Anda di halaman 1dari 48

Referat

Surviving Sepsis Campaign 2018

oleh:

Nia Atmalini 1740312220

Nurul Fadhilah 1410311104

Preseptor:

dr. Zulfadli Syahrul, Sp.An

BAGIAN ILMU ANESTESIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

PADANG

2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Surviving Sepsis Campaign merupakan pedoman internasional yang

digunakan dalam manajemen sepsis berat dan syok septik. Sepsis berat dan syok

septik adalah masalah pelayanan kesehatan yang terutama, menyerang jutaan

orang di seluruh dunia, membunuh satu dari empat (bahkan lebih). Sepsis adalah

suatu keadaan sistemik, dimana terdapat respon pejamu terhadap infeksi yang

dapat menyebabkan terjadinya sepsis berat (disfungsi organ akut sekunder oleh

pajanan infeksi) dan syok septik (sepsis berat ditambah hipotensi yang tidak

teratasi dengan pemberian resusitasi cairan).1

Sepsis didefinisikan sebagai adanya (mungkin atau didokumentasikan)

infeksi bersama dengan manifestasi infeksi sistemik.1 Sepsis berat didefinisikan

sebagai sepsis ditambah disfungsi organ sepsis yang diinduksi atau hipoperfusi

jaringan. Septic shock didefinisikan sebagai sepsis yang diinduksi hipotensi

bertahan meskipun resusitasi cairan yang adekuat.1

Sepsis didefinisikan sebagai infeksi yang diketahui atau dicurigai

ditambah manifestasi sistemik dari infeksi (misalnya, sindrom respons inflamasi

sistemik tradisional kriteria-takikardia, takipnea, perubahan jumlah darah putih,

dan demam/ hipotermia serta gangguan metabolik lainnya atau disfungsi organ).2
Sepsis berat adalah penyebab utama kematian di rumah sakit. Diagnosis dini,

pemberian antibiotik awal, dan resusitasi cairan yang cukup merupakan kunci

dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas sepsis.2

Sepsis dimasukkan kedalam kategori penyakit darurat yang sama seperti

serangan jantung atau stroke karena ada gangguan dalam pemasukkan oksigen

dan nutrisi ke jaringan sehingga dibutuhkan penanganan kegawatdaruratan

segera.3 Hal tersebut yang menjadikan sepsis sebagai penyebab tersering

perawatan pasien di unit perawatan intensif (ICU). Selain itu, berdasarkan

epidemiologinya sepsis hampir diderita oleh 18 juta orang di seluruh dunia setiap

tahunnya dengan insiden diperkirakan sekitar 50-95 kasus diantara 100.000

populasi dengan peningkatan sebesar 9% tiap tahunnya. Penelitian epidemiologi

sepsis di Amerika Serikat menyatakan insiden sepsis sebesar 3/1.000 populasi

yang meningkat lebih dari 100 kali lipat berdasarkan umur (0,2/1.000 pada anak-

anak, sampai 26,2/1.000 pada kelompok umur > 85 tahun).2

1.2 Batasan Masalah

Dalam makalah ini akan disajikan beberapa aspek penting dari sepsis dan

Surviving Sepsis Campaign, diantaranya : definisi, etiologi, patofisiologi,

pemeriksaan dan diagnosa, komplikasi, penatalaksanaan, dan prognosis

1.3 Tujuan Penulisan


Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman

tentang Sepsis dan Surviving Sepsis Campaign.

1.4 Metode Penulisan

Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang

merujuk dari berbagai literatur.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Sepsis

Sepsis didefinisikan sebagai suatu keadaan infeksi bersama dengan

manifestasi sistemik dari infeksi. Sepsis berat didefinisikan sebagai sepsis

ditambah dengan disfungsi organ akibat sepsis atau hipoperfusi jaringan. Syok

septik didefinisikan sebagai hipotensi yang diinduksi sepsis yang menetap

meskipun resusitasi cairan yang diberikan sudah adekuat. Hipoperfusi jaringan

yang diinduksi infeksi didefinisikan sebagai hipotensi yang diinduksi infeksi,

peningkatan laktat, atau oliguria. Hipotensi yang diinduksi oleh sepsis

didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik (SBP) <90 mmHg atau tekanan arteri

rata – rata (MAP) <70mmHg atau penurunan SBP> 40 mmHg atau kurang dari

dua standar deviasi di bawah normal untuk usia tanpa adanya penyebab lain dari

hipotensi.3

Sepsis bisa disebabkan oleh banyak kelas mikroorganisme. Mikroba yang

masuk ke peredaran darah tidak esensial, sampai terjadi inflamasi lokal dan juga

adanya kerusakan organ yang jauh serta hipotensi. Pada kenyataannya kultur

darah terdapat bakteri atau jamur hanya sekitar 20-40% dari kasus severe sepsis

dan 40-70% pada kasus syok.4


2.2 Etiologi

Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram negative dengan

presentase 60-70% kasus yang menghasilkan berbagai produk yang dapat

menstimulasi sel imun yang terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi. 10

Gambar 2. Etiologi Sepsis 7

Tabel 2. Mikroorganisme yang sering menyebabkan sepsis. 2

Sistem pendekatan sepsis dikembangkan dengan menjabarkan menjadi

dasar predisposisi, penyakit penyebab, respons tubuh dan disfungsi organ atau
disingkat menjadi PIRO (predisposing factors, insult, response and organ

dysfunction)seperti pada tabel 3.

Gambar 3. Faktor predisposisi, infeksi, respon klinis, dan disfungsi organ pada

sepsis 10

Tabel 3. Faktor predisposisi, infeksi, respon klinis, dan disfungsi organ

pada sepsis 3
2.3 Patogenesis

Sepsis dikatakan sebagai suatu proses peradangan intravaskular yang

berat. Hal ini dikatakan berat karena sifatnya yang tidak terkontrol dan

berlangsung terus menerus dengan sendirinya, dikatakan intravaskular karena

proses ini menggambarkan penyebaran infeksi melalui pembuluh darah dan

dikatakan peradangan karena semua tanda respon sepsis adalah perluasan dari

peradangan biasa.6

Ketika jaringan terinfeksi, terjadi stimulasi perlepasan mediator-mediator

inflamasi termasuk diantaranya sitokin. Sitokin terbagi dalam proinflamasi dan

antiinflamasi. Sitokin yang termasuk proinflamasi seperti TNF, IL-1,interferon γ

yang bekerja membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang

menyebabkan infeksi. Sedangkan sitokin antiinflamasi yaitu IL-1-reseptor

antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau

represi terhadap respon yang berlebihan. Keseimbangan dari kedua respon ini

bertujuan untuk melindungi dan memperbaiki jaringan yang rusak dan terjadi

proses penyembuhan. Namun ketika keseimbangan ini hilang maka respon

proinflamasi akan meluas menjadi respon sistemik. Respon sistemik ini meliputi

kerusakan endothelial, disfungsi mikrovaskuler dan kerusakan jaringan akibat

gangguan oksigenasi dan kerusakan organ akibat gangguan sirkulasi. Sedangkan

konskuensi dari kelebihan respon antiinfalmasi adalah alergi dan

immunosupressan. Kedua proses ini dapat mengganggu satu sama lain sehingga

menciptakan kondisi ketidak harmonisan imunologi yang merusak.6


Gambar 4. Ketidakseimbangan homeostasis pada sepsis

Penyebab tersering sepsis adalah bakteri terutama gram negatif. Ketika

bakteri gram negatif menginfeksi suatu jaringan, dia akan mengeluarkan

endotoksin dengan lipopolisakarida (LPS) yang secara langsung dapat mengikat

antibodi dalam serum darah penderita sehingga membentuk lipo-polisakarida

antibody (LPSab). LPSab yang beredar didalam darah akan bereaksi dengan

perantara reseptor CD 14+ dan akan bereaksi dengan makrofag dan

mengekspresikan imunomodulator.6

Jika penyebabnya adalah bakteri gram positif, virus atau parasit. Mereka

dapat berperan sebagai superantigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag

yang berperan sebagai antigen processing cell yang kemudian ditampilkan

sebagai APC (Antigen Presenting Cell). Antigen ini membawa muatan polipeptida

spesifik yang berasal dari MHC (Major Histocompatibility Complex). Antigen

yang bermuatan MHC akan berikatan dengan CD 4+ (Limfosit Th1 dan Limfosit

Th2) dengan perantara T-cell Reseptor. 6


Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limfosit T akan

mengeluarkan substansi dari Th1 dan Th2. Th1 yang berfungsi sebagai

immodulator akan mengeluarkan IFN-γ, IL2 dan M-CSF (Macrophage Colony

Stimulating Factor), sedangkan Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, IL-

10, IFN-g, IFN 1β dan TNF α yang merupakan sitokin proinflamantori. IL-1β

yang merupakan sebagai imunoregulator utama juga memiliki efek pada sel

endothelial termasuk didalamnya terjadi pembentukkan prostaglandin E2 (PG-E2)

dan merangsang ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang

menyebabkan neutrofil tersensitisasi oleh GM-CSF mudah mengadakan adhesi.3

Neutrofil yang beradhesi akan mengeluarkan lisosim yang menyebabkan dinding

endotel lisis sehingga endotel akan terbuka dan menyebabkan kebocoran kapiler.

Neutrofil juga membawa superoksidan yang termasuk kedalam radikal bebas

(nitrat oksida) sehingga mempengaruhi oksigenisasi pada mitokondria sehingga

endotel menjadi nekrosis dan terjadilah kerusakan endotel pembuluh darah.

Adanya kerusakan endotel pembuluh darah menyebabkan gangguan vaskuler dan

hipoperfusi jaringan sehingga terjadi kerusakan organ multipel.6

Hipoksia sendiri merangsang sel epitel untuk melepaskan TNF-α, IL-8, IL-

6 menimbulkan respon fase akut dan permeabilitas epitel. Setelah terjadi reperfusi

pada jaringan iskemik, terbentuklah ROS (Spesifik Oksigen Reaktif) sebagai hasil

metabolisme xantin dan hipoxantin oleh xantin oksidase, dan hasil metabolisme

asam amino yang turut menyebabkan kerusakan jaringan. ROS penting artinya

bagi kesehatan dan fungsi tubuh yang normal dalam memerangi peradangan,

membunuh bakteri, dan mengendalikan tonus otot polos pembuluh darah, Namun

bila dihasilkan melebihi batas kemampuan proteksi antioksidan seluler, maka dia
akan menyerang isi sel itu sendiri sehingga menambah kerusakan jaringan dan

bisa menjadi disfungsi organ multipel yang meliputi disfungsi neurologi,

kardiovaskuler, respirasi, hati, ginjal dan hematologi.6

Gambar 5. Patogenesis sepsis 13


Gambar 6. Pengaktifan komplemen dan sitoki pada sepsis 6

Hubungan Inflamasi dengan Koagulasi

Sepsis akan mengaktifkan Tissue Factor yang memproduksi trombin yang

merupakan suatu substansi proinflamasi. Trombin akhirnya menghasilkan suatu

gumpalan fibrin di dalam mikrovaskular. Sepsis selain mengaktifkan tissue factor,

dia juga menggangu proses fibrinolisis melalui pengaktifan IL-1 dan TNFα dan

memproduksi suatu plasminogen activator inhibitor-1 yang kuat mengahambat

fibrinolisis. Sitokin proinflamasi juga mengaktifkan activated protein C (APC)

dan antitrombin. Protein C sebenarnya bersirkulasi sebagai zimogen yang inaktif

tetapi karena adanya thrombin dan trombomodulin, dia berubah menjadi enzyme-

activated protein C. Sedangkan APC dan kofaktor protein S mematikan produksi

trombin dengan menghancurkan kaskade faktor Va dan VIIIa sehingga tidak

terjadi suatu koagulasi. APC juga menghambat kerja plasminogen activator


inhibitor-1 yang menghambat pembentukkan plasminogen menjadi plasmin yang

sangat penting dalam mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Semua proses ini

menyebabkan kelainan faktor koagulasi yang bermanisfestasi perdarahan yang

dikenal dengan koagulasi intravaskular diseminata yang merupakan salah satu

kegawatan dari sepsis yang mengancam jiwa. 6

Gambar. 7. Sepsis menyebabkan suatu kematian organ 14


Gambar 8. Sepsis menyebabkan gangguan koagulasi4

2.4 Gejala Klinis

Umumnya klinis pada sepsis tidak spesifik, biasanya hanya didahului

oleh tanda-tanda non spesifik seperti demam, menggigil dan gejala konstitutif

seperti lelah, malaise, gelisah dan tampak kebingungan. Tempat infeksi yang

paling sering adalah paru-paru, traktus digestifus, traktus urinarius, kulit, jaringan

lunak dan sistem saraf pusat. Gejala sepsis tersebut akan semakin berat pada

pendeita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama yang sering

diikuti dengan syok.7

Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram (-) dengan prosentase

60-70% dari kasus, yang menghasilkan berbagai macam produk yang dapat

menstimulasi sel imun. Sel tersebut kemudian dipacu untuk melepaskan mediator

inflamasi. Produk yang berperan penting dalam sepsis adalah lipopolisakarida


(LPS). LPS berfungsi merangsang peradangan pada jaringan, demam dan syok

pada pasien yang terinfeksi. Bakteri gram positif lebih jarang menyebabkan sepsin

jika dibandingkan bakteri gram negatif. Angka kejadiannya hanya berkisar 20-

40% dari keseluruhan kasus.

Peptidoglikan diketahui dapat menyebabkan agregasi trombosit.

Eksotoksin berbagai kuman juga dapan menjadi faktor penyebab karena dapat

merusak integritas membran sel imun secara langsung. Dari semua faktor tersebut

yang terpenting adalah LPS endotoksin gram negatif yang dinyatakan sebagai

penyebab sepsis terbanyak. LPS tidak mempunyai sifat toksik, tetapi merangsang

pengeluaran mediator inflamasi yang bertanggung jawab terhadap sepsis.

Makrofag mengeluarkan polipeptida yang disebut tumor necrosis factor

(TNF) dan interleukin (IL-1), IL-6 dan IL-8 yang merupakan mediator kunci dan

sering meningkat sangat tinggi pada penderita immunocompromise yang

mengalami sepsis.

TABEL 1. KRITERIA DIAGNOSIS SEPSIS

Variabel General

Demam ( > 38,3° C)

Hipotermia (temperatur < 36° C)

Heart Rate > 90/ menit atau lebih besar 2 kali dari nilai normal dalam kategori umur

Takipnea

Status mental yang berubah

Edema yang signifikan atau balans cairan yang positif (> 20 ml/kg dalam 24 jam)
Hiperglikemia (glukosa plasma > 140 mg/dL atau 7,7 mmol/L) tanpa adanya kehadiran

Diabetes

Variabe Inflamatori

Leukositosis (hitungan sel darah putih > 12.000 / μL)

Leukopenia (hitungan sel darah putih < 4.000 / μL)

Hitungan sel darah putih dalam batas normal dengan bentuk imatur > 10%

Protein Plasma-C reaktif 2x lebih besar dari nilai normal

Prokalsitonin plasma 2x lebih besar dari nilai normal

Variabel Hemodinamik

Hipotensi arterial (tekanan darah sistolik < 90mmHg, tekanan rata-rata arteri < 70

mmHg, atau tekanan darah sistolik menurun > 40 mmHg pada orang dewasa atau kurang

dari dua kali dibawah nilai normal pada kriteria umur

Variabel Disfungsi Organ

Hipoksemia arterial (PaO2 /Fio2 < 300)

Oliguria akut (pengeluaran urin < 0,5 mL/ kg/ jam selama paling tidak 2 jam setelah

pemberian resusitasi cairan yang adekuat)

Peningkatan Kreatinin > 0,5 mg/ dL atau 44,2 μmol/ L

Koagulasi yang abnormal ( INR > 1,5 atau aPTT > 60 s)

Ileus ( ketiadaan bunyi bowel)

Trombositopenia (hitungan platelet < 100.000 /μL)

Hiperbilirubinemia (bilirubin total dalam plasma > 4 mg/dL atau 70 μmol/ L)

Variabel Perfusi Jaringan

Hiperlaktatemia ( > 1 mmol/L)

Penurunan pengisian kapiler / mottling


WBC = white blood cell; SBP = systolic blood pressure; MAP = mean arterial

pressure; INR = international normalized ratio; aPTT = activated partial

thromboplastin Time.

Kriteria diagnosis sepsis pada populasi pediatric adalah tanda dan gejala inflamasi

ditambah dengan infeksi dengan hiper atau hipotermia (suhu rektal >38,5 ° atau <

35°C), takikardia (mungkin tidak ada pada pasien dengan hipotermi), dan

setidaknya terdapat satu dari indikasi fungsi organ yang berubah: perubahan status

mental, hipoksemia, peningkatan laktat dalam serum, atau denyut nadi pols yang

bounding.

Diadaptasi dari Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al: 2001

SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions Conference. Crit Care

Med 2003; 31: 1250–1256.

TABEL 2. SEPSIS BERAT

Definisi sepsis berat + sepsis yang diinduksi oleh hipoperfusi jaringan atau disfungsi organ

(atau salah satu dari daftar berikut yang dikarenakan infeksi)

Sepsis yang diinduksi hipotensi

Nilai laktat diatas nilai normal secara laboratorium

Pengeluaran urin < 0,5 mL/kg/jam setelah lebih dari 2 jam pemberian resusitasi cairan

yang adekuat

Acute lung injury dengan PaO2/FiO2 < 250 dengan ketiadaan pneumonia sebagai sumber

infeksi
Acute lung injury dengan PaO2/FiO2 < 200 dengan adanya pneumonia sebagai sumber

infeksi

Kreatinin >2,0 mg/dL (176,8 μmol/L)

Bilirubin > 2mg/dL (34,2 μmol/L)

Platelet < 100.000 Μl

Koagulopati (international normalized ratio > 1,5)

Diadaptasi dari Levy MM, Fink MP, Marshall JC, et al: 2001

SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions Conference. Crit Care

Med 2003; 31: 1250–1256

2.5 Pengelolaan Sepsis Berat : Resusitasi Awal dan Masalah Infeksi

2.5.1. Resusitasi Awal

1. Direkomendasikan, resusitasi kuantitatif pasien dengan sepsis yang

diinduksi oleh hipoperfusi jaringan (didefinisikan dalam dokumen ini

sebagai hipotensi yang menetap setelah resusitasi cairan awal atau

konsentrasi laktat darah ≥ 4mmol/L ). Protokol ini harus dimulai sesegera

mungkin setelah hipoperfusi dipastikan dan tidak boleh ditunda menunggu

masuk ICU. Selama 6 jam resusitasi, tujuan resusitasi awal sepsis yang

diinduksi hipoperfusi harus mencakup semua hal berikut sebagai bagian

dari protokol pengobatan6 :

a. CVP 8-12 mm Hg

b. MAP ≥ 65 mm Hg

c. Produksi urine ≥ 0,5 mL / kg / jam


d. Saturasi osigenasi vena cava superior ( ScvO2 ) atau saturasi

oksigen vena campuran ( SvO2 ) 70 % atau 65 % , masing-masing.

2. Disarankan, agar menargetkan resusitasi untuk menormalkan laktat pada

pasien dengan kadar laktat sebagai penanda hipoperfusi jaringan.

2.5.2. Skrining untuk Sepsis dan Peningkatan Kinerja

1. Kami menyarankan skrining rutin terhadap pasien yang berpotensi terinfeksi

serius untuk sepsis berat untuk meningkatkan identifikasi awal sepsis dan

memungkinkan pelaksanaan terapi sepsis lebih awal.

2. Upaya perbaikan kinerja pada sepsis berat harus digunakan untuk

meningkatkan hasil akhir terhadap pasien.7

2.6 Diagnosis

Direkomendasikan untuk mendapatkan kultur yang sesuai sebelum

terapi antimikroba dimulai jika kultur tersebut tidak menyebabkan

penundaan yang signifikan (>45menit) di awal penatalaksanaan

antimikroba (grade 1C). Untuk mengoptimalkan identifikasi organisme

penyebab , kami menyarankan untuk mendapatkan setidaknya dua set

kultur darah (baik aerobik dan anaerobik) sebelum terapi antimikroba,

dengan setidaknya satu ditarik perkutan dan satu ditarik melalui setiap

perangkat akses vaskular , kecuali perangkat baru-baru ini (< 48 jam)

dimasukkan. Kultur darah ini dapat ditarik pada saat yang sama jika

mereka diperoleh dari akses yang berbeda . Kultur dari area lain

(sebaiknya kuantitatif jika perlu), seperti urin, cairan serebrospinal, luka,


sekret pernapasan, atau cairan tubuh lain yang mungkin menjadi sumber

infeksi, juga harus diperoleh sebelum terapi antimikroba jika hal itu tidak

menyebabkan penundaan yang Dalam mendiagnosis sepsis,

diperlukan anamnesa dan pemeriksaan yang menyeluruh.7


Tabel 4. Sepsis menurut Society of Critical Care Medicine 7

2.7 Data Laboratorium

Tabel. 5. Data laboratorium yang merupakan indikator pada sepsis5

2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencangkup stabilisasi

pasien langsung (perbaikan hemodinamik), pemberian antibiotik,

pengobatan fokus infeksi dan resusitasi serta terapi suportif apabila telah

terjadi disfungsi organ.7

 Perbaikan hemodinamik harus segera dilakukan dimulai dari airway,

breathing dan circulation

3 kategori untuk memperbaiki hemodinamik pada sepsis, yaitu8 :

o Terapi cairan

 Karena sepsis dapat menyebabkan syok disertai demam,

venadilatasi dan diffuse capillary leackage  inadequate

preload sehingga terapi cairan merupakan tindakan utama8

o Terapi vasopresor

 Bila cairan tidak dapat mengatasi cardiac output (arterial

pressure dan perfusi organ tidak adekuat) dapat diberikan

vasopresor potensial seperti norepinefrin, dopamine, epinefrin

dan phenylephrine8

o Terapi inotropik

 Bila resusitasi cairan adekuat tetapi kontraktilitas miokard masih

mengalami gangguan dimana kebanyakan pasien akan

mengalami cardiac output yang turun sehingga diperlukan

inotropik seperti dobutamin, dopamine dan epinefrin.8


o Antibiotik

Sesuai jenis kuman atau tergantung suspek tempak infeksinya


Tabel 6. Antibiotik berdasarkan sumber infeksi (Sepsis Bundle: Antibiotic

Selection Clinical Pathway from the Nebraska Medical Centre)7

o Fokus infeksi awal harus diobati

Hilangkan benda asing yang menjadi sumber infeksi. Angkat organ

yang terinfeksi, hilangkan atau potong jaringan yang menjadi gangrene,

bila perlu dikonsultasikan ke bidang terkait seperti spesialis bedah, THT

dll.3
o Terapi suportif, mencangkup9 :

o Pemberian elektrolit dan nutrisi

o Terapi suportif untuk koreksi fungsi ginjal

o Koreksi albumin apabila terjadi hipoalbumin

o Regulasi ketat gula darah

o Heparin sesuai indikasi

o Proteksi mukosa lambung dengan AH-2 atau PPI

o Transfuse komponen darah bila diperlukan

o Kortikosteroid dosis rendah (masih kontroversial)

o Recombinant Human Activted Protein C :

Merupakan antikoagulan yang menurut hasil uji klinis Phase III

menunjukkan drotrecogin alfa yang dapat menurunkan resiko relative

kematian akibat sepsis dengan disfungsi organ akut yang terkait

sebesar 19,4% yang dikenal dengan nama zovant. 6

2.9 Komplikasi

o MODS (disfungsi organ multipel)

Penyebab kerusakan multipel organ disebabkan karena adanya gangguan

perfusi jaringan yang mengalami hipoksia sehingga terjadi nekrosis dan

gangguan fungsi ginjal dimana pembuluh darah memiliki andil yang

cukup besar dalam pathogenesis ini. 10


Gambar 9. Sepsis menyebabkan MODS 9

Gambar 10. MODS karena sepsis 11

o KID (Koagulasi Intravaskular Diseminata)


Patogenesis sepsis menyebabkan koagulasi intravaskuler

diseminata disebabkan oleh faktor komplemen yang berperan

penting seperti yang sudah dijelaskan pada patogenesis sepsis

diatas.

o Disungsi hati dan jantung, neurologi

o ARDS

Kerusakan endotel pada sirkulasi paru menyebabkan

gangguan pada aliran darah kapiler dan perubahan permebilitas

kapiler, yang dapat mengakibatkan edema interstitial dan alveolar.

Neutrofil yang terperangkap dalam mirosirkulasi paru

menyebabkan kerusakan pada membran kapiler alveoli. Edema

pulmonal akan mengakibatkan suatu hipoxia arteri sehingga

akhirnya akan menyebabkan Acute Respiratory Distress

Syndrome.
Gambar 11. Patofisiologi sepsis menyebabkan ARDS

o Gastrointestinal :

Pada pasien sepsis di mana pasien dalam keadaan tidak

sadar dan terpasang intubasi dan tidak dapat makan, maka bakteri

akan berkembang dalam saluran pencernaan dan mungkin juga

dapat menyebabkan suatu pneumonia nosokomial akibat aspirasi.

Abnormalitas sirkulasi pada sepsis dapat menyebabkan penekanan

pada barier normal dari usus, yang akan menyebabkan bakteri

dalam usus translokasi ke dalam sirukulasi (mungkin lewat saluran

limfe).12

o Gagal ginjal akut

Pada hipoksia/iskemi di ginjal terjadi kerusakan epitel

tubulus ginjal. vaskular dan sel endotel ginjal sehingga memicu


terjadinya proses inflamasi yang menyebabkan gangguan fungsi

organ ginjal. 9
Gambar 12a dan b. Patogenesis sepsis menyebabkan gagal ginjal akut11

o Syok septik5

o Sepsis dengan hipotensi dan gangguan perfusi menetap

walaupun telah dilakukan terapi cairan yang adekuat

karena maldistribusi aliran darah karena adanya

vasodilatasi perifer sehingga volume darah yang

bersirkulasi secara efektif tidak memadai untuk perfusi

jaringan sehingga terjadi hipovelemia relatif.

o Hipotensi disebabkan karena Endotoksin dan sitokin

(khususnya IL-1, IFN-γ, dan TNF-α) menyebabkan

aktivasi reseptor endotel yang menginduksi influx


kalsium ke dalam sitoplasma sel endotel, kemudian

berinteraksi dengan kalmodulin membentuk NO dan

melepaskan Endothelium Derived Hyperpolarizing

Factor (EDHF) yang meyebabkan hiperpolarisasi,

relaksasi dan vasodilatasi otot polos yang diduga

menyebabkan hipotensi.

ALGORITMA PENATALAKSANAAN RESUSITASI DAN SEPSIS12


2.2 Tatalaksana Sepsis Sesuai SSC 2018

Sejak publikasi pertama dari Surviving Sepsis Campaign mengenai

pedoman tatalaksana sepsis tahun 2004 hingga dibentuknya rekomendasi sepsis


bundle ini dibuat telah banyak dilakukan pembaharuan berdasarkan bukti klinis

dan hasil penelitian terbaru. Pada sepsis bundle edisi sebelumnya dikenal bundle-3

dan bundle-6 yang artinya kumpulan tatalaksana awal pasien sepsis yang harus

dilakukan dalam 3 jam pertama dan 6 jam pertama sejak pasien masuk rumah

sakit. Tahun 2018, sepsis bundle direvisi menjadi bundle-1 dimana semua

rekomendasi pada bundle-3 dan bundle-6 digabungkan dan harus dilaksanakan

pada 1 jam pertama sejak time zero yaitu waktu pasien masuk triase pada instalasi

gawat darurat ataupun masuk ke bagian lain sebagai rujukan dari rumah sakit lain

dengan data-data yang menunjukkan ke arah sepsis.13

Berdasarkan pedoman tatalaksana sepsis dan syok sepsis tahun 2016,

keadaan sepsis dan syok sepsis tergolong kepada kondisi gawat darurat yang

membutuhkan penanganan dan resusitasi segera. Pada pasien sepsis, cenderung

terjadi hipotensi yang mengancam pada kecukupan perfusi jaringan. Resusitasi

pada pasien sepsis dan syok sepsis dapat terjadi melebihi 1 jam, tetapi inisiasi

untuk tatalaksana harus dimulai dalam 1 jam ini. Tindakan resusitasi awal yang

biasanya dilakukan adalah berupa pemberian cairan kristaloid dengan target untuk

menuju kadar laktat normal sebagai indikator hipoksia jaringan, pengambilan

sampel darah untuk pemeriksaan mikrobiologis dan terapi antibiotik tanpa

penundaan serta inisiasi penggunaan vasopressor.13 Sepsis bundle-1 dirangkum

pada tabel 1.
Gambar 1. Hour-1 Surviving Sepsis Campaign Bundle of Care

Berikut akan dibahas masing-masing rekomendasi dalam sepsis bundle-1.

2.2.1 Hitung kadar laktat

Pada pasien sepsis dan syok sepsis akan terjadi gangguan hemodinamik

yang membuat perfusi jaringan wajib dipantau seadekuat mungkin. Pemantauan

perfusi jaringan menjadi langkah yang esensial untuk mencegah kegagalan

sirkulasi akut yang dapat berujung pada kerusakan organ-organ vital, seperti

jantung, ginjal dan otak. Evaluasi terhadap perfusi jaringan dapat dilakukan secara

klinis ataupun dengan menggunakan biomarker. Dalam penggunaan biomarker,

kadar laktat menjadi parameter objektif untuk menilai adekuitas oksigenasi ke

jaringan.14

Pada metabolisme normal dengan kecukupan suplai oksigen ke jaringan

maka proses pembentukan energi di tingkat seluler akan terjadi secara aerobik

dengan reaksi kimia yang terjadi seperti berikut :

Semua metabolisme baik karbohidrat, lemak ataupun protein akan menjadi suatu

produk umum yaitu asetil-KoA yang kemudian akan dioksidasi dalam siklus asam
sitrat untuk membentuk energi. Tetapi pada kasus tidak cukupnya sirkulasi

oksigen ke jaringan maka proses pembentukan energi akan berlangsung secara

anaerob dengan hasil produknya laktat. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut

Jumlah ATP yang dihasilkan pada reaksi anaerob pun lebih sedikit dibandingkan

pada metabolisme aerob. Pembentukan laktat terjadi pada hampir seluruh

jairngan, yaitu otot lurik, otak, sel darah merah dan ginjal. Pada kondisi normal,

pembentukan laktat juga terjadi dalam derajat ringan dengan proses

pembersihannya yang juga seimbang yaitu 320 mmol/L/hari. Sehingga kadar

laktat darah pada kondisi normal dipertahankan dalam kadar <1 mmol/L.15

Sedangkan pada kondisi hipoksia, rantai pembentukan energi bergeser ke

anaerobik yang dapat meningkatkan kadar laktat dalam darah sehingga dipakai

sebagai parameter derajat hipoksia jaringan pada kasus syok. 16

Laktat bukanlah indikator langsung terhadap perfusi jaringan. Tetapi

peningkatan kadar laktat darah dapat mengindikasikan terjadinya hipoksia

jaringan, glikolisis aerobik yang meningkat akibat stimulasi beta-adrenergik

ataupun sebab lainnya. Pada lima percobaan terkontrol acak pada 647 pasien

dengan syok septik yang dilakukan resusitasi dengan memperhatikan kadar

laktatnya berhubungan dengan tingkat mortalitas yang secara signifikan lebih


rendah dibandingkan yang tidak dilakukan monitoring laktat.17,21 Laktat juga

berguna sebagai skrining pada pasien yang secara hemodinamis stabil. Pada studi

yang dilakukan oleh Shapiro dkk terhadap 1278 pasien dengan infeksi

memperlihatkan bahwa kadar laktat <2,5 mmol/L dihubungkan dengan tingkat

mortalitas sebesar 28,4 %. Kadar laktat ≥4 mmol/L memiliki tingkat sensitifitas

36 % dan spesifisitas 92 % untuk kematian.22

Diagram 1. Hubungan kadar laktat dan tingkat Mortalitas (Shapiro et al. Ann
Emerg Med. 2005; 45:524-28)

2.2.2 Pengambilan sampel kultur kuman

Pasien sepsis mengalami kondisi bakteremia yang berarti mengalami

infeksi dari sumber manapun yang mungkin, seperti seluruh rongga tubuh pasien,

adanya luka terbuka ataupun hal lainnya. Pengambilan sampel kuman untuk

dilakukan kultur agar dapat diketahui jenis patogen penyebab harus dilakukan

pada pasien sepsis tanpa melakukan penundaan substansial terhadap pemberian

antibiotik. Dalam pedoman tatalaksana Surviving Sepsis Campaign pada tahun

2016, panel merekomendasikan waktu paling lama 45 menit untuk mengambil

seluruh sampel infeksius dari pasien yang diduga kuat menjadi sumber infeksi.23
Pada pasien sepsis dapat dijumpai manifestasi klinis infeksi yang kentara

dari satu sistem organ tertentu, tetapi dapat juga tidak, sehingga membutuhkan

pertimbangan bersama dari tim klinisi penanggung jawab pasien. Berdasarkan

SSC 2016 sangat direkomendasikan pengambilan seluruh sampel tubuh pasien

sepsis yang berdasarkan riwayat penyakit dan gejala yang timbul besar dugaan

menjadi sumber infeksi. Tetapi rekomendasi ini sekali lagi bukan untuk diartikan

sebagai pengambilan pan-cultures yang beresiko terhadap penggunaan antibiotik

yang tidak rasional.

Pemeriksaan kultur mikrobiologis rutin yang baik idealnya terdiri atas dua

set sampel kultur darah yang aerobik dan anaerobik. Pengambilan darah sebisa

mungkin dilakukan pada satu waktu. Belum ditemukannya pengaruh yang

signifikan pada kultur kuman apabila dilakukan pengambilan darah serial ataupun

pada saat pasien sedang demam tinggi. Teknik pengambilan dan transport sampel

untuk kedua pemeriksaan ini berbeda. Sehingga ditakutkan akan menunda

pemberian antibitiotik empiris melebihi waktu yang direkomendasikan oleh SSC

2016. Pengambilan sampel setelah dilakukannya pemberian antibiotik tidak akan

berguna karena sterilisasi kultur dapat terjadi dalam hitungan menit hingga jam

setelah antibiotik diberikan.24

2.2.3 Pemberian antibiotik

Dalam pedoman tatalaksana sepsis dan syok sepsis tahun 2016

direkomendasikan pemberian antibiotik intravena pada pasien sepsis dan syok

sepsis dalam waktu 1 jam sejak ditegakkannya diagnose sepsis. Penelitian

menunjukkan bahwa adanya jeda yang panjang pada pemberian antibiotik dengan
saat pasien diketahui sepsis dapat meningkatkan angka mortalitas pasien
25
begitupun dengan gejala penyerta akibat kerusakan organ target yaitu ginjal26,

paru27 dan organ lainnya berdasarkan penggunaan skor Sepsis-Related Organ

Assessment.28 Patogenesis sepsis berhubungan dengan respon imun tubuh yang

berbeda terhadap infeksi sehingga mengakibatkan perembesan cairan ke

interstisial dan mengganggu keutuhan endotel pembuluh darah. Pemberian satu

antibiotik ataupun lebih yang berspektrum luas direkomendasikan untuk diberikan

kepada pasien sepsis ataupun syok sepsis dimana pilihan antibiotik tersebut

mampu melawan seluruh kemungkinan patogen yang menjadi etiologi. 23

Pada pelaksanaan di lapangan, terdapat banyak alasan mengapa pemberian

antibiotik dapat terjadi penundaan. Faktor-faktor tersebut datang dari pasien

sendiri ataupun lingkungan (administrasi, pelayanan, kemampuan klinisi dll).

Contohnya adalah kurangnya perhatian dalam deteksi kondisi sepsis atau syok

sepsi serta kurangnya kepedulian untuk menanyakan riwayat pemakaian antibiotik

pasien sehingga dapat dilakukan praduga adanya resistensi antibiotik tertentu.

Solusi pada masalah-masalah tersebut adalah meningkatkan komunikasi intra dan

interpersonal staf rumah sakit, baik dokter, perawat dan pegawainya. Pemberian

instruksi untuk diberikannya antibiotik kepada pasien sebaiknya dibuat tanda

“CITO/STAT” sehingga seluruh elemen mengetahui bahwa kondisi pasien sepsis

adalah kondisi gawat darurat.23

Hal yang juga perlu diperhatikan dalam pemberian antibiotik adalah akses

vena yang lancar. Saat resusitasi cairan dilakukan sebaiknya telah

dipertimbangkan juga mengenai akses vena yang cukup baik untuk diberikannya

antibiotik. Apabila pada saat itu, akses vena belum ditemukan maka akses
intraoseus dapat menjadi alternative. Bila hal ini sulit dilakukan maka pemberian

dosis inisial antibiotik melalui intramuscular juda diperbolehkan dan tersedia

untuk beberapa golongan antibiotik lini pertama beta-laktam, seperti

imipenem/cilastatin, cefepime, ceftriakson dan ertapenem.

Pemilihan antibiotik empiris merupakan hal yang paling penting dalam

manajemen efektif infeksi yang dapat membahayakan nyawa. Pertimbangan yang

harus dipikirkan adalah sebagai berikut :

1. Predileksi infeksi dengan melihat profil kuman dan sediaan antibiotik

untuk dapat menuju kesana.]

2. Patogen yang prevalen di masyarakat, rumah sakit atau di kamar bangsal

3. Pola resistensi dari kuman-kuman yang ada di lingkungan tersebut

4. Ada atau tidaknya kondisi yang menyebabkan penurunan imunitas seperti

splenektomi, HIV, defek kongenital immunoglobulin dan masalah

produksi komplemen, limfosit dll.

5. Umur dan penyakit komorbid pada pasien yang tergolong kronis dan

gejala-gejala kegagalan organ target yang muncul.

6. Ada atau tidaknya alat-alat invasif seperti kateter vena sentral atau kateter

urin yang dapat membuat pasien rentan terhadap infeksi.

Dalam pemilihan antibiotik definitif, setelah hasil kultur kuman dan

sensitifitas keluar maka harus diganti ke antibiotik yang jauh lebih sensitif. Tetapi

bila hasil kultur negative dan antibiotik empiris menunjukkan perbaikan maka

bisa dilanjutkan dengan antibiotik tersebut.23


2.2.4. Berikan Cairan IV

Resusitasi cairan awal sangat penting untuk stabilisasi hipoperfusi jaringan

sepsis atau syok septik. Mengingat keadaan darurat medis ini, resusitasi cairan

awal harus dimulai segera setelah mengenali pasien dengan sepsis dan / atau

hipotensi dan peningkatan laktat, dan selesai dalam 3 jam dari awal diagnosis.

Pedoman merekomendasikan harus terdiri dari minimal 30mL / kg intravena

cairan kristaloid. Meskipun sedikit literatur dan data untuk mendukung volume

ini, studi intervensi baru-baru ini menggambarkan ini sebagai praktik biasa pada

tahap awal resusitasi, dan didukung bukti observasional. Tidak adanya manfaat

yang jelas setelah pemberian koloid dibandingkan dengan larutan kristaloid pada

subkelompok gabungan sepsis, bersamaan dengan biaya albumin, mendukung

rekomendasi yang kuat untuk penggunaan larutan kristaloid dalam resusitasi awal

pasien dengan sepsis dan septik. syok. Karena beberapa bukti menunjukkan

bahwa keseimbangan cairan positif terus menerus selama tinggal di ICU

berbahaya (33−37), pemberian cairan di luar resusitasi awal memerlukan

penilaian yang cermat dari kemungkinan bahwa pasien tetap responsif cairan.13

TABEL 2.2.1. Unsur-unsur Bundel Dengan Kekuatan Rekomendasi dan Kualitas

Evidens yang Kurang13

Tingkat Rekomendasi dan Tingkat

Elemen Bundel Bukti

Ukur tingkat laktat. Ukur kembali jika Rekomendasi lemah, kualitas bukti

laktat awal > 2 mmol / L rendah


Dapatkan kultur darah sebelum Pernyataan praktik terbaik

pemberian antibiotik.

Rekomendasi kuat, kualitas bukti

moderat
Berikan antibiotik spektrum luas

Cepat mengelola 30mL / kg kristaloid Rekomendasi kuat, kualitas bukti

untuk hipotensi atau rendah

laktat ≥ 4 mmol / L

Oleskan vasopressor jika pasien Rekomendasi kuat, kualitas bukti

hipotensi selama atau setelah moderat

resusitasi cairan untuk mempertahankan

tekanan arteri rata-rata

≥ 65mmHg

2.2.5 Terapkan Vasopressor

Restorasi mendesak tekanan perfusi yang memadai ke organ vital adalah

bagian penting dari resusitasi. Ini tidak seharusnya terlambat. Jika tekanan darah

tidak pulih setelah cairan awal resusitasi, maka vasopressor harus dimulai dalam

jam pertama untuk mencapai tekanan arteri rata-rata (MAP) dari ≥ 65mm Hg.13

Rekomendasi penerapan vasopressor pada SSC 2016 adalah sebagai berikut:

Obat – obatan vasoaktif23


1. Kami merekomendasikan norepinefrin sebagai vasopresor lini pertama

(strong recommendation, moderate quality of evidence).

2. Kami menyarankan penambahan vasopressin (sampai dengan 0,03 U/min)

(weak recommendation, moderate quality of evidence) atau epinefrin

(weak recommendation, low quality of evidence) dengan norepinefrin

untuk meningkatkan MAP (mean arterial pressure) sesuai target, atau

menambahkan vasopressin (sampai dengan 0.03 U/min) (weak

recommendation, moderate quality of evidence) untuk menurunkan dosis

norepinefrin.

3. Kami menyarankan untuk menggunakan dopamine sebagai vasopresor

alternatif pada norepinefrin hanya pada pasien tertentu (misalnya pasien

dengan takiaritmia resiko rendah dan bradikardi absolut atau relatif) (weak

recommendation, low quality of evidence).

4. Kami merekomendasikan untuk menggunakan dopamine dosis rendah

untuk melindungi ginjal (strong recommendation, high quality of

evidence).

5. Kami menyarankan untuk menggunakan dobutamin pada pasien yang

menunjukkan hipoperfusi persisten meskipun sudah diberikan cairan yang

adekuat dan menggunakan vasopresor (weak recommendation, low quality

of evidence). Jika diinisiasi, dosis harus dititrasi hingga titik akhir yang

menggambarkan perfusi, dan agen dikurangi atau dihentikan bila terjadi

perburukan hipotensi atau aritmia.


6. Kami menyarankan semua pasien yang membutuhkan vasopresor

memiliki kateter arteri yang sudah terpasang segera bila tersedia (weak

recommendation, very low quality of evidence).


BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Seluruh pasien yang ditemukan mengalami sepsis atau syok sepsis harus
dilakukan tatalaksana gawat darurat berupa resusitasi dan inisiasi terapi
lainnya.

2. Pada pedoman penatalaksanaan sepsis dan syok sepsis yang dibuat oleh
Surviving Sepsis Campaign pada tahun 2018 menggabungkan seluruh
tatalaksana kepada pasien yang termasuk dalam bundle-6 dan bundle-3
menjadi bundle-1 sejak pasien ditemukan dalam konteks pelayanan kesehatan.

3. Terdapat lima langkah yang tercakup dalam bundle-1 yaitu penghitungan kadar
laktat darah, pengambilan sampel kultur sebelum diberikannya antibiotik,
berikan antibiotik intravena secepatnya, pemberian cairan kristaloid 30
ml/kgBB untuk resusitasi cairan dan berikan vasopressor dengan target inisial
MAP ≥65 mmHg.

3.2 Saran

1. Penelitian untuk melihat keefektifan bundle-1 di Indonesia sebaiknya


dilakukan, sehingga memperkuat dasar implementasi rekomendasi pedoman
dari SSC untuk pasien sepsi dan syok sepsis yang ada di Indonesia.

2. Pembahasan lebih lanjut mengenai peran dokter anestesi dalam prosedur


penatalaksanaan sepsis di lingkungan rumah sakit lebih dijabarkan.

3. Perlunya metode pengawasan yang ketat dan kerjasama dari seluruh elemen
rumah sakit dalam penatalaksanaan pasien sepsis dan syok sepsis sesuai
rekomendasi dari bundle-1.
DAFTAR PUSTAKA

1. R. Phillip Dellinger, MD. Consultant: Volume 54 - Issue 10 - October 2014

The Surviving Sepsis Campaign 2014: An Update On The Management And

Performance Improvement For Adults In Severe Sepsis

2. PAPDI, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, edisi IV, Departemen Ilmu Penyakit

Dalam FKUI, 2006.

3. Michael R Pinsky, MD, CM, FCCP, FCCM. Shock Septic.

http://emedicine.medscape.com/article/168402-overview#a0156. Diunduh

September 2012.

4. Besten, Andrew D. et al. 2009. Oh’s Intensive Care Manual Sixth Edition.

British Library

5. R. P. Dellinger, et al. Intensive Care Medicine. Surviving Sepsis Campaign:

International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock,

2012. February 2013, Volume 39, Issue 2, pp 165–228. ISSN: 0342-4642

(Print) 1432-1238 (Online)

6. Reinhardt K, Bloos K, Brunkhorst FM. 2005. Pathophysiology of sepsis and

multiple organ dysfunction. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, eds.

Textbook of critical care. 15th ed. London: Elsevier Saunders Co. p: 1249-57

7. ProCESS Investigators, Yealy DM, Kellum JA, Juang DT, et al. A

randomized trial of protocol-based care for early septic shock. N Engl J Med

2014; 370(18):1683-1693

8. Leksana, Ery. SIRS, Sepsis, Keseimbangan Asam-Basa, Syok dan Terapi

cairan. Bagian Anestesi dan Terapi Intensif RSUP.dr.Kariadi. Semarang:

Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,2006.


9. Fitch SJ, Gossage JR. Optimal management of septic shock: rapid recognition

and institution of therapy are crucial. Postgraduate Med. 2002;3:50-9.

10. A.Guntur.H. Sepsis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III . Edisi

IV. Jakarta : Pusat Penerbit IPD FK UI. 2007;1840-43.

11. Sepsis. Available from :

http://www.atsu.edu/faculty/chamberlain/Website/lectures/lecture/sepsis.htm.

diunduh pada tanggal 16 Desember 2017

12. PB PAPDI. Panduan Tatalaksana Kegawatdaruratan di Bidang Ilmu Penyakit

Dalam Edisi I. Jakarta. Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2010. 123-5.

13. Mitchell ML, Laura EE dan Andrew R. The Surviving Sepsis Campaign

Bundle : 2018 Update. Society of Critical Care Medicine and the European

Society of Intensive Medicine. June 2018 ; 48(6) : 997-9. DOI :10.1097/cccm.

0000000000003119

14. Ahmed H, Ahmed M dan Heba N. Perfusion Indices Revisited. Journal of

Intensive Care. 2017;5(24):1. DOI 10.1186/s40560-017-0220-5

15. Andra LB. Lactate-A Marker for Sepsis and Trauma. 2007. EMCREG-

International.

http://emcreg.org/publications/monographs/acep/2006/alb_acep2006.pdf.

Diakses pada 22 Juli 2018, 09:29 WIB.

16. Muller BM dan Dellinger RP. Lactate as a hemodynamic marker in the

critically ill. Curr Opin Crit Care. 2012;18(3):267–72.

17. Jansen TC, van Bommel J, Schoonderbeek FJ, et al; LACTATE studygroup.

Early lactate-guided therapy in intensive care unit patients: a multicenter,


open-label, randomized controlled trial. Am J Respir Crit Care Med 2010;

182:752–761

18. Jones AE, Shapiro NI, Trzeciak S, et al. Emergency Medicine Shock Research

Network (EMShockNet) Investigators: Lactate clearance vs central venous

oxygen saturation as goals of early sepsis therapy: a randomized clinical trial.

JAMA 2010; 303:739–746

19. Lyu X, Xu Q, Cai G, et al. Efficacies of fluid resuscitation as guided by lactate

clearance rate and central venous oxygen saturation inpatients with septic

shock. Zhonghua Yi Xue Za Zhi 2015; 95:496– 500

20. Tian HH, Han SS, Lv CJ, et al. The effect of early goal lactate clearance rate

on the outcome of septic shock patients with severe pneumonia. Zhongguo

Wei Zhong Bing Ji Jiu Yi Xue 2012; 24:42–45

21. Yu B, Tian HY, Hu ZJ, et al. Comparison of the effect of fluid resuscitation

as guided either by lactate clearance rate or by central venous oxygen

saturation in patients with sepsis. Zhonghua Wei Zhong Bing Ji Jiu Yi Xue

2013; 25:578–58

22. Shapiro NI, Howell MD, Talmor D, et al. Serum lactate as a predictor of

mortality in emergency department patients with infection. Ann Emerg Med.

2005;45(5):524-528

23. Surviving Sepsis Campaign : International Guidelines for Management of

Sepsis and Septic Shock : 2016. Society of Critical Care Medicine and

European Society of Intensive Care Medicine. Maret 2017; 53(3):494

24. Baron EJ, Miller JM, Weinstein MP, et al. A guide to utilization of the

microbiology laboratory for diagnosis of infectious diseases: 2013


recommendations by the Infectious Diseases Society of America (IDSA) and

the American Society for Microbiology (ASM). Clin Infect Dis 2013; 57:e22–

e121

25. Ferrer R, Martin-Loeches I, Phillips G, et al. Empiric antibiotic treatment

reduces mortality in severe sepsis and septic shock from the first hour: results

from a guideline-based performance improvement program. Crit Care Med

2014; 42:1749–1755

26. Bagshaw SM, Lapinsky S, Dial S, et al. Cooperative Antimicrobial Therapy of

Septic Shock (CATSS) Database Research Group: Acute kidney injury in

septic shock: clinical outcomes and impact of duration of hypotension prior to

initiation of antimicrobial therapy. Intensive Care Med 2009; 35:871–881

27. Iscimen R, Cartin-Ceba R, Yilmaz M, et al. Risk factors for the development

of acute lung injury in patients with septic shock: an observational cohort

study. Crit Care Med 2008; 36:1518–1522

28. Garnacho-Montero J, Aldabo-Pallas T, Garnacho-Montero C, et al. Timing of

adequate antibiotic therapy is a greater determinant of outcome than are TNF

and IL-10 polymorphisms in patients with sepsis. Crit Care 2006; 10:R111

Anda mungkin juga menyukai