Anda di halaman 1dari 12

Iman kepada qadha dan qodar

Definisi Qadha dan Qadar

Secara bahasa qadar berasal dari kata qaddara yuqaddiru taqdiiran, sedangkan qadha berasal
dari qadhaa yaqdhii qadhaa-an wa taqdhiyyatan yang berarti:

 Penentuan. Pengertian ini bisa kita lihat dalam ayat:

َ‫سائِ ِلين‬ َ ‫اركَ فِي َها َوقَد ََّر فِي َها أ َ ْق َوات َ َها فِي أ َ ْربَعَ ِة أَيَّ ٍام‬
َّ ‫س َوا ًء ِلل‬ َ َ‫س َي ِم ْن فَ ْوقِ َها َوب‬
ِ ‫َو َجعَ َل فِي َها َر َوا‬

“Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia
memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya
dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.”
(Fushilat, 41: 10)

 Pemutusan, hukuman. Pengertian ini terdapat di ayat:

ُ ‫س ِمي ُع ا ْلبَ ِص‬


‫ير‬ َّ َّ‫عونَ ِم ْن دُونِ ِه ََل يَ ْقضُونَ بِش َْيءٍ ِإن‬
َّ ‫َّللاَ ُه َو ال‬ ِ ‫َّللاُ يَ ْق ِضي ِبا ْل َح‬
ُ ‫ق َوالَّ ِذينَ يَ ْد‬ َّ ‫َو‬
“Dan Allah memutuskan dengan kebenaran. Sedangkan mereka yang disembah selainNya
tidak mampu memutuskan dengan sesuatu apa pun. Sesungguhnya Allah, Dialah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.” (Al-Mu’min, 40:20)

 Perintah, kita bisa temukan pengertian ini pada ayat:

‫سانًا ِإ َّما يَ ْبلُغَنَّ ِع ْندَكَ ا ْل ِكبَ َر أ َ َح ُد ُه َما أ َ ْو ِك ََلهُ َما فَ ََل تَقُ ْل لَ ُه َما‬
َ ْ‫َوقَضَى َربُّكَ أ َ ََّل ت َ ْعبُدُوا ِإ ََّل ِإيَّاهُ َو ِبا ْل َوا ِل َد ْي ِن ِإح‬
‫ف َو ََل ت َ ْن َه ْرهُ َما َوقُ ْل لَ ُه َما قَ ْو ًَل ك َِري ًما‬ ٍ ُ‫أ‬

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan
hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang
di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah
kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Al-
Israa, 17:23)

 Pemberitaan, bisa kita temukan dalam ayat:

َ‫صبِ ِحين‬
ْ ‫ع ُم‬ ُ ‫ض ْينَا إِلَ ْي ِه ذَ ِلكَ ْاْل َ ْم َر أَنَّ دَابِ َر َهؤ ََُل ِء َم ْق‬
ٌ ‫طو‬ َ َ‫َوق‬

“Dan telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan
ditumpas habis di waktu subuh.” (Al-Hijr, 15: 66)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata tentang qadha dan qadar: “Para ulama’
berbeda pendapat tentang perbedaan antara kedua istilah tersebut. Sebagian mengatakan
bahwa Qadar adalah kententaun Allah sejak zaman azali (zaman yang tak ada awalnya),
sedangkan Qadha’ adalah ketetapan Allah terhadap sesuatu pada waktu terjadi.” Beliau
kemudian menegaskan: “Pendapat yang dianggap rajih (unggul/kuat) adalah bahwa kedua
istilah tersebut bila dikumpulkan (Qadar-Qadha’), maka mempunyai makna berbeda, tapi
bila dipisahkan antara satu dengan yang lain maka mempunyai makna yang sama.” (Lihat:
kitab Al-Qadha’ wal Qadar).

Ma’na Beriman Kepada Qadha dan Qadar

Makna beriman kepada qadha dan qadar adalah beriman kepada pengetahuan Allah yang
Maha Dahulu dan beriman kepada kehendak Allah yang telah terjadi serta kekuasaanNya
yang menyeluruh (‫ )اإليمان بعلم هللا القديم واإليمان بمشيئة هللا النافذة وقدرته الشاملة‬atau beriman kepada
pengetahuan Allah yang Maha Dahulu dan sesungguhnya Dia mengetahui amal perbuatan
para hamba sebelum dilakukan oleh mereka.

Beriman kepada Qadha dan Qadar menurut Ibnu Taimiyah mencakup:

1. Beriman kepada ilmu Allah yang Maha Dahulu bahwa Dia mengetahui perbuatan-
perbuatan hamba-hambaNya sebelum perbuatan-perbuatan tersebut dilakukannya.
2. Beriman kepada catatan tentang hal tersebut di Lauh Mahfuzh.
3. Beriman kepada kehendak Allah yang telah terjadi dan kekuasaanNya yang
menyeluruh
4. Beriman kepada ciptaan Allah terhadap setiap makhluk dan bahwa Dia adalah Khalik
sedang selainnya adalah makhluk.

Dalil-dalil Wajibnya Beriman Kepada Qadha dan Qadar

Beriman kepada qadha dan qadar merupakan salah satu rukun iman, dimana tidaklah
sempurna dan sah iman seseorang kecuali beriman kepada perkara ini. Ibnu Abbas pernah
berkata, “Qadar adalah nidzam (aturan) tauhid. Barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan
beriman kepada qadar, maka tauhidnya sempurna. Dan barangsiapa yang mentauhidkan
Allah dan mendustakan qadar, maka pendustaannya itu merusakkan tauhidnya” (Majmu’
Fataawa Syaikh al-Islam, 8/258).

Oleh karena itu, iman kepada qadha dan qadar ini merupakan faridhah dan kewajiban yang
harus dilakukan setiap muslim dan mukmin. Hal ini berdasarkan beberapa ayat al-Qur’an dan
hadits berikut ini.

Dalil-dalil Al-Qur’an:

َ‫َّللا فَ ْليَت َ َو َّك ِل ا ْل ُمؤْ ِمنُون‬


ِ َّ ‫علَى‬
َ ‫َّللاُ لَنَا ُه َو َم ْو ََلنَا َو‬
َّ ‫ب‬ َ َ ‫قُ ْل لَ ْن يُ ِصيبَنَا إِ ََّل َما َكت‬
“Katakanlah, ‘Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi
kami. Dialah pelindung kami, dan hanya kepada Allah bertawakkalah orang-orang yang
beriman.” (At-Taubah, 9:51).

ٍ ُ‫َوإِ ْن ِم ْن ش َْيءٍ إِ ََّل ِع ْن َدنَا َخ َزائِنُهُ َو َما نُنَ ِزلُهُ إِ ََّل بِقَد ٍَر َم ْعل‬
‫وم‬

“Dan tidak ada sesuatu pun, melainkan pada sisi Kamilah khazanahnya; Kami tidak
menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” (Al-Hijr, 15:21)
ِ َّ ‫سنَةٌ يَقُولُوا َه ِذ ِه ِم ْن ِع ْن ِد‬
‫َّللا َوإِ ْن‬ َ ‫أ َ ْينَ َما ت َكُونُوا يُد ِْر ُك ُك ُم ا ْل َم ْوتُ َولَ ْو ُك ْنت ُ ْم فِي بُ ُروجٍ ُم‬
َ ‫شيَّ َد ٍة َوإِ ْن ت ُ ِص ْب ُه ْم َح‬
ِ َّ ‫سيِئ َةٌ يَقُولُوا َه ِذ ِه ِم ْن ِع ْن ِدكَ قُ ْل ُك ٌّل ِم ْن ِع ْن ِد‬
‫َّللا فَ َما ِل َهؤ ََُل ِء ا ْلقَ ْو ِم ََل يَكَا ُدونَ يَ ْفقَ ُهونَ َحدِيثًا‬ َ ‫ت ُ ِص ْب ُه ْم‬
“Dimanapun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di
dalam benteng yang tinggi dan kokoh. Jika mereka memperoleh kebaikan, mereka
mengatakan, ‘Ini dari sisi Allah’, dan jika mereka ditimpa suatu keburukan mereka
mengatakan, ‘Ini dari engkau (Muhammad)’. Katakanlah, ‘Semuanya (datang) dari sisi
Allah’. Maka mengapa orang-orang itu (orang-orang munafik) hampir-hampir tidak
memahami pembicaraan (sedikit pun).” (4:78)

َ َ‫ب ِم ْن قَ ْب ِل أ َ ْن نَ ْب َرأ َ َها إِنَّ ذَ ِلك‬


ِ َّ ‫علَى‬
‫َّللا يَسِي ٌر‬ ِ ُ‫ض َو ََل فِي أ َ ْنف‬
ٍ ‫س ُك ْم إِ ََّل فِي ِكتَا‬ ِ ‫اب ِم ْن ُم ِصيبَ ٍة فِي ْاْل َ ْر‬
َ ‫ص‬َ َ ‫َما أ‬
“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah
tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh yang demikian
itu mudah bagi Allah.” (Al-Hadid, 57:22)

‫يض ْاْل َ ْر َحا ُم َو َما ت َ ْزدَا ُد َو ُك ُّل ش َْيءٍ ِع ْن َد ُه ِب ِم ْقد ٍَار‬


ُ ‫َّللاُ يَ ْعلَ ُم َما تَح ِْم ُل ُك ُّل أ ُ ْنثَى َو َما ت َ ِغ‬
َّ
“Allah mengetahui apa yang dikandung oleh setiap perempuan, apa yang kurang sempurna
dan apa yang bertambah dalam rahim. Dan segala sesuatu ada usuran di sisiNya.” (13:8)

Dalil-dalil As-Sunnah:

‫َوت ُؤْ ِمنَ ِبا ْلقَد َِر َخ ْي ِر ِه َوش َِر ِه‬

“dan engkau beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk“ (H.R. Muslim)

َ ‫ َو ِإ ْن اجْ ت َ َمعُوا‬. َ‫علَى أ َ ْن يَ ْنفَعُوكَ بِش َْيءٍ لَ ْم يَ ْنفَعُوكَ ِإَلَّ ِبش َْيءٍ قَ ْد َكتَبَهُ هللاُ لَك‬
‫علَى‬ َ ْ‫َوا ْعلَ ْم أَنَّ اْْل ُ َّمةَ لَ ْو اجْ ت َ َمعَت‬
‫ف‬ ُ ‫ص ُح‬ ُّ ‫ت ال‬ ِ َّ‫ َو َجف‬،‫ ُرفِعَتْ اْْل َ ْقَلَ ُم‬. َ‫علَ ْيك‬
َ ُ‫لَ ْم يَض ُُّروكَ ِإَلَّ ِبش َْيءٍ قَ ْد َكتَبَهُ هللا‬ ٍ‫أ َ ْن يَض ُُّروكَ بِش َْيء‬

“…dan ketahuilah jika umat bersatu padu untuk memberi manfaat kepadamu dengan
sesuatu, maka tidak akan sampai manfaat itu kecuali yang telah ditetapkan Allah untukmu;
jika mereka bersatu padu untuk mencelakaimu, maka engkau tidak akan celaka kecuali yang
telah ditetapkan Allah untukmu. Pena sudah diangkat dan lembaran catatan sudah kering.”
(HR. Tirmidzi)

Rukun-rukun Iman Kepada Qadha dan Qadar

Beriman kepada qadha dan qadar berarti mengimani rukun-rukunnya. Rukun-rukun ini ibarat
satuan-satuan anak tangga yang harus dinaiki oleh setiap mukmin. Dan tidak akan pernah
seorang mukmin mencapai tangga kesempurnaan iman terhadap qadar kecuali harus meniti
satuan anak tangga tersebut.

Iman terhadap qadha dan qadar memiliki empat rukun sebagai berikut.

Pertama, Ilmu Allah Ta’ala (Al-Ilmu). Beriman kepada qadha dan qadar berarti harus
beriman kepada Ilmu Allah yang merupakan deretan sifat-sifat-Nya sejak azali. Dia
mengetahui segala sesuatu. Tidak ada makhluk sekecil apa pun di langit dan di bumi ini yang
tidak Dia ketahui. Dia mengetahui seluruh makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan. Dia
juga mengetahui kondisi dan hal-ihwal mereka yang sudah terjadi dan yang akan terjadi di
masa yang akan datang oleh karena ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. Dialah
Tuhan Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata.

Hal ini bisa kita temukan dalam beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits nabi berikut ini.

َّ‫ِير َوأَن‬
ٌ ‫علَى ك ُِل ش َْيءٍ قَد‬ َّ َّ‫ض ِمثْلَ ُهنَّ يَتَنَ َّز ُل ْاْل َ ْم ُر بَ ْينَ ُهنَّ ِلت َ ْعلَ ُموا أَن‬
َ َ‫َّللا‬ ِ ‫ت َو ِمنَ ْاْل َ ْر‬
ٍ ‫اوا‬
َ ‫س َم‬
َ ‫س ْب َع‬ َ َ‫َّللاُ الَّذِي َخل‬
َ ‫ق‬ َّ
‫َّللاَ قَ ْد أ َ َحا َط ِبك ُِل ش َْيءٍ ِع ْل ًما‬ َّ
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku
padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan
sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” (At-Thalaq, 65: 12)

َّ ‫ش َها َد ِة ُه َو‬
َّ ُ‫الرحْ َمن‬
‫الر ِحي ُم‬ ِ ‫َّللاُ الَّذِي ََل إِلَهَ إِ ََّل ُه َو عَا ِل ُم ا ْلغَ ْي‬
َّ ‫ب َوال‬ َّ ‫ُه َو‬
“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata,
Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (59: 22)

‫ط ِم ْن َو َرقَ ٍة ِإ ََّل يَ ْعلَ ُم َها َو ََل َحبَّ ٍة‬ُ ُ ‫سق‬


ْ َ ‫ب ََل يَ ْعلَ ُم َها ِإ ََّل ُه َو َويَ ْعلَ ُم َما ِفي ا ْلبَ ِر َوا ْلبَحْ ِر َو َما ت‬
ِ ‫َو ِع ْن َد ُه َمفَاتِ ُح ا ْلغَ ْي‬
‫ين‬
ٍ ِ‫ب ُمب‬ٍ ‫ب َو ََل يَابِ ٍس ِإ ََّل فِي ِكتَا‬ ٍ ‫ض َو ََل َر ْط‬ ِ ‫ت ْاْل َ ْر‬
ِ ‫ظلُ َما‬ ُ ‫فِي‬

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya
kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada
sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir
biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan
tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” (Al-An’am, 6: 59)

Kedua, Penulisan Takdir (Al-Kitabah). Di sini mukmin harus beriman bahwa Allah Ta’ala
menulis dan mencatat takdir atau ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kehidupan
manusia dan sunnah kauniah yang terjadi di bumi di Lauh Mahfuzh—“buku catatan yang
dijaga”. Tidak ada suatu apa pun yang terlupakan oleh-Nya. Perhatikan beberapa ayat di
bawah ini.

َ َ‫ب ِم ْن قَ ْب ِل أ َ ْن نَ ْب َرأ َ َها إِنَّ ذَ ِلك‬


َّ ‫علَى‬
ِ‫َّللا‬ ِ ُ‫ض َو ََل فِي أ َ ْنف‬
ٍ ‫س ُك ْم إِ ََّل فِي ِكتَا‬ ِ ‫اب ِم ْن ُم ِصيبَ ٍة فِي ْاْل َ ْر‬ َ َ ‫َما أ‬
َ ‫ص‬
ٍ ‫ب ُك َّل ُم ْختَا ٍل فَ ُخ‬
‫ور‬ َّ ‫علَى َما فَات َ ُك ْم َو ََل ت َ ْف َر ُحوا ِب َما آتَا ُك ْم َو‬
ُّ ‫َّللاُ ََل يُ ِح‬ َ ْ ‫ِير ِل َك ْي ََل تَأ‬
َ ‫س ْوا‬ ٌ ‫يَس‬
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian
itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu
jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak
menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri,” (al-Hadiid: 22-23)

َ َ‫ب إِنَّ ذَ ِلك‬


ِ َّ ‫علَى‬
‫َّللا يَسِي ٌر‬ ِ ‫اء َو ْاْل َ ْر‬
ٍ ‫ض إِنَّ ذَ ِلكَ فِي ِكتَا‬ َّ َّ‫أَلَ ْم ت َ ْعلَ ْم أَن‬
َّ ‫َّللاَ يَ ْعلَ ُم َما فِي ال‬
ِ ‫س َم‬
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada
di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh
Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (22: 70)
ِ ‫ير بِ َجنَا َح ْي ِه إِ ََّل أ ُ َم ٌم أ َ ْمثَالُ ُك ْم َما فَ َّر ْطنَا فِي ا ْل ِكتَا‬
‫ب ِم ْن ش َْيءٍ ث ُ َّم إِلَى‬ ِ ‫َو َما ِم ْن دَابَّ ٍة فِي ْاْل َ ْر‬
ُ ‫ض َو ََل َطائِ ٍر يَ ِط‬
َ‫َربِ ِه ْم يُحْ ش َُرون‬

“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang
dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan
sesuatu pun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (Al-An’am,
6: 38)

ُ ُ ‫ب َو َماذَا أ َ ْكت‬
‫ ا ُ ْكت ُ ْب َمقَا ِد ْي َر ُك ِل ش َْيءٍ َحتَّى تَقُ ْو َم‬:َ‫ب؟ قَال‬ َ َ‫ِإنَّ أ َ َّو َل َما َخل‬
ِ ‫ َر‬:َ‫ ا ُ ْكت ُ ْب! قَال‬:ُ‫ قَا َل لَه‬،‫ق هللاُ ا ْلقَلَ َم‬
ُ‫ساعَة‬ َّ ‫ال‬
“Yang pertama kali diciptakan Allah adalah pena (al-qalam). Kemudian Dia berfirman
kepadanya, ‘Tulislah….’ Ia bertanya, ‘Rabb, apa yang harus aku tulis?’ Dia berfirman,
‘Tulislah ketetapan-ketetapan tentang segala sesuatu (apa yang ada dan yang bakal ada)
sampai hari kiamat.” (HR Ahmad)

Ketiga, Masyi`atullah (Kehendak Allah) dan Qudrat (Kekuasaan Allah). Seorang mukmin
yang telah mengimani qadha dan qadar harus mengimani masyi`ah (kehendak) Allah dan
kekuasaan-Nya yang menyeluruh. Apa pun yang Dia kehendaki pasti terjadi meskipun
manusia tidak menginginkannya. Begitu pula sebaliknya, apa pun yang tidak dikehendaki
pasti tidak akan terjadi meskipun manusia memohon dan menghendakinya. Hal ini bukan
dikarenakan Dia tidak mampu,melainkan karena Dia tidak menghendakinya. Allah
Ta’ala berfirman,

ً ‫ع ِلي ًما قَد‬


‫ِيرا‬ ِ ‫ت َو ََل ِفي ْاْل َ ْر‬
َ َ‫ض ِإنَّهُ كَان‬ ِ ‫اوا‬ َّ ‫َّللاُ ِليُ ْع ِج َز ُه ِم ْن ش َْيءٍ ِفي ال‬
َ ‫س َم‬ َّ َ‫َو َما كَان‬
“Dan tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (Fathir, 35: 44)

Adapun dalil-dalil tentang masyi`atullah sangat banyak kita temukan dalam Al-Qur’an, di
antaranya sebagai berikut.

َ‫ب ا ْلعَالَ ِمين‬ َّ ‫َو َما ت َشَا ُءونَ إِ ََّل أ َ ْن يَشَا َء‬
ُّ ‫َّللاُ َر‬
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki
Allah, Tuhan semesta alam.” (81: 29)

ٍ ‫ست َ ِق‬
‫يم‬ َ ُ‫ض ِل ْلهُ َو َم ْن يَشَأ ْ يَ ْجعَ ْله‬
ْ ‫علَى ِص َراطٍ ُم‬ ْ ُ‫َّللاُ ي‬ َ َ‫ت َم ْن ي‬
َّ ‫ش ِأ‬ ُ ‫َوالَّ ِذينَ َكذَّبُوا ِبآيَا ِتنَا‬
ِ ‫ص ٌّم َوبُ ْك ٌم ِفي ال ُّظلُ َما‬

“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu dan berada dalam
gelap gulita. Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya.
Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia
menjadikan-Nya berada di atas jalan yang lurus.” (Al-An’am, 6: 39)

‫ش ْيئ ًا أ َ ْن يَقُو َل لَهُ ك ُْن فَيَكُو ُن‬


َ ‫إِنَّ َما أ َ ْم ُرهُ إِذَا أ َ َرا َد‬

“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata


kepadanya, ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia.” (36: 82)
ِ ‫َّللاُ بِ ِه َخ ْي ًرا يُفَ ِق ْههُ فِي الد‬
‫ِين‬ َّ ‫َم ْن يُ ِر ْد‬
“Siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang baik, maka Dia akan menjadikannya faqih
(memahami) agama ini.” (HR Bukhari)

Simaklah apa jawaban Imam Syafi’i ketika ditanya tentang qadar berikut ini.

“Maka, apa-apa yang Engkau kehendaki pasti terjadi meskipun aku tidak berkehendak

Dan apapun yang aku kehendaki—apabila Engkau tidak berkehendak—tidak akan pernah
ada

Engkau menciptakan hamba-hamba ini sesuai yang Engkau ketahui

Maka dalam (bingkai) ilmu ini, lahirlah pemuda dan orang tua renta

Kepada (hamba) ini, Engkau telah memberikan karunia dan kepada yang ini Engkau hinakan

Yang ini Engkau tolong dan yang ini Engkau biarkan (tanpa pertolongan)

Maka, dari mereka ada yang celaka dan sebagian mereka ada yang beruntung

Dari mereka ada yang jahat dan sebagian mereka ada yang baik

Keempat, Penciptaan-Nya (Al-Khalqu). Ketika beriman terhadap qadha dan qadar, seorang
mukmin harus mengimani bahwa Allah-lah pencipta segala sesuatu, tidak ada Khaliq selain-
Nya dan tidak ada Rabb semesta alam ini selain Dia. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut
ini:

‫علَى ك ُِل ش َْيءٍ َو ِكي ٌل‬ ُ ‫َّللاُ َخا ِل‬


َ ‫ق ك ُِل ش َْيءٍ َو ُه َو‬ َّ
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (Az-Zumar, 39:
62)

ِ ‫ت َو ْاْل َ ْر‬
َ َ‫ض َولَ ْم يَت َّ ِخ ْذ َولَدًا َولَ ْم يَك ُْن لَهُ ش َِريكٌ فِي ا ْل ُم ْل ِك َو َخل‬
ُ‫ق ُك َّل ش َْيءٍ فَقَد ََّره‬ ِ ‫اوا‬ َّ ‫الَّذِي لَهُ ُم ْلكُ ال‬
َ ‫س َم‬
ً ‫ت َ ْقد‬
‫ِيرا‬

“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan
tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu,
dan Dia menetapkan ukuran-ukuranya dengan serapi-rapinya.”(Al-Furqan, 25: 2)

َ‫َّللاُ َخلَقَ ُك ْم َو َما ت َ ْع َملُون‬


َّ ‫َو‬
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.“ (As-Shafat,
37: 96)

ُ‫ص ْنعَتَه‬ َ ‫صنَ ُع ُك َّل‬


َ ‫صا ِن ٍع َو‬ َّ َّ‫ِإن‬
ْ َ‫َّللاَ ي‬
“Sesungguhnya Allah menciptakan semua (makhluk) yang ber-buat dan juga sekaligus
perbuatannya.” (HR. Bukhari dalam Khalq Af’aalil ‘Ibaad, hal. 25)

Inilah empat rukun beriman kepada qadha dan qadar yang harus diyakini setiap muslim.
Maka, apabila salah satu di antara empat ini diabaikan atau didustakan, niscaya ia tidak akan
pernah sampai kepada gerbang keimanan yang sesungguhnya. Sebab, mendustakan satu di
antara empat rukun tersebut berarti merusak bangunan iman terhadap qadha dan qadar, dan
ketika bangunan iman terhadap qadar rusak, maka akan menimbulkan pula kerusakan pada
bangunan tauhid itu sendiri.

Macam-macam Takdir

Takdir ada empat macam. Namun, semuanya kembali kepada takdir yang ditentukan pada
zaman azali dan kembali kepada Ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu. Keempat macam
takdir tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, Takdir Umum (Takdir Azali). Takdir yang meliputi segala sesuatu dalam lima
puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Di saat Allah Ta’ala
memerintahkan al-Qalam (pena) untuk menuliskan segala sesuatu yang terjadi dan yang
belum terjadi sampai hari kiamat. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini.

َ َ‫ب ِم ْن قَ ْب ِل أ َ ْن نَ ْب َرأ َ َها ِإنَّ ذَ ِلك‬


ِ َّ ‫علَى‬
‫َّللا يَسِي ٌر‬ ِ ُ‫ض َو ََل ِفي أ َ ْنف‬
ٍ ‫س ُك ْم ِإ ََّل ِفي ِكتَا‬ ِ ‫اب ِم ْن ُم ِصيبَ ٍة ِفي ْاْل َ ْر‬
َ ‫ص‬َ َ ‫َما أ‬

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Al-Hadid, 57: 22)

َ ‫َّللاُ َمقَا ِد‬


‫ير‬ َّ ‫ب‬ َ َ ‫ يَقُو ُل « َكت‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫َّللا‬ ِ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫س ِم ْعتُ َر‬َ ‫اص قَا َل‬ ِ َ‫َّللا ْب ِن ع َْم ِرو ْب ِن ا ْلع‬ َ ‫ع َْن‬
ِ َّ ‫ع ْب ِد‬
ِ ‫علَى ا ْل َم‬
‫اء‬ ُ ‫سنَ ٍة – قَا َل – َوع َْر‬
َ ُ ‫شه‬ َ ‫سينَ أ َ ْل‬
َ ‫ف‬ ِ ‫ض ِب َخ ْم‬َ ‫ت َواْل َ ْر‬ِ ‫س َم َوا‬ َ ُ‫ق قَ ْب َل أ َ ْن يَ ْخل‬
َّ ‫ق ال‬ ِ ‫«ا ْل َخَلَ ِئ‬
Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Aku telah mendengar
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah telah menuliskan seluruh takdir
makhluk-makhluk, 50 ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi dan Asy-Nya di atas
air”. (HR. Muslim)

Kedua, Takdir Umuri. Yaitu takdir yang diberlakukan atas manusia pada awal penciptaannya
ketika pembentukan air sperma (usia empat bulan) dan bersifat umum. Takdir ini mencakup
rizki, ajal, kebahagiaan, dan kesengsaraan. Hal ini didasarkan sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berikut ini.

َ ‫ش ِق ٌّي أ َ ْو‬
‫س ِع ْي ٌد‬ َ ‫ َو‬،‫ َوأ َ َج ِل ِه‬،‫ب ِر ْز ِق ِه‬
َ ‫ َو‬،‫ع َم ِل ِه‬ ِ ْ‫ ِب َكت‬:ٍ‫ َويُؤْ َم ُر ِبأ َ ْربَ ِع َك ِل َمات‬،َ‫الر ْوح‬ َ ‫ث ُ َّم يُ ْر‬
ُّ ‫س ُل ِإلَ ْي ِه ا ْل َملَكُ فيَ ْنفُ ُخ ِف ْي ِه‬
“…Kemudian Allah mengutus seorang malaikat yang diperintahkan untuk meniupkan ruhnya
dan mencatat empat perkara: rizki, ajal, sengsara, atau bahagia… .” (HR Bukhari)

Ketiga, Takdir Samawi. Yaitu takdir yang dicatat pada malam Lailatul Qadar setiap tahun.
Perhatikan firman Allah Ta’ala berikut ini:

ِ ‫يم أ َ ْم ًرا ِم ْن ِع ْن ِدنَا إِنَّا ُكنَّا ُم ْر‬


َ‫س ِلين‬ ٍ ‫ق ُك ُّل أ َ ْم ٍر َح ِك‬
ُ ‫فِي َها يُ ْف َر‬
“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (yaitu) urusan yang besar
dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah Yang mengutus rasul-rasul” (Ad-Dukhan, 44: 4
– 5)

Ahli tafsir menyebutkan bahwa pada malam itu dicatat dan ditulis semua yang akan terjadi
dalam setahun, mulai dari kebaikan, keburukan, rizki, ajal, dan lain-lain yang berkaitan
dengan peristiwa dan kejadian dalam setahun. Hal ini sebelumnya telah dicatat pada Lauh
Mahfudz.

Keempat, Takdir Yaumi. Yaitu takdir yang dikhususkan untuk semua peristiwa yang akan
terjadi dalam satu hari; mulai dari penciptaan, rizki, menghidupkan, mematikan, mengampuni
dosa, menghilangkan kesusahan, dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan firman Allah,

‫ض ُك َّل يَ ْو ٍم ُه َو فِي شَأ ْ ٍن‬


ِ ‫ت َو ْاْل َ ْر‬
ِ ‫اوا‬ َّ ‫سأَلُهُ َم ْن فِي ال‬
َ ‫س َم‬ ْ َ‫ي‬
“Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam
kesibukan.” (Ar-Rahman, 55: 29)

Ketiga takdir yang terakhir tersebut, kembali kepada takdir azali: takdir yang telah ditentukan
dan ditetapkan dalam Lauh Mahfudz.

Memperdalam Masalah Qadar Dilarang

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang terlalu dalam (berkutat terus-menerus)


pada masalah qadar. Sikap kita tiada kecuali taslim dan iman kepadanya. Hal ini
tergambar dari hadits berikut ini,

‫ب َحتَّى‬ َ ‫ع فِي ا ْلقَد َِر فَغَ ِض‬ ُ ‫از‬َ َ‫سلَّ َم َونَحْ نُ نَتَن‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫َّللا‬
ِ َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫علَ ْينَا َر‬َ ‫ع َْن أَبِي ُه َر ْي َرةَ قَا َل َخ َر َج‬
َ‫س ْلتُ إِلَ ْي ُك ْم إِنَّ َما َهلَكَ َم ْن كَان‬ِ ‫الر َّمانُ فَقَا َل أَبِ َهذَا أ ُ ِم ْرت ُ ْم أ َ ْم بِ َهذَا أ ُ ْر‬
ُّ ‫ئ فِي َوجْ نَت َ ْي ِه‬ َ ‫احْ َم َّر َوجْ ُههُ َحتَّى كَأَنَّ َما فُ ِق‬
‫ازعُوا ِفي ِه‬ َ َ‫علَ ْي ُك ْم أ َ ََّل تَتَن‬َ ُ‫ازعُوا ِفي َهذَا ْاْل َ ْم ِر ع ََز ْمت‬ َ َ‫قَ ْبلَ ُك ْم ِحينَ تَن‬

Dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menemui
kami sementara kami sedang berselisih dalam masalah taqdir, kemudian beliau marah
hingga wajahnya menjadi merah sampai seakan akan pipinya seperti buah delima yang
dibelah, lalu beliau bertanya, ‘Apakah kalian diperintahkan seperti ini atau apakah aku
diutus kepada kalian untuk masalah ini? Sesungguhnya binasanya orang-orang sebelum
kalian adalah lantaran perselisihan mereka dalam perkara ini. Karena itu, aku tekankan
pada kalian untuk tidak berselisih dalam masalah ini.'” (HR. Tirmidzi)

ُ‫َّللا‬ ٍ ‫ع ِل َّي ْبنَ أ َ ِبي َطا ِل‬


َّ ‫ب ك ََّر َم‬ َ ‫ أَتَى َر ُج ٌل‬: ‫ قَا َل‬، ‫ ع َْن َج ِد ِه‬، ‫ ع َْن أ َ ِبي ِه‬، َ‫ع ْنت َ َرة‬
َ ‫ارونَ ْب ِن‬ ُ ‫ع ْب ُد ا ْل َم ِل ِك ْبنُ َه‬
َ
‫ بَحْ ٌر‬: ‫ أ َ ْخبِ ْرنِي ع َِن ا ْلقَد َِر ؟ قَا َل‬:َ‫ قَال‬، ُ‫سلُ ْكه‬ ْ َ ‫ق ُم ْظ ِل ٍم فََل ت‬ َ :َ‫ أ َ ْخبِ ْرنِي ع َِن ا ْلقَد َِر ؟ فَقَال‬: ‫ فَقَا َل‬، ُ‫َوجْ َهه‬
ٌ ‫ط ِري‬
ُ‫َّللا فََل ت ُ َكلَّ ْفه‬ ِ :َ‫ أ َ ْخ ِب ْرنِي ع َِن ا ْلقَد َِر ؟ قَال‬:َ‫ قَال‬، ُ‫ق فََل تَلِجْ ه‬
ِ َّ ‫س ُّر‬ ٌ ‫ع َِمي‬

Abdul Malik bin harun bin ‘Antharah mendapatkan riwayat dari bapaknya dari kakeknya,
beliau berkata: “Seseorang mendatangi Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, lalu
bertanya: ‘Beritahukan kepadaku tentang takdir?’, beliau menjawab: ‘Jalan yang gelap
janganlah engkau jalani’, orang ini mengulangi pertanyaannya: ‘Beritahukan kepadaku
tentang takdir?’, dijawab oleh beliau: ‘Laut yang dalam maka janganlah engkau menyelam ke
dalamnya’, orang ini mengulangi pertanyaannya, ‘Beritahukan kepadaku tentang takdir?’
Beliau menjawab: ‘Rahasia Allah maka jangan engkau membebani dirimu’”. (Lihat kitab
Asy Syari’ah, karya Al Ajurry, 1/476).

Berkata Imam Thahawi, “Prinsip qadar adalah rahasia Allah terhadap makhlukNya yang
tidak diketahui rahasia tersebut oleh malaikat yang terdekat dan juga oleh Nabi yang diutus.
Terlalu memperdalam masalah ini akan mengantarkan sikap pasifisme, tangga yang
menghalangi hidayah dan sederajat dengan orang yang melampaui batas. Sebagaimana
firman Allah,

َ‫سأَلُون‬ َ ‫سأ َ ُل‬


ْ ُ‫ع َّما يَ ْفعَ ُل َو ُه ْم ي‬ ْ ُ‫ََل ي‬
“Allah tidak ditanya terhadap apa yang Dia lakukan akan tetapi merekalah yang akan
ditanya (Al-Anbiya, 21:23).”

Muhammad bin Wasi’ (seorang tabi’in) pernah ditanya oleh Bilal bin Abi Burdah (Wali
Bashrah): “Bagaimana pendapatmu tentang qadha’ dan qadar, wahai Abu Abdillah?” Maka
beliau menjawab dengan jawaban yang singkat padat tegas: “Wahai Amir, Allah Ta’ala tidak
akan menanyai hambaNya tentang qadha’ dan qadar pada hari kiamat nanti. Namun Dia
akan bertanya tentang amal mereka.”

Batalnya Berhujjah Dengan Qadar

Allah menolak argumentasi orang-orang musyrik dengan alasan qadar Allah dan
kehendakNya terhadap kemusyrikan dan kemaksiyatan mereka. Firman Allah,

َ َّ‫َّللاُ َما أَش َْر ْكنَا َو ََل آبَا ُؤنَا َو ََل َح َّر ْمنَا ِم ْن ش َْيءٍ َكذَ ِلكَ َكذ‬
‫ب الَّ ِذينَ ِم ْن قَ ْب ِل ِه ْم َحتَّى‬ َّ ‫سيَقُو ُل الَّ ِذينَ أ َش َْركُوا لَ ْو شَا َء‬ َ
ُ‫صونَ قُ ْل فَ ِللَّ ِه ا ْل ُح َّجة‬ ْ َ َّ ُ ْ َ ْ َّ‫ن‬ َّ َّ َ‫ون‬ َّ َ ْ َ َ ْ ُ َ ْ ْ
ُ ‫سنا ق ْل ه ْل ِعن َد ُك ْم ِمن ِعل ٍم فتخ ِر ُجوهُ لنا إِن تتبِعُ إَِل الظ َوإِن أنت ْم إَِل تخ ُر‬ ْ َ ُ َ ْ
َ ‫ذاقوا بَأ‬ ُ َ
َ‫ا ْلبَا ِلغَةُ فَلَ ْو شَا َء لَ َهدَا ُك ْم أَجْ َم ِعين‬

“Orang-orang musyrik akan berkata, “Jika Allah menghendaki, tentu kami tidak akan
mempersekutukanNya, begitu pula nenek moyang kami, dan kami tidak akan mengharamkan
apa pun.” Demikian pula orang-orang sebelum mereka yang telah mendustakan (para Rasul)
sampai mereka merasakan azab Kami. Katakanlah, “Apakah kamu mempunyai pengetahuan
yang dapat kamu kemukakan kepada kami? Yang kamu ikuti hanya persangkaan belaka, dan
kamu hanya mengira.” Katakanlah, “Alasan yang kuat hanya pada Allah. Maka kalau Dia
menghendaki, niscaya kamu semua mendapat petunjuk.” (Al-An’am, 6:148-149)

Batalnya berhujjah dengan taqdir dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah di dalam bukunya
Majmu’atur Rasail Libni Taimiyah: Al-Qadha wal-Qadar wal-Ihtijaaju bil Qodri sebagai
berikut:

 Sebagian di antara mereka adakalanya berpendapat bahwa takdir merupakan hujjah


(alasan) bagi seorang hamba (dalam hal berbuat sesuatu keburukan, red.), dan
adakalanya tidak. Apabila takdir merupakan hujjah bagi seorang hamba (sebagaimana
sangkaan mereka, red.), berarti ia juga merupakan hujjah bagi hamba lainnya, karena
semua manusia sama-sama terkena takdir. Konsekuensinya, ia (orang yang berfaham
taqdir sebagai hujjah terhadap perbuatan buruknya, red) tidak lagi perlu mencegah
orang yang menzhaliminya, memakinya, merampas hartanya, merusak kehormatan
istrinya, memenggal lehernya, atau melakukan perusakan terhadap ladang atau
keturunannya. Kalau demikian, niscaya akan binasalah dunia. Jelaslah bahwa
perbuatan mereka itu batil menurut akal dan kufur menurut syara’.
 Bahwa semua itu membawa konsekuensi pemahaman: Iblis, Fir’aun, kaum Nuh,
kaum Hud serta seluruh kaum yang dibinasakan oleh Allah karena dosa-dosanya;
adalah orang-orang yang termaafkan (dosanya). Padahal ini merupakan kekufuran
yang disepakati oleh semua kalangan pemeluk agama.
 Hal itu juga membawa akibat bahwa tidak ada perbedaan antara wali-wali Allah dan
musuh-musuh Allah, antara kaum mukminin dan kaum kuffar, antara ahli surga dan
ahli neraka. Ini bertentangan dengan firman Allah (lihat: 35:19-22, 38:28, 45:21)
 (Yang benar), Bahwa takdir (hanya boleh) diimani dan tidak boleh dijadikan sebagai
alasan. Barangsipa yang berhujjah dengan takdir, hujjahnya tertolak, dan barangsiapa
yang berudzur dengan takdir, udzurnya tidak bisa diterima. Bila hujjah dengan takdir
bisa diterima, maka Allah tidak akan mengazab seorang pun baik di dunia maupun di
akhirat: pencuri tidak bisa dihukum potong, pembunuh tidak boleh dihukum bunuh,
tidak perlu ada jihad fi sabilillah dan tidak perlu ada amar ma’ruf nahi munkar.
 Bahwa ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang ini, ‘Ya Rasulallah,
tidakkah kita tinggalkan saja amal, selanjutnya kita bergantung kepada takdir?’
Beliau menjawab, Tidak. Beramallah, maka masing-masing akan dimudahkan menuju
apa yang dia diciptakan (ditetapkan) untuknya.” (HR. Bukhari). Di hadits lain,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya: Ya Rasullah, apakah pendapat
Anda mengenai apa yang diperbuat dan diusahakan oleh seorang manusia, adakah
itu termasuk apa yang pena-pena telah menjadi kering dan lembaran-lembaran telah
dilipat padanya? Kemudian ditanyakanlah pada beliau: Lalu untuk apakah amal
perbuatan? Maka Nabi menjawab: Berbuatlah, maka masing-masing akan
dimudahkan menuju apa yang dia dicipta untuknya.”
 Bahwasanya harus dikatakan, sesungguhnya Allah mengetahui segala perkara dan
telah menetapkan ketentuannya sesuai dengan yang semestinya. Jadi Allah sudah
menetapkan bahwa si Fulan beriman dan mengerjakan amal shaleh, kemudian dia
masuk surga. Sedangkan si Fulan yang lain fasik dan berbuat maksiat, kemudian dia
masuk neraka. Begitu pula Allah mengetahui dan menetapkan bahwa si Fulan beristri
seorang wanita yang kemudian digaulinya, akhirnya lahirlah baginya seorang anak. Si
Fulan makan dan minum kemudian kenyang dan puas. Maka barangsiapa
mengatakan: “Jika aku memang (ditakdirkan) menjadi penghuni surga, tentu aku
masuk kedalamnya dengan tanpa mengerjakan amal sholeh.” Jelas ini adalah
perkataan batil yang melukiskan betapa ingkarnya ia terhadap ilmu Allah dan takdir
Allah. Ini ibarat orang yang mengatakan: “Saya tidak akan menggauli istri, jika Allah
mentakdirkan saya mempunyai anak, niscaya anak itu akan lahir.”

Beriman Kepada Qadha dan Qadar Tidak Menghalangi Untuk Berusaha

Sesungguhnya iman kepada qadar adalah wajib sebagaimana berusaha juga wajib. Keduanya
tidak saling menghilangkan. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya beriman
kepada qadha dan qadar akan tetapi mereka tidak meninggalkan usaha.

Hidayah adalah qadar dari qadar-qadar Allah untuk manusia. Allah memberi hidayah kepada
siapa yang dikehendaki dan menyesatkan orang yang dikehendaki. Dengan pengetahuan
seperti ini Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya mendakwahi manusia kepada
Allah, berjihad dan terbunuh (berperang) di jalanNya.
Rizki juga merupakan qadar dari qadar-qadar Allah. Dengan pengetahuan seperti ini mereka
bekerja dalam mencari rizki. Kesehatan dan sakit adalah qadar dari qadar-qadar Allah.
Dengan keyakinan ini Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang-orang
beriman untuk berobat.

Dampak Beriman Kepada Qadha dan Qadar dalam Kehidupan Muslim

Muslim yang meyakini akan qadha dan qadar Allah Ta’ala secara benar akan melahirkan
buah-buah positif dalam kehidupannya. Ia tidak akan pernah frustrasi atas kegagalan atau
harapan-harapan yang lari darinya, dan ia tidak terlalu berbangga diri atas kenikmatan dan
karunia yang ada di genggamannya. Sabar dan syukur adalah dua senjata dalam menghadapi
setiap permasalahan hidup.

Umar Sulaiman al-Asyqar dalam kitab Al-Qadha wa Al-Qadar dan DR. Muhammad Nu’aim
Yasin dalam bukunya Al-Iman: Arkanuhu, Haqiqatuhu, wa Nawaqidhuhu menyimpulkan
buah beriman terhadap qadar sebagai berikut.

Pertama, jalan yang membebaskan kesyirikan. Dia mengetahui bahwa segala urusan ada di
Tangan Pencipta langit dan bumi dengan segala isinya. Bagaimana ia akan tunduk kepada
hamba yang terbuat dari tanah? Ibnu Rajab mengatakan, “Barangsiapa yang memahami
dengan jelas bahwa setiap makhluk yang ada di atas tanah adalah tanah, maka tidak akan
mendahulukan ketaatan kepada tanah dari pada kepada Rabbnya “tuhan-tuhan” itu.
Bagaimana ia membuat senang tanah dengan membuat murka Raja Yang Maha Pemberi?
Sungguh ini sesuatu yang aneh.”

Kedua, tetap istiqamah.

َ‫ص ِلين‬ َّ ‫سهُ الش َُّّر َج ُزوعًا َوإِذَا َم‬


َ ‫سهُ ا ْل َخ ْي ُر َمنُوعًا إِ ََّل ا ْل ُم‬ َّ ‫ق َهلُوعًا إِذَا َم‬ َ ‫اإل ْن‬
َ ‫سانَ ُخ ِل‬ ِ ْ َّ‫إِن‬
“Sesungguhnya, manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa
kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-
orang yang mengerjakan shalat.” (Al-Ma’arij, 69: 19-22)

Ketiga, selalu berhati-hati.

ِ َّ ‫َّللا فَ ََل يَأ ْ َمنُ َمك َْر‬


ِ ‫َّللا ِإ ََّل ا ْلقَ ْو ُم ا ْل َخا‬
َ‫س ُرون‬ ِ َّ ‫أَفَأ َ ِمنُوا َمك َْر‬
“Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang
merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” (Al-A’raf, 7: 99)

Keempat, sabar dalam menghadapi segala problematika kehidupan. Karena jiwa yang
beriman itu mengetahui bahwa Allah yang telah menentukan kebaikan dan keburukan itu
Maha Bijaksana dan Maha Penyayang. Karenanya, ia tidak congkak saat mendapat satu
kenikmatan dan tidak akan berkeluh kesah manakal mendapat musibah. Ia akan senantiasa
bersyukur saat mendapatkan kebahagiaan dan bersabar ketika mendapatkan penderitaan.
Segala urusannya menjadi kebajikan sebagaimana sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang diriwayatkan oleh Muslim dan Ahmad tentang kondisi seorang mukmin (yang telah
dikemukakan di atas, red.)
Kelima, berani dan siap berkorban, sebagaimana ungkapan Salman Al-Farisi ketika ditanya
tentang makna ”hingga kamu beriman kepada qadar”, beliau menjawab, ”Hingga kamu
berimana kepada qadar adalah kamu mengetahui bahwa yang tidak ditetapkan bagimu tidak
akan menimpamu dan apa yang akan menimpamu tidak akan meleset.

Anda mungkin juga menyukai