4 3817 PDF
4 3817 PDF
a. Alkaloid
Gambar 14. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Meyer; a) Akar, b) Batang, c) Kulit
batang, d) Daun
Uji alkaloid ini dilakukan dengan menggunakan dua pereaksi, yaitu pereaksi
Meyer dan pereaksi Wagner. Pada uji alkaloid dengan pereaksi Meyer, indikator
positif dari pengujiannya adalah terbentuknya endapan putih setelah ditambahkan
pereaksi. Dari Gambar 14, dapat dilihat bahwa tidak terbentuk endapan putih dari
keempat sampel yang diuji. Hal ini menunjukkan bahwa sampel tersebut negatif
mengandung alkaloid.
Gambar 15. Hasil Uji Alkaloid dengan Pereaksi Wagner; a) Akar, b) Batang, c)
Kulit Batang, d) Daun
25
26
b. Flavonoid
Uji flavonoid ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam pereaksi, yaitu
HCl pekat dengan serbuk Mg, H2SO4 2N, dan NaOH 10%.
Gambar 16. Hasil Uji Flavonoid dengan Pereaksi HCl dan Serbuk Mg; a) Akar, b)
Batang, c) Kulit batang, d) Daun
Gambar di atas menunjukkan hasil uji flavonoid dengan pereaksi HCl dan
serbuk Mg. Hasil positif dari pereaksi ini ditunjukkan dengan terbentuknya buih
dan perubahan warna larutan menjadi jingga. Dari Gambar 16, dapat dilihat bahwa
tidak satupun sampel yang menunjukkan perubahan warna larutan ataupun
pembentukan buih. Hal ini menunjukkan bahwa flavonoid tidak terdeteksi oleh
pereaksi ini.
Gambar 17. Hasil Uji Flavonoid dengan Pereaksi H2SO4 2N; a) Akar, b) Batang, c)
Kulit batang, d) Daun
Pada Gambar 17, diperlihatkan hasil uji flavonoid dengan pereaksi H2SO4
2N. Indikator positif pada pereaksi ini adalah perubahan warna menjadi kuning,
merah, atau coklat. Dari Gambar tersebut dapat dilihat bahwa pada keempat sampel
27
tidak terdapat perubahan warna. Hal ini menunjukkan bahwa flavonoid tidak
terdeteksi dengan pereaksi ini.
Gambar 18. Hasil Uji Flavonoid dengan Pereaksi NaOH 10%; a) Akar, b) Batang,
c) Kulit Batang, d) Daun
Indikator positif pada uji flavonoid dengan pereaksi NaOH 10% adalah
terbentuknya warna kuning, merah, coklat, atau hijau. Gambar 18 menunjukkan
hasil uji flavonoid dengan pereaksi NaOH 10% dimana dari kiri ke kanan
menunjukkan hasil pada akar, batang, kulit batang, dan daun. Dapat dilihat bahwa
pada akar terbentuk warna hijau, pada batang terbentuk warna kuning, pada kulit
batang terbentuk warna coklat, dan pada daun yang sudah berwarna hijau terlihat
warnanya berubah menjadi sedikit keruh. Hal ini menunjukkan bahwa keempat
sampel tersebut positif mengandung flavonoid.
c. Senyawa Fenolik
Hasil positif dari uji senyawa fenolik ini ditunjukkan dengan perubahan
warna menjadi biru keunguan. Hasil uji fenolik dapat dilihat pada Gambar 19.
Gambar 19. Hasil Uji Senyawa Fenolik; a) Akar, b) Batang, c) Kulit Batang, d)
Daun
Pada Gambar 19, dapat dilihat terbentuk warna biru keunguan yang sangat
pekat pada akar (a) dan kulit batang (c). Sedangkan pada batang (b) dan daun (d)
tidak terdapat perubahan warna. Hal ini menunjukkan bahwa dari keempat sampel,
sampel yang positif mengandung senyawa fenolik adalah akar dan kulit batang.
28
d. Saponin
Indikator positif dari uji saponin ini adalah terbentuknya busa yang tetap
stabil setelah dilakukan penambahan 1 tetes HCl 2N. Hasil uji saponin ini dapat
dilihat pada Gambar 20.
Gambar 20. Hasil Uji Saponin; a) Akar, b) Batang, c) Kulit Batang, d) Daun
Pada Gambar 20, dapat dilihat bahwa dari keempat sampel, hanya terdapat 2
sampel yang memiliki busa yang cukup stabil setelah ditambahkan HCl 2N. hal ini
menunjukkan bahwa sampel yang positif mengandung saponin adalah akar dan
kulit batang.
e. Tanin
Indikator positif dari uji tanin adalah terbentuknya warna biru tua atau hijau
kehitaman pada sampel. Hasil uji tanin dapat dilihat pada Gambar 21.
Gambar 21. Hasil Uji Tanin; a) Akar, b) Batang, c) Kulit Batang, d) Daun
Pada Gambar 21, dapat dilihat pada kulit batang (c) terbentuk warna hijau
kehitaman tetapi tidak begitu pekat. Sedangkan pada daun (d) dilihat bahwa warna
hijau kehitaman yang terbentuk cukup pekat. Pada akar (a) dan batang (b) tidak
terbentuk warna biru tua ataupun biru kehitaman. Hal ini menunjukkan bahwa
sampel yang positif mengandung tanin adalah kulit batang dan daun.
29
f. Steroid / Triterpenoid
Pada uji steroid/triterpenoid ini, indikator positif ditunjukkan dengan
terbentuknya warna merah untuk triterpenoid, terbentuknya warna biru, hijau, atau
ungu untuk steroid, dan bila positif keduanya, akan terbentuk warna merah yang
berganti dengan warna biru, hijau, atau ungu. Hasil uji ini dapat dilihat pada
Gambar 22.
Dari Tabel 4, dapat dilihat bahwa kulit batang positif mengandung hampir
seluruh senyawa yang bersifat antioksidan yaitu flavonoid, fenolik, dan tanin.
Selain kulit batang, bagian Avicennia marina yang memiliki senyawa yang bersifat
30
antioksidan adalah daun yang positif mengandung flavonoid dan tanin. Sedangkan
pada batang, senyawa yang bersifat antioksidan hanya flavonoid dan pada akar
terdapat flavonoid dan fenolik. Hasil pengujian ini berbeda dengan Wibowo (2009),
dimana pada hasil pengujiannya didapatkan positif alkaloid dan negatif alkaloid
pada setiap bagian Avicennia marina (Tabel 1). Hal ini dimungkinkan karena lokasi
pengambilan sampel yang berbeda. Kondisi perairan yang berbeda akan
mempengaruhi kandungan senyawa metabolit sekunder dari spesies yang sama.
4.2 Ekstraksi
Ekstraksi dilakukan dengan menggunakan pelarut metanol teknis. Pelarut
ini dipilih karena kemampuannya dalam menarik komponen-komponen yang ada
pada sampel sangat kuat sehingga dapat menarik seluruh senyawa metabolit
sekunder dari mulai senyawa polar hingga non polar. Perbandingan sampel dengan
pelarut yang digunakan adalah 1:3 dimana sampel yang digunakan sebanyak 30
gram. Maserasi dilakukan selama 2 x 24 jam dan dilakukan sekitar 7-8 kali hingga
filtrat berwarna bening. Evaporasi dilakukan dengan suhu 40oC agar tidak merusak
senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada filtrat. Hasil ekstraksi dan
penghitungan rendemen dapat dilihat pada Tabel 5 dan Lampiran 1.
Dari Tabel di atas, dapat dilihat bahwa rendemen tertinggi sebesar 7,8827%
yang didapatkan dari sampel daun. Hal ini disebabkan sampel daun yang telah
dihaluskan memiliki tekstur yang sangat halus seperti pasir sehingga
memaksimalkan penarikan senyawa metabolit sekunder oleh pelarut. Sampel daun
31
ini pun memiliki warna filtrat yang paling pekat bila dibandingkan dengan sampel
lain. Selain itu filtrat yang didapatkan dari maserasi sampel daun ini pun merupakan
filtrat yang paling banyak dibandingkan sampel yang lain sehingga ekstrak yang
didapatkan dari sampel ini pun lebih banyak dibandingkan sampel yang lain.
Gambar 23. Ekstrak akar (a), ekstrak batang (b), ekstrak kulit batang (c), ekstrak
daun (d), kontrol positif BHT (e)
Dari Gambar di atas, dapat dilihat perubahan warna pada ekstrak kulit
batang (Gambar 23..c) sangat jelas. Perubahan warna tersebut bahkan tidak jauh
berbeda dengan kontrol positif BHT (Gambar 23.e). Hal ini menunjukkan bahwa
ekstrak kulit batang memiliki kemampuan yang cukup baik dalam menginhibisi
DPPH. Sedangkan untuk ekstrak akar, dapat terlihat bahwa warna ungu dari DPPH
masih lebih pekat bila dibandingkan dengan ekstrak yang lainnya. Kemampuan
ekstrak dalam menginhibisi DPPH pun ditentukan pada nilai IC50 yang dapat dilihat
pada Tabel 6. Penghitungan kemampuan inhibisi dan nilai IC50 dapat dilihat pada
Lampiran 4 dan Lampiran 6.
33
Dari nilai IC50 yang ditunjukkan pada Tabel 7 diketahui bahwa ekstrak kulit
batang memiliki aktivitas antioksidan yang paling baik bila dibandingkan dengan
ekstrak yang lainnya. Berdasarkan kategori kekuatan antioksidan (Tabel 6), ekstrak
kulit batang termasuk dalam kategori antioksidan sangat kuat dengan nilai IC50
sebesar 5,927 ppm. Selain ekstrak kulit batang, ekstrak daun pun termasuk ke dalam
kategori antioksidan sangat kuat dengan nilai IC50 sebesar 10,419 ppm. Ekstrak
batang termasuk ke dalam kategori antioksidan kuat dengan IC50 sebesar 83,449
ppm, sedangkan ekstrak akar dengan IC50 sebesar 262,366 ppm termasuk ke dalam
kategori antioksidan lemah. Kekuatan aktivitas antioksidan dari masing-masing
ekstrak tersebut dipengaruhi oleh kandungan senyawa metabolit sekundernya.
digunakan untuk mengetahui senyawa apa yang memiliki pengaruh tinggi dalam
aktivitas antioksidan dari masing-masing sampel. Uji total fenol pada ekstrak
Avicennia marina ini dilakukan pada seluruh sampel yaitu akar, batang, kulit
batang, dan daun. Hasil uji total fenol pada ekstrak ini dapat dilihat pada Tabel 7.
Dari Tabel di atas, dapat dilihat bahwa sampel yang memiliki senyawa fenol
terbanyak adalah kulit batang yaitu 7,80%. Ekstrak akar pun mengandung senyawa
fenol yang tinggi yaitu 6,92%. Sedangkan dari ekstrak batang dan daun yang dari
uji fitokimia (Tabel 4) diketahui tidak mengandung senyawa fenolik, didapatkan
hasil total fenol sebanyak 0,52% dan 0,40%.
Senyawa fenolik yang tinggi ini yang menyebabkan aktivitas antioksidan
pada ekstrak kulit batang tinggi. Ekstrak kulit batang ini juga mengandung tanin
yang memiliki sifat antioksidan dan triterpenoid yang memiliki rantai OH, dimana
OH tersebut berperan dalam menyumbang elektron kepada pasangan elektron bebas
pada DPPH sehingga DPPH menjadi stabil. Pada ekstrak batang, aktivitas
antioksidan didapatkan bukan dari senyawa fenolik karena hasilnya yang kecil
(0,52%), selain itu pada uji fitokimia (Tabel 4) pun tidak terdeteksi adanya senyawa
fenolik. Senyawa antioksidan yang diketahui terkandung pada ekstrak batang
adalah flavonoid, sehingga kemungkinan besar aktivitas antioksidannya didapatkan
dari senyawa flavonoid. Untuk ekstrak akar, senyawa fenolik yang terkandung
cukup tinggi (6,92%), tetapi kemungkinan senyawa antioksidan lain yang
terkandung pada ekstrak akar, yaitu flavonoid sangat sedikit, sehingga aktivitas
antioksidannya pun rendah. Pada ekstrak daun, total fenolnya merupakan yang
terkecil (0,40%), tetapi aktivitas antioksidannya sangat tinggi. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh metabolit sekunder lainnya yaitu flavonoid, tanin, dan triterpenoid.
35
BHT sebagai kontrol positif memiliki nilai IC50 sebesar 2,547 ppm dan
termasuk dalam kategori antioksidan sangat kuat. Dalam penelitian Handayani
(2013) pun, BHT memiliki aktivitas antioksidan yang sangan tinggi dengan IC 50
sebesar 3,17 ppm. Hal ini sesuai karena BHT merupakan antioksidan sintesis yang
paling lazim digunakan di dunia farmasi dan pangan.
4.5 Fraksinasi
Fraksinasi dilakukan pada sampel yang memiliki aktivitas antioksidan
tertinggi, dimana aktivitas antioksidan tertinggi dimiliki oleh kulit batang. Ekstrak
kulit batang yang digunakan sebanyak 1 gram. fraksinasi dilakukan sebanyak 2 kali
pada masing-masing pelarutnya. Fraksi n-heksan dan etil asetat yang didapatkan
berwarna hijau (Gambar 24a dan 24b), sedangkan fraksi n-butanol berwarna coklat
(Gambar 24c).
Gambar 24. n-heksan dan aquades (a), etil asetat dan aquades (b), n-butanol dan
aquades(c)
Pada penguapan pelarut n-heksan dan etil asetat, suhu yang digunakan
adalah 50oC untuk mencegah rusaknya senyawa metabolit yang ada pada filtrat.
Sedangkan untuk pelarut n-butanol digunakan suhu 90oC agar pelarut dapat
menguap dengan optimal. Hasil fraksinasi dan penghitungan rendemen fraksi dapat
dilihat di Tabel 8 dan Lampiran 2.
36
a. Alkaloid
Gambar 25. Hasil uji alkaloid pada fraksi dengan pereaksi Meyer (atas) dan Wagner
(bawah)
37
Pada uji alkaloid ini, dapat dilihat dari Gambar 25 bahwa baik dari pengujian
yang menggunakan pereaksi Meyer ataupun pereaksi Wagner tidak terbentuk
endapan pada semua sampel Hal ini menunjukkan bahwa seluruh sampel yang
digunakan sama sekali tidak mengandung senyawa alkaloid.
b. Flavonoid
Uji flavonoid ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam pereaksi, yaitu
HCl pekat dengan serbuk Mg, H2SO4 2N, dan NaOH 10%.
Gambar 26. Hasil uji flavonoid pada fraksi dengan pereaksi HCl dan serbuk Mg; ;
a) n-heksan, b) etil asetat, c) n-butanol
Gambar di atas menunjukkan hasil uji flavonoid dengan pereaksi HCl dan
serbuk Mg. Hasil positif dari pereaksi ini ditunjukkan dengan terbentuknya buih
dan perubahan warna larutan menjadi jingga. Dari Gambar 26, dapat dilihat bahwa
tidak satupun sampel yang menunjukkan perubahan warna larutan ataupun
pembentukan buih. Hal ini menunjukkan bahwa flavonoid tidak terdeteksi oleh
pereaksi ini.
Gambar 27. Hasil uji flavonoid pada fraksi dengan pereaksi H2SO4 2N; ; a) n-
heksan, b) etil asetat, c) n-butanol
Pada Gambar 27, diperlihatkan hasil uji flavonoid dengan pereaksi H2SO4
2N dimana indikator positif pada pereaksi ini adalah perubahan warna menjadi
kuning, merah, atau coklat. Dari Gambar tersebut dapat dilihat bahwa pada ketiga
38
sampel tidak terdapat perubahan warna. Hal ini menunjukkan bahwa flavonoid
tidak terdeteksi dengan pelarut ini.
Gambar 28. Hasil uji flavonoid pada fraksi dengan pereaksi NaOH 10%; ; a) n-
heksan, b) etil asetat, c) n-butanol
Indikator positif pada uji flavonoid dengan pereaksi NaOH 10% adalah
terbentuknya warna kuning, merah, coklat, atau hijau. Gambar 28 menunjukkan
hasil uji flavonoid dengan pereaksi NaOH 10% dimana dari kiri ke kanan
menunjukkan hasil pada fraksi n-heksan, etil asetat, dan butanol. Dapat dilihat
bahwa pada fraksi etil asetat dan n-butanol terbentuk wana kuning kemerahan yang
sangat pekat. Hal ini menunjukkan bahwa fraksi etil asetat dan n-butanol positif
mengandung flavonoid.
c. Senyawa Fenolik
Hasil positif dari uji senyawa fenolik ini ditunjukkan dengan perubahan
warna menjadi biru keunguan. Hasil uji fenolik dari fraksi dapat dilihat pada
Gambar 29.
Gambar 29. Hasil Uji senyawa fenolik; a) n-heksan, b) etil asetat, c) n-butanol
Pada Gambar 28, dapat dilihat terbentuk warna biru keunguan yang sangat
pekat pada fraksi etil asetat (b) dan fraksi n-butanol (c). Dari hasil uji ini diketahui
bahwa sampel yang postif mengandung senyawa fenolik pada fraksi adalah fraksi
etil asetat dan fraksi n-butanol.
39
d. Saponin
Indikator positif dari uji saponin ini adalah terbentuknya busa yang tetap
stabil setelah dilakukan penambahan 1 tetes HCl 2N. Hasil uji saponin ini dapat
dilihat pada Gambar 30.
Pada Gambar 30, dapat dilihat bahwa tidak satupun dari sampel yang
membentuk busa. Hal ini menunjukkan bahwa fraksi n-heksan, etil asetat, dan n-
butanol negatif mengandung saponin.
e. Tanin
Indikator positif dari uji tanin adalah terbentuknya warna biru tua atau hijau
kehitaman pada sampel. Hasil uji tanin dapat dilihat pada Gambar 31.
Pada Gambar 31, dapat dilihat pada etil asetat (b) dan n-butanol (c)
terbentuk warna hijau kehitaman yang terbentuk cukup pekat.Sedangkan pada n-
heksan (a), tidak terdapat perubahan warna. Hal ini menunjukkan bahwa fraksi etil
asetat dan fraksi n-butanol positif mengandung tanin.
40
f. Steroid/triterpenoid
Pada Gambar 32a., dapat terlihat warna hijau pada sampel, hal ini
menunjukkan bahwa fraksi n-heksan positif mengandung steroid. Sedangkan pada
gambar 32b. dan 32c. dapat terlihat warna kemerahan yang menunjukkan fraksi etil
asetat dan fraksi n-butanol positif mengandung triterpenoid.
Dari Tabel 9, dapat dilihat bahwa fraksi n-heksan tidak memiliki senyawa
metabolit sekunder yang bersifat antioksidan. Hal ini dikarenakan senyawa
metabolit sekunder yang bersifat antioksidan umumnya bersifat polar, sedangkan
pelarut n-heksan merupakan pelarut non polar, sehingga senyawa-senyawa tersebut
tidak terisolasi oleh n-heksan.
Dapat dilihat dari Gambar di atas, fraksi yang memiliki aktivitas antioksidan
yang baik adalah fraksi etil asetat (Gambar 33.b) dan fraksi n-butanol (Gambar
32.c) dimana fraksi dapat mereduksi warna ungu dari DPPH menjadi warna kuning.
Warna DPPH pada fraksi etil asetat dan n-butanol terlihat semakin memudar
dengan semakin tingginya konsentrasi pengujian. Sedangkan pada fraksi n-heksan
(Gambar 32.a), warna ungu dari DPPH masih terlihat cukup pekat pada seluruh
konsentrasi pengujian. Hasil pengujian aktivitas antioksidan pada fraksi ini dapat
dilihat pada Tabel 10. Untuk penghitungan nilai inhibisi pada fraksi Avicennia
marina dapat dilihat pada Lampiran 5, sedangkan untuk penghitungan nilai IC50
dapat dilihat pada Lampiran 7.
Tabel 10. Hasil uji aktivitas antioksidan dari fraksi Avicennia marina
Sampel Konsentrasi Absorbansi Inhibisi IC50
(ppm) (%) (ppm)
Blanko 0,63
n-heksan 30 0,553 12,222 1802,714
60 0,544 13,651 ppm
90 0,535 15,079
120 0,543 13,810
etil asetat 30 0,374 40,635 88,968
60 0,319 49,365 ppm
90 0,312 50,476
120 0,298 52,698
n-butanol 30 0,431 31,587 133,392
60 0,378 40 ppm
90 0,364 42,222
120 0,331 47
42
Dari Tabel 10, diketahui bahwa fraksi yang memiliki aktivitas antioksidan
terbaik adalah fraksi etil asetat dengan nilai IC50 sebesar 88,968 ppm., Fraksi etil
asetat ini termasuk ke dalam kategori antioksidan kuat. Hal ini dikarenakan
kemampuan dari etil asetat yang mampu melarutkan senyawa polar dan juga non-
polar. Seperti diungkapkan Tensika (2007) dalam Jacoeb (2011), etil asetat dapat
melarutkan lebih banyak senyawa antioksidan seperti isoflavon non polar (aglikon)
maupun polar (glikon). Fraksi n-butanol termasuk ke dalam kategori antioksidan
sedang dengan IC50 sebesar 133,392 ppm. Sedangkan fraksi n-heksan termasuk
kedalam kategori tidak memiliki antioksidan dengan IC50 1802,714 ppm. Hal ini
disebabkan Karean n-heksan merupakan pelarut non polar sehingga tidak mampu
melarutkan senyawa-senyawa yang bersifat antioksidan yang umumnya bersifat
polar.
Aktivitas antioksidan dari fraksi etil asetat ini ternyata masih lebih kecil bila
dibandingkan dengan aktivitas antioksidan dari ekstrak kulit batang. Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh senyawa yang dikandung pada masing-masing fraksi
dan ekstrak. Pada fraksi etil asetat, senyawa yang terkandung kemungkinan
setingkat lebih murni bila dibandingkan dengan ekstrak, karena senyawa yang
terkandung didalamnya hanyalah senyawa polar yang bersifat antioksidan.
Sedangkan pada ekstrak, senyawa metabolit sekunder masih bercampur antara
senyawa yang memiliki sifat antioksidan dan yang tidak. Tetapi, senyawa
antioksidan pada ekstrak lebih banyak bila dibandingkan pada fraksi etil asetat,
karena pada fraksi etil asetat, senyawa-senyawa antioksidan yang terdapat pada
ekstrak telah terpisah ke dalam fraksi etil asetat dan fraksi n-butanol pada saat
proses fraksinasi. Senyawa antioksidan yang terpisah tersebut yang menyebabkan
antioksidan pada fraksi, baik etil asetat ataupun n-butanol lebih lemah bila
dibandingkan dengan ekstrak kulit batang.
Tabel 11. Hasil uji total fenol pada fraksi Avicennia marina
Dari Tabel di atas, diketahui bahwa fraksi etil asetat memiliki kandungan
senyawa fenol tertinggi yaitu 17,18% sehingga aktivitas antioksidan yang
dimilikinya pun paling tinggi bila disbandingkan dengan yang lain. Hal ini
kemungkinan disebabkan sifat etil asetat yang dapat menarik senyawa yang bersifat
polar. Senyawa fenolik yang bersifat polar ini kemungkinan banyak yang tertarik
oleh pelarut etil asetat, sedangkan senyawa fenolik yang bersifat sangat polar
tertarik oleh pelarut n-butanol. Selain itu, dari uji fitokimia (Tabel 5) juga diketahui
bahwa senyawa antioksidan yang terkandung pada fraksi ini tidak hanya senyawa
fenolik, tetapi juga senyawa flavonoid dan tanin.
Fraksi n-butanol memiliki kandungan total fenol sebesar 10,13%. Fraksi n-
butanol ini termasuk ke dalam kategori antioksidan sedang dengan IC50 sebesar
133,392 ppm. Aktivitas antioksidan pada fraksi n-butanol ini lebih rendah dari
fraksi etil asetat. Walaupun pada fraksi n-butanol ini juga terkandung senyawa
antioksidan lain yang sama dengan fraksi etil asetat yaitu flavonoid dan tanin,
kemungkinan senyawa flavonoid dan tanin yang ada pada fraksi n-butanol tidak
begitu banyak sehingga aktivitas antioksidan pada fraksi n-butanol ini lebih rendah
dari fraksi etil asetat.
Pada n-heksan, diketahui dari uji fitokimia (Tabel 5) bahwa fraksi ini tidak
mengandung senyawa fenolik. Pada uji diketahui bahwa pada fraksi n-heksan
terdapat senyawa fenolik, walaupun jumlah yang terkandung hanya 0,14%. Hal ini
terjadi karena n-heksan merupakan pelarut non-polar yang tidak dapat menarik
senyawa fenolik dari sampel.