Anda di halaman 1dari 6

WARNA SESAT

Karya: Fitryatul Irfani

Tring.. tring.. tring.. Nada dering telpon di sebuah rumah yang sedang sunyi berbunyi
begitu nyaring, seorang wanita berumur lima puluhan mengangkat telfon itu. Sebuah telfon dari
rumah sakit dimana seorang gadis yang merupakan anak dari wanita yang mengangkat telfon
tadi.

“halo assalaimualaikum buk.. ini dari rumah sakit Harapan Bangsa. Ada sesuatu yang
ingin kami sampaikan kepada ibuk, kami harap ibuk datang secepatnya ke RS sekarang juga”
ucap salah seorang perawat di terlfon itu.

Ibu itu langsung bergegas kerumah sakit. Dan sesampainya di rumah sakit, sang ibu
langsung melihat kondisi anaknya yang terbaring lemas. Ya.. inilah aku, Anjani Gentaina, gadis
17 tahun yang meiliki penyakit asma sejak umur ku 5 tahun. Aku begitu ketergantungan dengan
obat.

Seorang dokter memasuki ruangan ICU dimana ku dirawat. “bagaimana kondisi putriku
dokter” kata ibuku.” Kondisi putri ibuk sangat lah menghawatirkan. Faktor yang paling
mempengaruhi kesehatan putri ibu sebenarnya adalah suhu udara lingkungan dimana ibu
sekarang tinggal.” Sahut dokter kepada ibuku.

**

Penyakit asma adalah penyakit yang tidak cocok dengan udara yang begitu dingin. Ya..
begitulah kata yang terucap oleh seorang dokter tempat ku dirawat beberapa hari yang lalu. Hal
itu harus membuat kami harus pindah ketempat yang lebih hangat dibanding tempat tinggal ku
sekarang.

Aku dan ibuku pindah ketempat dimana nenek ku tinggal. Disebuah desa yang lumayan
hangat yang mungkin bisa membantuku dalam proses pemuliahan. Semenjak ayahku meninggal
aku berhenti sekolah, dikarnakan faktor biaya yang cukup mahal untuk melanjutkan. Ibuku yang
sudah tidak sekuat dulu selalu menyuruhku untuk lanjut sekolah. Namun melihat keadaan, aku
tidak ingin membuat ibuku menjadi lebih kesulitan karena biaya sekolahku. Belum lagi biaya
perobatan yang ku habiskan selama ini.

**

Tempat tinggalku sekarang jauh lebih menenangkan dari sebelumnya, jauh dari
keramainan. Satu hal yang sangat aku suka dari desa ini, pemandangan pantai yang sangat
menyejukkan hati dimana aku bisa berfikir bebas dan berhayal sesukaku.
Disuatu sore saat aku berjalan bermain sendiri ditepi pantai, aku melihat seorang gadis
dari jauh. Gadis yang kira-kira seumuranku sedang menangis tersedu sedu sambil berteriak lepas
di hamparan lautan yang tak kunjung memberi jawaban.

“permisi..!”

“kenapa?? Kenapa tidak ada keadilan di hidup ini? Mengapa semua ini hanya terjadi
padaku? Mengapaaa……??” teriak gadis itu kepada ku setelah kusapa.

Aku sedikit terkejut dengan jawaban yang diberikan dengan gadis itu, gadis cantik
dengan wajah yang sangat cantik, dengan rambut terurai hingga pinggang.

Dobora Stevani, ya! Itu lah nama gadis itu. Aku menangkan gadis yang sudah sangat
terlihat frustasi akan hidup itu, ia merasa dirinya adalah manusia yang memiliki takdir yang
buruk dalam hidup.

Debora Stevani tinggal disebuah rumah kecil yang sederhana, orang tuanya belum lama
ini meninggal karena penyakit yang tak kunjung mendapat pengobata dan bantuan dari
masyarakat sekitarnya. Debora sekarang tinggal sendiri dirumah yang sederhana itu.

**

Disinilah hari-hariku dimulai, ditemani seorang sahabat yang begitu akrab dengan ku.
Dimulai sejak ku temukan ia disebuah pantai sekitar ini.

“Buaaaa…” teriak Debora mengagetiku.

“Ya tuhan ya roob… knapa lah makhluk satu ni.!” Ucapan ku sambil mengusap dada.

“Hehe…. Nggk papa! Cuma mau nanya ada kegiatan nggk besok pagi?”.

“Nggk, emang knapa??” jawabku dengan penasaran

Debora menjelskan kepadaku bahwa tidak jauh dari tempat ini ada sebuah danau yang
tiga warna yang sangat indah, pemandangan disanana luar biasa katanya, bisa menenangkan
pikiran hati yang kacau karena sakin indahnya. Menurut ku penggambarannya terlalu,, terlalu
nggk masuk akal.

“Ini serius Anjani…! Aku nggk bohong, belum ada orang yang tau?”

“Iya trus kamunya kapan tau??” Tanyaku.

“Dulu aku dan ayahku yang menemukannya,, waktu itu aku pergi mencari obat dari daun
hutan di dekat sana?” ucapan Debora dengan nada memohon kepadaku. “Ya udah iyaa… kita
pergi besok pagi, tapii,,,, kalau ada izin ibuku yaa, klw nggk kita nggk jadi” jawabku. “okeee..
sepakat” jawab Debora dengan semangatnya yang menggelora.
**

Besok paginya Debora datang pagi pagi kerumahku, dengan senyuman yang mulai
berbeda dari pada saat aku pertama kali menemukannya. Kami menemui ibu yang sedang duduk-
duduk di depan rumah.

“Slamat pagi buu… “ sapa Debora dengan senyuman yang manis.

“Senyum ibu tu penyemangat Debora lo bu..” lanjut Debora.

“Debora Deboraa.. kayak nggak tau ibu aja?..” ucap ibuku.

“Heh,, ini pagi-pagi kenapa dandanan kayak mau ke gunung.. mau kemana nih??” Tanya
ibuku sedikit heran dengan pakaian Debora.

“Gini bu,, Debora butuh refresing bu.. Debora mau melihat sesuatu yang indah, tapi
Debora mau nya yang menantang bu,, bukan yang gampang atau yang biasa.” Ucap Debora
mulai merayu ibuku.

“Ibu sekarang mau nanya, apa hubungannya penampilan Debora yang sekarang dengan
refresing??” ucap ibuku lebih heran lagi.

“Jadi gini bu, Debora mau pergi ke danau, danau nya indah bu,, Debora dulu kesana
dengan ayah Debora, Debora ingin kesana lagi, tapi nggak tau mau dengan siapa” ucap Debora.

“Jadi gimana? Ibu juga nggak bisa menemani Debora kesana?” jawab ibuku.

“Rencanya dobora mau ngajak Anjani pergi sama Debora?? Boleh nggak bu?? Debora
takut pergi sendiri?? Boleh yaa buuu?? yaaa..?” ucap Debora dengan jurus termanisnya.

Akhirnya setelah tawar menawar anatara Debora dan ibu, ibuku mengizinkan kami untuk
berangkat pagi itu, dengan syarat harus kembali jam empat sore. Debora telah menyusun strategi
untuk merayu izin dari ibuku yang akrab dengan Debora.

Debora sangat juara dalam hal merayu, apalagi udah sama ibuku, udah kayak adik baruku
tingkah manjanya. Ibu yang tidak begitu mengikatku mengizinkan kami untuk pergi.

Kami berangkat dari rumah jam stengah delapan pagi, kami membawa beberapa makanan
untuk disantap sesampai di danau. Perjalanan yang kam lakukan tidak jauh namun rute yang
kami lalui jalannya tidak seperti yang kubayangkan. Sepertinya tidak ada kehidupan manusia
yang melalui tempat ini. Hutan yang yang sangat menyejukkan, daun-daun pohon yang sangat
rindang dan lebat sehingga cahaya matahari tidak menembus sampai kebawah.

Suara alam yang sangat asli jauh dari hiruk pikuk manusia terus kami rasakan sampai
kami ke danau sudah didepan mata. Cuaca yang kurang bersahabat membuat pemandangan yang
kami lihat tidak seperti yang ceritakan dan yang kubayangkan.
Setelah sampai, aku dan Debora duduk untuk beristirahat sebentar. Pemandangan danau
yang yang terhampar terlihat tiga warna itu sangat lah indah dan terlihat bercahaya. Namun
pemandangan langit yang yang sudah mulai menghitam dengan waktu yang sudah menunjukkan
pukul empat sore membuat kami harus bergegas makan dan mengambil beberpa gambar.

Belum selesai kami menikmati pemandangan sambil mengabadikan tempat itu dengan
berfoto bersama. Gemuruh disusul petir seolah memberi perintah kepada kami untuk segera
meninggalkan tempat itu. Belum beberapa langkah hujan yang tidak memikirkan nasip kami
turun dengan lebatnya. Kami bergegas menuju rumah, dengan rute yang tidak memungkinkan
untuk berlari.

Tampa berfikir terlalu panjang kami terus bergegas hingga Debora pun mengatakan
padaku “tunggu-tunggu Anjani… Bukannya kita juga sudah sampai disini tadi…??”. Aku pun
baru menyadari hal tersebut.

“Ini jangan bilang kita tersesat deb.. udah jam brapa skarang nih??” ucapku dengan nada
yang kawatir sambil melihat jam tangan yang kukenakan sudah menunjukkan jam enam kurang
seperempat.

“Tenang-tenang Anjani, kita nggk tersesat, kita tadi lewat kiri berarti kita makanya kita
sampai disini lagi. Kita sekarang lewat kanan pasti kita sampai ke jalur yang tadi” ucap Debora
berusaha menenangkan ku.

Hari yang semakin menampakkan kegelapannya, hujan yang tak kunjung berhenti, dingin
yang mulai menusuk ketulang, membuat langkah ku terhenti untuk bergegas karena dadaku
terasa sesak. Asma yang kuderita sejak berumur 5 tahun kembali memperlihatkan wujudnya
semenjak aku pindah ke desa tempat aku tinggal sekarang. Sementara lingkungan sekitar yang
kami lihat tidak seperti yang kami lalui sebelumnya.

Keadaanku yang sudah tidak memiliki banyak tenaga lagi membuat kami harus
menghentikan langkah. Tubuhku yang semakin lepas, nafasku yang terasa sesak membuat
Debora begitu cemas. Ia baru mengetahui asma yang kuderita.

Hari yang telah gelap membuat kami harus berdiam diri di bawah hutan yang begitu
lebat. Hujan yang mulai reda ditemani suara sahut menyahut dari hewan yang ada disekitar ini
membuat rasa takut timbul dihati kami.

Nafasku yang semakin sesak membuat ku hampir kehilangan kesadaran. Debora


memelukku dengan erat untuk memberi kehangatan. Debora sangat panik dengan keadaan itu.
Tidak jauh dari kami berdiam terdengar suara babi hutan yang seolah tau kehadiran kami. Suara
itu semakin mendekat. Aku sadar akan suara itu tapi aku tidak memiliki banyak tenaga untuk
bergerak lari.
Debora yang semakin cemas dengan keadaanku ditambah lagi dengan suara babi yang
semakin mendekat menggendongku untuk menjauhi suara itu. Debora ukuran tubuhnya tidak
terlalu besar dariku juga sangat terlihat lelah menggendongku, hingga kami menemukan sebuah
batu besar yang yang bisa kami naiki untuk sedikit tehindar dari bahaya binatang buas.

Disaat aku dan Debora diatas batu itu, Debora menangis sambil meminta maaf kepadaku
karena telah mengajak ku untuk mengikuti ajakannya. Iya juga menyesal karena ia mengetahui
kekawatiran ibuku saat sekarang ini. Kami yang memiliki janji jam empat sore sampai dirumah
belum juga kembali.

Gelap malam yang sudah mulai menghentikan hujannya, sinar bulan yang tidak begitu
menerangi kegelapan membuat kami ingin meneruskan perjalanan kami yang terhenti. Aku
dengan perlahan berjalan dibimbing oleh Debora yang juga sudah terlihat kelehan mulai menuju
perjalan.

Aku dan Debora yang sudah sedari tadi tersesat kembali berusaha menemukan jalan
untuk kami kembali. Kami yang sudah kelelahan mencari jalan untuk kembali kembali
menghentikan langkah untuk memakan makanan yang masih tersisa karena tiadak terhabiskan di
danau.

“Aku takut sama ibumu njan..! aku yang bersalah telah membawa mu kesini.!” Ucap
Debora dengan nada bersalah.

“Debora??? Kita kesini karena kesepakatan bukan karna rayuan kamu aja!”

“Iyaaa… tapi njaaaan..”

“udah,,, sekarang kita mikirin bagaimana cara kita keluar dari tempat ini?? Oke??”

“ya udah deeh.. maaf yaa??” Debora masih terlihat sangat bersalah.

“Iyaaaa Dedebbb….” Jawab ku dengan nada turun.

**

“Anjani………. Debora…….”

Suara itu terdengar tidak jauh dari tempat kami berada, paggilan itu berkali kali terdengar
dan semakin mendekat. Aku dan Debora sangat senang mendengarnya, karena suara yang kami
dengar tidak lain tidak bukan adalah suara dari orang-orang yang ada didesa tempat kami tinggal.

Kami membalas suara itu dengan sahutan, sampai akhirnya kami bertemu dengan
sekelompok masyarakat yang sudah berkeling mencari kami. Ibuku langsung memelukku dan
Debora dengan erat. Ibuku sangat terlihat cemas dengan keadaan kami yang belum juga kembali.
Malam hampir menjumpai fajar, kamipun bergegas pulang.
**

Setelah kejadian itu, kami tidak pernah menuju danau tiga warna itu lagi. Aku dan
Debora tidak ingin mengulang kejadian menakutkan. Berawal dari danau tiga warna yang indah ,
berlanjut dengan kehujanan ditengah hutan yang sepi dan sunyi, mendengar berbagai suara yang
menakutkan, hingga kehilangan tenaga saat tujuan pulang.

Kejadian itu juga tidak pernah aku sesali. Karena dibalik semua itu aku belajar, bahwa
segala sesuatu itu harus dengan pertimbangan yang matang. Keputusan yang dibuat tidak hanya
berlandaskan kesenangan semata.

Anda mungkin juga menyukai