Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

SEJARAH & FILSAFAT MATEMATIKA

“FORMALISME MATEMATIKA”

OLEH :
ANUGRAH JANIDE
SYARIF HIDAYAT
FATURACHMAN LUKMAN
HERMAN
FITRAH MALLOLONGENG

JURUSAN MATEMTIKA
FAKULTAS MATEMTIKA DAN ILMU PENGETAHUAN
ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
TAHUN 2020

1
Kata Pengatar

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rahmat, nikmat, taufik, dan hidayah sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan makalah ini dengan lancar.
Terima kasih kepada bapak Prof. Usman Mulbar, M.Pd. selaku dosen
pembimbing serta teman-teman yang telah membantu, sehingga makalah ini dapat
terselesaikan dalam waktu yang telah ditentukan.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan serta banyak kekurangan, baik dari segi tata bahasa maupun dalam
hal pengkonsolidasian kepada dosen serta teman-teman sekalian, yang kadang
kala hanya menuruti egoisme pribadi. Untuk itu besar harapan kami jika ada kritik
dan saran yang membangun untuk lebih menyempurnakan makalah kami
berikutnya.
Harapan yang paling besar dari penyusunan makalah ini ialah memberikan
manfaat, baik untuk pribadi, teman-teman, orang lain yang ingin mengambil serta
menyempurnakan lagi atau mengambil hikmah dari judul ini “Formalisme
Matematika" sebagai tambahan dalam menambah referensi yang telah ada.

Makassar, 8 februari 2020

Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu matematika bukan hanya ilmu yang terbatas pada hitungan, melainkan
banyak lagi bagian dari matemtika yang belum kita ketahui bentuknya.
Sampai saat ini belum ada kesepakatan yang bulat dari para ilmuan
matemtaika tentang apa yang disebut matematika itu.
Untuk menafsirkan matematika para ilmuan belum pernah mencapai titik
puncak kesepakatan yang sempurna. Banyak definisi yang dikemukakan oleh
para ilmuan tentang matemtika, ini menunjukkan bahwa lmu matemtika ini
adalah ilmu yang memiliki objek kajian yang luas.
Pada makalah ini penyusun akan membahas seluk beluk ilmu matemtika
terutama pada bagian aliran formaisme dalam filsafat matemtika.
B. Rumusan masalah
1. Apakah yang dimaksud formalisme?
2. Bagaimana perkembangan formalisme awal?
3. Siapakah tokoh utama dalam formalisme?
4. Apakah yang dimaksud dengan sistem aksiomatis?
5. Dimana titik lemah dari formalisme
C. Tujuan
1. Menjelaskan tentang formalisme dalam pandangan matematik
2. Menjelaskan tetang formalisme awal
3. Menjelaskan tentang tokoh utama dari formalisme
4. Menjelaskan tentang sistem aksiomatis
5. Menunjukkan titik lemah dari formalism

3
BAB II
Pembahasan
A. Formalisme
Berbagai filsafat yang berangkat dengan nama “formalisme‟ mengklaim
bahwa esensi dari matematika adalah manipulasi karakter-karakter. Suatu
daftar karakter-karakter dan aturan-aturan yang dibolehkan memeras apa
yang hendaknya dikatakan tentang suatu cabang matematika tertentu.
Berdasarkan pandangan para formalis, maka, matematika bukanlah, atau
tidak seharusnya menjadi, tentang sesuatu, atau sesuatu di luar
karakterkarakter tipografis dan aturan-aturan untuk memanipulasi karakter-
karakter tipografis itu.
Versi lain dari formalisme sering dikenal dengan nama deduktivisme.
Dalam deduktivisme, teorema Pythagoras tidak benar secara absolut,
tetapi relative benar :jika Anda menetapkan arti strings sedemikian
sehingga aturan-aturan permainan menjadi benar (contohnya, pernyataan
yang benar diberikan untuk aksioma dan aturan-aturan inferensi adalah
memelihara kebenaran), maka Anda harus menerima teorema, atau
sebaliknya, interpretasi yang telah Anda berikan harus menjadi pernyataan
yang benar. Jadi, formalisme tidak membutuhkan arti bahwa matematika
tidak lebih dari permainan simbolis yang tidak berarti. Biasanya
diharapkan ada suatu interpretasi dimana aturan-aturan permainan
dipenuhi. (Bandingkan dengan posisi strukturalisme.) Tetapi formalism
mempersilahkan para ahli matematika melanjutkan karya-karyanya dan
meninggalkan masalah-masalah pada para ahli filsafat dan ilmu
pengetahuan. Banyak para penganut formalism akan mengatakan bahwa
dalam prakteknya, system aksioma yang dipelajari akan diusulkan oleh
peminat ilmu pengetahuan atau bidang matematika lain.

Pendukung awal dari formalism adalah David Hilbert, dimana


programnya bertujuan mengaksiomakan semua matematika secara lengkap
dan konsisten. ("Konsisten" disini berarti bahwa tidak ada kontradiksi yang
dapat berasal dari sistem.). Hilbert bertujuan menunjukkan konsistenci
system matematik dari asumsi bahwa " aritmetik yang hingga" (suatu sub
system aritmetik lazimnya dari bilangan bulat positif, yang terpilih tidak
kontroversi secara filsafat) adalah konsisten. Tujuan Hilbert untuk

4
menciptakan suatu system matematika yang lengkap dan konsisten tertutup
oleh teorema incompleteness Gödel kedua, yang menyatakan bahwa system
aksioma konsisten yang cukup ekspresif tidak pernah dapat membuktikan
kekonsistenan mereka sendiri. Karena setiap system aksioma akan berisi
aritmetik yang hingga sebagai sebuah sub sistem. Teorema Gödel telah
mengartikan bahwa tidak mungkin aksioma membuktikan kekonsistenan
system secara relatif (karena aksioma akan membuktikan kekonsistenan
dirinya sendiri, dimana Gödel telah menunjukkan ketidak mungkinan). Jadi,
untuk menunjukkan bahwa setiap system aksioma matematika sebenarnya
konsisten, maka salah satunya adalah membutuhkan asumsi pertama
kekonsistenan suatu system matematika yang dirasakan lebih kuat dari
sistem yang telah terbukti konsisten.
1. Pandangan-pandangan Pokok dalam Formalisme
a. Formalisme Istilah
Formalisme istilah pada tahap awal perkembangannya dikedepankan
(setidaknya, untuk sementara) oleh dua matematikawan, E. Heine dan
Johannes Thomae, pada sekitar peralihan ke abad ke-20. Heine (1872: 173)
mengemukakan, “Saya memberikan nama bilangan-bilangan kepada
tandatanda nyata tertentu, sedemikian hingga eksistensi dari bilangan-
bilangan ini tidak lagi dipertanyakan.” Thomae (1898: §§1-11) menyebutkan
“sudut pandang formal membebaskan kita dari kesukaran-kesukaran
metafisik; inilah keunggulan yang diberikannya.”
Formalisme istilah adalah pandangan bahwa matematika hanya
tentang karakter-karakter atau simbol-simbol—sistem-sistem angka dan
bentukbentuk linguistik lainnya. Ini berarti bahwa seorang formalis istilah
mengidentifikasi entitas-entitas matematika dengan nama-nama mereka.
b. Formalisme permainan
Satu versi pokok lain dari formalisme mempersamakan praktek
matematika dengan suatu permainan yang dimainkan dengan karakter-
karakter linguistik. Seperti halnya, dalam permainan catur, seseorang dapat
menggunakan bidak untuk menguasai satu persegi sejarak satu langkah di
depan dengan arah diagonal, demikian pula dalam aritmetika seseorang dapat
menuliskan “x = 10‟ jika seseorang telah sebelumnya memahami “x = 8 +
2‟. Sebutlah ini formalisme permainan.

5
Versi-versi radikal dari pandangan ini menyatakan secara langsung
bahwa simbol-simbol dalam matematika tidak bermakna. Formula-formula
dan kalimat-kalimat matematis tidak mengungkapkan pernyataan-pernyataan
yang benar atau salah tentang sebarang bidang kajian. Pandangan di sini
yaitu bahwa karakter-karakter matematis tidak memiliki makna lebih
daripada buah-buah permainan catur. “Muatan‟ dari matematika terperas
habis oleh aturan-aturan untuk beroperasi dengan bahasanya.
Seperti formalisme istilah, formalisme permainan memecahkan atau,
jika tidak demikian, menghindari persoalan-persoalan metafisik dan
epistemologis yang sukar dalam matematika. Pada konteks formalisme
permainan, frasa-frasa seperti “bahasa‟ dan “simbol‟ adalah menyesatkan.
Pada hampir sebarang konteks lainnya, tujuan bahasa terutama adalah untuk
berkomunikasi.
2. Perkembangan-perkembangan dalam Formalisme
a. Deduktivisme
Deduktivisme adalah suatu filsafat yang sejalan dengan
perkembanganperkembangandalam fondasi-fondasi matematika, terutama
geometri, pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Peristiwa-peristiwa
pentingnya antara lain kemunculan dan kesuksesan geometri analitik, dengan
geometri proyektif sebagai suatu responsnya; upaya untuk mengakomodasi
elemen-elemen ideal dan imajiner, seperti titik-titik pada infinitas;
pengembangan geometri n-dimensi, dan asimilasi geometri non-Euclid
kepada matematika utama, berdampingan, tanpa menggantikan, geometri
Euclid.

Seorang penganut deduktivisme menerima pokok pandangan Frege


bahwa aturan-aturan inferensi harus mempertahankan kebenaran, tetapi dia
bersikeras agar aksioma-aksioma dari berbagai teori matematis
dianggapkan seolah-olah telah ditetapkan secara arbitrer. Gagasannya
yaitu bahwa praktek matematika meliputi penentuan konsekuensi-
konsekuensi logis dari aksioma-aksioma, yang, seolah-olah, tidak
diinterpretasikan. Seorang matematikawan bebas untuk beranggapan
bahwa aksioma-aksioma (dan teorema-teorema) dalam matematika adalah
tidak bermakna, atau menginterpretasi semua itu sekehendaknya.

6
Untuk menjelaskan pandangan ini secara lebih teliti, seseorang boleh
memperbedakan istilah-istilah logis seperti „dan‟, „jika ... maka‟,
„terdapat‟, dan „untuk semua‟, dari peristilahan yang bersifat non-
logis, atau khusus matematis, seperti “bilangan‟, “titik‟, “himpunan‟,
dan „garis‟. Peristilahan logis dipahami dengan makna lazimnya,
sedangkan peristilahan non-logis dibiarkan tidak diinterpretasikan,
atau dianggapkan seolah-olah tidak diinterpretasikan.
b. Finitisme
Pada peralihan ke abad ke-20, perkembangan-perkembangan dalam
analisis real, dari para matematikawan seperti Augustin Louis Cauchy,
Bernard Bolzano, dan Karl Weierstrass, mengatasi persamalahan
infinitesimal dan memberikan landasan kokoh bagi kalkulus. Hilbert
(1925: 187) menuliskan bahwa analis real dan kompleks adalah
“struktur matematika paling estetik dan dibangun secara teliti.” Meski
kuantitas-kuantitas yang kecil tak-hingga dan besar tak-hingga tidak
diperlukan, tetapi teori-teori baru masih bersandar pada kumpulan-
kumpulan infinit. Menurut Hilbert, “analisis matematis adalah sebuah
simfoni infinitas.” Pada saat itu terdapat pula penjelasan infinitas yang
meriah dalam teori himpunan oleh Georg Cantor.
Meskipun terdapat perkembangan-perkembangan luar biasa, atau
justru karena itu, timbul suatu keresahan tentang krisis fondasional.
Matematika tampaknya, dan seharusnya, menjadi yang paling eksak dan
pasti di antara semua disiplin ilmu—namun tantangan dan keraguan
bermunculan. Dengan mengingat antinom-antinom seperti Paradoks
Russell, tidaklah terdapat kepastian bahwa teori himpunan bersifat
konsisten.
c. Teorema Ketidaklengkapan
Kurt Gödel (1931, 1934) mengukuhkan suatu hasil yang memukul
telak tujuan-tujuan epistemik dari Program Hilbert. Misalkan, T suatu
sistem deduktif formal yang memuat aritmetika dalam kadar tertentu.
Asumsikan sintaks dari T adalah efektif dalam artian terdapat suatu
algoritma yang menentukan apakah suatu barisan karakter-karakter
tertentu adalah suatuformula yang gramatik, dan suatu algoritma yang
menentukan apakah suatu barisan formula-formula tertentu adalah suatu

7
deduksi yang sah dalam T. Misalkan, kondisi-kondisi ini esensial bagi T
untuk berperan dalam Program Hilbert. Pada asumsi-asumsi tersebut,
Gödel menunjukkan bahwa terdapat suatu kalimat G dalam bahasa dari
T sedemikian hingga (1) jika T konsisten, maka G bukanlah teorema
dari T, dan (2) jika T memiliki suatu ciri yang sedikit lebih kuat
daripada konsistensi, disebut „ω-konsistensi‟, maka negasi dari G
bukanlah teorema dari T. Artinya, jika T adalah ω-konsisten, maka ia
tidak „memutuskan‟ G, bagaimanapun caranya. Hasil ini, dikenal
sebagai teorema ketidaklengkapan (pertama) Gödel, adalah salah satu
prestasi intelektual besar pada abad ke-20.
Formula G berbentuk suatu pernyataan finit (dengan menggunakan
huruf-huruf untuk generalitas). Kasarnya, G adalah formalisasi dari suatu
pernyataan bahwa G tidak dapat dibuktikan dalam T. Jadi, jika T konsisten,
maka G benar tetapi tidak dapat dibuktikan. Hasil Gödel ini meruntuhkan
harapan untuk menemukan sistem formal tunggal yang menangkap semua
matematika klasik, atau bahkan semua aritmetika . Jika seseorang
mengajukan sistem untuk dicalonkan sebagai sistem formal seperti itu, maka
kita dapat menemukan sebuah kalimat yang tidak „diputuskan‟ oleh sistem
tersebut, meski kita melihat bahwa kalimat itu adalah benar.
Dengan demikian, teorema ketidaklengkapan mengangkat
keraguankeraguan tentang sebarang filsafat matematika (formalis atau
lainnya) yang menuntutkan sistem deduktif tunggal untuk seluruh aritmetika
—sebagai satu-satunya metode formal untuk mendapatkan setiap kebenaran
aritmetika . Namun demikian, impian penemuan sistem formal tunggal untuk
semua matematika yang ideal bukanlah bagian resmi (atau esensial) dari
Program Hilbert. Kendalanya, jika memang demikian, terletak pada hal
lainnya.
Gödel menunjukkan bahwa penalaran di balik teorema
ketidaklengkapan dapat direproduksi di dalam suatu sistem formal T yang
tertentu. Khususnya, jika formalisasi „dapat dibuktikan dalam T‟ memenuhi
beberapa syarat langsung, maka kita dapat memperoleh, dalam T, suatu
kalimat yang mengungkapkan yang berikut ini.
Jika T konsisten maka G tidak dapat diperoleh dalam T. Tetapi, seperti
telah disebutkan, „G tidak dapat diperoleh dalam T‟ adalah ekuivalen dengan

8
G. Jadi, kita dapat memperoleh, dalam T, suatu kalimat yang kurang lebih
berbunyi
Jika T konsisten, maka G. Asumsikan bahwa T konsisten, dan bahwa
kita dapat memperoleh, dalam T, pernyataan yang disyaratkan yaitu
bahwa T konsisten; maka dapat disimpulkan bahwa kita dapat
memperoleh G dalam T. Ini mengkontradiksi teorema
ketidaklengkapan. Oleh karena itu, T konsisten, maka kita tidak dapat
memperoleh dalam T pernyataan yang disyaratkan yaitu bahwa T adalah
konsisten. Ini disebut teorema ketidaklengkapan kedua Gödel.
Ringkasnya, teorema ini menyatakan bahwa teori yang konsisten (yang
memuat aritmetika dalam kadar tertentu) tidak dapat membuktikan
konsistensinya sendiri. Hasil inilah yang menunjukkan kendala bagi
Program Hilbert.
d. Haskell Curry
Setiap filsafat matematika kontemporer yang sangat bersandar pada
formalisasi ketat terhadap teori-teori matematis menunjukkan pengaruh
formalisme, dan barangkali berpedoman kepada Program Hilbert. Meski
formalisme masih memperoleh dukungan di antara para matematikawan,
tetapi setelah sekitar periode 1940-an, hanya sedikit filsuf dan logikawan
yang eksplisit mempertahankannya. Salah satu pengecualian yang mencolok
adalah Haskell Curry.
Filsafat Curry dimulai dengan pengamatannya bahwa, saat sebuah
cabang matematika berkembang, cabang itu semakin ketat metodologinya,
dan hasil akhirnya berupa kodifikasinya dalam suatu sistem deduktif formal.
Curry memandang proses formalisasi ini sebagai esensi dari matematika. Dia
berargumen bahwa semua filsafat matematika yang lain bersifat „kabur‟ dan,
terlebih, filsafat-filsafat itu „bergantung pada asumsi-asumsi metafisik‟.
Matematika, menurut Curry, seharusnya bebas dari sebarang asumsi-asumsi
seperti itu, dan dia berargumen bahwa fokus pada sistem-sistem formal
memberikan kebebasan tersebut. Jadi, dia menyuarakan klaim Thomae
bahwa formalisme tidak memiliki asumsi-asumsi metafisik yang asing.
Tesis utama dari formalisme Curry adalah bahwa pernyataan-
pernyataan dari suatu teori matematis yang matang ditafsirkan tidak
sebagai hasil-hasil dari langkah-langkah dalam suatu sistem deduktif

9
formal tertentu (seperti dikatakan oleh Hilbert atau seorang formalis
permainan), tetapi lebih sebagai pernyataan-pernyataan tentang suatu
sistem formal. Pernyataan di akhir suatu laporan penelitian hendaknya
diinterpretasikan sebagai sesuatu berbentuk „Φ adalah suatu teorema
dalam sistem formal T‟. Oleh karena itu, bagi Curry, matematika adalah
sains objektif, dan ia memiliki bidang kajian. Diamenuliskan bahwa
„konsep sentral dalam matematika adalah konsep suatu sistem formal‟
dan „matematika adalah sains sistem-sistem formal‟ (Curry 1954). Jadi,
Curry lebih dekat dengan formalisme istilah daripada dengan
formalisme permainan. Slogan yang tepat baginya yaitu bahwa
matematika adalah meta-matematika. Namun demikian, tidak seperti
Hilbert, dia tidak membatasi meta-matematika pada aritmetika finit.

3. Formalisme Hilbert

David Hilbert

Tokoh utama formalisme adalah David Hilbert ,


yang programnya dimaksudkan untuk menjadi
aksioma lengkap dan konsisten dari semua matematika. Hilbert bertujuan
untuk menunjukkan konsistensi sistem matematika dari asumsi bahwa
"aritmatika finitari" (suatu sub sistem aritmatika biasa dari bilangan
bulat positif, dipilih untuk secara filosofis tidak kontroversial) konsisten
yaitu tidak ada kontradiksi yang dapat diturunkan dari sistem.
Cara Hilbert mencoba menunjukkan bahwa sistem aksiomatik konsisten
adalah dengan memformalkannya menggunakan bahasa tertentu. Untuk
meresmikan sistem aksiomatik, Anda harus terlebih dahulu memilih bahasa
di mana Anda dapat mengekspresikan dan melakukan operasi dalam sistem
itu. Bahasa ini harus mencakup lima komponen:

10
 Bahasa tersebut harus menyertakan variabel seperti x, yang dapat berarti
beberapa angka.
 Bahasa tersebut harus memiliki bilangan seperti simbol untuk
keberadaan suatu objek.
 Bahasa tersebut harus mencakup kesetaraan.
 Bahasa tersebut harus menyertakan penghubung seperti ↔ (jika dan
hanya jika).
 Bahasa tersebut harus menyertakan istilah tertentu yang tidak
didefinisikan yang disebut parameter. Untuk geometri, istilah yang
tidak terdefinisi ini mungkin berupa titik atau garis, yang masih kami
pilih simbolnya.
Dengan mengadopsi bahasa ini, Hilbert berpikir bahwa kita dapat
membuktikan semua teorema dalam sistem aksiomatik apa pun
menggunakan tidak lebih dari aksioma itu sendiri dan bahasa formal yang
dipilih.
Kesimpulan Gödel dalam teorema ketidakclengkapannya adalah bahwa
Anda tidak dapat membuktikan konsistensi dalam sistem aksiomatik
konsisten yang cukup kaya untuk memasukkan aritmatika klasik. Di satu sisi,
Anda harus menggunakan hanya bahasa formal yang dipilih untuk
memformalkan sistem aksiomatik ini; di sisi lain, tidak mungkin untuk
membuktikan konsistensi bahasa ini sendiri. Hilbert awalnya frustrasi oleh
karya Gödel karena menghancurkan tujuan hidupnya untuk sepenuhnya
memformalkan semuanya dalam teori bilangan. Namun, Gödel tidak merasa
bahwa ia menentang segala sesuatu tentang sudut pandang
formalis Hilbert. Setelah Gödel menerbitkan karyanya, menjadi jelas bahwa
teori pembuktian masih memiliki beberapa kegunaan, satu-satunya
perbedaan adalah bahwa ia tidak dapat digunakan untuk membuktikan
konsistensi semua teori bilangan seperti yang diharapkan Hilbert.
Hilbert awalnya seorang deductivist, tetapi ia mempertimbangkan
metode metamathematis tertentu untuk menghasilkan hasil yang secara
intrinsik bermakna dan realis sehubungan dengan aritmatika
keuangan. Kemudian, ia berpendapat bahwa tidak ada matematika yang
bermakna apa pun, terlepas dari interpretasi.
A. Sistem aksiomatis

11
Formalis lain, seperti Rudolf Carnap , Alfred Tarski dan Haskell Curry,
menganggap matematika sebagai penyelidikan sistem aksioma formal. Curry
mendefinisikan matematika sebagai "ilmu sistem formal." Formalisme Curry
tidak seperti istilah formalis, formalis permainan, atau formalisme
Hilbert. Untuk Curry, formalisme matematika adalah tentang struktur formal
matematika dan bukan tentang sistem formal.Stewart
Shapiro menggambarkan formalisme Curry dimulai dari tesis historis bahwa
ketika cabang matematika berkembang, ia menjadi semakin keras dalam
metodologinya, hasil akhirnya adalah kodifikasi cabang dalam sistem
deduktif formal.
B. Kritik terhadap formalisme

Gödel menunjukkan salah satu titik lemah formalisme dengan menjawab


pertanyaan tentang konsistensi dalam sistem aksiomatik.
Kritik formalisme lainnya adalah bahwa ide-ide matematika aktual yang
menduduki matematikawan jauh dari permainan manipulasi string yang
disebutkan di atas: matematikawan sering melakukan pembuktian sambil
memperlakukan objek yang mereka minati seolah-olah mereka nyata. Angka
2 diperlakukan seolah-olah itu adalah sesuatu yang benar-benar ada, bukan
sebagai simbol sewenang-wenang yang telah diambil bersama dengan
seperangkat aturan yang sewenang-wenang.
Selain itu, formalisme tidak menjawab pertanyaan tentang sistem aksioma mana
yang harus dipelajari, karena tidak ada yang lebih bermakna daripada yang lain dari
sudut pandang formalis.

12
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Formalisme menggap bahwa esensi dari matematika adalah
manipulasi karakter-karakter. Matematika seharusnya adalah tentang
karakter tipografis dan aturan-aturan untuk memanipulasi karakter-
karakter tipografis itu. Dengan kata lain, sifat alami dari matematika
adalah sebagai sistem lambang yang formal, matematika bersangkut paut
dengan sifat-sifat struktural dari simbol-simbol dan proses pengelolahan
terhadap lambang-lambang itu. Simbol-simbol dianggap mewakili
berbagai sasaran obyek matemtika.

13
Daftar Pustaka

Weir, Alan (2015), "Formalism in the Philosophy of Mathematics", in Zalta,


Edward N. (ed.), The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2015 ed.),
Metaphysics Research Lab, Stanford University, retrieved 2019-05-25

Simons, Peter (2009). "Formalism". Philosophy of Mathematics. Elsevier. p. 292.


ISBN 9780080930589.

Simons, Peter (2009). Philosophy of Mathematics. Elsevier. p. 293. ISBN


9780080930589.

Frege, Gottlob (1903). The Foundations of Arithmetic: A Logico-Mathematical


Enquiry Into the Concept of Number. Chicago: Northwestern University Press. p.
183.

Dummett, Michael (1991). Frege: Philosophy of Mathematics. Cambridge:


Harvard University Press. p. 252. ISBN 9780674319356.

Dummett, Michael (1991). Frege: Philosophy of Mathematics. Cambridge:


Harvard University Press. p. 253. ISBN 9780674319356.

Frege, Gottlob; Ebert, Philip A.; Cook, Roy T. (1893). Basic Laws of Arithmetic:
Derived using concept-script. Oxford: Oxford University Press (published 2013).
pp. § 93. ISBN 9780199281749.

Zach, Richard (2019), "Hilbert's Program", in Zalta, Edward N. (ed.), The


Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2019 ed.), Metaphysics Research
Lab, Stanford University, retrieved 2019-05-25

Snapper, Ernst (September 1979). "The Three Crises in Mathematics: Logicism,


Intuitionism and Formalism" (PDF). Mathematics Magazine. 52 (4): 207–216.
doi:10.1080/0025570X.1979.11976784.

Reid, Constance; Weyl, Hermann (1970). Hilbert. Springer-Verlag. p. 198. ISBN


9783662286159.

Gödel, Kurt (1986). Feferman, Solomon (ed.). Kurt Gödel: Collected Works:
Volume I: Publications 1929-1936. 1. Oxford: Oxford University Press. p. 195.
ISBN 9780195039641.

Carnap, Rudolf (1937). Logical Syntax of Language. Routledge. pp. 325–327.


ISBN 9781317830597.

Curry, Haskell B. (1951). Outlines of a Formalist Philosophy of Mathematics.


Elsevier. p. 56. ISBN 9780444533685.

Shapiro, Stewart (2005). "Formalism". The Oxford Companion to Philosophy.


Honderich, Ted (2nd ed.). Oxford: Oxford University Press. ISBN
9780191532658. OCLC 62563098.

14

Anda mungkin juga menyukai