Anda di halaman 1dari 14

TUGAS KELOMPOK 1

MATA KULIAH PPNBM

FASILITAS PEMBEBASAN PPN ATAS


JASA KEBANDARUDARAAN DAN
IMPOR/PENYERAHAN BKP/JKP
KE PERWAKILAN NEGARA ASING/
ORGANISASI INTERNASIONAL

Oleh

ABU RIZAL AT TORIQ (2301180268)


ANDI AHMAD AKHYAR (2301180406)
FEBRIANTY SAFIRA (2301180764)
M. ANDIKA PERMANAJATI (2301180335)
RABIATUL ADAWIYAH (2301180921)
VICTORIA YANIAR C. S. (2301180800)

3-06

PROGRAM STUDI DIPLOMA III PAJAK


POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN
2019
A. ARTIKEL JASA KEBANDARUDARAAN

Fenomena Bisnis Angkutan Udara


Nasional
14 Oktober 2009 22:40 Diperbarui: 26 Juni 2015 19:36 4467 0 1

Demografi Indonesia Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2009 ini tercatat telah mencapai
sekitar 240 juta orang. Berdasarkan Data Biro Sensus AS, Indonesia menempati urutan ke 4
(empat) dunia dalam hal banyaknya jumlah penduduk, setelah China, India dan Amerika
Serikat. Luas wilayah Indonesia terbentang di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik
dan terletak di posisi silang yang sangat strategis yaitu pada koordinat 6°LU - 11°08'LS dan
dari 97°' - 141°45'BT.

Di mata dunia internasional, potensi dan nilai strategis Indonesia dianggap sangat penting
tercermin dari isu-isu dan pernyataan dalam berbagai forum internasional yang menyebutkan
"Geographically, Indonesia is located in a very strategic position which serves as an important
international trade hub, connecting North to South (Japan and Australia) and West to East
(Europe, Asia, Australia, and the Pacific Rims). With its 17.508 islands located along the
equatorial line, Indonesia stretches over 5.120 km from East to West, and 1.760 km from North
to South. Indonesia UIRs are considerably wide and It is indeed very potential and strategic in
providing international air navigation or air traffic services and traditional marine traffics"
Namun untuk menjangkau seluruh wilayah Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau,
menghubungkan dan membantu peningkatan pembangunan ekonomi di 33 (tiga puluh tiga)
propinsi yang ada di Indonesia tersebut, diperlukan sarana angkutan yang memadai, baik moda
darat, laut maupun udara.

Mana yang mau didahulukan, angkutan darat, angkutan laut atau angkutan udara? Jawabannya
adalah, ketiga-tiganya harus dikembangkan untuk kepentingan dan kemakmuran seluruh rakyat
Indonesia. Tentunya dalam hal ini sangat dibutuhkan "political will" dari pemerintah untuk
melakukan harmonisasi, membina dan mengawasi persaingan yang muncul diantara ketiga
moda industri, maupun antar sesama pelaku industri, sehingga masing-masing tidak saling
mematikan.

Kontribusi Angkutan Udara pada Perekonomian Nasional

Peran angkutan udara secara umum adalah memperkokoh kehidupan politik, pengembangan
ekonomi, sosial dan budaya serta keamanan dan pertahanan. Di bidang pengembangan
ekonomi, sosial dan budaya, angkutan udara memberikan kontribusi yang cukup besar antara
lain, di bidang transportasi, pengembangan ekonomi daerah, pertumbuhan pariwisata dan
ketenagakerjaan. Kontribusi angkutan udara di bidang transportasi adalah memberikan layanan
pengangkutan baik orang maupun barang melalui jalur udara yang menawarkan nilai tambah
berupa efisiensi waktu dan kecepatan yang lebih baik dibandingkan moda transportasi lainnya.
Dengan adanya faktor kecepatan tersebut disamping mampu menekan biaya produksi,
mobilitas orang dan penyampaian kebutuhan barang atau jasa pun menjadi lebih cepat dan
lebih baik.

Kontribusi angkutan udara di bidang pengembangan ekonomi daerah adalah melakukan


kegiatan lalu lintas orang maupun barang untuk membantu membuka akses, menghubungkan
dan mengembangkan potensi ekonomi daerah yang pertumbuhan ekonominya masih rendah
serta menghidupkan dan mendorong pembangunan wilayah khususnya daerah-daerah yang
masih terpencil , sehingga penyebaran penduduk, pemerataan pembangunan dan distribusi
ekonomi dapat terlaksana sesuai dengan yang diharapkan.

Kontribusi angkutan udara di bidang pariwisata adalah memberikan layanan angkutan udara
dari/ke luar negeri dengan tujuan untuk memasukkan wisatawan sebanyak-banyaknya ke
Indonesia dalam rangka meningkatkan pendapatan devisa Negara. Berkaitan dengan sektor
pariwisata, kontribusi angkutan udara memang sangatlah besar karena angkutan udaralah yang
memungkinkan wisatawan manca negara masuk ke Indonesia. Hampir kurang lebih 90% dari
wisatawan yang masuk ke Indonesia menggunakan sarana angkutan udara. Sehingga dapat
dikatakan, sektor pariwisata Indonesia akan semakin berkembang apabila didukung oleh
pertumbuhan angkutan udaranya.

Kontribusi angkutan udara di bidang ketenagakerjaan adalah menciptakan lapangan kerja baik
langsung maupun tidak langsung dalam rangka membantu pemerintah dalam pemenuhan
lapangan kerja khususnya di bidang industri angkutan udara. Menurut Air Transport Action
Group (ATAG), yaitu sebuah organisasi independen internasional yang terdiri dari beberapa
kelompok perusahaan khususnya yang berkiprah di bidang industri angkutan udara, kontribusi
angkutan udara di bidang ketenagakerjaan secara langsung adalah penciptaan lapangan kerja
industri dari angkutan udara itu sendiri dan secara tidak langsung adalah menciptakan lapangan
kerja di bidang pengadaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan operasional / produksi
angkutan udara. "Multiplier effect" lainnya adalah adanya angkatan kerja yang disebabkan oleh
pengeluaran yang disebabkan oleh industri dan yang terbesar adalah angkatan kerja yang
disebabkan meningkatnya kegiatan sektor pariwisata akibat masuknya wisatawan melalui jalur
angkutan udara.

ATAG mengindikasikan bahwa indeks prosentase dari pengaruh industri angkutan udara
terhadap ketenagakerjaan adalah sebesar 580% dengan perincian sebagai berikut, pengaruh
langsung (direct) sebesar 100% berupa penciptaan tenaga kerja angkutan udara itu sendiri,
pengaruh tidak langsung (indirect) sebesar 116% berupa angkatan kerja pengadaan barang dan
jasa, pengaruh lainnya (induced), yaitu angkatan kerja dari sektor pariwisata sebesar 310% dan
angkatan kerja dari pengeluaran yang disebabkan oleh industri sebesar 54%. Sehingga jika kita
mengacu pada rasio pesawat per pegawai sebesar 1 : 150 orang, maka jika muncul industri
angkutan udara baru dengan jumlah armada sebanyak 5 pesawat akan menghasilkan angkatan
kerja sebanyak, 5 x 150 orang x (100%+116%+310%+54%)=4.350 orang angkatan kerja.
Apabila kita hitung dengan perumusan yang sama secara nasional, dari seluruh jumlah armada
yang beroperasi di Indonesia yang berjumlah kurang lebih sekitar 270 pesawat, maka total
penciptaan angkatan kerja dari sektor angkutan udara adalah sebesar 227.070 orang. Suatu
jumlah angkatan kerja yang cukup lumayan, apalagi di era sekarang , hal tersebut sangat
membantu pemerintah di bidang pemenuhan tenaga kerja nasional.
Peningkatan Sektor Pariwisata yang Didukung Oleh Angkutan Udara yang Handal Dan
Berkualitas

Jatuhnya harga minyak pada tahun 1986 dari kisaran harga $ 30 per barel menjadi hanya sekitar
$ 10 per barel merupakan sebuah pukulan telak bagi Indonesia yang selama berpuluh-puluh
tahun, menggantungkan minyak sebagai sumber devisa utama. Menurunnya penerimaan
negara dari sektor minyak memicu pemerintah untuk secara intensif melakukan langkah-
langkah antisipatif dengan mencari sumber-sumber lain keuangan Negara selain migas.
Pemerintah melakukan perubahan di berbagai bidang melalui langkah deregulasi
perekonomian antara lain deregulasi perpajakan, pelabuhan dan angkutan laut termasuk
deregulasi di bidang angkutan udara dimana awalnya dinamakan "partial open sky" dengan
membuka Bali, Denpasar sebagai pintu masuk wisatawan ke Indonesia disamping Jakarta
sebagai ibukota negara. Namun penerapan " limited open sky" tersebut berdampak
pada maskapai penerbangan nasional yang notabene belum siap bersaing di pasar global,
sehingga pelan tapi pasti, mulai mengalami sesak nafas. Bahkan Garuda Indonesia yang pada
awalnya dianggap kuat dan mapan, tak urung akhirnya mengalami kerugian di tahun 1993.
Namun segala sesuatu memang harus dilihat konteksnya secara luas. Apakah kebijakan untuk
mendukung sektor pariwisata tersebut sebagai penyebab kerugian maskapai nasional? Kalau
kita menyikapinya secara arif dan bijaksana, maka jawabannya "bisa ya, bisa tidak".

Namun kalau melihat pada misi yang diemban oleh airline nasional, yaitu disamping
menghubungkan keseluruh propinsi dari dan ke seluruh kota-kota di Indonesia, juga
berkewajiban mendukung program pemerintah di bidang pariwisata dan ekspor non migas. Jadi
jelas, bahwa industri penerbangan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari industri
pariwisata. Hanya memang, idealnya suatu kebijakan hendaknya diterapkan secara bertahap,
sehingga airline nasional lebih siap dalam menghadapi persaingan. Apakah sektor pariwisata
bisa disalahkan? Jawabannya "tidak", karena keduanya sama-sama untuk kepentingan
Nasional. Seperti hukum sebab akibat, sesuatu terjadi karena ada kejadian yang lainnya. Ada
istilah "cross subsidi", dimana meskipun ada suatu sektor yang mengalami kerugian namun
"end result" secara keseluruhan tetap tercapai.

Terpenting adalah agar masing-masing sektor fokus pada tugasnya, dimana pelaku angkutan
udara diharapkan terus membantu pasokan wisatawan sebanyak-banyaknya ke setiap DTW di
seluruh Indonesia. Sedangkan sektor pariwisata berkewajiban untuk mempromosikan, menjual
dan menjaga potensi wisata yang ada dalam rangka membantu penerimaan devisa negara.
Meskipun pemerintah terus giat menggali alternatif lain selain migas, posisi migas masih
menjadi tulung punggung untuk menggerakkan roda perekonomian Negara. Kebetulan saat itu
tingkat konsumsi minyak domestik masih belum tinggi sehingga ekspor surplus migas masih
terus berjalan hingga beberapa puluh tahun kemudian.

Keberhasilan sektor pariwisata Indonesia seakan menjadi penyejuk ditengah menurunnya


ekspor migas dan menjadikan sektor ini sebagai primadona baru setelahi migas. Untuk lebih
mengembangkan sektor ini, maka beberapa bandar udara di tanah air semakin diperlebar,
dibangun dan diubah menjadi bandara Internasional. Tentunya dengan satu tujuan, yaitu untuk
memberikan peluang lebih banyaknya wisatawan manca negara masuk ke Indonesia, langsung
ke daerah tujuan wisata yang ada di Indonesia. Kota-kota yang bandaranya dikembangkan
selain Jakarta dan Denpasar antara lain, Medan, Pontianak, Pekanbaru, Manado, Ambon, Biak,
Padang, Surabaya, Batam, Ujung Pandang, Banda Aceh, Bandung, Mataram dan lain-lain.
Hingga saat ini total seluruh bandara yang ditetapkan sebagai Bandar udara Internasional
berjumlah 27 bandara (SKep Menhub No : KM.44 Tahun 2002 tentang Tatanan
Kebandarudaraan Nasional) dengan tujuan agar perusahaan penerbangan baik domestik
maupun asing memperoleh kemudahan akses penerbangan ke/dari luar negeri secara langsung.
Terbukanya banyak bandara di Indonesia tersebut, menjadikan ruang udara Indonesia menjadi
semakin terbuka dan bebas, sehingga kesiapan maskapai nasional untuk bersaing secara global
sangat menentukan. Tanpa bermaksud mempersoalkan tentang kebijakan tersebut, namun jika
kita bandingkan dengan kebijakan negara lain seperti Amerika Serikat dan Eropa, dimana
sebagai perwujudan dari sebuah negara liberal, ternyata keduanya masih menganut sistem pre-
kompetitif, dimana dalam perjanjian udaranya senantiasa menekankan adanya perundingan
yang adil (win win solution), namun sepanjang tidak merugikan airline domestiknya. Hal
tersebut dapat diartikan bahwa, proteksi di sebuah negara liberal masih tetap ada, dengan
maksud untuk tetap menjaga kepentingan nasionalnya.

Pada bulan Maret 2004, masa masa ke-emasan minyak dan gas bumi sebagai penyumbang
devisa negara pun akhirnya mengalami antiklimaks, dimana Indonesia yang semula merupakan
importir minyak, telah berubah menjadi "a net crued oil importer" karena tingkat konsumsi
berbanding lebih besar daripada tingkat produksinya. Pada bulan tersebut rata-rata volume
impor per hari telah meningkat mencapai 484.000 barrel,sedangkan volume ekspor rata-rata
hanya sebesar 448.000 barrel, jadi minus 36.000 barrel per hari. Kondisi defisit minyak ini
masih berlangsung hingga saat ini sehingga pemerintah mau nggak mau harus terus
menggenjot penerimaan devisa dari sektor non migas. Mungkin karena alasan inilah, per
Januari 2009, Indonesia secara resmi keluar dari keanggotaan OPEC, setelah bergabung selama
47 tahun atau tepatnya sebagai anggota OPEC sejak tahun 1962.

Peningkatan Penumpang dan Perusahaan Penerbangan; Era Low Cost Airlines

Meningkatnya populasi penduduk secara tidak langsung berdampak positif terhadap


pertumbuhan penumpang angkutan udara. Namun instabilitas perekonomian dunia dan
tingginya harga avtur yang sempat menyentuh level psikologis $ 100/bbl, secara signifikan
sangat mempengaruhi industri penerbangan, sehingga lahirlah konsep "Low Cost Carriers
(LCCs)" yang di negara maju dikenal dengan sebutan "Legacy Carriers" yaitu sebuah bentuk
ideal yang mempertemukan pihak konsumen sebagai "buyer" dan operator sebagai "seller"
pada tingkat harga yang sesuai dengan daya beli masyarakat. Di Indonesia sendiri, awal
tumbuhnya low cost carrier adalah bertujuan menciptakan pasar yang terjangkau oleh seluruh
lapisan masyarakat dengan membagi rute-rute yang pasarnya belum potensial.

Agar tidak mengalami kerugian, maka low cost carrier tersebut harus mere-enginering
bisnisnya dengan menyesuaikan seluruh biaya operasionalnya menjadi berbiaya rendah,
tentunya tanpa mengabaikan sisi keamanan, keselamatan dan pelayanan penerbangan.
Beberapa biaya yang sulit untuk ditekan karena sifat pembebanannya sama kepada setiap
operator adalah harga avtur, biaya bandara, beban pajak serta asuransi. Itulah PR yang harus
diselesaikan oleh LCC Domestik agar eksistensinya tetap terjaga. Intinya adalah "Low
Cost=Low Resources=Low Fares". Namun tampaknya, sekarang telah terjadi pergeseran,
dimana LCC adalah penerbangan yang bertarif murah dan bebas menerbangi seluruh rute yang
ada, baik potensial maupun tidak, baik kapasitasnya sudah maksimum atau tidak. Istilahnya,
"disitu ada gula, disitu ada semut", sehingga hasilnya sangat mudah ditebak. Dan yang paling
penting lagi, esensi pemerataan dalam pembangunan seakan jauh panggang dari api. Maraknya
low cost airline di Indonesia dimulai pada tahun 2001, dimana ditandai dengan mulai
bermunculannya perusahaan perusahaan penerbangan baru seperti, Lion Airlines pada bulan
Juni 2000, disusul Kartika bulan Mei 2001, Batavia bulan Januari 2002, Wings Air bulan Juni
2003, Adam Air bulan Desember 2003 (sudah tidak beroperasi), disusul Air Asia pada bulan
Desember 2005. Munculnya airline-airline baru tersebut seakan mengubah wajah dunia
angkutan udara domestik, yang semula hanya didominasi oleh beberapa airline, berubah
menjadi persaingan yang ketat dan terbuka. Akibatnya adalah, terjadi perang tarif yang
merugikan dan berlangsung hampir selama tiga tahun berturut-turut. Namun derasnya arus
globalisasi di Indonesia saat itu, membuat kondisi tersebut seakan dianggap wajar dan syah-
syah saja.

Tak ayal, beberapa airline yang sudah mapan terkena dampaknya, salah satunya adalah
perusahaan penerbangan plat merah Garuda Indonesia, dimana pada tahun 2003 porsi "high
yield"nya langsung menurun drastis dan porsi "low yield"nya membesar, sebagai akibat
kuatnya tekanan persaingan dengan Low Cost Carrier yang ada. Kemerosotan perolehan
pendapatan ternyata tidak hanya dialami oleh Garuda saja, moda angkutan yang lain seperti,
angkutan darat yaitu kereta api dan bus, serta angkutan laut antar pulau juga ikut merasakan
akibatnya. Bahkan beberapa bus antar kota antar propinsi (AKAP) sebagian gulung tikar akibat
sepinya penumpang. Apakah telah terjadi "shifting market" dari angkutan darat dan laut ke
angkutan udara, jawabannya adalah kemungkinan besar "ya". Berdasarkan grafik, jumlah
pengguna angkutan darat dan laut turun drastis, sedangkan di sisi lain moda angkutan udara
justru meningkat pesat. Justifikasinya adalah berpindahnya pengguna moda angkutan darat dan
laut, disebabkan karena harganya yang murah, atau selisih harga yang terlalu dekat sehingga
alasan waktu menjadi alternatif pilihan Kedepan, gambaran kondisi penerbangan nasional
diperkirakan tidak akan berubah dan akan terus mengarah pada dominasi dan semakin
berkembangnya Low fare operator sebagai tulang punggung bisnis angkutan udara Nasional.

Hal tersebut didukung dengan masih stagnannya pertumbuhan ekonomi Indonesia akibat
dampak krisis ekonomi global baru-baru ini, yang cukup mempengaruhi sisi permintaan karena
melemahnya tingkat daya beli masyarakat, sehingga aspek penghematan menjadi faktor yang
sangat penting bagi konsumen. Sebagai upaya untuk mengantisipasi pelayanan jasa
penerbangan pada segmen pasar "middle down" yang "price sensitive" serta langkah "pre-
emptive" dalam menghadapi persaingan dengan semakin maraknya penerbangan asing
berbiaya murah masuk ke Indonesia, maka beberapa airline domestik pun telah menciptakan
LCC tersendiri. Airline tersebut antara lain, Garuda Indonesia melalui Citilink-nya, disusul
Lion yang telah mengubah diri menjadi "premium service" dan menyerahkan porsi low costnya
kepada Wings Air. Beberapa airline asing juga telah melakukan hal sama seperti, Qantas
dengan Jetstar dan SIA dengan Tiger Airwaysnya, dan masih banyak lagi yang lainnya.
Genderang globalisasi telah di tabuh, liberalisasi penerbangan telah bergulir. Tinggal
bagaimana kita menyikapinya.Apakah akan dijadikan sebagai sebuah tantangan dan segera
berbenah diri untuk menghadapi persaingan, atau dianggap sebagai sebuah ancaman.

Rata Rata Umur Pesawat yang Beroperasi Di Indonesia dan Insiden Kecelakaan
Pesawat

Pemberlakuan larangan terbang yang pernah dikeluarkan oleh Uni Erope per Juli 2007, yang
menganggap bahwa semua maskapai nasional memiliki kualitas keamanan dan keselamatan
penerbangan yang sangat rendah, hendaknya dianggap sebagai sebuah kritik yang membangun,
bahan intropeksi diri serta dijadikan sebagai bahan pelajaran berharga bagi seluruh komponen
pelaku industri angkutan udara nasional. Kita harus maklum bahwa, Uni Eropa berkewajiban
untuk melindungi warga negaranya agar tidak menjadi korban pada penerbangan di suatu
negara yang dianggap standar tingkat keamanan dan keselamatan penerbangannya rendah.
Pada dasarnya, kepatuhan dan keseriusan operator akan keamanan dan keselamatan
penerbangan, menunjukkan seberapa besar tingkat kepedulian, tanggung jawab dan
perlindungan yang diberikan operator penerbangan pada setiap pengguna jasa angkutan udara.
Banyaknya insiden atau kecelakaan pesawat menunjukkan bahwa komitmen terhadap tingkat
keamanan dan keselamatan penerbangan di Indonesia masih lemah. Namun itu bukan hanya
tanggung jawab operator saja, tapi pemerintah sebagai regulator juga harus mawas diri.
Mudahnya mendirikan perusahaan penerbangan baru dan lemahnya pengawasan, bisa jadi
memberikan andil terhadap buruknya kondisi penerbangan Nasional. Derasnya arus globalisasi
di awal tahun 2000-an dan dimulainya era low cost airline di Indonesia setahun kemudian, dan
kurang ketatnya aturan dan mudahnya persyaratan untuk mendirikan airline baru telah
membawa perubahan yang sangat drastis pada dunia penerbangan nasional.

Banyaknya pelaku industri penerbangan, mengakibatkan tingkat persaingan menjadi sangat


tinggi dan cenderung tak terkendali. Buntutnya adalah perang tarif dan masing masing berusaha
untuk memenangkan pertempuran, Masing-masing berusaha memangkas biaya dan menekan
harga serendah-rendahnya. Pesawat-pesawat yang sudah uzur pun didatangkan demi
mendapatkan harga sewa yang murah. Pada akhirmya konsumenlah yang dirugikan karena
menurunnya kualitas pelayanan dan rendahnya jaminan keamanan dan keselamatan
penerbangan. Di era 2001/2002, rata-rata umur armada bahkan sempat mencapai pada kisaran
20 tahun, namun secara bertahap, meskipun belakangan, masing-masing operator mulai
meremajakan armadanya.

Rata-rata umur armada dunia umumnya berkisar pada umur 10-12 tahun. Sehingga kalau kita
sedikit moderat, maka batas usia armada yang dapat dioperasikan di Indonesia idealnya
adalah maksimum 15 tahun. Berdasarkan data, rata-rata umur armada maskapai Nasional
adalah 15,9 tahun. Dari 270 armada yang beroperasi, hampir sebagian besar menggunakan
armada yang sudah tua yaitu sebesar 47% (128 pesawat) berumur diatas 15 tahun, 32% (86
pesawat) berumur antara 10 - 15 tahun dan hanya 21% (56 pesawat) yang berumur 10 tahun
kebawah. Melihat kondisi ini, seluruh maskapai terkait diharapkan untuk segera melakukan
program peremajaan armadanya. 5 (lima) urutan teratas berdasarkan umur armada, dari 26
maskapai yang beroperasi di Indonesia adalah sebagai berikut :

• Express Transport (0,2 tahun) > AOC 135


• Mandala (6,8 tahun) > AOC 121
• Lion (10 tahun)> AOC 121
• Travira Air (10,2 tahun)AOC 135
• Garuda (11,3 tahun) AOC 121

Apakah usia armada yang lebih muda menjamin suatu penerbangan terbebas dari kecelakaan?
Jika kita mengacu pada kasus kecelakaan pesawat Silk Air, jawabannya "belum tentu". Seperti
diketahui, penerbangan Silk Air MI 185 yang menggunakan tipe pesawat B733 buatan tahun
1997 dan terbilang masih baru pada saat itu, jatuh di sungai Musi Palembang pada bulan
Desember 1997 dan menewaskan 104 orang penumpang dan awaknya. Dalam kecelakaan
pesawat terbang, biasanya sangat sulit untuk mencari apa penyebabnya dan siapa yang
bersalah, mengingat faktor penyebabnya sangat banyak. Namun secara umum, faktor penyebab
terjadinya musibah penerbangan adalah sebagai berikut :
• Humman error adalah penyebab kecelakaan pesawat terbang yang disebabkan oleh kesalahan
manusia.
• Technical error adalah penyebab kecelakaan pesawat terbang karena faktor teknis / mesin.
• External factor / Medias meliputi ganguan yang disebabkan oleh alam misalnya awan/kabut
tebal, cuaca buruk, hujan deras, angin kencang, debu, burung, kemudian organization error
misalnya kurang disiplin/kebiasaan buruk, pola pikir dan pola kerja yang salah, instruksi
pengendali yang keliru, kebijakan pemimpin yang kurang pas, pemeliharaan pesawat yang
tidak sesuai aturan, kelebihan muatan, tingkat kelaikannya yang rendah, dan lain sebagainya.

Sebelum kita bahas lebih lanjut, perlu kiranya kita melihat, sebenarnya negara-negara mana
saja yang tingkat kecelakaannnya paling banyak dan bagaimana dengan posisi Indonesia
sendiri. Berdasarkan data Airfleets, Indonesia berada pada posisi ke 7 (Tujuh), negara yang
terbanyak mengalami kecelakaan dengan total terjadinya kecelakaan sebanyak 10 kali. Diatas
Indonesia ada Taiwan, Cina, Perancis, Brasil, India dan yang tertinggi Amerika Serikat. Kalau
kualitas SDM yang dipersalahkan, rasanya kurang tepat, mengingat SDM asing disamping
bergaji lebih tinggi, secara kualitas umumnya lebih baik dibanding SDM Indonesia. Tapi justru
kenapa kecelakaan banyak terjadi di negara yang lebih maju dan sangat ketat serta disiplin
dalam hal standar keamanan dan keselamatan penerbangannya. Terlepas dari itu semua,
terpenting seluruh insan pelaku bisnis angkutan udara nasional hendaknya terus mawas diri
dan senantiasa melakukan perbaikan. Koordinasi diantara pelaku utama yang berperan sangat
besar dalam bisnis angkutan udara yaitu pengelola bandara (PT. Angkasa Pura), penyedia data
cuaca (Badan Meteorologi dan Geofisika) dan operator penerbangan (Airlines) agar lebih
ditingkatkan, sehingga dunia penerbangan Indonesia menjadi lebih aman, tertib dan lancar.
Dicabutnya larangan terbang oleh Air Safety Committee, Uni Eropa per Juli 2009 lalu,
menunjukkan bahwa upaya perbaikan yang telah dilakukan operator bersama dengan
pemerintah telah membuahkan hasil dan diharapkan hal tersebut terus dilakukan, sebagai upaya
pembenahan yang berkelanjutan.

Pemeringkatan Kategori FAA Dan Kategori Perusahaan Penerbangan Periode X (Juni


2009) Departemen Perhubungan

Federal Aviation Administration (FAA) adalah badan otoritas penerbangan Amerika Serikat,
yang secara berkala mengeluarkan publikasi hasil pengawasan dan penilaian yang dikenal
sebagai International Aviation Safety Assesment Program (IASA) terhadap seluruh anggota
ICAO, yang membagi penilaiannya menjadi 2 kategori yaitu,

• Kategori-I, yaitu "Meets ICAO safety standards" yang berarti aman atau "safe"
• Kategori-II, yaitu "Does not meet ICAO safety standards" yang berarti tidak aman atau
"unsafe".

Berdasarkan publikasi terakhir yang dikeluarkan FAA pada tanggal 08 Juni 2009, Indonesia
berada pada "Kategori 2 alias tidak aman". Disamping Indonesia, di kawasan Asia termasuk
Bangladesh, Philippines dan negara-negara yang memiliki potensi konflik seperti Israel,
Serbia, Kroasia, Ukraina, Uruguay, Paraguay, Nicaragua, Honduras, Haiti, Congo, Zimbabwe,
Ghana dan beberapa negara lainnya. Di sisi lain pemerintah melalui Dephub, meskipun
larangan terbang telah dicabut, terus melanjutkan pembinaan dan pengawasan, sehingga Dirjen
Perhubungan Udara Departemen Perhubungan, kembali mengeluarkan daftar pemeringkatan
kategori perusahaan penerbangan periode X bulan Juni 2009. Pemberian kategori ini dalam
rangka penilaian kinerja operator penerbangan terhadap kepatuhan dan pemenuhan peraturan
keselamatan penerbangan sipil. Pemeringkatan terhadap maskapai penerbangan yang
dilakukan oleh Dephub, mendasarkan pada Civil Aviation Safety Regulation (CASR) 4121,
yang terbagi dalam tiga kategori :

• Kategori-I, mengindikasikan bahwa maskapai penerbangan yang masuk kategori ini benar-
benar telah memenuhi tingkat keselamatan penumpang.
• Kategori-II, mengindikasikan bahwa maskapai telah memenuhi persyaratan minimal
keselamatan penerbangan, tetapi masih terdapat beberapa persyaratan yang belum
dilaksanakan.
• Kategori-III, mengindikasikan bahwa maskapai penerbangan telah memenuhi persyaratan
minimal keselamatan penerbangan dan masih terdapat beberapa persyaratan yang belum
dilaksanakan sehingga mengurangi tingkat keselamatan penerbangan.

Penilaian terakhir yang dilakukan oleh Dephub dilakukan pada 46 operator penerbangan, yakni
:

• 21 operator pemegang Air Operator Certificate (AOC) 121, sedangkan 1 operator tidak
dilakukan penilaian karena tidak beroperasi.
• 25 operator pemegang AOC 135, sedangkan 7 operator tidak dilakukan penilaian karena tidak
beroperasi.

Hasil pemeringkatan kategori perusahaan penerbangan, periode X, bulan Juni 2009, adalah
sebagai berikut : Kategori I : Untuk AOC 121 : Garuda, Merpati, Lion, Mandala, Air Asia,
Trigana, Batavia, Pelita, Wings, Sriwijaya, Riau, Indonesia Air Transport, Tri MG (Cgo) dan
AOC 135 : Travira Utama, Airfast, National Helicopter, Express Transport. Kategori II :
Untuk AOC 121 : Travel Express, Kalstar, Kartika, Megantara, Cardig (Cgo), Repex (Cgo),
Manunggal (Cgo), Nusantara (Cgo) dan AOC 135 : Aviastar, Nyaman Air, Air Pacific, Gatari,
Pura Wisata, Kura-kura, Asi Air, Trans Wisata, Deraya, Sampoerna, Eastindo, Derazona,
Angkasa Semesta, Nusantara Buana, SMAC, Intan Angkasa, Alfa Trans, Dabi Air, Unindo,
Jhonlin Air, Sky Aviation. Perlunya re-konsolidasi angkutan udara Nasional Dalam rangka
membangun angkutan udara yang tangguh dan memiliki daya saing dalam percaturan bisnis
angkutan penerbangan global dan ditengah banyaknya kekurangan dan persoalan yang
menimpa dunia penerbangan kita, maka dirasakan sangat perlu untuk melakukan re-
konsolidasi angkutan udara nasional. Re-konsolidasi ini sebagai upaya "flashback" terhadap
apa yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh seluruh pelaku industri penerbangan. Dalam
forum tersebut tentunya akan dibahas beberapa hal dan pertanyaan yang cukup mendasar
seperti :

• Apa sebenarnya yang kita miliki sekarang dan seberapa besar manfaatnya terhadap
kepentingan Nasional.
• Langkah langkah apa yang diperlukan untuk memperbaiki dan memperkuat posisi "bargaining"
kita dengan negara lain.
• Tindakan-tindakan apa yang bisa memberikan manfaat dan nilai ekonomis yang lebih tinggi
dibanding sekarang.

Keduanya, baik regulator maupun operator diharapkan saling memberikan nilai positif bagi
perkembangan angkutan udara Nasional. Untuk membenahi kondisi penerbangan nasional
memang tidaklah mudah, karena sifatnya yang sangat kompleks. Sangat diperlukan adanya
partisipasi dari berbagai pihak terkait dan partisipasi masyarakat untuk duduk bersama dan
memperbaikinya. Beberapa poin-poin yang perlu dilakukan dan dikembangkan yaitu : 1. Dari
sisi Regulator / Pemerintah.

• Terus melakukan pengaturan dan pengawasan pada setiap pelaku industri penerbangan agar
seluruh aturan, ketentuan atau regulasi penerbangan sesuai dengan standar yang diharapkan.
• Melaksanakan berbagai kebijakan yang kondusif dan memberikan manfaat yang berimbang
termasuk memberikan kemudahan-kemudahan dan insentif yang diperlukan untuk mendukung
kelancaran dunia usaha angkutan penerbangan.
• Meminimalisir faktor-faktor yang menghambat perkembangan, menyederhanakan birokrasi
yang ada, menciptakan efisiensi dan keteraturan penerbangan, serta hal-hal penting lainnya
dalam rangka membantu perkembangan dunia usaha penerbangan.
• Melakukan pembenahan infrastruktur angkutan udara yang memadai, membantu hal-hal yang
berkaitan dengan pengembangan SDM di bidang penerbangan yang lebih profesional dan
tercukupi dengan baik.
• Merumuskan dan menetapkan langkah-langkah serta menciptakan kompetisi yang sehat antar
moda angkutan atau sesama moda angkutan, sehingga tidak saling merugikan satu sama lain.

2. Dari sisi Operator / Perusahaan Penerbangan.

• Segera melakukan langkah-langkah konkrit agar pelaksanaan penerbangan dapat berjalan


sesuai dengan persyaratan standar keamanan dan keselamatan penerbangan.
• Memberikan masukan-masukan kepada regulator agar jalannya penerbangan aman dan
terjangkau namun eksistensi perusahaan juga tetap terjaga.
• Melakukan perbaikan yang terus menerus dalam rangka memberikan layanan yang berkualitas
dan komitmen perlindungan terhadap konsumen.

3. Partisipasi dan peran serta masyarakat / pengguna jasa angkutan udara.

• Memberikan masukan-masukan baik kepada regulator maupun operator penerbangan dan


menyampaikan kebutuhan/keinginan yang berhubungan dengan layanan angkutan udara.
• Memberikan peran serta yang nyata untuk membantu kelangsungan hidup angkutan udara dan
komitmen serta dukungannya untuk lebih menggunakan maskapai nasional ketimbang
maskapai asing.

Upaya konsolidasi dan pembenahan angkutan udara nasional di berbagai aspek terkait,
diharapkan akan menjadikan pelaku bisnis penerbangan nasional menjadi lebih solid, makin
berkembang dan lebih profesional, sehingga siap menghadapi kompetisi global yang kian
mendekat. Semoga.

Sumber:
https://www.kompasiana.com/galihrudyto/54ff0a4aa33311151750f962/fenomena-bisnis-
angkutan-udara-nasional

TANGGAPAN 1:

Dari artikel tersebut kami, dapat mengambil fakta bahwa kegiatan penerbangan
internasional semakin ramai dari waktu ke waktu. Mobilitas penduduk ke luar negeri
mengalami peningkatan pesat, yakni pada angka 589.450 penumpang. Peristiwa ini terutama
terjadi di Bandara Ngurah Rai saat Natal dan Tahun Baru. Selain itu penerbangan yang
melayani juga meningkat hingga total 301 penerbangan.
Pemerintah telah menerbitkan aturan berupa pembebasan punggutan pajak
pertambahan nilai (PPN) atas penyerahan jasa kebandarudaraan. Sesuai dengan aturan
peraturan pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2009 bertajuk Perlakukan PPN Atas Penyerahan
Jasa Kebandarudaraan Tertentu Kepada Perusahaan Angkutan Udara Niaga Untuk
Pengoperasian Pesawat Udara Yang Melakukan Penerbangan Luar Negeri, tujuan pemerintah
menerbitkan aturan baru itu dalam rangka meningkatkan daya saing Indonesia di kancah
industri jasa penerbangan. "Selain karena daya saing, juga untuk memberikan kemudahan dan
kepastian perlakuan perpajakan terhadap perusahaan angkutan udara niaga yang
mengoperasikan pesawat udara untuk penerbangan luar negeri terutama terkait dengan semakin
tingginya mobilitas penduduk ke luar negeri.
Alasan lain pemerintah menerbitkan kebijakan pembebasan PPN atas penyerahan jasa
kebandarudaraan lantaran terkait dengan komitmen perjanjian internasional mengenai
pelayanan jasa transportasi udara, yakni memberikan insentif serupa bagi angkutan udara niaga
asing. Selain itu fakta bahwa meningkatnya frekuensi penerbangan terutama di Bandara
Ngurah Rai Bali memberikan insentif untuk pengembangan pariwisata Indonesia kepada
wisatawan mancanegara dengan dibebaskan PPN atas jasa kebandarudaraan.
PP 28/2009 menyebutkan, pemerintah menetapkan dua aturan main dalam pemberian
insentif pembebasan PPN. Pertama menurut Ayat 2 Pasal 1 PP 28/009, insentif PPN untuk
pesawat udara yang dioperasikan oleh perusahaan angkutan udara niaga nasional yang
melakukan angkutan udara luar negeri harus memenuhi syarat tidak mengangkut penumpang,
kargo dan atau pos dari satu bandar udara ke bandar udara lain di Indonesia.
Kedua, untuk pesawat udara yang dioperasikan oleh perusahaan angkutan udara niaga
harus memenuhi syarat. Yakni, tidak mengangkut penumpang, kargo dan atau pos dari satu
bandar udara ke bandar udara lainnya di wilayah Indonesia. Kemudian, negara tempat
kedudukan wajib pajak yang mengoperasikan pesawat udara tersebut juga memberikan
perlakuan sama terhadap pesawat udara niaga nasional sesuai dengan asas timbal balik
(reciprocal).
Oleh karena itu, pemberian insentif ini memberikan kemudahan baik bagi penyedia jasa
maupun pengguna jasa transportasi udara atau jasa kebandarudaraan

TANGGAPAN 2:
Dari artikel yang ada, kita bisa melihat bahwa penerbangan udara rute internasional
pada masa Libur Nataru mengalami kenaikan yang pesat dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Dikatakan bahwa peningkatan untuk penerbangan luar negeri mengalami
kenaikan sebesar 13,92% yang mana sama pada angka 589.450.
Jikalau kita mengacu pada PP 71 Tahun 2012 tentang Perlakuan PPN Atas Penyerahan
Avtur untuk Keperluan Angkutan Udara Luar Negeri, maka setiap penerbangan yang
melakukan pengisian bahan bakar tujuan luar negeri tidak dipugut PPN. Namun pengenaan ini
hanya berlaku terhadap negara yang juga terdaftar sebagai anggota ICAO dengan
mengedepankan asas timbal balik. Atas PP ini, negara dari sektor penerimaan pajak kehilangan
potensi perpajakan yang bisa diraih. Namun di sisi lain, negara mengalami kenaikan pada
sektor ekonomi dengan banyaknya turis asing yang masuk ke dalam Indonesia. Sehingga dari
sudut pandang sektor perekonmian justru Indonesia mengalami kenaikan terutama di daerah-
daerah tertentu seperti Bali, Manado, dan Surabaya.
Sedangkan untuk pengenaan PPN atas palayanan jasa kebandarudaraan maka setiap
penerbangan luar negeri dibebaskan PPN. Pengenaan ini dapat kita lihat pada PP 28 Tahun
2009 dengan rincian pelayanan yang dibebaskan sebagai berikut:
1. Pelayanan jasa penerbangan;
2. Pelayanan jasa pendaratan, penempatan, penyimpanan pesawat udara;
3. Pelayanan jasa konter;
4. Pelayanan jasa garbarata(aviobridge); dan/atau
5. Pelayanan jasa bongkar muat penumpang, kargo, dan/atau pos.
Hal ini tentu berlaku terhadap penerbangan yang memenuhi syarat yang terdapat pada
PP 28 Tahun 2009, baik kepada perusahaan angkutan udara niaga nasional maupun asing.

TANGGAPAN 3:
Perlakuan PPN atas JKP dibebaskan:

• Pelayanan jasa penerbangan


• Pelayanan jasa pendaratan,penempatan,dan penyimpanan pesawat udara
• Pelayanan jasa konter
• Pelayanan jasa garbarata
• Pelayanan jasa bongkar muat penumpang,kargo,dan/atau pos

Dengan adanya pembebasan PPN untuk JKP tertentu kebandarudaraan yang


berdestinasi ke LN ataupun menuju NKRI, peningkatan jumlah penumpang dan penerbangan
diharapkan dapat semakin meningkat terlebih ketika memasuki musim liburan. Peningkatan ini
dapat kita buktikan dari artikel di atas yang menyatakan terjadi persentase peningkatan
penumpang dari tahun ke tahun.
Peningkatan jumlah penumpag yang berdestinasi menuju NKRI juga merupakan hal
positif bagi Indonesia terutama sektor ekonomi terkhususnya pariwisata. Dengan adanya turis
asing yang datang ke Indonesia, tentunya dapat semakin mendorong perekonomian dan dapat
menjadi sarana promosi pariwisata Indonesia untuk turis mancanegara.
Maka dari itu, kebijakan pembebasan PPN atas JKP ini kami anggap sebagai salah satu
kontribusi perpajakan untuk dapat meningkatkan perekenomian dan promosi terhadap NKRI.

Dibebaskan untuk siapa???


Penyerahan jasa kebandaruraan tertentu oleh penyelenggara bandara udara kepada
perusahaan angkutan udara niaga yang melakukan penerbangan ke LN
• Perusahaan angkutan udara nasional
• Perusahaan angkutan udara asing

Syarat:

1. Penerbangan bukan penerbangan domestik


2. Negara asal tempat kedudukan WP juga memberikan perlakuan yang sama
terhadap pesawat udara yang dioperasikan oleh perusahaan angkutan udara
nasinal sesuai asas timbal balis(tambahan utk Perusahaan asing)
B. ARTIKEL IMPOR / PENYERAHAN BKP / JKP KE
PERWAKILAN NEGARA ASING / ORGANISASI
INTERNASIONAL

Fasilitas Pembebasan PPN dan Ppnbm


kepada Badan Internasional Dipermudah
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah menyederhanakan ketentuan pelaksanaan
pembebasan PPN dan/atau PPnBM atas impor atau penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
Jasa Kena Pajak (BKP/JKP) kepada atau oleh Badan Internasional. Hal ini tertuang dalam
PMK 33/2018.

Direktur P2 Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan, dalam ketentuan
sebelumnya, atas impor atau penyerahan BKP/JKP kepada atau oleh Badan Internasional juga
dapat diberikan pembebasan PPN dan/atau PPnBM. Namun, PMK ini memberikan
kemudahan dalam pelaksanaannya.

“Persetujuan pembebasan PPN/PPnBM diberikan oleh Pimpinan Kementerian/lembaga


selaku ketua panitia kegiatan. Untuk yang normal (sebelum PMK 23) oleh Mensesneg,” kata
Hestu kepada Kontan.co.id, Senin (9/4).

Namun demikian, Mensesneg masih memberikan rekomendasi dalam hal rutin untuk
pembebasan PPN untuk perwakilan negara asing/organisasi internasional. Persetujuan oleh
pimpinan kementerian/ lembaga selaku ketua panitia ini hanya dalam hal terdapat event.
Adapun Hestu mengatakan bahwa setelah mendapat persetujuan, tidak disyaratkan adanya
SKB (Surat Keterangan Bebas) dari Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing (KPP
Badora) lagi.

Sebelumnya, wajib ada SKB PPN yang diterbitkan oleh KPP Badora setelah mendapat
rekomendasi untuk mendapatkan fasilitas pembebasan PPN dan PPnBM.
“Sehingga langsung ke Ditjen Bea Cukai untuk impor atau ke Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Penjual untuk pembelian dalam negeri.

Dengan demikian, pemerintah tidak memiliki insentif atau fasilitas baru, tetapi hanya
prosedurnya saja disederhanakan. Hal ini dalam rangka meningkatkan dan mempercepat
layanan.

“PMK ini berlaku umum. Sepanjang memenuhi kriteria itu, tentunya pembebasannya dapat
diberikan dengan prosedur yang disederhanakan seperti itu,” ujarnya.

Sumber:
https://executive.kontan.co.id/news/fasilitas-pembebasan-ppn-dan-ppnbm-kepada-badan-
internasional-dipermudah
TANGGAPAN:

Terdapat perubahan kedua pada PMK 162/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Penerbitan
Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai Atau Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah Kepada Perwakilan Negara Asing Dan Badan Internasional
Serta Pejabatnya, yang diatur dalam PMK 33/pmk.03/2018, yaitu penambahan pasal 8A. Pasal
8A ini berisi Pembebasan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan atas Barang Mewah kepada Badan Internasional serta pejabatnya dapat diberikan
untuk kegiatan yang diselenggarakan oleh Badan Internasional yang dihadiri oleh kepala
negara dan/atau pimpinan Badan Internasional dikecualikan dari ketentuan memiliki SKB.
Tambahan pasal 8A ini diperlukan untuk menyederhanakan prosedur. Pembebasan
PPN atau PPN dan PPnBM dengan cara, kepala Badan Internasional harus mengajukan
permohonan persetujuan yang dilampiri rincian BKP yang akan dimpor dan/atau BKP/JKP
yang akan diperoleh yang paling sedikit memuat jenis BKP dan/atau JKP dan penyedia jasa
atau penjual barang. Diajukan kepada pimpinan kementerian/lembaga terkait selaku ketua
panitia nasional kegiatan atau pejabat yang ditunjuk yang nantinya juga menerbitkan surat
persetujuan dan menyampaikan tembusan kepada Menteri Sekretaris Negara. Persetujuan ini
didasarkan pada kewajaran dengan melihat jumlah Pejabat tugas, fungsi, dan kebutuhan Badan
Internasional serta pejabatnya.
Sehingga ketika sebuah badan internasional akan menyelenggarakan sebuah kegiatan
yang dihadiri oleh kepala negara dan/atau pimpinan badan internasional, mereka akan meminta
rekomendasi untuk mendapatkan fasilitas pembebasan PPN dan PPnBM. Setelah mendapat
persetujuan, mereka tidak perlu meminta SKB (Surat Keterangan Bebas) dari Kantor
Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing (KPP Badora) lagi. Sehingga langsung ke Ditjen Bea
Cukai untuk impor atau ke Pengusaha Kena Pajak (PKP) Penjual untuk pembelian dalam
negeri.

Anda mungkin juga menyukai