Anda di halaman 1dari 72

RESEARCH PAPER

PT PLN (PERSERO) UNIT PEMBANGKITAN JAWA BALI


Analisa Faktor-Faktor Eksternal Perusahaan Terhadap Bisnis Pembangkitan Tenaga Listrik

Pengajar:

Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA

Galih Honggo Baskoro


12/341322/PEK/17411

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS GADJAH MADA
JAKARTA
2014
General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS
UNIVERSITAS GADJAH MADA

RESEARCH PAPER

Nama : Galih Honggo Baskoro


No : 12/341322/PEK/17411
Angkatan : MMUGM AP-19

Judul : General Business Environment


PT PLN (Persero) Unit Pembangkitan Jawa Bali
Analisa Faktor-Faktor Eksternal Perusahaan Terhadap Bisnis
Pembangkitan Tenaga Listrik

Tahun 2014

i
General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat serta salam selalu tercurahkan
kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan rahmat-Nya penulis mampu
menyelesaikan Research Paper yang berjudul “General Business Environment
PT PLN (Persero) Unit Pembangkitan Jawa Bali ”
Research Paper ini disusun sebagai salah satu prasyarat kelulusan dalam mengikuti
mata kuliah General Business Environment pada Program Studi Magister
Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada yang terhormat:
1. Orang tua kami yang tercinta yang senantiasa meridhoi.
2. Prof. Dr. Bambang Sudibyo, MBA selaku Dosen Koordinator pada mata
kuliah ini.
3. Bapak DGN Ambara selaku Kepala Divisi Pembangkitan Jawa Bali PT
PLN (Pesero).
4. Rekan – rekan PT PLN (Persero) Unit Pembangkitan Jawa Bali dan Divisi
Pembangkitan Jawa Bali Kantor Pusat yang telah membantu dalam
pengumpulan data pada Research Paper ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan Research Paper ini masih jauh dari sempurna.
Oleh karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan sehingga bermanfaat bagi
pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dan bantuan dari
berbagai pihak sehingga penulisan Research Paper ini dapat diselesaikan. Semoga
Allah Subhanahu wa ta'ala senantiasa meridhai segala usaha kita, Amin.

Jakarta, 24 Desember 2014

Penulis

ii
General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL............................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
EXECUTIVE SUMMARY................................................................................... iv
BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................................1
1.1 Latar Belakang .............................................................................. .......1
1.2 Profil PLN UPJB .............................................................................. ....2
1.3 Permasalahan ....................................................................................... .3
BAB II. PEMBAHASAN ...................................................................................... 4
2.1 Analisa Industri Pembangkitan Tenaga Listrik ................................... 4
2.2 Analisa Model Bisnis UPJB ................................................................. 6
2.3 General Business Environment .......................................................... 12
BAB III. PENUTUP ............................................................................................. 62
3.1. Kesimpulan ........................................................................................ 62
3.2. Tindakan Yang Disarankan ................................................................ 64
REFERENSI ......................................................................................................... 65

iii
General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

Executive Summary

Semakin dinamisnya perubahan yang terjadi pada faktor-faktor lingkungan bisnis dalam
dunia usaha, khususnya bidang pembangkitan tenaga listrik. Menuntut pemain dalam
industri pembangkitan tenaga listrik melakukan analisis lingkungan organisasi yang
dapat memberikan informasi bagi manajemen dalam membuat keputusan bisnis yang
bertujuan untuk memperbaiki kinerja organisasi.

Research Paper dengan judul “General Business Environment PT PLN (Persero) Unit
Pembangkitan Jawa Bali – Analisa Faktor Eksternal Perusahaan Terhadap Bisnis
Pembangkitan Tenaga Listrik” ini, merupakan proses scanning eksternal yang dilakukan
dengan mendeskripsikan, menganalisa, dan mensintesiskan faktor-faktor di luar unit
bisnis/ organisasi yang berimplikasi terhadap pelaksanaan proses bisnisnya. Di
antaranya yaitu: (1) Lingkungan Alam, (2) Lingkungan Budaya, (3) Lingkungan Politik
Domestik, (4) Lingkungan Politik Internasional, (5) Lingkungan Sosial, (6) Lingkungan
Teknologi Pemrosesan, (7) Lingkungan Demografi, (8) Lingkungan Pemerintah, (9)
Lingkungan Moneter dan Fiskal, dan (10) Lingkungan Pembangunan Ekonomi. Dengan
menganalisa hubungan imbal balik antara faktor-faktor eksternal di atas dan dampaknya
terhadap kegiatan bisnis PLN UPJB, maka diharapkan akan didapatkan inisiatif strategis
yang tepat dalam merespond peluang dan ancaman yang ada.

Setelah dilakukan analisa atas ke-sepuluh factor eksternal di atas, maka di dapatkan
bahwa factor yang paling berpengaruh atas performa bisnis PLN UPJB yaitu:
1) Lingkungan Ekonomi,
2) Lingkungan Teknologi Pemrosesan (Processing Technology), dan
3) Lingkungan Alam (Natural Environment).

Selain itu juga telah diusulkan beberapa inisiatif strategis yang perlu diambil oleh PLN
UPJB, di antaranya: (1) Penerapan Green Power Plant, (2) Peningkatan kompetensi
organisasi dan penciptaan budaya kinerja tinggi, dan (3) Pengoptimalan kinerja dan
biaya operasi dan pemeliharaan/ O&M pengelolaan aset pembangkit.

Kata kunci: General Business Environment, Peluang, Tantangan, Inisiatif Stratgis

iv
General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Permintaan akan energi listrik di Indonesia yang semakin meningkat, rata-rata 9% per
tahun, menuntut adanya solusi yang menjamin ketersediaan energi listrik Indonesia salah
satunya melalui program percepatan pembangunan PLTU110.000 MW tahap I. Program
tersebut diinisiasi oleh Pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2006
yang menugaskan kepada PT PLN (Persero) untuk melakukan percepatan pembangunan
pembangkit tenaga listrik yang menggunakan batubara. Dalam program tersebut
dibangun 35 unit pembangkit dengan total kapasitas 10.000 MW, 10 unit pembangkit di
antaranya dibangun di Pulau Jawa untuk memenuhi kebutuhan sistem interkoneksi Jawa-
Madura-Bali (JAMALI) sebagaimana ditunjukkan dalam tabel berikut.
Tabel 1.1. Sepuluh Proyek PLTU dalam Sistem JAMALI

Program FTP-1 selain untuk mengimbangi meningkatnya permintaan energi listrik, juga
diharapkan untuk dapat menggantikan pembangkit berbahan bakar minyak menjadi
batubara, atau disebut dengan diversifikasi energi. Proses diversifikasi pembangkit
batubara tersebut menurut Ali Herman Ibrahim juga akan mengurangi konsumsi BBM
hingga maksimum hanya 5 persen sehingga memiliki dua keuntungan yaitu (1)
Pembangunan infrastruktur kelistrikan yang memungkinkan PLN memenuhi permintaan

1
Istilah PLTU dalam tulisan ini merujuk kepada Pusat Listrik Tenaga Uap berbahan bakar
batubara.

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 1


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

listrik yang tumbuh, dan (2) Upaya menekan subsidi pemerintah yang disebabkan oleh
naiknya harga BBM [1].

1.2 Profil PLN UPJB

PT PLN (Persero) Unit Pembangkitan Jawa Bali, selanjutnya disebut PLN UPJB, yang
berdiri sejak Juli 2011 merupakan salah satu unit bisnis PT PLN (Persero) yang dibangun
dalam rangka peningkatan efektivitas dan efisiensi pengendalian operasi dan
pemeliharaan serta untuk peningkatan kinerja dan percapaian target produksi pembangkit
di Jawa-Bali khususnya Program Percepatan Pembangunan Pembangkit 10.000 MW.
PLN UPJB melingkupi Sektor Pembangkitan Cilegon, Sektor Pengendalian
Pembangkitan I (yang mengelola aset PLTU Suralaya Unit 8, PLTU Labuan, dan PLTU
Lontar), Sektor Pengendalian Pembangkitan II (yang mengelola aset PLTU Palabuan
Ratu, PLTU Indramayu, dan PLTU Adipala), Sektor Pengendalian Pembangkitan
III(yang mengelola aset PLTU Rembang, PLTU Tanjung Awar-awar, PLTU Pacitan dan
PLTU Paiton Unit 9), dan Sektor Pengendalian Pembangkitan IV (yang mengelola aset
PLTGU Muara Karang Blok 2, PLTGU Tanjung Priok Blok 3, dan PLTGU Muara Tawar
Blok 5). Gambar 1 berikut menunjukkan wilayah kerja PLN UPJB dalam Sistem Jawa
Madura Bali (JAMALI).

Gambar 1.1 Wilayah Kerja PLN UPJB

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 2


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

Dalam rangka peningkatan kinerja dan percapaian target produksi pembangkit di


Jawa-Bali khususnya Program Percepatan Pembangunan Pembangkit 10.000 MW,
sebagai Asset Manager2, PLN UPJB mengelola sistem asetnya dengan tujuan optimalisasi
risiko, biaya dan kinerja dengan pola pengusahaan sebagaimana Gambar 1.2.

Gambar 1.2 Pola Pengelolaan Aset PLTU FTP1 JAMALI

1.3 Permasalahan

Terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi industri pembangkitan tenaga listrik di
Indonesia, baik secara internal maupun eksternal. Pengaruh internal dalam industri lebih
mudah untuk dideteksi dan diatasi dikarenakan berhubungan langsung dengan perusahaan
seperti pembeli, supplier, pesaing lama, pesaing baru maupun barang subtitusi. Namun
banyak pihak yang kurang menyadari adanya faktor eksternal yang dapat memberikan
pengaruh secara langsung maupun tidak langsung bagi sebuah usaha, dalam hal ini bagi
PLN UPJB melakukan usaha penyediaan listrik pada industri pembangkitan tenaga listrik
di Indonesia. Oleh karena hal tersebut pada makalah ini akan dibahas mengenai faktor-
faktor eksternal yang memberikan pengaruh baik berupa ancaman maupun peluang bagi
industri pembangkitan tenaga listrik di Indonesia serta apa saja strategi yang dibutuhkan.

2
PLN UPJB sebagai Manajer Aset atas Unit Pembangkit 10.000 MW, dengan Operator Aset yaitu
PT Indonesia Power dan PT Pembangkitan Jawa Bali (Anak Perusahaan PT PLN (Persero)).

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 3


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Analisa Industri

Sebelum mengkaji faktor eksternal yang dialami UPJB dalam industri pembangkitan
tenaga listrik, maka perlu dilakukan analisis industri dan pengembangan bisnis dengan
menggunakan kerangka kerja Michael Porter yang dikenal dengan Model Lima
Kekuatan Porter atau Porter’s Five Forces. Berikut ini merupakan analisa industri
pembangkitan listrik.

Gambar 2. 1 Analisa Industri Pembangkitan Listrik

A. Persaingan Di Antara Pesaing Yang Ada


 Dalam Sistem Kelistrikan JAMALI, terdapat lima pemain besar di bidang
pembangkitan, yakni (1) PT Indonesia Power, (2) PT PLN (Persero) Unit
Pembangkitan Jawa Bali, (3) IPP (yang terdiri atas beberapa entitas
berbeda), (4) PT Pembangkitan Jawa Bali dan (5) PT PLN Tanjung Jati B.
 Market share berdasarkan Penjualan pada tahun 2013 (dirutkan berdasarkan
yang paling tinggi) yaitu: (1) IP: 26 %, (2) IPP: 25 % , (3) UPJB: 19 %, (4)
PJB : 18 % dan (5) TJB : 12 %. Dengan tidak adanya fragmentasi yang
cukup signifikan menunjukkan bahwa persaingan diantara kelima pemain
tersebut TINGGI.
Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 4
General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

 Kebutuhan tenaga listrik pada Sistem JAMALI meningkat pada kisaran 9%-
10% per tahun.
 Cadangan tenaga listrik dalam Sistem JAMALI mengalami penurunan,
ditambah tidak adanya Pembangkit baru (dari kelima pemain besar tersebut)
yang akan masuk ke sistem pada tahun 2015. Sehingga persaingan di antara
kelima pemain tersebut dalam Sistem Jawa Bali RENDAH.

Dengan demikian kesimpulan dalam persaingan antar pesaing yang ada adalah
SEDANG.

B. Ancaman Pendatang Baru


 Undang-Undang No. 30 tahun 2009 mengatur bahwa PLN bukan satu-
satunya perusahaan yang memonopoli industri kelistrikan sehingga swasta
memiliki peluang untuk masuk ke dalam industri ini. Dengan demikian
halangan untuk masuk dalam industri pembangkitan listrik RENDAH.
 Untuk masuk dalam industri pembangkitan tenaga listrik, membutuhkan
modal/capital yang besar. Misalnya investasi pembangkit listrik berbahan
bakar batubara dengan ukuran 300-600 MW membutuhkan investasi sebesar
Rp 5-8 triliun. Sehingga hambatan untuk dapat masuk ke dalam industri
pembangkitan listrik TINGGI.
 PT PLN (Persero) sebagai penjual tenaga listrik utama dalam Sistem Jawa
Bali membutuhkan penambahan Kapasitas yang tinggi terkait tingginya
peningkatan kebutuhan akan tenaga listrik, namun terkendala tingginya
biaya investasi yang dibutuhkan. Sehingga perusahaan bermodal besar
memiliki bargaining power yang cukup tinggi untuk dapat masuk dalam
sistem kelistrikan JAMALI.

Dengan demikian kesimpulan dalam ancaman pendatang baru adalah SEDANG.

C. Ancaman Produk Pengganti

Barang substitusi untuk tenaga listrik sampai saat ini hampir tidak ada, kalaupun
ada tingkat kepraktisan dan kenyamanannya kurang misalnya biogas untuk
memasak.
Dengan demikian kesimpulan dalam ancaman produk pengganti adalah RENDAH.

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 5


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

D. Kekuatan Tawar-Menawar Pembeli


 Dalam Sistem Kelistrikan JAMALI, penjualan tenaga listrik dilakukan
melalui PT PLN (Persero) atau secara langsung kepada pelanggan
sebagaimana dalam kawasan industri. Sebagai penjual utama PT PLN
(Persero) berpengaruh dalam penentuan kebijakan merit order terhadap
keempat pemain besar dalam industri. Sehingga bargaining power pembeli
dalam industri pembangkitan listrik TINGGI.
 IPP sudah mendapat kepastian dalam penjualan tenaga listrik (Minimum
Capacity Factor) dengan PT PLN (Persero) dalam Kontrak Jual-Beli nya
(Power Purchase Agreement). Sehingga bargaining power IPP dalam
industri SEDANG.
Dengan demikian kesimpulan dalam kekuatan tawar-menawar dari pembeli adalah
TINGGI.

E. Kekuatan Tawar-Menawar Pemasok


 Pemasok terbesar dalam industri pembangkitan tenaga listrik yaitu supplier
bahan bakar. Pembangkit sangat bergantung terhadap pasokan bahan bakar,
dan kualitas bahan bakar pun akan mempengaruhi tingkat efisiensi
pembangkit. Sehingga bargaining power pemasok bahan bakar TINGGI.
 Pemasok kedua terbesar yaitu pemasok part/ equipment (baik OEM maupun
Non-OEM). Pembangkit sangat bergantung pada OEM dalam ketersediaan
main part/ peralatan utama, sedangkan peralatan penunjang dapat dibeli dari
pemasok yang banyak tersedia (baik luar maupun dalam negeri). Sehingga
bargaining power pemasok OEM dalam industri pembangkitan listrik
TINGGI, dan pemasok Non-OEM RENDAH.

Dengan demikian kesimpulan dalam kekuatan tawar-menawar dari pemasok adalah


TINGGI.

2.2 Analisa Model Bisnis

Setelah mengetahui kondisi industry pembangkitan listrik, maka perlu dilakukan analisa
model bisnis UPJB, yang dilakukan untuk mengetahui bagaimana UPJB menciptakan,
memberikan, dan menangkap nilai-nilai. Analisa model bisnis ini mencakup maksud dan
tujuan organisasi, infrastruktur, praktik-praktik niaga, serta proses-proses operasional.

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 6


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

Dalam hal ini digunakan Business Model Canvas (BMC) yang dikembangkan oleh
Alexander Osterwalder dan Yves Pigneur, sebagaimana berikut.

Gambar 2. 2 Model Bisnis UPJB

A. Customer Segment
Segmen pelanggan yang dilayani oleh UPJB sebagai satu kesatuan entitas dengan
PLN Transmisi (P3B JB) dan PLN Distribusi (Distribusi Jawa Barat & Banten,
Distribusi Jakarta Raya, Distribusi Jawa Tengah & DIY, Distribusi Jawa Timur,
dan Distribusi Bali) adalah pelanggan akhir listrik/End-User. PLN
mengelompokkan pelanggan menurut pentarifan (berdasarkan Permen ESDM
nomor 30/2012) yaitu:
 Rumah Tangga (R),
 Sosial (S),
 Bisnis (B),
 Industri (I), dan
 Publik (P), termasuk di dalamnya Layanan Khusus (L) dan Curah (C).

Secara umum, persyaratan dan harapan pelanggan yaitu: (1) Keandalan, (2) Mutu,
(3) Response Time, (4) Keakuratan Tagihan.

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 7


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

B. Value Proposition
Nilai yang ditawarkan UPJB kepada pelanggan atau dengan kata lain persyaratan
dan ekspektasi pelanggan terhadap UPJB yaitu Tenaga Listrik yang andal dan
murah. Di mana keandalan produk UPJB dapat diukur dengan indikator gangguan
pembangkit baik frekuensi trip-nya pembangkit maupun total gangguan
pembangkit dalam periode tertentu (Sudden Outage Frequency/SdOF dan
Equivalent Forced Outage Ratio/EFOR), ketersediaan pembangkit dalam
menyalurkan tenaga listrik (Equivalent Availability Factor/EAF). Sedangkan faktor
“murah” produk UPJB dapat diukur dengan indikator Harga Pokok Penjualan/
HPP.

C. Channels
Tenaga listrik sebagai produk utama UPJB disalurkan kepada pelanggan akhir
melalui Transmisi atau Saluran Transmisi Tegangan Tinggi (dikelola oleh P3B JB)
dan Distribusi atau Saluran Tegangan Menengah dan Tegangan Rendah (dikelola
oleh Distribusi Jawa Barat & Banten, Distribusi Jakarta Raya, Distribusi Jawa
Tengah & DIY, Distribusi Jawa Timur, dan Distribusi Bali).

D. Revenue Stream
Revenue Stream atau aliran pendapatan didapatkan oleh UPJB melalui proses
transaksi jual beli tenaga listrik. Karena UPJB dan P3B-JB sama-sama merupakan
unit bisnis dari PLN, maka UPJB mendapatkan aliran pendapatan tersebut melalui
transfer price yang akan dinotabukukan ke dalam Laporan Keuangan UPJB.

E. Customer Relationship
Customer Relationship merupakan cara PLN dalam menjalin ikatan dengan
Pelanggan di antaranya yaitu melalui cara:
 Survey Kepuasan Pelanggan (SKP)
PLN menentukan kepuasan dan kerekatan pelanggan dengan melakukan
survey pengukuran kepuasan dan ketidakpuasan yang bekerjasama dengan
Perguruan Tinggi Negeri untuk memperoleh hasil yang valid. Faktor-faktor
yang diukur dalam survey tersebut meliputi kualitas produk dan layanan, dan
dukungan pelanggan terhadap PLN.
 Interaksi Pelanggan

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 8


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

PLN memberikan informasi dan dukungan kepada Pelanggan dengan


berinteraksi melalui berbagai sarana sebagai berikut.
− Account Executive/Account Officer
− Loket Pelayanan
− Website
− Contact Center 123
− Pengelolaan dan Pengawasan Arus Pendapatan Secara Terpusat
− SMS
− Social Media
− Layanan Teknik
− Temu Pelanggan

Untuk mendukung Customer Relationship PLN terhadap Pelanggan akhir, UPJB


selaku unit pengelola pembangkitan meningkatkan pelayanannya kepada PLN
Transmisi (P3B JB) dengan cara:

 Survey Kepuasan Pelanggan;


Dilakukan untuk memperoleh informasi, keinginan/ harapan, dan keluhan/
kebutuhan pelanggan sehingga dapat langsung ditindaklanjuti oleh UPJB
untuk meningkatkan nilai atau Value Proposition sebagaimana dibahas di
atas. UPJB melalui Sub-Bidang Operasi akan melakukan Survey Kepuasan
pelanggan kepada kelima area P3B-JB secara periodik, serta melakukan
analisa hasil survey dalam upaya untuk meningkatkan mutu pelayanannya.
 Interaksi;
Interaksi antara UPJB dengan P3B-JB dilakukan untuk memberikan
dukungan layanan dan informasi actual melalui sarana sebagai berikut:
− Rapat Alokasi Energi, diadakan setiap bulan untuk memberikan
klarifikasi rencana operasi dan kondisi actual unit pembangkit.
− Interaksi langsung dalam melakukan transfer tenaga listrik melalui
aplikasi berbasis web sebagaimana berikut:
 Aplikasi Dispatch
 HDKP (Harian Deklarasi Kesiapan Pembangkit)/ IKP (Indeks
Kinerja Pembangkit) Setelmen
 GAIS (Generating Availability Informations System)

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 9


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

 Rapsodi (Report Application of Power System Operation &


Data Integration)
 Neraca Energi
 Dashboard
 Kunjungan
Kunjungan dilakukan oleh UPJB melalui Sub-Bidang Operasi terhadap
kelima area penyaluran beban P3B-JB secara periodik untuk mengetahui
secara langsung keluhan dan kebutuhan pelayanan UPJB dalam
menyediakan tenaga listrik.

F. Key Activities
Key Activities atau kegiatan utama UPJB untuk dapat menciptakan proposisi nilai
diantaranya yaitu:

 Asset Life Cycle Management


 Organization & Human Resources
 Information & Knowledge
 Risk& Compliance
 Finance

G. Key Resources
Key Resources atau sumber daya utama milik UPJB yang digunakan untuk
mewujudkan proporsi nilai, diantaranya yaitu:

 Pusat Listrik
Terdiri atas Pusat Listrik Tenaga Uap berbahan bakar Batubara dan Pusat
Listrik Tenaga Gas-Uap berbahan bakar Gas Alam (sebagaimana telah
dijabarkan dalam tabel 2.2 Unit Pembangkit UPJB).
 Kapabilitas SDM
Kapabilitas Sumber Daya Manusia ditempatkan sebagai sumber utama UPJB
dalam menghasilkan listrik, di mana peran pegawai sebagai knowledge
worker sangat vital dalam menentukan keberlanjutan operasional UPJB.

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 10


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

H. Key Partnership
Key Partnership atau sumber daya yang diperlukan oleh UPJB untuk mewujudkan
proporsi nilai, namun berada di luar entitas UPJB sebagai suatu unit usaha.UPJB
mengkategorikan Key Partnership ke dalam dua golongan, yaitu Pemasok atau
Supplier dan Mitra atau Partner sebagaimana berikut.
i. Pemasok
− Pemasok Energi Primer
Merupakan pemasok bahan bakar yang memiliki peran dalam
menjamin kelangsungan proses produksi unit-unit pembangkit yang
dimiliki oleh UPJB. Terdiri atas pemasok Batubara, Gas, dan Bahan
Bakar Minyak, pemasok energi primer merupakan pemasok yang
paling vital atas proses bisnis UPJB, menghabiskan +90% dari total
biaya produksi UPJB setiap tahunnya. UPJB memiliki persyaratan
supply chain terhadap pemasok energi primer melalui indikator
jumlah, waktu dan kualitas/ spesifikasi pasokan bahan bakar yang
dicantumkan dalam kontrak/ atau perjanjian jual beli energy primer.
− Pemasok Spare Part
Melingkupi pemasok spare-part Original Equipment Manufacturer
(OEM) dan spare part non-OEM. Pemasok spare-part berperan dalam
menjamin keandalan peralatan produksi. UPJB memiliki persyaratan
supply chain terhadap pemasok spare-part melalui indikator
spesifikasi dan delivery time.
ii. Mitra
− Jasa O & M
Merupakan mitra UPJB yang berperan dalam menjamin keandalan
sistem dan menyempurnakan proses bisnis pembangkitan unit-unit
milik UPJB. Melalui Performance-based Contract, mitra Jasa O & M
diberikan wewenang penuh dalam menjalankan Tata Kelola
Pembangkitan dengan tujuan optimalisasi siklus hidup asset
pembangkit.
− Jasa Lainnya, sebagaimana berikut:
i. Jasa Pelatihan

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 11


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

Mitra Jasa Pelatihan bagi UPJB berperan dalam meningkatkan


kompetensi Sumber Daya Manusia. Diklasifikasikan menjadi
setidaknya (1) Manajemen; (2) Teknik; dan (3) Supporting.
ii. Jasa Sertifikasi
Mitra Jasa Sertifikasi berperan dalam memastikan kesesuaian
aspek teknis peralatan utama pembangkit dan peralatan
penunjang pembangkit.
iii. Jasa Enjiniring dan Jasa Pemeliharaan
Mitra Jasa Enjiniring dan Jasa Pemeliharaan berperan dalam
memberi support kepada UPJB dalam perencanaan investasi
(pengembangan) dan penyediaan spare part pembangkitan yang
diiringi dengan perbaikan fungsi peralatan (Reverse Engineering
& Re-Engineering).

I. Cost Structure
Cost Structure atau komposisi biaya yang dikeluarkan UPJB dalam mewujudkan
proporsi nilai yang diberikan kepada pelanggan yaitu (diurutkan dari yang paling
besar):
 Biaya Energi Primer (91% dari biaya usaha)
 Biaya Operasi dan Pemeliharaan (6.5% dari biaya usaha)
 Biaya Administrasi (0.3% dari biaya usaha)
 Biaya SDM (0.2% dari biaya usaha)

2.3 General Business Environment

General Business Environment atau Lingkungan Bisnis Eksternal merupakan faktor


lingkungan yang akan mempengaruhi kinerja suatu organisasi bisnis. Analisa faktor
lingkungan ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana hubungan saling mempengaruhi
diantara faktor-faktor tersebut, sehingga peluang dan tantangan bisnis yang ditimbulkan
oleh faktor lingkungan tersebut dapat didentifikasi dengan baik. Hal ini dilakukan dengan
tujuan organisasi mampu mengembangkan, merencanakan, dan merumuskan strategi
usaha yang tepat dalam mengantisipasi fenomena dan arah perkembangan yang sedang
dan akan terjadi di lingkungan bisnisnya.

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 12


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

2.3.1 Lingkungan Alam

Isu Pencemaran PLTU Batubara

Menurut data Kementerian Negara Lingkungan Hidup, kualitas lingkungan hidup di


Indonesia cenderung menurun bahkan tanpa intervensi akselerasi pembangunan apapun
[2].Lebih lagi selain memberikan manfaat positif bagi pengembangan infrastruktur
Indonesia, PLTU berbahan bakar batubara juga dapat menimbulkan berbagai dampak
negatif bagi lingkungan seperti polusi udara, pencemaran air tanah, serta pencemaran laut
dan pantai.Selain itu dampak negatif bagi lingkungan tidak hanya mengenai daerah
sekeliling pembangkit listrik namun juga tempat asal batubara tersebut dieksplorasi, di
mana terjadi deforestasi yang mengancam kelestarian hutan. Greenpeace mencatat
beberapa dampak negatif batubara bagi lingkungan pada setiap langkah pemrosesan
batubara, yang dibagi atas:[3]

 Penambangan batubara
o Bencana banjir, yang diakibatkan oleh adanya deforestasi.
o Rusaknya lahan pertanian akibat pencemaran limbah pertambangan.
o Tercemarnya sungai yang menjadi sumber ait bagi penduduk.
o Timbulnya penyakit yang terkait pernapasan pada penduduk di
sekeliling tambang, seperti ISPA, asma, bronchitis, dan radang paru-paru
akibat debu batubara.
o Bekas lubang galian batubara menjadi Drainase Tambang Asam (Acid
Mine Drainage)

 Penggunaan batubara pada pembangkit listrik


o Sumber pengemisi polutan seperti sulfur dioksida, nitrogen oksida yang
mengakibatkan pencemarean udara dan dapat menimbulkan hujan asam.
o Penyakit terkait pernapasan pada penduduk sekeliling pembangkit
listrik.
o PLTU sebagai sumber emisi merkuri, di mana PLTU batubara
berkapasitas 100 MW dapat mengemisi kurang lebih 11,34 kg merkuri
setiap tahunnya. Merkuri merupakan logam yang sangat berbahaya dan
tidak memiliki fungsi biokimia/ nutrisi yang dapat menyebabkan
kerusakan otak berat serta kelainan mental, gangguan motorik dan

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 13


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

emosi, bahkan kematian apabila paparannya mencapai system syaraf


manusia [4].
A. Peluang

i. Adanya aturan dan ketentuan yang jelas dari Pemerintah mengenai ambang batas
pencemaran lingkungan, baik udara, air, maupun terkait pengelolaan limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), sehingga PLN UPJB dapat melakukan
pemantauan dan evaluasi secara rutin berdasarkan aturan dan ketentuan tersebut.

ii. Adanya program peringkat kinerja perusahaan (PROPER) dari Kementerian


Lingkungan Hidup, yang dapat memberikan guidline dan target yang jelas dalam
penyusunan roadmap pengelolaan lingkungan hidup atas asset-aset fisik PLN
UPJB.

iii. Tersedianya cadangan batubara berkalori rendah yang cukup di Indonesia untuk
kepastian kegiatan operasional penyediaan tenaga listrik PLTU batubara.

B. Ancaman

i. Kurangnya peran serta PLN UPJB dalam memastikan bahwa pemasok/ supplier
batubara mentaati aturan dan ketentuan pemerintah tentang pengelolaan
lingkungan hidup, atau tidak berperingkat merah/ hitam dalam PROPER
Kementerian Lingkungan Hidup. Hal ini dikarenakan tidak adanya regulasi
Domestic Market Obligation yang diterapkan Pemerintah atas jual-beli batubara
di pasar Indonesia. Kecenderungan supplier dalam meng-eksport batubara ke luar
negeri masih sangat tinggi. Sehingga PLN UPJB belum tentu mendapatkan
pasokan batubara di tengah melimpahnya cadangan batubara berkalori rendah di
Indonesia.

ii. Adanya kemungkinan kerusakan peralatan pembangkit listrik, sehingga dapat


memungkinkan adanya limbah buangan (air dan/ atau udara)ataupun getaran dan
kebisingan yang melebihi batas baku mutu yang ditetapkan oleh Kementerian
Lingkungan Hidup.

iii. Masih terdapatnya pekerjaan konstruksi di beberapa lokasi unit pembangkit


sehingga memungkinkan terjadinya kebisingan.

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 14


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

iv. Adanya sanksi administrasi atau bahkan pelarangan kegiatan operasional dari
Kementerian Lingkungan Hidup Deputi Bidang Penaatan Hukum Lingkungan
apabila terbukti adanya pelanggaran aturan pengelolaan Lingkungan Hidup oleh
unit pembangkit. Hal ini akan merugikan PLN UPJB, dari keharusan melakukan
investasi tambahan dalam pengelolaan limbah B3 hingga kehilangan kesempatan
produksi listrik akibat ditutupnya unit pembangkit listrik.

v. Demonstrasi oleh masyarakat sekitar akibat pencemaran lingkungan sekitar unit


pembangkit, yang dapat berakibat terganggunya mobilisasi tenaga kerja ke dalam
PLTU atau bahkan berakibat berhentinya operasional unit pembangkit.

C. Implikasi Bisnis

i. Analisa Mengenai Dampak Lingkungan


Untuk memperkecil dampak negatif dan memperbesar dampak positif terhadap
lingkungan, PLN UPJB menerapkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
yang mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 [5].
Menurut Suratmo, Amdal dilakukan atas dua alas an yaitu: (1) Amdal harus
dilakukan untuk proyek yang dibangun karena Undang-undang dan Peraturan
Pemerintah menghendaki demikian; atau (2) Amdal harus dilakukan agar
kualitas lingkunan tidak rusak karena adanya proyek-proyek pembangunan. Di
mana point kedua merupakan jawaban yang paling ideal dilakukan atas
diterapkannya Amdal oleh suatu perusahaan, dalam hal ini PLN UPJB [6].

Dalam rangka memperkecil dampak negatif dan memperbesar dampak positif


atas kegiatan pengoperasian pembangkit listrik berbahan bakar batubara, PLN
UPJB perlu melakukan upaya-upaya sebagaimana berikut:

 Pelaksanaan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), yang terdiri atas


aspek:
o Penurunan Kualitas Air Laut,
o Gangguan pada Biota Laut (Aquatic Biota),
o Penurunan Kualitas Udara, dan
o Peningkatan Kebisingan.
 Pelaksanaan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), yang terdiri atas
aspek:
o Penurunan Kualitas Air Laut,
Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 15
General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

o Gangguan pada Biota Laut (Aquatic Biota),


o Penurunan Kualitas Udara,
o Peningkatan Kebisingan,
o Air Sumur Penduduk/ Kualitas Air Tanah,
o Air Permukaan Sungai,
o Air Limbah WWTP (Waste Water Treatment Plant),
o Air Buangan Condenser,
o Air Buangan Desalinasi,
o Air Buangan dari Oil Catcher, dan
o Dampak Sosial, Ekonomi, Budaya, dan Kesehatan.
 Evaluasi Tingkat Kritis, yang merupakan evaluasi terhadap potensi risiko di
mana suatu kondisi akan melebihi baku mutu atau standar lainnya.

 Evaluasi Ketaatan, yang merupakan evaluasi terhadap tingkat kepatuhan


untuk memenuhi berbagai ketentuan yang terdapat dalam izin lingkungan
atau pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam dokumen
pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup (RKL-RPL).

 Pelaksanaan Program Partisipasi Pemberdayaan Lingkungan yang


berorientasi pada Community Development (ComDev), sehingga akan
menciptakan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara mandiri.

ii. Program PenilaianPeringkatKinerja Perusahaan (PROPER)

 Selain menerapkan Analisis Mengenai Dampal Lingkungan, serta


pelaksanaan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup secara
periodik, PLN UPJB juga perlu mengejar bendera emas dari program
penilaian peringkat kinerja perusahaan yang diassess setiap tahun oleh
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia.

 Proper merupakan salah satu upaya Kementerian Negara Lingkungan Hidup


untuk mendorong penataan perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup
melalui instrument informasi. Dilakukan melalui berbagai kegiatan yang
diarahkan untuk: (1) Mendorong perusahaan untuk mentaati peraturan
perundang-undangan melalui insentif dan disinsentif, dan (2) mendorong
perusahaan yang sudah baik kinerja lingkungannya untuk menerapkan
produk bersih [7].
Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 16
General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

 Melalui proper kinerja lingkungan perusahaan diukur menggunakan warna,


mulai dari emas yang merupakan predikat terbaik, hijau, biru, merah,
hingga yang terburuk berwarna hitam.Secara berkelanjutan, PLN UPJB
perlu mendorong seluruh pembangkit listrik-nya untuk mendapatkan criteria
tertinggi dalam pemeringkat Proper. Sehingga selain menunjukkan tingkat
kepedulian terhadap kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat
sekitar, namun juga akan memperoleh citra yang positif di mata masyarakat
dan ajang unjuk gigi terhadap perusahaan-perusahaan lain di Indonesia.

2.3.2 Lingkungan Budaya

Kemajemukan Masyarakat Indonesia

Menurut Koenjtaraningrat, kebudayaan atau budaya adalah keseluruhan sistem gagasan,


tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan
milik diri manusia dengan belajar [8]. Dalam lingkup suatu negara, Indonesia yang
memiliki luas wilayah daratan sebesar 1,9 juta km2 dengan 17.000 pulau, terdiri atas
beraneka ragam suku, agama, ras, ideologi politik, dan budaya. Beberapa budaya yang
dominan dikaitkan dengan Indonesia yaitu istilah budaya timur, serta budaya yang
dipengaruhi oleh Islam sebagai agama mayoritas.

Dalam melihat kebudayaan Indonesia masa lampau, Geertz menyederhanakan


kemajemukan budaya Indonesia menjadi dua tipe ekosistem, yaitu: (1) Indonesia Dalam,
yaitu di pulau Jawa & Bali, dan (2) Indonesia Luar, yaitu di luar Pulau Jawa dan Bali.
Kebudayaan di “Indonesia Dalam” ditandai oleh tingginya intensitas pengolahan tanah
secara teratur dan menggunakan sistem irigasi atau pengairan untuk menghasilkan pangan
padi. Kebudayaan tersebut menggunakan tenaga kerja manusia dalam jumlah besar dan
menggunakan peralatan yang kompleks, menandakan manusia yang lebih berani merubah
ekosistem untuk kepentingan masyarakat dalam kelompoknya. Selain itu budaya
masyarakat tersebut dipengaruhi oleh Hinduisme yang kuat orientasinya pada status,
terutama di pusat-pusat kekuasaan (keratin). Sedangkan kebudayaan di “Indonesia Luar”,
berkembang atas perladangan yang baru beranjak dari kebiasaan hidup berburu. Sehingga
mereka cenderung menyesuaikan diri dengan ekosistem yang ada [9].

Menurut Harsja Bactiar, suku bangsa di Indonesia di bagi menjadi tiga golongan oleh
pemerintah, yaitu [10]:
Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 17
General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

1) Suku Bangsa
Di Indonesia terdapat sekitar 300 suku bangsa dengan sekurang-kurangnya 250
bahasa daerah. Geertz membagi dalam tiga klasifikasi yang lebih besar, yaitu: (1)
Kelompok dengan Bahasa Melayu Polinesia, di daerah Indonesia Barat dan
Tengah, (2) Kelompok dengan Bahasa Halmahera Utara, dan (3) Kelompok
dengan Bahasa Papua, termasuk di dalamnya Ambon-Timur, Sula-Bacan,
Halmahera Selatan, dan Papua [11]. Dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia,
telah terpengaruh juga kebudayaan India, Persia, Arab, Cina, dan Eropa Barat.

2) Golongan Keturunan
Merupakan kelompok yang berasal dari daerah di luar Indonesia ataupun karena
pencampuran dengan Indonesia (misal Indo-Eropa). Golongan keturunan
diharapkan dapat berasimilasi dengan suku bangsa di daerah tempat mereka
berada ataupun menganut kebudayaan nasional Indonesia. Sebagai contoh orang-
orang Tionghoa, yang merupakan keturunan Cina, pada umumnya mereka hidup
di perkotaan dan mendominasi sektor ekonomi perkotaan sehingga mendudukan
mereka pada kategori sosial yang cukup penting dalam masyarakat [12].

3) Masyarakat Terasing
Merupakan golongan suku bangsa yang terisolasi dan masih hidup dengan
berburu, meramu, berladang padi, atau hidup berpindah-pindah. Sebagai contoh
yaitu Penduduk Kepulauan Mentawai, Orang Donggo di pedalaman Sumbawa
Timur, atau penduduk lembah-lembah pegunungan tengah Papua.

Karena struktur budayanya yang kompleks, Indonesia berpotensi untuk menghadapi


masalah konflik antar kelompok etnis, kesenjangan sosial serta sulitnya integrasi
nasional. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan etnik, budaya, agama, dan bahasa, atau
dapat pula disebabkan oleh perbedaan sosial atau kesenjangan sosial antar kelompok
etnis.

Globalisasi Budaya di Indonesia

Kebudayaan bersifat dinamis, karena masyarakat akan mengembangkan kebudayaan


sebagai perwujudan upaya menanggapi kebutuhan hidup sesuai dengan tantangan
lingkungan dan keterbatasan kemampuan. Hal ini menyebabkan tidak adanya kebudayaan
yang asli dan belum terkena pengaruh dari luar. Sebagaimana Ralph Linton yang
Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 18
General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

menyatakan bahwa kalau ada bangsa yang ingin menghitung keaslian unsur kebudayaan,
paling banyak ia akan menemukan 15% bagian yang masih asli dan selebihnya adalah
hasil pengembangan dan perpaduan unsur-unsur kebudayaan asing dalam suatu
kebudayaan yang secara langsung merubah kebudayaan sebagai kerangka acuan yang
berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan [13]. Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya bahwa budaya merupakan gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia, maka
globalisasi budaya dapat diartikan sebagai proses di mana gagasan dan hasil karya
manusia relatif terlepas dari wilayah geografis. Masuknya budaya tanpa mengenal batas-
batas geografis tersebut didukung dengan kemajuan teknologi, baik itu teknologi
transportasi, komunikasi, dan lain sebagainya.

Banyak aspek budaya masyarakat yang terpengaruh oleh globalisasi, namun di sini hanya
akan dibatasi pengaruh globalisasi terhadap perilaku konsumtif masyarakat. Globalisasi
cenderung identik dengan globalisasi ekonomi atau dikenal dengan ekonomi pasar bebas
atau kapitalisme global. Di mana kapitalisme global tersebut akan menciptakan
masyarakat konsumen yang akan menkonsumsi semua produk kapitalisme tersebut.
Begitu pula perkembangan perilaku konsumtif di masyarakat Indonesia, terlihat dari
banyaknya pusat perbelanjaan di kota besar, makanan cepat saji atau fast food, industri
kecantikan, munculnya kawasan hunian mewah, bahkan kawasan pemakaman mewah.
Masyarakat konsumtif sudah tidak lagi mempertimbangkan fungsi atau kegunaan ketika
membeli suatu barang, namun pertimbangan prestise yang melekat pada barang tersebut.
Santoso menjabarkan beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku konsumtif
masyarakat, yaitu: [14]
 Di ciptakannya trend untuk membuat masyarakat melakukan pembelian;
 Membeli barang sebagai Self Reward System (Sistem pemberian upah) atas
kesuksesan yang diraih;
 Pembelian barang bisa menyelesaikan semua masalah;
 Identitas diri disetarakan dengan barang yang dimiliki;
 Masyarakat hanya berfokus pada barang yang mereka miliki.

Konsumerisme dalam masyarakat Indonesia tercermin dari gambar 2.3 yang


menunjukkan grafik penjualan energi listrik pada periode tahun 2000 hingga tahun 2011.
Penjualan tenaga listrik pada kelompok Rumah tangga bahkan lebih besar dibandingkan
kelompok Industri dan Bisnis sejak tahun 2007, sebagai tiga kelompok pelanggan dengan

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 19


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

konsumsi terbesar3. Di mana kelompok Rumah Tangga hanya menggunakan tenaga listrik
untuk aktivitas yang bersifat konsumtif seperti TV, Pendingin ruangan, kulkas, dan
sebagainya. Berbeda dengan kelompok bisnis yang di dalamnya termasuk unit-unit usaha
kecil (UKM) atau kelompok industri, yang menggunakan tenaga listrik untuk sektor
bisnis atau dengan kata lain usaha yang memutar roda perekonomian Indonesia.

65
Bisnis Industri Rumah Tangga
60
55 55
50 51
48
4647 46
4241 4444
4039
36 37 3636
34 33 34
31
27 28
25
23
21
17 18
15
11 12 13
11

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Gambar 2.3 Penjualan listrik pada segmen Bisnis, Industri, & Rumah Tangga 2000-
2011 (dalam TerraWatt-hour)

A. Peluang
i. Peluang Peningkatan Penjualan
Perilaku konsumtif masyarakat menyebabkan meningkatnya kebutuhan akan
energi listrik, khususnya pada sistem kelistrikan Jawa-Bali di mana PLN UPJB
beroperasi. Hal ini menimbulkan peluang bagi PLN UPJB untuk meningkatkan
penjualan energi listrik atau meningkatkan pangsa pasar.

ii. Meningkatnya Kualitas Tenaga Kerja


Dengan beraneka ragamnya masyarakat Indonesia, maka beraneka ragam pula
latar belakang tenaga kerja yang masuk di lingkungan UPJB. Dengan

3
PT PLN (Persero) membagi segmen pelanggannya ke dalam 5 kelompok, yaitu: Rumah Tangga
(R), Bisnis (B), Industri (I), Sosial (S), dan Pemerintah (P).

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 20


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

keanekaragaman maka akan terbentuk lingkungan kerja yang bersifat


multicultural, yang memiliki latar belakang yang berbeda dalam hal etnis,
budaya, agama dan lainnya. Hal ini dapat menjadi peluang peningkatan
performa kerja pegawai sebagai akibat dari terkolaborasinya sifat-sifat positif
dari masing-masing budaya yang ada.

iii. Terciptanya lingkungan usaha yang kondusif


Majemuknya tenaga kerja PLN UPJB dapat berakibat positif. Yaitu apabila
terdapat pegawai dengan latar belakang etnis yang sama dengan kelompok etnis
yang tinggal di lingkungan usaha PLN UPJB (posisi pembangkit), maka akan
tercipta lingkungan usaha yang kondusif. Hal ini timbul dari perasaan
keterwakilan kelompok etnis di lingkungan sekitar di dalam kegiatan usaha
PLN UPJB.

B. Tantangan
i. Konflik antar Kelompok Etnis
Adanya konflik antar etnis dapat mengganggu kegiatan usaha PLN UPJB, baik
konflik yang terjadi di dalam di antara para pegawai ataupun konflik yang
terjadi di lingkungan eksternal. Konflik eksternal misalnya demonstrasi dari
masyarakat sekitar pembangkit-pembangkit PLN UPJB dalam menuntut “hak”
untuk dapat dipekerjakan.

ii. Terbatasnya penyedia material lokal


Dengan perilaku masyarakat yang konsumtif maka tenaga listrik yang
dihasilkan oleh PLN hanya akan digunakan pada aktivitas-aktivitas yang tidak
menghasilkan (hanya bersifat konsumtif). Padahal dalam menjalankan kegiatan
usahanya, PLN masih menggunakan dana pemerintah (Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara) karena masih ada kelas-kelas konsumen dalam kelompok
Rumah Tangga yang mendapatkan Subsidi. Secara jangka panjang, hal ini
dapat berakibat pada kurangnya pemasok material dalam negeri yang
berkualitas, karena kurang berkembangnya industri-industri dalam negeri.
Perusahaan-perusahaan dalam negeri pun cenderung hanya berlaku sebagai
trader/ broker yang menjual material-material dari negara lain semisal Cina.
Lebih lanjut subsidi yang diberikan Pemerintah kepada PLN pun sebenarnya

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 21


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

bisa disalurkan untuk program yang lebih berguna bagi pengembangan kualitas
warga Negara Indonesia, misal pada sektor pendidikan dan kesehatan.

C. Implikasi Bisnis
i. Meningkatkan penjualan tenaga listrik
Dengan pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik yang tinggi, PLN UPJB harus
dapat merespond peluang untuk meningkatkan penjualan tenaga listrik dalam
sistim kelistrikan Jawa-Bali. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan
efisiensi pembangkitnya.

ii. Mengurangi potensi konflik ekternal


PLN UPJB harus secara aktif melaksanakan program community development
di lingkungan-lingkungan usahanya dan mengadakan kegiatan-kegiatan yang
melibatkan masyarakat secara rutin. Dengan demikian diharapkan terciptanya
kedekatan antara kegiatan usaha dengan masyarakat sekitar, menciptakan rasa
kepemilikan dan menghasilkan hubungan yang saling menguntungkan.

iii. Memprioritaskan kerjasama dengan Penyedia Material Domestik


Dengan prioritas kerjasama dengan Workshop dalam negeri baik dari
perusahaan BUMN maupun Swasta, maka akan meningkatkan pengalaman dari
workshop-workshop lokal tersebut. Dalam jangka panjang, hal ini penting guna
mengamankan kepastian ketersediaan spare part atau material yang dibutuhkan
oleh pembangkit-pembangkit PLN UPJB, dan mengurangi ketergantungan
terhadap perusahaan manufaktur asli/ Original Equipment Manufacturer.

iv. Mengurangi potensi konflik internal


Potensi timbulnya konflik antar pegawai dengan latar belakang yang berbeda-
beda baik dari segi etnis, budaya, agama, dll, dapat dihindarkan melalui
pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang menimbulkan kerekatan antara pegawai.
Kegiatan tersebut misalnya family gathering, outbond, outing ke tempat wisata,
kegiatan olahraga, kegiatan agama, dan lain sebagainya.

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 22


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

2.3.3 Lingkungan Politik Domestik

Otonomi & Pemekaran Daerah di Indonesia

Adanya otonomi daerah di Indonesia di atur melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun


2004 tentang Pemerintahan Daerah yang disahkan pada tanggal 15 Oktober 2004 oleh
Presiden RI Megawati Soekarno Putri. Pemerintah Daerah dalam hal ini yaitu Gubernur,
Bupati, atau Walikota dan perangkat daerah, berperan sebagai unsur penyelenggara
pemerintahan daerah. Di mana Otonomi daerah merupakan pemberian hak, wewenang,
dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam menyelenggarakan otonomi, pemerintah daerah memiliki hak untuk: [15]
1) Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya,
2) Memilih pimpinan daerah,
3) Mengelola aparatur daerah,
4) Mengelola kekayaan daerah,
5) Memungut pajak daerah dan retribusi daerah,
6) Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya lainnya yang berada di daerah,
7) Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah, dan
8) Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan.

Sedangkan pemekaran daerah di Indonesia di atur melalui Peraturan Pemerintah Nomor


129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan
dan Penggabungan Daerah yang ditetapkan pada tanggal 13 Desember 2000 oleh
Presiden RI Abdurahman Wahid. Karena Perpres itu dianggap sudah tidak sesuai lagi
dengan perkembangan ketatanegaraan dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah,
maka Perpres 129 kemudian dirubah dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007
tentang Tata Cara Pembentukan Penghapusan dan Penggabungan Daerah yang ditetapkan
oleh Presiden RI DR. H. Susilo Bambang Yudhoyono. Pembentukan daerah yang
dimaksud dapat berupa penggabungan daerah atau bagian daerah yang bersanding atau
pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih. Di mana pembentukan daerah
tersebut dapat berupa pembentukan daerah provinsi atau daerah kabupaten/ kota [16].
Tabel 1 menunjukkan pertumbuhan pemekaran daerah yang terjadi dalam periode tahun
1950 hingga 2005 [17].
Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 23
General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

Tabel 2.1 Pembentukan Daerah periode tahun 1950 hingga 2005


Periode Provinsi Kabupaten/ Kota
1950 - 1955 6 99
1956 - 1960 16 145
1961 - 1965 3 16
1966 - 1970 1 11
1971 - 1998 1 33
1999 - 2005 6 136
Jumlah 33 440

Pembentukan atau pemekaran daerah tersebut dari tahun ke tahun mengalami


peningkatan, sebagaimana dilihat melalui gambar 3 berikut yang memperlihatkan jumlah
Propinsi dan Kabupaten/ Kota secara tahunan pada 1999-2007 [18]. Hal tersebut menjadi
kecenderungan baru dalam struktur pemerintah di Indonesia yang menimbulkan pro dan
kontra di berbagai kalangan. Sebagaimana Fitrani menyatakan bahwa pemekaran telah
membuka peluang terjadinya bureaucratic and political rent-seeking, yaitu kesempatan
untuk memperoleh keuntungan dana, baik dari pemerintah pusat maupun dari penerimaan
daerah sendiri. Banyak daerah yang lalu menetapkan berbagai pungutan untuk
meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang menyebabkan perekonomian daerah
berbiaya tinggi [19]. Selain itu, muncul pula dugaan bahwa pemekaran daerah merupakan
kepentingan kelompok elit di daerah yang menginginkan jabatan dan posisi strategis.

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 24


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

PROPINSI KAB/ KOTA

440 440 456


416
376
341 354
326
303

26 26 30 30 30 32 32 33 33
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Gambar 2.4 Jumlah Provinsi dan Kabupaten/ Kota

Otonomi daerah dan pemekaran di Indonesia sejatinya memiliki tujuan yang mulia, yaitu:
(1) Meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat; (2) Memperkokoh basis
ekonomi rakyat; (3) Mengatur perimbangan keuangan daerah dan pusat; (4) Membuka
peluang dan lapangan pekerjaan; dan (5) Memberikan peluang daerah mendapatkan
investor secara langsung. Namun beberapa masalah timbul seperti jumlah kelembagaan
yang cenderung berlebihan, struktur organisasi yang cenderung besar, serta belum
memperhitungkan kriteria efektivitas dan efisiensi kelembagaan yang baik.

Bappenas dan UNDP dalam laporannya melakukan evaluasi atas daerah otonom baru
(DOB) melalui 4 aspek utama, yaitu: (1) perekonomian daerah, (2) keuangan daerah, (3)
pelayanan public, dan (4) aparatur daerah [18].

 Dalam aspek perekonomian, pertumbuhan ekonomi DOB lebih fluktuatif


dibandingkan daerah induk yang relatif lebih stabil juga terjadi pelepasan
penduduk miskin dari daerah induk ke DOB sehingga menciptakan konsentrasi
penduduk miskin.
 Dari aspek keuangan daerah, DOB menunjukkan kinerja keuangan yang relatif
konstan dibandingkan daerah induk yang cenderung meningkat. DOB juga
memiliki ketergantungan fiskal yang lebih tinggi dibandingkan daerah induk.

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 25


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

 Dari aspek pelayanan publik, secara umum masih berada di bawa kinerja
pelayanan publik daerah control. Hal ini disebabkan oleh: (1) tidak efektifnya
penggunaan dana, (2) keterbatasan SDM, (3) terbatasnya pemanfaatan layanan
public\k yang diberikan.
 Dari aspek aparatur daerah, kualitas aparatur DOB masih sangat rendah meskipun
ada peningkatan presentase aparat dengan pendidikan sarjana. Beberapa masalah
yang ditemui yaitu: (1) ketidaksesuaian aparatur yang dibutuhkan dengan yang
ada, (2) kualitas aparatur yang rendah, (3) aparatur yang bekerja dalam kondisi
underemployment.

Pemilu dan Korupsi

Pemilu merupakan mekanisme dalam berdemokrasi untuk memilih pejabat yang akan
duduk dalam lembaga-lembaga perwakilan rakyat, perwakilan daerah, dan pimpinan
eksekutif. Selain itu pemilu juga merupakan bagian dari proses pendidikan politik,
sehingga tidak hanya partai politik atau kandidat saja yang berkepentingan namun juga
rakyat sebagai pemilih. Namun sejak pertama kali di lakukan pada tahun 1955 di
Indonesia, pemilu gagal dalam memfasilitasi pembentukan pondasi yang kuat dan solid
untuk pemerintahan yang efektif. Di mana pemenang terbesar dari pemilu pada tahun
1955 hanya mendapatkan 22% suara, 34% suara pada pemilu tahun 1999, 21% suara pada
tahun 2004, dan hanya 20,85% suara pada tahun 2009 [20].

Terdapat empat faktor dalam pemilu, yaitu: (1) kandidat, (2) program kerja dan isu
kandidat, (3) oranisasi kampanye (mesin politik), dan (4) sumber daya/ uang. Namun
menurut ICW, uang merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam pemilu, karena
tanpanya ketiga faktor yang lain akan menjadi tidak berarti [21]. Di Indonesia biaya
politik masih tergolong mahal. Sebagaimana penelitian oleh Pramono Anung yang
mencatat bahwa calon legislatif harus mempersiapkan dana sekitar Rp 300 jt hingga Rp
22 milyar untuk maju dalam pemilihan, bahkan ada caleg yang mengeluarkan dana
hingga Rp 18 milyar hanya untuk membayar konsultan politik [22]. Seorang kandidat
dalam tingkat kota atau kabupaten pun harus berkontribusi terhadap partai, tidak hanya
pada tingkat kabupaten/ kota namun pada tingkat provinsi atau bahkan nasional. Hal
tersebut menjadikan proses pemilu di Indonesia hanya dapat diikuti oleh seseorang
dengan dana besar.

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 26


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

Tabel 2.2 Persentase perolehan suara dalam pemilu (dalam persen)


Partai 1999 2004 2009
PDI-P 34 18 14.0
GOLKAR 22 21 14.5
PKB 12 10 4.9
PPP 10 8 5.3
PAN 7 6 6.0
PBB 2 2 -
DEMOKRAT - 7 20.9
PK/ PKS 1 7 7.9
GERINDRA - - 4.5
HANURA - - 3.8
LAIN-LAIN 12 21 18.3

Fenomena “biaya mahal” dalam politik Indonesia, rentan menjadi penyebab terjadinya
korupsi pemilu. Mohtar Masoed mendefinisikan korupsi sebagai perilaku yang
menyimpang dari kewajiban formal suatu jabatan publik karena kehendak untuk
memperoleh keuntungan ekonomis atau status bagi diri sendiri, keluarga dekat atau klik
[23]. Menurut Open society Justice Initiative korupsi pemilu adalah praktek pendanaan
kampanye – baik penerimaan maupun pengeluaran – yang menciptakan hubungan
koruptif antara penyumbang dan partai politik atau kandidat yang didukungnya maupun
pola perilaku koruptif yang terjadi antara peserta pemilu dan pemilih. Sebagai contoh,
tabel 3 menunjukkan pola politik uang yang tercatat dalam beberapa laporan pemantauan
pemilu tahun 1999 [21].

Berdasarkan hasil kajian ICW dalam pemilu, terdapat 3 (tiga) hal penting berkaitan
dengan politik uang dalam pemilu, yaitu [24]:
 Waktu pembagian politik uang, yaitu pada fase penetapan kandidat, masa
kampanye menjelang pemilihan dan pasca-pemungutan suara.
 Pelaku politik uang, didominasi oleh tim sukses yang dibentuk oleh kandidat.
 Modus politik uang, (sebagaimana tabel 2.3).

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 27


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

Tabel 2.3. Pola Korupsi 1999


Pola Kasus Penjelasan
Membagikan uang kepada peseta temu
1 Pemberian uang secara langsung 26 kader, membagikan uang kepada massa
kampanye, serangan fajar, serangan malam
Pemberian uang secara tidak Pembagian uang melalui kepala desa, tokoh
2 2
langsung agama, dan perkumpulan
Penggunaan fasilitas kredit dan Penggunaan KUT, kredit koperasi, dan
3 7
pemutihan kredit penyaluran kredit lunak
Penggunaan proyek dana sosial Penggunaan dana JPS, proyek penyediaan
4 7
pemerintah pupul
Membantu lembaga sosial
5 3 Sumbangan pembangunan mesjid dan gereja
keagamaan
Pembuatan KTP gratis, pelayanan kesehatan,
6 Pelaksanaan acara bakti sosial 2
dan pemberian bantuan seragam sekolah
7 Pemberian sembako 3 Pembagian beras dan gula
8 Pemberian barang dan fasilitas 1 Pembagian tape karaoke
Instruksi melakukan sesuatu untuk
9 2 Pemasangan bendera partai
partai dengan imbalan uang
Janji memberikan pekerjaan, kucuran kredit,
Janji memberikan kucuran dana jika
10 8 bunga rendah, modal usaha, dan dana
memilih partai
bantuan pertanian

Dengan dibutuhkannya sumber dana (uang) dalam memperlancar proses politik dalam
pemilu, mengakibatkan politisi memiliki kecenderungan untuk membangun hubungan
dengan sektor bisnis. Kekuasaan dan otoritas politik digunakan untuk memberikan
peluang dan meningkatkan posisi bisnis, sementara keuntungan yang diperoleh dari bisnis
digunakan untuk memperluas pengaruh politik. Yoshihara Kunio menyebutkan hubungan
tersebut sebagai politico-business [25]. Hubungan saling dukung antara politik dan bisnis
biasanya terjadi pada saat pelaksanaan pemilu atau disebut sebagai electoral corruption.
Dan berlanjut setelah pemilu, di mana pihak yang berkuasa dalam politik membentuk
kebijakan-kebijakan publik yang menguntungkan bisnis.

A. Peluang
i. Adanya aturan baku mengenai transparansi perusahaan
Dengan terbitnya Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik, maka terdapat peluang bagi PLN sebagai salah satu lembaga
Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 28
General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

publik untuk meningkatkan transparansi perusahaan. Dengan meningkatnya


keterbukaan informasi publik maka kepuasan pelanggan atau masyarakat akan
meningkat pula.

ii. Terbentuknya Lembaga Anti Korupsi (baik lembaga pemerintah maupun


lembaga swadaya)
Dalam mencegah praktik-praktik korupsi baik secara internal maupun eksternal
maka dibutuhkan adanya gerakan bersama dari korporasi (pelaku bisnis) dengan
lembaga anti korupsi. Lembaga anti korupsi tersebut misalnya, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Indonesia Corruption Watch (ICW),
Transparency International Indonesia (TII) dan lainnya.

iii. Rendahnya anggaran daerah baru untuk membangun infrastruktur


Dengan terbatasnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi daerah yang baru
terbentuk, maka dibutuhkan peran sektor bisnis untuk membangun infrastruktur,
misalnya listrik. Daerah-daerah tersebut merupakan peluang PLN UPJB dalam
meningkatkan pangsa pasar dalam Sistem Kelistrikan Jawa Bali.

iv. Kerjasama dengan Pemimpin Pemerintahan Daerah baru


Adanya peluang kerjasama antara pelaku bisnis dengan pemimpin pemerintahan
daerah dalam bentuk kesepakatan bersama. Misal dalam pembentukan Kawasan
Industri, Pemerintah Daerah dapat memberikan wadah atau menjembatani antara
pebisnis yang akan membangun industry dalam kawasan industri dengan PLN
UPJB sebagai penyedia energi listrik. Kerjasama juga dapat dilakukan untuk
membantu menyalurkan Corporate Social Respondsibility kepada masyarakat di
sekitar pembangkit PLN UPJB.

B. Tantangan
i. Potensi perusahaan dijadikan “sapi perah” pada saat pemilu
PLN UPJB sebagai salah satu perusahaan “plat merah” erat kaitannya dengan
politisi, baik itu dalam lembaga legislatif, maupun eksekutif. Politisi-politisi
tersebut bepotensi untuk meminta dana “sumbangan” apabila ia sebaai
uncumbent mencalonkan kembali pada pemilu mendatang.

ii. Proses pengadaan yang tidak fair & efisien


Dalam menjalankan proses bisnisnya, PLN UPJB berhubungan dengan banyak
pemasok dalam proses pengadaan barang/ jasa. Baik itu pemasok material,
Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 29
General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

maupun bahan bakar (energy primer). Tidak jarang pemilik perusahaan yang
berbisnis dengan PLN UPJB merupakan politisi yang sedang menjabat. Kondisi
ini rentan terhadap adanya intervensi, sehingga berujung kepada proses
pengadaan barang/ jasa yang tidak fair, tidak efisien, dan tidak efektif (atau
merugikan perusahaan).

C. Implikasi Bisnis
i. Membentuk Komitmen Bersama /Collective action
PLN UPJB dapat membuat komitmen bersama dengan seluruh vendor yang
bekerjasama dengan PLN UPJB, dan Publik untuk membuat komitmen
pelaksanaan proses pengadaan barang/ jasa secara fair dan tidak melakukan
upaya yang melanggar hukum.

ii. Bekerjasama secara aktif dengan Lembaga Anti Korupsi


Dalam memproteksi perusahaan terhadap adanya kemungkinan tindak koruptif
baik dari dalam ataupun dari luar perusahaan, PLN UPJB harus secara aktif
bekerjasama dengan lembaga anti korupsi (misal KPK, ICW, dan TII). Selain
itu PLN UPJB dapat juga bekerja sama dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan
Barang/ Jasa Pemerintah (LKPP) untuk melakukan proses pendampingan
pengadaan. Dengan demikian maka PLN UPJB dapat menghindari
ketidakefisienan proses pengadaan barang/ jasa.

iii. Kemitraan dengan pemerintah Daerah


Dengan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah, maka PLN UPJB dapat
berperan serta dalam membangun masyarakat melalui program Corporate
Social Respondsibility yang tepat guna dan tepat sasaran. Pemerintah Daerah
juga dapat berperan sebagai katalisator dalam mengarahkan pembangunan
infrastruktur yang dapat dilakukan oleh PLN UPJB. Sehingga kedua pihak
mendapatkan keuntungan dari kemitraan strategis ini.

2.3.4 Lingkungan Politik Internasional

ACFTA

ACFTA atau ASEAN – China Free Trade Area merupakan kesepakatan yang dibuat
antara Negara-negara ASEAN dengan Cina untuk mewujudkan kawasan perdagangan

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 30


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan perdagangan barang baik tariff
maupun non-tarif, meningkatkan aspek pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi,
sekaligus peningkatan kerjasama ekonomi.

ACFTA mulai dibentuk pada saat kepala Negara kedua pihak menandatangani ASEAN –
China Comprehensive Economic Cooperation pada 6 November 2001 di Brunei
Darussalam. Lalu dilakukan penandatanganan Framework Agreement on Comprehensive
Economic Cooperation between ASEAN and People’s Republic of China pada 4
November 2002 di Kamboja. Pada 6 Oktober 2003 di Indonesia disepakati perubahan
protokol pertama, lalu disepakati protokol perubahan kedua pada 8 Desember 2006.
Indonesia sendiri telah membentuk Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004 tanggal 15
Juni 2004 untuk mendukung ACFTA. Selain itu, beberapa Keputusan Menteri dan
Peraturan Menteri juga dikeluarkan pada periode 2004 hingga 2008 untuk memperkuat
pelaksanaan ACFTA khususnya dalam hal tariff bea masuk barang [26].

Pada era globalisasi ini, Cina merupakan salah satu negara yang berhasil menunjukkan
performa yang sangat baik. Pada tahun 2011, MGI4 mencatat bahwa Cina telah menjadi
kekuatan ekonomi kedua setelah Amerika. Pertumbuhan Produk Domestik Bruto pada
periode 2000 hingga 2010 mencatat peningkatan yang paling besar yaitu sebesar 11,5%
diikuti oleh India sebesar 7,7% dan Indonesia sebesar 5,2% [27].

4
MGI ialah akronim dari McKinsey Global Institute, merupakan lembaga riset cabang dari
McKinsey & Company yang dibentuk pada tahun 1990 untuk melakukan penelitian tentang
ekonomi global.

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 31


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

Cina 11.50
India 7.70
Indonesia 5.20
Slovakia 4.90
Rusia 4.90
Korea Selatan 4.20
Turki 4.00
Polandia 3.90
Estonia 3.80
Cili 3.70
Brasil 3.60
Afrika Selatan 3.50
Republik Ceko 3.40
Australia 3.10
Israel 3.10

Gambar 2.5 Pertumbuhan Produk Domestik Bruto periode 2000-2010 (dalam Persen)

Turki 0.80
Belanda 0.80
Indonesia 0.80
Korea Selatan 1.10
Meksiko 1.20
Australia 1.50
Spanyol 1.50
India 1.70
Kanada 1.70
Rusia 1.90
Italia 2.20
Inggris 2.40
Brasil 2.50
Perancis 2.80
Jerman 3.60
Jepang 5.90
Cina 7.30
Amerika 15.10

Gambar 2.6 Realisasi Produk Domestik Bruto Tahun 2011 (dalam $ triliun)

Dengan bertumbuh pesatnya kekuatan ekonomi Cina di dunia sebagaimana ditunjukkan


Gambar 2.5 dan 2.6, maka negara-negara ASEAN mencoba mengambil peluang dengan

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 32


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

melakukan perjanjian ACFTA yaitu untuk meningkatkan akses pasar ekspor ke Cina
dengan tingkat tariff yang lebih rendah dan meningkatkan kerja sama dalam membentuk
aliansi strategis.

Namun selain memberikan dampak positif, perjanjian ACFTA juga dapat menimbulkan
dampak negative bagi Indonesia, khususnya bagi produsen domestic yang produknya
sejenis dengan produk yang diimpor oleh Cina. Dari data Badan Pusat Statistik Indonesia,
perdagangan Indonesia-Cina telah meningkat secara signifikan sejak tahun 2004 hingga
2013 dengan jumlah ekspor meningkat hampir lima kali lipat dan impor meningkat
sebesar tujuh kali lipat, sebagaimana dapat dilihat pada gambar 2.7. Namun sejak tahun
2008, nilai ekpor dari Indonesia menuju Cina selalu lebih kecil dibandingkan dengan nilai
impor dari Cina menuju Indonesia [28]

30,000

25,000

20,000

15,000

10,000

5,000

-
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Import Eksport

Gambar 2.7 Ekspor Impor Indonesia terhadap Cina (dalam Juta US Dollar)

Selain nilai ekspor Indonesia yang lebih kecil dibandingkan nilai impor dari Cina, produk
ekspor Indonesia pun masih didominasi oleh produk promer dan bahan bahan mentah dari
sektor pertanian, sedangkan produk impor dari Cina didominasi oleh produk manufaktur
dengan kategori komoditas mesin dan peralatan mekanik serta elektrik dan elektronik
yang menempati posisi dua teratas [29].

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 33


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

Gambar 2.8 Ekspor Indonesia terhadap Cina Tahun 2008 (dalam Juta US Dollar)

Gambar 2.9 Impor Indonesia dari Cina Tahun 2008 (dalam Juta US Dollar)

Masyarakat Ekonomi ASEAN (AEC) 2015

Pada deklarasi Bali Concord II tanggal 7 Oktober 2003, para kepala Negara ASEAN
menandatangani kesepakatan membentuk suatu Masyarakat ASEAN yang terdiri atas
Masyarakat Keamanan ASEAN, Masyarakat Ekonomi ASEAN, dan Masyarakat Sosial-
Budaya ASEAN. Kesepakatan tersebut didasari oleh tujuan untuk membina perdamaian,
menciptakan kesejahteraan, serta membangun sebuah identitas regional. AEC atau

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 34


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

Masyarakat Ekonomi ASEAN sendiri disepakati dengan ditandatanganinya ASEAN


Economic Community Blueprint pada 20 November 2007 di Singapura [30].

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dibentuk untuk menciptakan suatu pasar tunggal
dan berbasis produksi, yang akan memperkuat perekonomian, mempercepat integrasi
regional, memfasilitasi perpindahan pebisnis dan tenaga terampil, dan memperkuat
mekanisme institusional ASEAN. MEA memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) Pasar
dan Basis Produksi Tungal; (2) Kawasan Ekonomi yang kompetitif; (3) Pembangunan
Ekonomi yang adil; (4) Terintegrasi secara penuh untuk masuk ke ekonomi global,
sebagaimana gambar berikut [31].

Gambar 2.10 Karakteristik MEA 2015

Perekonomian Indonesia tidak dapat dipandang sebelah mata oleh Negara ASEAN lain,
karena Indonesia merupakan kekuatan ekonomi terbesar dengan Produk Domestik Bruto
mencapai $878 milyar pada tahun 2012 dan pertumbuhan PDB mencapai 6,2% (Gambar
2.11 menunjukkan pertumbuhan PDB per kapita Indonesia pada periode tahun 2000
hingga tahun 2013) [32]. Indonesia juga berpotensi menjadi kekuatan ekonomi terbesar
ke-tujuh pada tahun 2030 dengan 135 juta jiwa kelas menengah menurut laporan MGI
[27]. Namun dengan strategi yang kurang tepat, Indonesia dengan 247 juta jiwa
penduduknya hanya akan menjadi pasar utama pada saat dilaksanakannya MEA pada
tahun 2015.
Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 35
General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

Gambar 2.11 Realisasi PDB per Kapita (dalam Juta rupiah)

Sekertaris Kementrian Perindustrian, Ansari Bukhori, dalam FGD yang diadakan oleh
Kamar Dagang Indonesia membagi industry ke dalam dua bagian dalam menghadapi
MEA, yaitu: [33]
 Untuk mengisi pasar ASEAN
o Produk berbasis Agro (CPO, Kakao, dan Karet),
o Ikan dan produk olahannya,
o Tekstil & produk tekstil,
o Alas kaki,
o Kulit dan Barang kuklit,
o Furniture,
o Makanan & Minuman,
o Pupuk dan petrokimia,
o Mesin dan peralatannya serta logam dasar.
 Untuk mengamankan dalam negeri
o Otomotif,
o Elektronik,
o Semen,
o Pakaian Jadi,
o Alas Kaki,
o Makanan dan Minuman,
o Furniture.

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 36


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

Dalam pelaksanaan MEA, terjadi perpindahan barang, jasa, investasi, tenaga kerja terlatih
dan modal. Pada point yang terakhir, dapat dilihat melalui indicator FDI atau Foreign
Direct Investment, sebagaimana terlihat pada gambar 2.12 [34]. Walaupun Indonesia
memiliki pasar yang jauh lebih besar dari Singapura namun pemasukan FDI nya hanya
sebesar 17,5% dibandingkan total FDI, dibandingkan Singapura yang mendapatkan
pemasukan sebesar 46,6%. Hal ini mungkin selaras dengan pencapaian “Ease of Doing
Business” Indonesia yang hanya menempati peringkat 128 dari 185 negara yang disurvey,
yang menunjukkan bahwa masih adanya keterbatasan dalam regulasi dan infrastruktur
dalam pelaksanaan bisnis di Indonesia [35].

Laos 333

Filipina 450

Brunei 629

Kamboja 783

Thailand 6,320

Vietnam 8,000

Malaysia 9,156

Indonesia 13,304

Singapura 35,520

Gambar 2.12 FDI Inflow pada tahun 2010 (dalam Juta US Dollar)

A. Peluang
i. Meningkatkan Akses Pasar
Dengan adanya perjanjian ACFTA maupun MEA 2015 akan meningkatkan
peluang berkembangnya pasar PT PLN (Persero) UPJB ke luar negeri. Dengan
core competency sebagai manager asset pembangkitan, PLN UPJB dapat
masuk ke industri pembangkitan listrik Myanmar, Vietnam, maupun Cina yang
memiliki karakteristik pembangkit listrik thermal.

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 37


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

ii. Investasi Asing


Adanya peluang masuknya investasi asing, baik melalui obligasi maupun
melalui Project Fund, yang berguna untuk melakukan penambahan kapasitas
pembangkitan yang saat ini dimiliki oleh PLN UPJB. Hal ini akan membantu
dalam mengejar ketertinggalan pertumbuhan beban permintaan akan energi
listrik, dan masih rendahnya rasio elektrifikasi di Indonesia yang menunjukkan
masih besarnya peluang penambahan market share di lingkungan domestik.

iii. Transfer Knowledge & Technology


Peluang untuk bekerja sama dengan sesama pelaku bisnis dalam industri
pembangkitan listrik akan semakin bertambah. Dengan tingginya teknologi
pembangkitan yang telah dimiliki oleh Cina dan Thailand, maka PLN UPJB
dapat memanfaatkannya untuk mendapatkan knowledge maupun teknologi
yang dapat mengoptimalkan risiko-biaya-kinerja. Tenaga ahli – tenaga ahli dari
negara Cina maupun negara ASEAN lain juga dapat dipekerjakan dan terlibat
dalam peningkatan kedewasaan proses bisnis perusahaan.

iv. Efisiensi Biaya Pemeliharaan


Dengan dibukanya jalur perdagangan barang/ dan jasa, maka PLN UPJB
berpeluang untuk mendapatkan material atau equipment yang lebih baik
kualitasnya, lebih rendah dari segi harga, dan lebih banyak pilihannya. Hal ini
juga berpeluang untuk mengurangi ketergantungan PLN UPJB kepada Original
Equipment Manufacturer dari Cina dan Jepang, karena adanya pilihan material
lain.

B. Tantangan
i. Berkurangnya Ketersediaan dan Meningkatnya Harga Energi Primer
Satu hal yang paling signifikan dalam industri pembangkitan listrik yaitu bahan
bakar atau energi primer. Dalam pelaksanaan proses bisnisnya, proporsi biaya
energi primer (Bahan Bakar Minyak, Batubara, dan Gas Alam) PLN UPJB
menyita anggaran sebesar 85%-90% dari total anggaran. Dengan dibukanya
jalur perdagangan bahan bakar, maka pasar domestik bahan bakar akan menjadi
kurang menarik bagi para pemasok batubara karena harga bahan bakar di luar
negeri yang lebih mahal. Maka perlu adanya Domestic Market Obligation, atau
adanya regulasi khusus yang dapat mengamankan ketersediaan energi primer
bagi PLN di saat MEA 2015 telah diterapkan.
Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 38
General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

ii. Meningkatnya Persaingan


PLN UPJB harus dapat meningkatkan efektifitas dan effisiensi untuk bersaing
dengan pesaing yan semakin bertambah dari Cina maupun Negara ASEAN
lain. Dengan tingginya pertumbuhan permintaan energi listrik di dalam negeri,
maka akan mengundang pemain industri pembangkitan listrik dari Cina
maupun negara ASEAN lain untuk masuk. Saat ini banyak perusahaan kelas
dunia yang mengelola pembangkit-pembangkit listrik di negara ASEAN seperti
TNB dari Malaysia ataupun EGAT dari Thailand.

iii. Meningkatnya Arus Barang atau Material yang Tidak Berkualitas


Sejak diberlakukannya ACFTA, barang impor dari Cina yang masuk ke
Indonesia meningkat secara signifikan (sebagaimana Gambar 5), dan mayoritas
barang yang masuk yaitu mesin dan peralatan mekanik (atau hasil industri
manufaktur). Rencana implementasi MEA 2015 berpotensi akan menyebabkan
hal yang serupa, yaitu derasnya arus barang masuk ke Indonesia. PLN sebagai
salah satu BUMN menggunakan aturan Pemerintah dalam melaksanakan
pembelian material/ equipment, yaitu dominan pada pemilihan material dengan
harga yang terendah (dengan spesifikasi yang serupa). Hal ini akan
meningkatkan kemungkinan PLN akan mendapatkan barang dengan kualitas
ataupun layanan purna jual yang kurang baik. Sehingga akan berakibat negatif
pada keandalan mesin-mesin pembangkit listrik.

iv. Kurang Bersaingnya Kualitas Pegawai


Tenaga kerja di Indonesia akan berhadapan langsung dengan tenaga-tenaga ahli
dari negara ASEAN. Kurangnya kompetensi atau skill pegawai PLN UPJB
akan menjadi ancaman, atas persaingan dengan kompetitor-kompetitor baru.

C. Implikasi Bisnis
i. Mengamankan ketersediaan Energi Primer
Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan kontrak pembelian energi primer
jangka panjang. Baik dengan supplier domestic maupun dengan supplier di
Negara ASEAN lain. PLN UPJB juga perlu mengusulkan kepada pemerintah
untuk menerapkan DMO (Domestic Market Obligation) sehingga ekspor energi
primer, khususnya Batubara masih dibatasi.

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 39


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

ii. Kerjasama dengan Workshop Lokal


PLN UPJB dapat menjalin kerjasama dengan workshop-workshop domestik,
khususnya dengan sesama BUMN ataupun Anak Perusahaan BUMN, dalam
penyediaan spare part atau material bagi UPJB. Dengan inisiatif ini, maka PLN
UPJB akan mendapatkan beberapa manfaat:

 Berkurangnya ketergantungan pasokan material dari OEM (Original


Equipment Manufacturer)
 Meningkatkan ketersediaan spare part atau material
 Menjalankan strategi Kementerian Perdagangan Indonesia dalam
menghadapi MEA 2015, yaitu mengamankan pasar dalam negeri. Hal ini
didapatkan dengan bertambahnya pengalaman workshop-workshop lokal
dalam memproduksi material pembangkit listrik yang dimiliki oleh PLN
UPJB.

iii. Masuk ke Pasar Luar Negeri


Dengan pengalaman PLN UPJB dalam mengoptimalkan risiko-biaya-kinerja
pembangkit-pembangkit listrik thermal, dan pengelola pembangkit dengan aset
terbesar pada Sistem Kelistrikan Jawa-Bali, maka PLN UPJB berpeluang untuk
dapat masuk ke dalam industri pembangkitan listrik luar negeri. PLN UPJB
dapat memulai dengan mengumpulkan data pembanding dari TNB (Malaysia)
ataupun EGAT (Thailand), dan menentukan target pasar.

2.3.5 Lingkungan Sosial

Potensi Konflik Sosial

Menurut Furnivall, masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat di mana sitem nilai
yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial yang menjadi bagian-bagiannya adalah
sedemekian rupa sehingga para anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap
masyarakat sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan atau bahkan
kurang memiliki dasar-dasar untuk saling memahami satu sama lain [36]. Sama halnya
dengan Furnivall, Pierre L. Van Berghe menyebutkan beberapa karakteristik dari
masyarakat majemuk, yaitu [37]:
 Terjadi segmentasi dalam bentuk kelompok-kelompok yang memiliki
kebudayaan berbeda,
Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 40
General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

 Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam lembaga yang bersifat non-
komplementer,
 Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggota terhadap nilai-nilai
yang bersifat dasar,
 Secara relative seringkali mengalami konflik-konflik antar kelompok,
 Secara relative integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling
ketergantungan di dalam bidang ekonomi,
 Serta adanya dominasi politik olehsuatu kelompok atas kelompok-kelompok
yang lain.

Adanya pengelompokan dalam masyarakat yang majemuk (in-group dan out-group)


menimbulkan potensi konflik yang terjadi di antara kelompok-kelompok tersebut.
Djamaludin Ancok mencontohkan contoh perbedaan antara kelompok penduduk asli
dengan pendatang yang memiliki potensi terjadinya konflik [38].
 Dari asal penduduk (Penduduk Transmigran Vs Penduduk Non-Transmigran),
 Penduduk Asli Vs Perusahaan yang beroperasi di wilayah penduduk asli
 Penduduk Asli dengan Perusahaan Lainnya,
 Perusahaan Vs Perusahaan Lainnya.

Dengan pengelompokan sebagaimana di atas, akan timbul diskriminasi kelompok yang


mengutamakan kepentingan kelompok in-group dan mengalahkan kepentingan kelompok
out-group. Hal ini timbul karena adanya: (1) Generalisasi perilaku kelompok luar, yaitu
perbuatan seorang anggota kelompok luar digeneralisasi dan semua anggota kelompok
luar dianggap sama perbuatannya, dan (2) Solidaritas kelompok dalam, di mana apabila
ada satu anggota kelompok dalam dirugikan maka semua anggota kelompok in-group
merasa dirugikan pula. Potensi-potensi konflik ini akan sangat merugikan bisnis, karena
perusahaan cenderung dijadikan kambing hitam atas konflik yang mungkin telah terjadi
di dalam masyarakat itu sendiri ataupun atas permasalahan yang ditimbulkan oleh
perusahaan berbeda namun dalam satu lingkungan geografis yang sama.

Dalam dunia pembangkitan listrik tanah air pun peristiwa terjadinya konflik masyarakat
(masyarakat versus bisnis) sudah tidak asing lagi, beberapa peristiwa tersebut antara lain:
 Penyanderaan bus karyawan PLTU Tanjung Awar-awar, Tuban, Jawa Timur
pada 11 Februari 2014. Hal ini didasari oleh tuntutan masyarakat dari desa
Wadung, Rawasan, Mentoso, Kaliuntu, dan Beji Kecamatan Tuban untuk dapat

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 41


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

ikut dipekerjakan di PLTU tersebut. Tuntutan agar 60% pekerja non-skill


merupakan warga lingkungan sekitar. Kejadian ini tidak sampai menghentikan
kegiatan operasional pembangkit [39].
 Demonstrasi warga Batang menolak Pembangunan PLTU Batang, Jawa Tengah
pada 4 Oktober 2013. Hal ini terjadi didasari oleh kekhawatiran mereka bahwa
PLTU tersebut akan mencemari lingkungan dan pantai yang ada di sekitar lokasi
pembangkit [40].
 Pemblokiran jalan oleh warga sekitar Proyek PLTU Langkat Desa Tanjung pasir,
Kecamatan Pangkalansusu, Kabupaten Langkat pada 3 Januari 2012.
Demonstrasoi warga tersebut dipicu oleh tuntutan mereka agar pihak pembangun
proyek PLTU melakukan perbaikan jalan. Hal ini mengakibatkan aktivitas
pekerjaan di lokasi proyek berhenti [41].
 Demonstrasi warga Banten terhadap PLTU Banten pada 1 Maret 2012. Hal ini
dilakukan oleh warga yang menuntut pemerataan program Corporate Social
Respondsibility (CSR). Kejadian ini tidak sampai mengganggu kegiatan
operasional pembangkit listrik [42].
 Pengusiran pekerja proyek PLTU Cirebon oleh warga pada 28 September 2010.
Dalam kasus ini warga berhasil masuk ke dalam areal proyek pembangunan
PLTU dan memulangkan seluruh pekerja proyek yang masih bekerja, termasuk di
dalamnya terdapat beberapa pekerja asing. Atas peristiwa ini, kegiatan proyek
diberhentikan sementara [43].

Terjadinya eksalasi konflik sebagaimana peristiwa-peristiwa di atas, menurut Djamaludin


Ancok disebabkan oleh [38]:
 Adanya perasaan “deprivasi” (kehadiran perusahaan mengambil sumber daya
ekonomi) tanpa adanya kompensasi yang layak menurut persepsi mereka.
 Adanya provokator (preman, tokoh politik, dan pihak lain) yang memanfaatkan
situasi tersebut untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
 Adanya benturan pribadi yang digeneralisasikan menjadi benturan kelompok.
 Kondisi konflik lebih mudah meledak kalau sudah pernah terjadi konflik
sebelumnya:
o Intensitas korban (jumlah yang meninggal atau luka-luka)
o Kerugian harta benda

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 42


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

o Frekuensi terjadinya konflik sebelumnya, beserta intensitas korban jiwa


dan kerugian harta.

Koflik yang terjadi dengan penduduk dapat merugikan kepentingan bisnis, sebagaimana
contoh pada peristiwa-peristiwa konflik yang telah dipaparkan sebelumnya. Maka perlu
adanya tindakan-tindakan preventif yang perlu dilakukan oleh sektor bisnis jauh-jauh hari
sebelum terjadi konflik dengan penduduk sekitar ataupun dengan perusahaan lain dalam
areal lingkungan yang sama.

Fenomena Generasi Y di Lingkungan Kerja

Menurut survey5 yang dilakukan oleh Dunamis Consulting pada Oktober 2013, 25%
karyawan di Indonesia merupakan Generasi Y. Berikut ini merupakan fakta-fakta yang
ditunjukkan oleh hasil survey tersebut [44].
 33% responden memiliki karyawan dari berbagai generasi dan mengalami
kendala dalam berkolaborasi.
 37% responden menyatakan bahwa mayoritas karyawan adalah generasi Y dan
para pimpinan bingung mengatasi sikap unik mereka.
 26% karyawan merupakan Generasi X yang berusia antara 32 hingga 45 tahun.
 25% karyawan merupakan Generasi Y yang berusia di bawah 32 tahun.
 60% pemimpin organisasi di Indonesia adalah Baby Boomers.
 14% pemimpin organisasi di Indonesia adalah Generasi X.

Adanya perbedaan generasi dalam suatu organisasi ini akan menggeser pola
kepemimpinan, mengubah proses kerja, bahkan mengubah sistem dan kebijakan dalam
organisasi.

Menurut Djamaludin Ancok, Generasi Y merupakan generasi yang lahir di antara Januari
1980 hingga Desember 1990. Sebutan lain bagi Generasi Y antara lain: the Millennial
Generation, Generation Next, The Net Generation, dan Echo Boomers. Generasi Y
datang dari keluarga yang memiliki pencapaian ekonomi yang lebih baik dibandingkan
dengan kondisi orang tuanya [45].

5
Responden terdiri atas 51 organisasi

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 43


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

Gambar 2.13 Generasi angkatan kerja menurut De meuse [46]

Masing-masing generasi sebagaimana gambar 2.13 memiliki karakteristik yang berbeda


sebagaimana yang dijelaskan oleh Schultz berikut ini [47].
 Baby Boomers, merupakan generasi terbesar yang kompetitif di dalam mencari
pekerjaan dan promosi. Mereka cenderung pekerja keras, workaholics,
menghabiskan 60 jam kerja dalam seminggu dan mengorbankan waktu mereka
bersama keluarga mereka untuk mempertahankan pekerjaan atau untuk
memperoleh bayaran yang lebih tinggi dan promosi.
 Generasi X, cenderung lebih terbuka terhadap pekerjaan yang tradisional, puas
dalam penggunaan komputer, mempertanyakan otoritas, mengutamakan otonomi
dan kebebasan dalam pekerjaan maupun kehidupan pribadi mereka.
 Generasi Y, mengutamakan diri sendiri dan membutuhkan adanya feedback,
penghargaan dan pujian yang konstan dari atasan mereka. Generasi Y memiliki
harga diri yang tinggi, entrepreneurial dan menginginkan pekerjaan yang
memiliki arti sesegera mungkin, antusias terhadap pekerjaan. 90% Generasi Y
menginginkan jam kerja yang fleksibel, menuntut kreatifitas, dan memberikan
kesempatan bagi mereka untuk memiliki dampak bagi dunia, serta menginginkan
rekan kerja yang membuat pekerjaan menjadi menyenangkan.

Berikut ini merupakan hasil penelitian Justine James, Sally Bibb dan Simon Walker yang
menganalisa Generasi Y dari 12 negara, yaitu: Cina, India, Singapura, Pakistan, Korea,
Malysia, Filipina, Hongkong, Vietnam, Srilangka, Thailand, dan Banglandes, yang lalu
dibandingkan dengan data dari Inggris, Amerika Utara dan Selatan, Afrika, dan Afrika
Selatan, Eropa Barat dan Timur, dan Mediterania. Didapatkan bahwa 4 alasan paling
utama yang dicari dari Generasi Y terhadap atasannya yaitu [48]:
 Memiliki kesempatan untuk belajar dan berkembang,
 Memiliki kesempatan untuk melakukan pekerjaan yang menarik bagi mereka,
 Memiliki posisi pekerjaan yang sesuai dengan talentanya,
 Memiliki mentor di tempat kerja.

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 44


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

Manajer yang baik yang mau memahami dan mempercayai sangat penting bagi Generasi
Y. Hal ini merupakan alasan utama mengapa Generasi Y meninggalkan perusahaan.
Faktor “dipercaya” juga merupakan alasan utama bagi Generasi Y untuk dapat
termotivasi dan rekat (engage) di lingkungan kerja mereka [48].

Gambar 2.14 Sektor Industri/ profesi yang tidak diinginkan Generasi Y [48]

Gambar 2.15 Sektor Industri/ profesi yang diinginkan Generasi Y [48]

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 45


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

Gambar 2.16 Apa yang diinginkan Generasi Y dari atasannya [48]


A. Peluang
i. Tersedianya Pekerja (Non-Skill) di setiap lokasi pembangkit listrik
Besarnya keinginan masyarakat sekitar lokasi pembangkit untuk ikut serta
dalam proses bisnis PLN UPJB. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh PLN UPJB
sebagai sumber pekerja non-skill untuk mendukung kegiatan operasional
pembangkit listrik.

ii. Masih tingginya minat Generasi Y pada sektor Engineering


PLN UPJB memiliki peluang untuk mendapatkan tenaga kerja dari Generasi Y
yang berkinerja tinggi dan bertalenta karena masih tingginya minat mereka
terhadap Sektor Engineering. Merupakan keuntungan bagi perusahaan apabila
dapat merekrut Generasi Y yang energetik dan berpeluang untuk menjadi
pemimpin masa depan yang kuat.

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 46


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

B. Tantangan
i. Potensi konflik masyarakat yang dapat mengganggu kegiatan operasional
pembangkit listrik
Pada kenyataannya telah terjadi beberapa konflik antara PLN UPJB dengan
penduduk yang tinggal di sekitar lokasi pembangkit. Dan di masa yang akan
datang tidak menutup kemungkinan hal yang sama akan terjadi kembali.
Terutama apabila terdapat provokator yang dapat menggerakkan massa untuk
kepentingan pribadi atau kelompoknya.

ii. Tingkat turn-over yang tinggi dari Generasi Y


Talent generasi Y rata-rata hanya bertahan bekerja selama setahun, atau bahkan
dalam hitungan bulan. Kecenderungan tenaga kerja Generasi Y yang bersifat
mudah bosan dan ingin bekerja cepat terkadang berbentrokan dengan kebijakan
perusahaan yang masih tradisional. Generasi Y juga mudah berpindah ke
perusahaan lain akibat ketidaksesuaian dengan manajer atau atasannya.

C. Implikasi Bisnis
i. Memastikan program Engagement pegawai sesuai dengan generasi kerja
Dengan semakin banyaknya Generasi Y di lingkungan kerja maka perusahaan
harus menyesuaikan kebijakan program engagement sesuai generasi kerja yang
ada. Di sini PLN UPJB perlu mengintensifkan program coaching dan
mentoring untuk dapat meningkatkan keterikatan dan mencegah turn-over dari
pegawai yang masuk dalam kategori Generasi Y. Hal ini dapat dicapai dengan
memasukkan para lini manajernya ke dalam pelatihan bagaimana melakukan
coaching dan mentoring yang baik.
ii. Menciptakan lingkungan kerja yang menarik bagi Generasi Y
Dengan menciptakan lingkungan kerja yang pas bagi Generasi Y, maka
peluang tersedianya talent-talent baru dengan akan terjaga. Sebagaimana
gambar 5 yang menunjukkan bahwa sektor engineering masih merupakan
sektor ketiga yang paling inginkan oleh Generasi Y. Maka apabila ditambah
dengan lingkungan kerja yang modern, fun, pilihan jam kerja yang flexible,
akan semakin banyak Generasi Y dengan talenta tinggi yang tertarik untuk
bergabung dengan PLN UPJB.
iii. Melakukan upaya preventif terhadap potensi konflik dengan masyarakat

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 47


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

PLN UPJB perlu melakukan Community Development (ComDev) melalui


anggaran CSR yang ada. Pelaksanaan ComDev yang tepat dapat dilakukan
dengan meng-hire konsultan untuk dapat melakukan mapping kebutuhan
penduduk. PLN UPJB juga perlu membangun hubungan baik dengan tokoh
masyarakat sekitar yang dapat menjadi penengah apabila terjadi konflik.

2.3.6 Lingkungan Teknologi Pemrosesan

Perkembangan Teknologi PLTU

Teknologi berkembang atas tiga faktor yang dikenal dengan 3E, yaitu: (1) Engineering
atau faktor teknis, (2) Economy atau faktor ekonomis, dan (3) Environment atau faktor
lingkungan. Pada tahap awal, faktor ekonomi lah yang menjadi prioritas pertama dalam
membangun fasilitas pembangkitan listrik, diikuti dengan faktor teknis lalu lingkungan.
Namun seiring dengan bertambahnya kesadaran lingkungan maka faktor lingkungan
berangsur menempati prioritas pertama baru diikuti oleh faktor teknis dan kemudian
faktor ekonomis.

Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh pembangkit-pembangkit listrik telah menjadi
perhatian masyarakat dunia pada tahun-tahun belakangan ini, khususnya pada
pembangkit dengan bahan bakar dari fossil fuel. Selain itu, beberapa isu yang menjadi
perhatian utama bagi pembangkit-pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dengan bahan
bakar batubara yaitu:
1. Biaya investasi pembangkit yang tinggi,
2. Tingginya pemakaian listrik sendiri untuk sistem pendukung pembangkit
(Coal & Ash Handling System),
3. Pembuangan abu sisa pembakaran,
4. Dampak lingkungan akibat kegiatan pertambangan dan transportasi batubara,
5. Rendahnya kesiapan/ availability pembangkit akibat tingginya gangguan
eksternal,
6. Rendahnya efisiensi pembangkit.
Untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, maka pembangkit listrik perlu meningkatkan
tingkat efisiensi turbin dan boiler. Sehingga dikenal istilah Clean Coal Technology atau
teknologi batubara bersih yang diartikan sebagai teknologi yang berusaha untuk

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 48


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

mengurangi tingkat emisi di hulu, hilir, atau dalam proses pembangkitan tenaga listrik.
Beberapa pilihan teknologi tersebut yaitu [49]:
 Supercritical dan Ultra-supercritical (USC) pada metode pembakaran
batubara serbuk atau pulverized coal combustion (PCC),
 Pembakaran lapisan mengambang atau Circulating Fluidized Bed
Combustion (CFB), dan
 Pembakaran kombinasi dengan gasifikasi batubara atau Integrated Coal
Gasification Combined Cycle (IGCC).
Ketiga teknologi pembakaran PLTU tersebut di atas dapat menjadi pilihan dalam
berinvestasi pembangkit listrik yang lebih ramah lingkungan karena akan menghasilkan
emisi gas rumah kaca (seperti SOx dan NOx) yang lebih rendah dibandingkan teknologi
pembakaran PLTU konvensional.

Sedangkan untuk pembangkit-pembangkit eksisting, dapat melakukan modifikasi atau re-


engineering yang bertujuan meningkatkan efisiensi boiler dan turbin, serta menurunkan
“kapasitas hilang” pembangkit (hidden capacity). Hidden capacity merupakan jumlah
kapasitas yang tidak bisa dibangkitkan dari suatu pembangkit karena ada factor gangguan
pembangkit dan selisih antara Kapasitas terpasang dengan Daya Mampu Netto
pembangkit tersebut.

Berikut ini merupakan grafik yang menunjukkan adanya degradasi efisiensi dan kapasitas
pembangkit listrik dalam satu life cycle atau umur asset pembangkitnya.

Gambar 2.17 Degradasi Efisiensi dan Kapasitas suatu unit PLTU

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 49


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

Pada gambar 2.17 di atas dapat dilihat bahwa seiring berjalannya waktu, tingkat efisiensi
dan kapasitas pembangkit cenderung menurun, dan dikembalikan ke level design melalui
rehabilitasi (pemeliharaan tahunan) atau melalui proses rekondisi aset. Sedangkan apabila
ingin mencapai level di atas design, kita perlu melakukan peningkatan level efisiensi dan
kapasitas melalui teknologi baru dengan melakukan modifikasi atau re-engineering.

Beberapa metode yang berkembang saat ini dalam meningkatkan efisiensi dan kapasitas
pembangkit listrik tenaga uap batubara, di antaranya yaitu:

1. Metode Peningkatan Kapasitas


a. Coal Mixing dan/ atau Coal Layering
Kedua metode ini dilakukan untuk tujuan yang sama, yaitu untuk
mendapatkan tingkat efisiensi dan profil beban pembangkit yang
diinginkan. Coal Mixing merupakan pencampuran dua tipe batubara6,
yaitu batubara berkalori rendah dengan batubara berkalori sedang, yang
dilakukan di tempat penyimpanan batubara/ coal yard. Sedangkan Coal
Layering, merupakan proses penempatan tipe batubara tertentu pada
layer/ tingkat tertentu pada burner boiler. Misal batubara berkalori rendah
ditempatkan pada layer burner bawah dan atas dari boiler, sedangkan
batubara berkalori sedang ditempatkan pada layer burner tengah dari
boiler.

b. Coal Drying
Batubara dengan kalori rendah, seperti lignit dan subbituminous,
memiliki kandungan air yang lebih tinggi dibandingkan dengan batubara
berkalori tinggi. Kadar air yang tinggi tersebut dapat mengakibatkan,
proses handling batubara yang lebih sulit, selain itu akan berpengaruh
pada aliran kalor, laju aliran massa dari emisi gas buang, dan konsumsi
air yang dibutuhkan oleh pendingin. Coal drying merupakan proses
pengeringan batubara yang dilakukan untuk mengurangi kandungan air
agar nilai kalori batubara tersebut meningkat. Beberapa technology coal
dryer di antaranya yaitu:

6
Batubara berkalori rendah memiliki nilai panas sebesar + 4.200 kCal/kg, sdangkan batubara
berkalori sedang memiliki nilai panas sebesar + 4.900 kCal/kg.

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 50


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

 Fluidized Bed Dryer


 Binderless Briquetter
 Pyrolysis System
 UBC Process
 Microwave Dryer

2. Metode Peningkatan Efisiensi


a. Tiny-Oil Burner/ Plasma Burner
Tiny-oil burner merupakan modifikasi atas boiler burner untuk
mengurangi pemakaian high speed diesel (HSD) yang dibutuhkan pada
saat melakukan start-up pada boiler PLTU Batubara. Penggunaan Tiny-
oil burner ini dapat mengurangi penggunaan minyak hingga 85%.

b. Heat Balance Modelling


Metode ini dilakukan untuk mengetahui pemodelan panas seluruh
peralatan unit pembangkit, dengan begitu maka operator unit pembangkit
dapat melakukan analisa gangguan atau Root Cause Failure Analysis
dengan lebih akurat.

Perkembangan Mobil Listrik di Indonesia

Menurut Outlook Energi Indonesia 2012, sejak tahun 2012 pemerintah telah mengambil
beberapa kebijakan energy dalam melakukan difersivikasi energy, salah satunya ialah
pemanfatan mobil listrik [50]. Mobil listrik dapa menjadi solusi atas permasalahan
transportasi yang berkaitan dengan keterbatasan cadangan minyak atau bahan bakar
konvensional dan permasalahan lingkungan hidup karena akan mengurangi polusi/ emigi
gas buang serta pemanasan global yang ditimbulkan atas penggunaan bahan bakar fosil.

Kendaraan listrik merupakan semua jenis kendaraan penumpang yang digerakkan


oleh motor listrik baik secara keseluruhan maupun sebagian, misal dikombinasikan
dengan motor bakar. Beberapa kelompok kendaraan listrik di antaranya yaitu [51]:
1. Kendaraan Listrik Baterai/ Battery Electric Vehicle
Merupakan kendaraan listrik yang menggunakan baterai sebagai penyimpan
energy listrik yang nanti dikonversi menjadi energy mekanik oleh motor listrik.
Baterai tersebut memperoleh energy listrik melalui proses pengisian eksternal
seperti jala-jala listrik.

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 51


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

2. Kendaraan Listrik Hibrida/ Hybrid Electric Vehicle


Merupakan kendaraan yang menggunakan dua system penggerak yaitu motor
bakar dan motor listrik. Dalam hal ini motor bakar merupakan penggerak utama
kendaraan, sedangkan motor listrik bekerja pada kondisi medan di mana tingkat
konsumsi bahan bakarnya besar seperti pada saat start, kecepatan rendah saat lalu
lintas ramai, saat kendaraan start/stop, dan medan berat seerti tanjakan.
3. Kendaraan Listrik Hibrida Colok/ Plug-in HEV
Merupakan kendaraan hibrida yang telah dilengkapi dengan pengisian oada
sumber energy listrik eksternal, misalnya jala-jala listrik.
4. Kendaraan Emisi Nol/ Zero Emision Vehicle
Merupakan kendaraan yang tidak mengeluarkan emisi gas buang.

Beberapa peralatan utama kendaraan listrik, di antaranya ialah [51]:

1. Motor Listrik, merupakan sumber energy mekanik atau tenaga penggerak yang
dihasilkan dengan merubah energy listrik yang tersimpan pada baterai melalui
konversi elektromagnetik. Motor listrik yang digunakan antara lain motor dc,
motor induksi, serta motor sinkron magnet permanen.
2. Rangkaian Elektronika Daya dan Kontroler, merupakan perangkat elektronik
yang digunakan dalam kendaraan listrik untuk mengatur energy listrik yang
dialirkan menuju motor listrik sehingga diperoleh kondisi operasi yang optimum.
Operasi yang dimaksud yaitu pada saat kendaraan starting, akselerasim cruising,
pengereman, serta berhenti.

Tabel 2.4. Jenis-jenis Motor Listrik [51]

Motor Spesifikasi

Motor DC Seri Daya: 3,5/ 3,6/ 4,3/ 40/ 49 kW | 70 HP


(dengan dan tanpa Tegangan DC Bus: 48/ 72/ 288
sikat Pendingin: udara atau cair
Aplikasi: EV Plus, Chrysler TEV, Clio, EV-50

Motor Induksi Daya: 75/ 137 HP | 40 kW


Tegangan DC Bus
Pendingin: cair
Aplikasi: Ecostar, Ford Ranger, Impact, EV-50

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 52


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

Motor Sinkron Daya: 2/18,5/ 24/ 35/ 50/ 62/ 70/ 105/ 123 kW
Magnet Permanen Tegangan DC Bus: 72/ 120/ 240/ 244/ 288/ 330/ 345 V
Pendingin: cair
Aplikasi: micro car hingga truk

3. Baterai atau aki, adalah media penyimpan energy listrik dan merupakan teknologi
utama dalam meningkatkan jarak tempuh bagi kendaraan listrik. Teknologi saat
ini memungkinkan kendaraan listrik menempuh jarak 80 hingga 160 kilometer
untuk sekali pengisian. Beberapa teknologi baerai yang telah dikembangkan di
antaranya yaitu:
a. Baterai dengan teknologi Timbal atau Lead Acid (PbA). Kelebihan: unjuk
kerjanya telah terbukti dan berbiaya rendah; Kelemahan: siklus hidup
rendah.
b. Baterai berbasis Nikel atau Nickel Cadmium (NiCd). Kelebihan: unjuk
kerja telah terbukti dan mampu beroperasi pada suhu yang rendah;
Kelemahan: unsur Kadmium bersifat racun.
c. Baterai dengan teknologi Nikel logam hibrida atau Nickel Metal Hybride
(NiMh). Kelebihan: merupakan modifikasi atas NiCd, dan memiliki
energy spesifik yang lebih besar dibandingkan PbA dan NiCd;
Kelemahan: Harga relative mahal.
d. Baterai dengan teknologi Lithium Ion (Li-Ion). Kelebihan: memiliki
energy dan daya spesifik dua kali disbanding NiMh dan berukuran lebih
kecil dibandingkan NiMh.

Walaupun mobil listrik memiliki beberapa kelebihan dibandingkan mobil bermesin bakar,
terdapat beberapa hambatan yang mengurangi potensi penggunaan mobil listrik secara
luas di Indonesia, diantaranya:
 Harga mobil listrik yang masih jauh lebih mahal dibandingkan dengan mobil
bermesin bakar. Hal ini dikarenakan harga baterai yang masih mahal dan belum
diproduksi dalam jumlah yang besar.
 Masih rendahnya harga bahan bakar minyak di Indonesia, ditambah adanya
subsidi bagi jenis bahan bakar minyak tertentu yang menyebabkan keengganan
konsumen untuk berpindah dari mobil bermesin bakar ke mobil listrik.
 Belum tersedianya infrastruktur pendukung, seperti stasiun pengisian mobil
listrik di kota-kota di Indonesia.

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 53


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

A. Peluang

i. Tersedianya teknologi untuk meningkatkan efisiensi pembangkit dan


menurunkan hidden capacity
PLN UPJB memiliki peluang untuk dapat memanfaatkan teknologi-teknologi
yang ada untuk meningkatkan efisiensi pembangkit dan mengurangi losses
daya sehingga dapat meningkatkan penjualan energy listrik ke Sistem
Ketenagalistrikan Jawa Madura Bali. Beberapa teknologi yang telah dipaparkan
sebelumnya apabila dimanfaatkan secara optimal akan dapat mengurangi biaya
pokok penyediaan energy listrik sehingga akan meningkatkan posisi merit7
PLTU-PLTU yang dimiliki oleh UPJB dibandingkan dengan competitor di
dalam Sistem Jamali.

ii. Meningkatnya kesadaran lingkungan masyarakat yang akan berimpak pada


peningkatan penggunaan Mobil Listrik
Dengan bertumbuhnya penggunaan mobil listrik, maka akan meningkatkan
peluang PLTU-PLTU PLN UPJB dalam meningkatkan penjualan energy
listrik.

B. Tantangan

i. Munculnya pesaing dalam sektor pembangkit listrik yang memiliki tingkat


efisiensi yang lebih baik
Munculnya pembangkit baru dari competitor dengan aplikasi clean coal
technology, yang memiliki efisiensi lebih tinggi. Hal ini akan menyebabkan
turunnya merit order unit-unit pembangkit PLN UPJB dari pembeli (PLN).
Dengan turunnya merit order maka penjualan listrik dan laba operasi
perusahaan pun akan berkurang.

ii. Penerapan teknologi yang belum proven, berpotensi pada penurunan return
perusahaan

7
Merit order merupakan daftar unit pembangkit dengan biaya operasi yang marginal, sudah
termasuk oertimbangan biaya start-up dan shut-down, minimum start-up dan waktu keluar,
kendala bahan bakar, serta kendala operasi lainnya.

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 54


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

Banyaknya perusahaan yang menawarkan produk/ teknologi yang dapat


diaplikasikan pada unit pembangkit untuk menurunkan loses daya atau
meningkatkan efisiensi, memberikan ancaman kegagalan investasi apabila PLN
UPJB salah dalam menerapkan suatu teknologi. Misal dalam penerapan
teknologi Coal Drying, sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, di mana
terdapat banyak pilihan metode dengan tujuan yang sama namun belum tentu
cocok diterapkan pada unit-unit pembangkit PLN UPJB.

C. Implikasi Bisnis

i. Perkuatan sisi Enjinring PLN UPJB


Dengan melakukan perkuatan sisi enjinring diharapkan PLN UPJB dapat
memanfaatkan teknologi yang tepat dalam meningkatkan keandalan, efisiensi,
serta menurunkan loses daya unit pembangkit. Perkuatan sisi Enjinring dapat
dilakukan dengan meningkatkan skill dan kompetensi Enjinir PLN UPJB,
atupun berkerja sama dengan Perusahaan dan/ atau Universitas dalam
melakukan kajian atas kondisi unit pembangkit PLN UPJB dan cara
peningkatan kinerja-nya.
ii. Berperan aktif dalam mendukung penggunaan Mobil Listrik Nasional
PLN UPJB dapat berperan aktif dalam menciptakan pasar Mobil Listrik di
Indonesia, khususnya dalam Sistem Ketenagalistrikan Jawa-Madura-Bali.
Diantaranya melalui cara:
 Bekerja sama dengan perusahaan yang berkompeten dalam menciptakan
prototype mobil listrik dan infrastruktur yang mendukung, seperti stasiun
pengisian.
 Berperan aktif dalam melakukan sosialisasi penggunaan mobil listrik.
Salah satunya dengan menerapkan penggunaan kendaraan listrik untuk
kendaraan operasional tenaga kerja PLN UPJB.

2.3.7 Lingkungan Demografi

Beberapa data faktor demografi Indonesia yang tersedia antara lain sebagai berikut :

1. Jumlah penduduk. Jika dilihat dari data jumlah penduduk Indonesia tahun 2011
berjumlah sekitar 248.216.193 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk antara tahun

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 55


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

2006-2011mencapai 5.9%. Ketua BKKBN memperkirakan pada tahun 2013


diperkirakan jumlah penduduk Indonesia akan bertambah menjadi 250 juta jiwa
dengan pertumbuhan penduduk 1,49 persen per tahun.
2. Penyebaran penduduk. Penyebaran penduduk di Indonesia masih belum merata
hingga saat ini. Sebagian besar ( 60%) dari total penduduk Indonesia terkonsentrasi
di Pulau Jawa yang luasnya hanya 7% dari luas seluruh luas daratan Indonesia.
Sumatra menempati posisi kedua dengan jumlah penduduk mencapai 21% dari total
penduduk Indonesia dan Sulawesi menempati urutan ketiga dengan 7% dari total
penduduk Indonesia berdomisili di Pulau tersebut.
3. Komposisi Penduduk. Ditinjau dari segi usia , komposisi penduduk Indonesia terdiri
atas : a) 27,3% berusia 0 – 14 tahun; b) 66,5% berusia 15 – 64 tahun dan c) 6,1%
beruisa 65 tahun ke atas, dengan jumlah penduduk wanita lebih banyak dari pria
hanya dijumpai pada kelompok usia yang terakhir ( 65 tahun ke atas )

A. Peluang:
i. Indonesia sedang dan akan menikmati bonus demografi dengan terus
meningkatnya jumlah penduduk usia produktif sampai sekitar tahun 2030,
sehingga memudahkan dalam mendapatkan sumber tenaga kerja potensial.
ii. Jumlah penduduk yang besar, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi serta
rasio elektrifikasi Indonesia yang masih rendah memberikan peluang pasar
yang potensial bagi industry pembangkitan tenaga listrik.

B. Tantangan
i. Jika kualitas dan etos kerja SDM yang dimiliki kurang baik, bonus demografi
yang dialami Indonesia akan memberikan masalah, baik langsung maupun
tidak langsung kepada dunia usaha.

C. Implikasi Bisnis
i. Mengelola program perekrutan, pembinaan dan pengembangan SDM yang baik
dan professional guna mendapatkan dan menciptakan tenaga-tenaga ahli
professional di bidang sistem energi surya
ii. Mengembangkan CSR guna mendorong perbaikan ekonomi masyarakat sekitar

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 56


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

2.3.8 Lingkungan Pemerintah

Peran dan keterlibatan pemerintah dalam industry pembangkitan tenaga listrik tidak dapat
diabaikan. Melalui kebijakan Ketenagalistrikan yang tertuang dalam Undang-undang
Nomor 30 Tahun 2009 maka struktur industri usaha pembangkitan usaha pembangkitan,
usaha transmisi, usaha distribusi atau penjualan tenaga listrik berubah. Peran dan
kedudukan PT PLN (Persero) pun berubah dengan tidak lagi berperan sebagai PKUK
namun hanya sebagai PIUPTL. Dengan kedudukan demikian maka PLN disamakan
dengan pelaku usaha lain di bidang ketenagalistrikan dalam hak dan kewajiban. Dalam
UU tersebut juga diatur bahwa swasta menyelenggarakan usaha menyediakan tenaga
listrik, usaha distribusi dan atau usaha penjualan tenaga listrik sesuai dengan wilayah
usaha yang diberikan kepadanya dan juga dapat menyediakan tenaga listrik terintegrasi.
Hal tersebut dapat dilakukan di wilayah usaha yang belum dilakukan oleh pemegang izin
usaha penyediaan tenaga listrik yang lain. Berdasarkan hal tersebut maka pengembang
listrik swasta memiliki kesempatan yang lebih luas untuk menyelenggarakan tenaga
listrik [52].

A. Tantangan
i. PT PLN (Persero) bukan lagi bertindak sebagai Pemegang Kuasa Usaha
Ketenagalistrikan (PKUK).
ii. Terbukanya peluang bagi swasta untuk masuk dalam industri ketenagalistrikan
melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009.
iii. Meningkatnya persaingan dalam industri pembangkitan listrik.

2.3.9 Lingkungan Kebijakan Moneter dan Fiskal

Usulan RAPBN 2014 yang disampaikan Presiden SBY pada sidang paripurna DPR baru-
baru ini menunjukkan pendekatan pemerintah terlihat lebih hati-hati menghadapi
perkembangan ekonomi dan keuangan domestik maupun ketidakpastian perkembangan
global dewasa ini. Penurunan tajam defisit anggaran dari 2,38% dari PDB 2013 menjadi
1,49%, defisit keseimbangan primer dari Rp.111,6 triliun menjadi Rp.34,69 triliun, dan
pengurangan pinjaman LN baik berbentuk program maupun proyek dari Rp49,04 triliun
menjadi Rp.43,2 triliun, mensinyalkan peralihan kebijakan fiskal pemerintah yang
biasanya ekspansif ke kebijakan fiskal terkendali berbasis swadaya bebas dari

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 57


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

ketergantungan pada bantuan asing dan pengaruh dari perlambanan pemulihan ekonomi
AS dan krisis finansial Eropa.

Secara kumulatif Januari-Juli 2013 defisit neraca perdagangan Indonesia mencapai


US$5,65 miliar dan diperkirakan masih akan mengalami defisit hingga tahun 2015.
Defisit neraca perdagangan yang terjadi saat ini merupakan faktor penting yang pemicu
pelemahan nilai tukar rupiah. Untuk membantu mengurangi kebutuhan valuta asing
(valas) yang sangat menekan nilai rupiah, Bank Indonesia (Bl) merevisi aturan pinjaman
luar negeri bank. Untuk meredam kenaikan inflasi, langkah antisipatif diambil melalui
kebijakan peningkatan suku bunga Bank Indonesia yang dibarengi dengan strategi
pembiayaan fiskal Pemerintah, melalui penerbitan obligasi valas. Paket kebijakan yang
diluncurkan oleh Bl dan Pemerintah Rl ini cukup baik dalam meredam dampak krisis
global untuk jangka pendek.

Nilai Tukar Rupiah

Gambar 2.18. Nilai tukar dan harga saham periode tahun 2009-2013

Melemahnya rupiah dipicu oleh masih tingginya permintaan valuta asing domestik di
tengah pasokan yang terbatas dan meningkatnya tekanan terhadap kinerja transaksi
berjalan yang disebabkan oleh pertumbuhan ekspor yang masih terbatas dan impor yang
masih tinggi, sejalan dengan masih kuatnya permintaan domestik. Pergerakan rupiah juga
dipengaruhi oleh faktor eksternal yang menciptakan sentimen negatif. Kekhawatiran
terhadap dampak pengetatan kebijakan fiskal Amerika Serikat, kelangsungan program
stimulus ekonomi oleh The Fed, serta masih tingginya ketidakpastian prospek
penanganan krisis Eropa dan kondisi ekonomi makro Eropa yang masih lemah
menyebabkan masih rentannya proses pemulihan ekonomi global.

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 58


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

A. Peluang
i. Pertumbuhan ekonomi yang semakin baik akan meningkatkan kebutuhan
energi dalam negeri dan kemampuan daya beli masyarakat akan menjadi daya
tarik investasi swasta yang diperlukan dalam pembangunan sektor energi.
ii. Meningkatnya arus masuk PMA menjadi indikator masih kuatnya keyakinan
investor terhadap prospek ekonomi Indonesia.

B. Tantangan
i. Selama tahun 2012 dan 2013, proyeksi nilai tukar rupiah terhadap dolar
cenderung melemah sehingga secara langsung mempengaruhi struktur biaya
proyek dan produksi yang memiliki kandungan impor yang cukup tinggi.
ii. Kondisi ekonomi global yang masih tidak menentu dapat memicu lemahnya
pertumbuhan.

2.3.10 Lingkungan Ekonomi

Peningkatan PDB dan Kelas Menengah Indonesia

Indonesia telah menunjukkan performa yang cukup baik pada satu decade terakhir dengan
muncul sebagai kekuatan ekonomi dunia urutan ke-16 dengan total 55 juta pekerja
terlatih yang mendukung pertumbuhan ekonomi [27]. Menurut Competitiveness Report
dari World Economic Forum Indonesia berada di urutan ke 25 dalam kestabilan kondisi
ekonomi pada tahun 2012, yang meningkat cukup signifikan dari urutan ke-89 pada tahun
2007. Hal tersebut menempatkan Indonesia berada di atas level negara-negara BRIC
(Brazil: urutan ke-62, dan India urutan ke-99), dan Negara-negara tetangga di ASEAN
(Thailand: 27, Malaysia: 35, Filipina:36) [53].

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 59


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

Gambar 2.20. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia periode 2000-2010

Pertumbuhan ekonomi Indonesia didukung oleh tingginya tingkat konsumsi masyarakat


Indonesia, sebagaimana dapat dilihat pada gambar 2.21. Mc Kinsey juga telah
memproyeksikan bahwa 45 juta orang kelas menengah Indonesia akan meningkat
menjadi sejumlah 135 juta. Hal tersebut merupakan trend yang telah ditunjukkan sejak
tahun 1987 hingga 2010 sebagaimana terlihat pada gambar 2.22. Hal ini akan semakin
meningkatkan trend pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Gambar 2.21. Komposisi PDB Tahun 2013 (sumber BPS)

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 60


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

Gambar 2.22. Komposisi PDB Tahun 2013 (sumber BPS)

A. Peluang
i. Pertumbuhan kelas menengah masyarakat Indonesia (60% terhadap total
populasi – PDB per kapita sebesar US$3,850 pada tahun 2012) berpengaruh
terhadap meningkatnya kebutuhan akan kuantitas dan kualitas tenaga listrik
ii. Pertumbuhan PDB Indonesia terbesar ketiga pada periode 2000-2010 setalah
Cina dan India (sebesar 5,2%) yang berarti adanya peningkatan demand energi
listrik sebesar 8-9%

B. Tantangan
Pertumbuhan demand energi listrik yang tinggi menarik investor-investor baru dalam
industri pembangkitan listrik, yang menyebabkan tingkat persaingan semakin tinggi

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 61


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisa lingkungan di atas maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor
eksternal yang paling berpengaruh bagi PLN UPJB dalam industry pembangkitan tenaga
listrik yaitu:

1. Lingkungan Ekonomi
Hal ini terjadi karena PLN UPJB rentan terhadap adanya perubahan:
 Nilai Tukar Valuta Asing
Jika terjadi kenaikan nilai tukar valuta asing sebesar Rp. 1.000,- /USD 1 maka
hal ini akan berdampak terhadap kenaikan biaya operasi dan beban bunga
pinjaman rata-rata sebesar 10%.
 Harga energi primer
Komponen terbesar merupakan Biaya Batubara, yang jika terdapat perubahan
harga batubara sebesar USD 1/ton maka hal ini akan berdampak terhadap
kenaikan biaya operasi sebesar Rp. 15 Milyar hingga Rp. 25 Milyar per tahun.
Diikuti dengan Biaya Gas Alam, yang jika terjadi kenaikan harga Gas Alam
sebesar USD 1/BTU maka hal ini akan berdampak terhadap biaya operasi
dengan kenaikan sebesar Rp. 1 Milyar sampai Rp. 2,4 Milyar per tahun.
 Inflasi
Dengan total belanja barang dan jasa mencapai Rp 2 T per tahun, maka
kenaikan harga barang/ jasa akibat inflasi akan meningkatkan biaya
penyediaan energy listrik PLN UPJB secara signifikan.
Namun sebagai Unit Bisnis, PLN UPJB tidak dapat (atau belum dapat) melakukan
suatu tindakan lindung nilai atau hedging. Walaupun Kementerian BUMN melalui
Peraturan Menteri nomor PER-09/MBU/2013 telah mengeluarkan Kebijakan Umum
Transaksi Lindung Nilai, dan juga telah menerbitkan Standard Operation Procedure-
nya, bagian Finance PLN UPJB hanya berfungsi melakukan perencanaan, reporting
dan monitoring transaksi keuangan dan tidak memiliki fungsi yang memungkinkan
penerapan tindakan lindung nilai (paling tidak hingga makalah ini dibuat).

2. Lingkungan Teknologi Pemrosesan (Processing Technology)

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 62


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

Dengan semakin berkembangnya teknologi pemrosesn di bidang PLTU maka PLN


UPJB harus dapat mengambil peluang peningkatan efisiensi dan kapasitas melalui
penerapan teknologi yang tepat. Ketidak handalan dan kurang efisiennya unit-unit
PLTU PLN UPJB harus segera dipulihkan dengan melakukan investasi material yang
tepat sasaran dalam melakukan rehabilitasi dan rekondisi agar performa unit dapat
kembali ke disain awal(selain melaksanakan kegiatan Operasi dan Pemeliharaan
dengan mengacu kepada standar tata kelola pembangkit). PLN UPJB dapat bersinergi
dengan Konsultan yang kompeten dalam teknologi pembangkitan untuk dapat meraih
peluang penjualan tenaga listrik yang lebih besar dari sekarang. (Catatan: secara
kapasitas terpasang PLN UPJB tahun 2013 menempati urutan pertama dalam Sistem
Ketenagalistrikan JAMALI, namun secara penjualan energy hanya menempati urutan
ketiga setelah IP dan PJB).

3. Lingkungan Alam (Natural Environment)


Karena ke-14 unit pembangkit PLN UPJB merupakan unit pembangkit berbahan bakar
fosil, maka faktor lingkungan juga menjadi salah satu perhatian yang penting bagi
UPJB dalam usahanya menyediakan tenaga listrik. Untuk mendukung gerakan “go-
green” pada industry pembangkitan tenaga listrik, PLN UPJB dapat menggunakan
panduan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) dari
Kementerian Lingkungan Hidup. Dengan mengikuti panduan dalam PROPER tersebut
diharapkan organisasi dapat lebih peduli atas aturan terkait pencemaran lingkungan,
peningkatan efisiensi penggunaan sumber daya alam, dan pelaksanaan praktek bisnis
yang beretika dan mendorong kesejahteraan masyarakat. Pada tahun 2014, pencapaian
terbaik PLN UPJB yaitu memperoleh PROPER Hijau untuk Unit PLTGU Cilegon dan
PROPER Biru pada PLTU Labuan dan Suralaya 8. Namun PLTU Rembang dan
PLTU Paiton 9 masih mendapatkan PROPER Merah, yang berarti upaya pengelolaan
lingkungan hidup yang dilakukan tidak sesuai dengan persyaratan yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan. PLN UPJB perlu lebih serius lagi dalam
meningkatkan kinerja PROPER unit-unit pembangkitnya, terlebih bagi unit-unit
PLTU yang belum diikutkan dalam program tersebut. Pendekatan yang dapat
dilakukan misalnya melakukan benchmarking kepada PT Jawa Power, pengelola
PLTU Paiton, yang pernah mendapatkan PROPER Emas pada tahun 2013-2014.

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 63


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

3.2 Tindakan yang Disarankan


Berdasarkan analisa lingkungan eksternal, maka PLN UPJB perlu melakukan:

1. Membangun Green Power Plant, yang dilakukan dengan meningkatkan pencapaian


proper unit pembangkit dengan cara:
a. Memastikan efektifitas pelaksanaan Sistem Manajemen Terpadu.
b. Menerapkan Sistem Manajemen K3.
c. Menerapkan Sistem Manajemen Lingkungan.
d. Membuat Program CSR yang berkelanjutan.
2. Meningkatkan kompetensi organisasi dan menciptakan budaya kinerja tinggi, yang
dapat dilakukan dengan cara:
a. Meningkatkan kualitas SDM melalui Sertifikasi Kompetensi yang diakui secara
internasional (Misal: Certified Financial Analyst/ CFA, Certified Supply Chain
Professional, Certified Risk Management, dll)
b. Menyesuaikan kebijakan tenaga kerja dengan proporsi tenaga kerja yang dimiliki,
tanpa bertentangan dengan aturan/ ketetapan PLN Holding.
c. Membangun budaya Knowledge Management dengan menyediakan infrastruktur
(ICT/ Information Communication Technology) yang memadai.
3. Mengoptimalkan Kinerja dan Biaya Operasi dan Pemeliharaan (O&M) pengelolaan
Aset Pembangkit, yang dapat dilakukan dengan cara:
a. Meningkatkan kapasitas dan efisiensi unit pembangkit melalui penerapan
Clean Coal Technology. Dengan meningkatkan efisiensi unit pembangkit
maka Biaya Bahan Bakar (sebagai komponen biaya terbesar) akan
berkurang.
b. Mengembangkan strategi manajemen asset berbasis teknologi informasi
terintegrasi.

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 64


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

REFERENSI

1. Ibrahim, Ali Herman. 2008. General Check-Up Kelistrikan Nasional. Mediaplus


Network.
2. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2013. Status Lingkungan Hidup
Indonesia 2012: Pilar Lingkungan Hidup Indonesia.
3. Greenpeace Asia Tenggara. 2010. Laporan tentang Batubara Mematikan.
4. National Wildlife Federation. 1999. Clean the Rain, Clean the Lakes: Mercury in
Rain is Polluting the Great Lakes.
5. Republik Indonesia. 1999. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Analisi Mengenai Dampak Lingkungan.
6. Suratmo, F. Gunarwan. 2004. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Gajah
Mada University Press.
7. Kementrerian Negara Lingkungan Hidup. 2013. Status Lingkungan Hidup
Indonesia 2012: Pilar Lingkungan Hidup Indonesia.
8. Koentjaraningrat. 1996. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta.
9. Geertz, C. 1960. The Integrative Revolution, Primodial and Civil Politics in New
States. New York: The Free Press.
10. Bachtiar, Harsya. 1994. Masyarakat Indonesia, dalam majalah Ilmu-ilmu Sosial
di Indonesia jilid xx No 4.
11. Geertz, Hildred/ 1981. Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia. Penerjemah
A. Rahman Zainuddin, Yayasan Ilmu Sosial dan FIS-UI.
12. Moeis, Syarif. 2009. Pembentukan Kebudayaan Nasional Indonesia.
13. Linton, Ralph. 1936. The Study of Man.
14. Santoso, Benny. 2006. Bebas dari Konsumerisme. Yogyakarta: Penerbit Andi.
15. Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
16. Republik Indonesia. 2007. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78
Tahun 2007 tentang Pembentukan Penghapusan dan Penggabungan Daerah.
17. USAID Democratic Reform Support Program. 2006. Stock Taking on Indonesia’s
Recent Decentralization Reforms.
18. BAPPENAS-UNDP. 2008. Studi Evaluasi Dampak Pemekaran Daerah 2001-
2007.

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 65


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

19. Fitrani, Fitria, Hoffman Bert, dan Kaiser. 2005. Unity in Diversity? The Creation
of New Local Government in a Decentralising Indonesia.
20. Mas’oed, Mohtar. 2014. GBE : Domestic Politics. Materi Kuliah GBE MMUGM.
21. Indonesia Corruption Watch. 2010. Korupsi Pemilu di Indonesia.
22. http://tribunnews.com/nasional/2013/12/03/pramono-anung-biaya-politik-mahal-
menggerus-parpol
23. Mas’oed, Mohtar. 2008. Politik, Birokrasi dan Pembangunan. Pusataka Pelajar.
24. Indonesia Corruption Watch. 2014. Panduan Pemantauan Korupsi Pemilu.
25. Kunio, Yoshihara. 1990. Ersatz Capitalism.
26. Ditjen Kerjasama Perdagangan Internasional Direktorat Kerjasama Regional.
2010. ASEAN – China Free Trade Area.
27. McKinsey Global Institute. 2012. The Archipelago Economy: Unleashing
Indonesia’s Potential.
28. Badan Pusat Statistik. 2014. Data Ekspor-Impor menurut Negara.
29. Mohtar, Masoed. 2014. GBE : International Politics. Materi Kuliah GBE
MMUGM.
30. Departemen Perdagangan Republik Indonesia. . Buku Menuju ASEAN Economic
Community 2015.
31. Association of Southeast Asian Nations. 2008. ASEAN Economic Community
Blueprint. ASEAN Secretariat.
32. Badan Pusat Statistik. 2014. Produk Domestik Bruto Atas Dasar harga Konstan.
33. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51c8e5514f209/inilah-industri-
prioritas-pada-aec-2015 diakses pada 29 Juli 2013.
34. http://www.aienetwork.org/blog/38/is-indonesia-up-for-the-asean-economic-
community-2015 diakses pada 27 Maret 2014.
35. The World Bank. 2013. Ease of Doing Business 2013 – Indonesia.
36. Furnivall, J.S. 1967. Netherlands India: A Study of Plural Economy. Cambridge
at The University Press.
37. Berghe, Van den Pierre. 1967. Dialetic and Functionalism: Toward a Synthesis,
dalam N.J. Demerath III ett.al.eds, System, Change, and Conflict. The Free Press,
New York, Collier-McMillan limited.
38. Ancok, Djamaludin. 2014. GBE :Lingkungan Sosial dan Pengaruhnya pada
Bisnis. Materi Kuliah GBE MMUGM.

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 66


General Business Environment
PT PLN (Persero) UPJB

39. http://beritajatim.com/peristiwa/198063/blokir_jalan_pltu,_ratusan_warga_sander
a_bus_pjb.html
40. http://daerah.sindonews.com/read/2013/10/04/22/790744/ribuan-warga-batang-
demo-tolak-pltu
41. http://beritasore.com/2012/01/04/warga-blokir-jalan-aktivitas-pltu-langkat-
lumpuh-total
42. http://harianjayapos.com/detail-884-pltu-2-bantenlabuan-didemo--dana-csr-
diduga-sarat-penyimpangan.html
43. http://www.radarcirebon.com/demo-pltu-berhasil-pulangkan-pekerja.html
44. http://www.dunamis.co.id/index.php/knowledge/details/press/155
45. Ancok, Djamaludin. 2014. GBE :Social Change and Business How to Manage
Generation Y. Materi Kuliah GBE MMUGM.
46. De Meuse, Kenneth P.; Mlodzik, Kevin J. 2010. A Second Look at Generational
Differences in the Workforce: Implication for HR and Talent Management. Korn/
ferry Leadership and Talent Consulting.
47. Schultz, Duane and Sydney. 2010. Psychology and Work Today. Upper Saddle
River: Prentice Hall.
48. Justine James, Sally Bibb, & Simon Walker. 2008. Generation Y: Comparison
between Asia and the rest of the world, a summary report of the global ‘Tell it
how is is’ Research 2008.
49. The World Bank, 2008. Clean Coal Power Generation Technology Review:
Worldwide Experience and Implications for India.
50. BPPT, 2012. Outlook Energi Indonesia 2012: Pengembangan Energi Masa
Depan dalam Mendukung Pertumbuhan Ekonomi dan Ketahanan Energi
Nasional.
51. Nyoman S Kumara, -. Tinjauan Perkembangan Kendaraan Listrik Dunia Hingga
Sekarang.
52. Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang
Ketenagalistrikan.
53. World Economic Forum. 2012. The Indonesia Competitive Report 2011:
Sustaining the growth momentum and Global Competitiveness Reports 2012-
2013.

Galih H. Baskoro (12/341322/PEK/17411) 67

Anda mungkin juga menyukai