2019
Modul 4
Pertumbuhan Mikroorganisme : Kebutuhan akan Media dan Faktor Lingkungan
Percobaan 8
Faktor Fisik : Temperatur
I. Tujuan
Menentukan apakah suhu pertumbuhan optimum juga merupakan suhu ideal bagi enzim yang
mengatur aktivitas sel
Mengetahui pengaruh temperatur terhadap kehadiran sel vegetative dan spora, bakteri, jamur
dan ragi
II. Hasil Pengamatan
Tabel 2.1 Hasil Pengamatan Kelompok 1
Pengaruh Temperatur pada Pertumbuhan Bakteri dan Ragi
Hasil Pengamatan Keterangan
Tanggal Praktikum: 23-09-2019
Medium: Cawan Petri dengan Agar
Nutrisi dan Tabung Sabouroud
Bakteri: Serattia marcescens Kondisi
Awal: tidak terjadi apa apa
Tanggal Pengamatan: 25-09-2019
Hasil Pengamatan:
Untuk Cawan Petri 4C terdapat hanya 1
bentuk, hanya sedikit ekali yang berhasil
tumbuh pada suhu ini ditandai dengan
bintik warna merah
Untuk cawan petri pada suhu 20C dipakai
metode gores, bakteri tumbuh agak tebal
Cawan Petri 4C (konsentrasu bakteri tumbuh agak besar)
warna merah.
Untuk cawan petri pada suhu 37C lebih
banyak lagi yang tumbuh daripada 20C
menggunakan metode continous untuk
inokulasinya, jika dibandingkan dengan
keempat suhu, capet pada suhu ini yang
paling optimum untuk bakteri serratia
untuk tumbuh
Untuk cawan petri pada suhu 44C bakteri
masih ada yang tumbuh tapi masih lebih
banya daripada capet pada suhu 4C, dan
menghasilkan warna merah juga.
Cawan Petri 20C
Untuk pada Tabung Saboroud :
Untuk Tabung Saboroud pada pH 3,
disekliling tabung pada permukaan ada
warna merah dan ada sedikit merah di
bagian dalam cairannya
Untuk tabung saboroud pada pH 5, sama
dengan pH 3 kondisinya menghasilkan
warna merah lebih banyak di dalam
cairannya
Caawan Petri 37C Untuk tabung saboroud pada pH 7,
sekeliling ada sedikit merah, sekeliling
juga berwarna putih keruh
Untuk tabung saboroud pada pH9,
sekeliling putih membentuk lingkaran,
dan pada permukaan berubah menjadi
warna putih keruh hampir seluruh
permukaan tertutupi oleh warna putih.
Pengaruh Temperatur terhadap sel vegetatif dan spora bakteri, ragi dan jamur
Hasil Pengamatan Keterangan
Tanggal Praktikum: 23-09-
2019
Medium: Kaldu Glukosa
Bakteri: Serattia
marcescens, S.lutea dan
Micrococcus
Kondisi Awal: tidak
terjadi apa apa
Tanggal Pengamatan: 27-
09-2019
Hasil Pengamatan:
Pada pengamatan melalui
mikroskop dilakukan
Hasil Inokulasi dari tabung yang diinkubasi 37 hanya untuk S.lutea dan
selama 48jam Micrococcus dikarenakan
pada media glukosa untuk
serratia tidak tumbuh
sehingga tidak bisa
diamati. Metode
pewarnaan yang dipakai
adalah pewarnaan Gram
untuk pengamatan
micrococcus bakteri
berbentuk bulat (coccus)
dan menghasilkan warna
merah maka micrococcus
adalah Gram negatif.
Sedangkan untuk Sarcina
lutea berbentuk anggur
Tabel (sarcina) dan
menghasilkan warna ungu
2.2 Hasil
Preparat pewarnaan Gram berarti gram positif.
Pengaruh Temperatur terhadap sel vegetatif dan spora bakteri, ragi dan jamur
Sacharomyces
Serratia marcescens Micrococcus E.aerogenes
Suhu cerevisiae
Pigmen Pertumbuhan Pertumbuhan Pertumbuhan Pertumbuhan Gas
4C
°
(-)
Terlihat goresan bakteri
yang terbentuk sangat
tipis
20 C °
(+)
Terdapat goresan
berwarna putih yang
berarti adanya biakan
bakteri yang tumbuh
(+)
37 C
°
Terdapat goresan
berwarna putih yang
menandakan adanya
biakan bakteri yang
tumbuh. Pada suhu ini,
goresan biakan bakteri
paling tebal.
44 C
° (+)
Terdapat sedikit
goresan berwarna putih
yang menandakan
adanya biakan bakteri
yang tumbuh tidak
setebal pad asuhu 37 C °
Mesofil
Klasifikasi
(20-45°C)
Pengaruh Temperatur terhadap sel vegetatif dan spora bakteri, ragi dan jamur
E.coli B.cereus R.nigricans S.cerevisiae
4° C
(-)
Biakan bakteri yang
tumbuh hanya sedikit
20° C
(+)
Terdapat goresan
berwarna putih yang
menandakan adanya
biakan bakteri yang
tumbuh
37° C
(+)
Terdapat goresan
berwarna putih yang
menandakan adanya
biakan bakteri yang
tumbuh. Pada suhu ini,
goresan biakan bakteri
paling tebal.
44° C
(+)
Terdapat sedikit
goresan berwarna putih
yang menandakan
adanya biakan bakteri
yang tumbuh
Mesofil
Klasifikasi
(20-45°C)
Pengaruh Temperatur terhadap sel vegetatif dan spora bakteri, ragi dan jamur
Pewarnaan Tidak
Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Gram dilakukan
Pewarnaan Tidak
spora tumbuh
4° C
20° C
37° C
Pewarnaan Gram
Tidak terdapat
pertumbuhan bakteri
Terdapat
sedikit
20° C (+)
bakteri yang
tumbuh
Terdapat gelembung,
warna media berubah
menjadi agak keruh
Terdapat
banyak
bakteri yang
37° C (++)
tumbuh
mengikuti
pola
Terdapat gelembung
yang melebihi
sebelumnya, warna
media berubah
menjadi kuning
keruh
Tidak
terdapat
44° C (-)
pertumbuhan
bakteri
Tidak terdapat
gelembung
Klasifikasi Mesofil
Pengaruh Temperatur terhadap sel vegetatif dan spora bakteri, ragi dan jamur
Tidak terjadi
Tidak terjadi perubahan warna
perubahan warna maka tidak terdapat
maka tidak terdapat pertumbuhan bakteri Tidak terjadi
pertumbuhan bakteri perubahan warna
maka tidak terdapat
pertumbuhan bakteri
Tanggal Pengamatan : 25
September 2019
Pengamatan : Tidak terlihat
tanda-tanda pertumbuhan
bakteri
Temperatur Inkubasi : 37 C o
Tanggal Pengamatan : 25
September 2019
Pengamatan : Terlihat tanda-
tanda pertumbuhan bakteri,
walaupun tipis dan sedikit.
Temperatur Inkubasi : 20 C o
Tanggal Pengamatan : 25
September 2019
Pengamatan : Bakteri terlihat
tumbuh lebih banyak dan tebal
dibanding pada suhu 37 ,
o
Temperatur Inkubasi : 44 C o
Tanggal Pengamatan : 25
September 2019
Pengamatan : Sangat terlihat
tanda-tanda pertumbuhan
bakteri, berupa kumpulan
bakteri yang banyak dan tebal
di sepanjang alur goresan yang
dibuat. Bakteri berupa
gumpalan-gumpalan bulat
berwarna putih kekuningan.
Pengaruh Temperatur terhadap sel vegetatif dan spora bakteri, ragi dan jamur
Pengaruh Temperatur terhadap sel vegetatif dan spora bakteri, ragi dan jamur
Tumbuh
banyak
goresan
20° C warna
kuning
pekat
menunjuk
kan
adanya
biakan
bakteri
Tumbuh
banyak
goresan
37° C warna
kuning
pekat
menunjuk
kan
adanya
biakan
bakteri
44° C
Tidak
tumbuh
apa-apa
pada
media
agar
Klasifik
asi
Pengaruh Temperatur terhadap sel vegetatif dan spora bakteri, ragi dan jamur
S. Micrococus Bacillus
E.coli Seratia S.cerevisiae
lutea
Pewarnaan
Gram
Pewarnaan
spora
20° C
Biakan bakteri
yang tumbuh
sangat banyak,
warna biakkan
merah menyala
37° C
Biakan bakteri
yang tumbuh
sedikit
44° C
Biakan bakteri
yang tumbuh
sangat sedikit,
biakkan berwarna
pucat.
Klasifikasi
Pengaruh Temperatur terhadap sel vegetatif dan spora bakteri, ragi dan jamur
** bakteri yang digunakan kelompok 10 Micrococcus, Seratia, dan S.lutea
Micrococcus Seratia R.nigricans S.lutea
4C
°
20 C °
37 C
°
Tidak ada perubahan
yang terjadi.
44 C
°
Suhu 4 C - 44 C
° °
Klasifikasi
Pengaruh Temperatur terhadap sel vegetatif dan spora bakteri, ragi dan jamur
** bakteri yang digunakan kelompok 11 hanya Sarcina lutea, Serratia marcescens, dan
Micrococcus.
Pewarnaan
Gram
4° C
20° C
(+)
Dapat diamati goresan
berwarna putih keruh.
(+)
37° C
Terdapat goresan
berwarna putih keruh
paling tebal.
(+)
44° C
Terdapat goresan
berwarna putih keruh.
Mesofil
Klasifikasi
(20-45°C)
Pengaruh Temperatur terhadap sel vegetatif dan spora bakteri, ragi dan jamur
Pewarnaan
Tidak dilakukan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Gram
Pewarnaan
spora
Tandai 4 Cawan Petri dengan kode suhu (4°,20°,37°, dan 44°) karena akan dilakukan
inkubasi pada suhu yang berbeda selama 48 jam. Inokulasi secara aseptic tiap cawan petri dengan
kultur bakteri untuk menganalisis kecepatan bakteri pada suhu yang berbeda. Sebelum dan
seseudah inokulasi ini jarum inokulasi dan mulut tabung reaksi harus dipijarkan terlebih dulu agar
terbebas dari kontaminan. Inkubasi selama 48 jam agar dapat terlihat perbedaannya pada suhu
yang berbeda. Saat diinkubasi cawan petri diletakan secara terbalik Tandai 4 tabung reaksi berisi
kaldu saboraud dengan kode suhu (4°,20°,37°, dan 44°) karena akan dilakukan inkubasi pada suhu
yang berbeda selama 48 jam. Inokulasi secara aseptic tiap tabung reaksi dengan bakteri untuk
menganalisis kecepatan bakteri pada suhu yang berbeda. Sebelum melakukan inokulasi bakteri
pada tabung reaksi harus dokocok terlebih dulu agar terlihat dan sebelum dan sesudah melakukan
inokulasi jarum inokulasi dan jarum inokulasi harus dipijarkan terlebih dulu agar terbebas dari
kontaminan. Inkubasi selama 48 jam agar dapat terlihat perbedaannya.
3.1.2 Pengaruh Temperatur pada Pertumbuhan Sel Vegetatif dan Spora, Ragi
dan Jamur
Inokulasi bakteri yang telah ditentukan yaitu bakteri Bacillus dan E. coli kedalam kaldu
cair, ini jarum inokulasi dan mulut tabung reaksi harus dipijarkan terlebih dulu agar terbebas dari
kontaminan.. Panaskan selama 10 menit dan dengan suhu 80⁰C. Setelah itu inkubasi selama 48
jam pada suhu 37⁰C. inokulasi bakteri ke glukosa dan ke dalam nutrisi agar. inkubasi selama 48
jam kemudian amati menggunakan mikroskop.Catat hasil pengamatan dan bandingkan
Pada percobaan Pengaruh Temperatur pada Pertumbuhan Bakteri dan Ragi ini, kelompok
1 pada Cawan Petri 4°C, 20°C, 37°C dan 44°C, memiliki pertumbuhan bakteri yang berbeda beda,
karena pertumbuhan serratia ditandai dengan adanya pigmen berwarna merah, jika dibandingkan
untuk cawan petri semuanya ditandai adanya pertumbuhan dari serratia tetapi intensitasnya
berbeda beda, untuk pertumbuhan serratia paling banyak adalah pada suhu 37 °C, ini menandakan
bahwa suhu optimum serratia untk tumbuh pada suhu ini, kemudian intensitas paling sedikit ada
pada 4°C kemudian 44°C dan intensitas terbesar ke 2 yaitu pada suhu 20°C.
Pada percobaan Pengaruh Temperatur terhadap Sel Vegetatif dan Spora Bakteri, Ragi, dan
Jamur ini, kelompok 1 tidak mengamati Serratia pada mikroskop dikarenakan kesalahan didalam
inokulasi ke media glukosa, dikarenakan pada saat difiksasi masih dalam keadaan panas sehingga
membuat bakteri serratia sudah mati pada saat inokuasi ke media glukosa, dan juga karena serratia
tidak bertahan pada suhu 80°C sehingga hasilnya pada tabung media glukosa tidak ada tanda tanda
bahwa serratia tumbuh, Untuk media glukosa yang diinkubasi pada inkubator di suhu 37°C
membuat bakteri micrococcus dan S.lutea dapat tumbuh dengan baik pada media glukosa,
diidentifikasi pengaruh nya terhadap suhu yang dipanaskan microccoccus menghasilkan gram
negatif dengan bentuknya yang bulat bulat dan S lutea menghasilkan gram positif dengan bentuk
seperti anggur (sarcina).
Pada percobaan Pengaruh Temperatur pada Pertumbuhan Bakteri dan Ragi ini, kelompok
2 mendapatkan hasil dimana bakteri hanya tumbuh pada cawan petri yang diinkubasi pada suhu
20°C sedangkan pada suhu > 20°C dan <20°C tidak ada bakteri yang tumbuh sama sekali .
Pada percobaan Pengaruh Temperatur terhadap Sel Vegetatif dan Spora Bakteri, Ragi, dan
Jamur ini menggunakan mikroskop dan kita dapat melihat bentuk bakteri dari mikroskop tersebut.
Dari pengamatan dari mikroskop tersebut dilihat bakteri Bacillus dan E. coli berwarna merah,
bedanya hanya di Bacillus tidak menyebar tapi menggumpal sedangkan E. coli menyebar
merata.Dapat diambil kesimpulan berarti kedua bakteri tersebut merupakan sel vegetative.
Bakteri yang digunakan pada percobaan terdapat 3 yaitu S. lutea, Serratia, dan Micrococcus.
Setelah biakan biakkan dipanaskan dan diinkubasi selama 2 hari, didapat bahwa tidak ada koloni
bakteri yang tumbuh. Hal tersebut menunjukan bahwa bakteri memiliki karakteristik tidak tahan
panas.Hampir sama dengan hasil yang diamati kelompok lain.
Pada percobaan Pengaruh Temperatur pada Pertumbuhan Bakteri dan Ragi ini, kelompok 3
Pada percobaan Pengaruh Temperatur terhadap Sel Vegetatif dan Spora Bakteri, Ragi, dan Jamur
ini
Pada percobaan Pengaruh Temperatur pada Pertumbuhan Bakteri dan Ragi ini, kelompok
6 menggunakan bakteri S. aureus. Pada percobaan didapatkan suhu optimum pertumbuhan bakteri
S. aureus adalah kisaran 20 – 37 C termasuk kedalam kelompok bakteri Mesofil. Pertumbuhan
o o
tersebut ditandai dengan terbentuknya koloni mengikuti pola yang digoreskan pada permukaan
agar. Pada percobaan yang dilakukan pada suhu 20 C terdapat koloni yang tumbuh mengikuti
o
pola, namun jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan percobaan yang dilakukan pada suhu
37 C. Sedangkan ragi yang digunakan adalah Saccharomyces cerevisiae. Hasil yang sama
o
ditunjukkan pada pengamatan terhadap ragi, yaitu suhu optimum nya 20 – 37 C ditandai dengan
o o
terbentuknya gelembung gas pada tabung durham dan berubahnya warna media. Gelembung gas
yang terbentuk pada suhu 20 C lebih sedikit dibandingkan pada suhu 37 C, selain itu media pada
o o
suhu 37 C lebih keruh dibandingkan yang lain. Hal tersebut menandakan bahwa pertumbuhan ragi
o
Pada percobaan Pengaruh Temperatur terhadap Sel Vegetatif dan Spora Bakteri, Ragi, dan
Jamur ini, kelompok 6 menggunakan 3 biakan bakteri yakni S. lutea, Serratia, dan Micrococcus.
Pada percobaan tidak terdapat pertumbuhan bakteri ditandai dengan tidak terbentuknya koloni
pada media agar glukosa. Setelah dilakukan inkubasi selama 2 hari, tidak ditemukan perubahan
atau tanda yang menunjukan pertumbuhan bakteri terhadap media kaldu nutrisi maka dari itu, dapat
ditentukan ketiga mikroorganisme tersebut tidak tahan terhadap panas.
3.2.7 Analisis Hasil Pengamatan Kelompok 7
Bakteri yang digunakan pada percobaan terdapat 3 yaitu S. lutea, Serratia, dan
Micrococcus. Setelah biakan biakkan dipanaskan dan diinkubasi selama 2 hari, didapat bahwa ada
koloni bakteri yang tumbuh di cawan petri tidak terlalu banyak bakteri yang tumbuh.Warna bakteri
agak kemerahan.
Percobaan 8b yang didapatkan kelompok 8 yaitu bakteri yang diamati tidak ada dalam
cawan petri , karena pengaruh dari pemanasan terlebih dahulu diawal sebelum di inkubasi.
Setelah biakan biakkan dipanaskan dan diinkubasi selama 2 hari, didapat bahwa tidak ada koloni
bakteri yang tumbuh. Hal tersebut menunjukan bahwa bakteri memiliki karakteristik tidak tahan
panas.
Pada suhu 4°C terdapat koloni bakteri tipis berwarna tipis mengikuti jalur metode streak,
koloni bakteri tidak dapat dihitung karena koloni tunggal nya tidak terlihat. Pada suhu 25°C
terdapat pula koloni bakteri yang sedikit lebih tebal dibandingkan koloni bakteri pada suhu 4°C.
pada suhu ini juga koloni tidak dapat dihitung karena koloni tunggalnya sangat berhimpitan
sehingga hanya terbentuk garis tebal mengikuti jalur metode streak. Pada suhu 37°C bakteri S.
aureus memiliki suhu optimum, pada suhu optimum ini pertumbuhan bakteri berlangsung dengan
cepat. Pada suhu 44°C terdapat banyak koloni tunggal yang berbentuk bulat mengikuti jalur. Hal
ini menunjukkan jumlah bakteri pada suhu ini lebih sedikit dibandingkan dengan suhu 37°C namun
lebih efektif untuk mengkulturkan bakteri S. aureus.
Pada bakteri S. aureus yang dikulturkan ke 4 tabung reaksi berisi kaldu sabouroud dengan
urutan suhu yang sama seperti di cawan petri. Dalam tabung yang diinkubasikan di suhu 4°C,
bakteri tidak tumbuh karena aktivitas bakteri terhenti di suhu dingin yang ekstrim. Hal ini
ditunjukkan pada media yang tidak berubah warna sama sekali. Berkebalikan dengan bakteri
yang diinkubasikan di suhu 25°C, terlihat pertumbuhan bakteri sangat meningkat daripada di
suhu 4°C. Terlihat dari perubahan media yang menjadi lebih keruh namun tidak sampai
merubah warna. Pada tabung yang diinkubasikan di suhu 37°C bakteri juga mengalami
pertumbuhan yang signifikan namun tidak sebanyak saat diinkubasikan di suhu 25°C. Namun,
saat bakteri diinkubasikan di suhu 44°C pertumbuhan bakteri menurun drastis ditandai dengan
tidak adanya perubahan warna pada media. Sehingga dapat disimpulkan suhu optimum
pertumbuhan bakteri S. aureus di kaldu sabouroud adalah 25°C. Hal ini sesuai dengan
literature, bahwa bakteri S. aureus merupakan golongan psikorofil. Pada keempat tabung ini
tidak ada satu pun yang mengeluarkan gas.
Data dan hasil pengamatan menunjukkan bahwa bakteri S. aureus dari seluruh tabung
dapat menghasilkan spora yang ditandai dengan terbentuknya warna hijau akibat pewarnaan
malasit green, dengan morfologi sel basil. Hal ini menunjukkan bahwa pemanasan untuk
bakteri S. aureus berpengaruh untuk menghasilkan spora. Temperatur adalah salah satu
contoh keadaan berbahaya bagi pertumbuhan bakteri. Sehingga factor temperatur sangat
berpengaruh dalam menghasilkan spora.
Spora yang terbentuk oleh bakteri mengindikasikan bahwa bakteri telah terancam atau
dalam keadaan berbahaya akibat lingkungan yang tidak mendukung untuk mempertahanka
keturunannya, sehingga spora kan terbang dan mencari media baru serta berkembang biak.
Pada percobaan Pengaruh Temperatur pada Pertumbuhan Bakteri dan Ragi ini, kelompok
10 menggunakan bakteri Serratia marcescens dan didapatkan suhu optimum pertumbuhan bakteri
Serratia marcescens adalah 20°C hal ini ditunjukan dengan tumbuhnya koloni berwarna merah
menyala mengikuti pola yang digoreskan pada permukaan agar. Pada suhu 20°C koloni bakteri
terlihat lebih banyak daripada dengan apusan bakteri yang diinkubasi pada suhu lainnya. Sedangkan
ragi yang digunakan adalah Saccharomyces cerevisiae dimana hasil yang didapatkan sama dengan
ditunjukkan pada pengamatan terhadap ragi, yaitu suhu optimum nya 20°C – 37 °C ditandai dengan
terbentuknya gelembung gas pada tabung durham dan berubahnya warna media. Gelembung gas
yang terbentuk pada suhu 20 °C lebih sedikit dibandingkan pada suhu 37 °C, selain itu media pada
suhu 37 °C lebih keruh dibandingkan yang lain. Hal tersebut menandakan bahwa pertumbuhan ragi
akan lebih bagus pada suhu 37 °C.
Pada percobaan Pengaruh Temperatur terhadap Sel Vegetatif dan Spora Bakteri, Ragi, dan
Jamur ini, kelompok 10 menggunakan 3 biakan bakteri yakni S. lutea, Serratia, dan Micrococcus.
Setelah biakan bakteri dipanaskan dan diinkubasi selama 2 hari, didapatkan hasil dimana tidak ada
koloni bakteri yang tumbuh. Hal tersebut menunjukan bahwa bakteri memiliki karakteristik tidak
tahan panas.
3.2.11 Analisis Hasil Pengamatan Kelompok 11
Pada percobaan Pengaruh Temperatur pada Pertumbuhan Bakteri dan Ragi ini, kelompok
11 mendapatkan hasil tabung 1 pada suhu 4° C, tabung 2 pada suhu 20° C, tabung 3 pada suhu 37°
C, dan tabung 4 pada suhu 44° C setelah diinkubasi dan diamati hasilnya adalah tidak ada bakteri
yang tumbuh di dalam tabung. hal ini kemungkinan terjadi karena kesalahan yang dilakukan pada
saat percobaan, contohnya adalah saat menginokulasikan bakteri ke tabung, biakan bakteri yang
diambil mati. selain itu ada juga kemungkinan sampel kultur yang digunakan tidak berisi bakteri
apapun. menurut Mahdi Abrar dalam jurnalnya yang berjudul Pengembangan Model untuk
Memprediksi Pengaruh Suhu Penyimpanan Terhadap Laju Pertumbuhan Bakteri pada Susu
Segar, bakteri jenis Pseudomonas sp, sangat banyak ditemukan pada temperatur rendah (3-10° C)
tapi pada percobaan kami tidak ditemukan
apapun.( http://jurnal.unsyiah.ac.id/JMV/article/download/2945/2793)
Pada percobaan Pengaruh Temperatur terhadap Sel Vegetatif dan Spora Bakteri, Ragi, dan
Jamur ini, hampir semuanya mengalami kegagalan perubahan yang terjadi hanya berupa warna
dari kaldu nutrisi yang menjadi media bakteri, dari awalnya berwarna kuning bening menjadi
berwarna putih keruh, tapi tidak terdapat tanda-tanda tumbuhnya bakteri. hal ini terjadi karena ada
kemungkinan bahwa kultur asal tidak berisi bakteri, alias bakteri sudah mati bahkan sebelum
diinokulasikan ke dalam media kaldu nutrisi.
Bakteri Microccus sp. dari hasil percobaan kelompok 12 dapat diamati pertumbuhan
bakteri pada suhu 20, 37, dan 44 ºC, dengan pertumbuhan paling dominan terlihat pada suhu 37
ºC, sehingga dapat disimpulkan bahwa bakteri Micrococcus tumbuh paling optimum pada suhu 37
ºC, pengamatan ini sesuai dengan teori bakteri Micrococcus sp. memiliki pertumbuhan paling
optimum pada rentang 25-37 ºC. karena pada pengamatan tidak terlihat adanya pertumbuhan pada
suhu 4 ºC sehingga bakteri Microccus sp. dapat diklasifikasi sebagai bakteri Mesokfil yang tumbuh
pada suhu 20-45 ºC
Bakteri yang diamati hanya dilakukan pewarnaan spora, pada kelompok 12 menggunakan
bakteri E. coli, Bacillus, S. cerevisiae. Dapat diamati pertumbuhan bakteri E. coli berwarna merah
yang mewarnai sel vegetatif akibat dari safranin yang memerahkan bakteri berbentuk batang.
Bakteri Bacillus dapat diamati berwarna merah akibat safranin, bakteri ini merupakan sel vegetatif
dengan berbentuk bacill. Bakteri S. cerevisiae berwarna sedikit merah bening dengan suhu
optimum pertumbuhan 25-30 ºC.
Saat inokulasi tidak baik dengan cara memijarkan jarum oose yang kurang baik
Pada percobaan ini suhu optimum pertumbuhan bakteri terjadi pada 37°C, pada suhu ini bakteri
paling banyak tumbuh pada media, walaupun begitu ada beberapa bakteri yang dapat tumbuh pada
suhu dibawah 37°C dan diatas 37°C namun pertumbuhannya cenderung lebih sedikit dari pada
disuhu 37°C. oleh sebab itu bakteri tersebut dapat diklasifikasi sebagai bakteri mesofil.
Dari percobaan ini pada suhu 37°C sel vegetative dan spora dapat tumbuh namun dalam
percobaan ini juga ada beberapa kelompok yang spora dan sel vegetatifnya tidak tumbuh hal ini
terjadi karena saat melakukan inokulasi jarum inokulasi terlalu panas sehingga dapat membunuh
spora dan sel vegetatif dan akhirnya tidak tumbuh. Pada sel vegetative dan spora makin tinggi
suhunya maka akan menghancurkan spora dan sel vegetative.
V. Daftar Pustaka
Hamdiyati, Y. (2011). Pertumbuhan dan Pengendalian Mikroorganisme II. Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia.
Wibowo, M. S. (2011). Pertumbuhan Mikroorganisme. Karya ilmiah. School of
pharmacy ITB.
Syauqi, A. (2017). Mikrobiologi Lingkungan Peranan Mikroorganisme dan
Kehidupan. Penerbit Andi.
VI. Lampiran
Putri Nurul Safitri/15718002
o Analisis Cara Kerja, Analisis Hasil Pengamatan, dan Analisis Kesalahan
o Kesimpulan
o Hasil Pengamatan semua kelompok
o Penggabungan
Averky A B Sidebang/15718003
o Analisis cara kerja, analisis hasil pengamatan, dan analisis kesalahan
o Tujuan
o Daftar pustaka
o Lampiran
Ryan Wiijaya/155718004
o Analisis cara kerja, analisis hasil pengamatan, dan analisis kesehatan
o Tujuan
o Aplikasi di bidang RIL
o Kesimpulan
Percobaan 9
Faktor Fisik : pH
I. Tujuan
Menentukan kebutuhan pH dalam pertumbuhan mikroorganisme
Spesies
Nilai Absorban
Mikroba
pH 3 pH 5 pH 7 pH 9
Micrococc
us
Bening
kekuningan Sedikit keruh Agak keruh seperti Keruh tidak terlalu
dengan bercak minyak curah kuning
putih di permukaan
A.faecalis
S.aureus
S.cerevisia
e
E.coli
Bacillus
Bening sedikit Kuning keruh Kuning Keruh
kekuningan Kuning Keruh
Spesi
es
Nilai Absorban
Mikro
ba
pH 3 pH 5 pH 7 pH 9
S.aur
eus
Hasil Pengamatan
Keterangan
Bakteri : Escherichia coli
Sumber Media : Suspensi
Kultur berumur 24
Media Tujuan : Kaldu Nutrisi
Tanggal Pengamatan : 25
Oktober 2019.
Pengamatan :
1. pH 3
Warna kaldu belum berubah dan
belum ada tanda-tanda
pertumbuhan bakteri.
2. pH 5
Warna kaldu mulai berubah
menjadi kuning keruh, dengan
adanya tanda-tanda pertumbuhan
bakteri (muncul slime).
3. pH 7
Warna kaldu semakin keruh dan
warna kuning mulai memudar.
4. pH 9
Kaldu semakin keruh dan warna
kaldu berubah menjadi putih
keruh.
pH 3 pH 5 pH 7 pH 9
Bacillus
E.coli
Seratia
S.aureus
Serratia
marcescens
pH 3 pH 5 pH 7 pH 9
Pseudomonas
A.faecalis
S.aureus
S.cerevisiae
Spesies
Nilai Absorban
Mikroba
pH 3 pH 5 pH 7 pH 9
E.coli
A.faecalis
Keruh
Keruh kekuningan Paling keruh Keruh kekuningan
kekuningan
kekuningan
Micrococcus
S.cerevisiae
Pada percobaan ini , kelompok 1 mendapatkan hasil yakni agar cair kaldu pada pH 3 dan
5 terdapat garis tebal berwarna merahh pada sisi tabung reaksi. Pada pH 5 terdapat hal yang sama
tapi berwarna lebih muda dari pada warna di pH 3, sedangkan pada pH 7 terdapat garis yang sangat
tipis (hampir tidak terlihat) dan pada pH 9 sama sekali tidak terlihat bakteri yang tumbuh kecuali
sama halnya dengan tabung lain yang berubah warna cairan kaldunya menjadi kuning keruh dari
sebelumnya. Jika dilihat dari atas disekeliling ujung tabung terdapat pertumbuhan bakteri yang
membentuk lingkaran sesuai tabungnya tetapi pada bagian dalam cairan kaldu tidak terlihat adanya
pertumbuhan bakteri. Pada pH 5 terlihat hal yang sama yakni bakteri tumbuh membentu lingkaran
pada tabung namun berwarna merah. Pada pH 7 juga membentuk lingkaran berwarna merah tetapi
lingkarannya tidak sempurna, sedangkan pada pH 9 sama sekali tidak ada pertumbuhan bakteri
pada tabung. Dari hal ini pun didapat jika makin besar pHnya maka makin kecil pertumbuhan
bakterinya namun pada cairan kaldunya semakin keruh Pada tampak samping tabung, dapat dilihat
bahwa tabung agar cair kaldu nutrisi ph 3 dan 5 terdapat garis tebal berwarna merah dengan warna
merah pada ph 5 lebih muda warna merahnya daripada ph 3, sedangkan pada ph 7 ada garis tipis
hamper hilang berwarna merah muda sedangkan pada ph 9 tidak ada perubahan kecuali pada
semua tabung pH perubahan terjadi hanya agar cair menjadi kuning keruh daripada sebelumnya.
Hal ini bisa terjadi karena koloni serratia dapat memudarkan warnanya, dan dari hal ini juga
didapatkan bakteri Serratia dapat tumbuh dalam keadaan asam dimana fungsinya membuat bakreti
Serratia data membuat asam purivat dan asam laktat.
Dari percobaan kelompok 5 didapatkan hasil dimana makin besar pHnya atau makin
basa, maka semakin keruh
Bakteri yang digunakan pada percobaan ini adalah S. aureus. Berdasarkan hasil
pengamatan didapatkan perubahan warna pada media dengan pH 7 dan 9 yaitu menjadi lebih
keruh. Perubahan warna tersebut menandakan adanya pertumbuhan bakteri. Sehingga dapat
ditentukan jika bakteri S. aureus tumbuh pada kisaran pH 7 – 9.
3.2.7 Analisis Hasil Pengamatan Kelompok 7
Pada percobaan ini, kelompok 7 mendapatkan hasil pH 3 warna kaldu belum berubah dan
belum ada tanda-tanda pertumbuhan bakteri, pH 5 warna kaldu mulai berubah menjadi kuning
keruh, dengan adanya tanda-tanda pertumbuhan bakteri (muncul slime), pH 7 warna kaldu
semakin keruh dan warna kuning mulai memudar, dan pH 9 kaldu semakin keruh dan warna kaldu
berubah menjadi putih keruh.
Pada percobaan ini bakkteri tumbuh pada semua ph dimana ditandai dengan warna kaldu cair
berubah menjadi keruh yang awalnya berwarna kuning bening.
Pada pH yang terlalu asam ataupun basa, dapat menyebabkan pertumbuhan pada
mikroorganisme akan terhambat bahkan mati. Berdasarkan pH yang ada, jasad dikenal dengan
asidofil, neurofil, dan alkalifil. Asidofil adalah mikroba yang dapat tumbuh pada pH antara 2.0-
5.0. Mikroba neurofil adalah mikroba yang dapat tumbuh pada kisaran pH 5.5-8.0 sementara
alkalifil adalah dapat tumbuh pada kisaran pH 8.4-9.5. Bakteri memerlukan pH 6.5-7.5; khamir
4.0-4.5; sedang jamur mempunyai kisaran pH yang luas.
Pada percobaan untuk mengetahui pengaruh pH, biakan S. aureus masing-masing dipipet 1ml lalu
dimasukkan dalam tabung reaksi yang telah berisi medium NB, dimana pada tabung I pH
3, tabung II pada pH 5 ( dengan penambahan Asam Tartrat ), pada tabung III pada pH 7(netral),
pada tabung IV pada pH 9 ( dengan penambahan NaOH). Setelah itu di inkubasi selama 2 x 24
jam pada suhu kamar. Lalu dilakukan pengamatan dari sampel tersebut menggunakan alat
bernama spektrofotometer.
Pertama, hubungkan spektrofotometer dengan sumber arus lalu alat di hidupkan. Diamkan
sebentar agar alat memanas dan menyelesaikan setting panjang gelombangnya. Atur panjang
gelombangnya pada nilai 600nm. Masukkan kuvet yang berisi larutan blanko. Larutan blanko
digunakan sebagai kontrol dalam suatu percobaan sebagai nilai 100% transmittans. Lalu bakteri
yang telah diinkubasikan satu persatu dimasukkan ke dalam kuvet untuk dihitung konsentrasinya.
Kuvet harus selalu dalam keadaan bersih bening hingga sidik jari pun tidak boleh menyentuh
permukaan kuvet yang akan diamati. Jadi, siapakan tissue untuk mengelap kuvet.
Berdasarkan pengamatan menggunakan spekrofotometer, pada tabung I yang memiliki pH 3
kekeruhannya bernilai 96%, pada tabung II yang memiliki pH 5 konsentrasinya bernilai 40%, pada
tabung III yang memiliki pH 7 kekeruhannya bernilai 55% pada tabung IV yang memiliki pH 9
kekeruhannya bernilai 54%. Sehingga dapat dianalisis, pada tabung I tidak terjadi pertumbuhan
bakteri karena tidak terjadi penurunan konsentrasi yang signifikan dan tidak terjadi perubahan
warna. Pada tabung II terjadi pertumbuhan bakteri yang signifikan karena penurunan konsentrasi
yang pesat dan terjadi perubahan warna pada media menjadi hijau keruh disertai adanya endapan
berbentuk lendir di bagian atas tabung. Pada tabung III pertumbuhan bakteri juga terjadi namun
lebih sedikit dibandingkan tabung II, di tabung III perubahan warna pada media dan terdapatnya
endapan berbentuk lendir juga terjadi namun tidak sepekat dan sebanyak tabung II. Pada tabung
IV perubahannya hampir sama seperti tabung III namun endapan pada tabung IV berbentuk
lendirnya sedikit lebih banyak dari tabung III.
3.2.10 Analisis Hasil Pengamatan Kelompok 10
Bakteri yang digunakan pada percobaan ini adalah Serratia marcescens Berdasarkan hasil
pengamatan didapatkan perubahan warna paling signifikan terjadi pada media dengan pH 5 dan 7
yaitu menjadi keruh kecoklatan. Hal tersebut menunjukan bahwa bakteri berkembang lebih baik
pada pH antara 5 – 7.
3.2.11 Analisis Hasil Pengamatan Kelompok 11
Bakteri pseudomonas merupakan bakteri gram negatif berbentuk batang berukuran kecil.
Bakteri ini juga termasuk bakteri aerobik yang tumbuh optimum pada pH 7 dan dapat tumbuh pada
kisaran pH 3-9. Sesuai dengan hasil percobaan,medium dengan PH 7 terlihat paling keruh,
menandakan bakteri tumbuh baik pada pH tersebut dan pada pH 9 terlihat lebih terang,
menandakan bakteri tidak tumbuh cukup baik pada pH tersebut.
Bakteri Micrococcus sp. dapat diamati adanya pertumbuhan bakteri dari semakin keruhnya
cairan, keruhnya cairan terjadi pada pH 3-9 dengan kekeruhan pH optimum berada pada pH 5
karena pada pH itulah cairan paling keruh. Karena tingkat keasaman atau kebasaan suatu media
mempengaruhi pertumbuhan bakteri
3.3 Analisis Kesalahan
Indokulasi tidak dilakukan secara aseptik sehingga ada mikroorganisme lain yang masuk saat
inokulasi.
Inkubasi tidak dilakukan pada suhu 380C sehingga bakteri tidak tumbuh optimal.
Hasil pH yang didapat masih perkiraan karena kita hanya mengambil 4 sampel pH.
3.4 Aplikasi dibidang RIL
Menumbuhkan bakteri yang berguna untuk membunuh bakteri patogen dalam air
Menumbuhkan bakteri yang berguna untuk mengolah sampah organik
Membuat media dengan memberikan faktor-faktor pendukung yang ideal untuk tumbuh
IV. Kesimpulan
Pada percobaan ini pertumbuhan bakteri terjadi pada pH normal yakni pH 7karena pada
pH yang terlalu asam ataupun basa, dapat menyebabkan pertumbuhan pada mikroorganisme
akan terhambat bahkan mati. Berdasarkan pH yang ada, jasad dikenal dengan asidofil, neurofil,
dan alkalifil. Asidofil adalah mikroba yang dapat tumbuh pada pH antara 2.0-5.0. Mikroba
neurofil adalah mikroba yang dapat tumbuh pada kisaran pH 5.5-8.0 sementara alkalifil adalah
dapat tumbuh pada kisaran pH 8.4-9.5. Bakteri memerlukan pH 6.5-7.5; khamir 4.0-4.5;
sedang jamur mempunyai kisaran pH yang luas.
V. Daftar Pustaka
Hamdiyati, Y. (2011). Pertumbuhan dan Pengendalian Mikroorganisme
II. Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Wibowo, M. S. (2011). Pertumbuhan Mikroorganisme. Karya ilmiah. School of
pharmacy ITB.
Syauqi, A. (2017). Mikrobiologi Lingkungan Peranan Mikroorganisme dan
Kehidupan. Penerbit Andi.
VI. Lampiran
Putri Nurul Safitri/15718002
o Analisis Cara Kerja, Analisis Hasil Pengamatan, dan Analisis Kesalahan
o Kesimpulan
o Hasil Pengamatan semua kelompok
o Penggabungan
Averky A B Sidebang/15718003
o Analisis cara kerja, analisis hasil pengamatan, dan analisis kesalahan
o Tujuan
o Daftar pustaka
o Lampiran
Ryan Wijaya/155718004
o Analisis cara kerja, analisis hasil pengamatan, dan analisis kesehatan
o Tujuan
o Aplikasi di bidang RIL
o Kesimpulan
LAPORAN PRAKTIKUM
MIKROBIOLOGI AIR (IL-2203)
MODUL 5
2019
Modul 5
Faktor-Faktor Fisika dan Kimia yang Mengontrol Pertumbuhan Mikroorganisme
Percobaan 11 : Tekanan Osmosis Tumbuhan
I. Tujuan
Mempelajari kemungkinan efek akibat tekanan osmosis lingkungan pada mikroorganisme
Konsentrasi NaCl
Nama
Klasifikasi
organisme
0,5 % 5% 10% 15%
Serratia Konsentrasi
marcescens Garam 0-10%
Nama
Konsentrasi NaCl Klasifikasi
organisme
0,5 % 5% 10% 15%
Konsentrasi
Pseudomonas
Garam 0-10%
I.
Nam
a
Klasif
orga Konsentrasi NaCl
ikasi
nism
e
0,5 % 5% 10% 15%
Kons
entras
E.col i
i Gara
m 0-
10%
I.
Spe
sies
Mi Nilai Absorban
kro
ba
pH 3 pH 5 pH 7 pH 9
S.a
ure
us
Kuning pucat bening Kuning jernih Kuning tua, keruh Kuning muda, keruh
Hasil Pengamatan
Keterangan
Bakteri : Escherichia coli
Sumber Media : Suspensi Kultur berumur 24
Media Tujuan : Kaldu Nutrisi
Tanggal Pengamatan : 25 Oktober 2019.
Pengamatan :
1. pH 3
Warna kaldu belum berubah dan belum ada
tanda-tanda pertumbuhan bakteri.
2. pH 5
Warna kaldu mulai berubah menjadi kuning
keruh, dengan adanya tanda-tanda
pertumbuhan bakteri (muncul slime).
3. pH 7
Warna kaldu semakin keruh dan warna kuning
mulai memudar.
4. pH 9
Kaldu semakin keruh dan warna kaldu
berubah menjadi putih keruh.
Siapkan 4 tabung nutrisi yang memiliki kadar NaCl yang berbeda. Tabung pertama berisi
0.5% NaCl, 5%, 10%, dan 15%. Inokulasi bakteri secara aseptik untuk mencegah masuknya
mikroorganisme lain kedalam media. Inkubasi selama 4 hari dalam suhu 35oC. Suhu 380C karena
merupakan suhu optimum pertumbuhan bakteri dan waktu inkubasi 48 jam merupakan waktu saat
fase log dimana bakteri sedang tumbuh dalam jumlah eksponensial.
Dari percobaan kelompok 1 didapatkan hasil yakni pada bakteri Serratia marcescens
pertumbuhan yang paling optimal (sangat baik) pada konsentrasi garam NaCl 0.5 %. Pada
konsentrasi garam NaCl 5%,10%, dan 15% jumlah bakteri yang tumbuh semakin menurun
(sedikit) dan terdapat pula sisa yang berwarna putih yang hampir bening pada sisi bakteri yang
berwarna merah. Dalam hal ini pula dapat dikatakan bahwa bakteri Serratia marcescens tumbuh
dengan optimal pada konsentrasi garam NaCl 0.5% , dalam hal ini juga masih belum diketahui
range secara pasti pertumbuhan optimalnya, selain itu Serratia marcescens juga mengalami lisis
pada konsentrasi garam > 5%.
Bakteri yang berada pada agar miring dengan konsentrasi NaCl 15% dan 10% telah
mengalami plasmolisis, dimana air dalam sel keluar ke agar miring sehingga sel pecah dan mati.
Hal ini dapat dilihat dengan tidak adanya bakteri di permukaan agar miring. Bakteri dalam agar
miring dengan konsentrasi 10% masih dapat bertahan dimana air yang mengalami difusi ke agar
masih dalam jumlah batas toleransi. Hal tersebut dapat dilihat dengan jumlah bakteri yang lebih
banyak dibanding konsentrasi 10% dan 15%. DI cawan petri dengan kadar NaCl 0.5%, sangat
sedikit air yang mengalami difusi dapat dilihat dengan banyaknya jumlah bakteri yang tumbuh
pada permukaan agar. Atau bahkan ada air yang masuk ke dalam sel karena proses difusi air dari
agar ke bakteri.
Bakteri yang digunakan pada percobaan ini adalah S. aureus. Berdasarkan hasil
pengamatan pada percobaan yang dilakukan kelompok XX didapatkan pertumbuhan bakteri pada
konsentrasi NaCl 0,5 % dan 5 %. Hal tersebut merupakan kondisi yang umum karena bakteri
membutuhkan konsentrasi air yang tinggi untuk tumbuh atau rendahnya konsentrasi garam. Pada
konsentrasi garam yang lebih tinggi tidak didapatkan perubahan bakteri.
4.1.3 Analisis Hasil Pengamatan Kelompok 7
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan kelompok 8 terlihat jumlah biakan bakteri yang
tumbuh paling banyak pada NaCl 0,5%, kemudian sangat lebih sedikit yang tumbuh pada NaCl
5%, dan tidak ada biakan yang tumbuh pada NaCl 10% dan 15%. Bacillus cereus merupakan
bakteri yang hidup pada medium isotonichal ini dikarenakan pada dasarnya tekanan osmosis
sangat berhubungan dengan kandungan air yang ada. Bakteri yang dibiakkan pada larutan
bertekanan hipotonis, maka sel bakteri tersebut seharusnya akan mengalami plamoptisa, jika
dibiakkan pada larutan bertekanan isotonic, akan memunculkan banyak gelembung, sedangkan
jika bakteri dibiakkan pada larutan hipertonis, maka sel bakteri tersebut akan mengalami
plasmolysis. Plasmolysis adalah peristiwa terkelupasnya membran sitoplasma dari sel akibat
mengkerutnya dinding sitoplasma.
V. Pada percobaan 11 akan diamati pengaruh faktor fisik (konsentrasi NaCl) pada
pertumbuhan mikroorganisme. Setelah diinkubasi 48 jam dapat diamati pertumbuhan
bakteri pada media agar miring. Pada media NaCl 0,5% tumbuh banyak koloni bakteri
dengan adanya goresan kuning yang bertumpuk, pada media NaCl 5% tumbuh beberapa
koloni bakteri dengan adanya beberapa goresan kuning, sedangkan pada media NaCl 10%
dan 15% tidak tumbuh koloni bakteri karena tidak ada goresan kuning pada media agar
miring. Hal ini disebabkan karena semakin sedikit kadar persentase konsentrasi NaCl yang
diberikan, maka semakin banyak jumlah koloni bakteri yang tumbuh. Natrium klorida
mempunyai sifat bakteriosid (daya membunuh) dan bakteriostatik (daya menghambat)
yang bermanfaat untuk menghambat pertumbuhan bakteri khususnya Staphylococcus
aureus. Staphylococcus aureus merupakan bakteri tahan garam dan tumbuh baik pada
media yang mengandung 7,5% NaCl. Tetapi pertumbuhan bakteri menurun seiring dengan
bertambahnya konsentrasi NaCl. Hal ini membuktikan bahwa bakteri S. aureus tidak
termasuk kedalam bakteri halofilik.
Bakteri yang digunakan pada percobaan ini adalah S. Serratia marcescens Berdasarkan
hasil pengamatan pada percobaan yang dilakukan kelompok 10 didapatkan
pertumbuhan bakteri pada konsentrasi NaCl 10 % dan 15 %. itu menunjukan bahwa kondisi
tersebut merupakan kondisi kebutuhan bakteri untuk berkembang
Bakteri yang digunakan pada percobaan ini adalah S. aureus. Berdasarkan hasil
pengamatan pada percobaan yang dilakukan kelompok XX didapatkan pertumbuhan bakteri pada
konsentrasi NaCl 0,5 % dan 5 %. Hal tersebut merupakan kondisi yang umum karena bakteri
membutuhkan konsentrasi air yang tinggi untuk tumbuh atau rendahnya konsentrasi garam. Pada
konsentrasi garam yang lebih tinggi tidak didapatkan perubahan bakteri.
5.1.3 Analisis Hasil Pengamatan Kelompok 12
Pada konsentrasi garam sebesar 0,5%, terlihat ada sedikit bakteri yang tumbuh dan membentuk
koloni, namun jumlahnya sangat sedikit. Pada konsentrasi garam sebesar 5%, 10%, dan 15%, tidak
terlihat dengan jelas pertumbuhan bakteri.
Pada tekanan osmosis lingkungan yang lebih rendah daripada tekanan osmosis dalam sel
(hipotonik), sel akan mengalami turgid atau kenaikan volume sitoplasma, namun dalam jumlah
yang sedikit. Di sisi lain, tekanan osmosis lingkungan yang lebih tinggi daripada tekanan osmosis
dalam sel akan menyebabkan penyusutan ukuran sel karena volume sitoplasma yang berkurang
secara drastis. Hal ini disbeut dengan plasmolisis dan akan meningkatkan turbiditas kultur
tersebut.
Protein dan makromolekul lainnya hanya dapat bekerja pada kadar minimum air tertentu,
sehingga sel yang mengalami plasmolisis mengalami gangguan pada fungsi selnya. Plasmolisis
juga mengakibatkan kenaikan ATP yang dibutuhkan sel sehingga menghambat biosintetis
makromolekul. (Csonka, 1989)
5.2 Analisis Kesalahan
Indokulasi tidak dilakukan secara aseptik sehingga ada mikroorganisme lain yang masuk saat
inokulasi.
Inkubasi tidak dilakukan pada suhu 380C sehingga bakteri tidak tumbuh optimal.
5.3 Aplikasi dibidang RIL
Membuat media tumbuh bakteri dengan memberikan faktor-faktor pendukung yang ideal
Menentukan kadar zat kimia dalam pengolahan air limbah domestik agar bakteri yang
berguna masih dapat tumbuh
VI. Kesimpulan
VII. Daftar Pustaka
Desiyanto, F. A., & Djannah, S. N. (2013). Efektivitas mencuci tangan
menggunakan cairan pembersih tangan antiseptik (hand sanitizer) terhadap
jumlah angka kuman. Jurnal Kesehatan Masyarakat (Journal of Public
Health), 7(2).
Chain, E., Florey, H. W., Gardner, A. D., Heatley, N. G., Jennings, M. A., Orr-
Ewing, J., & Sanders, A. G. (1940). Penicillin as a chemotherapeutic agent. The
lancet, 236(6104), 226-228.
Ginting, R. C. B., Saraswati, R., & Husen, E. (2006). Mikroorganisme pelarut
fosfat. Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian: Bogor, 149.
VIII. Lampiran
Putri Nurul Safitri/15718002
o Analisis Cara Kerja, Analisis Hasil Pengamatan, dan Analisis Kesalahan
o Kesimpulan
o Hasil Pengamatan semua kelompok
o Penggabungan
Averky A B Sidebang/15718003
o Analisis cara kerja, analisis hasil pengamatan, dan analisis kesalahan
o Tujuan
o Daftar pustaka
o Lampiran
Ryan Wiijaya/155718004
o Analisis cara kerja, analisis hasil pengamatan, dan analisis kesehatan
o Tujuan
o Aplikasi di bidang RIL
o Kesimpulan
Percobaan 12 : Agen Chemotheurapeutic
I. Tujuan
1. Mengetahui pengaruh antibiotic sebagai agen chemotheurapeutic mengontrol
pertumbuhan
2. Menentukan diameter zona inhibisi
3. Menentukan tingkat kerentanan mikroorganisme terhadap antibiotik
II. Hasil Pengamatan
Tabel 2.1 Hasil Pengamatan Kelompok 1
UZ* TK** UZ TK UZ TK UZ TK
Tetrasiklin (1) 5 mm R
Kloramfenikol (2) 5 mm R
Streptomycin (3) 10 mm R
Keterangan :
* UZ :ukuran zona;
**TK : Tingkat kerentanan : resisten (R), intermediat (I), sensitif (S)
Tabel 2.7 Hasil Pengamatan Kelompok 7
Hasil Pengamatan
Keterangan
Bakteri : Escherichia coli
Sumber Media : Suspensi Kultur
berumur 24-48 jam
Media Tujuan : Cawan Petri
Tanggal Pengamatan :
Pengamatan :
1. Tetrasiklin : Pada daerah ini,
tampak bakteri yang tumbuh paling
sedikit, bakteri hanya tumbuh di
daerah pingggir saja. Warna kertas
yang terdapat tetrasiklin menjadi
berwarna sangat kuning tua.
r = 1,5cm
Pseudomonas S.aureus
UZ* TK** UZ TK UZ TK UZ TK
Streptomycin r = 1.5 S
(3) cm.
Tidak ada
bakteri
yang
tumbuh
pada
bagian 3
Inokulasi bakteri yang telah ditentukan yaitu bakteri Bacillus dan E. coli kedalam kaldu cair.
Panaskan selama 10 menit dan dengan suhu 80⁰C . Setelah itu inkubasi selama 48 jam pada suhu
37⁰C. inokulasi bakteri ke glukosa dan ke dalam nutrisi agar. inkubasi selama 48 jam kemudian
amati menggunakan mikroskop,catat hasil pengamatan dan bandingkan
Pada bagian A, potongan kertas yang direndam tetrasiklin dapat dilihat bakteri Seratia
tumbuh dengan baik menyebar, hanya terlihat sedikit perbedaan warna yang membentuk
lingakaran besar di sekitar potongan kertaswarnanya lebih muda daripada di luar lingkaran
tersebut. Seperti gradasi warna yang kurang tampak perbedaaan warnanya. Sedangkan, pada
bagian B yang diberi potongan kertas yang direndam Streptomicyn, dapat dilihatperubahan warna
dengan jelas bahwa pada radius sekeliling kertas sekitar 1-2 cm agar berwarna lebih jernih daripada
di luar radius tersebut yang berwarna pekat kuning ke oranye tua seperti pada bagian A. lalu,
padabagian C dimana diberi potongan kertas yangdirendam chorampenikol dapat dilihat bahwa
tidak ada pertumbuhan penyebaran bakteri Seratia sama sekali karena warna agar pada bagian C
jernih seperti kondisi awal. Sehingga dapat disimpulkan bahwa antibiotika Tetrasiklin tidak dapat
menghambat pertumbuhan bakteri Seatia dan pengaruhnya sedikit merusak tetapi bakteri Seratia
masih bisa menyebar dengan baik. Lalu,antibiotika Streptomicyn dapat menghambat dan merusak
pertumbuhan bakteri Seratia sebagian. Tapi tidak bisa menyebakan kerusakan fatal atau
membunuh bakteri sehingga masih ada penyebaran pertumbuhan bakteri Seratia dengan baik.
Hanya sekitar radius 1-1,5 cm antibiotika Streptomicyn dapat merusah pertumbuhan bakteri
dengan baik Sedangkan, antibiotika Chloramfenikol dapat menghambat dan merusak bakteri
Seratia dnegan baik. Sehingga tidak ada pertumbuhan bakteri serai dengan baik. Hanya pada
bagian paling ujung bagian C terlihat bahwa ada agar yang sedikit menguning, sekitar 2cm dari
potongan kertas yang direndam Chloramfenikol. Sehingga dari semua antibiotika tersebut dapat
disimpulkan lagi bahwa antibiotika yang mampu dan lebih baik menghambat pertumbuhan bakteri
Seratia dengan baik adalah antibiotika Chloranfenikol
Pada hasil pengamatan tersebut diketahui bahwa bakteri dapat kita amati menggunakan
mikroskop dan kita dapat melihat bentuk dari mikroskop tersebut. Dari pengamatan dari
mikroskop tersebut dilihat bakteri Bacillus dan E. coli berwarna merah, bedanya hanya di Bacillus
tidak menyebar tapi menggumpal sedangkan E. coli sebaliknya.
Pada percobaan ini kelompok 4 mendapatkan hasil pengamatan dimana setelah diinkubasi
selama 48 jam terlihat bakteri Escherichia coli hanya tumbuh di jarak lebih dari 1.5 cm dari kertas
yang berisi larutan antibiotika (Tetrasiklin, Kloramfenikol, dan Streptomycin). Hal tersebut
disebabkan bakteri Escherichia coli yang kelompok 4 gunakan masih memiliki tingkat kerentanan
sensitif terhadap larutan antibiotika seperti Tetrasiklin, Kloramfenikol, dan Streptomycin. Dengan
tingkat kerentanan bakteri sensitif, maka penggunaan zat-zat antibiotika masih dikatakan efektif
dalam mematikan bakteri Escherichia coli. Bakteri yang awalnya memiliki tingkat kerentanan
sensitif dapat sewaktu-waktu berubah sehingga tingkat kerentanannya resisten. Hal tersebut dapat
disebabkan oleh beberapa hal seperti mutasi bakteri, perantaraan plasmid, dan perantaraan
transposon (struktur DNA yang dapat bermigrasi melalui genom suatu organisme).
3.2.5 Analisis Hasil Pengamatan Kelompok 5
3.2.6 Analisis Hasil Pengamatan Kelompok 6
Dari hasil percobaan kelompok 8 didapatkan bahwa pada antibiotik klorafer bersifat
resisten yang berarti bakteri masih dapat mempertahankan dirinya terhadap bakteri dengan
munculnya koloni bakteri yang tumbuh yang berbentuk bulat dengan warna kuning. Pada
antibiotik streptomycin juga resisten terhadap bakteri karena masih munculnya goresan garis yang
bewarna putih keruh. Sedangkan pada antibiotik bersifat sensitif karena pertumbuhan bakteri
sangat sedikit yang mennjukkan bakteri tersebut cenderung lebih lemah karena mudah mati pada
antibiotik tersebut.
Pada percobaan ini kelompok 10 mendapatkan hasil pengamatan yakni pada area antibiotic
Klorafer tidak terdapat pertumbuhan bakteri, sedangkan pada Streptomycin dan Tetrasiklin masih
terdapat bakteri yang tumbuh. Itu menunjukan kemampuan Klorafer dalam menghambat
pertumbuhan mikroba lebih baik dibanding dengan antibiotic Streptomycin dan Tetrasiklin.
3.2.11 Analisis Hasil Pengamatan Kelompok 11
Pada percobaan ini kelompok 11 mendapatkan hasil tidak ada bakteri yang tumbuh
disekitar (lingkaran) yang terdapat zat antibiotic sehingga dapat dikatakan jika Ketiga jenis
antibiotik tersebut efektif mengganggu pertumbuhan mikroorganisme tersebut. Agen
Chemotheurapeutic merupakan senyawa kimia yang digunakan untuk pengobatan infeksi. Cara
kerjanya adalah dengan mengganggu metabolisme mikroorgnisme dan menimbulkan efek
mematikan.
Seperti pada data pengamatan dan gambar, terlihat bakteri Micrococcus tidak tumbuh
terlalu banyak pada bagian agen chemotheurapeutic tetrasiklin dan streptomycin dan tumbuh
sangat sedikit pada bagian kloramfenikol. Hal tersebut mengindikasikan bahwa bakteri
Micrococcus tidak terlalu sensitif terhadap reaksi dari tetrasiklin dan streptomycin, sehingga mulai
memasuki ranah resisten. Resistensi terhadap tetrasiklin disebabkan oleh elemen genetik yang
membawa gen resisten terhadap tetrasiklin-spesifik, mutasi dalam ribosom, dan/atau mutasi
kromosom yang mengarah ke mekanisme resistensi. (Grossman, 2016) Streptomycin dihasilkan
dari isolasi dua strain actinomyces yang berhubungan dekat dengan Actinomyces griseus.
Actinomyces adalah mikroorganisme yang bersifat anaerobik fakultatif. Pada percobaan tersebut,
terdapat oksigen pada cawan petri, sehingga pertumbuhan dan fungsi kerja streptomycin tidak
optimal. (Schatz, Bugie, & Waksman, 2005) .Dalam jurnal Antibiotic susceptibilities of
Gram-positive anaerobic cocci: Results of a sentinel study in England and Wales (2003) oleh
Brazier, J. S., Hall, V., Morris, T. E., Gal, M., & Duerden, B. I., terdapat hasil percobaan
resistensi bakteri sel Gram positif terhadap beberapa jenis antibiotik, salah satunya adalah
kloramfenikol. Dalam jurnal tersebut, dituliskan bahwa resistensi bakteri jenis kokus adalah 0%,
sehingga pada cawan petri percobaan kami, sangat terlihat jelas sedikit sekali bakteri yang tumbuh
dekat sumber agen chemotheurapeutic kloramfenikol.
Saat inokulasi tidak baik dengan cara memijarkan jarum oose yang kurang
baik
Tidak teliti saat pengamatan mikroskop
Waktu inokubasi terlalu lama
Saat meginkubasi ternyata suhu nya salah
VI. Lampiran
Putri Nurul Safitri/15718002
o Analisis Cara Kerja, Analisis Hasil Pengamatan, dan Analisis Kesalahan
o Kesimpulan
o Hasil Pengamatan semua kelompok
o Penggabungan
Averky A B Sidebang/15718003
o Analisis cara kerja, analisis hasil pengamatan, dan analisis kesalahan
o Tujuan
o Daftar pustaka
o Lampiran
Ryan Wiijaya/155718004
o Analisis cara kerja, analisis hasil pengamatan, dan analisis kesehatan
o Tujuan
o Aplikasi di bidang RIL
o Kesimpulan
I. Tujuan
Jenis
Serratia marcescens
Antiseptik
Ukuran zona
inhibisi (mm)
Fenol (A, tetrasiklin) 10
Formaldehid (B,
9
streptomisin)
Iodine (C) 7
A= Fenol 2mm
B= Formaldehid 5mm
C=iodine 6mm
Jenis
S.aureus P.aeruginosa Escherichia coli
Antiseptik
Ukuran zona Ukuran zona inhibisi Ukuran zona
inhibisi (mm) (mm) inhibisi (mm)
Fenol (A) r=2
Formaldehid (B) r=5
Iodine (C) r=6
Ukuran zona
inhibisi (mm)
Fenol (B)
Formaldehid (C) Tidak terdapat pertumbuhan bakteri
Iodine (A)
Fenol (A)
Formaldehid (B)
Iodine (C)
Ukuran zona
inhibisi (mm)
Fenol (A) r= ± 5
Formaldehid r=± 6
(B)
Iodine (C) d = ± 10
fenol 0.8 cm
iodine 0.3 cm
fenoldehid 1.8 cm
A = Jempol kanan setelah dicuci dengan sabun, terdapat banyak bakteri bulat
berukuran kecil
Percobaan ini dilakukan dengan tangan yang belum dicuci. Pertama cawan petri dibagi 4
bagian A,B,C, dan D. Pertama-tama jempol kiri yang belum dicuci ditempelkan pada bagian A,
tanpa menyentuh apapun, cap kembali jempol kiri pada bagian B. Hipotesis awal kita adalah
bagian B akan berkurang karena mikroorganisme sudah menempel pada bagian A. Untuk bagian
kanan, capkan jempol kanan belum dicuci pada bagian C, celupkan atau swab jempol kanan
dengan alkohol. Biarkan hingga alkohol kering, lalu capkan kembali jempol kanan pada bagian D.
Hipotesis awal kita, bagian D akan bebas dari mikroorganisme karena sudah dibersihkan dengan
alkohol.
Tuangkan agar nutrisi pada cawan petri secara aseptik, setelah menuangkan agar nutrisi
pada cawan petri goyangkan cawan petri supaya agar nutrisi merata ke seluruh permukaan cawan
petri dan setelah kering cawan petri dibalikan supaya agar nutrisi tidak terkena embun diatas tutup
cawan petri sehingga nantinya sulit untuk kering. Inokulasi agar nutrisi dengan bakteri
pseudomonas. Sebelum dan setelah melakukan inokulasi jarum inokulasi dan mulut tabung reaksi
bakteri dipijarkan agar meminimalisir terkena kontaminan. Dengan pipet steril ambil kepingan
kertas steril, lalu rendam dalam larutan disinfeksi dan tempatkan pada medium agar nutrisi di
cawan petri. Hal ini untuk mengamati pertumbuhan bakteri pada medium yang di tempatkan kertas
yang telah direndam pada larutan disinfektan. Inkubasi selama 48 jam pada suhu 37°. Ukur daerah
bening atau zona inhibisi yang terbentuk.
Kurang lebih pada percobaan 13.c ini hasil pengamatannya sama tidak terlalu jauh
perbedaan.Pada percobaan dilakukan pembandingan antara tangan yang tidak dicuci dengan sabun
dan tangan yang telah dicuci dengan sabun. Terlihat jelas pada gambar, pada tangan yang belum
dicuci dengan sabun banyak bakteri yang tumbuh di nutrisi agar nya yang jenis dan bentuknya
berbeda beda sedangkan setelah dicuci dengan sabun maka bakteri tidak ada lagi karna semua
bakteri di tangan sudah mati
Percobaan Evaluasi Efektivitas Alkohol sebagai Antiseptik ini dilihat dengan membagi cawan
petri menjadi 4 bagian. Bagian A untuk jempol kiri sebelum diswab alkohol. Bagian B untuk
jempol kiri sesudah diswab dengan alkohol. Bagian C untuk jempol kanan sebelum diswab alkohol
dan bagian D untuk jempol kanan setelah diswab alkohol. Dari hasil percobaan kita dapat melihat
bahwa jumlah bakteri berkurang drastis setelah diswab dengan alkohol. Untuk jempol kiri,
awalnya terdapat bakteri yang tersebar setelah di swab dengan alkohol, tidak ada bakteri yang
terdapat pada jempol kiri. Sedangkan awalnya jempol kanan terdapat penurunan jumlah bakteri.
Alkohol 70% merupakan cairan yang mengandung 70% etil alkohol (CH3CH2OH) dan 30% air.
Etil alkohol (etanol) membunuh bakteri melalui 2 cara, yakni denaturasi protein dan pelarutan
membran lemak. Protein merupakan salah satu penyusun dari sel bakteri.
Pada Fenol 5%, berdasarkan hasil pengamatan kami yang menggunakan bakteri
Micrococcus, terlihat tidak ada bakteri yang tumbuh, hal ini dikarenakan kami salah melakukan
percobaan, dimana dalam modul diperintahkan untuk menyelupkan kertas, akan tetapi kami tidak
melakukannya, melainkan langsung meneteskan ke media agar capet. Oleh karena itu, tidak ada
bakteri yang berhasil tumbuh, dan tidak terbentuk ukuran zona inhibisi. Pada Formaldehid 5%,
berdasarkan hasil pengamatan kami yang menggunakan bakteri Micrococcus, terlihat tidak ada
bakteri yang tumbuh, hal ini dikarenakan kami salah melakukan percobaan, dimana dalam modul
diperintahkan untuk menyelupkan kertas, akan tetapi kami tidak melakukannya, melainkan
langsung meneteskan ke media agar capet. Oleh karena itu, tidak ada bakteri yang berhasil tumbuh,
dan tidak terbentuk ukuran zona inhibisi. Pada odine 5%, berdasarkan hasil pengamatan kami yang
menggunakan bakteri Micrococcus, terlihat tidak ada bakteri yang tumbuh, hal ini dikarenakan
kami salah melakukan percobaan, dimana dalam modul diperintahkan untuk menyelupkan kertas,
akan tetapi kami tidak melakukannya, melainkan langsung meneteskan ke media agar capet. Oleh
karena itu, tidak ada bakteri yang berhasil tumbuh, dan tidak terbentuk ukuran zona inhibisi.
Kurang lebih pada percobaan 13.c ini hasil pengamatannya sama tidak terlalu jauh
perbedaan.Pada percobaan dilakukan pembandingan antara tangan yang tidak dicuci dengan sabun
dan tangan yang telah dicuci dengan sabun. Terlihat jelas pada gambar, pada tangan yang belum
dicuci dengan sabun banyak bakteri yang tumbuh di nutrisi agar nya yang jenis dan bentuknya
berbeda beda sedangkan setelah dicuci dengan sabun maka bakteri tidak ada lagi karna semua
bakteri di tangan sudah mati
Pada percobaan Evaluasi Antiseptik dengan Metode Kepingan Kertas ini kelompok 4
mendapatkan hasil dimana semua senyawa desinfektan ini mampu menghambat petumbuhan
mikroba, tetapi ada hal yang berbeda dimana luas inhibis pada kelompok ini berbeda-beda, pada
fenol 2 mm, iodine 6 mm, dan fenoldehid 5 mm.
Kurang lebih pada percobaan 13.c ini hasil pengamatannya sama tidak terlalu jauh
perbedaan.Pada percobaan dilakukan pembandingan antara tangan yang tidak dicuci dengan sabun
dan tangan yang telah dicuci dengan sabun. Terlihat jelas pada gambar, pada tangan yang belum
dicuci dengan sabun banyak bakteri yang tumbuh di nutrisi agar nya yang jenis dan bentuknya
berbeda beda sedangkan setelah dicuci dengan sabun maka bakteri tidak ada lagi karna semua
bakteri di tangan sudah mati
Pada percobaan Evaluasi Antiseptik dengan Metode Kepingan Kertas ini kelompok 5
mendapatkan hasil dimana semua senyawa desinfektan ini mampu menghambat petumbuhan
mikroba, tetpai ada hal yang berbeda dimana luas inhibis pada kelompok ini berbeda-beda, pada
fenol 2 mm, iodine 3 mm, dan fenoldehid 4 mm.
Kurang lebih pada percobaan 13.c ini hasil pengamatannya sama tidak terlalu jauh
perbedaan.Pada percobaan dilakukan pembandingan antara tangan yang tidak dicuci dengan sabun
dan tangan yang telah dicuci dengan sabun. Terlihat jelas pada gambar, pada tangan yang belum
dicuci dengan sabun banyak bakteri yang tumbuh di nutrisi agar nya yang jenis dan bentuknya
berbeda beda sedangkan setelah dicuci dengan sabun maka bakteri tidak ada lagi karna semua
bakteri di tangan sudah mati
Pada percobaan Evaluasi Efektivitas Alkohol sebagai Antiseptik ini, Berdasarkan hasil
pengamatan didapatkan media yang dikenakan dengan jempol yang telah diswab dengan alcohol
terdapat pertumbuhan bakteri yang lebih sedikit dibandingkan dengan jempol yang belum di swab
dengan alcohol. Hal tersebut menandakan bahwa alcohol dapat mengurangi pertumbuhan bakteri
tapi tidak sepenuhnya mematikan seluruh bakteri.
Pada percobaan Evaluasi Antiseptik dengan Metode Kepingan Kertas ini kelompok 6
menggunakan jenis antiseptic Fenol, Iodine dan Formaldehid. Kepingan kertas dicelupkan
kedalam antiseptic tersebut kemudian diletakkan pada permukaan agar yang telah di-swab oleh
bakteri S. aureus yang dibagi menjadi 3 bagian. Berdasarkan hasil pengamatan didapatkan
pertumbuhan bakteri pada area A dan B yang merupakan area antiseptic Fenol dan Iodine dengan
daerah inhibisi fenol lebih besar dibandingkan iodine. Sedangkan pada area Formaldehid atau
sering disebut formalin tidak terdapat pertumbuhan bakteri. Dari hasil pengamatan ini juga
ditentukan urutan antiseptic yang memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri lebih
efektif yaitu Formaldehid, Fenol dan Iodine.
Pada percobaan Efektivitas Cuci Tangan dengan Sabun ini Area A merupakan area yang
ditempelkan jempol sesudah mencuci tangan pakai sabun dan area B merupakan area yang
ditempelkan jempol sebelum mencuci tangan pakai sabun. Berdasarkan hasil pengamatan
didapatkan kelompok 6 area A memiliki lebih sedikit bakteri yang tumbuh di banding B. Dengan
tingkat berkurangnya sekitar 80-85 %. Dibandingkan dengan uji efektifitas menggunakan
antiseptic lain seperti alcohol membuktikan bahwa mencuci tangan memakai sabun lebih efektif
dibandingkan dengan alcohol.
Pada percobaan Evaluasi Efektivitas Alkohol sebagai Antiseptik, Dari percobaan kelompok 8
dapat terlihat pertumbuhan mikrooganisme terhadap kondisi ibu jari jempol tangan kanan dan kiri.
Pada bagian A yaitu jempol tangan kiri yang belum dicuci terdapat koloni mikrooganisme yang
terbentuk yang ditandai adanya satu lingkaran yang bewarna putih keruh dengan bintik-bintik
bewarna putih keruh juga. Sedangkan pada bagian B yaitu jempol tangan kiri lagi setelah bagian
A dapat dibandingkan pertumbuhan mikrooganismenya bahwa koloni mikrooganisme yang
tumbuh di bagian A lebih banyak. Hal tersebut dapat dilihat pada bagian B yang terdapat
pertumbuhan bakteri pada wadah yang ditandai dengan adanya satu lingkaran besar dan juga
lingkaran kecil yang bewarna putih keruh dan juga terdapat bintik-bintik yang bewarna putih keruh
juga, namun banyaknya bintik-bintik tidak sebanyak bagian A. Sedangkan pada bagian C yaitu
pada jempol tangan kanan yang belum dicuci juga tumbuh koloni mikrooganisme yang ditandai
dengan tumbuh bakteri yang berbentuk bintik-bintik yang berjumlah lebih sedikit dari bagian B.
Dari pengamatan tersebut dapat dilihat bahwa jempol tangan kanan lebih bersih daripada jempol
tangan kiri. Hal tersebut dapat terjadi karena kontaknya jari tangan kiri lebih kotor dengan
lingkungan sekitar. Pada bagian D yang sudah dsiwab alkohol 70% dapat diamati bahwa tidak
terlihat pertumbuhan koloni mikrooganisme. Hal ini menunjukkan jika alkohol memiliki
efektifitas untuk membunuh mikroba patogen. Alkohol 70% merupakan cairan yang mengandung
70% etil alkohol (CH-3CH2OH) dan 30% air. Etil alkohol (etanol) membunuh bakteri melalui 2
cara, yakni denaturasi protein dan pelarutan membran lemak. Protein merupakan salah satu
penyusun dari sel bakteri. Protein berperan penting di dalam sel. Jika diibaratkan, protein adalah
mesin dari sel bakteri. Protein pada sel bakteri ini akan bekerja dengan baik jika larut dalam air.
Saat terdapat etanol di dalam lingkungan sel bakteri, maka kelarutan protein akan menurun.
Pada percobaan Evaluasi Antiseptik dengan Metode Kepingan Kertas ini dilakukan
pengujian beberapa bahan yang berperan sebagai antiseptic antara lain yaitu fenol,
formaldehid, dan iodine. Dengan membagi cawan petri yang sudah diinokulasikan biakan
bakteri E.Coli menjadi tiga kuadran. Masing-masing kuadran diberi kepingan kertas yang
telah dicelupkan masing-masing antiseptic tersebut. Dari hasil pengamatan didapatkan bahwa
antiseptic yang diberikan pada bakteri E.Coli sangat efektif dapat dilihat bahwa tidak ada
pertumbuhan koloni mikroba pada ketiga kuadran tersebut. Oleh karena itu dapat disimpulkan
bakteri E.Coli tersebut sangat sensitif terhadap ketiga antiseptic tersebut.
Kurang lebih pada percobaan 13.c ini hasil pengamatannya sama tidak terlalu jauh
perbedaan.Pada percobaan dilakukan pembandingan antara tangan yang tidak dicuci dengan sabun
dan tangan yang telah dicuci dengan sabun. Terlihat jelas pada gambar, pada tangan yang belum
dicuci dengan sabun banyak bakteri yang tumbuh di nutrisi agar nya yang jenis dan bentuknya
berbeda beda sedangkan setelah dicuci dengan sabun maka bakteri tidak ada lagi karna semua
bakteri di tangan sudah mati
3.2.9 Analisis Hasil Pengamatan Kelompok 9
Pada percobaan Evaluasi Efektivitas Alkohol sebagai Antiseptik, Pada percobaan bagian
A ini diuji keefektivitasan alkohol dengan konsentrasi 70% untuk membunuh mikroba di kulit
manusia. Caranya adalah dengan membagi cawan petri yang sudah berisi media agar menjadi
empat kuadran, lalu tempelkan jempol yang tidak dicuci di tiga kuadran dan satu kuadran lagi
ditempelkan jempol tangan yang sudah dicuci dengan alkohol 70%. Hasilnya kuadran A dan D
yang di tempelkan pertama tanpa mencuci tangan terdapat banyak mikroba terutama di kuadran
A. Lalu hasil dari kuadran C yang di tempelkan kedua nampak sedikit mikroba dan kuadran D
yang di tempelkan kedua yang telah di semprotkan alkohol hasilnya tidak ada mikroba yang
tumbuh.. Hal ini membuktikan bahwa alkohol 70% efektif untuk menjadi antiseptic bagi kulit
manusia. Efektivitas alkohol bergantung pada konsenrasinya. Pada ethanol bekerja sangat baik
pada mikroorganisme pada konsentrasi 70%, karena dengan konsentrasi ini mudah untuk diserap
oleh sel mikroba. Cara kerja alkohol yakni dengan mengganggu protein penting pada mikroba.
Alkohol mendenaturasi protein mereka dengan memecah ikatan hidrogen. Hal ini terjadi karena
alkohol juga membuat ikatan hidrogen di lokasi tersebut, sehingga protein akan kehilangan
bentuknya sehingga protein juga kehilangan fungsinya. Selain itu alkohol juga memiliki efek
dehidrasi dan dapat melarutkan lipid sampai batas waktu tertentu hingga dapat merusak membran
sel.
Pada percobaan Evaluasi Antiseptik dengan Metode Kepingan Kertas ini dilakukan
pengujian beberapa bahan yang berperan sebagai antiseptik antara lain larutan phenol 5%, iodine
5%, dan formaldehid 5%. Setelah diinkubasi selama 48 jam, semua bahan tersebut memiliki zona
bening yaitu area yang tidak dapat ditumbuhi oleh biakan bakteri. Zona bening ini terjadi karena
antimikroba membentuk cincin-cincin hambatan di dalam area pertumbuhan bakteri yang padat
sehingga tidak ada bakteri yang tumbuh dalam cincin tersebut. Didapat diameter zona bening
iodine, phenol, dan formaldehide berturut-turut adalah 0,8 cm, 1,3 cm dan 3 cm. Semakin besar
terbentuknya zona bening akibat zat antibiotik yang berdifusi maka semakin efektif antimikroba
tersebut, sehingga formaldehide lah yang paling efektif untuk membunuh mikroba dan iodine yang
kurang efektif untuk membunuh bakteri. Unsur aldehid dalam formaldehide mudah bereaksi
dengan protein sehingga dapat menghancurkan protein pada mikroba. Selain menghancurkan
protein dalam bakteri, formaldehide juga menghancurkan protein pada media sehingga nutrisi
yang ada pada media tidak dapat digunakan lagi oleh bakteri. Formaldehide juga membuat
jaringan dalam bakteri dehidrasi. Itulah yang membuat formaldehide paling efektif dalam
membunuh mikroba tapi berbahaya bagi kulit manusia sehingga tidak efektif untuk dijadikan
antiseptik. Sementara itu walaupun iodine tidak seefektif formaldehid dalam membunuh bakteri,
tetapi iodine aman untuk kulit manusia sehingga cocok untuk dijadikan antiseptik.
Pada percobaan Efektivitas Cuci Tangan dengan Sabun ini diuji hanya menggunakan satu
merk sabun yakni sabun nuvo. Pada kuadran pertama yang ditempelkan jempol tangan kanan yang
belum dicuci dan pada kuadran kedua ditempelkan jempol tangan kanan yang sudah dicuci dengan
sabun nuvo. Hasilnya jumlah bakteri di kuadran dua lebih sedikit dibandingkan dengan kuadran
satu. Hal ini menunjukan bahwa sabun nuvo tersebut dapat membunuh mikroba walaupun tidak
semuanya.
Pada percobaan Evaluasi Efektivitas Alkohol sebagai Antiseptik, Berdasarkan hasil pengamatan
didapatkan media dengan swab jempol tanpa alcohol terdapat bakteri lebih banyak dibanding
jempol yang sudah di swab dengan alcohol. Hal tersebut menandakan bahwa alcohol dapat
mengurangi pertumbuhan bakteri tapi tidak sepenuhnya mematikan seluruh bakteri.
Pada percobaan Evaluasi Antiseptik dengan Metode Kepingan Kertas ini jenis antiseptic
yang digunakan pada percobaan adalah Fenol, Iodine dan Formaldehid. Berdasarkan hasil
pengamatan didapatkan pertumbuhan bakteri pada area A dan B yang merupakan area antiseptic
Fenol dan Iodine dengan daerah inhibisi fenol lebih besar dibandingkan iodine. Sedangkan pada
area Formaldehid atau sering disebut formalin tidak terdapat pertumbuhan bakteri. Dari hasil
pengamatan tersebut dapat ditentukan urutan antiseptic yang mempunyai kemampuan
menghambat pertumbuhan bakteri lebih efektif yaitu Formaldehid, Fenol dan Iodine.
Pada percobaan Efektivitas Cuci Tangan dengan Sabun ini, bagian A merupakan daerah
yang ditempelkan jempol sesudah mencuci tangan pakai sabun dan bagian B merupakan daerah
yang ditempelkan jempol sebelum mencuci tangan pakai sabun. Setelah dilakukan inkubasi
dihasilkan pada bagian A memiliki lebih sedikit bakteri yang tumbuh daripada dibagian B hal ini
menunjukan bahwa sabun dapat mengurangi jumlah bakteri.
3.2.11 Analisis Hasil Pengamatan Kelompok 11
Pada percobaan Evaluasi Efektivitas Alkohol sebagai Antiseptik, Berdasarkan hasil
pengamatan, terlihat perbedaan banyak bakteri yang tumbuh pada setiap bagian ada cawan petri.
Hal ini terjadi karena adanya perbedaan perlakuan pada setiap bagian. Pada kondisi awal yang
harus diperhatikan bahwa agar pada cawan petri merupakan agar yang steril sehingga bakteri yang
ada sangat terlihat saat pengamatan. Semakin banyak perlakuan pada jari ( menempelkan pada
agar ), bakteri yang ada pada jari akan semakin berkurang, hal ini disebabkan bakteri yang ada
pada jari akan menempel dengan cepat di agar, sehingga saat menempelkan pada bagian setelahnya
(tanpa dicuci), bakteri akan semakin sedikit. Namun berbeda hasil saat diberikan alkohol sebagai
antiseptik. Terlihat pada bagian D, bakteri hanya sedikit, hal ini disebabkan Alkohol mempunyai
efek bakterisidal yang cepat terhadap bakteri vegetatif gram positif dan gram negatif ((Fajar Ardi
Desiyanto , 2013 : 55-112)
Pada percobaan Evaluasi Antiseptik dengan Metode Kepingan Kertas ini, kelompok 11
menggunakan bakteri pesudomonas, bakteri gram negatif yang memiliki lapisan fospolipid yang
tebal. Pada percobaan ini digunakan tiga jenis antiseptik dan terlihat daerah yang menunjukkan
lingkup antiseptik. Untuk fenol, memiliki karateristik yaitu senyawa yang memilikii aktivitas
antimikroba dengan merusak lapisan lemak (lipid) pada membran plasma bibit penyakit, namun
bakteri pseudomonas memiliki alpisan fospolpid yang tebal sehingga sedikit dapat melawan
kinerja antiseptik . Untuk Formaldehid, memiliki karteristik dapat merusak bakteri, karena
didalam tubuh bakteri terdapat senyawa bakteri. Formaldehid berkombinasi dengan asam amino
bebas dari protein pada protoplasma sel akan merusak nucleus dan mengakibatkan koagulasi
protein dari bakteri. Dan Iodine yang memiliki tingkat antiseptik paling besar dengan mekanisme
kerja senyawa mengganggu struktur dan proses sintesis protein serta asam nukleat. Desinfektan
golongan ini efektif membunuh bakteri, virus, dan jamur, namun memiliki sifat korosif terhadap
logam. Sehingga dapat diurutkan tingkat antiseptik paling kuat yaitu iodine, formaldehid lalu
fenol.
Pada percobaan Efektivitas Cuci Tangan dengan Sabun ini, kelompok 11 mendapatkan
hasil dibagian agar yang dibagi dua memperlihatkan perbedaan daerah yang ditekan
menggunakan jari yang belum dicuci dengan jari yang telah dicuci. Walaupun belum dapat
membunuh kuman pada jari sepenuhnya, namun sabun dapat dikatakan mengurangi kuman yang
ada pada jari. Hal ini terlihat jumlah angka kuman pada bagian B lebih sedikit daripada bagian A.
Hal ini menunjukkan sabun dapat menjadi antiseptik dalam membunuh kuman.
Pada percobaan Evaluasi Efektivitas Alkohol sebagai Antiseptik, bagian A Jempol kiri
belum diswab dengan alkohol, terapat banyak bakteri dimana menunjukkan banyaknya aktivitas
manusia menggunakan tangan, Bagian B Jempol kiri yang sama belum diswab dengan alkohol,
setelah di cap di bagian A, bakteri terkupul berwarna putih kekuningan menunjukan semakin
banyak kegiata dengan tangan maka semakin banyak bakteri yang menempel, dan Bagian C
Jempol kanan belum di swab dengan alkohol, bakteri berbentuk bulat-bulat kecil sama halnya
seperti quadran A menunjukkan banyaknya aktivitas manusia menggunakan tangan serta Bagian
D Jempol kanan setelah diswab dengan alcohol, bakteri sedikit berkurang bahkan tidak terlihat
Pada percobaan Evaluasi Antiseptik dengan Metode Kepingan Kertas ini kelompok 12
mendapatkan hasil dimana semua senyawa desinfektan ini mampu menghambat petumbuhan
mikroba, tetpai ada hal yang berbeda dimana luas inhibis pada kelompok ini berbeda-beda, pada
fenol 0.8 cm, iodine 0.3 cm, dan fenoldehid 1.8 cm
Kurang lebih pada percobaan 13.c ini hasil pengamatannya sama tidak terlalu jauh
perbedaan.Pada percobaan dilakukan pembandingan antara tangan yang tidak dicuci dengan sabun
dan tangan yang telah dicuci dengan sabun. Terlihat jelas pada gambar, pada tangan yang belum
dicuci dengan sabun banyak bakteri yang tumbuh di nutrisi agar nya yang jenis dan bentuknya
berbeda beda sedangkan setelah dicuci dengan sabun maka bakteri tidak ada lagi karna semua
bakteri di tangan sudah mati
Dalam percobaan ini efektifitas alcohol sebagai antiseptik untuk membersihkan tangan cukup
efektif dimana setelah dilakukan ujinya terlihat jika jumlah bakteri yang tumbuh pada bagian yang
jempolnya dibersihkan dengan alcohol mengurang bahkan bersih dan tidak terdapat apapun di
permukaan agar Cawan petri.
Pada percobaan ini semua senyawa desinfektan mampu menghambat pertumbuhan mikroba
dimana untuk fenol, memiliki karateristik yaitu senyawa yang memilikii aktivitas antimikroba
dengan merusak lapisan lemak (lipid) pada membran plasma bibit penyakit, namun bakteri
pseudomonas memiliki alpisan fospolpid yang tebal sehingga sedikit dapat melawan kinerja
antiseptik . Untuk Formaldehid, memiliki karteristik dapat merusak bakteri, karena didalam tubuh
bakteri terdapat senyawa bakteri. Formaldehid berkombinasi dengan asam amino bebas dari
protein pada protoplasma sel akan merusak nucleus dan mengakibatkan koagulasi protein dari
bakteri. Dan Iodine yang memiliki tingkat antiseptik paling besar dengan mekanisme kerja
senyawa mengganggu struktur dan proses sintesis protein serta asam nukleat. Desinfektan
golongan ini efektif membunuh bakteri, virus, dan jamur, namun memiliki sifat korosif terhadap
logam.
Pada percobaan ini semua kelompok hasilnya pada bagian yang tidak dicuci lebih banyak
bakteri yang tumbuh sedangkan pada bagian yang telah dicuci sabun cenderung berkurang dan
mati.
V. Daftar Pustaka
Desiyanto, F. A., & Djannah, S. N. (2013). Efektivitas mencuci tangan menggunakan
cairan pembersih tangan antiseptik (hand sanitizer) terhadap jumlah angka kuman. Jurnal
Kesehatan Masyarakat (Journal of Public Health), 7(2).
Chain, E., Florey, H. W., Gardner, A. D., Heatley, N. G., Jennings, M. A., Orr-Ewing, J.,
& Sanders, A. G. (1940). Penicillin as a chemotherapeutic agent. The lancet, 236(6104),
226-228.
Ginting, R. C. B., Saraswati, R., & Husen, E. (2006). Mikroorganisme pelarut fosfat. Besar
Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian:
Bogor, 149.
VI. Lampiran
Putri Nurul Safitri/15718002
o Analisis Cara Kerja, Analisis Hasil Pengamatan, dan Analisis Kesalahan
o Kesimpulan
o Hasil Pengamatan semua kelompok
o Penggabungan
Averky A B Sidebang/15718003
o Analisis cara kerja, analisis hasil pengamatan, dan analisis kesalahan
o Tujuan
o Daftar pustaka
o Lampiran
Ryan Wijaya/15718004
o Analisis cara kerja, analisis hasil pengamatan, dan analisis kesehatan
o Tujuan
o Aplikasi di bidang RIL
o Kesimpulan