Anda di halaman 1dari 57

MAKALAH

“ASUHAN KEPERAWATAN AKTIVITAS DAN


LATIHAN”

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Dasar II


Pengampu : Endang Zulaicha S, S.Kep. M.Kep.

Disusun Oleh Kelompok II Kelas 2A:

1. Heni Sulistyarini J210150002


2. Dinda Ria Supia J210150011
3. Amalia Arifatul Diktina J210150018
4. Rina Dian Hurian Safitri J210150025
5. Arifah Zanuar K J210150032

PRODI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat,dan hidayah-
NYA. Kami dapat menyelesaikan makalah tentang Asuhan Keperawatan Aktivitas
dan Latihan ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga
kami berterima kasih pada Ibu Endang Zulaicha S, S.Kep. M.Kep selaku Dosen
Mata Kuliah Keperawatan Dasar II yang telah memberiakan tugas ini kepada
kami sekaligus membimbing kami dalam penyusunan makalah ini.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai Asuhan Keperawatan Aktivitas dan
Latihan. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya
ktitik,saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di mas yang
akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang
membangun.

Semoga makalah sederhan ini dapat dipahami bagi siapapun yang


membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan
saran kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami kami memohon krik
dan saran yang membangun dari anda demi perbaikan makalahini di waktu yang
akan datang.

Surakarta, Maret 2016

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Dalam beraktivitas manusia memerlukannya untuk memenuhi
kebutuhan atau hanya untuk menggerakkan tubuh saja. Ketika beraktivitas
manusia ada bagian-bagian didalam tubuhnya juga mengalami pergerakan
untuk membantu /menghasilkan gerakan yang diingginkan. Dan bagian-
bagian itu juga saling berhubungan, terkadang ketita beraktivitas manusia
mengalami permasalahan yang berhubungan dengan alat gerak. Hal itu
harus ditanggapi dengan serius karena tidak hanya akan menganggu fungsi
alat gerak tetapu juga menganggu mekanisme kerja alat gerak yang lain.
Oleh karena itu, perlu seorang perawat mengetahui dan memahami apa
yang terjadi pada pasiennya dan dapat mengambil keputusan dalam
melakukan tindakan keperawatan dengan tepat sesuai apa yang dialami
atau dirasakan oleh pasiennya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Penjelasan definisi aktifitas dan latihan?
2. Penjabaran anatomi, dan fisiologi?
3. Penjelasan yang berhubungan dengan nilai-nilai normal?
4. Jenis-jenis gangguannya dan patofisiolgi ?
5. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi mobilitas?
6. Perubahan sistem tubuh akibat imobilitas?
7. Hal-hal yang berkaitan dengan pemeriksaan Keperawatan?
8. Penjelasan Asuhan keperawatan yang berhubungan dengan latihan
dan aktifitas?

4
C. TUJUAN PERMASALAHAN
Untuk mengetahui dan memperdalami pembuatan Asuhan
Keperawatan Aktivitas dan Latihan yang meliputi pengertian, anatomi,
fisiologi, nilai-nilai normal, jenis kelainan/gangguan, patofisiologi,
pemeriksaan keperawatan, asuhan keperawatan dan referensinya.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian
Aktivitas fisik merupakan gerakan yang beruntut atau berirama
didalam tubuh manusia yang diikuti dengan perputaran waktu pagi dan
siang dan selalu berulang selama 24 jam(Riyadi&Widuri,2015). Ada juga
pengertian lain, aktivitas tubuh merupakan kegiatan atau kerja yang
dilakukan oleh bagian-bagian tubuh(Saputra,2013). Aktivitas manusia
sangatlah unik dalam kehidupan sehari-hari, baik untuk bekerja, makan,
istirahat, rekreasi, dan lain-lain. Dalam memenuhi kebutuhan tersebut,
maka dibutuhkan koordinasi, keamanan, dan keefisiensian agar
menghasilkan gerakan yang tepat dan dapat memelihara keseimbangan
tubuh selama beraktivitas. Oleh karena itu, perawat harus dapat mengenal
cara-cara dalam melakukan aktivitas dengan baik agar terhindar dari
kondisi yang tidak diharapkan untuk dirinya dan pasien. Dengan dasar
tersebut, maka perlu memahami kondisi struktur tubuh manusia, penyebab,
dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya gangguan kesalahan dalam
beraktivitas maupun akibat tidak melakukan aktivitas(Mubarak dkk,2015).
Salah satu komponen dari tubuh yang digunakan untuk
menggambarkan usaha dalam mengoordinasikan sistem muskuloskeletal dan
saraf. Mekanika tubuh meliputi pengetahuan tentang bagaimana dan
mengapa kelompok otot tertentu digunakan untuk menghasilkan dan
mempertahankan gerakan secara aman. Dalam menggunakan mekanika
tubuh yang tepat perawat perlu mengerti pengetahuan tentang pergerakan,
termasuk bagaimana mengoordinasikan gerakan tubuh yang meliputi fungsi
integrasi dari sistem skeretal, otot skelet, dan sistem saraf. Selain itu, ada
kelompok otot tertentu yang terutama digunakan untuk pergerakan dan
kelompok otot lain membentuk postur atau bentuk
tubuh(Potter&Perry,2012). 6
Mobilisasi mempunyai banyak tujuan, seperti mengespresikan emosi
dengan gerakan nonverbal, pertahanan diri, pemenuhan kebutuhan dasar,
aktivitas hidup sehri-hari dan kegiatan rekreasi. Dalam mempertahankan
mobilisasi fisik secara optimal maka sistem saraf, otot, dan skeletal harus
utuh dan berfungsi baik(Potter&Perry,2012).

B. Anatomi dan fisiologi


Gerakan tubuh terkoordinasi secara terintegrasi dari sistem skelet
(muskuloskeletal), sistem otot skelet, dan sistem saraf. Ketiga sistem
tersebut berhubungan erat dengan mekanisme pendukung tubuh, sistem ini
dapat dianggap sebagai unit fungsional. Berikut ini beberapa yang berfungsi
dalam pengaturan gerakan, meliputi(Mubarak dkk,2015):
A. Sistem Muskuloskeletal(Sistem Skelet)
Sistem muskuloskeletal terdiri atas rangka (tulang), otot, dan sendi.
Sistem ini sangat berperan dalam pergerakan dan aktivitas manusia.
Secara umum, rangka memiliki beberapa fungsi, yakni sebagai berikut:
1) Menyokong jaringan tubuh, termasuk memberikan bentuk pada
tubuh(postur tubuh).
2) Melindungi bagian tubuh yang lunak, seperti otak, paru-paru, hati
dan medula spinalis.
3) Sebagai tempat melekatnya otot dan tendon, termasuk juga
ligamen.
4) Sebagai sumber mineral, seperti garam, fosfat, dan lemak.
5) Berperan dalm proses hematopoiesis (prosuksi sel
darah)(Mubarak ddk,2015)
Sementara otot berperan dalam proses pergerakan, memberi
bentuk pada postur tubuh, dan memproduksi panas melalui aktivitas
kontraksi otot. Sistem skelet terdiri dari empat tipe tulang, yaitu tulang
panjang, tulang pendek, tulang pipih, dan tulang iregular(tidak
beraturan). (Riyadi, Widuri , 2015)
7
a) Tulang panjang (tulang pipa)
Tulang panjang pada umumnya terbentuk lebar pada kedua
ujung dan menyempit di tengahnya. Bagian ujung tulang panjang
dilapisi oleh kartilago dan secara anatomis terdiri dari epifisis,
metafisis, dan diafisis. Epifisis dan metafisis terdapat pada kedua
ujung tulang yang terpisah dan lebih elastik pada masa anak-anak
serta akan menyatu pada masa dewasa. Tulang panjang membentuk
tinggi tubuh, misalnya:tulang femur, fibula, tibia pada kaki, dan
lain-lain. Tulang panjang pada lengan sebagai pengungkit untuk
menggulurkan tangan. Tulang kaki juga sebagai pengungkit
bekerja ketika berjalan dan berlari.
b) Tulang pendek
Tulang pendek berada dalam bentuk berkelompok, dan ketika
dikombinasikan dengan ligamen dan kartilago maka akan
menghasilkan gerakan pada ekstermitas. Contohnya tulang pendek,
yaitu tulang karpal di kaki, dan tulang patela di lutut.
c) Tulang pipih
Tulang pipih mendukung struktur bentuk tubuh, seperti tulang
di tengkorak dan tulang rusuk di toraks.
d) Tulang ireguler (tidak teratur)
Tulang ireguler membentuk kolumna vertabra dan beberapa
tulang tengkorak, misalnya mandibula(Riyadi&widuri,2015).
Perhatikan Gambar Berikut.

(a) Tulang pendek, (b) tulang pipa, (c) tulang ireguler, dan (d) tulang pipih

8
Tulang dapat menyimpan kalsium dan menyebarkannya ke aliran darah jika
dibutuhkan. Pada seseorang yang mengalami gangguan pengaturan dan
metabolisme kalsium berisiko mengalami osteoporosis dan fraktur patologis
(fraktur yang disebabkan oleh kelemahan jaringan tulang), yang terjadi pada
semua tulang. Tetapi sering terjadi pada tulang rusuk dan penyangga badan. Selain
itu, struktur internal tulang mengandung sumsum tulang, yang berperan dalam
pembentukan sel darah merah(SDM) dan cadangn untuk darah. Seseorang yang
mengalami gangguan fungsi sumsum tulang atau kurangnya produksi sel darah
merah biasa mudah lelah dan lemah, sehingga mobilisasi berkurang dan klien
berisiko mudah jatuh(Potter&Perry.2012).

Karakteristik tulang meliputi kekokohan, kekuatan dan elastisitas.


Kekokohn tulang itu merupakan hasil dari adanya garam organi seperti kalsium
dan fosfat yang tersebar dalam matrik tulang. Kekokohan berhubungan dengan
kekakuan tulang,yang penting mempertahankan tulang panjang tetap lurus, dan
membuat tulang dapat menyangga berat badan saat berdiri. Selain itu, tulang
mempunyai tingkat elastisitas dan fleksibilitas skelet yang dapat berubah sesuai
dengan usia. Misalnya bayi yang baru lahir memiliki kartilago lebih banyak dan
lebih fleksibel tetapi tidak mampu menyangga berat badan. Tulang todler lebih
lentur daripada tulang lansia sehingga lebih dapat bertahan dari
jatuh(Potter&Perry,2012).

1. Sistem Otot Skelet


Gerakan tulang dan sendi merupakan proses aktif yang harus
terintegrasi secara hati-hati untuk mencapai koordinasi. Otot skelet, karena
kemampuannya dalam berkontraksi dan berelaksasi, merupakan elemen
kerja dari pergerakan. Elemen kontraktif otot skelet dicapai oleh struktur
anatomis dan ikatannya pada skelet. Kontraksi otot dirangsang oleh impuls
elektrokimia yang berjalan dari saraf ke otot melalui sambungan mineral.
Impuls elektrokimia menyebabkan aktin tipis yang mengandung filamen
terjadi memendek, kemudian otot berinteraksi. 9
Adapun dua tipe kontraksi otot meliputi: kontaksi isotonik,
peningkatkan tekanan otot menyebabkan otot memendek dan kontraksi
isometrik menyebabkan peningkatan tekanan otot atau kerja otot tetapi
tidak ada pemendekan atau gerakan aktif dari otot, misalnya menganjurkan
klien latihan kuadrisep. Gerakan volunter adalah kombinasi dari kontraksi
isotonik dan isometrik, misalnya pada saat perawat mengangkat klien di
atas tempat tidur, berat klien menyebabkan peningkatan tegangan otot di
lengan perawat sampai tegangan tersebut sama (isometrik) dengan beban
diangkat dan beban lengan bawah. Ketika keseimbangan dicapai, stimulus
berlanjut ke otot memendek (isotonik) dan menekuk siku (gerakan aktif),
dan kemudian klien terangkat di tempat tidur.
Meskipun kontraksi isometrik tidak menyebabkan otot memendek,
namun pemakainan energi meningkat. Tipe kerja otot ini dapat
dibandingkan dengan kerja mengendarai mobil yang menahan percepatan
mobil dan pada perlombaan motor. Pengemudi tetap duduk, namun
mengeluarkan banyak energi. Perawat harus mengetahui penggunaan
energi(penigkatan frekuensi pernapasan, fluktuasi irama jantung, tekanan
darah) yang dikaitjan dengan latihan isometrik, karena hal ini menjadi
kontraindikasi pada klien dengan penyakit tertentu, seperti infark miokard
atau penyakit paru-paru obsttruksi menahun.
Sendi, ligamen, tendon, kartilago, dan otot skelet mendukung
kekuatan dan fleksibilitas skelet. Kekuatannya memungkinkan sistem
skeletal mendukung tubuh. Fleksibilitas seseorang pada rentang gerak.
1. Otot
Otot mempunyai dua fungsi utama, sebagai pembentukan postur/
kesejajaran tubuh, dan sebagai pergerakan.
a. Otot sebagai pembentuk postur/kejajaran tubuh.
Otot yang mempunyai fungsi sebagai pembentuk
postur/kesejajaran tubuh berbentuk pendek, dan menyerupai
kulit karean membungkus tendon, seperti otot ekstemitas
bawah, tubuh, leher, dan punggung. 10
Kelompok ini bekerja sama untk mestabilkan dan
menopang berat badan saat duduk dan berdiri, dan
memungkinkan individu tersebut untuk mempertahankan
diri. (Widuri , Riyadi , 2015)
b. Otot sebagai pengerak
Otot yang berfungsi sebagai pergerakan ini melekat di
regioskelet tempat pergerakan itu diitimbulkan oleh
pengungkitan. Pengungkitan terjaadi pada tulang tertentu
misalnya humerus, ulna, dan radius, serta sendi yang
berhubungan, misalnya sendi siku, bekerja sama dengan
pengungkit. Selanjutnya kekuatan yang bekerja pada ujung
tulang mengangkat berat pada titik yang lain untuk memutar
tulang yang belawanan dengan gaya yang diberikan. Otot
yang melengkat pada tulang pengungkit memberikan
kekuatan yang penting untuk mengerakan objek.
c. Tonus otot
1. Tonus otot merupaakan keadaan normal dari
tegangan otot yang seimbang. Ketegangan
dicapai dengan kontruksi dan relaksasi secara
bergantian, tanpa gerakan aktif serat daru
kelompok otot tertentu. Tonus otot
memungkinkan bagian tubuh mempertahankan
posisi fungsional tanpa kelemahan otot. Selain
itu, tonus otot mendukung kembalinya aliran
darah vena ke jantung, seperti pada otot kaki.
Tonus otot dipertahankan melalui penggunaan otot yang
terus-menerus. Aktivitas sehari-hari membutuhkan kerja otot
dan membantu mempertahankan tonus otot. Akibatnya dari
imobilisasi dapat menyebabkan aktivitas tonus berkurang.

11
d. Kelompok otot
Kelompok otot antagonis, sinergistik, dan antigravitas
dikoordinasikan oleh sistem saraf dan beerja sama untk
mempertahankan postur dan memulai pergerakan.
a) Otot antagonistik
Otot antagonistik bekerja sama dalam
menggerakkan sendi. Selama pergerakan otot
penggerak aktif berkontraksi, dan otot antagonisnya
relaksasi. Contohnya, pada saat lengan fleksi maka
otot bisep brakhialis aktif berkontraksi, dan otot
antagonisnya, trisep brakhialis aktif berkontaksi
sehingga lawannya yaitu otot bise brakhialis
relaksasi, seperti gambar dibawa ini:

Gb. Lengan ditekuk, otot bisep berkontraksi (menggembung) dan


otot bisep berelaksasi (memanjang)

Gb. Lengan diluruskan, otot bisep berelaksasi (memanjang), otot


trisep berkontraksi (menggembung) 12
b) Otot sinergistik
Otot sinergistik berkontraksi bersama untuk
menyempurnakan gerakan yang sama. Ketika
lenggan fleksi, kekuatan otot kontraksi dari otot
bisep brakhialis ditingkatkan oleh kontaksi otot
sinergistik, yaitu brakhialis. Selanjutnya aktivitas
otot sinergistik, terdapat dua pergerakan aktif yaitu,
bisep brakhialis dan brakhialis berkontaksi
sementara otot antagonistik, yaitu otot trisep
btakhialis relaksasi.
c) Otot antigravitas
Otot ini berpengaruh pada stabilisasi sendi. Otot
secara terus menerus melawan efek gravitas tubuh
dan mempertahankan postur tegak atau duduk. Pada
individu masa dewasa, otot antigravitasi merukan
otot ekstensor kaki, gluteus maksimus, quadrisep
femoris, otot soleus, dan otot punggung.
2. Tendon
Tendon merupakan jaringan ikay yang melekat dengan sangat
kuat pada tempat insersinya di tulang, jaringan tersebut adalah
jaringan fibrosa padat yang merupakan perpanjangan dari
pembungkus otot dan membentuk pada ujung otot yang mengikat
pada tulang. Kontraksi otot tidak dapat terjadi lagi, apabila tendon
yang melekat pada tempat insersi terputus, sehingga diperlukan
prnyambungan atau jahitan agar dapat berfungsi kembali. Tendon
dibatasi oleh membran sinovial yang berfungsi memberikan pelicin
agar pergerakan tendon menjadi mudah. Lihat gambar dibawah ini:

13
3. Sendi
Merupakan tempat peremuan dau atau lebih ujung tulang yang
memfasilitasi pergerakan dengan memungkinkan terjadinya
kelenturan. Setiap sendi diklasifikasikan sesuai denggna struktur dan
tingkat mobilisasinya. Ada empat klasifikasi sendi, yaitu:
a) Sendi sinostotik
Sendi ini mengacu pada ikatan tulang dengan tulang, tidak
ada pergerakan pada klasifikasi sendi ini, dan jaringan tulang
yang dibentuk diantara tulang mendukung kekuatan da stabilitas.
Contohnya pada sakrum pada sendi vertebra. Lihat pada gambar
dibawah ini:

b) Sendi kartilagonus atau sendi sinkondrodial


Pada sendi ini mempunyai sedikit gerakan, namun elastik
dan menggunakan kartilago untuk menyatukan permukaannya.
Sendi ini dijumpai pada saat tulang mengalami penekanan yang
konstan, seperti sendi koskosternal antara sternum dan iga.
14
Lihat pada gambar dibawah ini:

c) Sendi fibrosa atau sindesmodial


Sendi ini merupakan tempat kedua permukaan tulang
disatukan dengan ligamen atau membran. Serat atau ligamennya
fleksibel, dapat diregangkan, dapat bergerak,dengn jumlah
terbatas. Contohnya seperti sepasang tulang pada kaki
bawah( tibia dan fibula) adalah sendi sindermodial. Lihat pada
gambar dibawah ini:

15
d) Sendi sinovial
Sendi ini sering disebut dengan sensi yang sebenarnya, pada
sendi ini dapat digerakkan secara bebas karena permukaan tulang
yang berdekatan dilapisi oleh kartilago artikular dan
dihubungankan oleh ligamen sejajar dengan membran sinorvial.
Humerus radius dan ulna dihubungkan oleh kartilago dan
ligamen membentuk sendi putar. Tipe lain sendi ini adalah sendi
ball-and-socket seperti sendi pinggul dan sendi hinge sepeti
sendi interfalang. Lihat gambar dibawah ini:

Struktur persendian synovial

16
4. Ligamen
Ligamen adalah ikatan jaringan fibrosa yang berwarna putih
mengkilat, fleksibel mengikat sendi menjadi satu dan
menghubungkan tulang dengan kartilago. Ligamen bersifat elastik
sehingga membantu fleksibilitas sendi dan mendukung sendi. Fungsi
lain dari beberappa ligament adalah sebagai protektif. Misalnya
ligamen antarvertebra , ligamen nonelastis, dan ligamentum flavum
mencegah kerusakan medulla spinalis( tulang belakang ) saat
punggung bergerak. Lihat pada gambar dibawah ini:

5. Kartilago

Kartilao adalah jaringan penyambungyang tidak memiliki


vaskuler, terdiri atas serat yang tertanam dalam suatu gel yang kuat,
yang terletak terutama di sendi dan toraks, trakhea, laring, hidung,
dan telinga. Pada masa bayi memiliki sejumlah besar kartilago
temporer, yang akan digantikan oleh perkembangan tulang selama
masa bayi. Artilago permanen tidak mengalami osifikasi kecuali
pada lansia dan penyakit osteartritis. Zat makanan yang sampai ke
sel kartilago berasal dari kapiler di perikondrium ( jaringan fibrosa
yang menutupi kartilago) dengan proses difusi, atau pada kartilago
aendi melalui cairan sinovial. Lihat pada gambar dibawah ini:

17
2. Sistem saraf
Postur dan pergerakan tubuh diatur oleh sistem saraf. Atea ,motorik
volinter utama, berada di koteks serebral, yaitu di girus prasentral (jalur
motorik. Umumnya serabut motorik dari jalur motorik kanan mengawali
gerakan volunter untuk untuk tuh bagian kiri, dan serabut motorik dari
jalur motorik kiri mengawali gerakan volunter untuk tubuh bagian kanan.
Selama gerakan volunter, impuls turu dari jalur motorik ke medula spinalis
melalui saraf motorik eferen dan berjalan melalui saraf ke otot sehingga
terjadi gerakan. Impuls ibi dikobtrol oleh sinaps, yanf menjaga impuls
berjalan satu arah.
Transmisi impuls dari sistem saraf ke sistem muskuloskeletal
merupakan peristiwa kimia listrik dan membutuhkan neurotrasmiter. Pada
dasarnya, neuritransmiter merupakan subtansi kimia seperti asetilkolin
yang memindahkan impuls listrik dari saraf yang bersilangan pada simpul
mioneural ke otot. Neutotransmiter mencapai otot dan mestimulasinya
sehingga menyebabkan pergeraka. Pergerakan dapat terganggu oleh
adanys gangguan pada perubahan produksi neurotransmiter yang
perjalannya dari saraf ke otot, atau pada aktivasi dann aktivitas otot. Postur
juga diatur oleh sistem saraf dengan ditentkan dari koordinnasi
propriosepsi dan keseimbangan.
18
a. Propriosepsi
Propriosepsi merupakan sensasi yang didapatkan melalui
stimulasi dari dalm tubuh mengenai posisi dan aktivitas otot
tertentu. Propriosepsi di dalam tbuh dipantau proprioseptor, yang
merupakan tempat ujung-ujung saraf di otot, tendon, dan sendi.
Pada saat manusia melakukan aktivitas sehari-hari maka
proprioseptor memantau aktivitas otot dan posisi tubuh secara
terus-menerus, misalnya proprioseptor pada telapak kaki
menopang postur tubuh yang benar ketika berdiri dan berjalan.
Pada saat berdiri, terdapat penekanan terus-menerus pada telapak
kaki. Proprioseptor memantau tekanan, melanjutkan informasi ini
melalui sistem saraf ke otot antigravitas. Orang yang akan tetap
berdiri sampai memutuskan untuk mengubah posisi. Apabila
manusia sedang berjalan , maka proprioseptor pada telapak kaki
memantau perubahan tekanan. Kemudian, ketika telapak kaki
yang sedang berjalan menyentuh permukaan, secara otomatias dia
akan bergerak melangkah. Proprioseptor memungkinkan manusia
berjalan tanpa harus melihat kakinya.
b. Keseimbangan
Keseimbangan adalah kemampuan tubuh ubtuk mencapai dan
mempertahankan postur tubuh agar tetap tegak melawan gravitasi
(duduk atau berdiri) untuk mengatur seluruh ketrampilan aktivitas
motorik. Serebelum bertanggung jawab terhadap reflexs, mengatur
kontrol motorik secara involunter, dan mempertahankan
keseimbangan dan postur tubuh. Kerusakan serebelum ditandai
dengan hilangnya ekuilibirum, keseimbangan, dan koordinasi
motorik. Telinga bagian dalam juga ikut membantu mengatur
keseimbangan. Dengan adanya kanalis semisirkuler di telingan
bagian dalam, tiga struktur berisi cairan tersebut membantu
mempertahankan keseimbangan.
19
Cairan pada kanal mempunyai kelembaman tertentu, dan
pada saat kepala tiba-tiba berotasi ke satu arah, maka cairan tidak
bergerak untuk beberapa waktu, sementara kanal akan mengikuti
gerakan arah kepala.
C. Nilai-nilai normal muskloskeletal
Perbandingan Kekuatan Otot menurut Priharjo (1996) ,Smeitzer (2002)
dan Berger dan Williams (1996)
Priharjo R.(1996),
Skala Reeves (2001) Berger dan Williams
(1999)
0 Tidak Tidak terdapat 0 % Paralisis total
ada kontraktilitas
1 Sedikit Ada bukti sedikit 10 % Tidak ada gerakkan ,
kontraktilitas tanpa teraba/terlihat dan yang
adanya gerakkan kontraksi otot
sendi
2 Buruk ROM (rentang 25 % Gerakkan otot penuh
gerak) komplit menentang gravitasi,
dengan batasan dengan sokongan
gravitasi
3 Sedang ROM komplit 50 % Gerakan normal
terhadap gravitasi menentang gravitasi
4 Baik ROM komplit 75 % Gerakkan normal penuh
terhadap gravitasi menentang gravitasi
dengan beberapa dengan sedikit
resistensi penahanan
5 Normal ROM yang komplit 100 % Gerakkan normal penuh,
terhadap gravitasi menentang gravitasi
dengan resistensi dengan
penuh Penahanan penuh
Sumber :(Lukam,2009) 20
Kategori tingkat kemampuan aktivitas
Tingkat Kategori
Aktivitas/Mobili
tas
Tingkat 0 Mampu merawat diri sendiri secara penuh
Tingkat 1 Memerlukan penggunaan alat
Tingkat 2 Memerlukan bantuan atau pengawasan orang lain
Tingkat 3 Memerlukan bantuan, pengawasan orang lain, dan
peralatan
Tingkat 4 Sangat tergantung dan tidak dapat melakukan atau
berpartisipasi dalam perawatan

Derajat normal rentang gerak sendi


Gerak Sendi Derajat Rentang Normal
Bahu
Adduksi : gerakkan lengan ke lateral dari 180
posisi samping ke atas kepala, telapak tangan
menghadap ke posisi yang paling jauh
Siku
Fleksi : angkat lengan bawah ke arah depan 150
dan ke arah atas menuju bah
Pergelangan Tangan
Fleksi : tekuk jari-jari tangan ke arah 80-90
bagian dalam lengan bawah 80-90
Ekstensi : luruskan pergelangan tangan dari 70-90
posisi fleksi 0-20
Hiperekstensi : tekuk jari-jaritangan kearah 30-50
belakang sejauh mungkin 90
Abduksi : tekuk pergelangan tangan ke sisi
ibu jari ketika telapak tangan menghadap ke 90
atas 30
Adduksi : tekuk pergelangan tangan kearah
kelingking , telapak tangan menghadap ke
atas 20
20
Tangan dan Jari
Fleksi : buat kepalantangan
Ekstensi : luruskan jari
Hiperekstensi : tekuk jari-jari tengan ke
belakang sejauh mungkin
Abduksi : kembangkan jari tangan
Adduksi : rapatkan jari-jari tangan dari posisi
abduksi

D. Jenis-jenis gangguan dan patofisiologi


1. Pengertian Mobilitas, dan imobilitas
a. Mobilisasi
Mobilitas atau mobilisasi merupakan kemampuan seseorang untuk
bergerak secara bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan agar dapat
memenuhi kebutuhan aktivitas dalam mempertahankan ataupun
meningkatkan tingkat kesehatannya.
b. Imobilisasi
Imobilisasi atau gangguan mobilitas, merupakan suatu keadaan ketika
seseorang mrngalami atau beresiko mengalami keterbatasan gerak
fisik.(Widuri, Riyadi, 2015)

22
2. Jenis mobilisasi
a. Jenis-jenis mobilisasi
1) Mobilisasi penuh
Mobilisasi penuh merupakan kemampuan seseorang untuk
melakukan gerakan secara penuh dan bebas, sehingga mereka
dapat melakukan aktivitas fisiknya, berinteraksi secara sosial, dan
dapat menjalankan perannya sehari-hari. Untuk dapat mengontrol
seluruh area tubuh seseorang dalam melakukan mobilisasi pebuh
ini dapat terjadi atas peran saraf motorik volunter dab sensorik.
2) Mobilisasi sebagian
Mobilisasi sebagian merupakan kemampuan seseorang dalam
bergerak dengan batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara
bebas, karena terjadi gangguan pada saraf motorik dan sensorik
pada tubuhnya. Kondisi ini dapat ditemui pada manusia yang
mengalami cedera atau ptah tuang dengan pemasangan traksi. Pada
pasien dengan paraplegi dapat mengalami mobilitas sebagan pada
ektremitas bawahnya karena kehilangan kontrol motorik dan
sensorik. Mobilisasi sebagian ini ada dua jenis, meliputi:
a) Mobilisasi sebagian temporer, adalah kemampuan seseorang
dalam bergerak dengan batasan yang bersifatnya sementara.
Hal tersebut dapat disebabkan karena adanya trauma
reversibel pada sistem muskuloskeletal, misalnya terjadi
dislokasi sendi dan tulang.
b) Mobilitas sebagian permanen merupakan kemampuan
seseorang dalam bergerak dengan batasan yang sifatanya
menetap. Hal ini disebabkan oleh rusaknya sistem saraf yang
reversibel, misalnya terjadinya hemiplegia, karena stroke,
paraplegi karena cedera tulang belakang, poliomielitis
karena terganggunya sistem saraf motorik dan sensorik.

23
b. Jenis-jenis imobilisasi
1. Imobilisasi fisik
Imobilisasi fisik merupakan pembatasan untuk bergerakan secara
fisik untuk mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan,
seperti pada pasien dengan hemiplegiayang tidak mampu
mempertahankan tekanan di daerah paralisis sehingga tidak dapat
mengubah posisi tubuhnya untuk mengurangi tekanan.
2. Imobilisasi intelektual
Imobilisasi intelektual merupakan keadaan pada saat seseorang
mengalami keterbatasan daya pikir, misalnya pada pasien yang
mengalami kerusakan otak karena suatu penyakit.
3. Imobilisasi emosional
Imobilisasi emosional merupakan keadaan pada saat seseorang
mengalami pembatasan secara emosional karena adanya perubahab
secara tiba-tiba dalam menyesuaikan diri. Contohnya, seseorang
dalam kondisi stres berat yang disebabkan karena amputasi pada
saat seseorang mengalami kehilangan sesuatu yang dicintai.
4. Imobilisasi sosial
Imobilisasi sosial adalah keadaan seseorang yang mengalami
hambatan dalam melakukan interaksi sosial karena keadaan
penyakitnya sehingga dapat mempengaruhi perannya dalam
kehidupan sosialnya.
E. Faktor-faktor yang mempengaruhi mobilitas
Beberapa faktor dapat mempengaruhi mobilisasi, diantaranya:
1. Gaya hidup
Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas
seseorang, karena gaya hidup berdampak pada perilaku atau
kebiasaaan sehari-hari.

24
2. Proses penyakit
Proses penyakit sangat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam
mobilisasi karena keadaan tersebut dapat mempengaruhi fungsi sistem
tubuh. Misalnya , orang yang menderiata fraktur femur akan
mengalami keterbatasan pergerakan dalm ekstermitas bawah.
3. Kebudayaan
Kemampuan melakukan mobilitas dapat dipengaruhi kebudayaan.
Misalnya, orang yang memiliki budaya sering berjalan jauh
mempunyai kemampuan mobilitas yang kuat dibandingkan pada oranb
yang mengalami gangguan mobilitas karena adat dan budaya tertentu
dilarang untuk beraktivitas.
4. Tingkat energi
Energi merupak sumber seseorang untuk melakukan aktivitas. Agar
seseorang dapat melakukan aktivitas yang baik dan maksimal, maka
dibutuhkan energi yang cukup.
5. Usia dann status perkembangan.
Terdapat perbedaan kemampuan mobilitas pada masing-masing tingkat
usia. Hal tersebut dikarenakan kemampuan atau kematangan fungsi
gerak sejalan dengan perkembangan usia.
F. Perubahan sistem tubuh akibat imobilitas
Imobilisasi dapat terjadi pada orang yang berdampak pada beberapa sistem
tubuh , seperti perubahan pada metabolisme tubuh, ketidakseimbangan cairan
dan elektrolit,gamgguan dalam kebutuhan nutrisi, gamgguan fungsi
gastriontestinal, perubahan sistem pernapasan, perubahan kardiovaskuler,
perubahan sistem muskuloskeletal, perubahan kulit, perubahan eliminasi, dan
perubahan psikososial.
1. Perubahan metabolisme
Imobilisasi dapat menganggu fungsi metabolik normal, seperti laju
metabolik, metabolisme karbohidrat, lemak dan protein,
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, ketidakseimbangan kalsiun,
dan gangguan pencernaan gastrointestinal. 25
a. Metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein
Kekurangan kalori dan protein merupakan karakteristik klien yang
mengalami penurunan nafsu makan sekunder yang diakibatkan
terjadinya imobilisasi. Protein disintesis dan diubah menjadi asam
amino dalam tubuh untuk dibentuk kembali menjadi protein lain
secara konstan. Asam amino yang tidak digunakan akan
diekskresikan. Tubuh dapat mensistesa asam amino tertentu
(nonesensialo) namun sangat bergantung pada protein yang
dikonsumsi untk menyediakan delapa asam amino esensil. Jika
lebih banyak nitrogen (produk akhir pemecahan asam amino) yang
diekskresikan dari pada yang dimakan dalam bentuk protein, maka
tubuh dikatakn mengalami keseimbangan nitrogen negatif, dan
kehilangan berat badan, penurunan masa otot, dan kelemahan
akibat katabolisme jaringan. Kehilangan protein menunjukkan
penurunan massa otot terutama pada hati, jantung, pari-paru,
saluran pencernaan, dan sistem kekebalan.
b. Ketidakseimbangan cairan dan elektolit.
Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit yang terjadi karena
imobilisasi ini dapat mengakibatkan persediaan protein menurun
dan kontentrasi protein serum berkurang, sehingga dapat
menganggu kebutuhan cairan dan elektrolit. Imonilisasi dapat
mengakibatkan demineralisasi tulang akibat penurunnya aktivitas
otot, sedangkan meingkatnya demineralisasi tulang dapat
mengakibatkan reabsorbsi kalium.
c. Ketidakseimbangan kalsium
Ekskresi kalsium dalam urine ditingkatkan melalui resorpsi tulang.
Imobilisasi meyebabkan terjadinya pelepasan kalsium ke dalam
sirkulasi. Dalam keadaa normal ginjal dapat mengeksresi kelebihan
kalsium. Apabila ginjal tidak mampu berespons dengan tepat maka
terjadi hiperkalsemia
26
d. Gangguan pencernaan/ gastrointestinal.
Terjadinya imobilisasi dapat menyebabkan gangguan fungsi
gastrointestinal yang bervariasi dan mengakibatkan penurunan
motilitas saluran gastrointestinal. Hal tersebut terjadi karena
penurunan hasil makanan yang dicerna, sehingga penurunan
jumlah masukan yang cukup dapat menyebabkan keluhan, seperti
perut kembun, mual, dan nyeri lambung yang dapat gangguan
proses eliminasi. Gejala pada umum terjadi konstipasi. Diare sering
terjadi karena impaksi fekal, keejadian tersebut harus diwaspadai,
yaitu bukan diare yag normal, namun lebih cair feses yang berjaln
melalui area yang terjepit. Apabila dibiarkan dan tidak segera
ditangani, implaksi fekal dapat mengakibatkan obstruksi usus
mekanik sebagian atau keseluruhan yang menyumbat lumen usus,
menutup dorongan dari menimbulkan distensi dan peningkatan
tekanan intraluminal. Selanjutnya, fungsi usus menjadi tertekan,
terjadi dehidrasi, terhentinya absorbsi, dan gangguan cairan dan
elektrolit semakin memburuk.
2. Perubahan sistem pernapasan
Terjadinya imobilisasi menyebabkan kadar hemoglobin mengalami
penurunan, ekspansi paru-paru menurun, dan terjadinya lemah otot
yang menyebabkan penurunan aliran oksigen dari alveoli ke jaringan,
sehingga mengakibatkan anemia. Penurunan ekspansi paru dapat
terjadi karena tekanan yang menungkat oleh permukaan paru. Klien
yang mengalami imobilisasi berisiko tinggi mengalami komplikasi
paru-paru, komplikasi umum berupa atelektasis dan pneumonia
hipostatik. Pada atelektasis, bronkiolus menjadi tertutup oleh sekresi
dan kolaps alveolus distal karena udara yang diabsobsi, sehingga
menghasilkan hipoventilasi. Bronkus utama atau beberapa bronkiolus
kecil dapat terkena. Luasnya atelektasis ditentukan oleh bagian yang
tertutup. Pneumonia hipostatik adalah pneumonia hipostatik, kedunya
sama-sama menurunkan oksigenasi, memperlam penyembuhan, 27
dan menambah ketidaknyamanan klien. Beberapa hal dalam
perkembangan komplikasi ini, adanya penurunan sebanding
kemampuan klien untuk batuk produktif. Sehingga penyebaran mukus
dalam bronkus meningkat, terutama pada klien dalam posisi terlentang,
telungkup, atau lateral. Mukus menumpuk di regio yang sangat baik
buat pertumbuhan bakteri, maka terjadi bronkopneumonia hipostatik.
Bisa juga terjadi pnurunan efisiensi siliaris yang diakibatkan
imobilisasi, sehingga sekresi mukus pernappasan cenderung
menumpuk pada bronkial dan menjadi lebih kental dari biasanya. Hal
tersebut yang menyebabkan terganggunya gerakan siliaris normal serta
melekatnya sekret pada epitel saluran pernapasan, kondisi tesebut yang
bisa pula menyebabkan infeksi sekunder pada saluran pernapasan
bawah dan jaringan paru-paru.
3. Perubahn kardiovaskuler
Terjadinya imobilisasi juga dapat mengakibatkan terjadinya perubahan
pada sistem kardiovaskuler, terutama hipotensi ortostatik, peningkatan
beban kerja jantung, dan pembentukan trombus.
a. Hipotensi ortostatik
b. Peningkatan beban kerja jantung
c. Pembentukan trombus
4. Perubahan sistem muskuloskeletal
Keterbatasan mobilitas sangat mempengaruhi sistem muskuloskeletal
terutama otot melalui kehilangan daya tahan tubuh, penurunan massa
otot, atrofi, dan penurunan stabilitas. Sementara itu, pada gangguan
mobilisasi sendi.
a. Pengaruh otot
Karena terjadinya pemecahan protein, klien mengalami kehilangan
massa otot tidak dapat mempertahankan aktivitas tanpa
peningkatan kelelahan. Massa otot menurun karena metabolisme
dan tidak digunakan.
28
Apabila imobilisasi berlanjut dan otot tidak dilatih, maka akan
mengalami penurunan massa yang berlanjut.
b. Atrofi
Suatu keadaan yang dipandang secara luas sebagai respons
terhadap penyakit dan penurunan aktivitas sehari-hari, seperti pada
respons imobilisasi dan tirah baring.
c. Penurunan stabilitas
Penurunan stabilitas ini dapat terjadi karena kehilangan daya tahan,
penurunan massa otot, atrofi dan kelainan pada sendi yang aktual.
Hal tersebut dapat mengakibatkan klien tidak mampu bergerak
terus-menerus dan sangat berisiko untuk jatuh.
d. Pengaruh ke skelet
Terjadi dua perubahan pada skelet, yaitu gangguan metabolisme
kalsium dan kelainan sendi. Karena imobilisasi berakibat pada
resorpsi tulang, sehingga jaringan tulang menjadi kurang padat,
dan terjadi osteoporosis. Bila osteoporosis terjadi maka klien
berisiko mengalami fraktur patologis. Imobilisasi dan aktivitas
yang tidak menyangga tubuh meningkatkan kecepatan resorpsi
tulang. Resospsi tulang juga dapat menyebabkan kalsium terlepas
ke dalam darah, sehingga mengakibatkan terjadinya hiperkalsemia.
e. Kontraktur sendi
Kondisi abnormal dan bisapermanen yang ditandai oleh sendi
fleksi dan terfiksasi. Hal tersebut disebabkan karena tidak
digunakannya, atrofi, dan pemendekan serat otot. Apabila terjadi
kontraktur, maka sendi tidak dapat mempertahankan rentang gerak
dengan penuh. Salah satu contoh kontratur umum dan lemah yang
terjadi adalah foot drop. Jika foot drop terjadi maka kaki terfiksasi
pada posisi plantarfleksi secara permanen. Pada kondisi tersebut
ambulasi akan sulit dilakukan.

29
5. Tortikolis
Tortikolis terjadi karena trauma persalinan pada kepala letak
sungsang. Bila dilakukan traksi pada kepala untuk melahirkan anak,
dapat terjadi cedera otot sternokleidomastoideus yang menimbulkan
hematoma sehingga terjadi pemendekan otot akibat fibosis. Cidera
otot sternokleidomastoideus ini dapat terjadi pada setiap metode
ekstrasi anak. Gambaran klinis, kepala miring karena otot
sternokleidomastoideus memendek, dan teraba seperti tali yang kaku.
Bila dibiarkan muka akan menjadi asimetris, tulang belakang akan
skoliosis untuk mengimbangi mirinnya vertebra servikalis, dan
tengkorakpun akan asimetris. Tata laksana, bila dijumpai pada bayi,
fisioterapi diberikan setiap hari berupa massase disertai peregangan
dengan harapan otot dapat memanjang. Bila fisioterapi tidak berhasil
dilakukan operasi untuk memperpanjang otot sternokleidomastoid.
Fisioterapi diteruskan lagi pasca bedah agar tidak kambuh lagi.
(Mubarak dkk, 2015)

6. Skoleosis
Skoleosis adalah pelengkungan tulan belakang. Kelainan ini
dapat terjadi akibat defotmitas struktural olumna vertebralis yang ada
sejak lahir (kongenital) atau dapat ditimbulkan akibat penyakit
neulomuskular misalnya serebral palsy atau distrofi otot. Sebagian
skoliosis struktural dapat timbul tanpa sebab jelas (idiopatik) atau
karena postur yang buruk. Skoliosis menyebabkan deformitas dan
kadang kadang nyeri. Apabila keadaan ini tidak diatasi, maka fungsi
pernafasan dan jantung dapat terganggu. Gambaran klinis, kelainan
penampakan normal vertebra yaitu konkaf-konveks-konkaf yang
terlihat menurun dari bahu ke bokong, menonjolnya iga di sisi koveks,
tinggi kristal iliaka yang tidak sama.

30
Hal ini dapat menyebabkan satu tungkai lebih pendek dari pada
tungkai lainnya, asimetris rongga toraks dan persambungan yang tidak
sesuai dari vertebraspinalis akan tampak apabila individu
membungkuk. Penata laksanaan, skoliosis postural dapat diobati
dengan latihan pasif dan aktif. Dapat dipasang penahan eksternal
untuk meningkatkan kepatuhan dan kecepatan pemulihan. Skoliosis
struktural dapat diobati dengan interfensi bedah. Interfensi tersebut
dapat berupa penempatan sebuah batang fleksibel di punggung untuk
membalikkan lengkungan kolumna vertebralis. Pada kasus kasus yang
parah dapat dilakukan fusi (penggabungan) spina di tingkat yang
berbeda untuk memperbaiki deformitas.

7. Lordosis
Kurva anterior pada spinal lumbal yang melengkung berlebihan.
Penyebabnya adalah kondisi kongelital, kondisi temporer (misal
kehamilan) penata laksanaan , latihan peregangan spinal (berdasarkan
penyebab)
8. Kifosis
Peningkatan kelengkungan pada kurva spinal torakal.
Penyebabnya adalah kondisi kongenital, penyakit tulang/riket, dan
tuberkolosis spinal. Penata laksanaan, latihan peregangan spinal, tidur
tanpa antal, menggunakan papan tempat tidur, memakai brace/ jaket,
penggabbungan spinal (berdasarkan penyebab dan tingkat keparahan).
9. Kifolordosis
Kombinasi dari kifosis dan lordosis. Penyebabnya adalah
kondisi kongenetal. Penata laksanaan sama dengan metode yang
digunakan untuk hiposis dan lordosis (berdasarkan penyebab).
10. Kifoskoliosis
Tidak normalnya kurva spinal anteroposterior dan lateral.
Penyebabnya adalah kondisi kongenital. Penata laksanaan imobilisasi
dan operasi (brdasarkan penyebab dan tingkat keparahan). 31
11. Footdrop
Lantar flesi, ketidak mampuan menekuk kaki karena kerusakan
saraf peroneal. Penyebabnya adalah kondisi kongenetal, trauma, posisi
imobilisasi yang tidak baik. Penatalaksanaan, tidak ada (tidak dapat
dikoreksi), dicegah melalui terapi fisik.
12. Pigeon toes
Rotasi pada kaki depan, biasa pada bayi penyebabnya adalah
kondisi kongenetal dan kebiasaan. Penatalaksanaan, pertumbuhan,
menggunakan sepatu terbaik.

13. Gangguan perkembangan otot


a. Distrofi otot
Distrofi otot mengacu pada berbagai penyakit yang ditandai oleh
berkurangnya otot. Gangguan ini tidak di sebabkan oleh kelainan
saraf, hormon atau aliran darah.
b. Distrofi otot duchenne
Bentuk tersering distrofi otot adalah distrofi otot duchenne,
suatu penyakit terkait seks yang diwariskan melaui kromosom x dan
hampir selalu terdapat pada pria. Penyebab distrafi otot duchenne
adalah terjadi akibat cacat pada gen yang menghasilkan protein
distrofin. Distrofin penting untuk memelihara membran sel otot.
Tanpa distrofin sel sel otot melemah dan mati.
c. Atrofi
Atrofi adalah penurunan ukuran sel atau jaringan. Atrofi suatu
otot dapat terjadi akibat tidak digunakannya otot atau terjadi
pemutusan saraf yang mempersarafi otot tersebut. Pada atrofi otot,
ukuran miofibril berkurang. Walaupun tidak benar benar mengalami
atrofi, kepadatan tulang dapat berkurang akibat tidak digunakannya
tulang tersebut atau adanya penyakit atau defisiensi metabolik.

32
d. Kerusakan sistem saraf
1) Penyakit parkinson
Gangguan otak progresif yang ditandai oleh degenerasi neuron-
neuron penghasil dopamin yang terletak dalam di hemisfer serebrum
disuatu bagian yang disebut ganglian basal. Awitan penyakit biasanya
pada dekade ke enam dan ke tujuh kehidupan. Dopamin bekerja
sebagai neuro transmiter inhibitorik di proyeksi – proyeksi saraf yang
berjalan dari ganglion basal keseluruh otak.
2) Penyakit huntinten
Penyakit huntinten adalah penyakit degeneratif ganglion basal
dan korteks serebrum yang jarang dijumpai. Penyakit ini diturunkan
melalui gen sebagai suatu kelainan dominan-otosom, yang tampaknya
disebabkan oleh ekspansi suatu kodonberulang yang terletak di
kromosom empat.
3) Trauma langsung pada sistem muskuloskeletal
Konstusio adalah cidera pada jaringan lunak, di
akibatkan oleh kekerasan tumpul (misal pukulan, tendangn,
atau jatuh) terputusnya banyak pembuluh darah kecil yang terjadi

G. Pemeriksaan diagnotik
1. Sinar-X, menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, erosi, dan
perubahan hubungan tulang. Sinar-X multiple diperlukan untuk
pengkajian paripurna struktur yang sedang diperiksa. Sinar-X korteks
tulang dapat menunjukkan adanya pelebaran, penyempitan, dan tanda
iregularitas. Sinar-X sendi dapat menunjukkan adanya cairan,
iregularitas, penyempitan, dan perubahan struktur sendi.
2. CT Scan (Computed Tomografi Scan), menunjukkan dan
memperlihatkan tumor jaringan lunak atau tendon.
33
CT Scan digunakan untuk mengidentifikasi lokasi dan panjangnya
patah tulang di daerah
yang sulit dievaluasi, seperti asetabulum. Pemeriksaan dilakukan
dengan atau tanpa kontras yang berlangsung selama satu jam.
3. MRI (Magnetic Resonance Imaging) adalah teknik pencitraan khusus,
noninvasive yang menggunakan medan magnet, gelombang radio, dan
komputer untuk memperlihatkan abnormalitas, misal tumor atau
penyempitan jaringan lunak. Klien yang mengenakan implant logam
atau pacemaker tidak bisa menjalani pemeriksaan ini. Perhiasan harus
dilepas,klien yang kloustrofobia biasanya tidak mampu menghadapi
ruangan tertutup tanpa penenang.
4. Angiografi, adalah pemeriksaan system arteri. Suatu bahan kontras
radiopaque diinjeksikan ke dalam arteri tertentu, dan diambil foto
sinar-X serial sistem arteri yang dipasok oleh arteri tersebut.
Pemeriksaan ini sangat baik untuk mengkaji perfusi arteri dan bisa
digunakan untuk indikasi tindakan amputasi yang akan dilaksanakan.
Pasien berbaring selama 12-24 jam untuk mencegah pendarahan pada
penusukan arteri.
5. DSA (Digital Substraction Angiography, menggunakan teknologi
computer untuk menggambar system arteri melalui kateter vena.
6. Meilografi, pemeriksaan dengan menyuntikkan bahan kontras ke
dalam rongga subarakhnoid spinalis lumbal, dilakukan untuk melihat
herniasi diskus, stenosis spinal, adan tumor.
7. Artrografi, penyuntikan bahan radiopaque atau udara ke dalam rongga
sendi untuk melihat jaringan lunak atau kontur sendi.
8. Astrosentesis, dilakukan untuk memperoleh cairan synovial untuk
keperluan pemeriksaan atau menghilangkan nyeri akibat efusi.
9. Astroskopi, merupakan prosedur endoskopi yang memungkinkan
langsung ke dalam sendi.

34
10. Skintigrafi Tulang (Pemindai Tulang), menggambarkan derajat sejauh
mana matriks tulang mengambil isotop radioaktif khusus tulang yang
diinjeksikan ke dalam system tersebut.
11. Termografi, pengukuran derajat pancaran panas dari permukaan kulit.
12. Elektromigrafi, memberikan informasi mengenai potensial listrik otot
dan saraf yang mensarafi tujuannya adalah menentukan abnormalitas
fungsi, unit, motor end.
13. Absorpsiometri foton tunggal dan ganda, adalah uji noninvasif untuk
menentukan kadar mineral tulang pada pergelangan tangan atau tulang
belakang.
14. Biopsy, dilakukan untuk menentukan struktur dan komposissi tulang,
otot,dan sinovium serta untuk membantu menentukan penyakit
tertentu.
H. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian terkait aktivitas klien meliputi riwayat keperawatan dan
pemeriksaan fisik tentang kesejajaran tubuh, gaya berjalan,
penampilan dan pergerakan sendi, kemampuan dan keterbatasan gerak,
kekuatan dan massa otot, toleransi aktivitas, masalah terkait mobilitas,
serta kebugaran fisik.
a. Riwayat Keperawatan
Pengkajian riwayat keperawatan meliputi riwayat aktivitas dan
olahraga yang mencakup tingkat aktivitas, toleransi aktivitas, jenis
dan frekuensi olahraga, faktor yang mempengaruhi mobilitas, serta
pengaruh imobilitas.

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik berfokus pada aktivitas dan olahraga yang
menonjolkan kesejajaran tubuh, cara berjalan, penampilan dan
pergerakan sendi, kemampuan dan keterbatasan gerak, kekuatan
dan massa otot, serta toleransi aktivitas. 35
1) Kesejajaran Tubuh
Kesejajaran tubuh dapat dilakukan pada klien dengan cara
berdiri, duduk, atau berbaring. Tujuan pemeriksaan
kesejajaran tubuh adalah untuk mengidentifikasi perubahan
postur akibat pertumbuhan dan perkembangan normal, hal-
hal yang perlu dipelajari untuk mempertahankan postur
tubuh yang baik, factor yang menyebabkan postur tubuh
yang buruk (misal kelelahan dan harga diri rendah), serta
kelemahan otot dan kerusakan motoric lainnya.
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menginspeksi pasien
dari sisi lateral, anterior, dan posterior guna mengamati
apakah:
a) Bahu dan pinggul sejajar,
b) Jari-jari kaki mengarah ke depan,
c) Tulang belakang lurus, tidak melengking ke sisi yang
lain.
2) Cara Berjalan
Pengkajian cara berjalan dilakukan untuk mengidentifikasi
mobilitas klien dan resiko cedera akibat jatuh. Hal ini
dilakukan dengan meminta klien berjalan sejauh ± 10 kaki
di dalam ruangan, kemudian amati hal-hal berikut.
a) Kepala tegak, pandangan lurus, dan tulang belakang
lurus.
b) Tumit menyentuh tanah lebih dulu daripada jai kaki.
c) Kaki dorsofleksi pada fase ayuanan.
d) Lengan mengayun ke depan bersamaan dengan ayunan
kaki di sisi yang berlawanan.
e) Gaya berjalan halus, terkoordinasi, dan berirama;
ayunan tubuh dari sisi ke sisi minimal dan tubuh
bergerak lurus ke depan; dan gerakan dimulai dan
diakhiri dengan santai. 36
Selain itu perawat juga perlu mengkaji keceepatan
berjalan (normalnya 70-100 langkah per menit).
3) Penampilan dan Pergerakan Sendi
Pemeriksaan ini meliputi inspeksi, palpasi, serta pengkajian
rentang gerak aktif atau rentang gerak pasif. Hal-hal yang
dikaji antara lain.
Adanya kemerahan atau pembengkakan sendi.
a) Adanya deformitas.
b) Perkembangan otot yang terkait dengan masing-masing
sendi.
c) Adanya nyeri tekan.
d) Krepitasi.
e) Peningkatan temperature disekitar sendi.
f) Derajat gerak sendi.
4) Kemampuan dan Keterbatasan Gerak
Pengkajian ini bertujuan untuk mendapatkan data tentang
adanya indikasi rintangan dan keterbatasan pada pergerakan
klien dan kebutuhan untuk memperoleh bantuan. Hal-hal
yang perlu dikaji antara lain.
a) Bagaimana penyakit klien memengaruhi kemampuan
klien untuk bergerak.
b) Adanya hambatan untuk klien bergerak (misal
terpasang selang infus atau gips yang berat).
c) Kewaspadaan mental dan kemampuan klien untuk
mengikuti petunjuk.
d) Keseimbangan dan koordinasi klien.
e) Adanya hipotensi ortostatik sebelum berpindah tempat.
f) Derajat kenyamanan klien.
g) Penglihatan.

37
5) Kekuatan dan Massa Otot
Sebelum membantu klien mengubah posisi atau berpindah
tempat, perawat harus mengkaji kekuatan dan kemampuan
klien untuk bergerak. Langkah ini diambil untuk
menurunkan resiko tegang otot dan cedera tubuh, baik pada
klien maupun perawat.
6) Toleransi Aktivitas
Pengkajian ini bermanfaat untuk membantu meningkatkan
kemamdirian klien yang mengalami :
a) disabilitas kardiovaskular dan respiratorik
b) imobilisasi komplet dalam waktu yang lama
c) penurunan massa otot atau gangguan musculoskeletal
d) tidur yang tidak mencukupi
e) nyeri,
f) depresi, cemas, atau tidak termotivasi. Alat ukur yang
paling bermanfaat untuk memperkirakan toleransi
klien terhadap aktivitas adalah frekuensi, kekuatan,
dan irama denyut jantung; frekuensi, kedalaman, dan
irama pernapasan; serta tekanan darah.
7) Masalah Terkait Mobilitas
Pengkajian ini dilakukan melalui metode inspeksi, palpasi,
dan auskultasi; pemeriksaan hasil tes laboratorium; serta
pengukuran berat badan, asupan cairan, dan keluaran
cairan. Pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan segera setelah
klien mengalami imobilisasi. Data yang diperoleh tersebut
kemudian menjadi (standar) yang akan dibandingkan dngan
data selama periode imobilisasi.
2. Penetapan Diagnosis
Menurut NANDA (2003), diagnosis keperawatan yang terkait dengan
masalah aktivitas dan olahraga antara lain sebagai berikut.
38
a. Intoleransi aktivitas
b. Risiko intoleransi aktivitas
c. Hambatan mobilitas fisik
d. Risiko disuse syndrome

Diagnosis keperawatanyang dapat terjadi pada masalah mekanik tubuh dan


ambulansi, antara lain.
1) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan adanya kelemahan
akibat spesme muskuloskeletal pada ekstremitas, nyeri akibat
peradangan sendi, atau penggunaan alat bantu dalam waktu lama.
2) Risiko cedera berhubungan dengan adanya paralis, gaya berjalan
tidak stabil, atau penggunaan tongkat yang tidak benar.
3) Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan kelemahan fisik
secara umum.
3. Perencanaan dan Implementasi
Hamper semua klien membutuhkan bantuan dan bimbingan perawat untuk
mempelajari, memperoleh, serta mempertahankan mekanika tubuh yang
tepat. Dalam hal ini, perawat dapat mengajarkan anggota keluarga
berbagai teknik untuk bergerak, mengangkat tubuh, atau berpindah tempat
di sekitar lingkungan rumah. Sebagai bagian dari asuhan keperawatan,
perawat bertanggung jawab mengidentifikasi klien yang membutuhkan
bantuan dengan postur tubuh dan menentukan besarnya bantuan yang
mereka butuhkan. Secara umum, tujuan asuhan keperawatan untuk klien
dengan masalahaktivitas bervariasi, bergantung pada diagnosis dan
batasan karakteristik masing-masing individu.
a. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan:
1) gangguan system transport oksigen, sekunder akibat gagal
jantung kongestif, infark miokard, PPOK, atelectasis,
anamia, hypovolemia, gangguan endokrin atau metabolic,
penyakit kronis, dan lain-lain,
2) ketidakadekuatan sumber energi, sekunder akibat obesitas,
malnutrisi, diet yang tidak adekuat, 39
3) peningkatan kebutuhan metabolik, sekunder akibat
keganasan, pembedahan, stress ekstrem, nyeri, suhu yang
ekstrem, polusi udara dan lain-lain,
4) inaktivita, sekunder akibat depresi, kurang motivasi

Kriteria Hasil
Individu akan meningkatkan aktivitasnya hingga tahap selanjutnya
(tetapkan tingkat aktivitas yang diharapkan0.
Indikator
a. Mengidentifikasi faktor yang memperburuk intoleransi
aktivitas.
b. Mengidentifikasi metode untuk menurunkan intoleransi
aktivitas.
c. Mempertahankan tekanan darah dalam batas normal, tiga menit
setelah beraktivitas.

Intervensi Umum
a. Pantau respons klien terhadap aktivitas.
1) Ukur nadi, tekanan darah, dan pernapasan saat istirahat.
2) Minta klien untuk melakukan aktivitas.
3) Ukur tanda-tanda vital segera setelah aktivitas (latihan
berat dapat meningkatkan denyut nadi sebanyak 50
denyutan. Frekuensi tersebut tetap dalam batas normal,
sepanjang denyut tersebut kembalai ke denyutan
istirahat dalam tiga menit).
4) Minta klien untuk istirahat selama tiga menit, ukur
tanda-tanda vital kembali.
5) Hentikan aktivitas jika terdapat nyeri keluhan dada,
vertigo atau konfusi, penurunan frekuensi nadi,
penurunan darah sistolik, peningkatan tekanan darah
diastolic sebesar 15 mmHg, penurunan respon
pernapasan. 40
6) Turunkan intensitas atau durasi aktivitas jika frekuensi
pernapasan meningkat secara berlebihan setelah
aktivitas.
b. Tingkatkan aktivitas secara bertahap
1) Tingkatkan toleransi aktivitas klien dengan memintanya
melakukan aktivitas lebih lambat, atau dalam periode
waktu yang lebih singkat dengan diselingi istirahat yang
lebih banyak, atau dengan lebih banyak bantuan.
2) Mulai lakukan latihan rentang gerak sendi sekurang-
kurangnya dua kali sehari.
3) Dorong klien untuk melakukan latihan isometrik.
4) Dorong klien untuk mengubah posisi dan mengangkat
tubuhnya secara aktif jika tidak ada kontraindikasi.
5) Tingkatkan keseimbangan dan toleransi duduk secara
optimal dengan meningkatkan kekuatan otot.
6) Tingkatkan ambulasi dengan atau tanpa alat bantu.
7) Beri dukungan yang cukup untuk memastikan
keselamatan dan mencegah jatuh.
c. Diskusikan pengaruh kondisi klien terhadap tanggung jawab
peran, pekerjaannya, dan keuangannya.
d. Kaji keadekuatan pola tidur pasien.
1) Rencanakan periode istirahat bedasarkan jadwal harian
klien (periode istirahat sebaiknya dijadwalkan
sepanjang hari dan di sela0sela aktivitas).
2) Anjurkan klien untuk istirahat selama satu jam pertama
setelah makan. (Istirahat dapat dilakukan dengan
berbagai cara tidur sebentar, duduk dan menonton TV,
atau duduk dengan kaki ditinggikan)
e. Munculkan sikap “bisa melakukan” dari dalam diri.

41
1) Identifikasi factor yang menghambat rasa percaya diri
klien (misal takut jatuh, persepsi tentang kelemahan,
gangguan penglihatan).
2) Gali hal-hal yang menjadi pendorong semangat bersama
klien dan keluarga. Pertimbangkan hal-hal yang klien
hargai (misal bermain bersama cucu, kembali bekerja,
memancing, membuat kerajinan tangan).
3) Perkenankan klien untuk mengatur jadwal dan target
aktivitas fungsionalnya sendiri. Apabila target terlalu
rendah, buat kontrak dengan klien (misal “Target Anda
untuk berjalan sejauh 25 kaki sepertinya terlalu dekat.
Mari kita tingkatkan sampai 50 kaki dan saya akan
mendampingi Anda.”).
4) Rencanakan tujuan aktivitas, seperti duduk di kursi
sambal makan siang, berjalan menuju jendela untuk
melihat pemandangan, atau berjalan ke dapur untuk
mengambil minuman.
5) Bantu klien untuk mengidentifikasi kemajuan yang
didapat. Jangan anggap remeh nilai pujian dan dukungn
sebagainsuatu teknik motivasi yang efektif. Dalam
kasusu tertentu, akan sangat membantu jika kita
membuat catatan tentang aktivitsn yang telah klien
lakukan untuk memperlihatkan kemajuan klien.
f. Dorong keluarga untuk menyampaikan masalahnya.

Rasional
a. Respon klien terhadap aktivitas dapat dievaluasi dengan
membandingkan tekana darah, nadi, dan pernapasan
praaktivitas dengan tekanan darah, nadi, dan pernapasan
pascaaktivitas.
42
Semua hasil pengukuran ini kemudian dibandingkan dengan
waktu pemulihan-jumlah waktu yang diperluka bagi tekanan
darah, nadi, dan pernapasan untuk kembalai ke tingkat
praaktivita.
b. Toleransi terhadap aktivitas terbentuk secara siklus melalui
upaya penyesuaian frekuensi, durasi, dan intensitas
aktivitasyang diatur sampai tercapai tingkat yang diinginkan.
Peningkatan frekuensi aktivitas menyebabkan peningkatan
durasi dan intensitas (kebutuhan kerja). Peningkatan intensitas
diimbangidengan penurunan durasi dan frekuensi. Setelah
terbentuk toleransi untuk aktivitas yang lebih intensif dengan
durasi yang singkat, frekuensi sekali lagi meningkat.
c. Pencatatan aktivitas yang actual juga respons klien terhadap
aktivitas tersebut menjadi sarana yang lebih terpercaya untuk
mengukur kemajuan yang ada.
d. Gejala intoleransi aktivitas dapat membaik dengan istirahat.
Jadwal harian direncanakan untuk menetapkan periode
aktivitas dan istirahat yang bergantian, serta dikoordinasikan
untuk mengurangi periode pengeluaran energy yang
berlebihan.
e. Intervensi keperawatan untuk intoleransi aktivitas berupaya
meningkatkan partisipasi klien dalam berbagai aktivitas guna
mencapai tingkat aktivitas yang diinginkan oleh klien untuk
program terapi.
f. Keputusan individu untuk terlibat dalam aktivitas tertentu
dipengaruhi oleh pengetahuan, nilai, keyakinan, dan
kemampuan untuk bertindak.

43
4. Inteloransi aktivitas berhubungan dengan bed rest, imobilitas, gaya hidup
yang menetap (jarang beraktivitas berat), kelemahan tubuh secara umum,
ketidakseimbangan antara suplai oksigen dengan penggunaan ditandai
dengan ungkapan rasa letih dan lemah, respons abnormal terhadap
aktivitas seperti ketidaknyamanan dan dyspnea.

Tujuan
a. Klien dapat mempertahankan fungsi normal musculoskeletal
diperlihatkan oleh jarak pergerakan sendi pada seluruh
persendian tubuh dalam batas-batas normal, massa, dan
kekuatan otot dapat dipertahankan.
b. Meminimalkan kejadian kardiovaskular yang diperlihatkan
dengan tanda-tanda vital masih dalam batas normal dan tanda-
tanda aliran darah vena adekuat (ketiadaan edema, inflamasi,
distensi vena, perubahan kulit).
c. Fungsi pernapasan dalam keadaan normal yang ditandai
dengan suara napas normal pada saat auskultasi, ekspansi dada
normal, dan ketiadaan dada nyeri, demam, atau tanda-tanda
pernapasan lain indikator daripada kerusakan paru, emboli,
atau atelectasis.
d. Mempertahankan pola pemberian nutrisi dan cairan yang tepat
dapat diperlihatkan melalui berat badan, turgor jaringan
adekuat, keseimbangan pemasukan dan pengeluaran cairan,
serta nilai protein serum dalam batas normal.
e. Mempertahankan pola eliminasi normal, yang dapat dilihat
secara jelas melalui pengeluaran urine paling sedikit 1.500 ml
per hari, ketiadaan tanda-tanda dari retensi urine, infeksi
saluran urinaria.
f. Mempertahankan keutuhan kulit yang dapat dilihat melalui
kulit bersih, utuh, hidrasi kulit baik, ketiadaan tanda penekanan
pada kulit. 44
g. Mempertahankan kestabilan emosional, sosial, dan intelektual,
yang dapat dilihat dari partisipasi aktif klien, bermusyawarah
dalam menentukan tindakan, mampu memelihara hubungan
yang baik dengan orang lain.

Intervensi Keperawatan dan Rasional


a. Lakukan secara tepat program latihan (isotonic, latihan aktif
atau pasif) paling sedikit empat jam sekali pada tangan, kaki,
dan leher seperti yang diindikasikan. Rasional: latihan isotonic
mencegah terjadinya kontraktur dan atrofi otot, isometric
mempertahankan kekuatan otot, latihan pasif mempertahankan
pergerakan sendi.
b. Motivasi partisipasi aktif dalam perawatan diri klien. Rasional:
perawatan diri dapat menggerakan sendi dan otot-otot tubuh
secara aktif.
c. Bandingkan ukuran dan kekuatan otot sebagai data awal pada
setiap sisi tubuh setiap hari. Rasional: deteksi dini atrofi otot
dan menurunnya kekuatan otot dapat memfasilitasi intervensi
yang dini pula.
d. Posisikan klien sesuai dengan body alignment. Rasional:
dengan memosisikan klien sesuai dengan body alignmentnya
dapat mencegah terjadinya kontraktur dan mempertahankan
struktur integritas otot dan persendian.
e. Bantu klien bergerak sedapat mungkin atau bantu klien berdiri
di samping tempat tidur. Rasional: dengan bergerak dapat
mencegah disuse osteoporosis.
f. Monitor tanda-tanda vital menurut kebutuhan klien atau badan
kesehatan lainnya. Rasional: memonitor yang rutin
memungkinkan perawat untuk mendeteksi alterasi secara dini.
g. Ajarkan pada klien bagaimana cara menjauhi valsalva
maneuver. Rasional: valsalva manuver dapat menambah
tekanan pada jantung. 45
h. Gunakan pada klien stoking antiemboli seperti yang
diindikasikan. Rasional: penggunaan stoking antiemboli dapat
mencegah terjadinya pembentukan thrombus, venous
engorgement, edema, dan hipotensi ortostatik.
i. Pada beberapa waktu kaki diangkat untuk setiap hari sekitar 20
menit.
j. Kaji keadaan kulit anggota badan bagian bawah dan ukur
lingkar betis seperti yang diindikasikan. Rasional: inspeksi dan
pengukuran secara rutin dapat memungkinkan perawat
mendeteksi perubahan secara dini.
k. Lihat juga intervensi untuk fungsi musculoskeletal. Rasional:
semua tindakan ini juga menstimulasi sirkulasi darah dan
mencegah komplikasi kardiovaskular.
l. Kaji suara napas dan ekspansi dada minimal delapan jam per
hari. Rasional: tindakan ini dilakukan perawat untuk
mengetahui adanya kelainan suara napas dan ketidakadekuatan
ekspansi dada.
m. Ajarkan klien untuk menarik napas dalam danmembatukkan
setiap bangun di pagi hari. Rasional: napas dalam dan batuk
efektif dapat menambah ekspansi alveolar, mencegah statis
sekresi, memperlancar pergantian gas, dan mempertahankan
jalan napas yang paten.
n. Buat jadwal perubahan posisi, dank lien dianjurkan untuk
mengubah posisi setiap dua jam, bantu klien untuk bergerak
jika memungkinkan atau dudukkan klien pada kursi. Rasional:
perubahan posisi menyediakan secara bebas area paru untuk
ekspansi dan membantu memindahkan, dan kemudian
dikeluarkan melalui secret pada saat batuk.
o. Monitor berat badan klien, turgor jaringan, pemasukan dan
pengeluaran cairan serta nilai serum protein. 46
Rasional: kenormalan pada data-data yang ditemukan
menunjukkan adekuatnya pemasukan hidrasi dan nutrisi.
p. Monitor warna, kejernihan, jumlah keasaman, dan berat
spesifik urine, warna dan karakteristik feses, frekuensi
defekasi. Tanyakan apakah klien merasa nyeri saat buang air
kecil. Rasional: berkurangnya keluaran urine,
kesuraman/ketidakjernihan urine dan rasa nyeri saat buang air
kecil merupakan indikasi infeksi dan retensi urine, konstipasi
dapat dihubungkan dengan terjadinya imobilisasi.
q. Ajarkan klien untuk memilih makanan yang mengandung
tinggi serat. Rasional: makanan tinggi serat dapat
meningkatkan peristaltic usus dan defekasi.
r. Anjurkan pada klien untuk membuat keputusan sebanyak
mungkin, seperti memindahkan bagian milik pribadi,
perencanaan aktivitas sehari-hari untuk menggunakan pakaian.
Rasional: pembuatan keputusan oleh klien sendiri dapat
menambah harga diri klien.
s. Rencanakan waktu luang yang tepat untuk klien. Rasional:
membina rasa saling percaya dengan klien sangat baik
dilakukan karena dapat memotivasi klien untuk
mengungkapkan perasaannya.
t. Kaji aktivitas yang membuat klien senang dan merencanakan
secara bebas kegiatan sehari-hari. Rasional: aktivitas sehari-
hari yang menyenangkan klien dapat mencegah kebosanan
pada diri klien dan memotivasi klien untuk melihat dan berpikir
ke depan.
5. Risiko tinggi terhadap intoleransi aktivitas. Factor risiko antara lain:
riwayat intoleransi yang berulang-ulang, perubahan kondisi kesehatan,
status bed rest, dan permasalahan-permasalahan nyeri.

47
Tujuan
a. Identifikasi aktivitas faktor-faktor yang menyebabkan
intoleransi terhadap aktivitas.
b. Mempertahankan nadi, pernapasan, dan tekanan darah dalam
batas normal selama aktivitas direncanakan.
c. Membebaskan klien dalam pola aktivitas dan istirahat sehingga
dapat mengoptimalkan peran klien terhadap dirinya sendiri dan
meminimalkan tingkat kejadian fatigue.
d. Menambah tigkatan toleransi klien terhadap aktivitas yang
dibutuhkan.
e. Mengutarakan kecemasan terhadap aktivitas, menambah
tingkatan aktivitas, dan/atau efek terhadap intoleransi aktivitas
atas fungsi dan responnya terhadap individu.
f. Mau menerima pertolongan, memilih, dan menggunakan
sumber yang tersedia dengan tepat.

Intervensi dan Rasional


a. Mengkaji pengetahuan klien terhadap aktivitas sehingga
menyebabkan intoleransi terhadap aktivitas. Rasional:
tindakan-tindakan ini dapat membantu perawat dank lien dalam
menemukan data dasar dan memudahkan perawat untuk
memilih tingkatan aktivitas yang cocok untuk klien.
b. Batasi factor-faktor yang menyebabkan intoleransi klien.
Rasional: mengidentifikasi faktor-faktor penyebab
memudahkan perawat dank lien untuk memfokuskan intervensi
secara tepat.
c. Monitor respons klien terhadap aktivitas yang dilakukan.
Rasional: dengan memonitoring memungkinkan perawat dank
lien dapat membatasi aktivitas tertentu dan dapat pula
menambah atau mengurangi aktivitas yang ada.

48
d. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas yang dapat
dilakukan tanpa merugikan klien dan yang dapat mendorong
klien untuk melakukan aktivitas tersebut. Rasional: dengan
mengidentifikasi aktivitas dapat membantu klien memudahkan
untuk berpartisipasi sebanyak mungkin dalam kebutuhan
aktivitas dan menjaga derajat harga diri.
e. Selingi aktivitas klien dengan waktu istirahat (berbaring atau
duduk secara rileks di atas kursi). Rasional: dengan aktivitas
yang adekuat dapat menambah persediaan energy klien.
f. Bantu dan atur jadwal keseharian klien seperti yang
diindikasikan (seperti menunda jadwal mandi klien jika klien
dijadwalkan untuk melakukan pemeriksaan diagnostik).
Rasional: menjadwalkan kegiatan keseharian klien dapat
membantu penghematan energi klien dan energi tersebut dapat
digunakan jika ada pemeriksaan yang memerlukan energi yang
besar.
g. Ukur kegiatan untuk menjaga energi klien selama beraktivitas,
seperti mengatur pengobatan rasa nyeri sebelum beraktivitas,
menyediakan bantuan berjalan seperti yang diindikasikan dan
atur pemberian oksigen jika terdapat order. Rasional: dengan
mengukur kegiatan klien dalam menghemat energi dapat
memungkinkan klien untuk meningkatkan toleransi terhadap
aktivitas.
h. Pastikan klien dalam melaksanakan aktivitas lebih santai dan
dalam jangka waktu yang singkat, lebih sering beristirahat, dan
lebih banyak menggunakan bantuan sebagaimana
diindikasikan. Rasional: memperpendek waktu klien dalam
beraktivitas dapat membuat klien lebih santai dan waktu
istirahat lebih sering dapat mengoptimalkan pelaksanan dan
hasil. Pertolongan yang tepat memastikan klien aman dan
mencegah klien jatuh. 49
i. Berikan reinforcement positif untuk meningkatkan aktivitas.
Rasional: reinforcement yang positif dapat memberikan
dorongan tujuan yang memuaskan.
j. Masukkan keluarga atau support/bantuan seseorang dalam
membantu klien melakukan aktivitas sehari-hari. Rasional:
memberikan/men-support klien dengan bantuan dapat
mempertahankan gaya hidup yang diinginkan klien.
k. Rencanakan waktu luang bagi klien dan dngarkan dengan
empati terhadap apa yang klien keluhkan. Rasional: ansietas
dan takut dapat menghabiskan persediaan energi dan
mengurangi klien untuk melakukan aktivitas yang diinginkan.
l. Berikan informasi yang tepat mengenai sumber yang cocok
untuk membantu klien melakukan aktivitas sehari-harinya dan
mempertahankan home management. Rasional: penggunaan
sumber yang tersedia di masyarakat dapat mengurangi ansietas
dan perasaan frustasi dalam melengkapi kebutuhan aktivitas.
6. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan intoleransi aktivitas,
berkurangnya kekuatan, nyeri/ketidaknyamanan, kerusakan/kelainan
neuromuscular, kerusakan/kelainan musculoskeletal, kemunduran kognitif,
depresi atau ansietas ditandai dengan ketidakmampuan berpindah dari
tempat tidur atau lingkungan, ketidakmampuan untuk ambulasi,
keterbatasan aktivitas gerak persendian, berkurangnya control atu
kekuatan otot.
Tujuan
a. Menggambarkan factor-faktor yang dapat merusak mobilitas
fisik klien.
b. Mempertahankan secara optimal fungsi musculoskeletal.

Intervensi dan Rasional


a. Kaji faktor-faktor penyebab seperti trauma, penyakit yang
melemahkan klien, nyeri, dan lain-lain. 50
Rasional: mengidentifikasi faktor-faktor penyebab dapat
memungkinkan perawat dan klien untuk memfokuskan
intervensi yang tepat.
b. Instruksikan klien dan monitor latihan ROM aktif untuk semua
persendian paling sedikit dua kali sehari. Rasional: latiahan
Rom aktif mempertahankan mobilitas sendi, memperbaiki
kekuatan otot, mempertahankan dan memperbaiki fungsi
kardiovaskular, bergantung pada intensitas dan durasinya.
c. Lakukan latihan ROM pasif jika latihan ROM aktif tidak dapat
dilakukan. Rasional: latihan ROM pasif mempertahankan
mobilitas sendi dan mencegah kontraktur.
d. Anjurkan klien untuk berpartisipasi secara aktif dalam aktivitas
perawatan dirinya sebanyak mungkin. Rasional: melakukan
aktivitas perawatan diri dengan mempergunakan otot dan
persendian dapat membantu mempertahankan fungsi otot dan
persendian.
e. Anjuran ambulasi secara optimal tidak lebih dari batasan
gerakan fisik. Rasional: ambulasi dapat memberikan tekanan
pada tulang dan mencegah komplikasi pernapasan, sirkulasi,
kulit, dan eliminasi yang disebabkan oleh imobilisasi.
7. Risiko tinggi sindrome disuse (tidak dipergunakan lagi/lumpuh). Faktor
risiko antara lain paralisis, nyeri hebat.
Tujuan
a. Menggunakan alat bantu secara benar dan bebas (dengan
pengawasan) untuk pindah dan bergerak secara aman.
b. Pindah secara aman di antara tempat tidur dan kursi, kamar
kecil, atau kursi roda, antara kursi roda dan toilet, dan keposisi
berdiri.
c. Menggunakan alat ukur yang nyaman untuk memperkecil
risiko cedera.
d. Diskusikan kemampuan klien melakukan di rumah. 51
Intervensi dan Rasional
a. Instruksikan klien untuk menggunakan secara benar alat bantu
gerak (seperti trapeze, tongkat, walker, kruk). Rasional:
mengetahui bagaimana mempergunakan fasilitas/alat-alat
mobilisasi secara tepat tanpa menyebabkan cedera pada tubuh.
b. Awasi semua mobilisasi yang dilakukan sesuai permintaan.
Rasional: pengawasan yang tepatmemastikan klien aman
melakukan aktivitasnya.
c. Berikan reinforcement positif terhadap setiap kegiatan yang
dilakukan, atau bantu klien untuk bergerak dengan nyaman
seperti yang diindikasikan. Rasional: reinforcementyang positif
mendorong klien untuk beraktivitas sebebas mungkin.
d. Ajarkan klien menggunakan metode berpindah yang aman atau
membantu klien untuk pindah secara aman sesuai permintaan.
Rasional: penggunaan metode memindahkan pasien dengan
aman menncegah jatuh dan cedera.
e. Informasikan pada klien tindakan pencegahan yang aman
(menggunakan sepatu atau selop dengan alas antiselip, pastikan
karet pada ujung tongkat atau kruk dalam keadaan utuh, kunci
kursi roda sebelum memindahkan klien, dan lain-lain).
Rasional: pengetahuan tentang tindakan pencegahan yang aman
membuat klien waspada terhadap bahaya cedera.
f. Kaji kebutuhan untuk membantu perawat di rumah dan
kebutuhan untuk peralatan berobat, konsultasi dengan bagian
fisioterapi seperti yang diindikasikan. Rasional: bantuan dan
konsultasi yang diberikan berguna dalam kenyamanan
psikologis serta dapat memperkecil risiko cedera.

Perencanaan, implementasi, dan rasional pada masalah mekanik


tubuh dan ambulasi adalah sebagai berikut

52
Perencanaan
1. Memperbaiki penggunaan mekanika tubuh saat melakukan
aktivitas sehari-hari.
2. Memulihkan dan memperbaiki ambulasi.
3. Mencegah terjadinya cedera akibaat jatuh.

Implementasi
1. Kaji berat posisi, tinggi objek, posisi tubuh, dan berat
maksimum.
2. Angkat objek dengan benar dari bawah pusat gravitasi.
a. Dekatkan pada objek yang akan dipindahkan.
b. Perbesar dasar dukungan Anda dengan menempatkan kedua
kaki agak sedikit terbuka.
c. Turunkan pusat gravitasi Anda ke objek yang akan
diangkat.
d. Pertahankan kesejajaran yang tepat pada kepala dan leher
dengan vertebra, juga tubuh tetap tegak.
3. Angkat objek dengan benar dari ats pusat gravitasi tempat tidur.
a. Gunakan alat melangkah yang aman dan stabil, jangan
berdiri di atas tangga teratas.
b. Berdiri sedekat mungkin ke tempat tidur.
c. Pindahkan berat objek dari tempat tidur dengan cepat pada
lengan dan di atas dasar dukungan.

Rasional
1. Menentukan apakah Anda dapat melakukannya sendiri atau
membutuhkan bantuan.
2. Rasional
a. Memindahkan pusat gravitasi lebih dekat ke objek.
b. Mempertahankan keseimbangan tubuh lebih baik, sehingga
mengurangi risiko jatuh. 53
c. Meningkatkan keseimbangan tubuh dan memungkinkan
kelompok otot-otot bekerja sama dengan cara yang sinkron.
d. Mengurangi risiko cedera vertebra lumbal dan kelompok
otot.
3. Rasional
a. Mencapai pusat gravitasi lebih dekat ke objek.
b. Meningkatkan keseimbangan tubuh selama mengangkat.
c. Mengurangi bahaya jatuh dengan memindahkan objek yang
diangkat dekat dengan pusat gravitasi di atas dasar
dukungan.
8. Evaluasi
Evaluasi yang diharapkan dari tindakan keperawatan untuk mengatasi
masalah mekanika tubuh dan ambulasi adalah untuk menilai kemampuan
pasien dalam menggunakan mekanika tubuh dengan baik, menggunakan
alat bantu gerak, cara menggapai benda, naik atau turun, dan berjalan.

54
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………… 1

DAFTAR ISI ………………………… 2

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ………………………… 4

B. Rumusan Masalah ………………………… 4

C. Tujuan Permasalahan ………………………… 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian aktifitas dan latihan ………………………… 6

B. Penjabaran anatomi, dan fisiologi ………………………… 7

C. Nilai-nilai normal musculoskeletal ………………………… 20

D. Jenis-jenis gangguan dan patofisiologi ………………………… 22

E. Faktor-faktor yang mempengaruhi mobilitas ………………………… 24

F. Perubahan sistem tubuh akibat imobilitas ………………………… 25


2
G. Pemeriksaan diagnotik ………………………… 33

H. Asuhan Keperawatan ………………………… 35

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN ………………………… 55

B. SARAN ………………………… 55

DAFTAR PUSTAKA ………………………… 56

3
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Aktifitas adalah suatu energi atau keadaan bergerak dimana
manusia memerlukan untuk dapat memenuhui kebutuhan hidup. Salah satu
tanda kesehatan adalah adanya kemampuan seseorang melakukan aktifitas
seperti berdiri berjalan dan bekerja.Latihan adalah aktifitas yang dilakukan
seseorang untuk meningkatkan atau memelihara kebugaran tubuh.
Sistem musculoskeletal terdiri dari muskulus, tendon, ligament,
tulang, kartilago dan persendian dan busa. Semua struktur ini bekerja sama
sama untuk menghasilkan gerakkan. Ada 3 jenis otot utama pada manusia,
yaitu : otot polos, otot rangka dan otot jantung. Dari ke 3 otot tersebut otot
yang paling berpengaruh untuk aktifitas suatu pergerakkan yaitu otot
rangka.

B. Saran
Sebagai makhluk hidup kita juga membutuhkan aktifitas serta latihan
yang cukup agar nantinya badan kita tetap sehat dan bugar sampai tua.

55
DAFTAR PUSTAKA

Elsevier. 2013. Nursing Interventions Clarification ( NIC). Amerika:


Mubarrak, dkk. 2015. Buku Ajar Ilmu Keperawatan Dasar. Jakarta: Salemba.
Ningsih, Lukman Nurna. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika.
Potter,Perry. 2012. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta: Buku
Kedokteran.
Saputra, Lyndon. 2013. Catatan Ringkas Kebutuhan Dasar Manusia. Tangerang
Selatan: Binarupa Aksara.
Widuri, Sujono Riyadi. 2015. Kebutuhan Dasar Manusia Aktivitas Istirahat
Diagnosa NANDA. Yogyakarta: Gosyen Publishing.

56

Anda mungkin juga menyukai