Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CHRONIC


MIELOID LEUKEMIA (CML) DI RUANG 25 RUMAH SAKIT
Dr. SAIFUL ANWAR MALANG

Oleh:
Ana Septianadi Fahulpa, S.Kep.
NIM. 192311101037

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan


Chronic Mieloid Leukemia (Cml) Di Ruang 25 Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar
Malang telah disetujui dan disahkan pada
Hari, Tanggal :
Tempat : Ruang 25 IRNA I Rumah Sakit dr. Saiful Anwar Malang

Malang, Februari 2020

Pembimbing Akademik Stase Pembimbing Klinik


Keperawatan Medikal Ruang 25 IRNA I Rumah Sakit
FKep Universitas Jember dr. Saiful Anwar Malang
LAPORAN PENDAHULUAN
CHRONIC MIELOID LEUKEMIA (CML)

A. Sistem Hematologi
Sistem hematologi tersusun atas darah dan tempat darah diproduksi,
termasuk sumsum tulang dan nodus limpa. Darah adalah organ khusus yang
berbeda dengan organ yang lain karena berbentuk cairan. Dalam keadaan
fisiologis, darah selalu berada dalam pembuluh darah sehingga dapat menjalankan
fungsinya sebagai pembawa oksigen (oxygen carrier), mekanisme pertahanan
tubuh terhadap infeksi dan mekanisme hemostasis. Darah merupakan suatu
suspensi partikel dalam suatu larutan kolid cair yang mengandung elektrolit dan
merupakan suatu medium pertukaran antar sel yang terfikasi dalam tubuh dan
lingkaran luar (Price dan Wilson, 2013).

Gambar 1. Sistem Hematologi

Pada umumnya, darah terdiri dari dua komponen utama, yaitu:

a) 55% adalah sel plasma, cairan matriks ekstraselular yang mengandung zat-zat
terlarut
b) 45% adalah sel darah, unsur yang diedarkan yang terdiri dari sel dan fragmen-
fragmen sel. Komponen padat yang terdapat di dalam plasma darah yang
terdiri dari sel eritrosit (sel darah merah), leukosit (sel darah putih), dan
trombosit (bekuan darah) (Pearce, 2015).
Pada umumnya, sekitar 99% dari unsur yang diedarkan merupakan sel darah
merah (eritrosit), kurang dari 1% adalah sel darah putih (leukosit) dan platelet
(Tortora, 2013).

Darah arteri berwarna merah terang yang menandakan bahwa darah


teroksigenasi dengan baik. Sementara darah vena berwarna gelap karena kurang
teroksigenasi. Darah mengalir 4-5 kali lebih lambat dibandingkan air karena darah
4-5 kali lebih ketal dari pada air. Berat jenis darah bervariasi berkisar antara
1,054-1,065, suhu darah adalah 38oC, dan pH 7,38. Volume darah dalam tubuh
berkisar 8% dari berat badan, rata-rata mendekati 5-6 liter (Syaifuddin, 2013).
Fungsi darah adalah sebagai berikut:

a) Membawa nutrien yang telah disiapkan oleh saluran pencernaan menuju ke


jaringan tubuh. Darah bekerja sebagai sistem pengangkutan (sirkulasi,
distribusi dan transportasi) dari tubuh dan mengantarkan semua bahan kimia
(mineral, vitamin, hormon, enzim, dll.), oksigen, dan zat makanan, nutrisi
atau gizi yang dibutuhkan sel dan jaringan untuk melakukan aktivitas
fisiologis serta membuang karbondioksida serta hasil pembuangan sisa
metabolisme dan lainnya ke luar tubuh.
b) Mengantarkan oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh. Sel darah merah
(eritrosit) mengantarkan oksigen (O2) dari paru-paru ke seluruh jaringan
tubuh dan mengangkut karbondioksida (CO2) dari jaringan tubuh menuju ke
paru-paru.
c) Mengangkut produk buang dari berbagai jaringan menuju ginjal untuk di
ekskresikan
d) Mengangkut hasil sekresi kelenjar endokrin (hormon) dan enzim dari organ
ke organ
e) Ikut berperan dalam mempertahankan keseimbangan air, sistem buffer seperti
bicarbonat di dalam darah membantu mempertahankan pH yang konstan pada
jaringan dan cairan tubuh
f) Berperan penting dalam pengendalian suhu tubuh dengan cara mengangkut
panas dari struktur yang lebih dalam menuju ke permukaan tubuh. Pengantar
energi panas dari tempat aktif ke tempat yang tidak aktif untuk menjaga suhu
tubuh atau sebagai respons pengaktifan sistem imunitas.
g) Mengatur konsentrasi ion hydrogen dalam tubuh (keseimbangan asam dan
basa)
h) Membantu pertahanan tubuh terhadap penyakit. Sel darah putih (leukosit)
menyediakan banyak tipe sebagai pelindung, misalnya beberapa tipe yang
fagositik untuk melindungi tubuh terhadap serangan kuman dengan cara
memangsa, melawan infeksi dengan antibodi.
i) Pembekuan darah pada luka mencegah terjadinya kehilangan darah yang 8
berlebihan pada waktu luka serta mengandung faktor-faktor penting untuk
pertahanan tubuh terhadap penyakit .

Gambar 2. Komponen Darah


B. Definisi
Leukemia adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan diferensiasi dan
proliferasi sel induk hematopoietik yang mengalami transformasi dan ganas,
menyebabkan supresi dan penggantian elemen sumsum normal. Leukemia
dibagi menjadi 2 tipe umum: leukemia limfositik dan leukemia mieloid
(Guyton and Hall, 2007).
Leukemia mieloid kronik (LMK) atau chronic myeloid leukemia (CML)
merupakan leukemia kronik, dengan gejala yang timbul perlahanlahan dan sel
leukemianya berasal dari transformasi sel induk mieloid. CML termasuk
kelainan klonal (clonal disorder) dari sel induk pluripoten dan tergolong
sebagai salah satu kelainan mieloproliferatif. Nama lain untuk leukemia
myeloid kronik, yaitu chronic myelogenous leukemia dan chronic myelocytic
leukemia. (I Made, 2006).
Chronic myeloid leukemia (CML) juga merupakan keganasan yang
berkembang lambat di sumsum tulang dengan ditandai berkembangnya
leukosit dalam jumlah yang banyak. Chronic Myeloid Leukemia adalah salah
satu bentuk dari leukemia yang ditandai dengan meningkatnya dan
pertumbuhan yang tidak teratur dari sel myeloid di dalam sum-sum tulang dan
terakumulasi juga di dalam darah.
Leukemia mielositik kronik atau sering disebut juga leukemia granulositik
kronik adalah suatu penyakit klonal sel induk pluripoten yang digolongkan
sebagai salah satu penyakit mieloproliferatif (Price dan Wilson, 2006).
Penyakit ini timbul pada tingkat sel induk pluripoten dan secara terus-menerus
terkait dengan gen gabungan BCR-ABL(break cluster region-Abelson)
(Vardiman, 2007). Penyakit proliferatif adalah penyakit yang ditandai oleh
proliferasi dari seri granulosit tanpa gangguan diferensiasi, sehingga pada
apusan darah tepi dapat terlihat tingkatan diferensiasi seri granulosit, mulai dari
promielosit, sampai granulosit (Fadjari, 2006). Leukemia mielositik kronik
yang paling umum adalah disertai dengan kromosom Philadelphia (Ph)
(Hoffbrand et al, 2005).
C. Prevalensi
I Made (2006) dan Victor et al., (2005) mengungkapkan bahwa
CML merupakan 15-20% dari leukemia dan merupakan leukemia kronik yang
paling sering di jumpai di Indonesia, sedangkan di negara Barat Leukemia
kronik lebih banyak dijumpai dalam bentuk CLL (Chronic Lymphocytic
Leukemia). Insiden CML di negara Barat sekitar 1-1,4/100.000/tahun.
Penyakit ini terjadi pada kedua jenis kelamin (rasio pria : wanita sebesar
1,4:1). Umumnya CML mengenai usia pertengahan dengan puncak pada umur
40-50 tahun. Pada anak-anak dapat di jumpai bentuk juvenile CML.

C. Etiologi

Etiologi CML masih belum diketahui. Menurut Jorge et al., (2010)


Beberapa asosiasi menghubungkannya dengan faktor genetik dan faktor
lingkungan, tetapi di kebanyakan kasus, tidak ada faktor yang dapat di
identifikasikan. Agung (2010) mengungkapkan bahwa ada dua faktor yang
menyebabkan CML, yaitu faktor instrinsik (host) dan faktor ekstrinsik
(lingkungan).
1. Faktor Instrinsik
a. Keturunan dan Kelainan Kromosom
Leukemia tidak diwariskan, tetapi sejumlah individu memiliki
faktor predisposisi untuk mendapatkannya. Risiko terjadinya leukemia
meningkat pada saudara kembar identik penderita leukemia akut,
demikian pula pada suadara lainnya, walaupun jarang. Pendapat ini
oleh Price atau Wilson (1982) yang menyatakan jarang ditemukan
leukemia Familial, tetapi insidensi leukemia terjadi lebih tinggi pada
saudara kandung anak-anak yang terserang dengan insiden yang
meningkat sampai 30 % pada kembar identik (monozigot), (Agung
,2010).
Kejadian leukemia meningkat pada penderita dengan kelainan
fragilitas kromosom (anemia fancori) atau pada penderita dengan
jumlah kromosom yang abnormal seperti pada sindrom Duwa, sindrom
klinefelter dan sindrom turner.
b. Imun dan Defisiensi Sumsum Tulang
Sistem imunitas tubuh kita memiliki kemampuan untuk
mengidentifikasi sel yang berubah menjadi sel ganas. Gangguan pada
sistem tersebut dapat menyebabkan beberapa sel ganas lolos dan
selanjutnya berproliferasi hingga menimbulkan penyakit. Hipoplasia
dari sumsum tulang mungkin sebagai penyebab leukemia (Agung
,2010).
2. Faktor Ekstrinsik
a. Faktor Radiasi
Adanya efek leukemogenik dan ionisasi radiasi, dibuktikan dengan
tingginya insidensi leukemia pada ahli radiologi (sebelum ditemukan
alat pelindung), penderita dengan pembesaran kelenjar tymus,
Ankylosing spondilitis dan penyakit Hodgkin yang mendapat terapi
radiasi. Diperkirakan 10 % penderita leukemia memiliki latar belakang
radiasi Sebelum proteksi terhadap sinar rutin dilakukan, ahli radiologi
mempunyai risiko menderita leukemia 10 kali lebih besar. Penduduk
Hiroshima dan Nagasaki yang hidup sesudah ledakan bom atom tahun
1945 mempunyai insidensi LMA dan LMK sampai 20 kali lebih
banyak. Demikian pula pada penderita ankylosing spondilitis yang
diobati dengan sindar radioaktif lebih dari 2000 rads mempunyai
insidensi LMA 14 kali lebih banyak (Agung ,2010).
b. Bahan Kimia dan Obat-obatan
Bahan-bahan kimia terutama Hydrokarbon sangat berhubungan
dengan leukemia akut pada binatang dan manusia. Remapasan Benzen
dalam jumlah besar dan berlangsung lama dapat menimbulkan
leukemia. Penelitian Akroy et al (1976) telah membuktikan bahwa
pekerja pabrik sepatu di Turki yang kontak lama dengan benzen dosis
tinggi banyak yang menderita LMA . Kloramfenikol dan fenilbutazon
diketahui menyebabkan anemia aplastik berat, tidak jarang diketahui
dikahiri dengan leukemia, demikian juga dengan Arsen dan obat-obat
imunosupresif (Agung ,2010).
c. Infeksi Virus
Virus menyebabkan leukemia pada beberapa dirating percobaan di
laboratorium. Peranan virus dalam timbulnya leukemia pada manusia
masih dipertanyakan. Diduga yang ada hubungannya dengan leukemia
adalah Human T-cell leukemia virus (HTLV-1), yaitu suatu virus RNA
yang mempunyai enzim RNA transkriptase yang bersifat karsinogenik
(Agung ,2010).
Beberapa virus tertentu sudah dibuktikan menyebabkan leukemia
pada binatang. Timbulnya leukemia dipengaruhi antara lain oleh umur,
jenis kelamin, strain virus, faktor imunologik serta ada tidaknya zat
kimia dan sinar radioaktif. Sampai sekarang tidak atau belum dapat
dibuktikan bahwa penyebab leukemia pada manusia adalah virus.
Walaupun demikian ada beberapa hasil penelitian yang menyokong
teori virus sebagai penyebab leukemia, antara lain enzyme reverse
transcriptase ditemukan dalam darah penderita leukemia. Seperti
diketahui enzim ini ditemukan di dalan virus onkogenik seperti
retrovirus tipe-C, yaitu jenis virus RNA yang menyebabkan leukemia
pada binatang (Agung ,2010).
Leukemia mielositik kronik adalah salah satu dari kanker yang
diketahui disebabkan oleh sebuah mutasi spesifik tunggal di lebih dari
90% kasus. Transformasi leukemia mielositik kronik disebabkan oleh
sebuah translokasi respirokal dari gen BCR pada kromosom 22 dan gen
ABL pada kromosom 9, menghasilkan gabungan gen BCR-ABL yang
dijuluki kromosom Philadelphia. Protein yang dihasilkan dari gabungan
gen tersebut, meningkatkan proliferasi dan menurunkan apoptosis dari sel
ganas.
Perjalanan penyakit leukemia mielositik kronik terdiri atas 3 fase yaitu :
1. Fase kronik
Fase ini ditandai dengan ekspansi yang tinggi dari hemopoietik pool
dengan peningkatan sel darah matur dengan sedikit gangguan fungsional.
Pada sumsum tulang, hepar, lien, dan darah perifer dijumpai sel neoplasma
yang sedikit. Lama fase kronik 3 tahun. Gejala klinis akibat
hipermetabolik seperti panas, keringat malam, lemah, perut kembung,
gangguan penglihatan, penurunan berat badan, gangguan penglihatan, dan
anorexia. Pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan anemia
normokromik normositer, dengan kadar leukosit meningkat antara 80.000-
800.000/mmk. Pada pemeriksaan apusan darah dapat dilihat seluruh
stadium diferensiasi sel. Kadar eosinofil dan basofil juga meningkat.
2. Fase Akselerasi
Setelah kurang lebih 3 tahun, leukemia mielositik kronik akan masuk ke
fase akselerasi yang lebih sulit dikendalikan daripada fase kronik dan fase
ini dapat berlangsung selama beberapa bulan (Hoffbrand et al, 2005).
Gejala fase akselerasi :
 Panas tanpa penyebab yang jelas.
 Spleenomegali progresif.
 Trombositosis.

 Basofilia (>20%), Eosinofilia, Myeloblast (>5%).


 Gambaran myelodisplasia seperti hipogranulasi neutrofil, mikro
megakariosit atau mononuclear yang besar.
 Fibrosis kolagen pada sumsum tulang.
 Terdapat kromosom baru yang abnormal seperti kromosom
Philadelphia.
3. Fase Krisis Blas
Fase ini ditandai dengan ditemukannya lebih dari 30% sel blas pada
sumsum tulang. Sel blas kebanyakan adalah myeloid, tetapi dapat juga
dijumpai eritroid, megakariositik, dan limfoblas. Jika sel blas mencapai
>100.000/mmk, maka penderita memiliki resiko terkena sindrom
hiperleukositosis.

D. Faktor Resiko
Sampai saat ini yang dicurigai ikut berperan dalam patogenesis LMK
adalah factor radiasi ion, virus dan bahan-bahan kimia. Menurut beberapa
laporan kasus LMK lebih tinggi pada orang yang bekerja di unit radiology,
orang yang terpapar radiasi bom atom, penderita yang mendapat terapi radiasi
karena penyakit Ankilosing spondilitis dan penyakit lain. Walaupun begitu,
hanya 5 – 7 % dari kasus LMK yang dilaporkan berhubungan dengan adanya
paparan radiasi dan hal ini sangat jarang mengenai kelompok anak-anak.
Berdasarkan penelitian terhadap penduduk yang hidup setelah terpapar radiasi
bom atom, waktu yang diperlukan mulai dari saat terpapar sampai timbulnya
gejala klinis adalah antara 5-10 tahun. Pada anak muda, khususnya yang
terpapar saat umur di bawah 5 tahun akan meningkatkan kejadian LMK, tetapi
tidak dijumpai adanya peningkatan kejadian pada bayi dalam kandungan yang
ibunya terpapar saat hamil. Secara skematis perubahan-perubahan yang terjadi
mulai dari masa inisiasi preleukemia dan akhirnya menjadi leukemia.
a. Paparan radiasi dosis tinggi
Menjadi terkena radiasi dosis tinggi (seperti menjadi selamat dari ledakan
bom atomatau kecelakaan reaktor nuklir ) merupakan satu -satunya
faktor risiko lingkunganuntuk chronic myeloid leukemia
b. U s i a d a n J e n i s K e l a m i n
Risiko terkena CML meningkat sesuai pertambahan usia. CML sedikit
lebih umumterjadi pada laki-laki daripada perempuan, tetapi tidak
diketahui alasannya.Tidak ada faktor risiko lain yang terbukti
untuk CML. Risiko terkena CML tampaknyatidak akan
dipengaruhi oleh kebiasaan merokok, diet, paparan bahan kimia,
atau infeksi.Tidak ada bukti klinis yang jelas tentang faktor predisposisi
keturunan.

E. Klasifikasi

Perjalanan penyakit CML, menurut I Made (2006); Agung (2010)


dibagi menjadi beberapa fase, yaitu:
1. Fase Kronik : pada fase ini pasien mempunyai jumlah sel blast dan sel
premielosit kurang dari 5% di dalam darah dan sumsum tulang. Fase ini
ditandai dengan over produksi granulosit yang didominasi oleh netrofil
segmen. Pasien mengalami gejala ringan dan mempunyai respon baik
terhadap terapi konvensional.
2. Fase Akselerasi atau transformasi akut : fase ini sangat progresif,
mempunyai lebih dari 5% sel blast namun kurang dari 30%. Pada fase ini
leukosit bisa mencapai 300.000/mmk dengan didominasi oleh eosinofil
dan basofil. Sel yang leukemik mempunyai kelainan kromosom lebih dari
satu (selain Philadelphia kromosom).
3. Fase Blast (Krisis Blast) : pada fase ini pasien mempunyai lebih dari 30%
sel blast pada darah serta sumsum tulangnya. Sel blast telah menyebar ke
jaringan lain dan organ diluar sumsum tulang. Pada fase ini penyakit ini
berubah menjadi Leukemia Myeloblastik Akut atau Leukemia Lympositik
Akut. Kematian mencapai 20%.

F. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis CML, menurut I Made (2006) dan Victor et al.,


(2005) tergantung pada fase yang kita jumpai pada penyakit tersebut, yaitu :
1. Fase kronik terdiri atas :
a. Gejala hiperkatabolik : berat badan menurun, lemah, anoreksia,
berkeringat pada malam hari.
b. Splenomegali hampir selalu ada, sering massif.
c. Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan.
d. Gejala gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia
akibat pemecahan purin yang berlebihan dapat menimbulkan masalah.
e. Gangguan penglihatan dan priapismus.
f. Anemia pada fase awal sering tetapi hanya ringan dengan gambaran
pucat, dispneu dan takikardi.
g. Kadang-kadang asimtomatik, ditemukan secara kebetulan pada saat
check up atau pemeriksaan untuk penyakit lain.
h. Fungsi trombosit yang abnormal menyebabkan gejala memar,
epiktaksis, menoraghia, ataupun perdarahan di tempat-tempat lain.
i. Pemecahan urin yang berlebihan menyebabkan hiperurikemia yang
bermanifestasi sebagai gout atau gangguan ginjal.
j. Gejala yang jarang dijumpai, namun masih ditemukan pada beberapa
pasien adalah gangguan penglihatan dan priapismus.
2. Fase transformasi akut terdiri atas :
Perubahan terjadi perlahan-lahan dengan prodormal selama 6
bulan, di sebut sebagai fase akselerasi. Timbul keluhan baru, antara lain :
demam, lelah, nyeri tulang (sternum) yang semakin progresif. Respons
terhadap kemoterapi menurun, lekositosis meningkat dan trombosit
menurun (trombosit menjadi abnormal sehingga timbul perdarahan di
berbagai tempat, antara lain epistaksis, menorhagia).
3. Fase Blast (Krisis Blast) :
Pada sekitar 1/3 penderita, perubahan terjadi secara mendadak,
tanpa didahului masa prodormal keadaan ini disebut krisis blastik (blast
crisis). Tanpa pengobatan adekuat penderita sering meninggal dalam 1-2
bulan.

G. Patogenesis

Pada CML dijumpai Philadelphia chromosom (Ph1 chr) suatu


reciprocal translocation 9,22 (t9;22). Kromosom Philadelphia merupakan
kromosom 22 abnormal yang
disebabkan oleh translokasi
sebagian materi genetik pada bagian
lengan panjang (q) kromosom 22 ke
kromosom 9, dan translokasi
resiprokal bagian kromosom 9,
termasuk onkogen ABL, ke region
klaster breakpoint (breakpoint
cluster region, BCR) yang merupakan titik pemisahan tempat putusnya
kromosom yang secara spesifik terdapat pada kromosom 22. Sebagai
akibatnya sebagian besar onkogen ABL pada lengan panjang kromosom 9
mengalami juxtaposisi (bergabung) dengan onkogen BCR pada lengan
panjang kromosom 22. Titik putus pada ABL adalah antara ekson 1 dan 2.
Titik putus BCR adalah salah satu di antara dua titik di region kelompok titik
putus utama (M-BCR) pada CML atau pada beberapa kasus ALL Ph+. Gen
fusi (gen yang bersatu) ini akan mentranskripsikan chimeric RNA sehingga
terbentuk chimeric protein (protein 210 kd). Timbulnya protein baru ini akan
memengaruhi transduksi sinyal terutama melalui tyrosine kinase ke inti sel
sehingga terjadi kelebihan dorongan proliferasi pada sel-sel mieloid dan
menurunnya apoptosis. Hal ini menyebabkan proliferasi pada seri mieloid (I
Made, 2006; Atul & Victor, 2005; Victor et al., 2005).
Jaringan pembentuk darah ditandai oleh pergantian sel yang sangat
cepat. Normalnya, produksi sel darah tertentu dari prekusor sel stem diatur
sesuai kebutuhan tubuh. Apabila mekanisme yang mengatur produksi sel
tersebut terganggu, sel akan membelah diri sampai ke tingkat sel yang
membahayakan (proliferasi neoplastik). Proliferasi neoplastik dapat terjadi
karena kerusakan sumsum tulang akibat radiasi, virus onkogenik, maupun
herediter.
Sel polimorfonuklear dan monosit normalnya dibentuk hanya dalam
sumsum tulang. Sedangkan limfosit dan sel plasma dihasilkan dalam berbagai
organ limfogen (kelenjar limfe, limpa, timus, tonsil). Beberapa sel darah putih
yang dibentuk dalam sumsum tulang, khususnya granulosit, disimpan dalam
sumsum tulang sampai mereka dibutuhkan dalam sirkulasi. Bila terjadi
kerusakan sumsum tulang, misalnya akibat radiasi atau bahan kimia, maka
akan terjadi proliferasi sel-sel darah putih yang berlebihan dan imatur. Pada
kasus AML, dimulai dengan pembentukan kanker pada sel mielogen muda
(bentuk dini neutrofil, monosit, atau lainnya) dalam sumsum tulang dan
kemudian menyebar ke seluruh tubuh sehingga sel-sel darah putih dibentuk
pada banyak organ ekstra medula.
Sedangkan secara imunologik, patogenesis leukemia dapat
diterangkan sebagai berikut. Bila virus dianggap sebagai penyebabnya (virus
onkogenik yang mempunyai struktur antigen tertentu), maka virus tersebut
dengan mudah akan masuk ke dalam tubuh manusia dan merusak mekanisme
proliferasi. Seandainya struktur antigennya sesuai dengan struktur antigen
manusia tersebut, maka virus mudah masuk. Bila struktur antigen individu
tidak sama dengan struktur antigen virus, maka virus tersebut akan ditolaknya.
Struktur antigen ini terbentuk dari struktur antigen dari berbagai alat tubuh,
terutama kulit dan selaput lendir yang terletak di permukaan tubuh atau HL-A
(Human Leucocyte Locus A). Sistem HL-A diturunkan menurut hukum
genetik, sehingga etiologi leukemia sangat erat kaitannya dengan faktor
herediter.
Akibat proliferasi mieloid yang neoplastik, maka produksi elemen
darah yang lain tertekan karena terjadi kompetisi nutrisi untuk proses
metabolisme (terjadi granulositopenia, trombositopenia). Sel-sel leukemia
juga menginvasi tulang di sekelilingnya yang menyebabkan nyeri tulang dan
cenderung mudah patah tulang. Proliferasi sel leukemia dalam organ
mengakibatkan gejala tambahan : nyeri akibat pembesaran limpa atau hati,
masalah kelenjar limfa; sakit kepala atau muntah akibat leukemia meningeal.\

H. Pemeriksaan Penunjang

I Made (2006) memaparkan beberapa pemeriksaan penunjang untuk CML,


yaitu :
1. Laboratorium
a. Darah rutin :
1) Anemia mula-mula ringan menjadi progresif pada fase lanjut
(fase transformasi akut), bersifat normokromik normositer.
2) Hemoglobin : dapat kurang dari 10 g/100 m.
b. Gambaran darah tepi :
1) Leukositosis berat 20.000-50.000/mm3 pada permulaan
kemudian biasanya lebih dari 100.000/mm3.
2) Menunjukkan spectrum lengkap seri granulosit mulai dari
mieloblast sampai netrofil, komponen paling menonjol adalah
segmen netrofil (hipersegmen) dan mielosit. Metamielosit,
promielosit, dan mieloblast juga dijumpai. Sel blast < 5%. Sel
darah merah bernukleus.
3) Jumlah basofil dalam darah meningkat.
4) Trombosit bisa meningkat, normal atau menurun. Pada fase awal
lebih sering meningkat.
5) Fosfatase alkali netrofil (neutrophil alkaline phosphatase) selalu
rendah.
c. Gambaran sumsum tulang
1) Hiperseluler dengan system granulosit dominan. Gambarannya
mirip dengan apusan darah tepi. Menunjukkan spektrum lengkap
seri myeloid, dengan komponen paling banyak ialah netrofil dan
mielosit. Sel blast kurang dari 30 %. Megakariosit pada fase
kronik normal atau meningkat.
2) Sitogenik : di jumpai adanya Philadelphia (Ph1) kromosom pada
95 % kasus.
3) Vitamin B12 serum dan B12 binding capacity meningkat.
4) Kadar asam urat serum meningkat.
5) Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) dapat mendeteksi
adanya chimeric protein bcr-abl pada 99% kasus (I Made, 2006)

Gambar 2.1 Gambar 2.2

Gambaran apusan darah tepi dengan Gambaran apusan darah tepi dengan
perbesaran 400x menunjukkan perbesaran 1000x menunjukkan promielosit,
hyperlekositosis. eosinofil,3 basofil, netrofil batang dan
segmen.
Terdapat juga eosinophilia, basofilia,
thrombocytosis.

Gambar 2.3 Gambar 2.4

Gambaran apusan darah tepi dengan Gambaran apusan darah tepi, dengan
perbesaran 400x menunjukkan berbagai perbesaran 1000x menunjukkan tahapan
tahap granulopoiesis termasuk promielosit, granulocytic termasuk eosinofil dan basofil.
mielosit, metamielosit, dan netrofil batang
serta segmen.
2. Pemeriksaan Penunjang Lain
Menurut Agung (2010), ada beberapa pemeriksaan penunjang lain untuk
penyakit CML, antara lain :
a. Biopsi sumsum tulang : SDM abnormal biasanya lebih dari 50 % atau
lebih dari SDP pada sumsum tulang. Sering 60% - 90% dari blast,
dengan prekusor eritroid, sel matur, dan megakariositis menurun.
b. Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat
keterlibatan.
c. David et al., (2009) menambahkan pemeriksaan lain, yaitu tes untuk
mendeteksi adanya kromosom Philadelphia.

I. Diagnosis Banding

Pemeriksaan darah tepi dan sumsung tulang merupakan situasi klinis


yang dapat menegakkan diagnosis adanya CML, pada beberapa pasien CML
kadang tidak ditemukan kromosom Ph. Sehingga di butuhkan suatu standar
untuk menegakkan suatu diagnosis.
1. Diagnosis CML dalam fase akselerasi menurut WHO :
a. Blast 10-19% dari WBC pada darah tepi dan atau dari sel sumsum
tulang berinti.
b. Basofil darah tepi >20%.
c. Thrombositopenia persisten (<100x109/L) yang tidak dihubungkan
dengan terapi, atau thrombositosis (>1000x109/L) yang tidak responsif
terhadap terapi.
d. Peningkatan ukuran lien atau WBC yang tidak responsif pada terapi.
e. Bukti sitogenik evolusi klonal (I Made, 2006).

2. Diagnosis CML pada fase krisis blastik menurut WHO :


a. Blast >20% dari darah putih pada darah perifer atau sel sumsum tulang
berinti.
b. Proliferasi blast ekstrameduler.
c. Fokus besar atau cluster sel blast dalam biopsi sumsum tulang (I
Made,2006).
Diagnosis banding pada fase kronis adalah trombositosis
esensial, pada trombositosis ditemukan adanya fosfatase normal atau
meningkat sedangkan CML selalu rendah dan tidak ditemukannya Ph
kromosom seperti halnya yang selalu ditemukan Ph kromosom pada
penderita CML. Untuk fase krisis blast yaitu leukemia mieloid akut dan
sindrom mielodislasia (Victor et al., 2006).

Tidak ditemukannya Ph kromosom pada penderita CML yaitu


pada kasus penderita yang menderita CML tipe juvenillis yang asering
dijumpai pada pasien berumur kurang dari 4 tahun. Cirinya tidak adanya
Ph kromosom, peningkatan Hb janin, trombositopenia, monositosis yang
menonjol, dan CML juvenillis jarang mengalami transformasi blastik dan
meninggal akibat infeksi atau kegagalan organ akibat sebukan monosit dan
makrofag (Victor et al., 2006).

J. Penatalaksanaan

1. Medikamentosa
Penatalaksanaan CML tergantung pada fase penyakit, yaitu :
a. Fase Kronik
1) Busulphan (Myleran), dosis : 0,1-0,2 mg/kgBB/hari. Leukosit
diperiksa tiap minggu. Dosis diturunkan setengahnya jika leukosit
turun setengahnya. Obat di hentikan jika leukosit 20.000/mm3.
Terapi dimulai jika leukosit naik menjadi 50.000/mm3. Efek
smaping dapat berupa aplasia sumsum tulang berkepanjangan,
fibrosis paru, bahaya timbulnya leukemia akut (I Made, 2006).
2) Hydroxiurea, bersifat efektif dalam mengendalikan penyakit dna
mempertahankan hitung leukosit yang normal pada fase kronik,
tetapi biasanya perlu diberikan seumur hidup (Victor et al., 2005).
Dosis mulai dititrasi dari 500 mg sampai 2000 mg. Kemudian
diberikan dosis pemeliharaan untuk mencapai leukosit 10.000-
15.000/mm3. Efek samping lebih sedikit (I Made, 2006).
3) Interferon α juga dapat mengontrol jumlah sel darah putih dan dapat
menunda onset transformasi akut, memperpanjang harapan hidup
menjadi 1-2 tahun (Atul & Victor, 2005). IFN-α biasanya
digunakan bila jumlah leukosit telah terkendali oleh hidroksiurea.
IFN-α merupakan terapi pilihan bagi kebanyakan penderita
leukemia Mielositik (CML) yang terlalu tua untuk transplantasi
sumsum tulang (BMT) atau yang tidak memiliki sumsum tulang
donor yang cocok. Interferon alfa diberikan pada rata-rata 3-5 juta
IU / d subkutan (Emmanuel, 2010). Tujuannya adalah untuk
mempertahankan jumlah leukosit tetap rendah (sekitar 4x109/l).
Hampir semua pasien menderita gejala penyakit ”mirip flu” pada
beberapa hari pertama pengobatan. Komplikasi yang lebih serius
berupa anoreksia, depresi, dan sitopenia. Sebagian kecil pasien
(sekitar 15%) mungkin mencapai remisi jangka panjang dengan
hilangnya kromosom Ph pada analisis sitogenik walaupun gen fusi
BCR-ABL masih dapat dideteksi melalui PCR. (Victor et al., 2005).
4) STI571, atau mesylate imatinib (Gleevec), merupakan obat yang
sedang diteliti dalam percobaan klinis dan tampaknya memberikan
hasil yang menjanjikan. Zat STI 57I adalah suatu inhibitor spesifik
terhadap protein ABL yaitu tiroksin kinase sehingga dapat menekan
proliferasi seri myeloid. Gleevec mengontrol jumlah darah dan
menyebabkan sumsum tulang menjadi Ph negative pada sebagian
besar kasus. Obat ini mungkin menjadi lini pertama pada CML, baik
digunakan sendiri atau bersama dengan interferon atau obat lain
(Atul & Victor, 2005; Emmanuel, 2010; Victor et al., 2005; I Made,
2006)
5) Transplantasi sumsum tulang alogenik (stem cell transplantation,
SCT) sebelum usia 50 dari saudara kandung yang HLA-nya cocok
memungkinkan kesembuhan 70% pada fase kronik dan 30% atau
kurang pada fase akselerasi (Atul & Victor, 2005).
b. Fase Akselerasi dan Fase Blast
Terapi untuk fase akselerasi atau transformasi akut sama
seperti leukemia akut, AML atau ALL, dengan penambahan STI
57I (Gleevec) dapat diberikan. Apabila sudah memasuki kedua fase
ini, sebagian besar pengobatan yang dilakukan tidak dapat
menyembuhkan hanya dapat memperlambat perkembangan
penyakit. (Atul & Victor, 2005; I Made, 2006).

2. Non-Medikamentosa
a. Radiasi
Terapi radiasi dengan menggunakan X-Rays dosis tinggi sinar-sinar
tenaga tinggi secara external radiation therapy untuk menghilangkan
gejala-gejala atau sebagian dari terapi yang diperlukan sebelum
transplantasi sumsum tulang (Atul & Victor, 2005).
a. Imatinib mesylate (imatinib)
Digunakan sebagai terapi awal pada fase kronik CML. Regimen ini dapat
digunakan setelah atau bersamaan dengan hydroxyurea ketika terdapat
peningkatan jumlah sel darah putih yang bermakna. Selain itu juga dapat
dikombinasikan dengan leukapheresis ketika sindrom hiperleukositik
terjadi. Obat ini merupakan golongan inhibitor tirosin kinase dimana
bekerja dengan menghambat BCR-ABL tirosin kinase yang penting dalam
membentuk fungsi BCR-ABL sehingga sel CML pun dapat dihambat.
Obat ini diduga dapat menghasilkan respon hematologik yang lengkap
pada hampir semua pasien yang berada dalam fase kronik dimana dapat
terjadi konversi dari Ph positif menjadi negatif. Oleh karena itu, obat ini
dijadikan sebagai obat lini pertama pada CML, baik digunakan sendiri atau
bersamaan dengan interferon atau obat lain.
b. Leukapheresis (suatu prosedur pemisahan sel darah putih dari
sampel darah)
Leukapheresis dapat mengontrol CML namun hanya sementara. Sangat
bermanfaat terutama untuk pasien hiperleukositik dan wanita hamil selama
kehamilan awal dimana kemoterapi tidak diperkenankan berkaitan dengan
risiko tinggi terhadap kesehatan janin.
c. Hydorxyurea
Merupakan obat kemoterapi yang bersifat efektif dalam mengendalikan
penyakit dan mempertahankan hitung leukosit normal pada fase kronik,
tetapi diberikan seumur hidup pasien. Dosisnya dimulai dengan 1-2 g/hari
dan kemudian diturunkan setiap minggu sampai mencapai dosis rumatan
sebesar 0,5-1,5 g/hari. Obat ini kemudian dihentikan ketika hitung sel
darah putih telah mencapai kurang dari 5000/µl (5×109/liter).
d. Anagrelide
Digunakan untuk menurunkan jumlah trombosit pasien
e. Interferon-α
Saat ini masih merupakan obat terpilih pada CML dimana banyak
digunakan ketika jumlah leukosit meningkat. Obat ini bekerja dengan
mempertahankan jumlah leukosit tetap rendah (sekitar 4×109/l). Dosis
yang digunakan adalah 3-9 megaunit dan diberikan tiga sampai tujuh kali
setiap minggu secara injeksi subkutan.

f. Transplantasi sel induk


Transplantasi yang bersifat alogen banyak digunakan untuk mengobati
CML. Transplantasi ini dapat dilakukan pada saudara kandung dengan
30% saja yang dapat mentolerir prosedur ini. Setelah ditransplantasikan
ketahanan hidup pasien mencapai 50-70% dalam 5 tahun. Hasil akan lebih
baik dilakukan pada fase kronik dibandingkan dengan fase akut.
K. Prognosis

Sekitar 20-30% penderita meninggal dalam waktu 2 tahun setelah


penyakitnya terdiagnosis dan setelah itu sekitar 25% meninggal setiap
tahunnya. Banyak penderita yang bertahan hidup selama 4 tahun atau lebih
setelah penyakitnya terdiagnosis, tetapi pada akhirnya meninggal pada fase
akselerasi atau krisis blast. Angka harapan hidup rata-rata setelah krisis
blast hanya 2 bulan, tetapi kemoterapi kadang bisa memperpanjang harapan
hidup sampai 8-12 bulan (Agung, 2010).

L. Komplikasi

a. Perdarahan berat. Trombositopenia dapat menyebabkan mudah berdarah dan


lebam. Perdarahan bisa merupakan perdarahan hidung, gusi, maupun pada
kulit (petechiae).
b. Nyeri. CML dapat menyebabkan nyeri sendi karena sumsum tulang
berkembang ketika terdapat peningkatan sel darah putih.
c. Splenomegali. Sel darah berlebih yang diproduksi pada CML banyak
disimpan dalam limpa. Hal ini menyebabkan limpa membesar dan bengkak.
Adanya perbesaran limpa ini juga dapat menimbulkan rasa penuh pada perut
setelah makan atau menyebabkan nyeri pada sisi kiri di bawah tulang rusuk.
d. Stroke atau pembekuan berlebihan. Pada beberapa orang yang menderita
CML terdapat juga kelebihan produksi platelet. Tanpa adanya pengobatan,
trombositosis ini dapat menyebabkan pembekuan darah berlebihan dan
menyebabkan stroke.
e. Infeksi. Meskipun terdapat sel darah putih dalam jumlah yang tinggi, namun
fungsi mereka dalam pertahanan tubuh menurun sehingga imunitas tubuh
menurun dan rentan terkena infeksi. Selain itu, obat-obatan CML juga dapat
menurunkan jumlah sel darah putih (neutropenia) sehingga memudahkan
pula infeksi terjadi.
Asuhan keperawatan pasien dengan Chronic Myeloid Leukemia (CML)

A. Pengkajian
Pengkajian adalah dasar utama dari proses keperawatan, pengumpulan
data yang akurat dan sistematis akan membantu penentuan status kesehatan dan
pola pertahanan klien, mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan klien serta
merumuskan diagnosa keperawatan. (Budi Anna Keliat, 1994)
1. Pengkajian pada leukemia meliputi :
1. Riwayat penyakit
2. Kaji adanya tanda-tanda anemia :
a). Pucat
b). Kelemahan
c). Sesak
d). Nafas cepat
3. Kaji adanya tanda-tanda leucopenia
a). Demam
b). Infeksi
4. Kaji adanya tanda-tanda trombositopenia :
a) Ptechiae
b) Purpura
c) Perdarahan membran mukosa
5. Kaji adanya tanda-tanda invasi ekstra medulola :
a).Limfadenopati
b) Hepatomegali
c) Splenomegali
6. Kaji adanya :
a) Hematuria
b) Hipertensi
c) Gagal ginjal
d) Inflamasi disekitar rectal
e) Nyeri (Suriadi,R dan Rita Yuliani,2001 : 17)
Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri yang berhubungan dengan efek fisiologis dari leukemia
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan akibat anemia
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
anoreksia, malaise, mual dan muntah, efek samping kemoterapi dan atau
stomatitis
4. Resiko perdarahan yang berhubungan dengan penurunan jumlah trombosit
5. Resiko infeksi berhubungan dengan menurunnya sistem pertahanan tubuh
DAFTAR PUSTAKA

Betz, CL & Sowden, LA. 2002.Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 3. Jakarta
: EGC.
Brunner& Suddarth. 2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol 2.
Jakarta : EGC.
ES Jaffe et al.2001.World Health Organization Classification of Tumours. Lyon,
ARC Press,
Fauci, Anthony S.; Kasper, Dennis L. ; Longo, Dan L.; Braunwald,
Eugene;Hauser, Stephen L.; Jameson, J. Larry; Loscalzo, Joseph;. 2008.
Harrison's Principles of Internal Medicine 17th edition. USA: McGraw-hill,
Guyton.1995. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Edisi III. Jakarta :
EGC. JM Bennett et al: Ann Intern Med 103:620, 1985.
Herdman, T Heather. Diagnosis Keperawatan NANDA: Definisi dan Klasifikasi
2018-2020. Jakarta: EGC.
Joyce Engel. 1999. Pengkajian Pediatrik. Edisi 2. Jakarta : EGC.
Kurnianda, Johan. 2007. Leukimia Mieloblastik Akut dalam buku ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan FK UI
Moorhead, S et al. 2016. Nursing Intervension Classification (NIC) Terjemahan
Edisi ke 5. Singapore: Elsevier
Moorhead, S et al. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC) Terjemahan
Edisi ke 5. Singapore: Elsevier
Price, S A dan Wilson, L M. 2006.Patofisiologi , Konsep klinis proses-proses
penyakit . Jakarta : EGC, .
Whaley’s and Wong. 2001.Clinical Manual of Pediatric Nursing. Edisi 4. USA :
Mosby.
RENCANA KEPERAWATAN
No. Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil NIC

Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 Manajemen Nyeri (1400)
berhubungan dengan jam pasien menunjukkan hasil: 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif yang
Kepuasan Klien: Menejemen Nyeri (3016) meliputi lokasi, karakteristik, onset/durasi, frekuensi,
peregangan durameter Tujuan kualitas, intensitas beratnya nyeri dan faktor
No. Indikator Awal pencetus;
dan pembuluh darah 1 2 3 4 5
1. Nyeri terkontrol 3 √ 2. Observasi adanya petunjuk nonverbalmengalami
2. Tingkat nyeri 3 √ ketidaknyamanan terutama pada mereka yang tidak
Mengambil tindakkan untuk dapat berkomunikasi secara edektif
3. 3 √ 3. Gunakan strategi komunikasi terapuetik untuk
: mengurangi nyeri
Mengambil tindakkan untuk mengetahui pengalaman nyeri dan sampaikan
4. 1 √
: memberi kenyamanan penerimaan pasien terhadap nyeri
Pendekatan preventif 4. Gali pengetahuan dan kepercayaan pasien mengenai
. 3 √
menejemen nyeri nyeri
Manejemen nyeri sesuai 5. Ajarkan prinsip-prinsip menejemen nyeri
6. 2 √
budaya budaya 6. Kolaborasi pemberian analgesik guna pengurangi
Keterangan: nyeri

1. 1. Keluhan ekstrime Terapi relaksasi (6040)


2. 2. Keluhan berat
3. 3. Keluhan sedang a. Gambarkan rasionalisasi dan manfaat relaksasi serta
4. 4. Keluhan ringan jenis relaksasi yang tersedia
5. 5. Tidak ada keluhan b. Pertimbangkan keinginan pasien untuk
berpartisipasi, kemampuan berpartisipasi, pilihan,
pengalaman masa lalu dan kontraindikasi sebelum
memilih strategi tertentu
c. Dorong klien untuk mengambil posisi yang nyaman
dengan pakaian longgar dan mata tertutup
d. Minta klien untuk rileks dan merasakan sensasi yang
terjadi
e. Dorong klien untuk mengulangi [praktik teknis
relaksasi, jikamemungkinkan
f. Evaluasi dan dokumentasi respon terhadap terapi
relaksasi
Ketidakseimbangan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam Terapi nutrisi (1120)
nutrisi: kurang dari pasien dapat menunjukkan perubahan ditandai dengan: 1. Lengkapi pengkajian nutrisi sesuai kebutuhan
kebutuhan tubuh 2. Monitor asupan makanan harian
(00002) Status nutrisi : Asupan Makanan dan Cairan (1009) 3. Motivasi Pasien untuk mengkonsumsi makanan dan
Skor yang ingin minuman yang bernutrisi, tinggi protein, kalori dan
Skor
Indikator dicapai mudah dikonsumsi serta sesuai kebutuhan
Awal 1 2 3 4 5 4. Ciptakan lingkungan yang bersih, berventilasi, santai
Asupan makanan 2 √ dan bebas dari bau menyengat
secara oral
Monitor nutrisi (1160)
Asupan cairan 3 √ 1. Timbang berat badan pasien
secara oral 2. Identifikasi penurunan berat badan terakhir
Asupan cairan 3 √ 3. Tentukan pola makan
intravena 4. Kolaborasikan dengan tim kesehatan lain untuk
Keterangan: mengembangkan rencana keperawatan
1: Tidak Adekuat
2: Sedikit Adekuat
3: Cukup Adekuat
4: Sebagian Besar Adekuat
5: Sepenuhnya Adekuat

Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 (4310) Terapi Aktivitas
jam, diharapkan aktivitas kembali normal dengan kriteri
1. Pertimbangkan kemampuan klien dalam
hasil:
berpartisipasi melalui aktivitas spesifik.
Toleransi terhadap aktivitas (0005) 2. Bantu klien tetap fokus pada kekuatan [yang
dimilikinya] dibandingkan dengan kelemahan yang
Tujuan dimilikinya].
No Indikator Awal 3. Bantu dengn aktivits fisik secara teratur sesuai
1 2 3 4 5 dengan kebutuhan.
4. Bantu klien untuk meningkatkan motivasi diri dan
1 SpO2 ketika v v penguatan.
beraktivitas (0180 Manajemen Energi).
2 Frekuensi nadi v v 1. Kaji status fisiologis asien yang menyebabkan
ketikaberaktivitas kelelahan sesuai dengan konteks usia dan
perkembangan.
3 Frekuensi pernapasan v v 2. Anjurkan pasien mengungkapkan secara verbal
ketika beraktivitas keterbatasan yang dialami.
3. Pilih intervensi untuk mengurangi kelelahan baik
4 Kemudahan bernafas v v secara famakologis maupun non farmakologis
ketika beraktivitas dengan tepat.
4. Kurangi ketidaknyamanan fisik yang dialami pasien
yang bisa mempengaruhi fungsi kognitif,
5 Kemudahan dalam v v pemantauan diri, dan pengaturan aktivtas pasien.
melakukan ADL

Keterangan:

1. Sangat terganggu
2. Banyak terganggu
3. Cukup terganggu
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu

Risiko infeksi Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 Kontrol Infeksi (6540)
jam pasien menunjukkan hasil: 1. Bersihkan lingkungan dengan baik setelah digunakan
Kontrol risiko infeksi: proses infeksi (1924) untuk setiap pasien
Indikator Awa Tujuan 2. Anjurkan pasien mengenai teknik mencuci tangan
l 1 2 3 4 5 dengan tepat
Mengenali faktor risiko 3. Cuci tangan sebelum dan sesudah kegiatan perawatan
individu terkait infeksi 4. Tingkatkan intake nutrisi yang tepat
5. Dorong intake cairan yang sesuai
Mengidentifikasi tanda dan
6. Dorong untuk beristirahat
gejala infeksi
7. Berikan terapi antibiotik yang sesuai
Memonitor perilaku diri yang
8. Ajarkan pasien dan keluarga mengenai tanda dan
berhubungan dengan risiko
gejala infeksi dan kapan harus melaporkannya
infeksi
kepada penyedia perawatan kesehatan
Mempertahankan lingkungan
yang bersih
Memonitor perubahan status
kesehatan
Memanfaatkan sumber
informasi yang terpercaya
Keterangan:
1. Tidak pernah menujukkan
2. Jarang menunjukkan
3. Kadang-kadang menunjukkan
4. Sering menunjukkan
5. Secara konsisten menunjukkan

Resiko perdarahan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 4010 Pencegahan Perdarahan
jam pasien menunjukkan hasil:
Blood lose severity & Blood koagulation 1. Monitor ketat tanda-tanda perdarahan
Indikator Awal Tujuan
2. Catat nilai Hb dan HT sebelum dan sesudah
1 2 3 4 5
Tidak ada hematuria dan terjadìnya perdarahan
hematemesis 3. Monitor nilai lab (koagulasi) yang meliputi PT, PTT,
Kehilangan darah yang trombosit
terlihat 4. Monitor TTV ortostatik
Tekanan darah dalam batas 5. Pertahankan bed rest selama perdarahan aktif
normal sistol dan diastole 6. Kolaborasi dalam pemberian produk darah (platelet
Plasma, PT, PTT dalam atau fresh frozen plasma)
batas normal 7. Lindungi pasien dari trauma yang dapat
Hemoglobin dan menyebabkan perdarahan
8. Hindari mengukur suhu lewat rectal
hematrokrit dalam batas 9. Hindari pemberian aspirin dan anticoagulant
normal 10. Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake
Keterangan: makanan yang banyak mengandung vitamin K
11. Hindari terjadinya konstipasi dengan menganjurkan
1. Sangat terganggu
2. Banyak terganggu untuk mempertahankan intake cairan yang adekuat
3. Cukup terganggu
dan pelembut feses
4. Sedikit terganggu
5. Tidak terganggu
4020 Pengurangan Perdarahan

1. Identifikasi penyebab perdarahan


2. Monitor trend tekanan darah dan parameter
hemodinamik (CVP,pulmonary capillary / artery
wedge pressure
3. Monitor status cairan yang meliputi intake dan
output
4. Monitor penentu pengiriman oksigen ke jaringan
(PaO2, SaO2 dan level Hb dan cardiac output)
5. Pertahankan patensi IV line

Anda mungkin juga menyukai