidak akan
mendahulukan ketaatan kepada tanah dari pada kepada Rabbnya “tuhan-tuhan” itu.
Bagaimana ia membuat senang tanah dengan membuat murka Raja Yang Maha Pemberi?
Sungguh ini sesuatu yang aneh.”
Keempat, sabar dalam menghadapi segala problematika kehidupan. Karena jiwa yang
beriman itu mengetahui bahwa Allah yang telah menentukan kebaikan dan keburukan itu
Maha Bijaksana dan Maha Penyayang. Karenanya, ia tidak congkak saat mendapat satu
kenikmatan dan tidak akan berkeluh kesah manakal mendapat musibah. Ia akan senantiasa
bersyukur saat mendapatkan kebahagiaan dan bersabar ketika mendapatkan penderitaan.
Segala urusannya menjadi kebajikan sebagaimana sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad tentang kondisi seorang mukmin (yang telah
dikemukakan di atas, red.)
Kelima, berani dan siap berkorban, sebagaimana ungkapan Salman Al-Farisi ketika ditanya
tentang makna ”hingga kamu beriman kepada qadar”, beliau menjawab, ”Hingga kamu
berimana kepada qadar adalah kamu mengetahui bahwa yang tidak ditetapkan bagimu tidak
akan menimpamu dan apa yang akan menimpamu tidak akan meleset.