Anda di halaman 1dari 10

Tujuan Penciptaan Manusia

§ Manusia diciptakan Allah bukan secara main-main,

Artinya:“Maka apakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu main-


main (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada
Kami?” [Al-Mu’minun: 115]
§ Untuk mengemban amanah atau tugas keagamaan;

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanah kepada langit, bumi,


dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu, dan
mereka khawatir tidak dapat melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu
oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat dzalim dan sangat bodoh.” [Al-Ahzab;
72]
§ Untuk Mengabdi atau Beribadah

Artinya : “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka
beribadah kepadaKu”. [Adz-Dzariyat: 56]
Ayat ini mengindikasikan tentang tujuan penciptaan manusia sebagai
hamba Allah. Indikasi ini dapat dipahami dari klausa kata “Li ya’budun” yang
berarti agar mereka mengabdi kepada-Ku.[2]Maksudnya Allah menciptakan
manusia dengan tujuan untuk menyuruh mereka beribadah kepada Allah, bukan
karena Allah membutuhkan manusia. Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu
Abbas: Atinya, melainkan supaya mereka mau tunduk beribadah kepada-Ku, baik
secara sukarela maupun terpaksa”. Dan itu pula yang menjadi pilihan Ibnu Jarir.
Sedangkan Ibnu Juraij menyebutkan: “Yakni supaya mereka mengenal-Ku.[3]
Seorang hamba perlu taat dan patuh kepada semua arahan tuannya, lebih-lebih
lagi jika diberi dan dikurniakan dengan segala macam bantuan, kemudahan dan
keamanan oleh tuannya. Oleh itu, kita mesti melakukan segala arahan dengan
penuh pengertian bahwa kita menyerahkan segala-galanya kepada tuan kita.
Kata kunci ‘penyerahan’ ini yang menjadi intipati kepada Islam yaitu penyerahan
secara keseluruhan terhadap Allah SWT. Mereka yang dipandang oleh Allah
dengan pangkat ‘Hamba’ ini pasti beroleh keuntungan di dunia dan di akhirat.
Tanggungjawab sebagai abdi merupakan suatu tanggungjawab individu atau
fardhu ain. Ia meliputi kepada kemestian untuk memahami lapangan akidah dan
tauhid, syariat dan akhlak.[4]
§ Untuk menjadi Khalifah
Dari segi bahasa, khalifah bermaksud pengganti. Ia menjelaskan bahawa Allah
mengamanahkan manusia sebagai ‘pengganti’ untuk mentadbir bumi dengan
merujuk kepada manual dan panduan daripadaNya. Mengingat kejadian yang
diabadikan dalam Al-Qur’an, ketika Allah Swt berdialog dengan malaikat soal
rencana menciptakan khalifah di bumi.

Artinya:“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat, “Aku


hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak
menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan
kami bertasbih memuji-Mu dan mensucikan nama-mu?” Dia berfirman,
“Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” [Al-Baqarah: 30]
Dan Allah menjadikan kita (manusia) di muka bumi, yang dibedakan derajat satu
dengan yang lain, untuk menguji manusia.

Artinya:“Dan Dialah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di bumi, dan Dia


mengangkat derajat sebagian kamu diatas yang lain, untuk mengujimu atas
(karunia) yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu sangat cepat
member hukuman, dan sungguh, Dia Maha pengampun, Maha penyayang .” [Al-
An-‘Am: 165]
Amanah ini sangat besar dan berat. Perkara ini merupakan suatu tanggungjawab
sosial atau fardhu kifayah yang perlu dilaksanakan bagi menjamin kehidupan
yang harmoni, aman dan adil. Ia meliputi segala aspek kehidupan seperti cabang
seperti memberi peluang pendidikan, memastikan bidang pertanian dan
penghasilan bahan makan yang halal lagi baik, menyediakan kemudahan
kesehatan serta tempat kediaman yang baik. “Setiap dari kamu merupakan
pemimpin dan setiap dari kamu akan ditanya mengenai apa yang kamu pimpin.”
(hadis riwayat Bukhari no. 893 dan Muslim no. 1829).
§ Untuk menjadi da’i

Artinya: “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk
manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari
yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli kitab beriman, tentu itu
lebih baik bagi mereka. Diantara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan
diantara mereka adalah orang-orang fasik.” [Ali Imran: 110]

Ayat-ayat Al-Qur’an menunjukkan bahwa tujuan penciptaan manusia di dunia ini


adalah untuk menguji mereka. Allah berfirman
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang
bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena
itu Kami jadikan Dia mendengar dan melihat. Sesungguhnya Kami telah
menunjukinya jalan yang lurus; ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir. (AL-
Insan : 2-3)"
Allah SWT telah menciptakan manusia dari setetes mani dan menghimpunnya
menjadi sesosok manusia dan menganugerahinya kelebihan berupa fikiran dan
nafsu untuk memberi mereka ujian yang sesungguhnya di dunia ini.
Adapun kedudukan manusia setelah menempuh ujian ini ada dua macam, dia
dapat menjadi pribadi yang selalu bersyukur atau justru menjadi seorang yang
kufur, dan masing-masing di antara keduanya akan mendapat balasan atas pilihan
mereka.
Tujuan lain diciptakannya manusia adalah melaksanakan perintah Allah dan
mengemban perintah syariat sebagai beban mereka dalam menempuh kehidupan.
Allah berfirman
"Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.
(Adz-Dzariyat : 56)"
Salah satu pengagungan yang didapat manusia atas beban tersebut adalah perintah
Allah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam AS. Dan sujud menunjukkan
kepatuhan malaikat kepada Allah dalam membantu manusia memikul tanggung
jawab di dunia.
Maka kita telah mengetahui tujuan dari penciptaan manusia. Allah tidaklah
menciptakan sesuatu kecuali memiliki maksud dan tujuan khusus begitupula
dengan penciptaan manusia yang tidak diciptakan sia-sia.
"Maka Apakah kamu mengira, bahwa Sesungguhnya Kami menciptakan kamu
secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada kami?
(Al-Mukminun : 115)"
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka berkata: “Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (Q.S. Al-Baqarah:
30)"
Manusia diciptakan Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi. Manusia
bertugas menyuburkan bumi dengan menjalankan syariat. Untuk menjalankan
tugasnya itu manusia dilengkapi dengan perangkat yang sempurna. Perangkat itu
dianugerahkan Allah secara bertahap, agar manusia dapat memiliki waktu untuk
mengembangkan potensinya itu.
Tujuan diutusnya para rasul

Ketika manusa lengah terhadap tujuan ini, yakni tujuan mereka diciptakan di
dunia, maka Allah mengutus Rasul-Nya dan menurunkan kitab-Nya untuk
mengingatkan mereka terhadap tujuan ini. Kemudian pelaksanaan ibadah itu
diperinci dalam kitab-Nya dan dalam sunnah Rasul-Nya karena keadaan manusia
yang tidak mengetahui bentuk dan tatacara ibadah yang dicintai Allah dan
diridahi-Nya. Oleh karena itu, di antara tujuan diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam adalah mengajarkan tatacara atau bentuk ibadah yang diridhai Allah
subhaanahu wa Ta’ala setelah mengajak manusia hanya beribadah dan
menyembah kepada Allah ‘Azza wa Jalla saja. Dari sini, kita ketahui tidak
dibenarkannya mengada-ada dalam beribadah kepada Allah Subhaanahu wa
Ta’ala, karena yang mengetahui tatacara yang diridhai Allah adalah utusan-Nya
yang mendapatkan wahyu dari-Nya, yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam.

Sanksi bagi manusia yang menyimpang dari tujuan diciptakannya

Selanjutnya, apabila manusia keluar dari tujuan mereka diciptakan, maka berarti
ia telah bersikap melampaui batas dan tidak memenuhi kewajibannya. Allah
Subhaanahu wa Ta’ala berfirman:

“Adapun orang yang melampaui batas,–Dan lebih mengutamakan kehidupan


dunia,–Maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).–Dan adapun orang-
orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan
hawa nafsunya–Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya). (Terj. QS. An
Naazi’at: 37-47)

Oleh karena itu, hidup manusia di dunia bukanlah sekedar untuk makan, minum,
dan bersenang-senang. Ia tidaklah sama seperti hewan yang tidak terkena beban
untuk beribadah, dimana hidup mereka (hewan-hewan) hanya makan, minum, dan
bersenang-senang saja. Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya
Allah memasukkan orang-orang mukmin dan beramal saleh ke dalam surga yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai. Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di
dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan Jahannam adalah
tempat tinggal mereka.” (QS. Muhammad: 12)

Maka dari itu, isilah hidup ini dengan beribadah dan bertakwa kepada-Nya.

Ta’rif (definisi) ibadah

Ibadah adalah istilah untuk semua perkara yang dicintai Allah dan diridhai-Nya
baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tampak (dengan lisan dan anggota
badan) maupun yang tersembunyi (dengan hati).

Dengan demikian, ibadah itu ada yang bisa dilakukan oleh hati, ada yang bisa
dilakukan oleh lisan dan ada yang bisa dilakukan oleh anggota badan. Contoh
ibadah yang dilakukan oleh hati adalah berniat ikhlas, mencintai kebaikan
didapatkan orang lain, memiliki ‘aqidah yang benar dsb. Contoh ibadah yang
dilakukan oleh lisan adalah membaca Al Qur’an, berdzikr, bershalawat kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berkata jujur dsb. Sedangkan contoh ibadah
yang dilakukan oleh anggota badan adalah berbakti kepada orang tua, membantu
orang lain, menyambung tali silaturrahim, berbuat baik kepada teman dan
tetangga dsb. Dan ada ibadah yang dilakukan secara sekaligus oleh hati, lisan dan
anggota badan, yaitu shalat. Oleh karena itu, shalat adalah ibadah yang paling
utama sebagaimana akan diterangkan setelah ini.

Ibadah yang paling utama

Di antara sekian ibadah, yang paling utama dan paling dicintai Allah setelah
tauhid adalah shalat pada waktunya. Dalilnya adalah hadits berikut:

‫اا تللعاَللىَ ؟ لقاَلل‬ َ‫ي الللعلمال أللح ب‬


‫ب اإللىَ ا‬ َ‫ أل ب‬:‫صللىَ اا لعلللياه لولسلالم‬ ‫ي ل‬ ‫ت النابا ا‬ ‫ لسأ للل ا‬: ‫ا عنه لقاَلل‬ ‫لعان البان لملساعلودد رضي ا‬
‫ »اللاجلهاَاد فالي لسباياال ا‬: ‫ي ؟ لقاَلل‬
‫اا‬ َ‫ ثاام أل ب‬: ‫ت‬ ‫ »بابَر الللوالالدليان قالل ا‬:‫ي ؟ لقاَلل‬َ‫ ثاام أل ب‬: ‫ت‬‫صللةا لعللىَ لولقتالهاَ قالل ا‬
‫ال ا‬:

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Aku bertanya kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Amal apa yang paling dicintai Allah Ta’ala?”
Beliau menjawab: “Shalat pada waktunya.” Aku bertanya lagi, “Lalu apa?” Beliau
menjawab: “Berbakti kepada kedua orang tua.” Aku bertanya lagi, “Lalu apa?”
Beliau menjawab: “Berjihad fii sabiilillah.” (HR. Bukhari-Muslim)

Pembagian hukum ibadah


Ibadah ada yang wajib dan ada yang sunat. Yang wajib misalnya shalat lima
waktu, puasa di bulan Ramadhan, membayar zakat, dsb. Sedangkan yang sunat
misalnya shalat sunat rawatib, sedekah sunat, berpuasa sunat, dsb. Antara yang
wajib dengan yang sunat ini yang didahulukan dan yang lebih utama adalah yang
wajib, dan yang sunat dilakukan setelah kewajiban telah dikerjakan. Yang wajib
itu mesti dikerjakan, dimana meninggalkannya adalah dosa, sedangkan yang sunat
hanya dianjurkan saja (tidak wajib), sehingga meninggalkannya tidak berdosa.
Tetapi jangan sampai karena menganggap suatu perbuatan sebagai amalan sunat
lalu kita meremehkannya, terlebih meninggalkannya setelah sebelumnya
merutinkannya. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
berkata kepada Abdullah bin ‘Amr bin ‘Aash:
‫ٍ لكاَلن يلاقوام الاليلل فلتللر ل‬،‫ٍ لل تلاكلن املثلل فاللدن‬،‫ا‬
‫ك قالياَلم الاليال‬ ‫لياَ لعلبلد ا‬

“Wahai Abdullah, janganlah kamu seperti si fulan; sebelumnya ia biasa


melakukan qiyamullali, tetapi selanjutnya ia meninggalkan qiyamullail.”
(Muttafaq ‘alaih)
Landasan dalam beribadah
Landasan yang harus ada pada seseorang yang beribadah itu ada tiga:

Rasa cinta kepada Allah Ta’ala.


Rasa takut dan tunduk kepada Allah Ta’ala.
Rasa berharap kepada Allah Ta’ala

Ketiga hal ini mesti ada pada seseorang, yakni ketika kita beribadah, kita harus
memiliki rasa cinta kepada Allah Ta’ala, memiliki rasa takut dan rasa berharap[1].

Oleh karena itu, kecintaan saja yang tidak disertai dengan rasa takut dan
kepatuhan, seperti cinta kepada makanan dan harta, tidaklah termasuk ibadah.
Demikian pula rasa takut saja tanpa disertai dengan cinta, seperti takut kepada
binatang buas, maka itu tidak termasuk ibadah. Tetapi jika suatu perbuatan di
dalamnya menyatu rasa takut dan cinta maka itulah ibadah. Dan ibadah tidak
boleh ditujukan kepada selain Allah Ta’ala.

Golongan yang keliru dalam beribadah

Ada tiga golongan yang keliru dalam menilai ibadah, yaitu sbb:

1. Golongan yang mengira bahwa ibadah itu hanya sebatas di masjid saja,
sehingga ia memisahkan antara urusan dunia dengan agama/ibadah dan antara
urusan negara dengan agama.
Ibadah dalam Islam tidak hanya dilakukan di masjid saja, bahkan di luar masjid
pun ada ibadah.
Bergaul dengan manusia mengikuti perintah Allah Ta’ala, maka mengerjakannya
adalah ibadah. Contohnya:
Berbakti kepada orang tua,
Berbuat baik kepada orang lain, seperti kepada teman dan tetangga.
Bersilaturrahim,
Beramr ma’ruf dan bernahi munkar
Bersedekah,
Menyantuni anak yatim, orang miskin, janda dan ibnus sabil (musafir yang
kehabisan bekal),
Membantu orang lain,
Menyingkirkan hal yang mengganggu jalan.
Menjaga lisan dan tangan kita dari mengganggu orang lain,
Bekerja untuk menafkahi diri, istri dan anaknya dari rezeki yang halal.

Ini semua merupakan ibadah dan dicintai oleh Allah Ta’ala.


Bahkan perbuatan mubah atau suatu kebiasaan harian jika diniatkan ibadah atau
agar dapat membantu beribadah, dapat berubah menjadi ibadah. Misalnya
seseorang yang makan, minum dan istirahat dengan niat agar dapat beribadah
kepada Allah Ta’ala adalah ibadah, bekerja agar dapat memperoleh rezeki yang
halal adalah ibadah, demikian juga menikah dengan niat menjaga diri dari yang
haram juga ibadah.

2. Golongan yang berlebih-lebihan dalam beribadah.


Golongan yang berlebih-lebihan dalam beribadah maksudnya adalah golongan
yang melampaui batas sampai melewati aturan. Misalnya mewajibkan yang sunat,
mengharamkan yang halal, menjauhi yang mubah dan sebagainya. Golongan ini
juga salah.

3. Golongan yang mengada-ngada dalam beribadah.


Maksudnya golongan yang beribadah tidak mengikuti tuntunan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia beribadah atas dasar perkiraan atau menurutnya
baik, ia membuat cara sendiri dalam beribadah. Padahal syarat diterimanya ibadah
di samping ikhlas adalah harus mengikuti contoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.

Keutamaan beribadah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
‫ك اشلغلل لولللم‬ ‫ٍ لوإاال تللفلعلل لم ل ل‬،‫ك‬
‫ل ا‬
‫ت يللدلي ل‬ ‫ك اغلنىَ لوألاساد فللقلر ل‬
‫صلدلر ل‬ ‫ لياَ البلن آلدلم تلفلارلغ لااعلباَلداتي أللم ل ل‬:‫ال تللعاَللىَ يلاقوال‬
‫ل ل‬ ‫إاان ا‬
‫ألاساد فللقلر ل‬
‫ك‬
Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman, “Wahai anak Adam! Luangkanlah waktu
untuk beribadah kepada-Ku, niscaya Aku akan memenuhi kecukupan pada hatimu
dan menutupi kekuranganmu. Jika engkau tidak melakukannya, maka Aku akan
memenuhi kedua tangan-Mu dengan kesibukan dan Aku tidak akan menutupi
kefakiranmu.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim, dishahihkan oleh
Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ no. 1914)

Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan firman


Allah Tabaraka wa Ta’ala yang isinya mengingatkan kita agar beribadah kepada-
Nya dan mengisi hidup ini dengan ibadah. Dia juga menjamin akan memberikan
kecukupan kepada kita serta menutupi kekurangan kita.

Sungguh besar keutamaan beribadah kepada Allah, di samping mendapatkan


kecintaan dari Allah, dekat dengan-Nya, diberikan kecukupan dalam hidup,
diberikan ketenangan, dan di akhirat seseorang yang beribadah akan mendapatkan
surga yang luasnya seluas langit dan bumi, dimana orang yang memasukinya akan
hidup kekal selama-lamanya dan tidak akan mati, akan senang selamanya dan
tidak akan sedih, akan sehat selamanya dan tidak akan sakit, akan muda
selamanya dan tidak akan tua, dan akan mendapatkan kenikmatan terus-menerus
tanpa usaha dan kerja keras seperti halnya di dunia, bahkan semua yang
diinginkan akan diberikan. Maka, kesenangan dan kenikmatan apakah yang lebih
baik daripada ini?

Allahumma a’innaa ‘alaa dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibaadatik.

Rosul – rasul diutus oleh Allah Swt. Dengan maksud dan tujuan yang sam, yakni
mengajak manusia beribadah kepada Allah dan memurnikan keimanan hanya
kepada – Nya, serta memberi peringatan bagi mereka yang lalai. Allah Swt.
Berfirman :
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami
wahyukan kepadanya: Bahwa sanya tidak ada tuhan (yang hak disembah)
melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku.” (QS. Al – Anbiya’:
25)
“Dan Kami telah mengutus rasul pada tiap – tiap umat (untuk menyerukan) :
Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”,...(QS. An – Nahl: 36)
Dari ayat diatas, jelah bahwa tujuan utama diutusnya para rosul adalah untuk
menyeru manusia untuk beriman kepada Allah.

Anda mungkin juga menyukai