Anda di halaman 1dari 17

ANALISA JURNAL

“SECOND VICTIM SUPPORT PROGRAM AND PATIENT SAFETY CULTURE:

A QUASI EXPERIMENTAL STUDY

IN BALI INTERNATIONAL MEDICAL CENTRE (BIMC) HOSPITAL”

Untuk Memenuhi Tugas Kelompok Mata Kuliah Pasien Safety

Dosen pengampu Ns. Linda Wieke N.,M.Kep

Kelompok 3

1. Ismet D Luawo NIM.185070209111003


2. Ika Wahyuni Puji Lestari NIM.185070209111013
3. Ninik Dwi Agustina NIM.185070209111023
4. Sagung Manik Dwi.P NIM.185070209111033
5. Rossyta NIM.185070209111043

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


JURUSAN KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG
2018
DAFTAR ISI

COVER

DAFTAR ISI ................................................................................................................................... i

KATA PENGANTAR........................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................................. 1

1. Latar belakang.................................................................................................................. 1
2. Tujuan ............................................................................................................................. 2
3. Rumusan Masalah ............................................................................................................ 2
4. Manfaat ........................................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................................... 3

1. Identitas Jurnal................................................................................................................. 3
2. Identifikasi Jurnal ............................................................................................................. 3
3. Metodologi penelitian ..................................................................................................... 5
4. Pengumpulan data dan hasil penelitian ............................................................................ 6
5. Hasil diskusi ..................................................................................................................... 10
6. Penerapan di Indonesia ....................................................................................................12

BAB III PENUTUP ...........................................................................................................................13

1. Kesimpulan .....................................................................................................................13
2. Saran...............................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat
dan hidayahnya, makalah ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu. Dalam Makalah ini
kami membahas tentang Sharring Jurnal dengan tema “Second victim support program and
patient safety culture: A quasi experimental study in Bali International Medical Centre
(BIMC) Hospital (Program Dukungan Bagi Korban Kedua dan Budaya Keselamatan Pasien di
Rumah Sakit Internasional di Bali) “.Makalah ini dibuat sebagai pemenuhan tugas dari mata
kuliah Pasien Safety. Kami berharap semoga makalah ini dapat menjadikan masukan bagi
kita sebagai pemberi asuhan pelayanan kesehatan di Indonesia untuk dapat memberikan
asuhan kesehatan yang berkualitas dengan mengedepankan keselamatan pasien.

Dalam poses penyusunan makalah ini, tentunya tidak terlepas dari bimbingan,
arahan, kritik dan saran. Untuk itu kami ingin menyampaikan rasa terima kasih kami kepada:

1. Ibu Ns. Linda Wieke N.,M.Kep., selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Pasien Safety.
2. Rekan-rekan yang telah banyak memberikan masukan untuk makalah ini.

Kami menyadari bahwa penulisan makalah ini jauh dari kesempurnaan, untuk itu
kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi lebih baiknya makalah ini.
Demikian makalah ini kami buat, semoga membawa manfaat bagi kita semua.

Malang, 26 September 2018

Penyusun

Kelompok 3
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Saat ini keselamatan pasien menjadi sasaran utama bagi semua rumah sakit baik
di negara maju maupun di negara berkembang seperti di Indonesia. Hal ini bertujuan
untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas. Berbagai upaya telah
dilakukan, mengingat akan bahaya yang dapat ditimbulkan akibat dari setiap tindakan
pelayanan kesehatan yang diberikan ke pasien. Mengingat bahwa hampir setiap
tindakan medis menyimpan potensi resiko.Dengan banyaknya jenis obat, jenis
pemeriksaan dan prosedur, serta jumlah pasien yang tidak seimbang bila dibandingkan
dengan jumlah staff rumah sakit yang ada , maka akan dapat mengakibatkan potensial
terjadinya kesalahan baik itu medical error maupun human error.Kesalahan yang terjadi
dalam proses pelayanan kesehatan berpotensi menyebabkan cedera pada pasien..
Kenyataannya masalah keselamatan pasien dalam sistem pelayanan kesehatan
mencerminkan fenomena gunung es. Sehingga setiap rumah sakit saat ini berlomba-
lomba untuk memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik kepada pasien dengan
berusaha mengurangi medical error sebagai bagian dari penghargaan terhadap
kemanusiaan. Namun ternyata ada yang luput dari perhatian kita dimana ternyata
pemberi asuhan kesehatan yang melakukan medical error juga dapat mengalami
gangguan psikologis dampak dari kejadian pasien safety. Namun pada kenyataannya,
saat ini mereka yaitu pemberi asuhan kesehatan cenderung akan disalahkan, padahal
sebenarnya petugas kesehatan tersebut tidak bermaksud menyebabkan cedera pada
pasien. Sedangkan setelah kejadian pasien safety tersebut mereka masih harus dapat
memberikan asuhan pelayanan kesehatan kembali yang berkualitas. Hal ini
bertentangan dengan perubahan paradigma dalam pasien safety dimana dulunya
apabila ada insiden pasien safety, maka yang ditanya adalah siapa yang melakukan.
Namun sekarang adalah mengapa ini bisa terjadi ?
Melihat hal ini maka akan sangat diperlukan adanya dukungan dari berbagai
pihak bagi para pemberi asuhan layanan kesehatan akibat dari kejadian pasien safety
untuk diberikan support dalam menghadapi trauma pasca insiden keselamatan pasien.
Hal ini sesuai dengan salah satu kunci dari budaya pasien safety yaitu harus adanya
sistem “Blame free” dalam budaya pasien safety.

B. TUJUAN
Tujuan Umum
Tujuan dari makalah ini adalah untuk membahas jurnal tentang budaya
keselamatan pasien yang merupakan tugas dari mata kuliah Pasien Safety.

Tujuan Khusus

Tujuan Khusus dalam pembuatan makalah ini adalah:

1. Mahasiswa dapat menyelesaikan tugas Mata Kuliah Pasien Safety khususnya


tentang sharing jurnal tentang program dukungan bagi korban kedua dan budaya
keselamatan pasien yang merupakan Studi Penelitian di Rumah Sakit Pusat Medis
Internasional Bali
2. Mahasiswa dapat mengetahui isi dan hasil penelitian pada jurnal
3. Mahasiswa dapat menganalisa tentang isi jurnal dan bagaimana aplikasinya di
Indonesia

C. RUMUSAN MASALAH
Bagaimanakah pengaruh program dukungan bagi korban kedua (pemberi asuhan
kesehatan) terhadap peningkatan budaya keselamatan pasien di Indonesia.

D. MANFAAT
Mampu memahami tentang masalah pasien safety yang terjadi di Indonesia bila
dikaitkan dengan isi jurnal sehingga dapat menjadi acuan kedepan untuk peningkatan
budaya keselamatan pasien di Indonesia.
BAB II

PEMBAHASAN

1. IDENTITAS JURNAL
Judul : Second victim support program and patient safety culture: A
quasi experimental study in Bali International Medical Centre
(BIMC) Hospital

Pengarang : Made Indra Wijaya, Abd Rahim Mohamad, Muhammad


Hafizzurachman

Nama dan Edisi Jurnal : Bali Medical Journal (Bali Med J) Volume 7

Tahun terbit : 2018

2. IDENTIFIKASI JURNAL
a. Topik
Topik yang diangkat dalam dalam jurnal ini untuk mempelajari pengaruh
program dukungan korban kedua pada budaya keselamatan pasien.

b. Latar Belakang
Pasien adalah korban pertama dari setiap insiden keselamatan pasien.
Namun, pemberi asuhan kesehatan juga merupakan salah satu korban. Pada tahun
2000, Dokter Wu adalah orang pertama yang menyebutkan istilah "korban kedua"
untuk pemberi asuhan kesehatan yang terlibat dalam insiden keselamatan pasien.
Setelah terlibat dalam kejadian yang tidak menyenangkan, pemberi asuhan
kesehatan menderita gangguan fisik, emosional, dan profesional.

Dr. Wu menjelaskan bahwa korban kedua mengikuti kondisi dua tahap


setelah terlibat dalam insiden keselamatan pasien. Pada tahap pertama, korban
kedua mengalami shock, dan mereka sering diliputi oleh insiden tersebut. Mereka
menderita kurang tidur, mudah tersinggung, dan kesulitan berkonsentrasi; tahap ini
disebut internalisasi rasa bersalah. Korban kedua juga menderita rasa malu dan
marah terhadap diri mereka sendiri, pasien, dan rumah sakit. Suasana hati dan
kepribadian mereka berubah dalam tahap ini, yang berlangsung selama beberapa
hari atau minggu. Beberapa korban mengalami perburukan kondisi, yang
berkembang menjadi sindrom pasca-trauma yang dapat berlangsung selama
bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun.

Insiden keselamatan pasien dapat mempengaruhi identitas pribadi dan


profesional dari pemberi asuhan kesehatan. Manajemen rumah sakit perlu
memahami bahwa fenomena korban kedua dapat terjadi pada setiap penyedia
layanan kesehatan. Manajemen rumah sakit harus berusaha untuk mempertahankan
pemberi asuhan kesehatan sehingga mereka dapat tetap bertugas seperti biasanya
dengan menyediakan sumber daya dan dukungan untuk mereka. Sumber daya dan
dukungan termasuk penyediaan ahli profesional seperti psikolog dan psikiater.
Program dukungan korban kedua terdiri dari tiga komponen: (1) meyakinkan
pemberi asuhan kesehatan bahwa mereka memiliki keterampilan dan pengetahuan
klinis yang berharga, (2) memberikan dukungan dan menunjukkan rasa hormat, (3)
menegaskan bahwa mereka adalah anggota tim kesehatan yang berharga dan dapat
diandalkan

Kesalahan medis, menurut Institute of Medicine (IOM), adalah rencana


perawatan, baik diagnostik atau terapeutik yang tidak dilakukan dengan benar, atau
rencana perawatan yang tidak konsisten dengan diagnosis kerja. Masalah yang
paling umum yang diidentifikasi dalam pelayanan kesehatan adalah efek samping
obat, reaksi transfusi, daerah pembedahan yang salah, bunuh diri, cedera karena
menahan diri, jatuh, terbakar, ulkus tekanan, dan identifikasi pasien yang salah.
Kesalahan yang terjadi dapat menyebabkan ketidakmampuan yang berdampak pada
produktivitas dan pendapatan pasien. Pasien dan keluarga mungkin kehilangan
kepercayaan dalam sistem perawatan kesehatan terkait dengan penerimaan yang
lama dan fisik serta tekanan psikologis karena kesalahan medis.

Gejala umum tekanan psikologis pada penyedia layanan kesehatan yang terlibat
dalam peristiwa medis yang salah termasuk berduka, kesedihan ekstrim, rasa
bersalah, gangguan mengingat, isolasi, ketakutan, penyesalan, kesulitan
berkonsentrasi, kehilangan kepercayaan diri, keraguan diri, frustrasi, kemarahan,
lekas marah, depresi, kecemasan, dan mempertanyakan karir mereka. Penyedia
layanan kesehatan juga menderita gejala fisik setelah terlibat dalam kesalahan
medis. Gejala fisik yang umum terjadi termasuk gangguan makan, gangguan tidur,
sakit kepala, kelelahan, diare, mual atau muntah, palpitasi, dan kejang otot.
Layanan kesehatan tidak akan pernah sempurna karena melibatkan manusia dan
berbuat salah adalah manusia. Setiap proses yang melibatkan manusia rentan untuk
melakukan kesalahan. Perawat adalah penyedia layanan kesehatan yang rentan
menderita stres dan gejala korban kedua lainnya setelah terlibat dalam insiden
keselamatan pasien, dan hanya beberapa dari mereka yang menerima dukungan dari
rumah sakit ketika mereka melakukan kesalahan. Dokter bahkan berisiko lebih besar
karena mereka sepenuhnya bertanggung jawab atas diagnosis yang ditetapkan dan
perawatan yang direncanakan. Beberapa dokter mempertimbangkan untuk memiliki
tanda-tanda korban kedua, dan gejala kelemahan maka membuat masalah menjadi
lebih buruk
c. Tujuan
Masalah yang perlu diselidiki lebih lanjut adalah efek dari program dukungan korban
kedua terhadap budaya keselamatan pasien di rumah sakit. Informasi lebih lanjut
mengenai topik ini memberikan kesempatan untuk mengetahui pengaruh program
dukungan korban kedua terhadap budaya keselamatan pasien, yang pada akhirnya
akan mengurangi insiden keselamatan pasien dan mempromosikan pelaporan efek
samping di rumah sakit.
3. METODOLOGI PENELITIAN
a. Desain
Ini adalah studi kuasi-eksperimental (studi terkontrol sebelum-sesudah).
Penerapannya adalah implementasi program dukungan korban kedua yang
diadaptasi dari 2010 forYOU toolkits (the revision of 2002 Medically-Induced Trauma
Support System or MITSS). Sebanyak 87 penyedia layanan kesehatan di BIMC Kuta
dipilih sebagai kelompok intervensi, sementara 103 penyedia layanan kesehatan di
BIMC Nusa Dua dipilih sebagai kelompok kontrol.
b. Peserta
Kedua rumah sakit memiliki karakteristik serupa:
(1) Keduanya terletak di tujuan wisata di Kabupaten Badung (Kuta vs Nusa Dua);
(2) Akreditasi kedua rumah sakit adalah paripurna (tingkat tertinggi);
(3) Tingkat hunian tempat tidur adalah serupa (78,6% vs 77%);
(4) Rata-rata lama menginap adalah serupa (2,6 vs 2,8);
(5) Kunjungan rawat jalan serupa (38,3% vs 38,8%);
(6) Indeks kepuasan pasien adalah serupa (91% vs 92,1%); dan
(7) Rasio staf-tempat tidur serupa (7,2 vs 7,4).
Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ), Hospital Survey on Patient
Safety Culture (HSOPSC) digunakan untuk mengevaluasi budaya keselamatan pasien
di kedua rumah sakit.
4. PENGUMPULAN DATA DAN HASIL PENELITIAN
HSOPSC didistribusikan sebelum pelaksanaan program dukungan korban
kedua dan satu tahun setelah intervensi untuk mengevaluasi efek dari program
dukungan korban kedua pada budaya keselamatan pasien. Untuk BIMC Nusa Dua,
semua penyedia layanan kesehatan terdaftar dalam penelitian ini, sedangkan untuk
BIMC Kuta, hanya penyedia layanan kesehatan yang telah bekerja selama setidaknya
empat tahun yang terdaftar dalam penelitian ini. Alasannya adalah bahwa penyedia
layanan kesehatan yang bekerja kurang dari empat tahun lebih mungkin pindah ke
fasilitas kesehatan lain, terutama rumah sakit pemerintah, sehingga untuk
memastikan bahwa perubahan dalam survei ini relevan dengan program, kelompok
penyedia layanan kesehatan ini dikeluarkan dari penelitian.
Untuk mengevaluasi keberlanjutan program dan efeknya, HSOPSC didistribusikan
kembali dua tahun setelah pelaksanaan program dukungan korban kedua (fase 3).
Studi mengenai keberlanjutan program (fase 3) hanya melibatkan BIMC Kuta karena
program ini hanya diimplementasikan di BIMC Kuta. BIMC Nusa Dua tidak termasuk
dalam fase 3 penelitian.
Data dianalisis menggunakan difference-in-differences (DID). DID adalah
analisis regresi dengan variabel dummy yang digunakan dalam ekonometri dan studi
kuantitatif dalam ilmu sosial yang mencoba meniru desain penelitian eksperimental
dengan menggunakan data penelitian observasional, dengan menyelidiki efek
diferensial pengobatan atau intervensi pada kelompok perlakuan dan kelompok
kontrol di alam Percobaan Data juga dianalisis dengan paired-sample t-test Sebelum
(fase 1), dan setelah (fase 2) intervensi diimplementasikan. Paired sample t-test juga
dilakukan pada data yang dikumpulkan satu tahun (fase 2) dan dua tahun (fase 3)
setelah intervensi untuk mempelajari keberlanjutan efeknya.
Di BIMC Kuta, pada tahap pertama, HSOPSC didistribusikan pada Maret 2015.
Responden diberikan waktu dua minggu untuk mengisi kuesioner dan
memasukkannya ke kotak yang disediakan di setiap lantai (pertama sampai lantai
keempat). Dari 87 kuesioner yang dibagikan kepada dokter dan perawat, 47 (54%)
kuesioner diisi dan dimasukkan ke dalam kotak. Hasil survei ini digunakan sebagai
baseline sebelum pelaksanaan program dukungan korban kedua. Program dukungan
korban kedua dimulai pada Mei 2015. Ini diadaptasi dari 2010 forYOU toolkit yang
merupakan revisi dari MITSS 2002 (Medically-Induced Trauma Support System).
Sosialisasi yang sama juga disampaikan dalam pertemuan dokter dan pertemuan
perawat dan juga termasuk dalam Program Orientasi Umum untuk karyawan baru di
Bab Keselamatan Pasien. Poster dukungan korban kedua dibuat dan diterbitkan di
setiap lantai. Program dukungan korban kedua dan TRUST (lima hak korban kedua)
poster juga ditetapkan sebagai screensaver di semua komputer pribadi.

Tabel I : HSOPSC in BIMC Kuta on the First (2015) and the Second (2016) Phases in
BIMC Kuta

NO Composite First Phase Second


(2015) Phase
(2016)
1. Teamwork within unit 80% 83%
2. Supervisor/Manager expectations & 75% 79%
Actions Promoting Patient Safety
3. Management support for patient 72% 73%
safety
4. Organizational learning - continuous 72% 77%
improvement
5. Overall perceptions of patient safety 66% 71%
6. Feedback & Communication about 64% 70%
error
7. Frequency of events reported 63% 65%
8. Communication openness 62% 75%
9. Teamwork across units 58% 66%
10. Staffing 56% 66%
11. Handoffs & transitions 45% 60%
12. Nonpunitive response to error 44% 67%

Tahap kedua dilakukan pada Juni 2016, satu tahun setelah pelaksanaan program.
HSOPSC didistribusikan di antara 87 dokter dan perawat yang sama. Mereka diberi
waktu dua minggu untuk mengisi kuesioner dan memasukkannya ke dalam kotak
yang tersedia di setiap lantai. Dari 87 kuesioner, 60 (69%) kuesioner diisi dan
dimasukkan ke dalam kotak. Hasil survei yang dilakukan pada fase pertama dan fase
kedua dapat dilihat pada Tabel 1.
Paired-sample t-test menunjukkan t = 4,284 dengan P-value 0,001 dan Cohen d
0,854. Ada peningkatan yang signifikan dalam budaya keselamatan pasien setelah
pelaksanaan program dukungan korban kedua (artinya 3,54 vs 3,15) dengan ukuran
efek 85,4% (ukuran efek besar). Analisis regresi DID dilakukan untuk meminimalkan
variabel pengganggu atau menghilangkan variabel bias dengan mempelajari efek
diferensial perlakuan pada kelompok perlakuan (BIMC Kuta) versus kelompok
kontrol (BIMC Nusa Dua) pada fase pertama dan kedua penelitian. Hasil DID dapat
dilihat pada Tabel 2. DID mengungkapkan bahwa perlakuan yang diterapkan pada
kelompok perlakuan secara signifikan meningkatkan budaya keselamatan pasien
(DID koefisien 0,738, SE = 0,258, p-value = 0,007).

Tabel I : Analisis Difference-in-Differences Regression Pada HSOPSC of BIMC Kuta


(treatment group) vs. BIMC Nusa Dua (control group) pada fase pertama
dan kedua dari studi

Coefficient Standard Error t P-Value


Constant 3.502 0.129 27.096 0.000
DPost -0.348 0.183 -1.901 0.064

DTr -0.348 0.183 -1.901 0.064


DPost*DTr 0.738 0.258 2.853 0.007
Keterangan :

DPost : variabel dummy untuk kelompok perlakuan dan kelompok kontrol


di

mana 1 adalah kelompok perlakuan dan 0 = sebaliknya

DTr : variabel dummy untuk waktu di mana 1 = pasca perawatan dan

0 = sebaliknya

DPost*DTr : multiplication of DPost*DTr. Its coefficient is the difference-in-


difference estimate

Pada fase ketiga (satu tahun setelah fase kedua), HSOPSC didistribusikan di antara 87
dokter dan perawat yang sama pada bulan Juni 2017. Fase ini dilakukan di BIMC Kuta
hanya karena BIMC Nusa Dua tidak menerima program tersebut. Dari 87 kuesioner
yang didistribusikan, 65 (75%) diisi. Hasil fase kedua dan ketiga dapat dilihat pada
Tabel 3. Paired-sample t-test menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan
antara HOSPSC pada fase kedua vs fase ketiga ( t = 0,378, P = 0,713, Cohen d =
0,0476).

Tabel I : HSOPSC in BIMC Kuta on the Second (2016) and the third (2017) Phases
in BIMC Kuta

NO Composite Second Phase Third Phase


(2016)) (2016)
1. Teamwork within unit 83% 80%
2. Supervisor/Manager expectations & 79% 77%
Actions Promoting Patient Safety
3. Management support for patient 73% 72%
safety
4. Organizational learning - continuous 77% 75%
improvement
5. Overall perceptions of patient safety 71% 72%
6. Feedback & Communication about 70% 72%
error
7. Frequency of events reported 65% 71%
8. Communication openness 75% 73%
9. Teamwork across units 66% 67%
10. Staffing 66% 68%
11. Handoffs & transitions 60% 63%
12. Nonpunitive response to error 67% 63%

5. HASIL DIKUSI
Gerakan keselamatan pasien diprakarsai oleh The Institute of Medicine melalui
laporannya pada tahun 2000 " “To Err Is Human: Building a Safer Health System”.". Sejak
itu berbagai inisiatif telah dilakukan untuk meningkatkan keselamatan pasien selama
pelayanan kesehatan di rumah sakit. Pencegahan insiden keselamatan pasien dilakukan
melalui identifikasi pasien yang benar, komunikasi yang efektif, keamanan obat dosis
tinggi, prosedur yang benar, operasi pasien yang benar, pengurangan risiko infeksi
terkait perawatan kesehatan, dan pengurangan bahaya pasien dihasilkan dari injuri.
Sayangnya, semua inisiatif keselamatan pasien hanya terfokus pada satu aspek, yaitu
pasien, yang dalam kasus ini adalah korban pertama. Pada tahun 2000, Albert Wu, M.D.,
M.P.H. menggambarkan fenomena korban kedua, yang termasuk penyedia layanan
kesehatan, terutama perawat, yang terlibat dalam acara sentinel. Namun, baru pada
2007, sebuah penelitian mengenai korban kedua dilakukan di University of Missouri
Health Science. Studi ini mengungkapkan bahwa hampir satu dari tujuh penyedia
layanan kesehatan (175 / 1.160) terlibat dalam insiden keselamatan pasien setiap tahun,
yang menyebabkan kecemasan, depresi, dan kurangnya kepercayaan diri. Yang lebih
mengkhawatirkan adalah 68% menyatakan bahwa mereka tidak mendapat dukungan
dari rumah sakit.
Budaya keselamatan pasien adalah nafas hidup dari program keselamatan pasien.
Jika budaya keselamatan pasien dipekerjakan dengan tepat, setiap penyedia layanan
kesehatan akan memiliki keberanian untuk melaporkan setiap insiden keselamatan
pasien. Ada korelasi positif antara budaya keselamatan pasien dan jumlah insiden
keselamatan pasien yang dilaporkan. Tingginya budaya keselamatan pasien maka akan
semakin tinggi jumlah insiden yang dilaporkan. Laporan yang lebih tinggi tidak berarti
bahwa insiden keselamatan pasien meningkat; sebaliknya, ini menandakan peningkatan
kesadaran dan keberanian untuk melaporkan insiden keselamatan pasien. Rumah sakit
dengan budaya keselamatan pasien yang tinggi, seperti Rumah Sakit John Hopkins,
memiliki proporsi kesalahan pengobatan di rumah sakit sebanyak 8%. itu jauh lebih
tinggi daripada rawat inap di departemen kesehatan yang dilaporkan di Rumah Sakit
BIMC pada tahun 2016 yang hanya 2,1% rata-rata. Ini tidak berarti bahwa kesalahan
pengobatan di Rumah Sakit John Hopkins lebih tinggi daripada di Rumah Sakit BIMC.
Faktanya, ini berarti staf di John Hopkins memiliki kesadaran dan keberanian yang lebih
tinggi untuk melaporkan semua kesalahan pengobatan yang terjadi di unit mereka.
Sebuah penelitian menggunakan AHRQ HSOPSC (yang terdiri dari 42 item yang
dikategorikan ke dalam 12 bidang) dan insiden keselamatan pasien (yaitu, insiden
tekanan ulkus, restrain pasien yang berkepanjangan, keluhan, dan kesalahan
pengobatan) mengungkapkan bahwa semakin tinggi skor pada " “organizational learning
– continuous improvement " semakin renah insiden tekanan ulkus (OR = 0,249), Restrain
pasien berkepanjangan (OR = 0,406), dan keluhan (OR = 0,369); semakin tinggi skor pada
" “frequency of events reported” semakin rendah insiden kesalahan pengobatan (OR =
0,699) dan tekanan ulkus (OR = 0,639). Sembilan komposit lainnya tidak mengungkapkan
perbedaan statistik.
Program dukungan korban kedua bukanlah layanan kesehatan yang diberikan
kepada pasien. Namun, itu akan meningkatkan budaya keselamatan pasien dan aka
nmenurunkan kkorban kedua harus dimasukkan dalam program keselamatan pasien.
Studi ini menunjukkan bahwa program dukungan korban kedua akan meningkatkan
budaya keselamatan pasien (dibuktikan oleh perbedaan yang signifikan antara fase
pertama dan kedua), dan jika program ini dipelihara dengan baik, efeknya akan
berkelanjutan (dibuktikan dengan tidak ada perbedaan yang signifikan antara fase kedua
dan ketiga).
6. PENERAPAN DI INDONESIA
Semua inisiatif yang berkaitan dengan keselamatan pasien harus mencakup budaya
keselamatan pasien, yang akhirnya, berdampak pada tingkat kejadian buruk dan jumlah
insiden yang dilaporkan. Untuk itu perlu diterapkannya dukungan korban kedua dalam
semua penyedia layanan kesehatan. Di Indonesia sendiri masih sangat kurang angka
pelaporan keselamatan pasien karena ini kurang menjadi perhatian. Ini bukan karena
angka keselamatan pasien rendah tapi karena kurangnya perhatian setiap pemberi
layanan kesehatan dalam melaporkan kejadian kesalahan dalam keselamatan pasien.
Hal ini dikarenakan masih adanya budaya saling menyalahkan yang seharusnya itu
merupakan paradigma lama dari budaya keselamatan pasien. Dimana yang harusnya
ada perubahan paradigma yaitu untuk mencari adanya sistem yang salah dari suatu
insiden keselamatan pasien. Orang akan melihat bahwa bagaimana seharusnya budaya
safety dalam suatu tim layanan kesehatan adalah mereka komitmen untuk mencegah
eror dan bukan dengan menghukum pelaku. Untuk mengantisipasi suatu masalah dan
kesalahan adalah dengan mengantisipasi sistem secara proaktif.
Sehigganya perlu adanya peningkatan sistem pelayanan dalam pelaporan insiden
kesalahan dalam keselamatan pasien khusunya dukungan korban kedua Manajemen
penyedia layanan kesehatan harus berusaha untuk mempertahankan pemberi asuhan
kesehatan sehingga mereka dapat tetap bertugas seperti biasanya dengan menyediakan
sumber daya dan dukungan untuk mereka. Sumber daya dan dukungan termasuk
penyediaan ahli profesional seperti psikolog dan psikiater. karena program ini secara
positif mempengaruhi budaya keselamatan pasien. Jika program tersebut
dipertahankan, efeknya pada budaya keselamatan pasien akan berkelanjutan dan
tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Pasien safety merupakan suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien
lebih aman. Namun fenomena yang terjadi saat ini adalah masih berfokus pada
bagaimana menangani korban pertama dari insiden pasien safety (pasien ) dan
masih mengabaikan dari korban kedua yaitu pemberi asuhan kesehatan terkait
insiden pasien safety itu sendiri. Masih ada budaya “menyalahkan” bukan malah
mencari sistem yang membuat terjadi kesalahan pada insiden pasien safety.
2. Jurnal diatas mengadakan penelitian akan Perlunya program dukungan bagi korban
kedua dari insiden pasien sefety untuk mengatasi masalah psikologisnya mengingat
bahwa mereka korban kedua masih dituntut untuk dapat memberikan asuhan
kesehatan kembali yang berkualitas setelah adanya insiden pasien safety tersebut.
3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa korban kedua insiden pasien safety mengalami
gangguan psikologis yaitu bisa berupa trauma, frustasi karena tidak dapat
memberikan layanan kesehatan yang baik. Hal ini akan dapat mempengaruhi kualitas
kinerja mereka dalam memberikan asuhan kesehatan.
4. Diharapkan setelah program ini diaplikasikan, maka pelaporan insiden pasien safety
meningkat dan penyelia kesehatanpun tidak khawatir untuk melaporkan meskipun
identitasnya diketahui tanpa takut akan adanya proses disalahkan dan dipermalukan
serta terbentuknya stigma negatif di lingkungan kerjanya.

B. SARAN
Perlu diadakannya dan dipertahankan program dukungan bagi korban kedua dari
insiden pasien safety untuk meningkatkan kualitas kinerja para pemberi asuhan
kesehatan mengingat di Indonesia masih belum adanya program tersebut .
DAFTAR PUSTAKA

Wijaya, M. I., Mohamad, A. R., & Hafizzurrachman, M. (2018). Second Victim Support Program
and Patient Safety Culture:A quasi Eksperimental study in Bali International Medical Centre
(BIMC)Hospital. DiscoverSys , 220-226.

Anda mungkin juga menyukai