Anda di halaman 1dari 11

SEMIOTICS

CHAPTER III
LANGUAGE AS SOCIAL SEMIOTICS

1. Pengertian
Semiotik sosial adalah semiotik yang diwujudkan dalam masyarakat oleh masyarakat
itu sendiri sebagai hasil interaksi manusia sebagai anggota masyarakat dengan alam
semesta. Makna atau semiotik bahasa wujud sebagai hasil masyarakat yang
mengonstruksi arti atau makna dalam hubungannya dengan alam semesta dan
merealisasikan makna itu dalam bahasa. Contohnya kita dapat lihat dalam kehidupan
sehari-hari, setiap suku memberi nama yang berbeda-dalam dalam satu hal yang sama.

2. Bahasa sebagai Fenomena sosial


Kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dengan alam karena manusia bagian dari
alam dan harus memenuhi hubungan yang serasi dan saling mendukung dengan alam
agar mampu bertahan hidup. Pengertian tentang alam ini adalah awal manusia
membentuk makna atau ‘arti’ tentang alam. Interaksi manusia dengan alam adalah awal
pembentukan semiotik dalam bahasa manusia. Ada tiga hal yang membuat manusia
harus hidup di dalam masyarakat, yakni pertama, manusia adalah makhluk sosial
karena dia wujud sebagai hasil peristiwa sosial. Manusia adalah produk sosial. Manusia
tidak lahir sendiri, tetapi dia dilahirkan. Kedua, manusia harus terlibat dalam interaksi
sosial untuk memenuhi kebutuhannya. Ketiga, manusia dikarunia dengan kemampuan
berinteraksi dengan orang lain.
Karena manusia tidak dapat hidup menyendiri atau terisolasi, makna yang telah
dibuatnya sebagai interaksinya dengan alam semesta terpaksa dikomunikasikannnya
kepada yang lain. Dalam interaksi inilah bahasa digunakan dan dalam bahasa inilah
semiotik berlangsung. Dengan kata lain, bahasa yang digunakan atau teks adalah hasil
interaksi antarmanusia. Interaksi dengan sosial semesta membentuk makna yang lain.
Makna atau dalam bahasa adalah hasil interaksi manusia dengan alam dan sosial
semesta. Kenyataan ini disebut fenomena sosial. Bahasa adalah semiotik sosial dengan
pengertian bahwa petanda dan penanda dalam bahasa ditentukan oleh masyarakat
pemakai bahasa. Makna yang dibuat dalam bahasa merupakan kesepakatan atau
konvensi antarmanusia sebagai anggota masyarakat. Petanda dan penanda dalam
bahasa ditentukan oleh masyarakat pemakai bahasa melalui evolusi bahasa, budaya dan
peradaban. Nilai atau hikmah dalam budaya manusia telah menyatu dengan bahasa.

3 Sifat Semiotik Bahasa


Perbedaan semiotik bahasa dengan semiotik umum terdapat dalam dua hal, yakni
unsur dan sifat berulangan atau keberlapisan unsur semiotik yang diistilahkan sebagai
metaredundancy atau stratified semiotics yang terjadi dalam teks dan konteks sosial.
Sifat keberulangan atau keberlapisan itu mengakibatkan persepsi atau penafsiran
semiotik bahasa dilakukan dari tiga posisi yang disebut tiga sudut pandang (trinocular).
Teori linguistik dengan pandangan atau pendekatan semiotik terhadap bahasa adalah
teori Linguistik Funsional Sistemik (SFL) yang dikembangkan oleh Halliday
(1978,2004), Martin (1992), Eggins (2004), Halliday dan Matthiessen (2001), dan lain-
lain.

a. Tiga unsur
Dalam semiotik umum hanya terdapat dua unsur, yaitu signified dan signifier.
Sedangkan dalam semiotik bahasa terdapat tiga unsur, yaitu signified, form and
signifier (makna, bentuk dan ekspresi). Secara teknis ketiga unsur ini, masing-masing
mengacu ke semantik, leksikogrammar, dan fonologi. Di dalam teori SFL dikatakan
juga bahwa bahasa sebagai semiotik terjadi dari tiga unsur dan membentuk tiga tingkat
atau strata semantik, leksikogrammar, dan fonologi. Ketiga unsur bahasa membentuk
semiotik yang terhubungkan dengan realisasi, yakni makna atau semantik direalisasikan
oleh bentuk atau leksikogrmmar, yang selanjutnya fusi atau kesatuan arti dan bentuk
direalisasikan oleh ekspresi atau bunyi dalam bahasa lisan.
Semiotik bahasa memiliki makna yang tidak dapat langsung dikodekan dalam ekspresi.
Dua tahap atau proses realisasi dilalui, yakni pertama, ‘arti’ direalisasikan dalam bentuk
atau tata bahasa, yang merupakan susunan kata (wordings). Kedua, makna yang
terealisasikan di dalam kata yang telah terstruktur menurut tata bahasa diekspresikan
dalam bunyi (bahasa lisan) atau dalam huruf (bahasa tulisan) atau dalam bahasa tanda
(bahasa isyarat). Dengan kata lain, semantik direalisasikan dalam leksikogrammar yang
selanjutnya realisasi dan kesatuan semantik dalam leksikogrammar diekspresikan oleh
bunyi, tulisan atau isyarat. Bentuk atau tata bahasa merupakan mekanisme dalam
bahasa yang memproses makna sebelum diekspresikan ke dalam bunyi, tulisan atau
isyarat.
Makna sebagai unsur semiotik bahasa dapat direalisasikan ke dalam sejumlah atau lebih
dari satu pilihan aspek tata bahasa atau leksikogrammar. Dengan kata lain, sejumlah
aspek tata bahasa dapat merealisasikan satu makna itu. Perealisasian satu makna ke
dalam sejumlah aspek tata bahasa merupakan sifat nonbiunique dari semiotik.
Walaupun satu makna dapat direalisasikan oleh sejumlah bentuk, satu bentuk
merupakan realisasi lazim (marked) dari arti itu. Bentuk atau tata bahasa yang tidak
lazim digunakan dalam merealisasikan makna dapat berupa metafora. Akan tetapi harus
dicatat bahwa tidak semua ekspresi yang tidak lazim merupakan atau sama dengan
metafora.

b. Multistrata
Bahasa diwujudkan dan digunakan dalam konteks. Bahasa yang digunakan di dalam
konteks disebut teks. Dengan kata lain, teks wujud atau terbentuk di dalam wadah atau
konteks pemakaian bahasa yang disebut konteks sosial karena terjadi sebagai akibat
atau dalam interaksi antarmitrabicara atau antarpemakai bahasa. Teks terwujud sebagai
akibat dari konflik. Konflik bisa terjadi jika seseorang memiliki informasi atau sumber
daya informasi sedangkan lawan bicaranya tidak memiliki informasi tersebut. Untuk
mengatasi konflik tersebut maka terjadilah pemakaian bahasa. Karena pembicara tidak
memiliki informasi, sementara B memilikinya, konflik terjadi dan akibat konflik itu
maka teks diwujudkan.
Hubungan antara teks dan konteks sosial adalah hubungan semiotik bertingkat yang
disebut multistratified semiotics. Dalam perspektif SFL, teks adalah unit ‘makna’
(semantic unit) dan bukan unit tata bahasa. Teks dapat merupakan teks lisan atau
tulisan dan merupakan proses atau produk. Dalam sistem semiotik, makna
direalisasikan oleh ekspresi yang dalam teori SFL dapat berupa berbagai unit bahasa
dan unit tata bahasa, seperti bunyi, morfem, kata, grup, frase, klausa, kalimat, paragraf,
halaman buku atau buku. Dalam perspektif SFL, semua unit bahasa dan unit tata
bahasa: bunyi, morfem, kata, grup, frase, klausa, kalimat, paragraf, halaman buku atau
buku yang mempunyai arti atau berfungsi di dalam konteksnya disebut teks. Akhirnya
di dalam pemakaian bahasa, teks dapat berupa lisan, tulisan, atau teks isyarat.
Kata konteks berasal dari kata co- yang berarti bersama atau mendampingi dan text,
yang mengacu ke setiap unit bahasa adalah teks. Konteks mengacu kepada segala
sesuatu yang mendampingi teks. Dalam perspektif SFL, konteks mencakupi dua
pengertian, yakni (1) konteks linguistik (konteks internal) dan (2) konteks sosial
(konteks eksternal)
1. Konteks Linguistik
Konteks linguistik mengacu kepada unit linguitsik yang mendamppingi satu unit yang
sedang dibicarakan. Dikatakan konteks internal karena konteks ini berada di dalam dan
merupakan bagian dari teks yang dibicarakan. A Linguistic Context is a context defined
purely in terms of what follows or what precedes a particular segment that is
undergoing a sound change. In other words, a linguistic context will not take into
account the social, situational aspects, or the psychological aspects.

A linguistic change ( for e.g. a sound change ) is explained solely in linguistic terms,
without explaining why a sound change is taking place, or what prompts the change.
But such kind of changes do take place, irrespective of the speaker’s social standing, or
educational status, or the psychological state of mind.

Every language shows changes in all aspects of its structure as time passes. Gradually,
the erstwhile language may become very different from its previous state.

2. Konteks Sosial

Konteks sosial mengacu kepada segala sesuatu yang bukan unit linguistik di luar yang
tertulis atau terucap, yang mendampingi, merupakan wadah bahasa teks, atau membuat
teks dalam peristiwa pemakaian bahasa atau interaksi sosial. Konteks ini juga disebut
konteks eksternal. Teks terbentuk dalam konteks sosial. Pada suatu waktu konteks
sosial menentukan dan mempengaruhi teks dan pada waktu berikutnya teks
menentukan atau mempengaruhi konteks sosial. Teks dan konteks saling menentukan
dan sifat yang saling menentukan ini disebut semiotik konstrual.

Konteks sosial terjadi dari tiga unsur, yaitu konteks situasi, konteks budaya, dan
konteks ideologi (Martin, 1992). Ketiga unsur konteks sosial tersusun di atas teks dan
membentuk semiotik berstrata. Unsur yang terdekat ke teks atau bahasa adalah konteks
situasi dan disebut semiotik yang lebih konkret. Unsur yang lain yang paling jauh dari
teks disebut semiotik yang abstrak. Berdasarkan strata kedekatan kepada teks atau
bahasa, konteks sosial berurut mulai dari konteks situasi, budaya dan ideologi

c. Semiotik Denotatif dan Konotatif

Aliran semiotik konotasi yang dipelopori oleh Roland Barthes dimana pada waktu
menelaah sistem tanda tidak berpegang pada makna primer, tetapi mereka berusaha
mendapatkannya melalui makna konotasi. Barthes menyatakan bahwa ada dua sistem
pemaknaan tanda: denotasi dan konotasi. Semiotika Barthes dinamakan semiotik
konotasi ialah untuk membedakan semiotik linguistic yang dirintis oleh mentornya,
Saussure.Strukturalisme adalah teori yang menyatakan bahwa seluruh organisasi
manusia ditentukan secara luas oleh struktur sosial atau psikologi yang mempunyai
logika independent yang sangat menarik, berkaitan dengan maksud, keinginan, maupun
tujuan manusis. Bagi Freud, strukturnya adalah psyche; bagi Marx, strukturnya adalah
ekonomi; bagi Barthes, strukturnya ialah gambar; dan bagi Saussure, strukturnya adalah
bahasa. Kesemuanya itu mendahului subjek manusia individual atau human agent dan
menentukan apa yang akan dilakukan manusia pada semua keadaan. dalam konteks
semiotik adalah pandangannya mengenai tanda.

Tanda terdapat dimana-mana; kata adalah tanda, demikian pula gerak isyarat, lampu
lalu lintas, bendera dan sebagainya. Struktur karya sastra, film, bangunan atau nyanyian
burung dapat dianggap sebagai tanda. Untuk membahas semiotika gambar, pendekatan
struktural Roland Barthes, pakar semiotika asal Prancis, tentang gambar memadai
untuk melihat feomena gambar dalam teknologi komunikasi baru zaman sekarang.
Fenomena gambar (mass image) tetap menarik perhatian kita sampai sekarang dan
bahkan masih menjadi perdebatan teoritis. Gambar sudah menjadi menu harian kita.
Dilihat dari sisi ini. Perhatian Barthes pada fenomena gambar dapat kita tempatkan
dalam satu garis dengan kritik budaya media (culture industry).

Barthes menggunakan istilah orders of signification. First order of signification adalah


denotasi, sedangkan konotasi adalah second order of signification. Tatanan yang
pertama mencakup penanda dan petanda yang berbentuk tanda. Tanda inilah yang
disebut makna denotasi. Kemudian dari tanda tersebut muncul pemaknaan lain, sebuah
konsep mental lain yang melekat pada tanda (penanda). Pemakaian baru inilah yang
kemudian menjadi konotasi.

Jadi, dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan
namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya.
Sesungguhnya, inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan
semiologi Saussure, yang berhenti pada penandaan dalam tataran denotatif.

Barthes membedakan dua macam itu karena ia akan mencari batasan antara pesan
denotatif dan konotatif. Untuk menciptakan sebuah semiotika konotasi gambar, kedua
pesan ini harus dibedakan terlebih dahulu karena sistem konotasi sebagai semiotik
tingkat dua dibangun di atas sistem denotatif. Dalam gambar atau foto, pesan denotasi
adalah pesan yang disampaikan secara keseluruhan dan pesan konotasi adalah pesan
yang dihasilkan oleh unsur-unsur gambar dalam foto. Sebagai contoh: secara denotatif,
Babi adalah nama sejenis binatang, namun secara konotatif “babi” dapat diasosiasikan
dengan hal lain, seperti: polisi yang korup, tentara yang kejam, dan lain sebagainya.

Denotasi merupakan tingkat makna lapisan pertama yang deskriptif dan literal serta
dipahami oleh hampir semua anggota suatu kebudayaan tertentu tanpa harus melakukan
penafsiran terhadap tanda denotatif tersebut, tanda disebut juga sebagai analogon. Pada
tingkat makna lapisan kedua, yakni konotasi, makna tercipta dengan cara
menghubungkan penanda-petanda dengan aspek kebudayaan yang lebih luas:
keyakinan-keyakinan, sikap, kerangka kerja, dan ideologi-ideologi suatu formasi sosial
tertentu.
CHAPTER II
TATA BAHASA FUNGSIONAL SISTEMIK

1. Definition
Systemic Functional Linguistics (SFL) is a study of language that views language as
two characteristics, systemic and functional. It is systemic because SFL uses theory of
meaning as a choice, by which a language or any other semiotic system is interpreted
as networks of interlocking options. It emphasizes meaning as the fundamental
element in analyzing language. Language is also functional because it is designed to
account for how language is used. SFL views language as a functional linguistics.
Language is functional because each element in a language can be explained by
reference to its function in the total linguistics system. Its function is to make
meanings. The choice of the word “meanings” rather “meaning” here is significant. It
emphasizes that linguistic texts are typically making a number of meanings
simultaneously, not just one meaning. These meanings are always influenced by the
context in which meanings are being made. The contexts are the cultural and
situational context. Meanings are made by semiotic process, where meanings are
made by choosing. SFL also views language in social-semiotic process because
language is functional in the sense that it is a kind of semiotics system where all
elements of language are interlocked each other to perform meaning and it performs
social functions at once . SFL has been described as a functional semantic approach to
language in two main respects. Firstly, it functionally asks both how people use
language in different social context and how language is structured for use. It is SFL
dimension as a scientific dicipline of linguistics. Secondly, it tries to develop a theory
about language as a social process and an analytical methodology that allows the
more detailed and systemtic description of language patterns. It is SFL dimension as
an approach to language. In the scope of SFL, there are fundamental components of
meaning called metafunction. According to Halliday, the functional components are
ideational meaning, interpersonal meaning and textual meaning. The ideational
meaning is the meaning function to represent patterns of experiences. It enables
human being to build a mental picture of reality, to make sense of their experience of
what goes around them and inside them. The interpersonal meaning is concerned with
the interaction between speaker or writer and listener or reader. Its function is to
enabling of exchanging roles in rhetorical interaction: statements, questions, offers
and commands. The textual meaning is concerned with the organization of the text in
which the experiential, logical and interpersonal are bound together into a coherent.
On the other words, the textual meaning is meanings about the message for example
foregrounding/salience; types of cohesion. Those fundamental meanings are always
made simultaneously in a text to perform social functions. Therefore, those meanings
are always related to the context in which social functions are being performed. 3 The
interpersonal functions play the role of setting up and maintaining social relations,
and indicate the role of the participants in the communication. The interpersonal
metafunction comprehends a text’s tenor or interactivity which is again comprised
with three components: the speaker/writer persona (whether the writer or speaker has
a neutral attitude, which can be seen through the use of positive or negative language)
social distance (how close the speakera are) and relative social status (whether they
are equal in terms of power and knowledge on a subject).

2. The differences between SFL and Formal Linguistics


Formal Linguistics takes a structural approach towards language and formal
linguists endeavour to discover the formal architecture and mechanisms of language
using conventional tools in scientific modelling and hypothesis-testing; functionalism
analyses language as a communicative tool and how it is designed for language use,
which is often defined in terms of social factors. These are the two major schools of
thought in linguistics and while many prominent figures have tried to polarise the
field by taking one extreme against the other, there is a whole spectrum of theoretical
possibilities which I have argued for in my work (please see my profile for links to
my work online). In fact, I have argued that not only are formalist and functionalist
approaches not mutually exclusive, they are mutually complementary and can be
combined fruitfully to further our understanding of language and linguistics.
Dalam kajian linguistik formal, bahasa diasumsikan lebih dekat ke pikiran
manusi, sistem neurologi, dan psikologi. Selanjutnya, kajian difokuskan kepada
kalimat. Berbeda dengan itu, SFL sebagai bagian dari pendekatan linguistik
fungsional melihat bahasa sebagai fenomena sosial, berkait dengan sosiologi dan
dengan demikian hanya dipahami dalam konteks sosial. Dalam SFL, kajian
difokuskan pada teks. Dalam pandangan linguistik formal, bahasa dikaji secara ilmiah
tanpa berkaitan dengan konteks sosial dengan konsekuensi kecenderungan data
diidealisasi. Dalam kajian linguistik formal, bahasa lebih dekat dengan logika
sementara kajian fungsional menganggap kajian bahasa lebih dekat dengan
atropologi. Hal ini berarti bahasa dalam kajian formal lebih dekat ke pada apa yang
terjadi dalam diri manusia (intraorganism). Berbeda dengan itu, SFL menganggap
bahasa sebagai fenomena antarmanusia (interorganism).

3. Realisasi Metafungsi dalam Semiotik Bahasa


Metafungsi bahasa direalisasikan dalam semiotik pemakaian bahasa dalam situasi
multistrata. Masing-masing unsur metafungsi memiliki sifat dan ciri tertentu.
Konfigurasi masing-masing unsur metafungsi bahasa juga berbeda. Fungsi
eksperiensial adalah fungsi bahasa untuk menggambarkan pengalaman manusia.
Realitas terjadi dalam alam dan sosial semesta yang dialami oleh manusia secara
individu. Bahasa mampu menyatukan persepsi terhadap beberapa realitas dengan cara
pemakai bahasa mentransfer pengalamannya ke dalam mekanisme bahasa.
4. Hubungan Paradigmatik dan Sintagmatik

Syntagm
A syntagmatic relationship is one where signs occur in sequence or parallel and operate
together to create meaning.
The sequential nature of language means that linguistic signs have syntagmatic
relationships.
Thus, for example, the letters in a word have syntagmatic relationship with one another, as
do the words in a sentence or the objects in a picture.
Syntagmatic relationships are often governed by strict rules, such as spelling and grammar.
They can also have less clear relationships, such as those of fashion and social meaning.
Paradigm
A paradigmatic relationship is one where an individual sign may be replaced by another.
Thus, for example, individual letters have a paradigmatic relationship with other letters, as
where one letter is used, another may replace it (albeit changing meaning). Letters and
numbers do not have a paradigmatic relationship.
Items on a menu have paradigmatic relationship when they are in the same group (starters,
main course, sweet) as a choice is made. Courses have a sequential (syntagmatic)
relationship, and thus an item from the starter menu does not have a paradigmatic
relationship with the sweet menu.
Paradigmatic relationships are typically associative, in that both items are in a single
membership set.

The paradigmatic representation is then complemented by the syntagmatic representation,

Anda mungkin juga menyukai