Anda di halaman 1dari 10

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN NAMA : LILYANA ULFA WULANDARI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA NIPP : 20194010086


PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
RSUD : Kota Jogja
2019

Refleksi Kasus Stase Anak

1. Pengalaman :
Seorang anak perempuan usia 7 tahun 9 bulan dengan BB 27kg & TB 130cm dibawa
orang tuanya ke IGD RS Jogja pukul 02.00 WIB pada tanggal 29 Juli 2019 dengan keluhan
1HSMRS (28/7/19) batuk tanpa pilek mulai pukul 16.00 WIB disertai demam diukur
dengan tangan ibu sejak pukul 21.00 WIB dan sesak napas yang tidak membaik dengan
istirahat sejak pukul 18.00 WIB tanpa disertai mual, muntah & diare. Pasien mau makan
dan minum seperti biasa. Pada pukul 02.00 WIB pasien diantar orang tuanya ke RS Jogja
karena sesak napas dan di beri Nebulasi Velutin 1x membaik pada pukul 05.00 WIB
boleh pulang dengan dibawakan obat Meptin & Salbutamol oral. Belum sempat
diminumkan pasien kembali sesak napas pada pukul 07.00 WIB dibawa kembali ke RS
Jogja mendapat Nebulasi Ventolin 2x dan disuntik obat anti nyeri (kemungkinan Metil
Prednisolon) istirahat di IGD sampai pukul 12.00 WIB dan diperbolehkan pulang. Pasien
dibawa untuk yang ke-3 kalinya ke IGD RS Jogja karena kembali sesak napas dan muntah
sebanyak 6x dengan jumlah muntahan banyak hingga sedikit. Diberikan Nebulasi
Combivent 1x disertai infus RL 2cc/KgBB/Jam dan dikonsulkan dengan dokter spesialis
anak untuk di rawat inap.
Pasien memiliki riwayat serangan asma terakhir pada bulan puasa Mei 2019
kemudian membaik setelah diberikan Nebulasi di IGD RS Jogja. Sebelumnya opname
pada bulan Agustus 2018 dengan serangan asma. Pertama kali asma pasien muncul saat
usia 1,5 tahun dan opname pertama kali karena DHF pada usia 1 tahun. Untuk
kesehariannya keluarga telah menghindari faktor resiko pasien terhadap paparan
alergen (debu/ bulu hewan) yang dapat menimbulkan serangan asma, dan pasien tidak
mengkonsumsi obat asma rutin sebagai pengendali. Riwayat imunisasi pasien lengkap
sesuai dengan kemenkes dan tidak ada masalah saat perinatal. Pasien lahir secara secio
caecaria dengan indikasi KPD >24Jam dengan berat lahir 3300 gram/ TB 48cm dengan
usia kandungan cukup bulan dan sesuai masa kehamilan lahir di RS Jogja.
Pasien merupakan anak pertama dari 2 bersaudara dengan adik laki-laki, pada
keluarga pasien ada beberapa anggota yang memiliki riwayat asma yaitu Ibu pasien,
Nenek dari Ibu pasien, dan adik laki-laki dari Ibu pasien. Keluarga yang lain tidak memiliki
riwayat penyakit kronis & degeneratif. Salah satu kakak laki-laki ayah pasien ada yang
meninggal karena kecelakaan.

2. Masalah yang dikaji


Bagaimana alur penatalaksanaan Serangan Asma di IGD? Apakah sudah benar
tatalaksana yang didapat pasien di IGD?

3. Analisa kritis :

Asma adalah penyakit hiperreaktivitas saluran pernapasan (reaksi hipersensitivitas tipe 1


/ cepat) yang menyebabkan inflamasi kronik sehingga terjadi obtruksi saluran pernapasan
yang reversibel hingga lama-lama terjadinya perubahan struktur bronchus (remodelling)
akibat penebalan dinding bronchus, kontraksi otot polos, edema mukosa & hipersekresi
mukus. Asma dipengaruhi faktor generik dengan manifestasi klinis batuk, wheezing, sesak
napas, dada tertekan, yang timbul secara kronik dan atau berulang, reversibel, memberat
pada malam / dini hari dan timbul jika ada pencetus.

1
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN NAMA : LILYANA ULFA WULANDARI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA NIPP : 20194010086
PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
RSUD : Kota Jogja
2019

Untuk mendiagnosis asma dengan gejala klinis yang khas, pemeriksaan fisik yang tepat
(difokuskan ke area thorax) respon terhadap bronkodilator, dan dapat menyingkirkan
differential diagnoses seperti nyeri dada/ sesak napas cardial atau paru (asma). Anak
dibawah 5 tahun dapat dibantu dengan API (Astma Predictive Index) untuk mendiagnosis
asma, selain itu dengan uji bronkodilator, uji metakolin, variabel harian/ diurnal dari Peak
Expiratory Flow (PEF). Diagnosis Asma berdasarkan kekerapan timbulnya gejala,
berdasarkan jenis serangan dan berdasarkan derajat kendali.

Berdasarkan Kekerapan Berdasarkan Jenis Berdasarkan Derajat Kendali


Timbulnya Gejala Serangan (untuk menilai keberhasilan
(PNAA 2015) (untuk menentukan tatalaksana, naik jenjang &
tatalaksana) pemeliharaan)
Asma Intermiten : episode - Asma serangan - Terkendali penuh tanpa obat
serangan <6x/tahun atau Ringan – Berat  Asma intermiten
jarak antar episode - Asma serangan - Terkendali penuh dengan
serangan ≥6 minggu Berat obat  Asma
Asma Presisten Ringan : - Asma serangan ringan/sedang/berat
episode serangan Berat dengan - Terkendali sebagian
>1x/bulan atau jarak antar ancaman Henti - Tidak terkendali
episode serangan Napas
<1x/minggu
Asma Presisten Sedang :
episode serangan
>1x/minggu namun tidak
setiap hari
Asma Presisten Berat :
episode serangan terjadi
hampir setiap hari

Pada pasien diagnosis masuk IGD-nya adalah asma dengan serangan ringan – sedang.
Setelah masuk bangsal berdasarkan aloanamnesis ibu pasien didapatkan Asma Intermiten
dengan serangan ringan – sedang terkontrol tanpa obat.

Tatalaksana asma dibagi menjadi 2 yaitu non-medikamentosa yang berupa pengendalian


lingkungan dan penghindaran pencetus dan medikamentosa yang dibagi menjadi 2 lagi
yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller).

Obat Pereda (reliever)


Agonis Beta 2 Kerja Pendek / SABA : Respons yang cepat ditunjukkan dengan inhalasi SABA
(salbutamol, terbutalin, dan prokaterol) serangan episode asma ringan – sedang sehingga obat
ini menjadi pilihan pertama. Pemberian nebulasi dapat diulang ke-2x dengan interval 20 menit,
pemberian ke-3x sebaiknya diberikan kombinasi ipratropium bromida. Cara pemberian obat
dimulai dengan dosis terendah saat serangan asma terjadi untuk menghindari efeksamping
tremor dan takikardia.
Sediaan :
- Salbutamol Vial Inhalasi Ventolin / Velutin 2,5mg/2,5ml &oral tablet 2/4mg syrup 1-2
mg/5ml drops 1mg/1ml
- Procaterol HCL syrup 25µg/ml & tablet mini 25 µg forte 50 µg, vial 30 µg /0,3ml -

2
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN NAMA : LILYANA ULFA WULANDARI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA NIPP : 20194010086
PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
RSUD : Kota Jogja
2019

50µg/0,5ml
- Terbutalin vial inhalasi 1mg/1ml, tablet 2,5 - 5mg, syrup 1,25-1,5mg/5ml
Dosis Anak :
- Salbutamol  Oral 0,1-0,5mg/kgBB/6jam, Nebulasi 2,5mg/2,5ml atau 0,5mg/4ml per
3-6 jam  Maksimal dosis 8mg/hari
- Procaterol HCL  oral 1-1,25µg/kgBB
- Terbutalin  oral 0,05mg/kgBB/3x  Maksimal dosis 5mg/ hari
Ipratropium Bromida : Kombinasi SABA dan ipratropium bromida (antikolinergik) pada
serangan asma ringan - sedang menurunkan Risiko rawat inap dan memperbaiki PEF dan FEV
dibandingkan dengan 2 agonis saja. Kombinasi tersebut dapat diberikan sebagai obat pulang
yang dipakai di rumah jika pasien dapat diedukasi dengan baik dan dapat menilai bahwa
serangan yang terjadi dinilai berat. Ipratropium Bromida terbukti memberikan efek dilatasi
bronkus lewat pe ningkatan tonus parasimpatis dalam inervasi otonom di saluran napas.
Sediaan :
- Combivent (Ipratropium bromida 0,52mg & Salbutamol 3,01mg) dalam Vial 2,5mg
Dosis Anak :
- Nebulasi 0,1ml/kg BB/ 4 jam bila sesak sekali atau (250mcg/ml) 0,25-1ml dilarutkan jadi
4ml / 4-8 jam.
Steroid sistemik : Pemberian steroid sistemik dapat mempercepat perbaikan serangan dan
mencegah kekambuhan, dan direkomendasikan untuk diberikan pada semua jenis serangan.
Jika memungkinkan steroid oral diberikan dalam 1 jam pertama. Pemberian steroid sistemik per
oral sama efektifnya dengan pemberian secara intravena. Keuntungan pemberian per oral
adalah lebih murah dan tidak invasif. Pemberian secara oral memerlukan Waktu sekitar 4 jam
untuk memberikan perbaikan klinis. Pemberian secara intravena direkomendasikan bila pasien
tidak dapat menelan obat (misalnya terlalu sesak, muntah atau pasien memerlukan intubasi).
Steroid sistemik berupa prednison (adveres effect perubahan mood, peningkatan adrenalin)
atau prednisolon (adveres effect menimbulkan kejang).
Sediaan :
- Metil Prednisolon oral tablet 2/4/6/8mg, vial injeksi 125mg/250mg dalam 2 mL
- Dexametason oral tablet mg, syrup 0,5mg/5mL, vial injeksi 4-5mg/mL
- Prednison oral tablet 1/5/10mg, drop 5mg/1mL, syrup 5-15mg/5mL
Dosis Anak :
- Per-oral dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari (Dexametason 0,1-2mg/kgBB/hari) diberikan
dalam 3x dengan dosis maksimum 40-60 mg/hari, maksimal 1 kali dalam 1 bulan. Lama
pemberian 3-5 hari tanpa tapperingoff.
Adrenalin : Apabila tidak tersedia obat obatan lain, dapat digunakan adrenalin. Epinefrin
(adrenalin) intamuskular diberikan sebagai terapi tambahan pada asma yang berhubungan
dengan anafilaksis dan angioedema. Obat ini tidak diindikasikan untuk serangan asma lainnya.
Namun demikian, di fasyankes yang tidak tersedia alat inhalasi, dapat diberikan injeksi adrenalin
untuk serangan asma.
Sediaan :
- Adrenalin/epinephrine IV/IM Vial 1mg/mL
Dosis Anak :
- Dosis 10 ug/kgBB (0,01 ml/kgBB adrenalin 1:1.000), dengan dosis maksimal 500 ug (0.5
ml).
Magnesium sulfat
Obat ini tidak rutin dipakai untuk serangan asma,tapi boleh sebagai alternatif, apabila
pengobatan standar tidak ada perbaikan. Pada penelitian multisenter didapatkan hasil bahwa
pemberian magnesium sulfat (MgSO4) intravena 50 mg/kgBB (inisial) dalam 20 menit yang
dilanjutkan dengan 30 mg/kgBB/jam memunyai efektifitas yang sama dengan pemberian agonis
β2. Pemberian MgSO4 ini dapat meningkatkan FEV1 dan mengurangi angka perawatan di RS.
3
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN NAMA : LILYANA ULFA WULANDARI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA NIPP : 20194010086
PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
RSUD : Kota Jogja
2019

MgSO4 yang tersedia dalam sediaan 20% dan 40% dapat diberikan dengan bolus, bolus diulang,
drip kontinu dan inhalasi. Cara bolus berulang serta inhalasi jarang digunakan. Pemberian lewat
drip Kontinu melalui pompa intravena dilakukan dengan melarutkan sediaan dalam larutan
dekstrose 5% atau larutan salin dengan pengenceran 60 mg/ml lalu diberikan dengan kecepatan
10-20 mg/kgBB/jam dan target kadar magnesium 4 mg/dL. Untuk pemberian dengan cara bolus,
dosis yang dianjurkan adalah 20 – 100 mg/kgBB (maksimum 2 gram) diberikan selama 20 menit,
sedangkan untuk pemberian dengan cara bolus berulang dosis MgSO4 dianjurkan 20 – 50
mg/kgBB/dosis setiap 4 jam yang pertimbangkan pemberian injeksi MgSO4 padapasien dengan
serangan asma berat yang tidak membaik atau dengan hipoksemia yang menetap setelah satu
jam pemberian terapi awal dengan dosis maksimal (agonis β2 kerja pendek dan steroid
sistemik). Sediaan : injeksi Vial 20%/40%  10 gram dalam 25mL
Steroid inhalasi
Steroid nebulisasi dengan dosis tinggi 1600 -2400 ug budesonide (sediaan 250mcg/mL) dapat
digunakan untuk serangan asma,namun perlu diperhatikan untuk memberi dalam dosis tinggi
karena steroid nebulisasi dosis rendah tidak bermanfaat untuk mengatasi serangan asma. Harap
diperhatikan pula bahwa penggunaan steroid inhalasi dosis tinggi ini terbatas pada pasien -
pasien yang memiliki kontra indikasi terhadap steroid sistemik.
Mukolitik
Mukolitik pada serangan asma ringan sedang dapat diberikan, tetapi harus berhati-hati pada
anak dengan refleks batuk yang tidak optimal. Hati – hati pemberian mukolitik pada bayi dan
anak di bawah usia 2tahun. Pemberian mukolitik secara inhalasi tidak memunyai efek yang
signifikan dan tidak boleh diberikan pada serangan asma berat. Sediaan : Acetylcystein oral
tablet 100/200mg, inhalasi vial 20% = 200mg/mL dalam kemasan 30ml (ada yang 10%), syrup
40-100mg/5ml.
Dosis Anak :
- BB <20kg infus  150mg/kgBB dilarutkan 3mL/kgBB (60 menit)  50mg/kgBB
dilarutkan 7mL/kgBB(4jam)  100mg/kgBB dilarutkan 14mL/kgBB (16 jam)
- BB 20-40kg infus  150mg/kgBB dilarutkan 100mL (60 menit)  50mg/kg dilarutkan
250mL (4 jam)  100mg/kgBB dilarutkan 500mL (16 jam)
- BB>40kg infus  150mg/kgBB dilarutkan 200mL (60menit) maks. dosis 16,5gr 
50mg/kgBB dilarutkan 500mL (4 jam) maks. dosis 5,5gr  100mg/kgBB dilarutkan 1L
(16 jam) maks. dosis 11gr.
Antibiotik
Pemberian antibiotik pada asma tidak dianjurkan karena sebagian besar pencetusnya bukan
infeksi bakteri melainkan infeksi virus. Pada keadaan tertentu antibiotik dapat diberikan, yaitu
pada infeksi respiratori yang dicurigai karena bakteri atau dugaan adanya sinusitis yang
menyertai asma. Pada serangan yang berat perlu dipikirkan adanya suatu penyulit antara lain
pneumonia atipik. Apabila ada kecurigaan pneumonia atipik maka diberikan antibiotik, yang
dianjurkan adalah golongan makrolid.
Obat sedasi
Pemberian obat sedasi pada serangan asma sangat tidak dianjurkan karena dapat
menyebabkan depresi pernapasan.
Antihistamin
Antihistamin jangan diberikan pada serangan asma karena tidak memunyai efek yang
bermakna, bahkan dapat memperburuk keadaan.
Obat Pengendali (controller)
Steroid inhalasi : menekan inflamasi saluran respiratori & pengendali jangka panjang..
Tidak digunakan untuk asma intermiten & wheezing karena infeksi virus. Efek samping
kandidiasis oral & suara parau (dicegah dengan minum air putih setelah pakai) diberikan
dua kali dalam sehari, Kecuali ciclesonide yangdiberikan sekali sehari, obat ini preparat

4
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN NAMA : LILYANA ULFA WULANDARI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA NIPP : 20194010086
PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
RSUD : Kota Jogja
2019

baru yang memiliki efek sistemik minimal dan deposisi obat di orofaring lebih sedikit.
Sediaan : Budesonid & ciclesonide (sediaan 250mcg/mL)
Dosis obat anak : Budesonid  100 – 200 mcg/kgBB hari dibagi 2 dosis  1600 -2400
mcg
LABA (Long Acting Beta2 Agonist) : Selalu digunakan bersama steroid inhalasi, Sebagai
pengendali asma, agonis β2 kerja panjang. Kombinasi LABA dengan Steroid terbukti
memperbaiki fungsi paru dan menurunkan angka kekambuhan asma. Preparat kombinasi
steroid LABA pada anak > 5 tahun diberikan bila steroid inhalasi dosis rendah tidak
menghasilkan perbaikan. Penelitian penggunaan kombinasi LABA pada anak balita masih
terbatas. Kombinasi LABA steroid inhalasi juga dapat digunakan untuk mencegah spasme
bronkus yang dipicu olahraga dan mampu memproteksi lebih lama dibandingkan SABA.
Formoterol memiliki awitan kerja yang cepat sehingga walaupun formoterol merupakan LABA,
namun dapat berfungsi sebagai obat pereda.
Antileukotrien : Terdiri dari antagonis reseptor cysteinyl leukotrien (Cys LT1) seperti
montelukast, pranlukast, dan zafirlukast, serta inhibitor Hlipoxygenase seperti zileuton. Studi
klinik menunjukkan antileukotrien memiliki efek bronkodilatasi kecil dan bervariasi, mengurangi
gejala termasuk batuk, memperbaiki fungsi paru, dan mengurangi inflamasi jalan napas dan
mengurangi eksaserbasi. Antileukotrien dapat menurunkan gejala asma namun secara umum
tidak lebih unggul dibanding steroid inhalasi. Jika digunakan sebagai obat pengendali tunggal,
efeknya lebih rendah dibandingkan dengan steroid inhalasi. Kombinasi steroid inhalasi dan
antileukotrien dapat menurunkan angka serangan asma dan menurunkan kebutuhan dosis
steroid inhalasi. Antileukotrien dapat mencegah terjadinya serangan asma akibat berolahraga
(exercise induced asthma) EIA dan Obstructive Sleep Apnea (OSA). Antileukotrien juga dapat
mencegah serangan asma akibat infeksi virus pada anak balita. Pemberian kombinasi steroid
inhalasi dan antileukotrien pada asma persisten kurang efektif dibandingkan dengan steroid
inhalasi dosis sedang. Pemberian antileukotrien tunggal dapat diberikan sebagai alternatif dari
pemberian steroid inhalasi.
Teofilin lepas lambat : Obat inidapat diberikan sebagai preparat tunggal / diberikan sebagai
kombinasi dengan steroid inhalasi pada anak usia >5 tahun. Kombinasi steroid inhalasi dan
teofilin lepas lambat akan memperbaiki kendali asma dan dapat menurunkan dosis steroid
inhalasi pada anak dengan asma persisten. Preparat teofilin lepas lambat lebih dianjurkan untuk
pengendalian asma karena kemampuan absorbsi dan bioavaibilitas yang lebih baik. Eliminasi
teofilin lepas lambat bervariasi antar individu sehingga pada penggunaan jangka lama kadar
teofilin dalam plasma perlu dimonitor. Efek samping teofilin lepas lambat bisa berupa mual,
muntah, anoreksia, sakit kepala, palpitasi, takikardi, aritmia, nyeri perut, dan diare. Efek
samping teofilin lepas lambat terutama timbul pada pemberian dosis tinggi, di atas 10mg/kgBB/
hari.
Anti-imunoglobulin E (Anti-IgE)
Anti IgE (omalizumab) adalah antibodi monoklonal yang mampu mengurangi kadar IgE bebas
dalam serum. Pada orang dewasa Dan anak di atas usia 5 tahun, omalizumab dapat diberikan
pada pasien asma yang telah mendapat steroid inhalasi dosis tinggi dan agonis β2
Kerja panjang namun masih sering mengalami eksaserbasi dan terbukti asma karena alergi.
Omalizumab diberikan secara injeksi subkutan setiap dua sampai empat minggu. Reaksi
anafilaksis dapat terjadi dini ketika pemberian dosis pertama, tapi juga dapat terjadi setelah
pemberian selama satu tahun. Karena adanya risiko anafilaksis, omalizumab seharusnya di
bawah pengawasan dokter spesialis.
Aminofilin Intravena
Pada anak dengan serangan asma berat atau dengan ancaman henti napas yang tidak
berespons terhadap dosis maksimal inhalasi agonis β2 dan steroid sistemik. Penambahan
aminofilin pada terapi awal (inhalasi agonis β2 Dan steroid) meningkatkan fungsi paru dalam 6
jam pertama, tetapi tidak mengurangi gejala, jumlah nebulisasi dan lama rawat inap.
5
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN NAMA : LILYANA ULFA WULANDARI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA NIPP : 20194010086
PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
RSUD : Kota Jogja
2019

Perlu diingat bahwa rentang keamaan aminofilin sempit dan efek samping yang sering adalah
mual, muntah, takikarsi dan agitasi. Toksisitas yang berat dapat menyebabkan aritmia,
hipotensi, dan kejang. Kematian biasanya berhubungan dengan kadar amonifilin serum yang
tinggi. Oleh karena itu, pemberian aminofilin intravena. Harus sangat berhati hati dan dipantau
secara ketat. Dosis yang direkomendasikan yaitu dengan dosis inisial bolus pelan 6H8 mg/kgBB
diberikan dalam 20 menit dilanjutkan dengan pemberian rumatan secara drip (1 mg/kg/jam.
Loading (1 mg/kgakan. Meningkatkan kadar aminofilin serum 2 mcg/mL. Untuk efek terapi yang
maksimal, target kadar amonifilin serum adalah 10 20 ug/mL. Oleh karena itu kadar aminofilin
Serum seharusnya diukur1H2 jam setelah loadingdose (diberikan).

Tatalaksana di rumah sakit (UGD)


Alur yang ditunjukkan dalam bagian lanjutan ini menunjukkan tatalaksana pasien dengan serangan
asma berat atau serangan asma dengan ancaman henti napas yang dirujuk dari fasyankes primer.
Sebagai langkah awal, nilai airway,( breathing, circulation, serta derajat kesadaran pasien. Jika
terdapat ancaman henti napas, yaitu gejala distres respirasi berat, dengan penurunan kesadaran
(tampak mengantuk atau gelisah), dan suara paru tak terdengar, segera siapkan untuk perawatan
PICU. Sambil menunggu persiapantersebut, beri inhalasi agonis β2 kerja pendek via nebulizer,
oksigen dan siapkan intubasi jika perlu. Untuk serangan asma berat:
1. Berikan inhalasi agonis β2 kerja pendek dan ipratropium bromida via nebulizer
2. Pasang jalur parenteral
3. Berikan steroid sistemik (prednison atau prednisolon 1-2 mg/kgBB/hari, maksimum 40 mg/hari)
4. Berikan oksigen
5. Rontgen toraks
6. Rawat inap
Sambil menunggu persiapan rawat inap, pemberian inhalasi agonis β2 kerja pendek dan
ipratropium bromida dapat diberikan ulang, sesuai dengan kondisi pasien. Anamnesis yang singkat
dan terfokus serta pemeriksaan fisis yang relevan harus dilakukan bersamaan dengan pemberian
terapi awal. Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik harus dicatat di rekam medis. Berdasarkan jenis
serangannya tatalaksana asma dapat dilakukan sebagai berikut,
- Serangan asma ringan – sedang : pada pasien yang memenuhi kriteria gejala klinis untuk
serangan asma ringan sedang, sebagai tindakan awal pasien diberikan agonis β2 kerja
pendek lewat nebulisasi atau MDI dengan spacer, yang dapat diulang hingga 2 kali dalam1
jam, dengan pertimbangan untuk menambahkan ipratropium bromida pada nebulisasi
ketiga. Pasien diobservasi, jika tetap baik pasien dapat dipulangkan. Walaupun mungkin
tidak diperlukan, tetapi untuk persiapan keadaan darurat, sejak di UGD pasien yang
diobservasi sebaiknya langsung dipasangkan jalur parenteral. Pasien dibekali dengan obat
agonis β2 (hirupan atau oral) yang diberikan setiap 4H6 jam. Inhalasi Bronkodilator
diberikan dalam bentuk MDI dengan spacer atau nebulisasi yang sama keefektifannya.
Penambahan ipratropium bromida selain agonis β2 dapat diberikan apabila pasien bisa
diedukasi untuk menggunakan kombinasi tersebut pada serangan yang lebih berat. Pada
serangan asma ringan sedang diberikan steroid sistemik (oral) berupa prednison atau
prednisolon dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari selama 3-5 hari, tanpa tappering off, maksimal
pemberian 1 kali dalam 1 bulan. Pemberian steroid ini harus dilakukan dengan cermat
untuk mencegah pengulangan lebih dari 1 kali per bulan dan pada saat penulisan resep
tambahkan keterangan'do not iter'. Pasien kemudian dianjurkan untuk kontrol ke klinik
rawat jalan dalam waktu 3-5hari untuk direevaluasi tata laksananya. Selain itu, jika sebelum
serangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat pengendali dilanjutkan.
- Serangan asma berat : pasien dengan gejala dan tanda klinis yang memenuhi kriteria
serangan asma berat harus dirawat di ruang rawat inap. Nebulisasi yang diberikan pertama
kali adalah agonis β2 dengan penambahan ipratropium bromida. Oksigen 2-4 liter per menit
diberikan sejak awal termasuk pada saat nebulisasi. Pasang jalur parenteral pada pasien

6
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN NAMA : LILYANA ULFA WULANDARI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA NIPP : 20194010086
PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
RSUD : Kota Jogja
2019

dan lakukan pemeriksaan rontgen toraks. Steroid sebaiknya diberikan secara parenteral.
Apabila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas, pasien Harus langsung
dirawat di ruang rawat intensif. Pemeriksaan rontgen toraks dilakukan untuk mendeteksi
adanya komplikasi pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum.
Menurut konsensus asma ooleh PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia), mencanangkan
rencana pengobatan serangan asma berdasarkan derajat serangannya sebagai berikut,

Kriteria pulang atau rawat inap


Pertimbangan untuk memulangkan atau perawatan rumah sakit (rawat inap) pada penderita di
gawat darurat, berdasarkan berat serangan, respons pengobatan baik klinis maupun faal paru.
Berdasarkan penilaian fungsi,pertimbangan pulang atau rawat inap, adalah:
- Penderita dirawat inap bila VEP1 atau APE sebelum pengobatan awal < 25% nilai terbaik/
prediksi; atau VEP1 /APE < 40% nilai terbaik/ prediksi setelah pengobatan awal diberikan
- Penderita berpotensi untuk dapat dipulangkan, bila VEP1/APE 40-60% nilai terbaik/ prediksi
setelah pengobatan awal, dengan diyakini tindak lanjut adekuat dan kepatuhan berobat.
- Penderita dengan respons pengobatan awal memberikan VEP1/APE > 60% nilai terbaik/
prediksi, umumnya dapat dipulangkan
Kriteria perawatan intensif/ ICU :
- Serangan berat dan tidak respons walau telah diberikan pengobatan adekuat
- Penurunan kesadaran, gelisah

7
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN NAMA : LILYANA ULFA WULANDARI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA NIPP : 20194010086
PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
RSUD : Kota Jogja
2019

- Gagal napas yang ditunjukkan dengan AGDA yaitu Pa O2 < 60 mmHg dan atau PaCO2 > 45
mmHg, saturasi O2≤ 90% pada penderita anak. Gagal napas dapat terjadi dengan PaCO2
rendah atau meningkat
4. Kesimpulan
Penatalaksanaan untuk terapi asma di IGD RS. Jogja sudah benar dan sesuai dengan alur
tatalaksana dari berbagai literatur yang ada, hanya terkadang faktor X sebagai pencetus asma yang
terkadang luput dari perhatian orang tua yang seharusnya serangan tersebut dapat dicegah.
Pengendalian asma bertujuan mencegah terjadinya serangan dengan menghindari faktor resiko dan
menggunakan controller, edukasi yang benar dan tepat sangat perlu ditekankan.
5. Dokumentasi :
a. Identitas Pasien
 Nama : An. KWA
 No RM : 57 88 67
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Tanggal Lahir : 02 Nopember 2011
 Usia : 7 tahun 9 bulan
 Alamat : Sewon, Bantul
 BB, TB : 27 kg, 130 cm
b. Pemeriksaan Fisik
1. KU : Compos mentis, tampak sesak nafas, posisi duduk, kesan gizi baik,
E4V5M6, kooperatif, dan VAS 3 dari 10
2. TV di IGD pukul 18.00 WIB:
a. Subu 37,9oC (syrup Praxion Forte 4-5mg x 3 k/p)
b. Nadi 159x/menit teraba cukup kuat & teratur
c. RR 39 x/menit, tipe abdominothorakal,
d. Saturasi oksigen 92-96% dengan O2 2L per menit
3. Kepala : bentuk Mesosefal(+), tumor(-), jejas(-), scars(-)
a. Mata : air mata (+/+), cowong (-/-), sclera ikterik (-/-), hiperemis/
laserasi (-/-) konjuntiva anemis (-/-), edema palpebra(-/-)
b. Hidung : discharge(-), epistaksis(-)
c. Mulut : mukosa bibir dan lidah basah (+), lidah kotor (-), hiperemis
faring (-), stomatitis (-), gusi berdarah (-)
d. Leher : simetris (+), lnn leher tidak membesar (+), JVP tidak
meningkat (+)
4. Thorax:
a. Cor : S1/S2 reguler (+), bising (-), gallop (-), thrill (-)
b. Paru – Paru :
Inspeksi : Simetris (+/+) Perkusi : Sonor (+/+)
Retraksi (-/-) Ketinggalan gerak Hipersonor (-/-) Redup (-/-)
(-/-) Krepitasi (-/-)
Palpasi : Simetris (+/+) Daya Auskultasi : Vesikuler menurun
Kembang paru (+/+) Vocal (+/+) Wheezing (+/+) Mengi
Fremitus sedikit menurun (+/+) (+/+) Ronchi Basah Basal (+/+)
c. Abdomen
Inspeksi : Flat (+) Acites (-) Auskultasi : Bising Usus
<8x/menit (+)
Palpasi : Supel (+) Perbesaran Perkusi : Perbesaran Hepar

8
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN NAMA : LILYANA ULFA WULANDARI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA NIPP : 20194010086
PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
RSUD : Kota Jogja
2019

Hepar / Lien (-) Nyeri <2cm (-) Batas Hepar dbn.


Abdomen (-) Flank pain (-)
Nyeri Ketok Ginjal (-)
d. Ekstremitas : akral hangat, nadi kuat, edema (-), meningeal sign (-),
Turgor Elasisitas Normal, warna kulit tidak ikterik
e. Anogenital : tidak terdapat kelainan
c. Pemeriksaan Penunjang
PARAMETER HASIL NILAI RUJUKAN
HEMATOLOGY AUTOMATIC
Leukosit 19,2 5.5-15.510^3/ul
Eritrosit 5,17 3.60 – 5.20 10^6/ul
Hemoglobin 13,2 10.8-12.8 gr/dL
Hematokrit 39,9 35.0-43.0%
MCV 77,1 74-106 Fl
MCH 28 23-31 Pg
MCHC 33,1 26-34 gr/dL
RDW CV 13,2 11-16%
Trombosit 291 150-450 10^3/uL
DIFFERENTIAL TELLING MIKROSKOPIS
Neutrofil 79,9 25-60% 15,32 10^3 uL
Lymfosit 15,9 25-50% 3,05 10^3 uL
Monosit 2,3 1-4 % 0,44 10^3 uL
Eosinofil 1,8 1.0-5.0 % 0,34 10^3 uL
Basofil 0,1 0-1 % 0,02 10^3 uL

d. Diagnosis Kerja
Diagnosis masuk IGD  Asma serangan ringan sedang
Diagnosis opname di Bangsal Anggrek Asma intermiten dengan serangan ringan-
sedang tercontrol tanpa obat dengan febris hari ke-2 suspek bakterial infeksi.
e. Planning
1. Planning Medikamentosa
a. Inf. Ringer Lactat 2ml/kgBB/jam (13 tpm) makro
b. Injeksi Metil prednisolon 8mg/ 4jam  setelah 6x injeksi diubah oral dengan
dosis yang sama
c. Nebulasi Velutin (Salbutalmol) 2,5mg/2,5 ml per 4-6 jam selang seling dengan
Combivent 2,5ml (Salbutalmol 3,01mg & Ipratropium bromide 0,52ml).
d. Syirup Praxim Forte 4-5ml (k/p)  Paracetamol syrup 160mg/5ml
e. Ampicillin IV 4x600 mg
f. O2 2 liter per menit (k/p)
g. Monel drops (domperidone) 3x1ml (k/p sebelum makan)
2. Planning Penunjang
a. Pemeriksaan darah
3. Planning Diet
TKTP, lunak per oral
Kalori : 100 kkal x 162 kg = 1620 kkal
Protein : 2 gr x 20,25 kg = 40,5 gr
Lemak : 25% x 1620 kkal = 405 kkal = 45 gr
Karbohidrat : 60% x 1620 kkal = 972 kkal = 243 gr
4. Planning Monitoring
Keadaan umum, tanda-tanda vital, SpO2, balance cairan, diet.
5. Planning Edukasi
9
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN NAMA : LILYANA ULFA WULANDARI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA NIPP : 20194010086
PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
2019 RSUD : Kota Jogja

a. Memberikan pengertian kepada pasien untuk menjauhi dan menghindari faktor-


faktor resiko pencetus serangan asma
b. Memberi pengertian untuk keluarga mengawasi dan menjaga kebersihan rumah
dan lingkungan tinggalnya dari debu ataupun hal-hal yang bisa menimbulkan
serangan asma
c. Memberikan motivasi banyak minum dan makan yang sehat dan bergizi untuk
masa pertumbuhan
d. Memberikan edukasi tentang asma dan tanda-tanda asma kepada keluarga
e. Disarankan segera membawa pasien ke Rumah sakit apabila terjadi serangan
asma.
6. Referensi :

Yogyakarta, Agustus 2019

Preceptor

dr. Sri Purwati, M.Sc,. Sp.A.

10

Anda mungkin juga menyukai