Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

GANGGUAN MOOD (MOOD DISORDER)

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah:


Psikologi Abnormal

Dosen Pengampu: Sri Rejeki, M. Psi.

Disusun Oleh:
Alif Demes Hendiarti (1604046004)
Intan Ni’ma Sintia (1604046020)
Nurul Nur ‘Aeni (1604046023)

TASAWUF PSIKOTERAPI
FAKUKTAS USHULUDDIN & HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2018
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap manusia terlahir unik, karena pribadi yang satu pastilah berbeda dengan pribadi
yang lainnya. Setiap pribadi pun memiliki mood yang berbeda-beda. Mood inilah yang
memungkinkan ia bisa merasakan sedih, namun sesaat kemudian bahagia. Kondisi mood
cenderung labil dalam diri seseorang, tidak pasti dia akan selalu merasa bahagia, ada kalanya
di suatu kondisi yang tidak memungkinkan, mood akan berubah menjadi murung, cemas,
gelisah, bahkan takut.
Perubahan mood manusia yang cepat naik turunnya merupakan hal yang wajar atau
normal. Hal tersebut malah menjadi tidak wajar apabila kita tidak bisa merasakannya disaat
seharusnya kita merasakan hal tersebut semisal, apabila kita diberi hadiah oleh seseorang
karena suatu prestasi yang dicapai, maka sudah sewajarnya kalau kita bahagia. Akan
menjadi janggal kalau kita malah merasa sedih. Pun sebaliknya, jika mengalami musibah,
pastilah kita akan berduka bahkan bisa jadi depresi dalam kondisi yang wajar. Justru akan
menjadi tidak normal apabila kita tidak depresi ketika mengalami kesulitan hidup.
Mood merupakan pengalaman emosional individu yang bersifat menyebar, maksudnya
keadan ini dapat mempengaruhi seluruh kejiwaan seseorang disaat itu juga. Mood masih
dikatakan dalam bentuk wajar apabila seseorang marasakannya secara natural dan mampu
mengendalikannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan gangguan mood?
2. Apa saja tipe-tipe gangguan mood?
3. Apa saja perspektif teoritis tentang gangguan mood?
4. Bagaimana penanganan pada gangguan mood?
PEMBAHASAN
A. Pengertian Gangguan Mood
Gangguan mood (mood disorder) adalah pengalaman gangguan mood yang luar biasa
parah atau berlangsung lama dan mengganggu kemampuan mereka untuk berfungsi dalam
memenuhi tanggung jawab secara normal.1 Menurut KBBI, gangguan merupakan halangan;
sesuatu yang menyusahkan; hal yang menyebabkan ketidakwarasan atau ketidaknormalan
(tentang jiwa, kesehatan, pikiran).2 Sedangkan mood, merupakan kondisi perasaan yang
selalu berubah-ubah yang mewarnai kehidupan psikologis manusia.
Gangguan mood akan menjurus pada suatu tipe gangguan yang ditandai dengan
ketidaknormalan pada mood. Gangguan mood ini dapat mengarahkan pada kecenderungan
depresi. Mood dianggap berfungsi dengan normal jika tidak sampai mempengaruhi gaya
hidup dan fungsi atau rutinitas hidup sehari-hari.
Gangguan suasana perasaan (mood disorder) berkaitan dengan episode-periode waktu
diskrit perilaku seseorang yang didominasi oleh suasana perasaan mania (rasa girang yang

1
Jeffrey S. Nevid, dkk., Psikologi Abnormal, edisi ke-5, jilid 1, terj. Tim Fakultas Psikologi UI, 2003, Jakarta:
Erlangga, hal. 229.
2
KBBI offline edisi ke-5, 2016, versi 0. 2. 0 Beta (20).

Psikologi Abnormal|Gangguan Mood pg. 2


berlebihan) atau depresi (kesedihan yang berlebihan). Terdapat dua tipe utama gangguan
mood:3 (1) gangguan yang berakibat seseorang hanya mengalami episode depresi, yang
dikenal dengan gangguan mood unipolar, dan (2) gangguan yang berakibat seseorang
episode mania maupun depresi, yang dikenal sebagai gangguan mood bipolar.
B. Tipe-Tipe Gangguan Mood
Sebelum memasuki pembahasan yang lebih lanjut tentang gangguan mood, berikut akan
ditampilkan ciri-ciri umum dari depresi:4
Perubahan pada kondisi - Perubahan pada mood (periode teus-menerus dari perasaan
emosional terpuruk, depresi, sedih, atau muram).
- Penuh air mata.
- Meningkatnya iritabilitas (mudah tersinggung), gelisah,
atau kehilangan kesabaran.
Perubahan dalam motivasi - Perasaan tidak termotivasi, memiliki kesulitan untuk
memulai kegiatan di pagi hari, bahkan sulit bangun dari
tempat tidur.
- Menurunnya tingkat partisipasi sosial atau minat pada
aktivitas sosial.
- Kehilangan kenikmatan atau minat dalam aktivitas
menyenangkan.
- Gagal untuk merespon pada pujian atau reward.
Perubahan dalam fungsi - Bergerak atau berbicara dengan lebih perlahan dari pada
dan perilaku motorik biasanya.
- Perubahan dalam kebiasaan tidur (tidur terlalu banyak
ataupun sedikit, bangun lebih awal atau bahkan lebih lama
dari biasanya).
- Perubahan dalam selera makan (makan terlalu banyak atau
sedikit)
- Perubahan yang drastis dalam berat badan.
- Berfungsi secara kurang efektif dari pada biasanya di tempat
kerja atau di sekolah.
Perubahan kognitif - Kesulitan berkonsentrasi atau berpikir jernih.
- Berpikir negatif mengenai diri sendiri dan masa depan.
- Perasaan bersalah dan menyesal mengenai kesalahan di
masa lalu.
- Kurangnya self-esteem atau merasa tidak adekuat
(menurunnya kepercayaan diri)
- Berpikir akan kematian bahkan bunuh diri.

Terdapat beberapa tipe gangguan mood, dalam pengklarifikasiannya dua jenis termasuk
dalam gangguan depresi (gangguan unipolar) yaitu: gangguan depresi mayor dan gangguan
distimik. Sedangkan gangguan perubahan pada mood (gangguan bipolar) juga terdapat dua
jenis, yaitu: gangguan bipolar dan gangguan siklotimik.

3
Thomas F. Oltmanns & Robert E. Emery, Psikologi Abnormal, buku ke-1, edisi ke-7, terj. Helly Prajitno
Soetjipto & Sri Mulyantini Soetjipto, 2013, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 104.
4
Jeffrey S. Nevid, dkk., Psikologi Abnormal, edisi ke-5, jilid 1, terj. Tim Fakultas Psikologi UI, 2003, Jakarta:
Erlangga, hal. 230.

Psikologi Abnormal|Gangguan Mood pg. 3


1. Gangguan Mood Unipolar
Gangguan mood dianggap unipolar jika gangguan ini terjadi hanya pada satu arah
emosional. Terdapat dua jenis gangguan di dalamnya:
a. Gangguan Depresi Mayor
Terjadinya satu atau lebih tanpa ada riwayat terjadinya episode mania atau hipomanik
alami. Seseorang dapat mengalami satu episode depresi mayor yang diikuti dengan
kembalinya mereka pada keadaan fungsional yang biasa. Umumnya, orang yang pernah
mengalami episode depresi mayor dapat kambuh lagi di antara periode normal.
Dalam episode depresi mayor, seseorang akan mengalami salah satu diantara mood
depresi (sedih, putus asa, atau terpuruk) atau kehilangan rasa senang dalam berbagai
aktivitas untuk periode waktu paling sedikit dua minggu dan dapat berlangsung selama
bulanan, bahkan tahunan. Gangguan depresi mayor adalah tipe yang paling umum dari
gangguan mood yang dapat didiagnosis, dengan perkiraan prevalensi semasa hidup berkisar
antara 10-25 % untuk wanita dan 5-12 % untuk pria (APA, 2000 dalam Jeffrey S. Nevid,
dkk., 2003). Depresi mayor pada episode yang lebih berat dapat disertai dengan ciri psikosis,
seperti delusi bahwa tubuhnya digerogoti penyakit (Coryel dkk., 1996 dalam Jeffrey S.
Nevid, dkk., 2003). Orang dengan depresi berat juga dapat mengalami halusinasi, seperti
mendengar suara-suara orang lain, atau kutukan kepada mereka atas kesalahan yang
dipersepsikan.
Faktor-Faktor Risiko dalam Depresi Mayor
Faktor-faktor yang meningkatkan risiko seseorang untuk mengembangkan depresi mayor
meliputi usia (lebih umum terjadi pada dewasa muda dari pada dewasa yang lebih tua); status
sosioekonomi (orang dengan taraf sosioekonomi yang rendah memiliki risiko yang lebih
besar dibandingkan dengan taraf yang lebih baik); dan status pernikahan (orang yang
berpisah atau bercerai memiliki risiko yang lebih tinggi dari pada orang yang menikah atau
tidak pernah/belum menikah). Pada dasarnya, depresi merupakan suatu kondisi yang
disebabkan oleh sesuatu yang membuat perasaan seseorang menjadi tidak nyaman.
Wanita memiliki kecenderungan hampir dua kali lipat lebih besar dari pada pria untuk
mengalami depresi mayor (APA, 2000; Blazer dkk., 1994; Kessler dkk., 1994 dalam Jeffrey
S. Nevid dkk., 2003). Perbedaan dalam resiko relatif antara pria dan wanita bermula pada
awal usia remaja dan bertahan paling tidak hingga usia pertengahan 50 tahun. Disamping
itu, perbedaan hormonal atau perbedaan biologis lainnya yang terkait dengan gender
dianggap kemungkinan berpengaruh. Namun menurut diskusi panel yang diselenggarakan
oleh American Psychological Assosiation (APA) menyimpulkan bahwa hal itu disebabkan
karena wanita lebih cenderung dari pada pria untuk menghadapi faktor-faktor kehidupan
yang penuh tekanan seperti penganiayaan fisik dan seksual, kemiskinan, orang tua tunggal,
dan diskriminasi gender.
b. Gangguan Distimik
Gangguan distimik adalah suatu tipe gangguan depresi yang ringan namun kronis.
Gangguan distimik (dysthymic disorder) atau distimia (dysthimia) diamildari akar bahasa
Yunani dys-, yang berarti “buruk”atau “sulit” dan thymos, berarti “spirit.” Orang-orang
dengan gangguan distimik merasakan “spirit yang buruk” atau “keterpurukan” sepanjang

Psikologi Abnormal|Gangguan Mood pg. 4


waktu, namun mereka tidak mengalami depresi yang sangat parah seperti gangguan depresi
mayor. Seseorang dengan gangguan depresi mayor cenderung parah dan terbatas waktunya.
Sedangkan gangguan distimik relatif ringan namun kronis, biasanya berlangsung selama
beberapa tahun (Klein dkk., 2000 dalam Jeffrey S. Nevid dkk., 2003).
Pada gangguan distimik, keluhan mengenai depresi dapat menjadi pelengkap yang tak
terpisahkan dalam hidupnya. Keluhan yang terus-menerusmereka lakukan dapat membuat
orang lain beranggapan bahwa mereka perengek dan pengeluh (Akiskal, 1983 dalam Jeffrey
S. Nevid dkk., 2003). Meskipun gangguan distimik dianggap lebih ringan dari pada
gangguan depresi mayor, mood yang tertekan dan self-esteem rendah yang berkelanjutan
dapat mempengaruhi fungsi pekerjaan dan sosial seseorang.
Dalam kasus lain, sebagian orang bisa saja mengalami gangguan distimik sekaligus
depresi mayor pada waktu yang bersamaan yang dikenal dengan istilah depresi ganda
(double depression). Orang yang menderita depresi ganda umumnya mengalami episode
depresi lebih parah dari pada orang dengan depresi mayor saja (Klein dkk., 2000 dalam
Jeffrey S. Nevid dkk., 2003).
2. Gangguan Mood Bipolar
Gangguan-gangguan perubahan mood (gangguan mood bipolar) terdiri atas dua
gangguan:
a. Gangguan Bipolar
Gangguan bipolar merupakan suatu gangguan yang ditandai dengan perubahan mood
antara rasa girang yang ekstrem (manik) dan depresi yang parah. Episode manik5 biasanya
terjadi beberapa minggu hingga bulan, umumnya lebih singkat dan berakhir secara lebih
tiba-tiba dari pada episode depresi mayor. DSM membedakan dua tipe umum dari ganggua
bipolar yaitu, gangguan bipolar I dan gangguan bipolar II (APA, 2000 dalam Jeffrey S.
Nevid dkk., 2003).
Pada gangguan bipolar I, seseorang akan mengalami paling tidak satu episode manik
secara penuh. Pada banyak kasus, individu mengalami perubahan mood antara rasa girang
dan depresi dengan diselingi periode antara berupa mood yang normal. Gangguan bipolar
II diasosiasikan dengan suatu bentuk manik yang lebih ringan. Pada gangguan bipolar II,
seseorang mengalami satu atau lebih depresi episode-episode depresi mayor dan paling tidak
satu episode hipomanik. Namun orang tersebut tidak pernah mengalami satu episode manik
secara penuh.
b. Gangguan Siklotimik
Cyclothymia berasal dari akar kata Yunani kyklos, yang berarti “lingkaran” dan thymos
“spirit”. Pengertian yang dimaksud adalah, siklotimik merupakan gangguan yang
melibatkan suatu pola melingkar yang konis dari gangguan mood yang ditandai oleh
perubahan mood ringan paling tidak selama dua tahun (satu tahun untuk anak-anak dan

5
Episode manik: suatu periode peningkatan euforia yang tidak realistis, sangat gelisah, dan aktivitas yang
berlebihan yang ditandai dengan perilaku yang tidak terorganisir. Selama satu episode manik, seseorang
akan mengalami elevasi atau atau ekspansi mood yang tiba-tiba dan merasakan kegembiraan , euforia, atau
optimisme yang tidak biasa.

Psikologi Abnormal|Gangguan Mood pg. 5


remaja). Gangguan siklotimik biasanya bermula pada akhir masa remaja atau awal masa
dewasa dan berlangsung selama bertahun-tahun.
C. Perspektif Teoritis tentang Gangguan Mood
Ditinjau dari dampaknya, gangguan mood dapat ditinjau melalui beberapa perspektif
mengingat gangguan mood melibatkan sebuah interaksi yang kompleks antara pengaruh
biologis dengan psikososial (Cui & Vaillant, 1997 dalam Jeffrey S. Nevid dkk., 2003).
1. Stress dan Gangguan Mood
Peristiwa kehidupan yang penuh tekanan seperti kehilangan orang yang dicintai,
putusnya hubungan romantis, lamanya hidup menganggur, kesulitan ekonomi, tekanan di
pekerjaan dan lain sebagainya dapat meningkatkan risiko berkembangnya gangguan mood
atau kambuhnya suatu gangguan mood, terutama depresi mayor (Greenberg dkk., 2000;
Kendler, Thornton, & Gardner, 2000; Monroe dkk., 2001 dalam Jeffrey S. Nevid dkk.,
2003).
Meskipun stress sering berimplikasi pada depresi, namun tidak semua orang yang
mengalami stress dapat menjadi depresi. Depresi sangat berhubungan dengan stresor-stresor
utama seperti kehidupan penuh tekanan yang berlebihan. Namun, jika mereka beranggapan
bahwa mereka sendiri yang bertanggung jawab terhadap kesulitan tersebut, maka hal itu bisa
mempengaruhi kecenderungan mereka untuk mengalami depresi. Disisi lain akan sulit
disimpulkan seperti contoh kasus apakah seseorang menjadi depresi karena kehilangan
pekerjaan atau seseorang kehilangan pekerjaan karena depresi.6
2. Teori Psikodinamika
Teori Psikodinamika klasik mengenai depresi dari Sigmund Freud (1917/1957) dan para
pengikutnya (seperti Abraham, 1916/1948) meyakini bahwa depresi mewakili kemarahan
yang diarahkan kepada diri sendiri dan bukan terhadap orang-orang yang dikasihi. Rasa
marah dapat diarahkan kepada self setelah mengalami kehilangan yang sebenarnya atau
ancaman kehilangan dari orang-orang yang dianggap penting.
Freud mempercayai bahwa berduka (mourning), atau rasa berkabung yang normal
adalah proses yang sehat karena dengan berduka seseorang akhirnya dapat melepaskan
dirinya sendiri secara psikologis terhadap suatu yang hilang (bisa karena meninggal,
berpisah, bercerai, dsb). Namun, rasa duka yang patologis tidak mendukung perpisahan yang
sehat. Bahkan, hakl ini dapat memupuk depresi yang berkepanjangan. Rasa duka yang
patologis cenderung terjadi pada orang yang memiliki perasaan ambivalen7 yang kuat.
Menurut pandangan psikodinamika, gangguan bipolar dapat mewakili dominasi yang
berubah-ubah dari kepribadian individu. Antar ego dan superego. Dalam fase depresi,
superego mendominasi, memproduksi kesadaran yang berlebihan atas kesalahan-kesalahan
dan membanjiri individu dengan perasaan bersalah dan ketidakberhargaa. Setelah beberapa
waktu, ego muncul kembali dan mengambil alih supremasi, memproduksi perasaan girang
dan self-confidence yang menandai fase manik. Ekshibisi ego yang berlebihan kemudian

6
Jeffrey S. Nevid, dkk., Psikologi Abnormal, edisi ke-5, jilid 1, terj. Tim Fakultas Psikologi UI, 2003, Jakarta:
Erlangga, hal. 241.
7
Ambivalen: perasaan yang saling bertentangan terhadap orang lain atau suatu tujuan.

Psikologi Abnormal|Gangguan Mood pg. 6


dapat memicu kembalinya rasa bersalah, sekali lagi hal ini dapat menenggelamkan individu
ke dalam depresi.8
3. Teori Humanistik
Menurut penjelasan humanistik, orang menjadi depresi saat mereka tidak dapat mengisi
keberadaan mereka dengan makna, kehilangan dedikasi hidup dan tidak mapu membuat
keputusa-keputusan atas berbagai pilihan autentik yang menghasilkan self-fulfillment
(pemenuhan diri). Kemudian dunia dianggap sebagai tempat yang menjemukan. Pencarian
orang akan makna akan memberikan warna dan arti bagi hidup mereka. Perasaan bersalah
dapat tibul saat orang percaya bahwa mereka tidak membangkitkan potensi-potensi diri
mereka. Teoritikus humanistik juga berfokus pada hilangnya self-esteem (menghargai diri)
Yang dapat muncul saat seseorang kehilangan teman atau anggota keluarga, ataupun
mengalami kemunduran prestasi atau pekerjaan. Hal inilah yang memicu ketidakberartian
dalam hidup sehingga memicu terjadinya depresi.
4. Teori Belajar
Teoritikus belajar lebih memikirkan faktor-faktor situasional, seperti kehilangan
reinforcement positif. Teoritikus belajar Peter Lewinsohn (1974) menyatakan bahwa
depresi dapat disebabkan dari ketidakseimbangan antara output perilaku dan input
reinforcement yang berasal dari lingkungan. Kurangnya reinforcement untuk usaha
seseorang dapat menurunkan motivasi dan menyebabkan depresi, yang dapat menyebabkan
ketidakaktifan dan akan semakin mengurangi kesempatan untuk mendapat reinforcement.9
Seseorang yang menderita kehilangan sosial lebih cenderung menjadi depresi bila mereka
kurang memiliki keterampilan sosial dalam membentuk hubungan baru. Dengan kata lain,
depresi meyebabkan seseorang menarik diri dari aktivitas yang memberikan reinforcement
sosial.
5. Teori Interaksi
Interaksi antara orang yang depresi dengan orang lain dapat membantu menjelaskan
pengurangan terhadap reinforcement negatif. Teori Interaksional yang dikembangkan oleh
psikolog James Coyne (1976),10 menyatakan bahwa penyesuaian pada kehidupan bersama
dengan orang yang depresi dapat sangat menekan hingga semakin lama reinforcement yang
diberikan pasangan atau anggota keluarga kepada orang yang depresi tersebut semakin
berkurang.
Teori interaksi didasarkan pada konsep timbal balik. Perilaku seseorang akan
mempengaruhi dan sebaliknya akan dipengaruhi pula oleh orang lain. Teori ini meyakini
bahwa orang yang mudah depresi bereaksi terhadap stress dengan menuntut diberi
keyakinan dan dukungan sosial yang lebih besar. Pada awalnya, orang yang depresi dapat

8
Jeffrey S. Nevid, dkk., Psikologi Abnormal, edisi ke-5, jilid 1, terj. Tim Fakultas Psikologi UI, 2003, Jakarta:
Erlangga, hal. 241-242.
9
Jeffrey S. Nevid, dkk., Psikologi Abnormal, edisi ke-5, jilid 1, terj. Tim Fakultas Psikologi UI, 2003, Jakarta:
Erlangga, hal. 269.
10
Jeffrey S. Nevid, dkk., Psikologi Abnormal, edisi ke-5, jilid 1, terj. Tim Fakultas Psikologi UI, 2003, Jakarta:
Erlangga, hal. 244.

Psikologi Abnormal|Gangguan Mood pg. 7


sukses dengan mengumpulkan dukungan. Namun, setelah beberapa waktu, tuntutan dan
perilaku orang lain tersebut mulai menimbulkan kemarahan dan kejengkelan.
6. Teori kognitif
Teoritikus kognitif menghubungkan antara asal mula dan bertahannya depresi dengan
cara-cara bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya. Aaren Beck
(Beck, 1976; Beck dkk., 1979 dalam Jeffrey S. Nevid dkk., 2003), seorang teoritikus kognitif
yang berpengaruh menghubungkan pengembangan depresi dengan adopsi dari cara berpikir
yang bias atau terdistorsi secara negatif dari awal kehidupan “segitiga kognitif dari depresi”
(cognitive triad of depression). Segitiga kognitif ini mencakup keyakinan-keyakinan negatif
mengennai diri sendiri (contoh: “saya tidak berguna”), lingkungan atau dunia secara umum
(contoh: “pekerjaan ini tidak menyenangkan”), dan masa depan (contoh: “tidak akan pernah
ada yang berakhir indah untuk saya”).
Teori kognitif meyakini bahwa orang yang mengadopsi pemikiran negatif memiliki
resiko yang lebih besar ke arah depresi dibandingkan dengan pengalaman hidup yang
menekan atau mengecewakan, seperti mendapat nilai buruk atau kehilangan pekerjaan.
Terjadinya hal buruk tersebut sebagai bentuk implementasi dari pikiran buruk yang telah
tertanam di alam bawah sadar sehingga menjadi suatu klaim bagi dirinya.
7. Teori Ketidakberdayaan (Atribusional)
Ketidakberdayaan yang dipelajari (learned helpless) mengajukan pandangan bahwa
orang menjadi depresi karena ia belajar untuk memandang dirinya sendiri sebagai tidak
berdaya dalam mengontrol reinforcemen-reinforcement di lingkungannya atau untuk
mengubah kehidupannya menjadi lebih baik. Martin Seligman (1973, 1975), seseorang yang
pertama kali menyusun konsep ketidakberdayaan menyatakan bahwa orang belajar untuk
memandang dirinya sebagai tidak berdaya karena pengalaman-pengalamannya. Oleh karena
itu, model ketidakberdayaan yang dipelajari menggabungkan teori behavioral dan kognitif:
faktor-faktor situasional membentuk sikap yang menyebabkan depresi.
Teori-teori ketidakberdayaan yang telah diformulasi ulang meyakini bahwa orang yang
menjelaskan penyebab-penyebab dari peristiwa negatif dengan berdasarkan pada tiga tipe
atribusi berikut, adalah orang yang paling rentan terhadap depresi:11
1. Faktor-faktor internal, atau keyakinan bahwa kegagalan merefleksikan
ketidakmampuan pribadi. Bukan pengaruh dari faktor-faktor internal, atau
keyakinan bahwa kegagalan disebabkan oleh faktor-faktor lingkungan.
2. Faktor-faktor global, atau keyakinan bahwa kegagalan merefleksikan seluruh
kesalahan dalam kepribadian dan bukan faktor-faktor spesifik, atau keyakinan
bahwa kegagalan merefleksikan area yang terbatas dari kemampuan berfungsi
3. Faktor stabil, atau keyakinan bahwa kegagalan merefleksikan faktor kepribadian
yang menetap dan bukan faktor-faktor yang relatif, atau keyakinan bahwa faktor-
faktor yang menyebabkan kegagalan dapatlah diubah.
Disamping beberapa teori tentang gangguan mood yang telah di paparkan diatas,
perkembangan mood juga dipengaruhi oleh faktor biologis yaitu, faktor genetis dan faktor
11
Jeffrey S. Nevid, dkk., Psikologi Abnormal, edisi ke-5, jilid 1, terj. Tim Fakultas Psikologi UI, 2003, Jakarta:
Erlangga, hal. 251.

Psikologi Abnormal|Gangguan Mood pg. 8


biokimia dan abnormalitas otak dalam depresi. Faktor-faktor genetis, menurut penelitian
dapat berimplikasi pada gangguan mood. Semakin dekat hubungan genetis yang dibagi
seseorang dengan orang lain yang menderita suatu gangguan mood mayor, maka semakin
besar pula kecenderungan orang tersebut untuk menderita gangguan mood mayor (Vincent
dkk., 1999 dalam Jeffrey S. Nevid dkk., 2003).
Sedangkan faktor biokimia dan abnormalitas otak sebagai penyebab biologis yang
mendasar dari depresi yang berfokus pada berkurangnya tingkat neurotransmiter dalam otak.
Gajala ini dapat diredam dengan menaikkan tingkat neurotransmiter dengan obat-obatan
seperti norepinephrine dan serotonin di otak yang disebut dengan obat antidepresan.12
D. Penanganan pada Gangguan Mood
Terdapat beberapa pendekatan yang dianggap berpengaruh terhadap penanganan
gangguan mood. Penanganan ini berasal dari model-model psikologi dan biologi yang
berfokus pada sejumlah pendekatan kontemporer terkemuka.
1. Pendekatan Psikodinamika
Psikoanalisis tradisional bertujuan membantu orang yang depresi untuk memahami
perasaan mereka sendiri yang ambivalen terhadap orang-orang penting dalam hidup mereka
yang telah hilang atau terancam hilang. Dengan menggali perasaan-perasaan marah terhadap
objek (orang-orang penting dalam hidup) yang hilang ini, mereka dapat mengarahkan rasa
marah keluar-melalui ekspresi verbal dari perasaan. Psikologis tradisional ini dapat
menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengungkap dan menghadapi konflik-konflik
yang tidak disadari.
Seiring berkembangnya model-model psikoterapi untuk depresi yang lebih baru telah
memunculkan dari aliran interpersonal atas terapi psikodinamika yang dasarnya diambil dari
hasil penelitian Harry Stack Sullivan dan penganut neo-Freudian, seperti Karen Horney.13
Salah satu contoh kontemporer adalah psikoterapi interpersonal (interpersonal
psychoteraphy/IPT) (Klerman dkk., 1984 dalam Jeffrey S. Nevid dkk., 2003). IPT adalah
suatu bentuk singkat pada hubungan interpersonal klien pada saat ini. Perintis IPT percaya
bahwa depresi terjadi dalam suatu konteks interpersonal dan bahwa isu hubungan perlu
untuk ditekankan dalam penanganan.
IPT telah tampil sebagai suatu penanganan yang efektif bagi depresi mayor dan
menunjukkan harapan dalam menangani gangguan psikologis lainnya, termasuk gangguan
distimik dan bulimia (DeRubies & Crits-Christoph, 1998; Leichsenring, 2001 Jeffrey S.
Nevid dkk., 2003). IPT berusaha membantu klien menghadapi reaksi kesedihan yang tidak
terselesaikan atau yang mengganggu setelah kehilangan orang-orang yang dicintai dan juga
konflik-konflik peran dalam hubungan saat ini (Weissman & Markowitz, 1994 dalam
Jeffrey S. Nevid dkk., 2003). Terapis membantu klien mengekspresikan kesedihannya dan
menghadapi rasa kehilangan sambil membimbing mereka dalam mengembangkan aktivitas-
aktivitas dan hubungan-hubungan baru untuk membantu memperbarui kehidupan mereka.

12
Jeffrey S. Nevid, dkk., Psikologi Abnormal, edisi ke-5, jilid 1, terj. Tim Fakultas Psikologi UI, 2003, Jakarta:
Erlangga, hal. 252-253.
13
Jeffrey S. Nevid, dkk., Psikologi Abnormal, edisi ke-5, jilid 1, terj. Tim Fakultas Psikologi UI, 2003, Jakarta:
Erlangga, hal. 255.

Psikologi Abnormal|Gangguan Mood pg. 9


2. Pendekatan Behavioral
Pendekatan penanganan behavioral beranggapan bahwa perilaku depresi dipelajari dan
dapat dihilangkan (unlearned). Terapis perilaku bertujuan untuk secara langsung
memodifikasi perilaku dan bukan untuk menumbuhkan kesadaran terhadap kemungkinan
penyebab yang tidak disadari dari perilaku-perilaku ini. Terapi perilaku telah terbukti
menghasilkan keuntungan yang cukup berarti dalam menangani depresi untuk orang dewasa
dan juga remaja (Craighead, Craighead, & Ilardi, 1998 dalam Jeffrey S. Nevid dkk., 2003).
Salah satu program behavioral yang ilustratif telah dikembangkan oleh Lewinshon dan
kolega-koleganya (Kewinshon dkk., 1996 dalam Jeffrey S. Nevid dkk., 2003).program ini
terdiri dari sebuah program terapi kelompok dengan 12 sesei selama 8 minggu yang
diorganisasikan sebagai suatu kursus-Coping With Depression (CWD) Course. Kursus ini
memebantu klien memperoleh keterampilan relaksasi, meningkatkan aktivitas yang
menyenangkan, dan membangun keterampilan sosial yang memungkinkan mereka untuk
mendapatkan reinforcement sosial.14
3. Pendekatan Kognitif
Teoritikus kognitif percaya bahwa pikiran yang terdistorsi memainkan suatu peran kunci
dalam perkembangan depresi. Aaron Beck dan kolega-koleganya telah mengembangkan
suatu pendekatan penanganan yang multikomponen, disebut terapi kognitif, yang berfokus
pada membantu seseorang yang depresi untuk belajar menyadari dan mengubah pola
berpikir mereka yang disfungsional. Orang-orang yang depresi biasanya lebih cenderung
memikirkan bagaimana keadaan perasaan mereka dan bukan pada pikiran yang mendasari
kondisi peraaan mereka. Maksudnya disini adalah, mereka lebih memikirkan kekacauan atas
perasaan mereka dibanding mencari akar permasalah untuk diselesaikan sehingga tidak
memicu atau mempertahankan mood yang depresi.
Teori kognitif memiliki kesamaan dengan teori perilaku, melibatkan suatu bentuk terapi
yang relatif singkat, biasanya 14-16 sesi mingguan (Butler & Beck, 1995 dalam Jeffrey S.
Nevid dkk., 2003). Terapis menggunakan suatu kombinasi dari teknik-teknik behavioral dan
kognitif untuk membantu klien mengidentifikasi dan mengubah pikiran-pikiran yang
disfungsional serta mengembangkan perilaku yang lebih adaptif. Teori Kognitif membantu
klien untuk menyadari adanya distorsi kognitif dan mengganti distorsi tersebut dengan
pikiran-pikiran alternatif yang lebih rasional. 15
4. Pendekatan Biologis
Pendekatan-pendekatan biologis yang paling umum digunakan untuk menangani
gangguan mood melibatkan obat-obatan antidepresan dan terapi elektrokonvulsif untuk
depresi serta litium karbonat untuk gangguan bipolar.
Obat-obatan antidepresan yang digunakan untuk menangani depresi mencakup
beberapa kelas dari antidepresan: tricyclic antidepressants (TCAs) monoamine oxidase
(MAO) inhibitors, dan sekelective serotonin-reuptake inhibitors (SSRIs). Semua obat-

14
Jeffrey S. Nevid, dkk., Psikologi Abnormal, edisi ke-5, jilid 1, terj. Tim Fakultas Psikologi UI, 2003, Jakarta:
Erlangga, hal. 256.
15
Jeffrey S. Nevid, dkk., Psikologi Abnormal, edisi ke-5, jilid 1, terj. Tim Fakultas Psikologi UI, 2003, Jakarta:
Erlangga, hal. 256-257.

Psikologi Abnormal|Gangguan Mood pg. 10


obatan ini meningkatkan tingkat (berfungsinya) otak, kemungkinan juga fungsi
neurotransmiter. Namun, antidepresan cenderung memiliki efek tunda, biasanya
membutuhkan beberapa minggu penanganan sebelum suatu manfaat terapeutik dicapai.
Obat litium karbonat sebagai penanganan obat untuk gangguan bipolar berbentuk
bubuk dari litium berelemen metalik, adalah pengobatan yang paling luas dipakai dan
direkomendasikan untuk gangguan bipolar. Litium efektif dalam menstabilkan mood orang
menderita gangguan bipolar dan dalam mengurangi episode-episode kambuh dari mania dan
depresi (Baldessarini & Tondo, 2000; Grof & Alda, 2000 dalam Jeffrey S. Nevid dkk.,
2003). Litium umumnya lebih efektif dalam menangani simtom-simtom manik daripada
depresi (Sachs dkk., 1994 dalam Jeffrey S. Nevid dkk., 2003).
Penggunaan litium harus dimonitor secara ketat karena adanya efek beracun yang
potensial dan efek samping lainnya. Disamping itu, terdapat juga obat antikonvulsan yang
memberikan efeksamping lebih sedikit dibandingkan litium.16 Namun hal ini juga masih
tergantung pada keadaan pasien.
Terapi elektrokonvulsif (ECT) yang lebih umum dikenal dengan sebutan terapi
kejutan (shock therapy) adalah suatu penanganan yang secara umum aman dan efektif bagi
penderita depresi berat, serta dapat membantu menghilangkan depresi pada banyak kasus
dimana penanganan yang lain telah gagal. ECT melibatkan pengaliran arus listrik ke kepala
antara 70-130 volt untuk menginduksi suatu konvulsi yang serupa dengan serangan epilepsi.
ECT biasanya diberikan dalam suatu rangkaian 6-12 kali penanganan yang didistribusikan
dalam satu rangkaian tiga kali seminggu, selama satu periode beberapa minggu (USDHHS,
1999 dalam Jeffrey S. Nevid dkk., 2003).
5. Pedoman Praktik Klinis untuk Depresi.
Terdapat beberapa pedoman penanganan yang efektif dalam menangani depresi
berdasarkan bukti dari penelitian terkontrol para ahli yang telah dilakukan (Depression
Guideline Panel, 1993 dalam Jeffrey S. Nevid dkk., 2003), yaitu:
 Pengobatan antidepresan (tricyclic atau sekelective serotonin-reuptake
inhibitors).
 Tiga bentuk spesifik dari psikoterapi: terapi kognitif, terapi perilaku, dan terapi
interpersonal.
 Suatu kombinasi dari salah satu bentuk psikoterapi yang direkomendasikan
dengan pengobatan antidepresan.
 Bentuk penanganan tertentu lainnya, termasuk ECT dan fototerapi untuk depresi
musiman.

16
Jeffrey S. Nevid, dkk., Psikologi Abnormal, edisi ke-5, jilid 1, terj. Tim Fakultas Psikologi UI, 2003, Jakarta:
Erlangga, hal. 261-262.

Psikologi Abnormal|Gangguan Mood pg. 11


PENUTUP
Kesimpulan
Gangguan mood (mood disorder) adalah gangguan pada perasaan yang berlangsung
cukup lama, tidak seperti biasanya, bisa menjadi cukup serius sehingga dapat mengubah
fungsi kehidupan sehari-hari. Gangguan mood memiliki dua tipe utama; pertama gangguan
mood unipolar, yang terdiri dari; a) gangguan depresi mayor, dan b) gangguan distimik.
Kedua, gangguan mood bipolar yang terdiri dari; a) gangguan bipolar, dan b) gangguan
siklotimik.
Tipe-tipe gangguan mood banyak diteliti oleh para ahli dan melahirkan berbagai
perspektif yang mengkaji berbagai faktor seperti faktor psikologis dan biologis yang
mempengaruhi gangguan mood. Diantara perspektif tentang gangguan mood tersebut adalah
sebagai berikut; a) Korelasi antara Stress dan Gangguan Mood, b) Teori
Psikodinamika, c) Teori Humanistik, d) Teori Belajar, e) Teori Interaksi, f) Teori
Kognitif, dan g) Teori Ketidakberdayaan. Disamping teori-teori diatas, gangguan mood
juga dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor biologis, seperti faktor genetis, faktor biokimia
dan Abnormalitas otak dalam depresi.
Dari perspektif yang telah disebutkan diatas, kemudian muncullah metode penanganan
gangguan mood yang dipelajari dari persektif tersebut sehingga gangguan mood dapat
ditangani secara efektif yang berangkat dari teori perspektifnya. Diantara pendekatan
penanganan gangguan mood adalah; a) Pendekatan Psikodinamika, b) Pendekatan
Behavioral, c) Pendekatan Kognitif, d) Pendekatan Biologis, e) Penggunaan Obat
Antidepresan dan Gangguan Bipolar, serta f) Terapi Elektrokonvulsif.

DAFTAR PUSTAKA
KBBI offline edisi ke-5, 2016, versi 0. 2. 0 Beta (20).
Nevid, Jeffrey S. dkk. Psikologi Abnormal. Edisi ke-5 jilid 1. Terj. Tim Fakultas Psikologi
UI. 200. Jakarta: Erlangga.
Oltmanns, Thomas F. & Robert E. Emery. Psikologi Abnormal. Buku ke-1. Edisi ke-7. Terj.
Helly Prajitno Soetjipto & Sri Mulyantini Soetjipto. 2013. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.

Psikologi Abnormal|Gangguan Mood pg. 12

Anda mungkin juga menyukai