Anda di halaman 1dari 9

BAB 6

LARANGAN PERKAWINAN,
MONOGAMI TERBUKA PENCEGAHAN DAN
PEMBATALAN PERKAWINAN

Al-Quran:
1. Al Baqarah (2):221, 228, 234
2. An Nisa (4):22-23
3. Al Maidah (5):5
UUP: Pasal 8
KHI:
1. Pasal 40
2. Pasal 44
3. Pasal 54

DASAR HUKUM LARANGAN PERKAWINAN DALAM ISLAM


1. AL BAQARAH
221 (larangan mengawini orang musyrik)
228 dan 234 (laki-laki dilarang perempuan ymenikahi ang sedang berada pada masa
iddah)
2. AN-NISA
22 (larangan mengawini ibu tiri);
23 (larangan mengawini karena hubungan darah, sepersusuan, anak tiri yang ba’da
dukhul dengan ibunya, poligami 2 perempuan bersaudara kandung/seayah/ seibu
3. AL-MAIDAH •(mengawini wanita ahlul-kitab) à lihat juga Q.S al-Mumtahanah: 10

Larangan Perkawinan UUP Pasal 8


1.berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas;
2.berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping
3.berhubungan semenda;
4.berhubungan susuan, anak susuan, saudara dan bibi/paman susuan;
5.berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal
poligami;
6. yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang
kawin.

LARANGAN PERKAWINAN KHI


1. Pasal 39: Nasab, Kerabat semenda, Sesusuan
2. Pasal 40: Keadaan tertentu
3. Pasal 41: Poligami dengan senasab dan sepersusuan, talak raj’i
4. Pasal 42: Syarat khusus poligami
5. Pasal 43: Talak tiga kecuali ada muhalil, talak li’a
6. Pasal 44: Wanita muslim dengan laki-laki non-muslim
7. Pasal 54: Dalam keadaan ihram, menikah dan dinikahkan

LARANGAN PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM


1.Karena hubungan darah
2.Karena hubungan sesusuan
3.Karena hubungan semenda
4.Larangan menikahi perempuan Karena kondisinya
5.Hubungan dengan putusnya perkawinan
6.Laki-laki dilarang kawin karena kondisinya
7.Larangan menikahi pezina
8.Larangan perkawinan karena beda agama
9.Larangan perkawinan karena masa Ihram
10.Larangan kawin mut’ah

1. Larangan perkawinan karena hubungan darah: KHI Pasal 39 ayat 1, An-Nisa ayat 2
(ibu, anak dan saudara perempuan, saudara bapak dan ibu perempuan, anak
perempuan dari saudara laki-laki dan perempuan)
2. Larangan karena hubungan sepersusuan: KHI pasal 39 ayat 3, An-Nisa ayat 23 (ibu
yang menyusukan kamu, saudara perempuan sesusuan). Syarat saudara sesusuan:
umur anak kurang dari 2tahun, ukuran menyusui (Menurut mazhab Syafi’i dan
Hanbali: 5 kali menyusui penuh sampai kenyang. Menurut mazhab Hanafi dan
Maliki: Sedikit atau banyak sama akibatnya)
3. Larangan karena hubungan semenda: KHI pasal 39 ayat 2, An-Nisa ayat 22 (ibu tiri),
An-Nisa ayat 23 (Ibu isteri (mertua perempuan), Anak isteri dari isteri yang telah
dicampuri (jika isteri belum dicampuri dan telah bercerai, anak isteri boleh dinikahi),
Isteri anak kandung, Menikahi 2 orang perempuan bersaudara sekaligus
4. Larangan menikahi perempuan karena kondisinya: An-Nisa ayat 24 KHI pasal 40
huruf a (Laki-laki dilarang menikahi istri orang lain (poliandri). Al Baqarah ayat 228
dan 234 dan KHI Pasal 40 huruf b (Laki-laki dilarang menikahi perempuan pada masa
iddah)
5. Larangan perkawinan terkait dengan putusnya perkawinan: KHI pasal 43 ayat 1 dan 2
(akibat talak ba’in kubra kecuali ada muhalil), akibat li’an KHI pasal 126-127)
6. Laki-laki dilarang menikah karena kondisinya: KHI Pasal 42: Telah memiliki 4 isteri,
baik keempat-empatnya masih terikat dalam perkawinan atau salah seorang masih
dalam iddah talak raj’i. KHI Pasal 44: Tidak beragama Islam apabila ingin menikahi
perempuan muslimah
7. Larangan mengawini pezina: HR Ahmad dan Abu Daud
Dari Abu Hurairah ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda “Pezina laki-laki yang
pernah didera hendaklah tidak kawin melainkan kepada perempuan
sepertinya”. HR Abu Daud, Nasai, dan Tirmidzi, dari Amr bin Syu’aib dari
ayahnya dari datuknya, sesungguhnya Martsad bin Abi Martsad al-Ghunawi
pernah membawa beberapa tawanan ke Makkah, sedang di Makkah (pada
waktu itu) ada seorang pelacur bernama ‘Anaq dan ‘Anaq ini adalah teman
Martsad. Martsad berkata: Kemudian aku menghadap Nabi saw, lalu aku
bertanya, Ya Rasulullah, bagaimana kalau aku mengawini ‘Anaq? Martsad
berkata; Maka Nabi pun diam; Lalu turunlah ayat “Dan perempuan pezina itu
tidak (pantas) dikawini melainkan oleh laki-laki pezina atau laki-laki
musyrik” (QS 24: 3). Kemudian Nabi saw memanggilku, lalu ia membaca
ayat tersebut kepadaku dan bersabda, “Janganlah engkau mengawininya.
Ibnu Taimiyyah dan mazhab hanbali berpendapat bahwa seorang perempuan pezina dilarang
untuk dinikahi kecuali ia telah bertobat dan habis masa iddahnya. Umar bin Khattab dalam
ijtihadnya membolehkan laki-laki menikahi perempuan pezina yang telah bertobat.
8. Penikahan lai-laki muslin dengan perempuan nonmuslim:
-Al Maidah: 5. Dihalalkan menikahi wanita ahlul kitab
-Pendapat Hazairin
-KHI Pasal 40 huruf c à wanita non-muslim dilarang dinikahi oleh laki-laki muslim
-Umar bin Khattab melarang (membenci) laki-laki muslim yang menikahi perempuan non-
muslim, meskipun tidak dilarang dalam al Qur’an. Alasannya adalah:
Anak-anak yang lahir dalam rumah tangga tersebut akan dirusak akidahnya dari Islam
Komunitas perempuan muslim yang belum menikah dapat meningkat
Perempuan non-muslim dapat menginformasikan kepada kaum non-muslim tentang umat
Islam
9. Perkawinan dalam masa ihram: KHI Pasal 54 (1): Selama masih dalam keadaaihram,
tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga tidak boleh bertindak sebagai wali
nikah.
(2) Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram, atau wali nikahnya masih berada dalam
ihram, maka perkawinannya tidak sah.
10. Kawin Mut’ah: Kebolehan melakukan Kawin Mut’ah:
-HR Muslim dari Saburah Al Juhani: “Bahwa ia ikut berperang bersama Rasulullah saw pada
saat penaklukan kota Mekah. Nabi saw memberi izin kepada mereka (yang ikut berperang)
melakukan nikah mut’ah”
-Larangan melakukan Kawin Mut’ah:
-HR Ibnu Majah: “Bahwa Rasulullah saw mengharamkan mut’ah.” Lalu Rasulullah bersabda:
“Wahai sekalian manusia, aku telah membolehkan kalian melakukan nikah mut’ah;
ketahuilah! Sekarang Allah swt telah mengharamkannya sampai hari kiamat nanti.”

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Umar ra ia berkata: Ketika Umar ra
menjadi khalifah, beliau berpidato di depan khalayak “Sesungguhnya Rasulullah
saw mengizinkan kita tiga macam mut’ah, kemudian setelah itu beliau
mengharamkannya. Demi Allah, kalau ada seseorang melakukan kawin mut’ah,
sedangkan ia telah beristeri, pasti ia akan saya hukum rajam dengan batu, kecuali
kalau ia bisa mendatangkan 4 orang saksi kepadaku yang semuanya menyatakan
bahwa Rasulullah saw telah menghalalkannya lagi setelah beliau
mengharamkannya

LARANGAN KHUSUS DALAM BERPOLIGAMI


Larangan poligami dengan wanita yang mempunyai pertalian nasab atau sesusuan dengan
isterinya (KHI Pasal 41 (1))
-saudara kandung, seayah, atau seibu serta keturunannya (An Nisa: 23)
-.bibinya atau kemenakannya:
▪HR Jamaah dari Abu Hurairah ra., ia berkata: Nabi saw. melarang seorang perempuan
dinikah (secara poligami) bersama bibinya dari pihak ayah atau bibinya dari pihak ibu
▪HR Jamaah kecuali Ibnu Majah dan Tirmidzi dan dalam riwayat lain: Nabi saw. melarang
dimadu (dihimpun) antara seorang perempuan dengan bibinya dari pihak ayah dan antara
seorang perempuan dengan bibinya dari pihak ibu
•Larangan poligami tersebut tetap berlaku meskipun isteri
•ditalak raj’i tapi masih ‘iddah (KHI Pasal 41 ayat (2))

Menghimpun anak tiri dan ibu tiri


Dari Ibnu Abbas, bahwa sesungguhnya ia pernah memadu (menghimpun) antara janda
seorang laki-laki dengan anak perempuan laki-laki itu dari isteri yang lain setelah isteri (yang
pertama) ditalak dua kali dan sekali talak khul’i
Sahabat Rasulullah, Jabalah, memadu (menghimpun) antara janda seorang laki-laki dan anak
perempuan laki-laki itu dari isterinya yang lain

Kawin Hamil
1. KHI pasal 53
2. Al-ahqaaf:15 (masa mengandung dan menyusui adalah 30bulan)
3. Lukman:14 dan Al-baqarah:233 (masa menyusui adalah 2tahun/24bulan)

Anak Sah
•anak yang lahir dari hasil perkawinan yang sah
•anak yang lahir dalam perkawinan yang sah

-Wanita hamil yang dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya tidak menjadikan anak yang
dilahirkannya adalah anak sah dan mempunyai hubungan hukum terhadap ayah biologisnya
Akibat hukum:
-Anak hasil zina dan ayah biologisnya tidak dapat saling mewarisi
-Ayah biologisnya tidak dapat menjadi wali nikah apabila anak tersebut adalah wanita

MONOGAMI TERBUKA
Dasar Hukum Poligami:
1. Al-quran: An-Nisa:3, An-Nisa 129
2. KHI: Pasal 55-59
3. UUP: Pasal 3 ayat 2
Syarat poligami:
1. Al-quran: 4:3. 4:129, jo QS 4:127, 4:23 dan 24
2. KHI: Pasal 55-59
3. UUP: Pasal 4 ayat 1 jo Pasal 40 PP No. 9/1975. Pasal 4 ayat (2) UUP jo Pasal 41a PP
No.9/1975

Persyaratan dan pembatasan poligami:


1.Hadits nabi riwayat al-Nasai: Nabi menyuruh Gailan bin Salamah al-Tasqafi, seorang
musyrik Mekah yang baru masuk Islam dan beristeri sepuluh orang, agar menceraikan isteri-
isterinya yang lebih dari empat orang dan hanya boleh meneruskan hubungan perkawinannya
dengan empat orang saja.
2.Keadilan dalam ayat ini mencakup keadilan dalam tempat kediaman, nafkah lahir batin,
serta kasih sayang.
•Q.S. 4:3 jo Q.S. 4:127
•Wanita yang akan dikawini seyogyanya adalah janda yang mempunyai anak.
•Q.S. 4:23
•Tidak boleh dengan wanita yang memiliki hubungan saudara atau saudara sesusuan dengan
isteri
•Q.S. 4:24
•Tidak bermaksud hendak mempermainkan atau menganiaya wanita yang akan dikawini.

Syarat poligami (KHI pasal 55-59)


1. Maksimal 4 istri
2. mampu berlaku adil
3. mendapat izin dari PA (alasan: tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; dan tidak dapat
melahirkan keturunan.)
4. UU 1/1974 pasal 5 (persetujuan istri dan kepastian suami mampu menjamin keperluan
hidup anak dan istri)

Poligami dalam 1/1974 dan PP No. 9/1975


-Undang-Undang Perkawinan Indonesia menganut asas Monogami (Pasal 3 ayat 1).
-Namun seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang asal memenuhi syarat-syarat tertentu
yang ditetapkan dalam Undang-Undang Perkawinan ini.
-Syarat-syarat berpoligami:Pasal 3 ayat (2) beserta penjelasannya :
a)Harus ada izin dari Pengadilan Agama,
b)Bila dikehendaki oleh yang bersangkutan, dan
c)Hukum dan agama yang bersangkutan mengizinkannya.
-Izin dari pengadilan bagi yang beragama Islam diajukan permohonan tertulis kepada
Pengadilan Agama di daerah tempat tinggal pemohon (Pasal 4 ayat (1) UUP jo. Pasal 40 PP
No. 9/1975).
-Harus dipenuhi syarat dan alasan tertentu yang dibenarkan Undang-Undang Perkawinan
Pasal 4 ayat (2) UUP jo. Pasal 41a PP No. 9/1975 yang ditentukan secara limitatif, :
a)Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri,
b)Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan,
c)Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 10 TAHUN 1983 TENTANG IZIN


PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL JO PP NO 45
TAHUN 1990 TTG PERUBAHAN PP 10/1983
-Perkawinan pertama wajib diberitahukan secara tertulis kepada Pejabat di atasnya: Pasal
2(1).
-PNS pria yang akan beristeri lebih dari seorang wajib memperoleh izin lebih dahulu dari
Pejabat. Pasal 4(1) PP 45/1990
-PNS wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat dari PNS: Pasal 4 (2)
PP 45/1990
-Diajukan tertulis dengan alasan yang lengkap: Pasal 4 (3-4) PP 45/1990

PENCEGAHAN PERKAWINAN
(Pasal 60-69 KHI)
•Calon suami istri tidak memenuhi syarat
•Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan pencegahan, kecuali agama

Pasal 62-63
•Keluarga garis lurus ke atas atau bawah
•Suami atau istri dari calon yang akan menikah
•Wali pengampu
•Wali nikah
•Saudara

Pencegahan Perkawinan oleh PPN


Pasal 64-69
-Wajib mencegah perkawinan bila rukun dan syarat perkawinan tidak terpenuhi.
-Memberitahukan pada calon-calon mempelai bila terdapat permohonan pencegahan
perkawinan
-Tidak boleh melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui
adanya pelanggaran dari ketentuan Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 atau Pasal 12
UU Perkawinan meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.
-Pencatat Nikah menolak melangsungkan perkawinan dengan memberikan keterangan
tertulis dari penolakan tersebut disertai alasan-alasan penolakannya apabila ia berpendapat
perkawinan tersebut ada larangan menurut UU Perkawinan

Pembatalan Perkawinan (Pasal 70 KHI):


1. Telah meiiliki 4 istri
2. Talak 3 tanpa muhalil
3. Menikah dengan jandanya akibat li’an
4. Antara orang yang mmeiliki hubungan darah, semenda, sesusuan
5. Saudara kandung, bibi, ata ponakan istri.

Perkawinan dapat dibatalkan apabila (Pasal 71):


1.Suami berpoligami tanpa izin PA
2.Perempuan yang dinikahi masih menjadi isteri dari laki-laki yang tidak jelas kabarnya
3.Perempuan yang dinikahi masih dalam iddah dari suami lain
4.Perkawinan yang melanggar batas umur
5.Perkawinan tanpa wali atau oleh wali yang tidak berhak
6.Perkawinan dengan paksaan

Pengajuan pembatalan perkawinan (Pasal 72):


Suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila:
-Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum
-Terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri (misal: suami mengaku
tidak beristeri tetapi sebenarnya masih beristeri)
•Apabila ancaman telah berhenti atau yang bersalah sangka menyadari keadaannya tetapi
dalam jangka waktu 6 bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, maka hak
pembatalan perkawinan gugur.

Pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pembatalan


perkawinan (pasal 73):
-Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri
-Suami atau isteri
-Pejabat yang berwenang
-Para pihak yang berkepentingan

Keberlakuan Pembatalan Perkawinan (Pasal 74)


-Batalnya perkawinan dimulai setelah putusan PA mempunyai kekuatan hukum tetap dan
berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan

Akibat Pembatalan Perkawinan (Pasal 75-76)


1. Tidak Berlaku Surut terhadap :
-Perkawinan yang batal karena suami atau isteri murtad
Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tsb
-Pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beritikad baik

2. Tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orangtuanya.

Anda mungkin juga menyukai