KATA PENGANTAR
Dengan Mengucapkan puji dan syukur kehadirat Alloh S.W.T serta berkat rahmat dan
karuniaNya, penulis akhirnya dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul: “Strategi dan
Pendekatan Dakwah Kultural”.
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Psikologi Dakwah
pada program studi komunikasi penyiaran Islam, di STID Sirnarasa.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari sempurna,
karena keterbatasan kemampuan yang ada pada penulis. Oleh karena itu kritik dan saran
sangat kami tunggu dari pembaca sekalian, guna perbaikan dimasa yang akan datang.
Dalam proses penyusunan makalah ini penulis banyak bantuan dari berbagai pihak,
baik material maupun spiritual, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan yang diberikan
sehingga terselesaikannya makalah ini.
Sirnarasa, 13 Maret 2016
Tim Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dakwah adalah proses memasukan pemahaman tentang Islam kepada objek dakwah /
mad’u dengan cara yang baik sehingga dapat diterima oleh mad’u. Indonesia adalah negara
yang masyarakatnya memiliki adat-istiadat dan budaya yang berbeda-beda. Oleh karena
kemajemukan budaya bangsa Indonesia tersebut, maka dakwah yang cocok diterapkan pada
masyarakat Indonesia adalah dakwah Kultural.
Dengan menerapkan dakwah kultural, maka seorang Da’i akan mengetahui bagai
mana cara memasukan pemahaman agama Islam ke dalam budaya masyarakat yang berbeda-
beda jenis karakter, adat-istiadat, status sosial dll. Kepiawaian seorang Da’i dalam mencari
celah budaya yang bisa dimasuki unsur-unsur ajaran Islam sangat menetukan berkembangnya
dakwah kultural.
Kegiatan dakwah Kultural sangat memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia
sebagai makhluk budaya secara luas dalam rangka menghasilkan kultur baru yang bernuansa
Islami atau kegiatan dakwah yang memanfaatkan adat, tradisi, seni dan budaya lokal dalam
proses menuju kehidupan Islami.
Berangkat dari keefektifan dakwah kultural tersebut, maka kami menyusun makalah
ini dengan harapan menambah khasanah serta referensi bagi siapa saja yang ingin
mempelajari tentang Strategi dan pendekatan dakwah Kultural.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Definisi Strategi ?
2. Apa Definisi Pendekatan ?
3. Apa Definisi Dakwah Kultural ?
4. Apa Saja Prinsip Pendekatan Dakwah Kultural ?
5. Bagaimana Strategi dan Pendekatan Dakwah Melalui Seni Budaya ?
6. Seperti Apa Strategi dan Pendekatan Dakwah Kultural Wali Songo ?
C. Tujuan Penulisan
1. Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Dakwah
2. Mengetahui Definisi Strategi dan Pendekatan Dakwah Kultural
3. Mengetahui Prinsip Pendekatan Dakwah Kultural
4. Memahami Strategi dan Pendekatan Dakwah Melalui Seni Budaya
5. Mempelajari Strategi dan Pendekatan Dakwah Kultural Wali Songo.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Strategi
B. Definisi Pendekatan
Pendekatan adalah proses,perbuatan,atau cara mendekati (KBBI,1995).
Dikatakan pula bahwa pendekatan merupakan sikap atau pandangan tentang sesuatu,
yang biasanya berupa asumsi atau seperangkat asumsi yang paling berkaitan.
C. Definisi Dakwah Kultural
Dakwah kultural adalah : Dakwah yang dilakukan dengan cara mengikuti budaya-
budaya kultur masyarakat setempat dengan tujuan agar dakwahnya dapat diterima di
lingkungan masyarakat setempat.
Dakwah kultural juga berarti : Kegiatan dakwah dengan memperhatikan potensi dan
kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya secara luas dalam rangka menghasilkan
kultur baru yang bernuansa Islami atau kegiatan dakwah yang memanfaatkan adat, tradisi,
seni dan budaya lokal dalam proses menuju kehidupan Islami.
Dakwah kultural mempertanyakan validitas; apakah benar bahwa dakwah umat Islam
yang berada di luar kekuasaan adalah dakwah yang tidak lengkap dan sempuma. Hakekat
dakwah pada dasamya adalah upaya mengajak dan mengembalikan manusia pada eksistensi
secara integral, serta merupakan upaya penjabaran nilai-nilai Ilahi menjadi amal saleh dalam
kehidupan nyata.
Antara pemikiran tentang dakwah yang berkembang sekarang dengan realitas, ada
suatu kesenjangan yang perlu dijembatani. Pertama, kesenjangan yang berasal dari cara
memberikan pengertian dakwah yang mempengaruhi tradisi dakwah selama ini. Kedua,
kesenjangan yang disebabkan tidak adanya kerangka keilmuan tentang dakwah yang mampu
memberikan penjelasan tentang dakwah Islam, yang merupakan kesenjangan antara teori dan
praktek. Dakwah kultural di satu sisi mempunyai prinsip dengan lebih menekankan
pendekatan Islam kultural, yakni salah satu pendekatan yang berusaha meninjau kembali
kaitan doktrinal formal antara Islam dan politik atau Islam dan negara.
5. Jaka Samudra disebut juga dengan Raden Paku Atau Sunan Giri.
Sunan Giri adalah murid dari Sunan Ampel. Selain berdakwah dengan sastra budaya,
beliau juga mendirikan Pesantren Giri di Gresik. Karya-karya beliau diantaranya permainan
Jetungan, Jemuran, Gula Ganti, Cublek-cublek Suweng, tembang Asmaranda, tembang
Pucung dan Ilir-ilir yang sampai sekarang masih sering kita dengarkan. Tembang Ilir-ilir
menyuruh kita untuk menggunakan kesempatan hidup di dunia untuk mempersiapkan bekal
guna di hari akhir kelak.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Saran
www.seputarpengetahuan.com
mutiara09bahasa.blogspot.com
www.kompasiana.com
Obejustin.blogspot.com
Fitwiethayalisyi.wordpress.com
akwah kultural
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini, banyak muncul fenomena-fenomena Islam kejawen yaitu pemeluk agama
Islam yang masih menganut tradisi-tradisi nenek moyang. Fenomena ini mudah sekali dijumpai di
Indonesia yang mayoritas masyarakat menganut agama Islam. Hal ini tentu tidak terlepas dari
peran para pemuka agama Islam zaman dahulu, khususnya Wali Songo. Namun, hal ini menjadi
suatu masalah besar karena masyarakat Indonesia lebih memilih untuk menjunjung tinggi tradisi
dan adat-istiadat nenek moyang dibandingkan menegakkan ajaran agama Islam sepenuhnya.
Indonesia yang merupakan Negara yang kaya akan sumber daya alam, meliputi obyek
wisata, adat-istiadat, seni dan sastra, suku, pakaian dan rumah tradisional yang sangat beraneka
ragam. Menurut sebagian orang, negara Indonesia merupakan serpihan bagian dari surga yang ada
di dunia. Satu diantara keanekaragaman yang dimiliki Indonesia adalah kesenian tradisional. Seni
tradisional di Indonesia sudah ada sejak zaman nenek moyang. Seni tradisional merupakan hasil
dari kebudayaan masyarakat Hindu-Buddha yang sudah melekat di hati masyarakat Indonesia
sebelum Islam datang ke Indonesia.
Para pemuka agama Islam yang datang dari Timur Tengah membentuk suatu dewan yang
disebut walisongo dalam menyebarkan agama Islam. Walisongo ingin mewujudkan masyarakat
Indonesia, khususnya pulau Jawa yang memiliki pemahaman baik tentang Islam. Walisongo
menggunakan berbagai macam upaya supaya agama Islam dapat diterima di Indonesia, khususnya
di pulau Jawa. Walisongo datang ke Indonesia dengan membawa ajaran Islam yang tentunya
berbeda dari agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Hal ini pastinya menimbulkan
pergolakan konflik dan penentangan terhadap agama Islam. Mayoritas masyarakat Indonesia
menolak kedatangan walisongo ke pulau Jawa.
B. Rumusan Masalah
ISI
Pada saat islam masuk ke wilayah Jawa, bangsa Indonesia dikuasai dengan tradisi
animisme, dan dinamisme. Para pelaku dakwah pada saat itu fokus pada menyebarkan dakwah
yang mengakibatkan budaya yang masuk tidak dapat tersaring sehingga dakwah yang disebarkan
mengandung unsur-unsur budaya yang dapat menimbulkan bid’ah. Hal ini merupakan kesalahan
fatal. Namun seiring berjalannya zaman, bid’ah semakin semarak dikalangan masyarakat.
Dakwah kultural sebenarnya merupakan metode yang baik untuk dilakukan baik di
masyarakat desa maupun di lingkungan masyarakat kota, baik yang berpikiran primitif maupun
yang sudah modern. KH. Ahmad Dahlan termasuk sosok mubaligh yang menggunakan metode
dakwah kultural pada sekitar tahun 1912-an karena beliau menyadari bahwa metode dakwah yang
tepat itu hanyalah metode dakwah kultural. Namun karena kehati-hatiannya dengan masalah
aqidah, walaupun menggunakan metode dakwah kultural, tetap nilai-nilai islam tidak terlukai oleh
model dakwah yang dilakukan, justru sebaliknya dengan dakwah itulah, maka beliau dapat
membersihkan nilai-nilai ajaran Islam dari pengaruh budaya kultural setempat. Model dakwah
kultural sebagaimana diterapkan KH. Ahmad Dahlan inilah yang harus kita contoh.
a. Strategi
Hakikat strategi adalah tata cara dan usaha-usaha untuk menguasai dan mendayagunakan
segala sumber daya untuk mencapai tujuan.[1]
b. Dakwah
Pada hakikatnya dakwah adalah sebuah upaya untuk mengubah situasi-kondisi individu dan
sosial-budaya masyarakat. Sebuah perubahan yang dilakukan oleh subyek pengubah (agent of
change) untuk semua manusia (Q.S Saba’ ayat 28), bahkan untuk seluruh alam semesta (Q.S Al-
Anbiya ayat 107). Sebagai suatu upaya, dakwah sebenarnya terbatas memberikan informasi, dan
berusaha semaksimal mungkin menurut kemampuan manusia (muslim). Di dalamnya tidak
terkandung pemaksaan agar seorang masuk Islam. Hal ini sesuai dengan bunyi Q.S Al-Baqarah
ayat 256 tentang tidak ada paksaan dalam berislam.[2]
Menurut M. Natsir, dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar menentukan tegak atau
robohnya suatu masyarakat. Islam tidak bisa berdiri tegak tanpa jamaah (masyarakat) dan tidak
bisa membangun masyarakat tanpa dakwah maka jadikanlah dakwah itu sebagai kewajiban bagi
tiap-tiap umat Islam, dan ini tidak boleh dilupakan.[3]
c. Kultural
Pengertian kultural atau budaya mengacu pada perilaku yang dipelajari yang menjadi karakter
cara hidup secara total dari anggota suatu masyarakat tertentu. Kultur atau budaya terdiri dari
nilai-nilai umum yang dipegang dalam suatu kelompok manusia; merupakan satu set norma,
kebiasaan, nilai dan asumsi-asumsi yang mengarahkan perilaku kelompok tersebut. Kultur juga
dapat mempengaruhi nilai dan keyakinan seseorang.[4]
Kebudayaan dalam arti luas, adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
d. Dakwah kultural
Adalah aktivitas dakwah yang menekankan pendekatan Islam kultural. Islam kultural adalah
salah salah satu pendekatan yang berusaha meninjau kembali kaitan doktrinal yang formal antara
Islam dan politik atau Islam dan negara termasuk wilayah pemikiran ijtihadiyah, yang tidak
menjadi persoalan bagi umat Islam ketika sistem kekhalifahan masih bertahan di dunia Islam.
Setelah hancur sistem kekhalifahan di Turki, dunia Islam dihadapkan pada sistem politik Barat.[5]
Kraton Yogyakarta adalah salah satu tempat istimewa bagi masyarakat Yogyakarta itu
sendiri. Bila kita kritisi, keraton Yogyakarta mengandung unsur-unsur islamisasi yang masih kuat
hingga saat ini. Dilihat dari sudut proses Islamisasi kualitatif, kraton Yogyakarta baru permukaan
formalnya saja yang sudah disentuh Islam. Pada saat itu, Raja Mataram tampaknya tidak
mencurigai gerakan pembaharuan Islam yang justru dipelopori oleh abdi dalem kesultanan.
Penyebab kecurigan tidak muncul ada dua. Pertama, pengetahuan kraton tentang Islam itu sangat
terbatas. Para elitnya tidak pernah berpikir bahwa gerakan seperti Muhammadiyah akan menjadi
ancaman bagi feodalisme Jawa. Kedua, Muhammadiyah mempunyai kedudukan tinggi di
lingkungan kraton.
Dakwah Muhammadiyah bukan untuk mengislamkan kraton, akan tetapi dakwah
Muhammadiyah lebih kepada pemberatasan syirik, bid’ah, khurofat dan sejenis yang ditujukan
kepada rakyat di luar kraton. Muhammadiyah beranggapan apabila rakyat di luar kraton sudah
terislamkan, dengan sendirinya eksistensi kraton juga ikut terislamkan.
Contoh lain adalah dakwah walisongo. Walisongo bahkan sengaja mengambil instrumen
kebudayaan lokal untuk mempromosikan nilai-nilai Islam, seperti yang dilakukan walisongo yaitu
dengan membangun arsitektur masjid sebagai tatanan sosial egaliter, pengapadopsian wayang
menjadi budaya Islam, dan kreasi seni Islam yang bermuatan lokal. [6]
Dalam masanya dakwah kultural bisa dilihat dari cara berdakwah walisongo, dimana pada
saat itu realitas dan kedaan masyarakat sangat memprihatinkan. Walisongo menerapkan dakwah
kultural karena masyarakat masih menganut animisme, hindu dan budha yang masil kental dan
fanatik. Namun, para walisongo masuk dan membawa ajaran Nabi besar Muhammad S.A.W. dan
menerapkan Islam secara halus dan lembut dengan cara menggabungkan ajaran-ajaran Islam
dengan kultur yang ada pada saat itu. Beliau tidak menghilangkan budaya-budaya yang telah ada
dan mengakar erat. Namun, malah menjadikannya sebagai sarana dalam berdakwah.
Orang yang berdakwah haruslah memiliki beberapa kriteria yang pantas dan bisa
dijadikan sebagai subjek dalam berdakwah, seperti sikap tawadhu’ atau rendah hati, sopan dalam
bersikap, sopan dalam berbicara, memiliki pengetahuan yang luas, berani dalam menegakkan
kebenaran, jujur dalam perkataan, tidak menghasut juga tidak pula memaksa, lapang dada.
Berikut kriteria yang telah diajarkan dan dicontohkan oleh baginda Rasulullah S.A.W dan juga di
terapkan oleh para Walisongo. Kita sebagai umat Islam memiliki kewajiban berdakwah bukan
hanya kewajiban para petinggi-petinggi agama saja tetapi juga kita sebagai umat Islam wajib
mengajak ke yang ma’ruf atau kebaikan serta menjauhi larangan-larangannya.
Biasanya dakwah kultural memiliki objek yang notabene tidak paham dan belum
mengenal Islam dengan baik, dan bila mana sudah mengenal islam dengan baik biasanya objek
tersebut sangat fanatik dengan budaya dan mitos-mitos terdahulu dan biasanya menganut
kepercayaan yang sudah sangat kental dan kolot. Maka disinilah peran dan efektivitas dakwah
kultural sangat dibutuhkan demi keberhasilan dakwah Islam di Indonesia.
Oleh karena itu, sasaran dakwah utama yang menjadi obyek dakwah Islam dari sejak awal
mula adalah masyarakat luas, mulai dari keluarga, masyarakat, lingkungan, dan seluruh umat
manusia di alam dunia ini.[8] Objek dakwah juga bisa dibagi menjadi umat ijabah atau umat yang
sudah berislam namun belum kaafah atau spenuhnya dalam menjalankan syari’at Islam dan umat
dakwah atau umat yang memang belum mengenal islam dengan baik.
Walaupun begitu, dakwah kultural masih menjadi sarana yang efektif dalam mengajarkan
Islam. Terbukti dari banyak organisasi-organisasi yang menganut dan menjadikan dakwah
kultural sebagai cara yang ampuh, sebut saja diantaranya dua organisasi terbesar di Indonesia
Nahdlaltul Ulama, dan Muhammadiyah. Jika Nahdlatul Ulama mengaplikasikan dakwah kultural
sebagai strategi dalam berdakwahnya seperti yasinan, rebana, pengajian, tahlilan orang
meninggal, ziarah kubur, pembacaan barzanzi, dsb. Berbeda lagi dengan strategi Muhammadiyah
yang tidak hanya menggunakan strategi dakwah kultural namun juga menggunakan strategi
dakwah struktural yang dikenal lebih modern.
Inti dakwah kultural baik yang dikembangkan Nahdlatul Ulama maupun Muhammadiyah
adalah menekankan keragaman substansional, dakwah nilai-nilai Islam yang substansial, berupa
kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, kerjasama, dan semangat melawan penindasan kemanusiaan.
Menurut konteksnya dakwah pemberdayaan umat seperti ini lebih diperlukan mengingat sebagian
besar masyarakat Islam di Indonesia lemah dalam berbagai bidang. Walaupun begitu, NU dan
Muhammadiyah memiliki tujuan yang sama yaitu menegakkan dan menyebarkan agama Islam di
Indonesia.
Telah kita ketahui bangsa Indonesia sekarang ini menduduki peringkat pertama populasi
Muslim di seluruh dunia dengan 89% penduduk warga negara terbanyak ke empat di dunia ini,
memeluk agama Islam dan perlu kita ingat itu tidak terjadi secara instan, ada sebuah perjuangan
yang tak mudah dibalik pencapaian ini, dan jika kita analisis dari beberapa pakar sejarah yang
berbicara tentang fakta-fakta historis Negara Indonesia kita dapat mengetahui bahwasanya
Indonesia pada zaman dahulu menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Hal ini terbukti
dengan adanya beberapa candi dan peninggalan-peninggalan lain yang mendukung fakta itu.
Namun, semua itu berubah sejak Islam muncul. Sebagian para ahli, ada yang berpendapat bahwa
Islam muncul dari Gujarat, ada pula yang berpendapat islam muncul dari Arab, dan seterusnya.
Namun terlepas dari itu semua, kita meneladani perjuangan mereka yang sangat luar biasa yang
dapat mengubah Nusantara (Indonesia) menjadi negara yang mayoritas Islam. Tentunya, itu
memerlukan perjuangan yang tidak mudah dan penuh pengorbanan tapi inilah hasil yang kita
dapatkan saat ini. Kita dapat menikmati kedamaian di Negeri mayoritas saudara seiman dan
seagama ini dengan tentram.
Walisongo adalah salah satu dari sekian banyak orang yang berkontribusi dalam proses
Islamisasi di Negeri ini, banyak sekali keberhasilan yang mereka capai pada masanya, diantaranya
:
Pemencaran yang dilakukan oleh Sunan Ampel seperti Sayid Abdullah ke Pajang dengan
seizin Prabu Majapahit sehingga Sayid ini bergelar Syaikh Suta Maharaja. Kemudian Syaih
Ya’kub Maulana Ishaq ke Blambangan, Syaikh Waliyul Islam ke Pasuruan terus ke Semarang dan
seterusnya[10]
Mereka di atas itu adalah hasil dari didikan para wali songo baik langsung maupun tidak
langsung, dan mereka itu adalah orang-orang yang nantinya akan menularkan semangat juang
dakwah mereka kepada murid-murid mereka sebagai penerus dakwah di negeri ini.
Pertama, karena para wali itu dapat memenuhi tuntunan dakwah dari Al-Qur’an, Hadits
serta tuntunan dakwah dari para pendakwah-pendakwah sebelumnya, dengan keikhlasan hati dan
hanya mengharapkan ridho-Nya.
Kedua, disebabkan oleh faktor ajaran islam itu sendiri, karena Islam itu merupakan agama
yang rahmatan lil ‘alamin, sehingga masyarakat pada saat itu dapat menerima Islam dengan
lapang dada. Sekalipun di samping itu ada pula yang menolak dan memusuhi mereka yang
mendakwahkannya. Namun terlepas dari semua itu, ketika Islam diperkenalkan kepada
masyarakat pada zaman itu mereka menerima dengan lapang dada.
Ketiga, disebabkan oleh situasi dan kondisi masyarakat Jawa pada saat itu sedang kacau
ditimpa permasalahan yang silih berganti, diantaranya seperti yang dijelaskan oleh Effendi
Zarkasi bahwa kesuksekan dakwah Wali songo karena dipengaruhi oleh situasi kondisi yang
bersamaan dengan kacaunya kerajaan Majapahit dan akhirnya runtuh tak berbekas. Pada saat-saat
tersebut masyarakat terjelembab dalam kekacauan dan kebingungan. Mereka rindu akan suatu
pembaharuan, bersamaan dengan itu Islam muncul sebagai sinar kehidupan. Dengan izin Allah
dan usaha giat dari Wali Songo untuk menyebarkan agama Islam akhirnya Islam dapat diterima
baik oleh masyarakat Indonesia. Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam dengan
menggunakan budaya seperti wayang, gamelan sebagai strategi dalam berdakwah.
Masyarakat Indonesia sudah tidak nyaman lagi dengan agama Hindu yang menganut
paham kasta bersamaan dengan hal tersebut, Islam datang dengan menganut paham bahwa semua
orang sama dihadapan Sang Pencipta. Dalam Islam, yang membedakan antara muslim satu
dengan lainnya hanyalah amal perbuatan bukan status sosial, ras, suku, gender seperti yang dianut
oleh agama Hindu. Islam juga memberikan pandangan baru, yaitu sikap optimis dalam setiap
tindakan bukan sikap pesimis seperti yang diajarkan oleh agama Hindu.
Oleh karena kedatangan Islam ke Indonesia adalah melalui hubungan perdagangan dan
pengembaraan ulama-ulama sufi yang merupakan juru-juru dakwah yang paling bersemangat
sesudah sistem kekhalifahan runtuh yaitu sekitar tahun 1258 M.[11] Sedangkan kehidupan
masyarakat yang pada saat itu kental dengan kehinduan dan kebuddhaan, maka kedatangan Islam
pada masa itu masih di anggap asing. Dan akhirnya para pendakwah menggunakan budaya
mereka (masyarakat jawa) untuk masuk dan menyebarkan Islam dari dalam.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa strategi dakwah kultural adalah tata
cara dan usaha-usaha dalam mendayagunakan dan mengubah situasi-kondisi individu dan sosial-
budaya masyarakat dengan memperhatikan nilai-nilai, norma, dan kebiasaan yang berlaku di
masyarakat. Dakwah kultural lebih menekankan pada pendekatan Islam kultural. Strategi dakwah
kultural ini digunakan oleh Wali Songo dalam menyebarkan ajaran agama Islam di Indonesia
khususnya di pulau Jawa. Adapun yang menjadi objek dakwah kultural ini meliputi umat dakwah,
umat ijabah, dan kaum kejawen.
Strategi dakwah kultural ini dipilih karena para subjek dakwah memahami pola pikir dan
kebiasaan yang dilakukan oleh orang Indonesia yang cenderung menjunjung tinggi nilai-nilai
budaya dan adat-istiadat secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Para subjek dakwah,
terutama Wali Songo mencoba masuk ke dalam ruang lingkup masyarakat dengan cara
menggabungkan antara kebudayaan dan ajaran agama Islam supaya dapat lebih diterima oleh
masyarakat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
2. Ismail, Nawari. 2010. Pergumulan Dakwah Islam Dalam Konteks Sosial Budaya Analisis Kasus
Dakwah. Yogyakarta : Pustaka.
5. Bungo, Sakareeya. “Pendekatan Dakwah Kultural dalam Masyarakat Plural.” Tabligh 15.2
(2014).
6. Suparjo, Islam dan Budaya Strategi Kultural Walisongo dalam Membangun Masyarakat Muslim
Indonesia.pdf
7. Syahraeni, Andi. “Pendeketan Dakwah Kultural Dalam Masyarakat Plural.” Jurnal Adabiyah 14.1
(2014).
[1] Riddin Sofwan, dkk, Islamisasi di Jawa, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000, Cetakan ke-1, hal 257.
[2] Nawari Ismail, Pergumulan Dakwah Islam Dalam Konteks Sosial Budaya Analisis Kasus Dakwah,
Yogyakarta, Pustaka, 2010, Cetakan ke-1, hal 7.
[3] Thohir Luth, M. Natsir, dakwah dan pemikirannya, Gema Insani, 1999.
[4] Frieda Mangunsong, “Faktor Interpersonal, Dan Kultural Pendukung Efektivitas Kepemimpinan
Perempuan Pengusaha Dari Empat Kelompok Etnis Di Indonesia,” Makara, Sosial Humaniora
13.1 (2009): 19-28.
[5] Sakareeya Bungo, “Pendekatan Dakwah Kultural dalam Masyarakat Plural.” Tabligh 15.2 (2014):
209-219.
[6] Suparjo, Islam dan Budaya Strategi Kultural Walisongo dalam Membangun Masyarakat Muslim
Indonesia.pdf
[7] Andi Syahraeni, (2014), Pendekatan Dakwah Kultural Dalam Masyarakat Plural, Jurnal Adabiyah,
14(1), 1-14, hal 6.
[8] Ridin Sofwan, dkk, Islamisasi Di Jawa, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000, cetakan ke-1, hal 233.
[9] Ridin Sofwan, dkk, Islamisasi Di Jawa, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000, cetakan ke-1, hal 281.
[10] ibid
[11] Ridin Sofwan, dkk, Islamisasi Di Jawa, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000, cetakan ke-1, hal 284.