General Business Environment PT PLN Pers PDF
General Business Environment PT PLN Pers PDF
Pengajar:
RESEARCH PAPER
Tahun 2014
i
General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat serta salam selalu tercurahkan
kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan rahmat-Nya penulis mampu
menyelesaikan Research Paper yang berjudul “General Business Environment
PT PLN (Persero) Unit Pembangkitan Jawa Bali ”
Research Paper ini disusun sebagai salah satu prasyarat kelulusan dalam mengikuti
mata kuliah General Business Environment pada Program Studi Magister
Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada yang terhormat:
1. Orang tua kami yang tercinta yang senantiasa meridhoi.
2. Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA selaku Dosen Koordinator pada mata
kuliah ini.
3. Bapak DGN Ambara selaku Kepala Divisi Pembangkitan Jawa Bali PT
PLN (Pesero).
4. Rekan – rekan PT PLN (Persero) Unit Pembangkitan Jawa Bali dan Divisi
Pembangkitan Jawa Bali Kantor Pusat yang telah membantu dalam
pengumpulan data pada Research Paper ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan Research Paper ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan sehingga bermanfaat bagi
pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dan bantuan dari
berbagai pihak sehingga penulisan Research Paper ini dapat diselesaikan. Semoga
Allah Subhanahu wa ta'ala senantiasa meridhai segala usaha kita, Amin.
Penulis
ii
General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
EXECUTIVE SUMMARY................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................................1
1.1 Latar Belakang .............................................................................. .......1
1.2 Profil PLN UPJB .............................................................................. ....2
1.3 Permasalahan ....................................................................................... .3
BAB II. PEMBAHASAN ...................................................................................... 4
2.1 Analisa Industri Pembangkitan Tenaga Listrik ................................... 4
2.2 Analisa Model Bisnis UPJB ................................................................. 6
2.3 General Business Environment .......................................................... 12
BAB III. PENUTUP ............................................................................................. 62
3.1. Kesimpulan ........................................................................................ 62
3.2. Tindakan Yang Disarankan ................................................................ 64
REFERENSI ......................................................................................................... 65
iii
General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB
Executive Summary
Semakin dinamisnya perubahan yang terjadi pada faktor-faktor lingkungan bisnis dalam
dunia usaha, khususnya bidang pembangkitan tenaga listrik. Menuntut pemain dalam
industri pembangkitan tenaga listrik melakukan analisis lingkungan organisasi yang
dapat memberikan informasi bagi manajemen dalam membuat keputusan bisnis yang
bertujuan untuk memperbaiki kinerja organisasi.
Research Paper dengan judul “General Business Environment PT PLN (Persero) Unit
Pembangkitan Jawa Bali – Analisa Faktor Eksternal Perusahaan Terhadap Bisnis
Pembangkitan Tenaga Listrik” ini, merupakan proses scanning eksternal yang dilakukan
dengan mendeskripsikan, menganalisa, dan mensintesiskan faktor-faktor di luar unit
bisnis/ organisasi yang berimplikasi terhadap pelaksanaan proses bisnisnya. Di
antaranya yaitu: (1) Lingkungan Alam, (2) Lingkungan Budaya, (3) Lingkungan Politik
Domestik, (4) Lingkungan Politik Internasional, (5) Lingkungan Sosial, (6) Lingkungan
Teknologi Pemrosesan, (7) Lingkungan Demografi, (8) Lingkungan Pemerintah, (9)
Lingkungan Moneter dan Fiskal, dan (10) Lingkungan Pembangunan Ekonomi. Dengan
menganalisa hubungan imbal balik antara faktor-faktor eksternal di atas dan dampaknya
terhadap kegiatan bisnis PLN UPJB, maka diharapkan akan didapatkan inisiatif strategis
yang tepat dalam merespond peluang dan ancaman yang ada.
Setelah dilakukan analisa atas ke-sepuluh factor eksternal di atas, maka di dapatkan
bahwa factor yang paling berpengaruh atas performa bisnis PLN UPJB yaitu:
1) Lingkungan Ekonomi,
2) Lingkungan Teknologi Pemrosesan (Processing Technology), dan
3) Lingkungan Alam (Natural Environment).
Selain itu juga telah diusulkan beberapa inisiatif strategis yang perlu diambil oleh PLN
UPJB, di antaranya: (1) Penerapan Green Power Plant, (2) Peningkatan kompetensi
organisasi dan penciptaan budaya kinerja tinggi, dan (3) Pengoptimalan kinerja dan
biaya operasi dan pemeliharaan/ O&M pengelolaan aset pembangkit.
iv
General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB
BAB I
PENDAHULUAN
Program FTP-1 selain untuk mengimbangi meningkatnya permintaan energi listrik, juga
diharapkan untuk dapat menggantikan pembangkit berbahan bakar minyak menjadi
batubara, atau disebut dengan diversifikasi energi. Proses diversifikasi pembangkit
batubara tersebut menurut Ali Herman Ibrahim juga akan mengurangi konsumsi BBM
hingga maksimum hanya 5 persen sehingga memiliki dua keuntungan yaitu (1)
Pembangunan infrastruktur kelistrikan yang memungkinkan PLN memenuhi permintaan
1
Istilah PLTU dalam tulisan ini merujuk kepada Pusat Listrik Tenaga Uap berbahan bakar
batubara.
listrik yang tumbuh, dan (2) Upaya menekan subsidi pemerintah yang disebabkan oleh
naiknya harga BBM [1].
PT PLN (Persero) Unit Pembangkitan Jawa Bali, selanjutnya disebut PLN UPJB, yang
berdiri sejak Juli 2011 merupakan salah satu unit bisnis PT PLN (Persero) yang dibangun
dalam rangka peningkatan efektivitas dan efisiensi pengendalian operasi dan
pemeliharaan serta untuk peningkatan kinerja dan percapaian target produksi pembangkit
di Jawa-Bali khususnya Program Percepatan Pembangunan Pembangkit 10.000 MW.
PLN UPJB melingkupi Sektor Pembangkitan Cilegon, Sektor Pengendalian
Pembangkitan I (yang mengelola aset PLTU Suralaya Unit 8, PLTU Labuan, dan PLTU
Lontar), Sektor Pengendalian Pembangkitan II (yang mengelola aset PLTU Palabuan
Ratu, PLTU Indramayu, dan PLTU Adipala), Sektor Pengendalian Pembangkitan
III(yang mengelola aset PLTU Rembang, PLTU Tanjung Awar-awar, PLTU Pacitan dan
PLTU Paiton Unit 9), dan Sektor Pengendalian Pembangkitan IV (yang mengelola aset
PLTGU Muara Karang Blok 2, PLTGU Tanjung Priok Blok 3, dan PLTGU Muara Tawar
Blok 5). Gambar 1 berikut menunjukkan wilayah kerja PLN UPJB dalam Sistem Jawa
Madura Bali (JAMALI).
1.3 Permasalahan
Terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi industri pembangkitan tenaga listrik di
Indonesia, baik secara internal maupun eksternal. Pengaruh internal dalam industri lebih
mudah untuk dideteksi dan diatasi dikarenakan berhubungan langsung dengan perusahaan
seperti pembeli, supplier, pesaing lama, pesaing baru maupun barang subtitusi. Namun
banyak pihak yang kurang menyadari adanya faktor eksternal yang dapat memberikan
pengaruh secara langsung maupun tidak langsung bagi sebuah usaha, dalam hal ini bagi
PLN UPJB melakukan usaha penyediaan listrik pada industri pembangkitan tenaga listrik
di Indonesia. Oleh karena hal tersebut pada makalah ini akan dibahas mengenai faktor-
faktor eksternal yang memberikan pengaruh baik berupa ancaman maupun peluang bagi
industri pembangkitan tenaga listrik di Indonesia serta apa saja strategi yang dibutuhkan.
2
PLN UPJB sebagai Manajer Aset atas Unit Pembangkit 10.000 MW, dengan Operator Aset yaitu
PT Indonesia Power dan PT Pembangkitan Jawa Bali (Anak Perusahaan PT PLN (Persero)).
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum mengkaji faktor eksternal yang dialami UPJB dalam industri pembangkitan
tenaga listrik, maka perlu dilakukan analisis industri dan pengembangan bisnis dengan
menggunakan kerangka kerja Michael Porter yang dikenal dengan Model Lima
Kekuatan Porter atau Porter’s Five Forces. Berikut ini merupakan analisa industri
pembangkitan listrik.
Kebutuhan tenaga listrik pada Sistem JAMALI meningkat pada kisaran 9%-
10% per tahun.
Cadangan tenaga listrik dalam Sistem JAMALI mengalami penurunan,
ditambah tidak adanya Pembangkit baru (dari kelima pemain besar tersebut)
yang akan masuk ke sistem pada tahun 2015. Sehingga persaingan di antara
kelima pemain tersebut dalam Sistem Jawa Bali RENDAH.
Dengan demikian kesimpulan dalam persaingan antar pesaing yang ada adalah
SEDANG.
Barang substitusi untuk tenaga listrik sampai saat ini hampir tidak ada, kalaupun
ada tingkat kepraktisan dan kenyamanannya kurang misalnya biogas untuk
memasak.
Dengan demikian kesimpulan dalam ancaman produk pengganti adalah RENDAH.
Setelah mengetahui kondisi industry pembangkitan listrik, maka perlu dilakukan analisa
model bisnis UPJB, yang dilakukan untuk mengetahui bagaimana UPJB menciptakan,
memberikan, dan menangkap nilai-nilai. Analisa model bisnis ini mencakup maksud dan
tujuan organisasi, infrastruktur, praktik-praktik niaga, serta proses-proses operasional.
Dalam hal ini digunakan Business Model Canvas (BMC) yang dikembangkan oleh
Alexander Osterwalder dan Yves Pigneur, sebagaimana berikut.
A. Customer Segment
Segmen pelanggan yang dilayani oleh UPJB sebagai satu kesatuan entitas dengan
PLN Transmisi (P3B JB) dan PLN Distribusi (Distribusi Jawa Barat & Banten,
Distribusi Jakarta Raya, Distribusi Jawa Tengah & DIY, Distribusi Jawa Timur,
dan Distribusi Bali) adalah pelanggan akhir listrik/End-User. PLN
mengelompokkan pelanggan menurut pentarifan (berdasarkan Permen ESDM
nomor 30/2012) yaitu:
Rumah Tangga (R),
Sosial (S),
Bisnis (B),
Industri (I), dan
Publik (P), termasuk di dalamnya Layanan Khusus (L) dan Curah (C).
Secara umum, persyaratan dan harapan pelanggan yaitu: (1) Keandalan, (2) Mutu,
(3) Response Time, (4) Keakuratan Tagihan.
B. Value Proposition
Nilai yang ditawarkan UPJB kepada pelanggan atau dengan kata lain persyaratan
dan ekspektasi pelanggan terhadap UPJB yaitu Tenaga Listrik yang andal dan
murah. Di mana keandalan produk UPJB dapat diukur dengan indikator gangguan
pembangkit baik frekuensi trip-nya pembangkit maupun total gangguan
pembangkit dalam periode tertentu (Sudden Outage Frequency/SdOF dan
Equivalent Forced Outage Ratio/EFOR), ketersediaan pembangkit dalam
menyalurkan tenaga listrik (Equivalent Availability Factor/EAF). Sedangkan faktor
“murah” produk UPJB dapat diukur dengan indikator Harga Pokok Penjualan/
HPP.
C. Channels
Tenaga listrik sebagai produk utama UPJB disalurkan kepada pelanggan akhir
melalui Transmisi atau Saluran Transmisi Tegangan Tinggi (dikelola oleh P3B JB)
dan Distribusi atau Saluran Tegangan Menengah dan Tegangan Rendah (dikelola
oleh Distribusi Jawa Barat & Banten, Distribusi Jakarta Raya, Distribusi Jawa
Tengah & DIY, Distribusi Jawa Timur, dan Distribusi Bali).
D. Revenue Stream
Revenue Stream atau aliran pendapatan didapatkan oleh UPJB melalui proses
transaksi jual beli tenaga listrik. Karena UPJB dan P3B-JB sama-sama merupakan
unit bisnis dari PLN, maka UPJB mendapatkan aliran pendapatan tersebut melalui
transfer price yang akan dinotabukukan ke dalam Laporan Keuangan UPJB.
E. Customer Relationship
Customer Relationship merupakan cara PLN dalam menjalin ikatan dengan
Pelanggan di antaranya yaitu melalui cara:
Survey Kepuasan Pelanggan (SKP)
PLN menentukan kepuasan dan kerekatan pelanggan dengan melakukan
survey pengukuran kepuasan dan ketidakpuasan yang bekerjasama dengan
Perguruan Tinggi Negeri untuk memperoleh hasil yang valid. Faktor-faktor
yang diukur dalam survey tersebut meliputi kualitas produk dan layanan, dan
dukungan pelanggan terhadap PLN.
Interaksi Pelanggan
F. Key Activities
Key Activities atau kegiatan utama UPJB untuk dapat menciptakan proposisi nilai
diantaranya yaitu:
G. Key Resources
Key Resources atau sumber daya utama milik UPJB yang digunakan untuk
mewujudkan proporsi nilai, diantaranya yaitu:
Pusat Listrik
Terdiri atas Pusat Listrik Tenaga Uap berbahan bakar Batubara dan Pusat
Listrik Tenaga Gas-Uap berbahan bakar Gas Alam (sebagaimana telah
dijabarkan dalam tabel 2.2 Unit Pembangkit UPJB).
Kapabilitas SDM
Kapabilitas Sumber Daya Manusia ditempatkan sebagai sumber utama UPJB
dalam menghasilkan listrik, di mana peran pegawai sebagai knowledge
worker sangat vital dalam menentukan keberlanjutan operasional UPJB.
H. Key Partnership
Key Partnership atau sumber daya yang diperlukan oleh UPJB untuk mewujudkan
proporsi nilai, namun berada di luar entitas UPJB sebagai suatu unit usaha.UPJB
mengkategorikan Key Partnership ke dalam dua golongan, yaitu Pemasok atau
Supplier dan Mitra atau Partner sebagaimana berikut.
i. Pemasok
− Pemasok Energi Primer
Merupakan pemasok bahan bakar yang memiliki peran dalam
menjamin kelangsungan proses produksi unit-unit pembangkit yang
dimiliki oleh UPJB. Terdiri atas pemasok Batubara, Gas, dan Bahan
Bakar Minyak, pemasok energi primer merupakan pemasok yang
paling vital atas proses bisnis UPJB, menghabiskan +90% dari total
biaya produksi UPJB setiap tahunnya. UPJB memiliki persyaratan
supply chain terhadap pemasok energi primer melalui indikator
jumlah, waktu dan kualitas/ spesifikasi pasokan bahan bakar yang
dicantumkan dalam kontrak/ atau perjanjian jual beli energy primer.
− Pemasok Spare Part
Melingkupi pemasok spare-part Original Equipment Manufacturer
(OEM) dan spare part non-OEM. Pemasok spare-part berperan dalam
menjamin keandalan peralatan produksi. UPJB memiliki persyaratan
supply chain terhadap pemasok spare-part melalui indikator
spesifikasi dan delivery time.
ii. Mitra
− Jasa O & M
Merupakan mitra UPJB yang berperan dalam menjamin keandalan
sistem dan menyempurnakan proses bisnis pembangkitan unit-unit
milik UPJB. Melalui Performance-based Contract, mitra Jasa O & M
diberikan wewenang penuh dalam menjalankan Tata Kelola
Pembangkitan dengan tujuan optimalisasi siklus hidup asset
pembangkit.
− Jasa Lainnya, sebagaimana berikut:
i. Jasa Pelatihan
I. Cost Structure
Cost Structure atau komposisi biaya yang dikeluarkan UPJB dalam mewujudkan
proporsi nilai yang diberikan kepada pelanggan yaitu (diurutkan dari yang paling
besar):
Biaya Energi Primer (91% dari biaya usaha)
Biaya Operasi dan Pemeliharaan (6.5% dari biaya usaha)
Biaya Administrasi (0.3% dari biaya usaha)
Biaya SDM (0.2% dari biaya usaha)
Penambangan batubara
o Bencana banjir, yang diakibatkan oleh adanya deforestasi.
o Rusaknya lahan pertanian akibat pencemaran limbah pertambangan.
o Tercemarnya sungai yang menjadi sumber ait bagi penduduk.
o Timbulnya penyakit yang terkait pernapasan pada penduduk di
sekeliling tambang, seperti ISPA, asma, bronchitis, dan radang paru-paru
akibat debu batubara.
o Bekas lubang galian batubara menjadi Drainase Tambang Asam (Acid
Mine Drainage)
i. Adanya aturan dan ketentuan yang jelas dari Pemerintah mengenai ambang batas
pencemaran lingkungan, baik udara, air, maupun terkait pengelolaan limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), sehingga PLN UPJB dapat melakukan
pemantauan dan evaluasi secara rutin berdasarkan aturan dan ketentuan tersebut.
iii. Tersedianya cadangan batubara berkalori rendah yang cukup di Indonesia untuk
kepastian kegiatan operasional penyediaan tenaga listrik PLTU batubara.
B. Ancaman
i. Kurangnya peran serta PLN UPJB dalam memastikan bahwa pemasok/ supplier
batubara mentaati aturan dan ketentuan pemerintah tentang pengelolaan
lingkungan hidup, atau tidak berperingkat merah/ hitam dalam PROPER
Kementerian Lingkungan Hidup. Hal ini dikarenakan tidak adanya regulasi
Domestic Market Obligation yang diterapkan Pemerintah atas jual-beli batubara
di pasar Indonesia. Kecenderungan supplier dalam meng-eksport batubara ke luar
negeri masih sangat tinggi. Sehingga PLN UPJB belum tentu mendapatkan
pasokan batubara di tengah melimpahnya cadangan batubara berkalori rendah di
Indonesia.
iv. Adanya sanksi administrasi atau bahkan pelarangan kegiatan operasional dari
Kementerian Lingkungan Hidup Deputi Bidang Penaatan Hukum Lingkungan
apabila terbukti adanya pelanggaran aturan pengelolaan Lingkungan Hidup oleh
unit pembangkit. Hal ini akan merugikan PLN UPJB, dari keharusan melakukan
investasi tambahan dalam pengelolaan limbah B3 hingga kehilangan kesempatan
produksi listrik akibat ditutupnya unit pembangkit listrik.
C. Implikasi Bisnis
Menurut Harsja Bactiar, suku bangsa di Indonesia di bagi menjadi tiga golongan oleh
pemerintah, yaitu [10]:
Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 17
General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB
1) Suku Bangsa
Di Indonesia terdapat sekitar 300 suku bangsa dengan sekurang-kurangnya 250
bahasa daerah. Geertz membagi dalam tiga klasifikasi yang lebih besar, yaitu: (1)
Kelompok dengan Bahasa Melayu Polinesia, di daerah Indonesia Barat dan
Tengah, (2) Kelompok dengan Bahasa Halmahera Utara, dan (3) Kelompok
dengan Bahasa Papua, termasuk di dalamnya Ambon-Timur, Sula-Bacan,
Halmahera Selatan, dan Papua [11]. Dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia,
telah terpengaruh juga kebudayaan India, Persia, Arab, Cina, dan Eropa Barat.
2) Golongan Keturunan
Merupakan kelompok yang berasal dari daerah di luar Indonesia ataupun karena
pencampuran dengan Indonesia (misal Indo-Eropa). Golongan keturunan
diharapkan dapat berasimilasi dengan suku bangsa di daerah tempat mereka
berada ataupun menganut kebudayaan nasional Indonesia. Sebagai contoh orang-
orang Tionghoa, yang merupakan keturunan Cina, pada umumnya mereka hidup
di perkotaan dan mendominasi sektor ekonomi perkotaan sehingga mendudukan
mereka pada kategori sosial yang cukup penting dalam masyarakat [12].
3) Masyarakat Terasing
Merupakan golongan suku bangsa yang terisolasi dan masih hidup dengan
berburu, meramu, berladang padi, atau hidup berpindah-pindah. Sebagai contoh
yaitu Penduduk Kepulauan Mentawai, Orang Donggo di pedalaman Sumbawa
Timur, atau penduduk lembah-lembah pegunungan tengah Papua.
menyatakan bahwa kalau ada bangsa yang ingin menghitung keaslian unsur kebudayaan,
paling banyak ia akan menemukan 15% bagian yang masih asli dan selebihnya adalah
hasil pengembangan dan perpaduan unsur-unsur kebudayaan asing dalam suatu
kebudayaan yang secara langsung merubah kebudayaan sebagai kerangka acuan yang
berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan [13]. Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya bahwa budaya merupakan gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia, maka
globalisasi budaya dapat diartikan sebagai proses di mana gagasan dan hasil karya
manusia relatif terlepas dari wilayah geografis. Masuknya budaya tanpa mengenal batas-
batas geografis tersebut didukung dengan kemajuan teknologi, baik itu teknologi
transportasi, komunikasi, dan lain sebagainya.
Banyak aspek budaya masyarakat yang terpengaruh oleh globalisasi, namun di sini hanya
akan dibatasi pengaruh globalisasi terhadap perilaku konsumtif masyarakat. Globalisasi
cenderung identik dengan globalisasi ekonomi atau dikenal dengan ekonomi pasar bebas
atau kapitalisme global. Di mana kapitalisme global tersebut akan menciptakan
masyarakat konsumen yang akan menkonsumsi semua produk kapitalisme tersebut.
Begitu pula perkembangan perilaku konsumtif di masyarakat Indonesia, terlihat dari
banyaknya pusat perbelanjaan di kota besar, makanan cepat saji atau fast food, industri
kecantikan, munculnya kawasan hunian mewah, bahkan kawasan pemakaman mewah.
Masyarakat konsumtif sudah tidak lagi mempertimbangkan fungsi atau kegunaan ketika
membeli suatu barang, namun pertimbangan prestise yang melekat pada barang tersebut.
Santoso menjabarkan beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku konsumtif
masyarakat, yaitu: [14]
Di ciptakannya trend untuk membuat masyarakat melakukan pembelian;
Membeli barang sebagai Self Reward System (Sistem pemberian upah) atas
kesuksesan yang diraih;
Pembelian barang bisa menyelesaikan semua masalah;
Identitas diri disetarakan dengan barang yang dimiliki;
Masyarakat hanya berfokus pada barang yang mereka miliki.
konsumsi terbesar3. Di mana kelompok Rumah Tangga hanya menggunakan tenaga listrik
untuk aktivitas yang bersifat konsumtif seperti TV, Pendingin ruangan, kulkas, dan
sebagainya. Berbeda dengan kelompok bisnis yang di dalamnya termasuk unit-unit usaha
kecil (UKM) atau kelompok industri, yang menggunakan tenaga listrik untuk sektor
bisnis atau dengan kata lain usaha yang memutar roda perekonomian Indonesia.
65
Bisnis Industri Rumah Tangga
60
55 55
50 51
48
4647 46
4241 4444
4039
36 37 3636
34 33 34
31
27 28
25
23
21
17 18
15
11 12 13
11
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
Gambar 2.3 Penjualan listrik pada segmen Bisnis, Industri, & Rumah Tangga 2000-
2011 (dalam TerraWatt-hour)
A. Peluang
i. Peluang Peningkatan Penjualan
Perilaku konsumtif masyarakat menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan
energi listrik, khususnya pada sistem kelistrikan Jawa-Bali di mana PLN UPJB
beroperasi. Hal ini menimbulkan peluang bagi PLN UPJB untuk meningkatkan
penjualan energi listrik atau meningkatkan pangsa pasar.
3
PT PLN (Persero) membagi segmen pelanggannya ke dalam 5 kelompok, yaitu: Rumah Tangga
(R), Bisnis (B), Industri (I), Sosial (S), dan Pemerintah (P).
B. Tantangan
i. Konflik antar Kelompok Etnis
Adanya konflik antar etnis dapat mengganggu kegiatan usaha PLN UPJB, baik
konflik yang terjadi di dalam di antara para pegawai ataupun konflik yang
terjadi di lingkungan eksternal. Konflik eksternal misalnya demonstrasi dari
masyarakat sekitar pembangkit-pembangkit PLN UPJB dalam menuntut “hak”
untuk dapat dipekerjakan.
bisa disalurkan untuk program yang lebih berguna bagi pengembangan kualitas
warga Negara Indonesia, misal pada sektor pendidikan dan kesehatan.
C. Implikasi Bisnis
i. Meningkatkan penjualan tenaga listrik
Dengan pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik yang tinggi, PLN UPJB harus
dapat merespond peluang untuk meningkatkan penjualan tenaga listrik dalam
sistim kelistrikan Jawa-Bali. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan
efisiensi pembangkitnya.
26 26 30 30 30 32 32 33 33
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
Otonomi daerah dan pemekaran di Indonesia sejatinya memiliki tujuan yang mulia, yaitu:
(1) Meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat; (2) Memperkokoh basis
ekonomi rakyat; (3) Mengatur perimbangan keuangan daerah dan pusat; (4) Membuka
peluang dan lapangan pekerjaan; dan (5) Memberikan peluang daerah mendapatkan
investor secara langsung. Namun beberapa masalah timbul seperti jumlah kelembagaan
yang cenderung berlebihan, struktur organisasi yang cenderung besar, serta belum
memperhitungkan kriteria efektivitas dan efisiensi kelembagaan yang baik.
Bappenas dan UNDP dalam laporannya melakukan evaluasi atas daerah otonom baru
(DOB) melalui 4 aspek utama, yaitu: (1) perekonomian daerah, (2) keuangan daerah, (3)
pelayanan public, dan (4) aparatur daerah [18].
Dari aspek pelayanan publik, secara umum masih berada di bawa kinerja
pelayanan publik daerah control. Hal ini disebabkan oleh: (1) tidak efektifnya
penggunaan dana, (2) keterbatasan SDM, (3) terbatasnya pemanfaatan layanan
public\k yang diberikan.
Dari aspek aparatur daerah, kualitas aparatur DOB masih sangat rendah meskipun
ada peningkatan presentase aparat dengan pendidikan sarjana. Beberapa masalah
yang ditemui yaitu: (1) ketidaksesuaian aparatur yang dibutuhkan dengan yang
ada, (2) kualitas aparatur yang rendah, (3) aparatur yang bekerja dalam kondisi
underemployment.
Pemilu merupakan mekanisme dalam berdemokrasi untuk memilih pejabat yang akan
duduk dalam lembaga-lembaga perwakilan rakyat, perwakilan daerah, dan pimpinan
eksekutif. Selain itu pemilu juga merupakan bagian dari proses pendidikan politik,
sehingga tidak hanya partai politik atau kandidat saja yang berkepentingan namun juga
rakyat sebagai pemilih. Namun sejak pertama kali di lakukan pada tahun 1955 di
Indonesia, pemilu gagal dalam memfasilitasi pembentukan pondasi yang kuat dan solid
untuk pemerintahan yang efektif. Di mana pemenang terbesar dari pemilu pada tahun
1955 hanya mendapatkan 22% suara, 34% suara pada pemilu tahun 1999, 21% suara pada
tahun 2004, dan hanya 20,85% suara pada tahun 2009 [20].
Terdapat empat faktor dalam pemilu, yaitu: (1) kandidat, (2) program kerja dan isu
kandidat, (3) oranisasi kampanye (mesin politik), dan (4) sumber daya/ uang. Namun
menurut ICW, uang merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam pemilu, karena
tanpanya ketiga faktor yang lain akan menjadi tidak berarti [21]. Di Indonesia biaya
politik masih tergolong mahal. Sebagaimana penelitian oleh Pramono Anung yang
mencatat bahwa calon legislatif harus mempersiapkan dana sekitar Rp 300 jt hingga Rp
22 milyar untuk maju dalam pemilihan, bahkan ada caleg yang mengeluarkan dana
hingga Rp 18 milyar hanya untuk membayar konsultan politik [22]. Seorang kandidat
dalam tingkat kota atau kabupaten pun harus berkontribusi terhadap partai, tidak hanya
pada tingkat kabupaten/ kota namun pada tingkat provinsi atau bahkan nasional. Hal
tersebut menjadikan proses pemilu di Indonesia hanya dapat diikuti oleh seseorang
dengan dana besar.
Fenomena “biaya mahal” dalam politik Indonesia, rentan menjadi penyebab terjadinya
korupsi pemilu. Mohtar Masoed mendefinisikan korupsi sebagai perilaku yang
menyimpang dari kewajiban formal suatu jabatan publik karena kehendak untuk
memperoleh keuntungan ekonomis atau status bagi diri sendiri, keluarga dekat atau klik
[23]. Menurut Open society Justice Initiative korupsi pemilu adalah praktek pendanaan
kampanye – baik penerimaan maupun pengeluaran – yang menciptakan hubungan
koruptif antara penyumbang dan partai politik atau kandidat yang didukungnya maupun
pola perilaku koruptif yang terjadi antara peserta pemilu dan pemilih. Sebagai contoh,
tabel 3 menunjukkan pola politik uang yang tercatat dalam beberapa laporan pemantauan
pemilu tahun 1999 [21].
Berdasarkan hasil kajian ICW dalam pemilu, terdapat 3 (tiga) hal penting berkaitan
dengan politik uang dalam pemilu, yaitu [24]:
Waktu pembagian politik uang, yaitu pada fase penetapan kandidat, masa
kampanye menjelang pemilihan dan pasca-pemungutan suara.
Pelaku politik uang, didominasi oleh tim sukses yang dibentuk oleh kandidat.
Modus politik uang, (sebagaimana tabel 2.3).
Dengan dibutuhkannya sumber dana (uang) dalam memperlancar proses politik dalam
pemilu, mengakibatkan politisi memiliki kecenderungan untuk membangun hubungan
dengan sektor bisnis. Kekuasaan dan otoritas politik digunakan untuk memberikan
peluang dan meningkatkan posisi bisnis, sementara keuntungan yang diperoleh dari bisnis
digunakan untuk memperluas pengaruh politik. Yoshihara Kunio menyebutkan hubungan
tersebut sebagai politico-business [25]. Hubungan saling dukung antara politik dan bisnis
biasanya terjadi pada saat pelaksanaan pemilu atau disebut sebagai electoral corruption.
Dan berlanjut setelah pemilu, di mana pihak yang berkuasa dalam politik membentuk
kebijakan-kebijakan publik yang menguntungkan bisnis.
A. Peluang
i. Adanya aturan baku mengenai transparansi perusahaan
Dengan terbitnya Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik, maka terdapat peluang bagi PLN sebagai salah satu lembaga
Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 28
General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB
B. Tantangan
i. Potensi perusahaan dijadikan “sapi perah” pada saat pemilu
PLN UPJB sebagai salah satu perusahaan “plat merah” erat kaitannya dengan
politisi, baik itu dalam lembaga legislatif, maupun eksekutif. Politisi-politisi
tersebut bepotensi untuk meminta dana “sumbangan” apabila ia sebaai
uncumbent mencalonkan kembali pada pemilu mendatang.
maupun bahan bakar (energy primer). Tidak jarang pemilik perusahaan yang
berbisnis dengan PLN UPJB merupakan politisi yang sedang menjabat. Kondisi
ini rentan terhadap adanya intervensi, sehingga berujung kepada proses
pengadaan barang/ jasa yang tidak fair, tidak efisien, dan tidak efektif (atau
merugikan perusahaan).
C. Implikasi Bisnis
i. Membentuk Komitmen Bersama /Collective action
PLN UPJB dapat membuat komitmen bersama dengan seluruh vendor yang
bekerjasama dengan PLN UPJB, dan Publik untuk membuat komitmen
pelaksanaan proses pengadaan barang/ jasa secara fair dan tidak melakukan
upaya yang melanggar hukum.
ACFTA
ACFTA atau ASEAN – China Free Trade Area merupakan kesepakatan yang dibuat
antara Negara-negara ASEAN dengan Cina untuk mewujudkan kawasan perdagangan
bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan perdagangan barang baik tariff
maupun non-tarif, meningkatkan aspek pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi,
sekaligus peningkatan kerjasama ekonomi.
ACFTA mulai dibentuk pada saat kepala Negara kedua pihak menandatangani ASEAN –
China Comprehensive Economic Cooperation pada 6 November 2001 di Brunei
Darussalam. Lalu dilakukan penandatanganan Framework Agreement on Comprehensive
Economic Cooperation between ASEAN and People’s Republic of China pada 4
November 2002 di Kamboja. Pada 6 Oktober 2003 di Indonesia disepakati perubahan
protokol pertama, lalu disepakati protokol perubahan kedua pada 8 Desember 2006.
Indonesia sendiri telah membentuk Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004 tanggal 15
Juni 2004 untuk mendukung ACFTA. Selain itu, beberapa Keputusan Menteri dan
Peraturan Menteri juga dikeluarkan pada periode 2004 hingga 2008 untuk memperkuat
pelaksanaan ACFTA khususnya dalam hal tariff bea masuk barang [26].
Pada era globalisasi ini, Cina merupakan salah satu negara yang berhasil menunjukkan
performa yang sangat baik. Pada tahun 2011, MGI4 mencatat bahwa Cina telah menjadi
kekuatan ekonomi kedua setelah Amerika. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto pada
periode 2000 hingga 2010 mencatat peningkatan yang paling besar yaitu sebesar 11,5%
diikuti oleh India sebesar 7,7% dan Indonesia sebesar 5,2% [27].
4
MGI ialah akronim dari McKinsey Global Institute, merupakan lembaga riset cabang dari
McKinsey & Company yang dibentuk pada tahun 1990 untuk melakukan penelitian tentang
ekonomi global.
Cina 11.50
India 7.70
Indonesia 5.20
Slovakia 4.90
Rusia 4.90
Korea Selatan 4.20
Turki 4.00
Polandia 3.90
Estonia 3.80
Cili 3.70
Brasil 3.60
Afrika Selatan 3.50
Republik Ceko 3.40
Australia 3.10
Israel 3.10
Gambar 2.5 Pertumbuhan Produk Domestik Bruto periode 2000-2010 (dalam Persen)
Turki 0.80
Belanda 0.80
Indonesia 0.80
Korea Selatan 1.10
Meksiko 1.20
Australia 1.50
Spanyol 1.50
India 1.70
Kanada 1.70
Rusia 1.90
Italia 2.20
Inggris 2.40
Brasil 2.50
Perancis 2.80
Jerman 3.60
Jepang 5.90
Cina 7.30
Amerika 15.10
Gambar 2.6 Realisasi Produk Domestik Bruto Tahun 2011 (dalam $ triliun)
melakukan perjanjian ACFTA yaitu untuk meningkatkan akses pasar ekspor ke Cina
dengan tingkat tariff yang lebih rendah dan meningkatkan kerja sama dalam membentuk
aliansi strategis.
Namun selain memberikan dampak positif, perjanjian ACFTA juga dapat menimbulkan
dampak negative bagi Indonesia, khususnya bagi produsen domestic yang produknya
sejenis dengan produk yang diimpor oleh Cina. Dari data Badan Pusat Statistik Indonesia,
perdagangan Indonesia-Cina telah meningkat secara signifikan sejak tahun 2004 hingga
2013 dengan jumlah ekspor meningkat hampir lima kali lipat dan impor meningkat
sebesar tujuh kali lipat, sebagaimana dapat dilihat pada gambar 2.7. Namun sejak tahun
2008, nilai ekpor dari Indonesia menuju Cina selalu lebih kecil dibandingkan dengan nilai
impor dari Cina menuju Indonesia [28]
30,000
25,000
20,000
15,000
10,000
5,000
-
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Import Eksport
Gambar 2.7 Ekspor Impor Indonesia terhadap Cina (dalam Juta US Dollar)
Selain nilai ekspor Indonesia yang lebih kecil dibandingkan nilai impor dari Cina, produk
ekspor Indonesia pun masih didominasi oleh produk promer dan bahan bahan mentah dari
sektor pertanian, sedangkan produk impor dari Cina didominasi oleh produk manufaktur
dengan kategori komoditas mesin dan peralatan mekanik serta elektrik dan elektronik
yang menempati posisi dua teratas [29].
Gambar 2.8 Ekspor Indonesia terhadap Cina Tahun 2008 (dalam Juta US Dollar)
Gambar 2.9 Impor Indonesia dari Cina Tahun 2008 (dalam Juta US Dollar)
Pada deklarasi Bali Concord II tanggal 7 Oktober 2003, para kepala Negara ASEAN
menandatangani kesepakatan membentuk suatu Masyarakat ASEAN yang terdiri atas
Masyarakat Keamanan ASEAN, Masyarakat Ekonomi ASEAN, dan Masyarakat Sosial-
Budaya ASEAN. Kesepakatan tersebut didasari oleh tujuan untuk membina perdamaian,
menciptakan kesejahteraan, serta membangun sebuah identitas regional. AEC atau
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dibentuk untuk menciptakan suatu pasar tunggal
dan berbasis produksi, yang akan memperkuat perekonomian, mempercepat integrasi
regional, memfasilitasi perpindahan pebisnis dan tenaga terampil, dan memperkuat
mekanisme institusional ASEAN. MEA memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) Pasar
dan Basis Produksi Tungal; (2) Kawasan Ekonomi yang kompetitif; (3) Pembangunan
Ekonomi yang adil; (4) Terintegrasi secara penuh untuk masuk ke ekonomi global,
sebagaimana gambar berikut [31].
Perekonomian Indonesia tidak dapat dipandang sebelah mata oleh Negara ASEAN lain,
karena Indonesia merupakan kekuatan ekonomi terbesar dengan Produk Domestik Bruto
mencapai $878 milyar pada tahun 2012 dan pertumbuhan PDB mencapai 6,2% (Gambar
2.11 menunjukkan pertumbuhan PDB per kapita Indonesia pada periode tahun 2000
hingga tahun 2013) [32]. Indonesia juga berpotensi menjadi kekuatan ekonomi terbesar
ke-tujuh pada tahun 2030 dengan 135 juta jiwa kelas menengah menurut laporan MGI
[27]. Namun dengan strategi yang kurang tepat, Indonesia dengan 247 juta jiwa
penduduknya hanya akan menjadi pasar utama pada saat dilaksanakannya MEA pada
tahun 2015.
Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 35
General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB
Sekertaris Kementrian Perindustrian, Ansari Bukhori, dalam FGD yang diadakan oleh
Kamar Dagang Indonesia membagi industry ke dalam dua bagian dalam menghadapi
MEA, yaitu: [33]
Untuk mengisi pasar ASEAN
o Produk berbasis Agro (CPO, Kakao, dan Karet),
o Ikan dan produk olahannya,
o Tekstil & produk tekstil,
o Alas kaki,
o Kulit dan Barang kuklit,
o Furniture,
o Makanan & Minuman,
o Pupuk dan petrokimia,
o Mesin dan peralatannya serta logam dasar.
Untuk mengamankan dalam negeri
o Otomotif,
o Elektronik,
o Semen,
o Pakaian Jadi,
o Alas Kaki,
o Makanan dan Minuman,
o Furniture.
Dalam pelaksanaan MEA, terjadi perpindahan barang, jasa, investasi, tenaga kerja terlatih
dan modal. Pada point yang terakhir, dapat dilihat melalui indicator FDI atau Foreign
Direct Investment, sebagaimana terlihat pada gambar 2.12 [34]. Walaupun Indonesia
memiliki pasar yang jauh lebih besar dari Singapura namun pemasukan FDI nya hanya
sebesar 17,5% dibandingkan total FDI, dibandingkan Singapura yang mendapatkan
pemasukan sebesar 46,6%. Hal ini mungkin selaras dengan pencapaian “Ease of Doing
Business” Indonesia yang hanya menempati peringkat 128 dari 185 negara yang disurvey,
yang menunjukkan bahwa masih adanya keterbatasan dalam regulasi dan infrastruktur
dalam pelaksanaan bisnis di Indonesia [35].
Laos 333
Filipina 450
Brunei 629
Kamboja 783
Thailand 6,320
Vietnam 8,000
Malaysia 9,156
Indonesia 13,304
Singapura 35,520
Gambar 2.12 FDI Inflow pada tahun 2010 (dalam Juta US Dollar)
A. Peluang
i. Meningkatkan Akses Pasar
Dengan adanya perjanjian ACFTA maupun MEA 2015 akan meningkatkan
peluang berkembangnya pasar PT PLN (Persero) UPJB ke luar negeri. Dengan
core competency sebagai manager asset pembangkitan, PLN UPJB dapat
masuk ke industri pembangkitan listrik Myanmar, Vietnam, maupun Cina yang
memiliki karakteristik pembangkit listrik thermal.
B. Tantangan
i. Berkurangnya Ketersediaan dan Meningkatnya Harga Energi Primer
Satu hal yang paling signifikan dalam industri pembangkitan listrik yaitu bahan
bakar atau energi primer. Dalam pelaksanaan proses bisnisnya, proporsi biaya
energi primer (Bahan Bakar Minyak, Batubara, dan Gas Alam) PLN UPJB
menyita anggaran sebesar 85%-90% dari total anggaran. Dengan dibukanya
jalur perdagangan bahan bakar, maka pasar domestik bahan bakar akan menjadi
kurang menarik bagi para pemasok batubara karena harga bahan bakar di luar
negeri yang lebih mahal. Maka perlu adanya Domestic Market Obligation, atau
adanya regulasi khusus yang dapat mengamankan ketersediaan energi primer
bagi PLN di saat MEA 2015 telah diterapkan.
Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 38
General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB
C. Implikasi Bisnis
i. Mengamankan ketersediaan Energi Primer
Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan kontrak pembelian energi primer
jangka panjang. Baik dengan supplier domestic maupun dengan supplier di
Negara ASEAN lain. PLN UPJB juga perlu mengusulkan kepada pemerintah
untuk menerapkan DMO (Domestic Market Obligation) sehingga ekspor energi
primer, khususnya Batubara masih dibatasi.
Menurut Furnivall, masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat di mana sitem nilai
yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah
sedemekian rupa sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap
masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan
kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain [36]. Sama halnya
dengan Furnivall, Pierre L. Van Berghe menyebutkan beberapa karakteristik dari
masyarakat majemuk, yaitu [37]:
Terjadi segmentasi dalam bentuk kelompok-kelompok yang memiliki
kebudayaan berbeda,
Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 40
General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB
Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga yang bersifat non-
komplementer,
Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggota terhadap nilai-nilai
yang bersifat dasar,
Secara relative seringkali mengalami konflik-konflik antar kelompok,
Secara relative integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling
ketergantungan di dalam bidang ekonomi,
Serta adanya dominasi politik olehsuatu kelompok atas kelompok-kelompok
yang lain.
Dalam dunia pembangkitan listrik tanah air pun peristiwa terjadinya konflik masyarakat
(masyarakat versus bisnis) sudah tidak asing lagi, beberapa peristiwa tersebut antara lain:
Penyanderaan bus karyawan PLTU Tanjung Awar-awar, Tuban, Jawa Timur
pada 11 Februari 2014. Hal ini didasari oleh tuntutan masyarakat dari desa
Wadung, Rawasan, Mentoso, Kaliuntu, dan Beji Kecamatan Tuban untuk dapat
Koflik yang terjadi dengan penduduk dapat merugikan kepentingan bisnis, sebagaimana
contoh pada peristiwa-peristiwa konflik yang telah dipaparkan sebelumnya. Maka perlu
adanya tindakan-tindakan preventif yang perlu dilakukan oleh sektor bisnis jauh-jauh hari
sebelum terjadi konflik dengan penduduk sekitar ataupun dengan perusahaan lain dalam
areal lingkungan yang sama.
Menurut survey5 yang dilakukan oleh Dunamis Consulting pada Oktober 2013, 25%
karyawan di Indonesia merupakan Generasi Y. Berikut ini merupakan fakta-fakta yang
ditunjukkan oleh hasil survey tersebut [44].
33% responden memiliki karyawan dari berbagai generasi dan mengalami
kendala dalam berkolaborasi.
37% responden menyatakan bahwa mayoritas karyawan adalah generasi Y dan
para pimpinan bingung mengatasi sikap unik mereka.
26% karyawan merupakan Generasi X yang berusia antara 32 hingga 45 tahun.
25% karyawan merupakan Generasi Y yang berusia di bawah 32 tahun.
60% pemimpin organisasi di Indonesia adalah Baby Boomers.
14% pemimpin organisasi di Indonesia adalah Generasi X.
Adanya perbedaan generasi dalam suatu organisasi ini akan menggeser pola
kepemimpinan, mengubah proses kerja, bahkan mengubah sistem dan kebijakan dalam
organisasi.
Menurut Djamaludin Ancok, Generasi Y merupakan generasi yang lahir di antara Januari
1980 hingga Desember 1990. Sebutan lain bagi Generasi Y antara lain: the Millennial
Generation, Generation Next, The Net Generation, dan Echo Boomers. Generasi Y
datang dari keluarga yang memiliki pencapaian ekonomi yang lebih baik dibandingkan
dengan kondisi orang tuanya [45].
5
Responden terdiri atas 51 organisasi
Berikut ini merupakan hasil penelitian Justine James, Sally Bibb dan Simon Walker yang
menganalisa Generasi Y dari 12 negara, yaitu: Cina, India, Singapura, Pakistan, Korea,
Malysia, Filipina, Hongkong, Vietnam, Srilangka, Thailand, dan Banglandes, yang lalu
dibandingkan dengan data dari Inggris, Amerika Utara dan Selatan, Afrika, dan Afrika
Selatan, Eropa Barat dan Timur, dan Mediterania. Didapatkan bahwa 4 alasan paling
utama yang dicari dari Generasi Y terhadap atasannya yaitu [48]:
Memiliki kesempatan untuk belajar dan berkembang,
Memiliki kesempatan untuk melakukan pekerjaan yang menarik bagi mereka,
Memiliki posisi pekerjaan yang sesuai dengan talentanya,
Memiliki mentor di tempat kerja.
Manajer yang baik yang mau memahami dan mempercayai sangat penting bagi Generasi
Y. Hal ini merupakan alasan utama mengapa Generasi Y meninggalkan perusahaan.
Faktor “dipercaya” juga merupakan alasan utama bagi Generasi Y untuk dapat
termotivasi dan rekat (engage) di lingkungan kerja mereka [48].
Gambar 2.14 Sektor Industri/ profesi yang tidak diinginkan Generasi Y [48]
B. Tantangan
i. Potensi konflik masyarakat yang dapat mengganggu kegiatan operasional
pembangkit listrik
Pada kenyataannya telah terjadi beberapa konflik antara PLN UPJB dengan
penduduk yang tinggal di sekitar lokasi pembangkit. Dan di masa yang akan
datang tidak menutup kemungkinan hal yang sama akan terjadi kembali.
Terutama apabila terdapat provokator yang dapat menggerakkan massa untuk
kepentingan pribadi atau kelompoknya.
C. Implikasi Bisnis
i. Memastikan program Engagement pegawai sesuai dengan generasi kerja
Dengan semakin banyaknya Generasi Y di lingkungan kerja maka perusahaan
harus menyesuaikan kebijakan program engagement sesuai generasi kerja yang
ada. Di sini PLN UPJB perlu mengintensifkan program coaching dan
mentoring untuk dapat meningkatkan keterikatan dan mencegah turn-over dari
pegawai yang masuk dalam kategori Generasi Y. Hal ini dapat dicapai dengan
memasukkan para lini manajernya ke dalam pelatihan bagaimana melakukan
coaching dan mentoring yang baik.
ii. Menciptakan lingkungan kerja yang menarik bagi Generasi Y
Dengan menciptakan lingkungan kerja yang pas bagi Generasi Y, maka
peluang tersedianya talent-talent baru dengan akan terjaga. Sebagaimana
gambar 5 yang menunjukkan bahwa sektor engineering masih merupakan
sektor ketiga yang paling inginkan oleh Generasi Y. Maka apabila ditambah
dengan lingkungan kerja yang modern, fun, pilihan jam kerja yang flexible,
akan semakin banyak Generasi Y dengan talenta tinggi yang tertarik untuk
bergabung dengan PLN UPJB.
iii. Melakukan upaya preventif terhadap potensi konflik dengan masyarakat
Teknologi berkembang atas tiga faktor yang dikenal dengan 3E, yaitu: (1) Engineering
atau faktor teknis, (2) Economy atau faktor ekonomis, dan (3) Environment atau faktor
lingkungan. Pada tahap awal, faktor ekonomi lah yang menjadi prioritas pertama dalam
membangun fasilitas pembangkitan listrik, diikuti dengan faktor teknis lalu lingkungan.
Namun seiring dengan bertambahnya kesadaran lingkungan maka faktor lingkungan
berangsur menempati prioritas pertama baru diikuti oleh faktor teknis dan kemudian
faktor ekonomis.
Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh pembangkit-pembangkit listrik telah menjadi
perhatian masyarakat dunia pada tahun-tahun belakangan ini, khususnya pada
pembangkit dengan bahan bakar dari fossil fuel. Selain itu, beberapa isu yang menjadi
perhatian utama bagi pembangkit-pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan bahan
bakar batubara yaitu:
1. Biaya investasi pembangkit yang tinggi,
2. Tingginya pemakaian listrik sendiri untuk sistem pendukung pembangkit
(Coal & Ash Handling System),
3. Pembuangan abu sisa pembakaran,
4. Dampak lingkungan akibat kegiatan pertambangan dan transportasi batubara,
5. Rendahnya kesiapan/ availability pembangkit akibat tingginya gangguan
eksternal,
6. Rendahnya efisiensi pembangkit.
Untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, maka pembangkit listrik perlu meningkatkan
tingkat efisiensi turbin dan boiler. Sehingga dikenal istilah Clean Coal Technology atau
teknologi batubara bersih yang diartikan sebagai teknologi yang berusaha untuk
mengurangi tingkat emisi di hulu, hilir, atau dalam proses pembangkitan tenaga listrik.
Beberapa pilihan teknologi tersebut yaitu [49]:
Supercritical dan Ultra-supercritical (USC) pada metode pembakaran
batubara serbuk atau pulverized coal combustion (PCC),
Pembakaran lapisan mengambang atau Circulating Fluidized Bed
Combustion (CFB), dan
Pembakaran kombinasi dengan gasifikasi batubara atau Integrated Coal
Gasification Combined Cycle (IGCC).
Ketiga teknologi pembakaran PLTU tersebut di atas dapat menjadi pilihan dalam
berinvestasi pembangkit listrik yang lebih ramah lingkungan karena akan menghasilkan
emisi gas rumah kaca (seperti SOx dan NOx) yang lebih rendah dibandingkan teknologi
pembakaran PLTU konvensional.
Berikut ini merupakan grafik yang menunjukkan adanya degradasi efisiensi dan kapasitas
pembangkit listrik dalam satu life cycle atau umur asset pembangkitnya.
Pada gambar 2.17 di atas dapat dilihat bahwa seiring berjalannya waktu, tingkat efisiensi
dan kapasitas pembangkit cenderung menurun, dan dikembalikan ke level design melalui
rehabilitasi (pemeliharaan tahunan) atau melalui proses rekondisi aset. Sedangkan apabila
ingin mencapai level di atas design, kita perlu melakukan peningkatan level efisiensi dan
kapasitas melalui teknologi baru dengan melakukan modifikasi atau re-engineering.
Beberapa metode yang berkembang saat ini dalam meningkatkan efisiensi dan kapasitas
pembangkit listrik tenaga uap batubara, di antaranya yaitu:
b. Coal Drying
Batubara dengan kalori rendah, seperti lignit dan subbituminous,
memiliki kandungan air yang lebih tinggi dibandingkan dengan batubara
berkalori tinggi. Kadar air yang tinggi tersebut dapat mengakibatkan,
proses handling batubara yang lebih sulit, selain itu akan berpengaruh
pada aliran kalor, laju aliran massa dari emisi gas buang, dan konsumsi
air yang dibutuhkan oleh pendingin. Coal drying merupakan proses
pengeringan batubara yang dilakukan untuk mengurangi kandungan air
agar nilai kalori batubara tersebut meningkat. Beberapa technology coal
dryer di antaranya yaitu:
6
Batubara berkalori rendah memiliki nilai panas sebesar + 4.200 kCal/kg, sdangkan batubara
berkalori sedang memiliki nilai panas sebesar + 4.900 kCal/kg.
Menurut Outlook Energi Indonesia 2012, sejak tahun 2012 pemerintah telah mengambil
beberapa kebijakan energy dalam melakukan difersivikasi energy, salah satunya ialah
pemanfatan mobil listrik [50]. Mobil listrik dapa menjadi solusi atas permasalahan
transportasi yang berkaitan dengan keterbatasan cadangan minyak atau bahan bakar
konvensional dan permasalahan lingkungan hidup karena akan mengurangi polusi/ emigi
gas buang serta pemanasan global yang ditimbulkan atas penggunaan bahan bakar fosil.
1. Motor Listrik, merupakan sumber energy mekanik atau tenaga penggerak yang
dihasilkan dengan merubah energy listrik yang tersimpan pada baterai melalui
konversi elektromagnetik. Motor listrik yang digunakan antara lain motor dc,
motor induksi, serta motor sinkron magnet permanen.
2. Rangkaian Elektronika Daya dan Kontroler, merupakan perangkat elektronik
yang digunakan dalam kendaraan listrik untuk mengatur energy listrik yang
dialirkan menuju motor listrik sehingga diperoleh kondisi operasi yang optimum.
Operasi yang dimaksud yaitu pada saat kendaraan starting, akselerasim cruising,
pengereman, serta berhenti.
Motor Spesifikasi
Motor Sinkron Daya: 2/18,5/ 24/ 35/ 50/ 62/ 70/ 105/ 123 kW
Magnet Permanen Tegangan DC Bus: 72/ 120/ 240/ 244/ 288/ 330/ 345 V
Pendingin: cair
Aplikasi: micro car hingga truk
3. Baterai atau aki, adalah media penyimpan energy listrik dan merupakan teknologi
utama dalam meningkatkan jarak tempuh bagi kendaraan listrik. Teknologi saat
ini memungkinkan kendaraan listrik menempuh jarak 80 hingga 160 kilometer
untuk sekali pengisian. Beberapa teknologi baerai yang telah dikembangkan di
antaranya yaitu:
a. Baterai dengan teknologi Timbal atau Lead Acid (PbA). Kelebihan: unjuk
kerjanya telah terbukti dan berbiaya rendah; Kelemahan: siklus hidup
rendah.
b. Baterai berbasis Nikel atau Nickel Cadmium (NiCd). Kelebihan: unjuk
kerja telah terbukti dan mampu beroperasi pada suhu yang rendah;
Kelemahan: unsur Kadmium bersifat racun.
c. Baterai dengan teknologi Nikel logam hibrida atau Nickel Metal Hybride
(NiMh). Kelebihan: merupakan modifikasi atas NiCd, dan memiliki
energy spesifik yang lebih besar dibandingkan PbA dan NiCd;
Kelemahan: Harga relative mahal.
d. Baterai dengan teknologi Lithium Ion (Li-Ion). Kelebihan: memiliki
energy dan daya spesifik dua kali disbanding NiMh dan berukuran lebih
kecil dibandingkan NiMh.
Walaupun mobil listrik memiliki beberapa kelebihan dibandingkan mobil bermesin bakar,
terdapat beberapa hambatan yang mengurangi potensi penggunaan mobil listrik secara
luas di Indonesia, diantaranya:
Harga mobil listrik yang masih jauh lebih mahal dibandingkan dengan mobil
bermesin bakar. Hal ini dikarenakan harga baterai yang masih mahal dan belum
diproduksi dalam jumlah yang besar.
Masih rendahnya harga bahan bakar minyak di Indonesia, ditambah adanya
subsidi bagi jenis bahan bakar minyak tertentu yang menyebabkan keengganan
konsumen untuk berpindah dari mobil bermesin bakar ke mobil listrik.
Belum tersedianya infrastruktur pendukung, seperti stasiun pengisian mobil
listrik di kota-kota di Indonesia.
A. Peluang
B. Tantangan
ii. Penerapan teknologi yang belum proven, berpotensi pada penurunan return
perusahaan
7
Merit order merupakan daftar unit pembangkit dengan biaya operasi yang marginal, sudah
termasuk oertimbangan biaya start-up dan shut-down, minimum start-up dan waktu keluar,
kendala bahan bakar, serta kendala operasi lainnya.
C. Implikasi Bisnis
Beberapa data faktor demografi Indonesia yang tersedia antara lain sebagai berikut :
1. Jumlah penduduk. Jika dilihat dari data jumlah penduduk Indonesia tahun 2011
berjumlah sekitar 248.216.193 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk antara tahun
A. Peluang:
i. Indonesia sedang dan akan menikmati bonus demografi dengan terus
meningkatnya jumlah penduduk usia produktif sampai sekitar tahun 2030,
sehingga memudahkan dalam mendapatkan sumber tenaga kerja potensial.
ii. Jumlah penduduk yang besar, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi serta
rasio elektrifikasi Indonesia yang masih rendah memberikan peluang pasar
yang potensial bagi industry pembangkitan tenaga listrik.
B. Tantangan
i. Jika kualitas dan etos kerja SDM yang dimiliki kurang baik, bonus demografi
yang dialami Indonesia akan memberikan masalah, baik langsung maupun
tidak langsung kepada dunia usaha.
C. Implikasi Bisnis
i. Mengelola program perekrutan, pembinaan dan pengembangan SDM yang baik
dan professional guna mendapatkan dan menciptakan tenaga-tenaga ahli
professional di bidang sistem energi surya
ii. Mengembangkan CSR guna mendorong perbaikan ekonomi masyarakat sekitar
Peran dan keterlibatan pemerintah dalam industry pembangkitan tenaga listrik tidak dapat
diabaikan. Melalui kebijakan Ketenagalistrikan yang tertuang dalam Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2009 maka struktur industri usaha pembangkitan usaha pembangkitan,
usaha transmisi, usaha distribusi atau penjualan tenaga listrik berubah. Peran dan
kedudukan PT PLN (Persero) pun berubah dengan tidak lagi berperan sebagai PKUK
namun hanya sebagai PIUPTL. Dengan kedudukan demikian maka PLN disamakan
dengan pelaku usaha lain di bidang ketenagalistrikan dalam hak dan kewajiban. Dalam
UU tersebut juga diatur bahwa swasta menyelenggarakan usaha menyediakan tenaga
listrik, usaha distribusi dan atau usaha penjualan tenaga listrik sesuai dengan wilayah
usaha yang diberikan kepadanya dan juga dapat menyediakan tenaga listrik terintegrasi.
Hal tersebut dapat dilakukan di wilayah usaha yang belum dilakukan oleh pemegang izin
usaha penyediaan tenaga listrik yang lain. Berdasarkan hal tersebut maka pengembang
listrik swasta memiliki kesempatan yang lebih luas untuk menyelenggarakan tenaga
listrik [52].
A. Tantangan
i. PT PLN (Persero) bukan lagi bertindak sebagai Pemegang Kuasa Usaha
Ketenagalistrikan (PKUK).
ii. Terbukanya peluang bagi swasta untuk masuk dalam industri ketenagalistrikan
melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009.
iii. Meningkatnya persaingan dalam industri pembangkitan listrik.
Usulan RAPBN 2014 yang disampaikan Presiden SBY pada sidang paripurna DPR baru-
baru ini menunjukkan pendekatan pemerintah terlihat lebih hati-hati menghadapi
perkembangan ekonomi dan keuangan domestik maupun ketidakpastian perkembangan
global dewasa ini. Penurunan tajam defisit anggaran dari 2,38% dari PDB 2013 menjadi
1,49%, defisit keseimbangan primer dari Rp.111,6 triliun menjadi Rp.34,69 triliun, dan
pengurangan pinjaman LN baik berbentuk program maupun proyek dari Rp49,04 triliun
menjadi Rp.43,2 triliun, mensinyalkan peralihan kebijakan fiskal pemerintah yang
biasanya ekspansif ke kebijakan fiskal terkendali berbasis swadaya bebas dari
ketergantungan pada bantuan asing dan pengaruh dari perlambanan pemulihan ekonomi
AS dan krisis finansial Eropa.
Gambar 2.18. Nilai tukar dan harga saham periode tahun 2009-2013
Melemahnya rupiah dipicu oleh masih tingginya permintaan valuta asing domestik di
tengah pasokan yang terbatas dan meningkatnya tekanan terhadap kinerja transaksi
berjalan yang disebabkan oleh pertumbuhan ekspor yang masih terbatas dan impor yang
masih tinggi, sejalan dengan masih kuatnya permintaan domestik. Pergerakan rupiah juga
dipengaruhi oleh faktor eksternal yang menciptakan sentimen negatif. Kekhawatiran
terhadap dampak pengetatan kebijakan fiskal Amerika Serikat, kelangsungan program
stimulus ekonomi oleh The Fed, serta masih tingginya ketidakpastian prospek
penanganan krisis Eropa dan kondisi ekonomi makro Eropa yang masih lemah
menyebabkan masih rentannya proses pemulihan ekonomi global.
A. Peluang
i. Pertumbuhan ekonomi yang semakin baik akan meningkatkan kebutuhan
energi dalam negeri dan kemampuan daya beli masyarakat akan menjadi daya
tarik investasi swasta yang diperlukan dalam pembangunan sektor energi.
ii. Meningkatnya arus masuk PMA menjadi indikator masih kuatnya keyakinan
investor terhadap prospek ekonomi Indonesia.
B. Tantangan
i. Selama tahun 2012 dan 2013, proyeksi nilai tukar rupiah terhadap dolar
cenderung melemah sehingga secara langsung mempengaruhi struktur biaya
proyek dan produksi yang memiliki kandungan impor yang cukup tinggi.
ii. Kondisi ekonomi global yang masih tidak menentu dapat memicu lemahnya
pertumbuhan.
Indonesia telah menunjukkan performa yang cukup baik pada satu decade terakhir dengan
muncul sebagai kekuatan ekonomi dunia urutan ke-16 dengan total 55 juta pekerja
terlatih yang mendukung pertumbuhan ekonomi [27]. Menurut Competitiveness Report
dari World Economic Forum Indonesia berada di urutan ke 25 dalam kestabilan kondisi
ekonomi pada tahun 2012, yang meningkat cukup signifikan dari urutan ke-89 pada tahun
2007. Hal tersebut menempatkan Indonesia berada di atas level negara-negara BRIC
(Brazil: urutan ke-62, dan India urutan ke-99), dan Negara-negara tetangga di ASEAN
(Thailand: 27, Malaysia: 35, Filipina:36) [53].
A. Peluang
i. Pertumbuhan kelas menengah masyarakat Indonesia (60% terhadap total
populasi – PDB per kapita sebesar US$3,850 pada tahun 2012) berpengaruh
terhadap meningkatnya kebutuhan akan kuantitas dan kualitas tenaga listrik
ii. Pertumbuhan PDB Indonesia terbesar ketiga pada periode 2000-2010 setalah
Cina dan India (sebesar 5,2%) yang berarti adanya peningkatan demand energi
listrik sebesar 8-9%
B. Tantangan
Pertumbuhan demand energi listrik yang tinggi menarik investor-investor baru dalam
industri pembangkitan listrik, yang menyebabkan tingkat persaingan semakin tinggi
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisa lingkungan di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor
eksternal yang paling berpengaruh bagi PLN UPJB dalam industry pembangkitan tenaga
listrik yaitu:
1. Lingkungan Ekonomi
Hal ini terjadi karena PLN UPJB rentan terhadap adanya perubahan:
Nilai Tukar Valuta Asing
Jika terjadi kenaikan nilai tukar valuta asing sebesar Rp. 1.000,- /USD 1 maka
hal ini akan berdampak terhadap kenaikan biaya operasi dan beban bunga
pinjaman rata-rata sebesar 10%.
Harga energi primer
Komponen terbesar merupakan Biaya Batubara, yang jika terdapat perubahan
harga batubara sebesar USD 1/ton maka hal ini akan berdampak terhadap
kenaikan biaya operasi sebesar Rp. 15 Milyar hingga Rp. 25 Milyar per tahun.
Diikuti dengan Biaya Gas Alam, yang jika terjadi kenaikan harga Gas Alam
sebesar USD 1/BTU maka hal ini akan berdampak terhadap biaya operasi
dengan kenaikan sebesar Rp. 1 Milyar sampai Rp. 2,4 Milyar per tahun.
Inflasi
Dengan total belanja barang dan jasa mencapai Rp 2 T per tahun, maka
kenaikan harga barang/ jasa akibat inflasi akan meningkatkan biaya
penyediaan energy listrik PLN UPJB secara signifikan.
Namun sebagai Unit Bisnis, PLN UPJB tidak dapat (atau belum dapat) melakukan
suatu tindakan lindung nilai atau hedging. Walaupun Kementerian BUMN melalui
Peraturan Menteri nomor PER-09/MBU/2013 telah mengeluarkan Kebijakan Umum
Transaksi Lindung Nilai, dan juga telah menerbitkan Standard Operation Procedure-
nya, bagian Finance PLN UPJB hanya berfungsi melakukan perencanaan, reporting
dan monitoring transaksi keuangan dan tidak memiliki fungsi yang memungkinkan
penerapan tindakan lindung nilai (paling tidak hingga makalah ini dibuat).
REFERENSI
19. Fitrani, Fitria, Hoffman Bert, dan Kaiser. 2005. Unity in Diversity? The Creation
of New Local Government in a Decentralising Indonesia.
20. Mas’oed, Mohtar. 2014. GBE : Domestic Politics. Materi Kuliah GBE MMUGM.
21. Indonesia Corruption Watch. 2010. Korupsi Pemilu di Indonesia.
22. http://tribunnews.com/nasional/2013/12/03/pramono-anung-biaya-politik-mahal-
menggerus-parpol
23. Mas’oed, Mohtar. 2008. Politik, Birokrasi dan Pembangunan. Pusataka Pelajar.
24. Indonesia Corruption Watch. 2014. Panduan Pemantauan Korupsi Pemilu.
25. Kunio, Yoshihara. 1990. Ersatz Capitalism.
26. Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional Direktorat Kerjasama Regional.
2010. ASEAN – China Free Trade Area.
27. McKinsey Global Institute. 2012. The Archipelago Economy: Unleashing
Indonesia’s Potential.
28. Badan Pusat Statistik. 2014. Data Ekspor-Impor menurut Negara.
29. Mohtar, Masoed. 2014. GBE : International Politics. Materi Kuliah GBE
MMUGM.
30. Departemen Perdagangan Republik Indonesia. . Buku Menuju ASEAN Economic
Community 2015.
31. Association of Southeast Asian Nations. 2008. ASEAN Economic Community
Blueprint. ASEAN Secretariat.
32. Badan Pusat Statistik. 2014. Produk Domestik Bruto Atas Dasar harga Konstan.
33. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51c8e5514f209/inilah-industri-
prioritas-pada-aec-2015 diakses pada 29 Juli 2013.
34. http://www.aienetwork.org/blog/38/is-indonesia-up-for-the-asean-economic-
community-2015 diakses pada 27 Maret 2014.
35. The World Bank. 2013. Ease of Doing Business 2013 – Indonesia.
36. Furnivall, J.S. 1967. Netherlands India: A Study of Plural Economy. Cambridge
at The University Press.
37. Berghe, Van den Pierre. 1967. Dialetic and Functionalism: Toward a Synthesis,
dalam N.J. Demerath III ett.al.eds, System, Change, and Conflict. The Free Press,
New York, Collier-McMillan limited.
38. Ancok, Djamaludin. 2014. GBE :Lingkungan Sosial dan Pengaruhnya pada
Bisnis. Materi Kuliah GBE MMUGM.
39. http://beritajatim.com/peristiwa/198063/blokir_jalan_pltu,_ratusan_warga_sander
a_bus_pjb.html
40. http://daerah.sindonews.com/read/2013/10/04/22/790744/ribuan-warga-batang-
demo-tolak-pltu
41. http://beritasore.com/2012/01/04/warga-blokir-jalan-aktivitas-pltu-langkat-
lumpuh-total
42. http://harianjayapos.com/detail-884-pltu-2-bantenlabuan-didemo--dana-csr-
diduga-sarat-penyimpangan.html
43. http://www.radarcirebon.com/demo-pltu-berhasil-pulangkan-pekerja.html
44. http://www.dunamis.co.id/index.php/knowledge/details/press/155
45. Ancok, Djamaludin. 2014. GBE :Social Change and Business How to Manage
Generation Y. Materi Kuliah GBE MMUGM.
46. De Meuse, Kenneth P.; Mlodzik, Kevin J. 2010. A Second Look at Generational
Differences in the Workforce: Implication for HR and Talent Management. Korn/
ferry Leadership and Talent Consulting.
47. Schultz, Duane and Sydney. 2010. Psychology and Work Today. Upper Saddle
River: Prentice Hall.
48. Justine James, Sally Bibb, & Simon Walker. 2008. Generation Y: Comparison
between Asia and the rest of the world, a summary report of the global ‘Tell it
how is is’ Research 2008.
49. The World Bank, 2008. Clean Coal Power Generation Technology Review:
Worldwide Experience and Implications for India.
50. BPPT, 2012. Outlook Energi Indonesia 2012: Pengembangan Energi Masa
Depan dalam Mendukung Pertumbuhan Ekonomi dan Ketahanan Energi
Nasional.
51. Nyoman S Kumara, -. Tinjauan Perkembangan Kendaraan Listrik Dunia Hingga
Sekarang.
52. Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan.
53. World Economic Forum. 2012. The Indonesia Competitive Report 2011:
Sustaining the growth momentum and Global Competitiveness Reports 2012-
2013.