Anda di halaman 1dari 30

2.

Bilirubin adalah salah satu pigmen yang memiliki warna kuning yang mana merupakan produk utama
dari hasil perombakan heme yang berasal dari hemoglobin yang terjadi akibat adanya perombakan
sejumlah sel-sel darah merah yang di lakukan oleh sel retikuloendotel. Selain sebagai hasil dari
pemecahan eritrosit, bilirubin juga dihasilkan dari adanya perombakan sejumlah zat lainnya. Ketika itu,
bilirubin akan di saring dari darah oleh hati, setelah itu akan dikeluarkan melalui cairan yang berupa
empedu. Dan tingkat kelebihan yang ada di dalam darah mampu mengindikasikan kerusakan terhadap
hati. Dan tingkat bilirubin yang normal ada di bawah 1,3 mg.

Metabolisme bilirubin ini merupakan hasil dari reaksi katabolisme anzimatik biliverdin oleh
biliverdin reduktase. Sedangkan reaksi dari oksidasi bilirubin ini nantinya akan menghasilkan
biliverdin. Dikarenakan mampu mengikat sejumlah senyawa oksidatif, maka bilirubin ini kerap
kali digolongkan kedalam kelompok senyawa antioksidan. Dan salah satu fungsi bilirubin yaitu
guna mencegah serta menghentikan adanya serangan penyakit autoimun seperti sklerosis
multiple.

Bilirubin yang memang dihasilkan oleh sejumlah sel retikuloendotel ini memiliki sifat yang larut
dalam air. Sehingga, agar bisa di angkut oleh plasma darah untuk menuju hati, bilirubin ini harus
diikatkan dengan albumin. Dan jika di lihat berdasarkan jenisnya juga sifat bilirubin itu sendiri,
maka bilirubin bisa dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu:

Bilirubin Indirek / Bilirubin tak terkonjugasi

Bilirubin jenis indirek juga kerap kali disebut dengan bilirubin tak terkonjugasi. Mengapa?
Karena bilirubin jenis ini masih melekat pada albumin serta berada dalam keadaan yang tidak
bebas. Bilirubin jenis ini pastinya tidak larut dalam air, karena tidak akan pernah di temukan di
dalam urin. Dan nilai normal bilirubin indirek yaitu sekitar 0,1-0,4 g/dt. Dan adanya peningkatan
kadar dari bilirubin indirek ini kerap kali dikaitkan dengan adanya peningkatan destruksi
eritrosit, misalkan seperti terhadap penyakit hemolitik oleh autoimun, transfusi, atau
eritroblastosis fatalis.

Bilirubin Direk / Bilirubin terkonjugasi

Bilirubin direk merupakan bilirubin yang bebas yang memang terdapat di dalam hati dan tidak
lagi berkaitan dengan albumin. Bilirubin jenis ini dengan mudah akan berkaitan dengan asam
glukoronat yang membentuk bilirubin glukorosida atau bahkan hepatobilirubin. Dari hati,
bilirubin jenis ini nantinya akan masuk kedalam saluran empedu serta nantinya akan
diekskresikan kedalam usus. Nah, di dalam usus, flora usus nantinya akan mengubah bilirubin
tersebut menjadi empedu urobilirubin dan setelah itu akan dibuang keluar dari dalam tubuh
melalui urin serta fase. Bilirubin ini memiliki sifat larut dalam air. Dan jika dalam keadaan yang
normal, bilirubin direk ini tidak akan kita temukan di dalam plasma darah.
1.

A. IKTERUS PADA BAYI

I. IKTERUS

1. Pengertian Ikterus

Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada
kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Ikterus secara klinis
akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL. Ikterus selama usia
minggu pertama terdapat pada sekitar 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi preterm. (IDAI,
2010).

2. Ikterus fisiologis adalah :

a. Ikterus yang timbul pada hari kedua atau ketiga lalu menghilang setelah sepuluh hari atau
pada akhir minggu kedua.

b. Tidak mempunyai dasar patologis

c. Kadar bilirubin indirek (larut dalam lemak) tidak melewati 12 mg/dL pada neonatus cukup
bulan dan 10 mg/dL pada kurang bulan.

d. Kadar bilirubin direk ( larut dalam air) kurang dari 1 mg/dL.

e. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tak melebihi 5 mg/dL per hari.

f. Kadarnya tidak melampaui kadar yang membahayakan

g. Tidak mempunyai potensi menjadi kern-ikterus

h. Tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi

i. Sering dijumpai pada bayi dengan berat badan lahir rendah.

3. Ikterus patologis adalah :

a. Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama

b. Ikterus dengan kadar bilirubin > 12,5 mg% pada neonatus cukup bulan atau > 10 mg% pada
neonatus kerang bulan

c. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg/dL.

d. Ikterus dengan peningkatan kadar bilirubin > 5 mg% per hari.


e. Ikterus yang menetap sesudah 2 minggu pertama.

Ikterus baru dapat dikatakan fisiologis apabila sesudah pengamatan dan pemeriksaan selanjutnya
tidah menunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang menjadi kern-
icterus. Kern-icterus (ensefalopati biliaris) ialah suatu kerusakan otak akibat perlengketan
bilirubin indirek pada otak.(Sarwono, 2008).

Tabel 2.1 Rumus Kramer

Daerah (Derajat Luas Ikterus Kadar Bilirubin


Ikterus) (mg%)

1 Kepala dan leher 5

2 Daerah 1 9

(+)

Badan bagian atas

3 Daerah 1, 2 11

(+)

Badan bagian bawah dan tungkai

4 Daerah 1, 2, 3 12

(+)

Lengan dan kaki dibawah dengkul

5 Daerah 1, 2, 3, 4 16

(+)

Tangan dan kaki


Sumber : Sarwono Prawirohardjo, 2009.

II. ETIOLOGI

1. Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena:

a. Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur lebih
pendek.

b. Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase,
UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat), penurunan ambilan bilirubin oleh hepatosit
dan konjugasi.

c. Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya enzim glukuronidase di usus


dan belum ada nutrien.

2. Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus nonfisiologis) dapat disebabkan oleh
faktor/keadaan:

a. Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi G6PD (Glukosa
6 Phospat Dehidrogenase), sferositosis herediter dan pengaruh obat.

b. Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin.

c. Polisitemia.

d. Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir.

e. Ibu diabetes.

f. Asidosis.

g. Hipoksia/asfiksia.

h. Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik.

III. FAKTOR RESIKO

Faktor penyebab ikterus pada bayi baru lahir (Wiknjosastro, 2005)

1. Hemolisis

a. Incompabilitas Rhesus
b. Incompabilitas golongan darah A,B,O

c. Defisiensi enzim G6PD (Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase).

d. Perdarahan tertutup (chepal hematome)

2. Infeksi : sepsisi/meningitis

3. Bayi kurang bulan

4. Bayi cukup bulan

Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:

1. Faktor Maternal

a. Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani)

b. Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)

c. Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.

d. Masa gestasi, Riwayat persalinan

e. ASI

2. Faktor Perinatal

a. Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)

b. Infeksi (bakteri, virus, protozoa)

3. Faktor Neonatus

a. Prematuritas

b. Faktor genetic

c. Polisitemia

d. Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)

e. Rendahnya asupan ASI

f. Hipoglikemia

g. Hipoalbuminemia

IV. PATOFISILOGI
Bilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan eritrosit. Bilirubin mulai
meningkat secara normal setelah 24 jam, dan puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah itu perlahan-
lahan akan menurun mendekati nilai normal dalam beberapa minggu.

V. PENANGANAN

Pada bayi baru lahir dengan warna kekuningan karena proses alami (fisiologis), tidak berbahaya
dan tidak diperlukan pengobatan khusus, kondisi tersebut akan hilang dengan sendirinya.

Prinsip pengobatan warna kekuningan pada bayi baru lahir adalah menghilangkan penyebabnya.

a. Terapi Sinar (fototerapi)

Fototerapi dilakukan dengan cara meletakkan bayi yang hanya mengenakan popok (untuk
menutupi daerah genital) dan matanya ditutup di bawah lampu yang memancarkan spektrum
cahaya hijau-biru dengan panjang gelombang 450-460 nm. Selama fototerapi bayi harus disusui
dan posisi tidurnya diganti setiap 2 jam. Pada terapi cahaya ini bilirubin dikonversi menjadi
senyawa yang larut air untuk kemudian diekskresi, oleh karena itu harus senantiasa disusui (baik
itu langsung ataupun tidak langsung). Keuntungan dari fototerapi ini adalah non-invasiv (tidak
merusak), efektif, relative tidak mahal, dan mudah dilaksanakan. Terapi sinar dilakukan selama
24 jam atau setidaknya sampai kadar bilirubin dalam darah kembali ke ambang batas normal.
Dengan fototerapi, bilirubin dalam tubuh bayi dapat dipecahkan dan menjadi mudah larut dalam
air tanpa harus diubah dulu oleh organ hati. Terapi sinar juga berupaya menjaga kadar bilirubin
agar tak terus meningkat sehingga menimbulkan risiko yang lebih fatal.

b. Transfusi Tukar

Transfusi tukar adalah tindakan menukar darah neonatus dengan darah yang berasal dari donor,
atau tindakan mengeluarkan darah bayi dan menggantikannya dengan darah baru. Transfusi tukar
diperkenalakan pertama kali oleh Dr. Alferd Hart pada tahun 1924.

Tujuan dari transfuse tukar yaitu mengganti darah untuk memperbaiki keadaan bayi dan
mempertahankan bilirubin serum pada tingkat yang tidak menimbulkan keracunan pada saraf
oleh sebab apapun, yang pada intinya tujuan dari transfusi tukar ini adalah :

1. Untuk menurunkan konsentrasi bilirubin

2. Memperbaiki anemia dengan cara mengganti eritrosit yang dapat dihemolosis

3. Membuang antibody yang menyebabkan hemolisis

4. Membuang toksin pada sepsis. (Maryunani, 2009)

c. Terapi Obat-obatan.
Terapi lainnya adalah dengan obat-obatan. Misalnya, obat phenobarbital atau luminal untuk
meningkatkan pengikatan bilirubin di sel-sel hati sehingga bilirubin yang sifatnya indirect
berubah menjadi direct. Ada juga obat-obatan yang mengandung plasma atau albumin yang
berguna untuk mengurangi timbunan bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke organ hati.
Biasanya terapi ini dilakukan bersamaan dengan terapi lain, seperti fototerapi.

d. Menyusui Bayi dengan ASI.

Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan feses dan urin. Untuk itu bayi harus
mendapatkan cukup ASI. Seperti diketahui, ASI memiliki zat-zat terbaik bagi bayi yang dapat
memperlancar buang air besar dan kecilnya. Akan tetapi, pemberian ASI juga harus di bawah
pengawasan dokter karena pada beberapa kasus, ASI justru meningkatkan kadar bilirubin bayi
(breast milk jaundice). Di dalam ASI terdapat hormon pregnandiol yang dapat mempengaruhi
kadar bilirubinnya.

VI. YANG BERHUBUNGAN DENGAN IKTERUS PADA BAYI

1. Paritas

Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup yang dipunyai oleh seorang wanita (BKKBN, 2006).
Menurut Prawirohardjo (2009), paritas dapat dibedakan menjadi primipara, multipara dan
grandemultipara.

 Klasifikasi paritas

a. Primipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak, yang cukup besar untuk hidup
di dunia luar (Varney, 2006).

b. Multipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak lebih dari satu kali
(Prawirohardjo, 2009).

c. Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang anak atau lebih (Varney,
2006).

Penderita ikterus ditemukan pada paritas pertama dibandingkan dengan paritas lainnya ( paritas >
1). Kelahiran pertama dihubungkan dengan faktor resiko terjadi trauma lahir, hal ini disebabkan
karena untuk pertama kalinya jalan lahir diuji untuk kelahiran bayi. ( Klaus, 2000).
Dari hasil penelitian Khaerunnisak pada tahun 2013 mengatakan paritas ibu berhubungan dengan
kejadian ikterus neonatorum karena kehamilan pertama beresiko terjadinya trauma lahir pada
bayi dan untuk pertama kalinya jalan lahir dilewati oleh kelahiran bayi, sehingga menyebabkan
infeksi pada bayi yang bisa mengakibatkan terjadinya ikterus neonatorum.

2. Masa Gestasi

Masa gestasi adalah suatu pertumbuhan dan perkembangan janin intra uteri mulai sejak konsepsi
dan berakhir pada saat permulaan persalinan (Sarwono, 2007).

Masa gestasi menurut WHO (1976) dikelompokan menjadi tiga yaitu: kehamilan cukup bulan
(term/aterm) yaitu usia gestasi 37-42 minggu (259-294 hari), kehamilan kurang bulan (preterm)
yaitu usia gestasi kurang dari 37 minggu (259 hari), kehamilan lewat waktu (postterm) yaitu usia
gestasi lebih darai 42 minggu (294 hari). Usia gestasi sangat berpengaruh bagi kelangsungan
hidup bayi. Makin rendah usia gestasi dan makin kecil bayi yang dilahirkan, makin tinggi
mordibitas dan mortalitasnya. Organ tubuh bayi prematur belum berfungsi seperti bayi yang
matur, oleh karena itu ia mengalami banyak kesulitan untuk hidup diluar uterus ibunya. Makin
pendek usia kehamilannya makin kurang pertumbuhan dalam alat-alat tubuhnya dengan akibat
makin mudahnya terjadi komplikasi dan makin tingginya angka kematian. Dalam hal ini,
sebagian besar kematian perinatal terjadi pada bayi-bayi prematur.

Kehamilan preterm maupun postterm mempengaruhi keadaan bayi, semakin lama kehamilan
berlangsung sehingga melampaui usia aterm, semakin besar kemungkinanya bayi yang akan
dilahirkan mengalami kekurangan nutrisi dan gangguan kronis (Cunningham, 2002).

Dari hasil penelitian Reisa Maulidya Tazami pada tahun 2013 mengatakan bahwa prematuritas
berhubungan dengan kejadian ikterus neonatorum. Karena prematuritas berhubungan dengan
ikterus tak terkonjugasi pada neonatus. Aktifitas uridine difosfat glukoronil transferase hepatik
jelas menurun pada bayi prematur, sehingga konjugasi bilirubin tak terkonjugasi menurun. Selain
itu juga terjadi peningkatan hemolisis karena umur sel darah merah yang pendek pada bayi
prematur.

3. Jenis Persalinan

Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi, yang mampu hidup, dari dalam uterus
melalui vagina ke dunia luar (Prawirohardjo, 2002)

Meskipun kejadian asfiksia, trauma, dan aspirasi mekonium bisa berkurang dengan SC, risiko
distress pernapasan sekunder sampai takipneu transien, defisiensi surfaktan, dan hipertensi
pulmonal dapat meningkat. Hal tersebut bisa berakibat terjadinya hipoperfusi hepar dan
menyebabkan proses konjugasi bilirubin terhambat. Bayi yang lahir dengan SC juga tidak
memperoleh bakteri-bakteri menguntungkan yang terdapat pada jalan lahir ibu yang berpengaruh
pada pematangan sistem daya tahan tubuh, sehingga bayi lebih mudah terinfeksi. Ibu yang
melahirkan SC biasanya jarang menyusui langsung bayinya karena ketidaknyamanan pasca
operasi, dimana diketahui ASI ikut berperan untuk menghambat terjadinya sirkulasi
enterohepatik bilirubin pada neonatus. (Prawirohardjo, 2002)

Jenis persalinan ibu dapat merupakan faktor resiko terjadinya trauma lahir, disamping
penolongnya sendiri, pada penelitian menemukan jenis persalinan sectio caesarea dengan
presentasi terbesar disusul dengan ekstrasi vakum/forcep, eksrasi vacum/forcep mempunyai
kecenderungan terjadinya perdarahan tertutup di kepala ( trauma persalinan) sperti caput
succadeneum dan cephalhematoma, yang merupakan faktor resiko terjadinya ikterus. Begitu juga
persalinan SC merupakan salah satu faktor yang dapat menimbulkan dehidrasi pada bayi
sehingga cenderung terjadi ikterus dimana ibu bersalin dengan SC biasanya bayi tidak lansung
disusui ( Klaus, 2000).

Menurut penelitian Tazami tahun 2013 di Jambi, meskipun kejadian asfiksia, trauma, dan
aspirasi mekonium bisa berkurang dengan SC, risiko distress pernapasan sekunder sampai
takipneu transien, defisiensi surfaktan, dan hipertensi pulmonal dapat meningkat. Hal tersebut
bisa berakibat terjadinya hipoperfusi hepar dan menyebabkan proses konjugasi bilirubin
terhambat. Bayi yang lahir dengan SC juga tidak memperoleh bakteri-bakteri menguntungkan
yang terdapat pada jalan lahir ibu yang berpengaruh pada pematangan sistem daya tahan tubuh,
sehingga bayi lebih mudah terinfeksi.

4. Berat Badan Lahir

Berat lahir adalah berat bayi yang ditimbang dalam jangka waktu 1 jam pertama setelah lahir.
Klasifikasi menurut berat lahir adalah Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) yaitu berat lahir < 2500
gram, bayi berat lahir normal dengan berat lahir 2500-4000 gram dan bayi berat lahir lebih
dengan berat badan > 4000 gram (Sylviati, 2008).

Pembagian berat badan lahir menurut WHO tahun 1961 berat badan bayi lahir dikelompokan
menjadi tiga yaitu: berat badan bayi kurang dari atau sama dengan 2500 gram, berat badan bayi
antara 2500-≤ 4000 gram, berat badan > 4000 gram.

Dari hasil penelitian Septiani N pada tahun 2011, Berat badan lahir yang kurang dari normal
dapat mengakibatkan berbagai kelainan yang timbul dari dirinya, salah satunya bayi akan rentan
terhadap infeksi yang nantinya dapat menimbulkan ikterus neonatorum. Banyak bayi lahir,
terutama bayi kecil (bayi dengan berat badan <2500 gram) mengalami ikterus pada minggu
pertama hidupnya. Karena kurang sempurna nya alat-alat dalam tubuhnya baik anatomik maupun
fisikologik maka mudah timbul beberapa kelainan diantaranya immatur hati.
Imatur hati memudahkan terjadinya ikterus neonatorum, hal ini dapat terjadi karena belum
maturnya fungsi hepar. Kurangnya enzim glukorinil tranferase sehingga konjugasi bilirubin
indirect menjadi bilirubin direct belum sempurna dan kadar albmin darah yang berperan dalam
transportasi bilirubin dari jaringan ke hepar kurang.
Pada BBLR, pembentukan hepar belum sempurna (imaturitas hepar) sehingga menyebabkan
konjugasi bilirubin indirek menjadi bilirubin direk di hepar tidak sempurna.

Berat lahir besar (makrosomi) umumnya mempunyai kecenderungan lebih sering mengalami
trauma jalan lahir begitu pula pada bayi kecil disebebkan karena organ tubuhnya yang masih
lemah. Fungsi hati dan ususnya yang belum sempurna sehingga dapat menghambat konjugasi
bilirubun dan mengekskresikan meconium yang pada akhirnya dapat meningkatkan kadar
bilirubun, tetapi keadaan ini masih dipengaruhi oleh cara kelahiran dan dari pihak penolongnya.
Berat badan lahir < 2500 gram mempunyai presentase tertinggi terhadap kecenderungan
timbulnya ikterus neonatorum (Henry, 2001).

5. Jenis kelamin

Jenis kelamin adalah perbedaan antara perempuan dengan laki-laki secara biologis sejak
seseorang lahir. (Hungu, 2007).

Menurut penelitian Tazami tahun 2013, terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi
neonatus laki-laki memiliki risiko ikterik lebih tinggi dibandingkan dengan neonatus perempuan,
diantaranya:

a. Prevalensi Sindrom Gilbert (kelainan genetik konjugasi bilirubin) dilaporkan lebih dari dua
kali lipat ditemukan pada laki-laki (12,4%) dibandingkan pada perempuan (4,8%).

b. Defisiensi G6PD merupakan suatu kelainan enzim tersering pada manusia, yang terkait
kromosom sex (x-linked) dimana pada umumnya hanya bermanifestasi pada laki-laki. Enzim
G6PD sendiri berfungsi dalam menjaga keutuhan sel darah merah sekaligus mencegah hemolitik.
(Wibowo, 2007).

6. Usia ibu

Umur adalah waktu ibu sejak dilahirkan sampai dilaksanakanya penelitian yang
dinyatakan dengan tahun. (Hurlock, 2002).

Pada usia muda (termasuk usia remaja dibawah usia 20 tahun) memiliki resiko yang lebih tinggi
pada kesehatan. Pada usia dibawah 20 tahun secara ilmu kedokteran memiliki organ reproduksi
yang belum siap dan beresiko tinggi mengalami kondisi kesehatan yang buruk saat hamil. Selain
itu kondisi sel telur belum sempurna dikhawatirkan akan menggangu perkembangan janin.
Sedangkan pada usia 21-35 tahun resiko gangguan kesehatan pada ibu hamil paling rendah yaitu
sekitar 15%. Selain itu apabila dilihat dari perkembangan kematangan, wanita pada kelompok
umur ini telah memiliki kematangan reproduksi, emosional maupun aspek sosial.

Selain itu pada usia 35 tahun ke atas sering ditemukan permasalahan seperti diabetes gestational
yaitu diabetes yang muncul ketika sedang hamil, mengalami tekanan darah tinggi dan juga
gangguan kandung kemih. Meskipun gangguan kandung kemih mungkin saja terjadi pada ibu
hamil akan tetapi pada kelompok usia ini beresiko lebih tinggi. Selain itu kondisi kesehatan di
akhir usia 30-an cenderung memiliki kondisi medis tertentu seperti fibroid uterine yaitu
pertumbuhan otot atau jaringan lain yang berada di uterus yang memicu timbulnya tumor dan
menimbulkan rasa nyeri atau pendarahan pada kewanitaan anda semakin berkembang. (Hurlock,
2002).

Umur ibu erat kaitannya dengan bayi lahir. Kehamilan dibawah umur 20 tahun merupakan
kehamilan berisiko tinggi, 2-4 kali lebih tinggi di bandingkan dengan 12 kehamilan pada wanita
yang cukup umur. Pada umur yang masih muda, perkembangan organ-organ reproduksi dan
fungsi fisiologinya belum optimal. Selain itu emosi dan kejiwaannya belum cukup matang,
sehingga pada saat kehamilan ibu tersebut belum dapat menanggapi kehamilannya secara
sempurna dan sering terjadi komplikasi. Selain itu semakin muda usia ibu hamil, maka akan
terjadi dibahaya bayi lahir kurang bulan, perdarahan, infeksi, ikterus neonatorum dan bayi lahir
ringan (Rochjati, 2003)

Umur ibu memiliki hubungan yang bermakna dengan bayi lahir, karena semakin muda <20 tahun
dan semakin tua >35 tahun umur ibu maka fungsi organ tubuh mamiliki penurunan. Usia ibu <20
tahun organ tubuh belum berfungsi secara sempurna sedangkan usia ibu >35 tahun sudah mulai
mengalami penurunan fungsi organ tubuh sehingga bisa mengalami berbagai kelainan pada bayi.
(Sri, 2009)

Meski kehamilan dibawah umur sangat beresiko tetapi kehamilan diatas usia 35 tahun juga tidak
dianjurkan karena sangat berbahaya. Mengingat mulai usia ini sering muncul penyakit seperti
hipertensi, tumor jinak peranakan, organ kandungan sudah menua dan jalan lahir telah kaku.
Kesulitan dan bahaya yang akan terjadi pada kehamilan diatas usia 35 tahun ini adalah
preeklamsia, ketuban pecah dini, perdarahan, persalinan tidak lancar dan berat bayi lahir rendah.
(Rochjati, 2003).

7. Asupan ASI

ASI merupakan gizi bayi terbaik, sumber makanan utama dan paling sempura bagi bayi 0-6
bulan. ASI ekslusif menurut WHO (World Health Organization) adalah pemberian ASI saja
tanpa tambahan cairan lain baik susu formula, air putih, air jeruk, ataupun makanan tambahan
lain. Sebelum mencapai usia 6 bulan system pencernaan bayi belum mampu berfungsi dengan
sempurna, sehingga ia belum mampu mencerna makanan selain ASI. Setelah masa ini, bayi
mesti dikenalkan dengan makanan pendamping ASI. Contohnya bubur susu, bubur saring, dan
nasi tim. Mulai usia ini kapasitas pencernaan, enzim, dan kemampuan metabolisme bayi sudah
siap untuk menerima makanan lain selain ASI. Kebutuhan gizi bayi tidak tercukupi dari ASI dan
30% dari makanan pendamping ASI. Agar bayi memiliki memori yang memudahkan dia
mengonsumsi aneka bahan makanan bergizi, maka perlu dikenalkan tekstur dan rasa sejak dini.

Dari hasil penelitian Khairunnisak pada tahun 2013 menunjukan bahwa salah satu manfaat
pemberian ASI bagi bayi adalah menjadikan bayi yang diberi ASI lebih mampu menghadapi
efek penyakit kuning (ikterus). Jumlah bilirubin dalam darah bayi banyak berkurang seiring
diberikannya kolostrum yang dapat mengatasi kekuningan, asalkan bayi tersebut disusui sesering
mungkin dan tidak diberi pengganti ASI.

8. Faktor bayi

a. Inkompatibilitas Rhesus

Kira-kira 85% orang kulit putih mempunyai rhesus positif dan 15% rhesus negatif. Hemolisis
biasanya terjadi bila ibu mempunyai rhesus negatif dan janin rhesus positif. Bila sel darah janin
masuk keperedaran darah ibu, maka ibu akan dirangsang oleh antigen Rh sehingga membentuk
antibody terhadap Rh. Zat antibody ini dapat melalui plasenta dan masuk kedalam peredaran
darah janin dan selanjutnya menyebabkan penghancuran sel darah merah janin (hemolisis).
Hemolisis ini terjadi dalam kandungan dan akibatnya ialah pembentukan sel darah merah berarti
yang banyak. Oleh karena itu pula keadaan ini disebut crotroblastosis fetalis. Pengaruh kelainan
ini biasanya tidak terlihat pada anak pertama, akan tetapi menjadi makin nyata pada anak yang
dilahirkan selanjutnya.

Bila ibu sebelum mengandung anak pertama pernah mendapat transfuse darah yang inkompatibel
atau ibu mengalami keguguran dengan janin yang mempunyai rhesus positif pengaruh kelainan
inkompatibilitas rhesus ini akan terlihat pada bayi yang dilahirkan kemudian.

Bayi yang lahir mungkin mati (stillbirth) atau berupa hidrops fetalis yang hanya dapat hidup
beberapa jam dengan gejala edema yang berat, asites, anemia dan hepatosplenomegali.

Hasil menunjukan bahwa biasanya bayi mempunyai plasenta yang besar, bayi tampak pucat dan
cairan amnion berwarna kuning emas. Eritroblastosis fetalis pada saat lahir tampak normal, tetapi
beberapa jam kemudian timbul ikterus yang makin lama makin berat. Kadar bilirubin direct dan
indirect meninggi, juga terdapat bilirubin dalam urin dan tinja. (Ruspeno, 2005).

b. Inkompatibilitas ABO

Menurut statistik kira-kira 20% dari seluruh kehamilan terlihat dalam ketidakselarasan golongan
darah ABO dari 75% dari jumlah ini terdiri dari ibu golongan darah O dan janin golongan darah
A atau B. walaupun demikian hanya pada sebagian kecil tampak pengaruh hemolisis pada bayi
baru lahir. Hal ini disebabkan oleh karena isoglutonin anti-A dan anti-B yang terdapat dalam
serum ibu. Sebagian besar bebentuk 19-S, yaitu gamaglobulin-M yang tidak dapat melalui
plasenta (merupakan makro-globulin) dan disebut isoaglutinin natura. Hanya sebagian kecil dari
ibu yang mempunyai golongan darah O, mempunyai antibody 7-S, yaitu gamaglobulin g
(Isoglutinin imun) yang tinggi dan dapat melalui plasenta sehingga mengakibatkan hemolisis
pada bayi. (Ruspeno, 2005).

Dari hasil penelitian Donna Nurliana (2006) dengan judul “ Kejadian Hiperbilirubinemia Akibat
Inkompatibilitas ABO”. Menunjukkan dimana angka kejadian ikterus sebanyak 60 dalam tahun
2006 baik ikterus fisiologis maupun ikterus patologis yang diakibatkan karena inkompatibilitas
ABO yang juga memegang peranan penting dalm terjadinya hiperbilirubinemia.

Bilirubin berasal dari pemecahan hemoglobin yang terjadi dalam sel-sel RES dan sel-sel
poligonal hati. Sebagian besar (85-90%) terjadi penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-
15%) dari sentawa lain seperti mioglobinBilirubin yang terjadi tidak larut dalam plasma, oleh
karena itu untuk memungkinkan terjadinya transportasi ke dalam hepar maka pigmen tersebut
berikatan dengan protein plasma terutama albumin. Bilirubin yang berasal dari sel-sel RES
dilepas kedalam peredaran darah untuk kemudian memasuki hepar. Dalam keadaan fisiologis,
masa hidup erytrosit manusia sekitar 120 hari, eritrosit mengalami lisis 1-2×108 sel setiap jamnya
pada seorang dewasa dengan berat badan 70 kg, dimana diperhitungkan hemoglobin yang turut
lisis sekitar 6 gr per hari. Sel-sel eritrosit tua dikeluarkan dari sirkulasi dan dihancurkan oleh
limpa.

Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh. Sebagian
besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin darah dan sebagian lagi dari hem
bebas atau proses eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan
proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang
mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas.

Bila eritrosit telah hidup melampaui masa hidupnya selama rata-rata 120 hari maka membrannya
akan pecah dan hemoglobin yang dikeluarkan di fagositosis oleh sel Retikulo Endotel System
(RES) diseluruh tubuh. Hemoglobin pertama-tama dipecah menjadi heme dan globin, lingkaran
protoporfirin terbuka, Fe dilepaskan untuk diikat menjadi transferin, kemudian berubah menjadi
biliverdin dan direduksi menjadi bilirubin. Fe yang dilepaskan diikat oleh protein dalam jaringan
dan beredar dalam darah sebagai Iron Binding Protein Capacity.

Rantai globin sebagian akan dipecah menjadi asam-asam amino yang disimpan dalam Body Fool
of Amino Acid, sebagian tetap dalam bentuk rantai globin yang akan lagi digunakan untuk
membentuk hemoglobin baru. Bilirubin yang dilepaskan kedalam darah sebagian besar terikat
dengan albumin, sebagian kecil terikat dengan α2-globulin dan dibawa ke hati. Bilirubin yang
terikat dengan protein ini disebut prebilirubin atau Unconjugated bilirubin.

Di dalam sel hati (hepatosit), bilirubin diikat oleh 2 protein intraseluler utama dalam sitoplasma,
protein sitosolik Y (misalnya, ligandin atau glutathione S-transferase B) dan protein sitosolik z
(dikenal juga sebagai fatty acid–binding protein). Didalam hati bilirubin dilepaskan dari albumin
dan selanjutnya mengalami konjugasi dengan Asam glukoronat membentuk ester Bilirubin
monoglukoronat atau Bilirubin diglukoronat (BDG) yang dikenal dengan nama Conjugated
Bilirubin (CB). Proses ini berlangsung karena pengaruh enzim Urindhyn di-Phosphate
Glukoronil Transferase (UDPG). CB ini bersifat sangat mudah larut di air dan merupakan
pigmen utama dari empedu.
Bilirubin dikonjugasi (CB) disekresikan ke dalam saluran empedu dan melewati usus. (Baron,
1995). Ketika direct bilirubin (CB) ini sampai di usus besar / kolon oleh bakteri-bakteri usus
direduksi menjadi urobilinogen dimana sebagian urobilinogen tersebut direabsorpsi melalui
mukosa usus masuk dalam darah. Sebagian zat ini diekskresi oleh hati dan kembali masuk
kedalam usus kemudian sekitar 5 % diekskresi oleh ginjal melalui urine. Setelah urine tersebut
kena udara maka urobilinogen teroksidasi menjadi Urobilin sedangkan pada faeces
sterkobilinogen teroksidasi menjadi sterkobilin.

Bilirubin terbagi menjadi 2 jenis yaitu Bilirubin Indirek yang merupakan bilirubin yang
menglami konjugasi oleh hati dengan asam glukoronat dan Bilirubin Direk yang telah
mengalami konjugasi dengan asam glukoronat di dalam hati.

Terdapat perbedaan yang nyata antara Bilirubin direct dan bilirubin indirect, perbedaannya
adalah :

Tabel 1. Perbedaan Bilirubin Indirek dan Direk

Bilirubin Indirek Bilirubin Direk

 Tidak larut dalam air  Larut dalan air

 Larut dalam alkohol  Tidak larut dalam alkohol

 Terikat oleh protein albumin  Tidak terikat oleh protein

 Tidak mewarnai jaringan  Mewarnai jaringan

 Dengan reagent Azo tidak bereaksi  Dengan reagent Azo langsung bereaksi,
langsung perlu accelerator tidak accelerator

 Tidak terdapat dalam urine  Dapat ditemukan dalam urine

 Bilirubin yang belum dikonjugasi  Bilirubin yang dikonjugasi

 Tidak dapat difiltrasi oleh glomerulus  Dapat difiltasi oleh glomerulus

 Memiliki Afinitas terhadap sel lemak otak Tidak memiliki Afinitas terhadap sel
yang kuat sehingga meracuni otak. lemak otak yang kuat sehingga tidak
meracuni otak.

Kadar bilirubin dalam serum dipengaruhi oleh metabolisme hemoglobin, fungsi hati dan
kejadian-kejadian pada saluran empedu. Apabila destruksi eritrosit bertambah, maka terbentuk
lebih banyak bilirubin. Itu mungkin menyebabkan bilirubin prehepatik naik sedikit, tetapi hati
normal mempunyai daya ekskresi yang cukup besar, sehingga peningkatan bilirubin dalam serum
tidak terlalu tinggi. Bilirubinemia tidak pernah lebih tinggi dari 4 atau 5 mg/dl kalau sebabnya
hanya hemolisis saja.

Melemahnya fungsi hati mendatangkan kenaikan kadar bilirubin dalam serum yang
mengesankan (cukup tinggi). Berkurangnya daya uptake atau konjugasi pada sel-sel hati
mungkin menyebabkan kadar bilirubin indirek meningkat ; melemahnya ekskresi bilirubin
konjugat mendatangkan kadar bilirubin post hepatik meningkat. Konjugat bilirubin bersifat larut
air dan mudah menembus filter glomeruli ; bilirubin berbalik arah kembali kealiran darah jika
ada obstruksi saluran empedu dimana saja : dalam jaringan hati, pada saluran hepatik, pada
kantong empedu dan pada ductus choledochus. Disfungsi hepatoseluler yang sedang derajatnya,
menghambat penyaluran bilirubin konjugat ke dalam ductus colligentis ; kadar bilirubin direk
dalam darah dapat meningkat pada penyakit hepatoseluler, biarpun saluran-saluran empedu dapat
dilalui dengan bebas. Bila kadar bilirubin direk atau indirek sampai 2-4 mg/dl, maka pasien
menderita ikterus, yakni menguningnya kulit, selaput lendir dan sklera.

Definisi Ikterus fisiologis adalah ikterus yang timbul pada hari ke-2 dan hari ke-3 yang tidak
mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan dan tidak
menyebabkan suatu morbiditas pada bayi (Sarwono Prawirohardjo, 2002).

Ikterus fisiologis, atau joundice adalah suatu keadaan dimana jaringan berwarna kekuning-
kuningan akibat deposisi bilirubin yang terjadi bila kadar bilirubin darah mencapai 2 mg/dl
(Klinikmedis, 2007).

Ikterus neonatorum (bayi baru lahir berwarna kuning) adalah kondisi munculnya warna kuning
di kulit dan selaput mata pada bayi baru lahir karena adanya bilirubin (pigmen empedu) pada
kulit dan selaput mata akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah (hiperbilirubinemia)
(Masmoki, 2008).

Bayi kuning adalah kondisi dimana bayi tampak kekuning-kuningan (Lyen Kenneth, 1998).

Penyebab Ikterus Fisiologis

Akibat kadar glukoronil transferase yang rendah dan peningkatan bilirubin dari peningkatan
volume sel darah merah dengan pengurangan usia sel darah merah : usia sel darah merah bayi
baru lahir yang lebih pendek menyebabkan sel darah merah banyak memproduksi bilirubin
sehingga terjadi peningkatan bilirubin. Bilirubin indirek ini dalam kadar tinggi bersifat racun,
maka harus dirubah dalam bilirubin bebas yang larut dalam air. Untuk mengubah tersebut perlu
enzim glukoronil transferase. Jika kekurangan enzim glukoronil transferase di dalam hati, maka
kadar bilirubin indirek dalam darah bayi dapat meningkat.
Peningkatan eritropoiesis yang tidak efektif : neonatus memiliki masa eritrosit lebih banyak di
dalam sirkulasi sehingga siklus hidup eritrosit pada neonatus hanya 2/3 dari siklus hidup orang
dewasa (umur eritrosit yang lebih pendek yaitu 80 – 90 hari).

Sirkulasi enterohepatik : suatu sirkulasi bilirubin indirek yang sudah dirubah menjadi bilirubin
direk yang larut dalam air dan diekskresikan dengan cepat ke sistem empedu kemudian ke usus.
Dalam usus bilirubin direk ini tidak diabsorbsi maksudnya sebagian kecil bilirubin direk di
hidrolisis menjadi bilirubin indirek dan direabsorbsi kembali oleh mukosa usus (Merenstein
Gerrald, 2001).

Ikterus fisiologis pada bayi baru lahir karena fungsi hepar belum matang atau bila terdapat
gangguan dalam fungsi hepar (Sunarto Prawirohartono, 2007).

Memberikan minum yang belum mencukupi sehingga menurunkan kemampuan hati untuk
memproses bilirubin.

Tanda dan Gejala Ikterus Fisiologis

Letargi dan malas (Doengoes Marillynn, 2001).

Bagian putih bola mata bayi terlihat kuning.

Bayi yang tidak mau menyusu / tidur terus menerus.

Bila kulitnya ditekan beberapa detik akan terlihat warna kekuning-kuningan.Caranya:tekan jari
telunjuk kita secara ringan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung,
dada dan lutut (Tabloid-nakita, 2008).

Tangisan bernada tingi (Merenstein, 2001).

Kulit berwarna kuning.

Gambaran Klinis Ikterus Fisiologis


Di rumah sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, biasanya ikterus dikatakan fisiologis bila :

Timbul pada hari kedua dan ketiga.

Kadar bilirubin indirect sesudah 2x24 jam tidak melewati 15 mg % pada neonatus cukup bulan
dan 10 mg % pada neonatus kurang bulan.

Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari.

Kadar bilirubin direct tidak melebihi 1 mg %

Ikterus menghilang pada 10 hari pertama


Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis (Sarwono Prawirohardjo, 2002).

Cara Pencegahan Ikterus Fisiologis

Pencegahan infeksi pada bayi baru lahir

Pengawasan antenatal yang baik

Menghindari obat yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi pada masa kehamilan dan
kelahiran.

Pemberian minum sedini mungkin dengan jumlah cairan dan kalori yang mencukupi. Pemberian
minum sedini mungkin akan meningkatkan motilitas usus dan juga menyebabkan bakteri
diintroduksi ke usus (Asrining Surasmi, 2003).

Penatalaksanaan Ikterus Fisiologis

Pemberian makanan dini (ASI) dengan jumlah cairan dan kalori yang sesuai dengan kebutuhan
bayi baru lahir.

Mengajarkan ibu cara perawatan bayi baru lahir dengan baik.

Contoh : memandikan bayi dan perawatan tali pusat (Asrining Surasmi, 2003).

Tindakan menjemur bayi kuning di bawah sinar matahari, bilirubin akan menyerap sinar dengan
panjang gelombang 450-460 nm. Caranya : Lakukan antara jam 07.00 sampai jam 09.00 bayi
dijemur selama ½ jam dengan posisi ¼ jam dalam keadaan terlentang dan ¼ jam lagi dalam
keadaan telungkup (Rumahzakat, 2007).

Komplikasi Ikterus Fisiologis


Komplikasi terberat ikterus pada bayi baru lahir adalah kernikterus.
Kernikterus adalah suatu sindroma neurologis yang timbul sebagai akibat penimbunan bilirubin
dalam sel-sel otak yang tidak dapat dihancurkan dan dibuang.
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang
menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat kadarnya dalam sirkulasi
darah. Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah, sehingga kulit (terutama)
dan atau sklera tampak kekuningan. Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum
bilirubin > 2 mg/dL (> 17 µmol/L), sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum
bilirubin > 5 mg/dL (>86 µmol/L). Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus
setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin.

Klasifikasi Ikterus :

Tipe Lokasi dan penyebab

Tipe hiperbilirubinemia 1. Pre Hepatik


unconjugated
Peningkatan produksi bilirubin. Misal: Anemia hemolitik

2. Hepatik

a. Gangguan dalam pengambilan dan penimbunan UB dalam hepatosit

Misal : Sindrome gilbert dan hiperbilirubinemia hepatitis.

b. Gangguan aktifitas glukoronil transferase

Misal : Sindrome gilbert

Tipe hiperbilirubinemia c. Gangguan terhadap ekskresi UB terhadap CB


conjugated
Misal : Sindrome Dubin-Johnson

d. Kerusakan epitelium saluran empedu.

Misal : Sirosis hepatis

e. Kolestatis intrahepatik hepatitis alkoholik dan obat.

f. Kerusakan hepatoseluler / kolestatis intra hepatik disebabkan Hepatitis virus,


infeksi dengan Spirochaeta.

3. Post Hepatik

Terjadinya obstruksi saluran empedu oleh batu empedu dan saluran empedu
karsinoma.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala. Secara klinis hiperbilirubinemia terlihat sebagai gejala
ikterus, yaitu pigmentasi kuning pada kulit dan sklera. Ikterus biasanya baru dapat dilihat kalau
kadar bilirubin serum melebihi 34 hingga 43 µmol/L (2,0 hingga 2,5 mg/dL), atau sekitar dua
kali batas atas kisaran normal.

Gejala ini dapat terdeteksi dengan kadar bilirubin yang lebih rendah pada pasien yang kulitnya
putih dan yang menderita anemia berat. Gejala ikterus sering tidak terlihat jelas pada orang-
orang yang kulitnya gelap atau yang menderita edema. Jaringan sklera kaya dengan elastin yang
memiliki afinitas yang tinggi terhadap bilirubin, sehingga ikterus pada sklera biasanya
merupakan tanda yang lebih sensitif untuk menunjukkan hiperbilirubinemia daripada ikterus
yang menyeluruh. Tanda dini yang serupa untuk hiperbilirubinemia adalah warna urin yang
gelap, yang terjadi akibat ekskresi bilirubin lewat ginjal dalam bentuk bilirubin glukuronid.

Kadar bilirubin dalam serum dipengaruhi oleh metabolisme hemoglobin, fungsi hati dan kejadian
– kejadian pada saluran empedu. Bila dektruksi eritrosit bertambah maka terbentuk lebih banyak
bilirubin. Melemahnya fungsi hati dapat meningkatnya kadar bilirubin dalam serum yang
mengesankan (cukup tinggi). Berkurangnya daya aptake atau kunjugasi pada sel - sel hati
menyebabkan kadar bilirubin indirek meningkat ; Melemahnya ekskresi bilirubin konjugat
menyebabkan obtruksi saluran empedu. Bila kadar bilrubin direk dan indirek melebihi batas
normal sampai 2-4 mg/dl dan tertimbun didalam darah, menyebabkan ikterus (jaundice).
Menguningnya kulit, selaput lendir atau sklera.

Penyebab ikterus adalah banyaknya bilirubin di dalam cairan ekstrasel. Terdapat empat
mekanisme umum dimana heperbilirubinuria dan ikterus dapat terjadi :

1. Pembentukan bilirubin berlebihan.

2. Gangguan pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati.

3. Gangguan konjugasi bilirubin.

4. Pengurangan ekskresi bilirubin terkonjugasi dalam empedu akibat faktor intrahepatik


ektrahepatik yang bersifat obstruksi fungsional atau mekanik.
Pemeriksaan kadar bilirubin direk serum atau plasma merupakan pemeriksaan laboratorium yang sangat penting dan ikut
memberikan gambaran keadaan penyakit hati dan jenis – jenis ikterus. Pemeriksaan ini pada umumnya memakai metode
Jendrassik dan Grof (1938) dapat dipengaruhi oleh kerja fisik dan makanan tertentu seperti karoten, oleh karena itu
pengambilan sampel sebaiknya pagi hari dan dalam keadaan puasa.

Bilirubin tak terkonjugasi dan bilirubin terkonjugasi dapat dibedakan secara kimia oleh reaksi
asam sulfanilat yang diazotasi untuk membentuk azobilirubin. Bilirubin dikonjugasi bereaksi
cepat dengan warna lembayung muda dalam beberapa menit tanpa penambahan alkohol disebut
bilirubin direk. Sedangkan bilirubin tak terkonjugasi tidak memberikan warna yang segera tetapi
timbul setelah penambahan alkohol disebut bilirubin indirek.
Reaksi bilirubin direk, bilirubin indirek digunakan sebagai ukuran masing-masing bilirubin
dikonjugasi atau bilirubin total di dalam plasma. Bilirubin total dikurangi bilirubin direk
menghasilkan indirek atau bilirubin tak terkonjugasi.

Untuk menentukan kadar bilirubin dalam darah digunakan metode pengukuran yaitu :

Pemeriksaan dengan reaksi Diazotasi

Bilirubin serum dengan asam sulfanilat dan natrium nitrit mengalami reaksi diazotasi
membentuk zat warna merah dalam suasana asam dan berwarna hijau biru dalam suasana basa
yang sebanding dengan kadar bilirubin. Bilirubin indirek agar bereaksi dengan reagen diazo
maka perlu penambahan akselerator.

Bilirubinometer

Konsentrasi bilirubin dapat ditentukan dengan asbsorpsi pada panjang gelombang 454
nm.Metode ini jarang digunakan, pertama kali digunakan untuk analisa hiperbilirubinemia pada
neonatus.

Evelyn –Malloy

Bilirubin bereaksi dengan diazotised asam sulfanilat membentuk senyawa azobilirubin yang
berwarna ungu. Bilirubin glukoronida yang larut dalam air bereaksi langsung (direk) sedangkan
bilirubin indirek setelah dilarutkan dengan alkohol. Reaksi berjalan dengan pH 1,2 dan hasil
reaksi dibaca pada panjang gelombang 546 nm. Metode ini sering digunakan sebagai prosedur
otomatis dan mikro analisa sangat sensitif tetapi sangat dipengaruhi oleh gangguan hemoglobin.

Uji Kadar Bilirubin Total & Direk : Metode Jendrassik & Grof Uji Kadar Bilirubin Total &Direk
: Metode Jendrassik & Grof 7.1 Tujuan 1. Untuk menentukan total bilirubin di dalam serum. 2.
Untuk menentukan kadar direct bilirubin di dalam serum uji. 7.2 Metode yang Digunakan
Metode yang digunakan dalam penentuan kadar bilirubin baik bilirubin total atau bilirubin direct
yaitu Jendrassik & Grof. 7.3 Prinsip Pemeriksaan Bilirubin adalah pigmen kuning yang berasal
dari perombakan heme dari hemoglobin dalam proses pemecahan eritrosit oleh sel retikulo
endotel. Disamping itu sekitar 20% bilirubin berasal dari perombakan zat-zat lain. Sel retikulo
endotel membuat bilirudbin tidak larut dalam air; bilirubin yang disekresikan dalam darah harus
diikatkan pada albumin untuk diangkut dalam plasma untuk menuju hati. Di dalam hati, sel
hepatosit melepaskan ikatan itu dan mengkonjugasikannya dengan asam glukoronat sehingga
bersifat larut air, dimana reaksi ini melibatka enzim glukoroni transferase (Joy ce, 2007).
Bilirubin terkonjugasi masuk ke saluran empedu dan dieksresikan ke usus. Selanjutnya flora usus
akan mengubahnya menjadi urobilinogen dan dibuang melalui feses serta sebagian kecil dibuang
melalui urine. Bilirubin yang terkonjugasi akan dengan cepat bereaksi dengan asam sulfanil yang
terdiazotasi membentuk azobilirubin atau bilirubin langsung (direct bilirubin). Bilirubin
terkonjugasi yang merupakan bilirubin bebas yang terikat albumin harus terlebih dahulu
dicampur dengan alcohol, kafein, atau pelarut lain sebelum dapat bereaksi, dan sering disebut
sebagai bilirubin tidak langsung (indirect bilirubin) (Joy ce, 2007). Peningkatan kadar bilirubin
direct menunjukan adanya gangguan pada hati berupa kerusakan pada sel hati atau kerusakan
pada saluran empedu (batu atau tumor). Bilirubin terkonjugasi tidak dapat keluar dari empedu
menuju usus sehinga akan masuk kembali dan terabsorbsi ke dalam aliran darah. Sedangkan
peningkatan kadar bilirubin indirect sering dikaitkan dengan peningkatan destruksi eritrosit
(hemolisis), seperti pada penyakit hemolitik oleh autoimun, transfuse, atau eritroblastosis fatalis.
Peningkatan destruksi eritrosi tidak diimbangi dengan kecepatan konjugasi dan ekresi ke saluiran
empedu sehingga terjadi peningkatan kadar bilirubin indirect (Joy ce, 2007). Peningkatan kadar
bilirubin yang berlebih dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya yaitu : 1. Hemolisis
akibat inkompaktibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi G6PD, sferositosis herediter
dan pengaruh obat. 2. Infeksi, septicemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi
intrauterine. 3. Polisitemia. 4. Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma
lahir. 5. Ibu diabetes. 6. Asidosis. 7. Hipoksia/asfiksia. 8. Sumbatan traktus digestif yang
mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik. Dalam uji laboratorium, bilirubin diperiksa
sebagai bilirubin total dan bilirubin direct. Sedangkan bilirubin indirect diperhitungkan dari
selisih antara bilirubin total dengan bilirubin direct. Metode pengukuran yang digunakan adalah
fotometri atau spektrofotometri yang mengukur intensitas warna azobilirubin. Nilai rujukan :
DEWASA : Total : 0,1±1,2 mg/dL Direct : 0,1 ±0,3 mg/dL Indirect : 0,1-1,0 mg/dL ANAK :
Total : 0,2±0,8 mg/dL Indirect : sama dengan dewasa BAYI BARU LAHIR : Total : 1±12
mg/dL Indirect : sama dengan dewasa (Joy ce, 2007) Bilirubin Total dan Direct Peningkatan
kadar dari bilirubin total dan direct dapat terjadi akibat ikterik obstruktif karena batu atau
neoplasma empedu, hepatitis, sirosis hati, mononucleosis infeksiosa, metastasis hati, penyakit
Wilson. Selain terjadi akibat penyakit dapat pula terjadi akibat penggunaan obat misalnya yaitu :
antibiotik (amfoterisin B, klindamisin, eritromisin, gentamisin, linkomisin, oksasilin, tetrasiklin),
sulfonamide, obat antituberkulosis (asam paraaminosalisilat, isoniazid), alupurinol, diuretic
(asetazolamid, asametakrinat), mitramisis, dekstran, diazepam (valium), barbiturate, narkotik
(kodein, morfin, meperidin), flurazepam, indometasin, metotreksat, metildopa, papaverin,
prokainamid, steroid, kontrasepsi oral, torbutamid, serta vitaminA,C,K. sedangkan penurunan
kadar dari bilirubin total dan direct dapat disebabkan karena anemia defisiensi besi dan pengaruh
obat seperti barbiturate, salisilat (aspirin), penisilin, kafein dalam dosis tinggi (Joy ce, 2007).
Bilirubin Indirect Peningkatan kadar dari bilirubin indirect dapat disebabkan oleh eritroblastosis
fetalis, anemia sel sabit, reaksi tranfusi, malaria, anemia pernisiosa, septicemia, anemia
hemolitik, talesemia,CHF, sirosis terdekompensasi, hepatitis, dan pengaruh obat seperti aspirin,
rifampin dan fenotiazin. Sedangkan penurunan kadar bilirubin indirect disebabkan karena
pengaruh obat (Joy ce, 2007). Pemeriksaan bilirubin dalam urin berdasarkan reaksi antara garam
diasonium dengan bilirubin dalam suasana asam, yang menimbulkan warna biru atau ungu tua.
Garam diazonium terdiri dari p-nitrobenzene diazonium dan p-toluene sulfonate, sedangkan
asam yang dipakai adalah asam sulfosalisilat. Adanya bilirubin 0,05-1 mg/dL urin akan
memberikan hasil positif dan keadaan ini menunjukan kelainan fungsi hati atau saluran empedu.
Hasil positif palsu dapat terjadi bila dalam urin terdapat mefenamic acid, chlorpromazine dengan
kadar yang tinggi, sedangkan negatif palsu dapat terjadi bila urin mengandung metabolit pyidium
atau serenium (Joy ce, 2007). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium : 1.
Makan malam yang mengandung lemak tinggi sebelum pemeriksaan dapat mempengaruhi kadar
bilirubin. 2. Hemolisis pada sampel darah dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan. 3. Sampel
darah yang terpapar sinar matahari atau terang lampu, kandungan pigmen empedunya akan
menurun. 4. Obat-obatan tertentu dapat meningkatkan atau menurunkan kadar blirubin (Joy ce,
2007). Metode pengukuran kadar bilirubin dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai
macam metode yaitu : 1. Van den Bergh, Malloy dan Reaksi Evelyn Metode ini digunakan
reagen Ehlirch diazo, dimana reagen ini bila direaksikan dengan bilirubin direct dalam larutan
berair akan membentuk kompleks senyawa berwarna merah muda sampai ungu dalam waktu 1
menit, sedangkan dalam larutan metil alcohol 50%, reagen Ehlirch diazo akan bereaksi dengan
bilirubin total membentuk warna merah muda sampai ungu pada waktu penangguhan 30 menit
(Anonim, tt). 2. Jendrassik & Grof Pada metode ini, serum atau plasma ditambahkan ke dalam
larutan natrium asetat dan kefein-natrium benzoat. Natrium asetat berfungsi sebagai buffer pH
pada reaksi diazo, sedangkan natrium benzoate-kafein berfungsi mempercepat kopling bilirubin
dengan diazotized asam sulfanilic. Warna azobilirubin muncul dalam waktu 10 menit (Anonim,
tt). 3. ASTRA Metode ini merupakan modifikasi dari metode Jendrassik & Grof (Anonim, tt). 4.
ACA - Untuk bilirubin terkonjugasi : bilirubin terkonjugasi bereaksi dengan DSA dalam suasana
asam membentuk kromofor merah. Absorbansi kromofor sebanding dengan bilirubin
terkonjugasi yang terdapat di dalam serum. Pengukuran dilakukan pada panjang gelombang 540-
600 nm. Conjugated bilirubin + DSA + H+ 6 Red chromophore (non-absorbing at 540 nm)
(absorbs at 540 nm) (Anonim, tt). - Untuk bilirubin total : bilirubin total akan bereaksi dengan
DSA dalam suasana asam membentuk kromofor berwarna merah. Lithium deodesil sulfat
(OSZA) digunakan untuk melarutkan bilirubin tak terkonjugasi. Absorbansi kromofor
berbanding lurus dengan bilirubin dalam sampel dan diukur dengan menggunakan panjang
gelombang 540-600 nm. (Anonim, tt). Prinsip pemeriksaan dari uji kadar bilirubin ini adalah
reaksi bilirubin dengan asam sulfanilic diazotized akan membentuk kompleks azobilirubin.
Kompleks warna yang terbentuk sangat tergantung pada pH, pada suasana asam atau netral akan
terbentuk kompleks warna merah muda, sedangkan pada suasana basa akan terbentuk kompleks
warna biru atau ungu. (Anonim, tt) 7.4 Alat dan Bahan a. Alat Tabung reaksi Pipet ukur Alat
spektrofotometri b. Bahan Aquades Serum Asam sulfanilat Pereaksi diazo Methanol 7.5 Cara
Kerja Penentuan Kadar Bilirubin Total dalam Serum : Dibuat pereaksi diazo : 10 mL larutan
asam sulfanilat dicampur dengan 0,3 mL Natrium Nitrit. ↓ Dicampur bahan uji dengan
perbandingan sebagai berikut : Test (T) Blanko (Bl) Standar Aquades (mL) 1 1 1 Serum/ plasma
(mL) 0,1 0,1 0,1 Asam sulfanilat (mL) - 0,3 0,1 Pereaksi diazo (mL) 0,3 - 0,3 Metanol (mL) 1,5
1,5 1,5 ↓ Dicampurkan dan ditangguhan selama 30 menit. ↓ Dibaca dengan spektrofotometer
pada panjang gelombang 530 nm dengan titik nol aquades. ↓ Digunakan standar 10 mg%, dibaca
absorbansinya pada l 530 nm. ↓ Prosedur nomor 2 dilakukan sebanyak 2 kali. Penentuan Direct
Bilirubin Dibuat pereaksi diazo : 10 mL larutan asam sulfanilat dicampur dengan 0,3 mL
Natrium Nitrit. ↓ Dibuat campuran bahan uji dengan perbandingan sebagai berikut : Test (T)
Blanko (Bl) Standar Aquades (mL) 1 1 1 Serum / plasma (mL) 0,1 0,1 - Asam sulfanilat (mL) -
0,3 0,3 Pereaksi diazo (mL) 0,3 - 0,3 Metanol (mL) - - 0,1 ↓ Dilakukan sebanyak dua kali
prosedur di atas. ↓ Dicampur dan didiamkan selama 10 menit. ↓ Dibaca pada panjang gelombang
530 nm dengan titik nol aquades. ↓ Dicatat absorbansinya. 7.6 Hasil Pemeriksaan & Interpretasi
Hasil Hasil Pengamatan Kadar Bilirubin Total Standar = 0,015 Blanko A = 0,020 Blanko B =
0,033 Test A = 0,042 Test B = 0,017 Perhitungan : Test A Total bilirubin= = = 14,67 mg % Test
B Total bilirubin = = = - 10,667 mg % Perhitungan total bilirubin pada test B tidak dapat
menunjukkan hasil karena menghasilkan nilai negatif. Hasil Pengamatan Kadar Bilirubin Direct
Standar = 0,001 Blanko A = 0,014 Blanko B = 0,025 Test A = 0,034 Test B = 0,080 Perhitungan
: Test A Total bilirubin = = = 200 mg % Test B Total bilirubin = = = 550 mg % Interpretasi Hasil
Fraksi terkonjugasi (direct bilirubin) adalah fraksi yang larut dalam air sehingga dapat diekskresi
oleh ginjal. Ketika dilakukan perhitungan dengan metode Van den Bergh, total serum bilirubin
total konsentrasinya 17 mmol/L atau 1 mg/dL, lebih dari 80% dari bilirubin total atau 5,1 µmol/L
(0,3 mg/dL) adalah nilai normal direct bilirubin (Harrison’s Principles of Internal Medicine 17th
Edition). Peningkatan konsentrasi bilirubin total plasma (unconjugated/indirect bilirubin)
menunjukkan adanya peningkatan produksi bilirubin total plasma, penyakit hemolisis.
Sedangkan peningkatan konsentrasi direct bilirubin menunjukkan kelainan hereditas, kerusakan
sel-sel hati. Pada hasil perhitungan bilirubin total dan direct bilirubin yang didapat saat
praktikum, test A memiliki nilai total bilirubin > 0,1 mg/dL, yaitu 14, 67 mg/dL, dan untuk test
B, yaitu -10,667 mg/dL. Untuk test A, nilainya jauh melebihi batas normal, maka dapat
dikatakan terjadi hemolisis eritropoesis pada pasien A. Sedangkan untuk test B, hasil yang
didapatkan memiliki nilai negatif (-10,667 mg/dL), sehingga tidak dapat diinterpretasikan.
Perhitungan untuk direct bilirubin, nilainya pada test A = 200 mg/dL, dan pada test B = 550
mg/dL. Nilai ini sangat tinggi sehingga ada kemungkinan pada kedua pasien mengalami kelainan
hereditas. 7.7 Pembahasan Pada praktikum kali ini dilakukan penentuan kadar bilirubin total dan
kadar bilirubin direct. Reaksi bilirubin dengan asam sulfanilic diazotized akan membentuk
kompleks azobilirubin. Kompleks warna yang terbentuk sangat tergantung pada pH, pada
suasana asam atau netral akan terbentuk kompleks warna merah muda, sedangkan pada suasana
basa akan terbentuk kompleks warna biru atau ungu. (Anonim,tt). Bilirubin merupakan pigmen
kuning yang berasal dari perombakan heme dari hemoglobin dalam proses pemecahan eritrosit
oleh sel retikulo endotel. Sel retikulo endotel membuat bilirubin tidak larut dalam air; bilirubin
yang disekresikan dalam darah harus diikatkan pada albumin untuk diangkut dalam plasma untuk
menuju hati (Joyce,2007). Dari hasil praktikum penentuan kadar total bilirubin dilakukan dengan
menggunakan reagen diazo untuk membentuk kompleks warna yang nantinya dapat diukur
dengan spektrofotometri. Penggunaan asam sulfanilat dalam reagen diazo ini berfungsi untuk
memberikan suasana asam sehingga membantu pembentuk kompleks warna, sedangkan
penambahan metil alcohol berfungsi untuk memberikan suasana basa, sehingga kompleks yang
terbentuk akan berwarna merah muda sampai ungu. Larutan ditangguhkan selama 30 menit
bertujuan agar garam diazonium bereaksi sempurna dengan bilirubin yang terdapat dalam serum.
Dari hasil pengamatan didapatkan bahwa, nilai absorbansi standar sebesar 0,015, blanko sebesar
A 0,020 dan blanko B 0,033, dan absorbansi test A yaitu 0,042 test B yaitu 0,017 sehingga nilai
total bilirubin A didapatkan sebesar 14,67 mg/dL, dan untuk test B sebesar -10,667 mg/dL,
dimana nilai ini total untuk dewasa yaitu : 0,1±1,2 mg/dL. Hasil negatif pada test B mungkin
disebabkan oleh kesalahan pada saat pengerjaan, seperti pemipetan yang kurang akurat sehingga
kadar total bilirubin yang rendah terbaca. Peningkatan nilai ini diakibatkan karena beberapa
faktor misalnya yaitu: 1. Hemolisis akibat inkompaktibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus,
defisiensi G6PD, sferositosis herediter dan pengaruh obat. 2. Infeksi, septicemia, sepsis,
meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intrauterine. 3. Polisitemia. 4. Ekstravasasi sel darah
merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir. 5. Ibu diabetes. 6. Asidosis. 7. Hipoksia/asfiksia. 8.
Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik. Dari hasil
praktikum penetuan kadar bilirubin direct juga dilakukan dengan menggunakan reagen diazo
dalam suasana asam dengan menggunakan asam sulfanilat. Bilirubin dalam serum jika
direaksikan dengan reagen diazo akan dapat membentuk kompleks warna yang nantinya diukur
intensitasnya dengan spektofotometri. Pada pengukuran ini dilakukan penangguhan larutan
selama 10 menit yang bertujuan agar bilirubin bereaksi dengan garam diazonium dengan
bilirubin yang terdapat di di dalam serum. Dari hasil pengamatan didapatkan absorbansi standar
0,001, blanko A 0,014, blanko B 0,025, test A 0,034, dan test B 0,080. Nilai rujukan untuk kadar
bilirubin direct yaitu: 0,1 ±0,3 mg/dL. Dari hasil perhitungan, diperoleh nilai direct bilirubin
yang sangat tinggi di atas normal, yaitu 200 mg/dL untuk test A dan 550 mg/dL untuk test B.
Hasil ini dapat menunjukan keadaan kelainan fungsi hati atau saluran empedu. Hasil positif palsu
dapat terjadi bila dalam urin terdapat mefenamic acid, chlorpromazine dengan kadar yang tinggi,
sedangkan negatif palsu dapat terjadi bila urin mengandung metabolit pyidium atau serenium
Peningkatan kadar bilirubin direct menunjukan adanya gangguan pada hati berupa kerusakan
pada sel hati atau kerusakan pada saluran empedu (batu atau tumor). Bilirubin terkonjugasi tidak
dapat keluar dari empedu menuju usus sehinga akan masuk kembali dan terabsorbsi ke dalam
aliran darah (Joy ce,2007). Selain dapat menentukan kadar bilirubin total dan bilirubin direct,
juga dapat ditentukan kadar bilirubin indirect, kadar bilirubin indirect dapat ditentukan dengan
selisih dari kadar total dengan kadar bilirubin direct. Nilai rujukan untuk pengukuran kadar
bilirubin indirect : 0,1-1,0 mg/dL. Peningkatan kadar bilirubin indirect sering dikaitkan dengan
peningkatan destruksi eritrosit (hemolisis), seperti pada penyakit hemolitik oleh autoimun,
transfuse, atau eritroblastosis fatalis. Peningkatan destruksi eritrosi tidak diimbangi dengan
kecepatan konjugasi dan ekresi ke saluiran empedu sehingga terjadi peningkatan kadar bilirubin
indirect (Joy ce,2007 Today Deal $50 Off : https://goo.gl/efW8Ef

Today Deal $50 Off : https://goo.gl/efW8Ef

Ikterus adalah gambaran klinis berupa pewarnaan kuning pada kulit dan mukosa karena
adanya deposisi produk akhir katabolisme heme yaitu bilirubin. Jaringan permukaan yang kaya
elastin, seperti sklera dan permukaan bawah lidah, biasanya adalah bagian yang pertama kali
mengalami kuning. Pada neonatus atau bayi baru lahir, baru tampak apabila serum bilirubin
sudah > 5 mg/dL (> 86 μmol/L).
Pada keadaan normal, kadar bilirubin indirek bayi baru lahir adalah 1-3 mg/dl dan naik
dengan kecepatan < 5 mg/dl/24 jam, dengan demikian ikterus fisiologis dapat terlihat pada hari
ke-2 sampai ke-3, berpuncak pada hari ke-2 dan ke-4 dengan kadar berkisar 5-6 mg/dL (86-103
μmol/L), dan menurun sampai di bawah 2 mg/dl antara umur hari ke-5 dan ke-7.
Ikterus pada neonatus tidaklah selamanya patologis (red: penanda adanya sebuah
penyakit). Pada neonatus dapat pula terjadi ikterus fisiologis yang dapat merupakan fenomena
dari keadaan berikut, yaitu:

1. Peningkatan penghancuran eritrosit janin karena pendeknya usia eritrosit.


2. Rendahnya ekskresi hepar dan rendahnya kadar glukoronil transferase pada neonatus.
3. Gerakan usus yang lambat akibat belum ada intake.
Suatu ikterus pada neonatus dikatakan fisiologis jika ditemukan keadaan berikut, yaitu:
1. Pertama kali muncul pada usia 24-72 jam setelah lahir.
2. Terjadi selama 4-5 hari pada bayi normal dan 7 hari pada bayi prematur.
3. Kadar bilirubin tidak melebihi 15 mg/dl
4. Tidak terdeteksi secara klinis setelah 14 hari. Atau dengan kata lain tidak ditemukan dasar
patologis.
Peningkatan level bilirubin indirek yang lebih tinggi lagi dapat digolongkan sebagai keadaan
patologis yang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan. Beberapa keadaan berikut tergolong
dalam ikterus patologis, antara lain:

1. Timbul dalam 24 jam pertama kehidupan.


2. Bilirubin total/indirek untuk bayi cukup bulan > 13 mg/dL atau bayi kurang bulan >10
mg/dL.
3. Peningkatan bilirubin > 5 mg/dL/24 jam.
4. Kadar bilirubin direk > 2 mg/dL.
5. Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah, defisiensi G6PD, atau
sepsis)
6. Ikterus yang disertai oleh: Berat lahir <2000 gram="gram" span="span">, Masa gestasi
36 minggu, Asfiksia, hipoksia, sindrom gawat napas pada neonatus, Infeksi, Trauma lahir
pada kepala, Hipoglikemia
7. Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia >8 hari (pada aterm) atau >14 hari (pada
prematur)
Untuk menilai kadar bilirubin secara klinis, Kramer memperkenalkan penilaian klinis
derajat ikterus neonatal. Penilaian tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kramer I : Daerah kepala (Bilirubin total ± 5 – 7 mg)
2. Kramer II : Daerah dada – pusat (Bilirubin total ± 7 – 10 mg%)
3. Kramer III : Perut dibawah pusat - lutut (Bilirubin total ± 10 – 13 mg)
4. Kramer IV : Lengan sampai pergelangan tangan, tungkai bawah sampai pergelangan kaki
(Bilirubin total ± 13 – 17 mg%)
5. Kramer V : hingga telapak tangan dan telapak kaki (Bilirubin total >17 mg%)

Untuk mendiagnosa ikterus pada neonatus dapat dipakai bagan berikut sebagai pedoman.
Bagan diagnosa disajikan sebagai berikut:
Penatalaksanaan: (diambil dari Standar Penatalaksanaan IKA FK UNSRI)

1. Fototerapi jika terdapat indikasi menurut grafik Cockington


2. Fototerapi dihentikan jika kadar bilirubin tidak meningkat lagi dan kadarnya separuh dari
kadar indikasi transfusi tukar bila kada bilirubin sebelumnya < 13 mg/dl.
3. Transfusi tukar dilakukan bila Hb tali pusat < 10 ; kadar bilirubin tali pusat > 5 g/dl;
bilirubin total meningkat > 5 g/dl; bayi menunjukkan tanda bilirubin ensefalopati (
hipotoni, kaki melengkung, retrocolis, panas, panas tinggi); anemia dengan early jaundice
dengan Hb 10-13 dan kecepatan peningkatan 0,5 mg%/jam; anemia dengan bilirubin >
umur bayi (jam) setelah usia 24 jam pertama; bilirubin total > 25 mg/dl; anemia progresif
saat pengobatan hiperbilirubinemia.
4. Taransfusi tukar ulang jika: bilirubin meningkat lagi > 1 mg%/jam setelah transfusi tukar,
bilirubin meningkat lagi > 25 mg%/dl, dan persisten hemolitik anemia.

Sedangkan menurut IDAI sendiri adalah sebagai berikut:


“The American Academy of Pediatrics (AAP) telah membuat parameter praktis untuk
tata laksana hiperbilirubinemia pada bayi cukup bulan yang sehat dan pedoman terapi sinar
pada bayi usia gestasi ≥ 35 minggu. Pedoman tersebut juga berlaku pada bayi cukup bulan yang
sehat dengan BFJ dan BMJ. AAP tidak menganjurkan penghentian ASI dan telah
merekomendasikan pemberian ASI terus menerus (minimal 8-10 kali dalam 24 jam).
Penggantian ASI dengan pemberian air putih, air gula atau susu formula tidak akan
menurunkan kadar bilirubin pada BFJ maupun BMJ yang terjadi pada bayi cukup bulan sehat.
Gartner dan Auerbach mempunyai pendapat lain mengenai pemberian ASI pada bayi dengan
BMJ. Pada sebagian kasus BMJ, dilakukan penghentian ASI sementara. Penghentian ASI akan
memberi kesempatan hati mengkonjungasi bilirubin indirek yang berlebihan. Apabila kadar
bilirubin tidak turun maka penghentian ASI dilanjutkan sampai 18–24 jam dan dilakukan
pengukuran kadar

bilirubin setiap 6 jam. Apabila kadar bilirubin tetap meningkat setelah penghentian ASI selama
24 jam, maka jelas penyebabnya bukan karena ASI, ASI boleh diberikan kembali sambil mencari
penyebab hiperbilirubinemia yang lain. Jadi penghentian ASI untuk sementara adalah untuk
menegakkan diagnosis.

Persamaannya dengan AAP yaitu bayi dengan BFJ tetap mendapatkan ASI selama dalam proses
terapi. Tata laksana yang dilakukan pada BFJ meliputi (1) pemantauan jumlah ASI yang
diberikan apakah sudah mencukupi atau belum, (2) pemberian ASI sejak lahir dan secara
teratur minimal 8 kali sehari, (3) pemberian air putih, air gula dan formula pengganti tidak
diperlukan, (4) pemantauan kenaikan berat badan serta frekuensi BAB dan BAK, (5) jika kadar
bilirubin mencapai 15 mg/dL, perlu melakukan penambahan volume cairan dan stimulasi
produksi ASI dengan melakukan pemerasan payudara, (6) jika kadar bilirubin mencapai kadar
20 mg/dL, perlu melakukan terapi sinar jika terapi lain tidak berhasil, dan (7) pemeriksaan
komponen ASI dilakukan jika hiperbilirubinemia menetap lebih dari 6 hari, kadar bilirubin
meningkat melebihi 20 mg/dL, atau

riwayat terjadi BFJ pada anak sebelumnya.

Yang dimaksud dengan fototerapi intensif adalah radiasi dalam spektrum biru-hijau
(panjang gelombang antara 430-490 nm), setidaknya 30 μW/cm2 per nm (diukur pada kulit bayi
secara langsung di bawah pertengahan unit fototerapi) dan diarahkan ke permukaan kulit bayi
seluas-luasnya. Pengukuran harus dilakukan dengan radiometer spesifik dari manufaktur unit
fototerapi tersebut.
Selanjutnya pertanyaan yang sering timbul adalah kapan terapi sinar harus dihentikan.
Sampai saat ini belum ada standar pasti untuk menghentikan terapi sinar, akan tetapi terapi
sinar dapat dihentikan bila kadar BST sudah berada di bawah nilai cut off point dari setiap
kategori. Untuk bayi yang dirawat di rumah sakit pertama kali setelah lahir (umumnya dengan
kadar BST > 18 mg/dL (308 μmol/L) maka terapi sinar dapat dihentikan bila BST turun sampai
di bawah 13 – 14 mg/dL (239 μmol/L). Untuk bayi dengan penyakit hemolitik atau dengan
keadaan lain yang diterapi sinar di usia dini dan dipulangkan sebelum bayi berusia 3–4 hari,
direkomendasikan untuk pemeriksaan ulang bilirubin 24 jam setelah dipulangkan. Bayi yang
dirawat di rumah sakit untuk kedua kali dengan hiperbilirubinemia dan kemudian dipulangkan,
jarang terjadi kekambuhan yang signifikan sehingga pemeriksaan ulang bilirubin dilakukan
berdasarkan indikasi klinis.
Sebagian besar unit neonatal di Indonesia masih memberikan terapi sinar pada setiap
bayi baru lahir cukup bulan dengan BST ≥ 12 mg/dL atau bayi prematur dengan BST ≥ 10
mg/dL tanpa melihat usia. Diharapkan agar penggunaan terapi sinar atau transfusi tukar
disesuaikan dengan anjuran AAP. Gartner dan Auerbach merekomendasikan jika kadar
bilirubin > 20 mg/dL pada bayi cukup bulan, maka penting untuk menurunkan kadar bilirubin
secepatnya. Terapi sinar harus segera dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan laboratorium
darah untuk penegakan diagnosis BFJ dan BMJ. Pada beberapa kasus, pemberian cairan intra
vena dapat dipertimbangkan misalnya ada dehidrasi atau sepsis.
Terapi sinar dapat dilakukan bila ada riwayat pada saudara sebelumnya mengalami
BMJ. Batas kadar bilirubin untuk melakukan terapi sinar biasanya lebih rendah pada kasus
tersebut (< 12 mg/dL). Pemantauan lanjut saat bayi sudah di rumah juga penting dilakukan.
Pemantauan dapat berlangsung selama kurang lebih 14 hari. Pemantauan dilakukan terutama
jika kadar bilirubin mencapai > 12 mg/dL.”

Lampiran: Grafik Cockington (usia gestasi > 35 minggu):


a. Untuk pedoman fototerapi:

b. Untuk transfusi tukar


Tambahan:
Kuning pada bayi dapat juga berhubungan dengan pemberian ASI. Breastmilk jaundice
mempunyai karakteristik kadar bilirubin indirek yang masih meningkat setelah 4-7 hari pertama.
Kondisi ini berlangsung lebih lama daripada hiperbilirubinemia fisiologis dan dapat berlangsung
3-12 minggu tanpa ditemukan penyebab hiperbilirubinemia lainnya. Penyebabnya berhubungan
dengan pemberian ASI dari seorang ibu tertentu dan biasanya akan timbul pada setiap bayi yang
disusukannya. Semua bergantung pada kemampuan bayi tersebut dalam mengkonjugasi bilirubin
indirek (bayi prematur akan lebih berat ikterusnya). Pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua
bentuk ikterus, yaitu:

1. Early onset breastfeeding jaundice (Onset beberapa hari pertama kehidupan)

Penurunan volume dan frekuensi makan dapat menyebabkan dehidrasi sedang dan pengeluaran
mekonium terlambat. Dibandingkan dengan bayi yang mendapat susu formula, bayi yang
mendapat ASI lebih sering 3-6 kali mengalami ikterus. Pada bayi dengan early onset
hiperbilirubinemia, frekuensi pemberian Asi harus ditingkatkan menjadi lebih dari 10 kali
perhari. Jika BB bayi tidak naik, BAB terlambat, dan dan mengalami kekurangan intake kalori,
suplemen formula perlu diberikan. Tetapi ASI harus tetap diberikan untuk meningkatkan
produksi. Tetapi, suplemen seperti dekstrosa dan air harus dihindari. tidak terdapat bukti jika
bentuk ini berhubungan dengan abnormalitas ASI sehingga penghentian ASI hanya dilakukan
jika ikterus menetap lebih dari 6 hari, bilirubin meningkat >20 mg/dl, atau ibu memiliki riwayat
bayi kuning pada bayi sebelumnya.

2. Late onset breastfeeding jaundice ( Onset 6 – 14 hari kehidupan)

Bentuk yang kedua ini terjadi dengan peningkatan bilirubin dengan puncvak di hari ke 6-14
kehidupan. Tetapi keadaan ini tidak mengindikasikan bahwa ikterus dengan bentuk ini adalah
patologis. Penyebab utama terjadinya kuning belum dimengerti dengan baik. Diperkirakian
bahwa substansi ASI seperti β-glucuronidases, dan nonesterified fatty acids daqpat menghambat
metabolisme bilirubin normal. Bilirubin dapat turun secara perlahan setelah bayi berusia 2
minggu tetapi dapat juga bertahan sampai usia 2-3 bulan. Jika ikterus karena ASI masih
diragukan atau nilai bilirubin semakin naik, maka ASI dapat dihentikan. Jika dengan penghentian
kadar bilirubin turun (rata-rata 3 mg/dl/hari), maka diagnosa dapat ditegakkan yaitu ikterus
karena ASI sehingga ASI dapat kembali diteruskan.

"Menyusui dengan frekuensi sering walau singkat lebih baik daripada pemberian jarang dan
lama".

Anda mungkin juga menyukai