Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara majemuk karena terdiri dari banyak suku
bangsa, budaya dan agama. Suku merupakan kelompok etnis dan budaya
masyarakat yang terbentuk turun-temurun atau diwariskan pada generasi
setelahnya. Umumnya, identitas kesukuan melekat pada setiap orang sesuai
suku bangsa kedua orang tuanya.Setiap daerah di Indonesia memiliki budaya
yang berbeda, dengan adanya perbedaan budaya akan mempengaruhi
penggunaan Bahasa yang digunakan, sehingga Bahasa yang digunakan pun
berbeda beda.
Bahasa merupakan salah satu faktor budaya yang mampu mendorong
suatu suku popular atau lebih dikenal oleh masyarakat. Hal ini terjadi karena
bahasa dianggap sebagai parameter dalam mempelajari dan mengenalkan
budaya kepada orang lain, termasuk berfungsi untuk memahami sekaligus
membedakan antar budaya (Hidayat & Hafiar, 2019). Bahasa merupakan alat
bagi orang orang yang berinteraksi dengan orang lain dan juga sebagai alat
untuk berpikir. Maka Bahasa berfungsi sebagai suatu mekanisme untuk
berkomunikasi dan sekaligus sebagai pedoman, untuk melihat realita sosial,
karena Bahasa dapat mempengaruhi persepsi menyalurkan dan turut
membentuk pikiran. Hal ini juga sejalan dengan adanya persepsi dari Farady
& Sierjames (2018) yang mengatakan bahwa bahasa digunakan sebagai alat
interaksi di dalam lingkungan sosial karena bahasa dapat menjadi ruang bagi
tumbuhnya nilai sosial, dimana terjadi interaksi antar manusia.
Stewart L. Tubbs dan Sylvia mendefinisikan komunikasi antar budaya
adalah komunikasi antar orang orang yang berbeda budaya (baik dalam arti
ras, etnik, ataupun perbedaan sosial ekonomi). Manusia melalui komunikasi
berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya, yang berarti bahwa perilaku
komunikasi merupakan bagian dari perilaku yang ideal yang dirumuskan
dalam norma norma budaya [ CITATION Adi12 \l 1033 ]. Dalam komunikasi

1
antarbudaya menggunakan komunikasi verbal (bahasa) yaitu lambang
terpenting yang dapat disampaikan secara langsung dengan berbicara ataupun
tertulis, Bahasa merupakan sarana dalam melakukan interaksi untuk
mengkomunikasikan pikiran dan perasaan (Lagu M., 2016).
Menurut DeVito (1997) komunikasi antar budaya mengacu pada
komunikasi antara orang-orang yang memiliki kepercayaan, nilai cara
berperilaku kultural yang berbeda. Proses tersebut mengacu kepada
komunikasi antar orang- orang dengan budaya yang berbeda, atau orang-
orang yang memiliki kepercayaan, kebiasaan, nilai, bahasa dan cara pikir yang
berbeda. Namun, dalam interaksi baik secara langsung maupun menggunakan
media dari dua individu dari latar belakang yang sosial budaya sering terjadi
kesalahpahaman dalam penafsiran makna yang disebabkan karena masing
masing memiliki budaya yang berbeda sehingga mempengaruhi keefektifan
dalam menggunakan komunikasi.
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui Pola Komunikasi Antarbudaya
2. Untuk mengidentifikasi masalah masalah Komunikasi Antarbudaya
3. Untuk mensosialisasikan nilai nilai budaya

2
BAB II
PEMBAHASAN

 Suku Sunda

Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa,
Indonesia, dari Ujung Kulon di ujung barat pulau Jawa hingga sekitar Brebes
(mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa Barat atau Provinsi Pasundan,
Banten, sebagian DKI Jakarta, dan sebagian Jawa Tengah.

A. Bahasa
Suku Sunda dalam berkomunikasi sehari-hari menggunkan Bahasa sunda
Namun terdapat variasi dialek dalam Bahasa Sunda yang mengakibatkan
setiap daerah memilki karakteriktik yang berbeda dalam berkomunikasi.
1. Dialek Barat (Bahasa Banten)
Digunakan di seluruh kabupaten dan kota di provinsi Banten (kecuali kota
dan kabupaten Tangerang dan kota Tangerang Selatan).
2. Dialek Utara
Digunakan di Kabupaten Bogor, Kabupaten Karawang, Kabupaten
Subang, Kabupaten Purwakarta, Kota Bogor, Kabupaten Bekasi, dan Kota
Bekasi (kecuali kota Depok).
3. Dialek Selatan (Priangan)
Digunakan di  Bandung Raya (Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung
Barat, Kota Bandung, Kota Cimahi), Kabupaten Cianjur, Kabupaten

3
Sukabumi, KabupatenSumedang, KotaSukabumi, KabupatenGarut, Kabup
atn Tasikmalaya, dan Kota Tasikmalaya
4. Dialek Tengah Timur
Digunakan di Kabupaten Majalengka dan sebagian selatan Kabupaten
Indramayu.
5. Dialek Timur Laut (termasuk Bahasa Sunda Cirebon)
Digunakan di Kabupaten Kuningan, sebagian selatan Kabupaten Cirebon,
sebagian barat Kabupaten Brebes (Jawa Tengah).
6. Dialek Tenggara
Digunakan di Kabupaten Ciamis, Kabupaten Pangandaran, Kota
Banjar, Kabupaten Cilacap, dan sebagian barat Kabupaten
Banyumas (Jawa Tengah).

Contoh Bahasa Sunda

Bahasa Bahasa Bahasa Sunda


Indonesia Sunda (sopan/lemes)
(normal)

Makan Dahar/Emam Tuang

Ada Aya/Hana Nyondong

Bukan Lain Sanes

Saya Urang Abdi/Kuring/Sim


Kuring/Pribados

4
B. Gaya Bahasa
Suku sunda memiliki ciri khas tertentu yang membedakannya dengan suku
lain, baik dari tekstur wajah, gaya bicara maupun sifat. Leluhur sunda yang
dikenal memiliki watak lemah lembut, mewariskan sifat-sifat yang melekat
dalam diri orang sunda dan menjadi keunikan tersendiri ketika mereka berbaur
dengan masyarakat lainnya[ CITATION Das19 \l 1033 ]. Sosok orang Sunda
adalah orang yang apabila berbicara, bergerak, dan bersikap menyiratkan
kehangatan dan rasa hormat dan halus. Kemudian citra lain yang melekat pada
orang Sunda adalah ramah, rendah hati, dan mudah menerima kehadiran orang
lain.
C. Bahasa Tabu
Masyarakat sunda menyebut bahasa tabu dengan sebutan pamali. Pamali
merupakan tradisi lisan yang memiliki keunikan yang menjadikan
karakteristik adat dan perilaku masyarakat sunda sebagai suatu karakter dalam
satu kalimat larangan baik dari segi Bahasa, sikap maupun tindakan.
Dalam konteks bahasa tentu saja dalam pamali mempunya keterkaitan
yang sangat erat karena pamali merupakan salah satu sistem bahasa sunda
yang diungkapkan masyarakat secara lisan. Contoh Pamali yang husus
membahas Bahasa, yaitu :pamali ulah nyebut embé kudu uncal kalong, bisi
aya jurig. Artinya jika menyebut kambing harus uncal kalong. Hal ini
membuktikan adanya aturan bahasa yang digunakan masyarakat dalam
pamali. [ CITATION Hes15 \l 1033 ]
D. Budaya Komunikasi Suku Sunda
1. Budaya Rengkuh
Budaya rengkuh adalah ungkapan menghormati orang lain yang
dianggap lebih tua dengan cara membungkukkan badan. contoh budaya
rengkuh, yaitu :
a. Ketika seseorang berjalan melintasi kerumunan, maka orang tersebut
akan membungkukkan badan seraya berkata punten dan lain
sebagainya.

5
b. Ketika hendak bersalaman atau memulai percakapan dengan orang
yang tidak dikenal sebelumnya, maka kecenderungan yang terjadi
adalah orang tersebut membungkukkan badannya sebagai bentuk
penghormatan bagi orang lain.
c. Ketika berbicara kepada orang yang lebih tua, guru, atau
kyai/ajeungan, maka tidak hanya membungkukkan badan, tetapi
intonasi suara pun ikut direndahkan.

2. Budaya Soemeh
Suku Sunda merupakan kelompok masyarakat yang konsisten
dalam melestarikan nilai-nilai budaya dan menjadikannya sebagai kearifan
local. Soméah merupakan salah satu nilai kearifan lokal masyarakat Suku
Sunda yang senantiasa dipertahankan. Kata soméah dapat diartikan
sebagai ramah, sopan dan terbuka.. Tidak diketahui secara pasti sejarah
kapan pertama kali pesan soméah diucapkan pada saat berkomunikasi.
Namun, pesan ini disampaikan di setiap konteks komunikasi bahkan telah
menjadi brand atau identitas tersendiri bagi kelompok masyarakat Suku
Sunda. [ CITATION Das19 \l 1033 ]
Budaya soméah masyarakat Suku Sunda memiliki karakterisituk
tersendiri yang membedakannya dengan suku lainnya. Hal ini dapat
dijumpai pada perilaku komunikasi yang memperlihatkan tingkat
kesopanan yang relatif tinggi. Misalnya, penggunaan istilah atau
menyisipkan kata punten dan mangga yang selalu ada di setiap perilaku
komunikasi. Ungkapan kata punten dan mangga tersebut dapat dimaknai
sebagai bentuk sopan santun, hormat dan keterbukaan terhadap orang lain
termasuk orang yang baru dikenal.

6
 Suku Minangkabau

Minangkabau (Minang) adalah kelompok etnis Nusantara yang berbahasa


dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah kebudayaannya Minang
meliputi daerah Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara
Bengkulu, bagian barat Jambi, pantai barat Sumatera Utara, barat daya
Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia.

A. Bahasa

Salah satu bahasa daerah yang ada yaitu bahasa Minangkabau yang
perlu dikembangkan dalam rangka pengembangan kelestarian bahasa
nasional. Bahasa Minangkabau digunakan oleh masyarakat dalam
berinteraksi dan berkomunikasi setiap hari, baik didalam keluarga,
lingkungan, upacara adat, seni dan budaya, situasi formal dan nonformal.
Tata cara berbahasa ini disebut dengan Langgam Kato atau Tatakrama
Berbicara. Ada empat Langgam Kato, yaitu sebagai berikut:

1. Kato Mandaki,
Merupakan bahasa yang digunakan orang yang status sosialnya lebih
rendah dari lawannya berbicara, contohnya dipakai oleh orang yang
lebih muda kepada orang yang lebih tua, murid kepada guru dan
bawahan kepada atasan. Pemakaian tata bahasanya lebih rapi,
ungkapannya jelas, dan penggunaan kata pengganti orang pertama,
kedua dan ketiga bersifat khusus. Kata Ambo untuk orang pertama ,

7
panggilan kehormatan untuk orang yang lebih tua: mamak, inyiak,
uda, tuan, etek, amai, atau uni serta beliau untuk orang ketiga.
2. Kato Manurun
Merupakan bahasa yang digunakan oleh orang yang memiliki status
sosialnya lebih tinggi dari lawan berbicara, contohnya orang tua
kepada anaknya, guru kepada murid dan atasan kepada bawahan.
Pemakaian tata bahasanya rapi tetapi dengan kalimat yang lebih
pendek, kata pengganti orang pertama, kedua dan ketiga juga bersifat
khusus. Wak-den atau awak-den. Untuk orang pertama, awak-ang
atau wak-ang adalah untuk orang kedua laki- laki, awak-kau atau
wak-kau untuk orang kedua perempuan. Wakang atau awak-nyo
untuk orang ketiga. Kata awak atau wak yang artinya sama dengan
kita selalu dipakai sebagai pernyataan bahwa setiap orang sama
dengan kita atau di antara kita juga.
3. Kato Malereng
Merupakan bahasa yang digunakan oleh orang yang posisinya sama,
yang saling menyegani seperti antara orang yang mempunyai
hubungan kekerabatan karena perkawinan, misalnya ipar, besan,
mertua dan menantu atau antara orang- orang yang jabatannya
dihormati seperti penghulu, ulama dan guru. Pemakaian tata
bahasanya rapi tetapi lebih banyak menggunakan kiasan atau
sindiran. Kata pengganti orang pertama, kedua dan ketiga juga
bersifat khusus. Umpamanya wak-ambo atau awak-mbo untuk orang
pertama orang kedua. Beliau untuk orang ketiga.
4. Kato Mandata
Merupakan bahasa yang digunakan di antara orang yang status
sosialnya sama dan hubungannya akrab. Pemakaian tata bahasanya
bersifat bahasa pasar yang biasanya memakai suku kata terakhir atau
kata-katanya tidak lengkap dan kalimatnya pendek- pendek. Kata
pengganti orang pertama, kedua, ketiga juga bersifat khusus. Aden

8
atau den untuk orang pertama, ang untuk orang kedua laki- laki, kau
untuk orang kedua perempuan dan inyo atau anyo untuk orang ketiga.
B. Gaya Bahasa
Minangkabau tentunya memiliki ciri khas pada saat berkomunikasi
dengan masyarakat. Seperti yang kita ketahui bahwa kebanyakan dari
orang yang berasal dari suku Minangkabau pada saat berbicara dengan
nada yang tinggi atau keras. Bagi mereka itu adalah hal yang sangat biasa
karenan lingkungan mereka memang seperti itu.
C. Bahasa Tabu
Kata-kata pantang dalam bahasa Minangkabau sama dengan kata-
kata tabu dalam bahasa Indonesia. Tetapi, masyarakat Minangkabau lebih
menggunakan istilah pantang untuk hal-hal yang dianggap tabu. Pantang
merupakan sebuah larangan atau yang dilarang, baik karena kekuatan yang
membahayakan (tabu positif) maupun karena kekuatan yang
mencemarkan atau merusak kekuatan hidup seseorang (tabu negatif)
(Kridalaksana, 2001: 207).

Contoh konteks pemakaian ungkapan larangan adalah :

Anak gadih indak buliah duduak di muko pintu, jauah jodoh beko. ‘Anak
perempuan tidak boleh duduk di depan pintu, nanti jauh jodohnya’

Ungkapan larangan di atas mengisyaratkan makna kesopanan dan menjaga


harga diri perempuan Minangkabau. Makna lain yang tersirat dari
ungkapan ini adalah seseorang yang duduk di depan pintu akan
menghalangi orang yang akan masuk ke dalam rumah.

9
 Suku Betawi

Betawi merupakan sebuah etnik dengan penduduk yang mendominasi


Jakarta. Orang Betawi telah ada sejak zaman Neolithikum (1500 SM) yang
telah berkembang dengan ciri budaya yang semakin terlihat sehingga mudah
dibedakan dengan kelompok etnis lain. Betawi kaya akan keragaman budaya,
bahasa, dan kultur yang memiliki berbagai macam persepsi, tafsiran, dan
pemahaman tentang Betawi itu sendiri baik dari segi penduduk asli, kultur,
maupun kebudayaan. Ada pula yang berpendapat bahwa penduduk Betawi
majemuk, artinya mereka berasal dari percampuran darah berbagai suku
bangsa dan bangsa asing.
A. Bahasa
Bahasa Betawi atau Melayu Dialek Jakarta atau Melayu Batavia merupakan
anak bahasa dari Melayu. Penduduk yang menggunakan bahasa ini
dinamakan orang Betawi. Bahasa ini berusia hampir sama dengan daerah
tempat bahasa ini dikembangkan, yaitu Jakarta. Bahasa formal yang
digunakan di Jakarta adalah Bahasa Indonesia, namun bahasa informal atau
bahasa percakapan sehari-hari adalah Bahasa Indonesia dialek Betawi.
Dialek Betawi terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
1. Dialek Betawi Tengah
Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi "é". Dialek Betawi pusat
atau tengah seringkali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena
berasal dari tempat bermulanya kota Jakarta, yaitu daerah
perkampungan Betawi di sekitar Jakarta Kota, Sawah

10
Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas
paling selatan di Meester (Jatinegara).
2. Dialek Betawi Pinggir
Dialek Betawi tengah umumnya berbunyi "a". Dialek Betawi
pinggiran mulai dari Jatinegara ke selatan, Condet, Jagakarsa, Depok,
Rawa Belong, Ciputat hingga ke pinggir selatan hingga Jawa Barat.
Contoh yang paling jelas adalah saat
mengucapkan kenape/kenapa (mengapa). Dialek Betawi tengah jelas
menyebutkan "é", sedangkan Betawi pinggir bernada "a" keras mati
seperti "ain" mati dalam cara baca mengaji Al Quran.

Contoh Bahasa Betawi

Dialek Bekasi Dialek Betawi Bahasa Indonesia


Tengah
Sapa Siape Siapa
Apa Ape Apa
Saya Aye Saya
Aja (h) Aje Saja
Katanya Katanye Katanya
Kemana Kemane Kemana
Dimana Dimane Dimana

B. Gaya Bahasa
Bahasa Betawi merupakan bahasa yang didasarkan pada bahasa
Melayu Pasar ditambah dengan unsur-unsur bahasa Sunda, bahasa Bali,
bahasa dari China Selatan (bahasa Hokkian), bahasa Arab, serta bahasa
dari Eropa, terutama bahasa Belanda dan bahasa Portugis. Pada awalnya,
bahasa Betawi hanya dipakai oleh kalangan masyarakat menengah ke
bawah pada masa-masa awal perkembangan Jakarta. Karena
perkembangan yang alami, tidak ada struktur baku yang jelas dari bahasa
Betawi yang membedakannya dengan bahasa Melayu. Namun ada
beberapa unsur linguistik penciri yang dapat dipakai, misalnya dari
peluruhan awalan me- (seperti halnya bahasa Melayu dan bahasa

11
Indonesia), penggunaan akhiran –in (sama seperti Bali), serta peralihan
bunyi /a/ terbuka di akhir kata menjadi /e/ atau /ɛ/ pada beberapa dialek
lokal.
C. Bahasa Tabu
Bahasa tabu atau sering disebut dengan pamali merupakan tradisi
lisan yang memiliki keunikan yang menjadikan karakteristik adat dan
perilaku masyarakat sebagai suatu karakter dalam satu kalimat larangan
baik dari segi bahasa, sikap maupun tindakan.
Contoh Pamali yang khusus membahas bahasa, yaitu: tidak boleh
memanggil nama terhadap saudara atau orang lain yang lebih tua,
akibatnya dapat memiliki penyakit srillat (penyakit bisul di leher atau
bagian bawah pipi), akibat nyata dari sikap tersebut sangat tidak sopan
yang mengakibatkan kesan tidak menghormati yang lebih tua.
 Suku Jawa

A. Bahasa
Bahasa Jawa adalah. Bahasa Jawa dibedakan menjadi dua, yang
disebut unggah-ungguh, yaitu bentuk ngoko dan krama. Kedua bentuk
tersebut dibedakan melalui kosakatanya karena dapat terlihat jelas antara
satu sama lain secara tegas (Indrayanto & Yuliastuti, 2015). Namun,
terdapat tingkatan yang lebih detail lagi, terdiri atas tujuh tingkat,
diantaranya adalah: ngoko andhap, madhya, madhyantara, kromo, kromo
inggil, bagongan, dan kedhaton. Tingkatan bahasa tersebut mengandung
dua makna, antara penghormatan dan perendahan.

12
B. Gaya Bicara
Ragam bahasa atau yang lebih dikenal sebagai dialek adalah variasi
jenis bahasa dalam satu bahasa suatu suku bangsa yang ikut mencirikan
gaya bicara bahasa tersebut (Nurhidayat, 2014). Amirin dkk. (2013)
mengungkapkan bahwa perbedaan dialek, dibagi menjadi tiga yaitu
kelompok barat, tengah dan timur. Kelompok barat terdiri atas dialek
Banten, Banyumas, Blora, Bumiayu, Cirebon, dan Tegal. Kelompok
tengah terdiri dari Bagelen, Kedu, Madiun, Pantai Utara Timur (Jepara,
Demak, Rembang, Kudus, Pati), Pekalongan, Semarang, Surakarta, dan
Yogyakarta. Sedangkan kelompok dialek timur terdiri atas dialek
Banyuwangi, Jombang, Malang, Pantura Timur (Tuban, dan Bojonegoro),
Surabaya, dan Tengger.
C. Etika dalam Berbicara
Bahasa Jawa adalah bahasa yang terkenal menggunakan tingkatan
tutur tinggi dan rendah (Wilian, 2006). Tingkatan tutur dapat disebut
sebagai Kode. Kode tinggi dalam bahasa Jawa disebut krama dan kode
rendah disebut ngoko. Pemakaian kode dalam komunikasi berbahasa Jawa
adalah menggunakan teori alih kode atau campur kode. Penggunaan kode
tersebut juga merujuk kepada siapa pentutur akan berbicara, biasanya
aspek yang diperhatikan adalah umur, kedudukan, dan hubungan sosial.
Dalam bahasa Jawa, sebagaimana bahasa hormat, ada semacam variasi
perkataan yang dinamakan unggah-ungguhing basa. Unggah-ungguhing
basa adalah sekumpulan variasi kode yang memberi pedoman si pentutur
bahasa Jawa untuk memilih kata-kata yang akan diucapkan kepada lawan
bicaranya (Wajdi, 2009).
D. Bahasa Tabu
Ada sekumpulan kata-kata kasar yang sebaiknya tidak diucapkan
ketika berbahasa Jawa yang baik dan benar. Seringkali masyarakat keliru
dalam membedakan bahasa ngoko (bahasa Jawa kode rendah) dengan
bahasa kasar. Bahasa kasar lebih didefinisikan sebagai kata-kata yang
dikeluarkan ketika seseorang merasa jengkel atau sejenisnya. Ada

13
setidaknya empat aktivitas yang lazim dikaitkan dengan penggunaan kata-
kata kasar, aktivitas tersebut yaitu: makan dan minum, berbicara, buang
air, dan pergi (Wijana, 2008). Berikut merupakan beberapa contoh kata-
kata kasar yang sering digunakan dan termasuk ke dalam lingkup aktivitas
lazim tersebut:
1. Makan dan minum
Nyekek, nguntal, mbadog, dan ngglogok.
2. Berbicara
Nylekop, ngoceh, nyrocos, njeplak, nyocot, mbacot, dan nyonthong.
3. Tidur
Micek, mbathang dan ngenthung.
4. Buang air
Ngendog dan ngocor.
 Suku Dayak

Suku Dayak merupakan sebutan bagi penduduk asli Pulau


Kalimantan. Suku Dayak berasal dari ejaan lama Dajak atau Dayak adalah
nama yang oleh penjajah diberi kepada orang-orang hilir, pesisir atau
pendatang untuk menyebut sekelompok orang di Kalimantan yang masih
tinggal di hulu (pedalaman), belum beradab (liar), masih terbelakang,
tidak beragama, suka makan orang dan bernada minor. Menurut sosiolog
J. J. Lontaan, kelompok suku dayak terbagi lagi dalam sub-sub suku yang
kurang lebih berjumlah 405 sub-suku. Dimana setiap sub-suku memiliki
adat istiadat dan budaya yang saling mirip, merujuk kepada sosiologi
kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa

14
yang khas. Kuatnya arus urbanisasi yang membawa pengaruh dari luar,
seperti Melayu menyebabkan Suku Dayak menyingkir semakin jauh ke
pedalaman dan perbukitan di seluruh daerah Kalimantan.
Istilah Dayak diadopsi sejak tahun 1757 sebagai nama kolektif
untuk membedakan penduduk pribumi yang datang kemudian bermukim
di pesisir dan menganut islam. Berbagai kelompok Suku Dayak sendiri
secara internal lebih umum dan terbiasa menyebut jati diri kesukuannya
dari nama bahas, budaya, dan nama lokasi tempat asal pemukiman merka.
Nama-nama yang seing mereka ambil berasal dari nama sungai, gunung,
bukit, atau asal kampung yang ditempatinya. Sebagaimana garis besar
induk Suku Dayak di Kalimantan ada 7 yakni : Suku Dayak Ngaju, Suku
Dayak Heban, Suku Dayak Apu Kayan, Suku Dayak Klemantan, Suku
Dayak Murut, Suku Dayak Punan, dan Suku Dayak Ot Danum. Mata
pencaharian Suku Dayak Sebagian besar yakni berladang, berburu, dan
mencari ikan disungai.
A. Bahasa
Bahasa yang digunakan dalam Suku Dayak hampir mirip
perbedaannya terdapat pada pengucapan atau logat dalam kalimat dengan
suku serumpun yakni pengucapan kalimat yang menggunakan akhiran
kata i dan e, i dan y misalnya : Kediri” dan Kedire”, rari dan rare, inai dan
inay, pulai dan pulay. Serta penyebutan kalimat yang menggunakan huruf
r (R berkarat), serta logat pengucapannya, walaupun mengandung arti
yang sama.
B. Gaya Bahasa
Gaya bahasa sebagai bahasa indah yang dipergunakan untuk
meningkatkan serta meninggikan efek dengan jalan memperkenalkan serta
membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain
yang lebih umum. Penggunaan gaya bahasa dapat dilihat dari adanya
bahasa-bahasa kiasan dan perulangan kata atau konsonan. Suku Dayak
dalam berkomunikasi juga memiliki sistem komunikasi rahasia yang
disebut Totok Bakakak. Suku Dayak terkenal dengan orang yang suka

15
memakai manik-manik serta tatto ditubuh mereka yang mempunyai arti
yang sangat dalam.
Orang Suku Dayak lebih sering mengalah dan tidak akan
menyerang jika tidak diserang. Orang Dayak ketika berkomunikasi akan
menghormati jika orang yang mengajak berkomunikasi saling menyegani
dan menghormati. Gaya bahasa yang digunakan pun menyesuaikan
kepada yang mengajak berkomunikasi. Maka berhati-hatilah jika
berkomunikasi dengan orang Dayak, sekali mereka merasa terganggu
maka mereka akan kembali menggangu.
C. Bahasa Tabu
Keyakinan Suku Dayak sangatlah kuat, apalagi mengenai hal-
hal tabu yang ada disana. Mereka masih sangat menyakini suatu hal
mistis yang ada diadat mereka. Adapun beberapa hal tabu yang ada
disana sebagai berikut :
1. Dilarang pergi ketika ada suara burung yang ramai
2. Dilarang makan saat matahari terbenam atau menjelang maghrib
3. Dilarang membunyikan gamelan diluar acara ritual
Suku Dayak masih menjaga karifan lokal budaya mereka secara turun-
temurun. Mereka masih menjaga adat istiadat dari nenek moyang
mereka.

 Suku Batak

16
Suku batak merupakan salah satu suku terbesar di Indonesia yang
dikategorikan sebagai Suku. Batak, yaitu Toba, Karo, Pakpak, Simalungun,
dan Mandailing. Batak adalah rumpun suku-suku yang mendiami sebagian
besar wilayah Sumatra Utara. Namun sering sekali orang menganggap
penyebutan Batak hanya pada suku Toba, padahal Batak tidak hanya diwakili
oleh suku Toba. Sehingga tidak ada budaya dan bahasa Batak, tetapi budaya
dan bahasa Toba, Karo, Simalungun dan suku-suku lain yang serumpun.

A. Bahasa

Dalam pergaulan sehari-hari peranan bahasa Batak sangat


fungsional. Pemakaiannya meliputi lingkungan yang sangat luas, hampir
pada setiap tempat dan situasi, dari lingkungan keluarga, lingkungan
anak-anak, lingkungan pemuda, lingkungan orang tua, lingkungan
pedagang, sampai pada lingkungan pekerjaan baik di swasta maupun
pemerintahan. Depdikbud (1984: 6). Dalam berkomunikasi suku batak
menggunakan 5 (lima) dialek yaitu : (1) dialek Silindung ,(2) dialek
Humbang, (3) dialek Toba Samosir, (4) dialek Samosir, (5) dialek
Sibolga.

 Dialek Silindung yang dipergunakan di wilayah: Kecamatan


Tarutung, Sipoholon, Pahae Julu, Pahae Jae, Sipahutar, Garoga, dan
Adiankoting
 Dialek Humbang Hasundutan di wilayah Siborong-borong, Dolok
Sanggul, Lintong nihuta, Muara, Parmonangan, dan Onan
Ganjang,dan Parlilitan.

17
 Dialek Toba Samosir dipergunakan di wilayah Toba Samosir yang
meliputi: Laguboti,Porsea, Lumban Julu , Silaen, Lumban Siantar, dan
Parsoburan.
 Dialek Samosir dipergunakan di wilayah Samosir meliputi:
Simanindo, Pangururan,Palipi, Onan Runggu, Nainggolan, dan
Harian.
 Dialek Sibolga (Tapanuli Tengah) dipergunakan di wilayah Tapanuli
Tengah meliputi: Sibolga Kota, Sibolga Selatan, Sibolga Utara,
Sorkam, Pinang Sori, Pandan, dan Manduamas.

Biasanya kecenderungan yang ada, apabila daerahnya berdekatan,


dialek yang digunakan relatif sama. Namun, pada prinsipnya setiap dialek
mempunyai ciri khas masing-masing. Karena setiap bahasa mempunyai
dialek, dialek tersebut digunakan untuk membedakannya dengan
kelompok masyarakat yang lain.

B. Gaya Bahasa

Suku Batak tentunya memiliki ciri khas pada saat berkomunikasi


dengan masyarakat. Seperti yang kita ketahui bahwa kebanyakan dari
orang yang berasal dari suku Batak pada saat berbicara dengan nada yang
tinggi atau keras dan tegas. Bagi mereka itu adalah hal yang sangat biasa
karenan lingkungan mereka memang seperti itu.

C. Hal Tabu
Ungkapan pantang larang yang ada di masyarakat Batak
Mandailing Simangambat Padang Lawas Utara tentunya memiliki fungsi
tersendiri yang berguna dalam tatanan pergaulan. Fungsi sosial pantang
larang terjadi karena adanya kesalahan dalam kehidupan bermasyarakat
dan karena ada yang melatar belakanginya. Bagi sebagaian masyarakat
kata larangan itu merupakan salah satu bentuk kebudayaan Batak
Mandailing yang harus dijaga dan dikembangkan karena merupakan satu
kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, sebab dengan semakin

18
majunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang diciptakan oleh manusia
akan merubah adat istiadat nenek moyang terdahulu. Sebagai generasi
muda yang akan menjungjung tinggi kebudayaannya hendaknya
mempelajari dan memahami hakekat dari pantang larang yang ada di
daerah kita, serta pentingnya fungsi sosial pantang larang.

Contoh tindakan yang dianggap tabu :

 [Inda tola marsiul di bagasan bagas, ro ulok]

Artinya : “Tidak boleh bersiul di dalam rumah, datang ular “

Pada kata bersiul ada kesenangan tersendiri atau rasa terhibur ketika
seseorang itu bersiul. Tidak ada orang yang sedang bersedih hati bersiul.
Ular akan datang ke dalam rumah itu hanya untuk menakut-nakuti supaya
tidak bersiul di dalam rumah karena takut akan mengganggu tetangga atau
mengganggu ketentraman di dalam rumah. Terkadang yang bersiul itu
tidak hanya pada siang hari tapi ada juga yang bersiul pada malam hari.

 [Inda tola manyapu bagas di borngin ni ari, mangayak rajoki]

Artinya : “Tidak boleh menyapu rumah di malam hari, mengusir rezeki”

Pada kalimat menyapu rumah di malam hari sama halnya dengan


mengusir tamu yang berada di dalam rumah kita serta, dikatakan mengusir
rezeki menurut masyarakat Batak Mandailing itu hanya untuk menakut-
nakuti supaya kita tidak menyapu pada malam hari. Karena menyapu pada
saat itu bisa membuat tamu kita tidak merasa nyaman atau seperti diusir
dari rumah itu. Selain itu menyapu rumah itu bisa dilakukan pada siang
hari tidak mesti pada malam hari.

D. Komunikasi Intra Budaya

19
Komunikasi intra budaya pada suku Batak yaitu penggunaan
marga dalam berkomunikasi dan menjalin kekerabatan di keluarga,
berawal dari adanya sejarah marga itu sendiri. Asal-usul marga berasal
dari nama-nama yang turun temurun menjadi marga yang digunakan
sampai saat ini. Perkembangan dan semakin banyaknya marga pada suku
Batak, dikarenakan melalui perkawinan yang dilakukan oleh sesama suku
Batak. Sehingga semakin luasnya dan bertambah banyaknya margamarga
yang ada pada suku Batak. Selain melalui perkawinan, suku Batak dapat
semakin meluas dikarenakan adanya perpindahan wilayah, suku Batak
merantau ke desa maupun wilayah lainnya, sehingga semakin banyaknya
marga yang di miliki oleh suku Batak. Perpindahan wilayah tersebut juga
menimbulkan adanya sub suku di dalam suku Batak, setiap sub suku pada
suku Batak memiliki wilayah asal yang berbeda satu dengan yang
lainnya. Wilayah asal inilah yang menjadi kampung halaman pada setiap
sub suku tersebut.
Aturan yang digunakan pada suku Batak dalam penggunaan marga
adalah adanya perbedaan antara laki-laki dengan perempuan, pada laki-
laki marga yang diperoleh langsung dari ayah kandungnya tetap
digunakan sampai kapan pun, sedangkan pada perempuan, marga yang
diperoleh langsung dari ayah kandungnya tidak akan digunakan dalam
peradatan suku Batak jika sudah menikah dengan marga lainnya.
Perempuan suku Batak yang sudah menikah akan menggunakan marga
dari suaminya, dimana secara langsung pernikahan membuat perempuan
suku Batak mengikuti marga yang dimiliki oleh suami atau pasangannya.

20
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Komunikasi menjadi hal yang penting dalam berinteraksi dengan
orang lain sebagai media penyampaian informasi. Salah satu wujud dari
komunikasi adalah penggunaan bahasa. Pemilihan bahasa sangat
mempengaruhi persepsi pemikiran dan maknanya. Indonesia yang terdiri
dari berbagai macam suku juga memiliki kenakaragaman bahasa. Oleh
karena itu, penting bagi seorang perawat untuk memiliki pengetahuan
mengenai bahasa daerah dari berbagai suku di Indonesia. Perawat nantinya
akan bertemu dengan klien yang berbeda budaya, sehingga harus berhati-
hati ketika akan melakukan pengkajian perawat transkultural karena kata
yang sama belum tentu memiliki arti yang sama di berbagai daerah. Ketika
seorang perawat dapat berkomunikasi dengan bahasa yang baik
diharapkan dapat menghindari adanya kesalahpahaman dan menjaga
perasaan kliennya.
B. Saran
Setelah membaca makalah ini diharapkan dapat menambah informasi
mengenai cara berkomunikasi yang benar dalam melakukan pengkajian
keperawatan transkurtural. Komunikasi yang baik dan benar sangat
diperluk oleh perawat untuk melakukan interaksi dengan pasien, keluarga,
ataupun tenaga kesehatan yang lain.

21
DAFTAR PUSTAKA

Farady, R., & Sierjames, J. (2018). Identifikasi nilai kemajemukan Indonesia sebagai identitas
bangsa dalam iklan Mixagrip versi keragaman budaya. Jurnal Kajian Komunikasi, 6(1), 37-50

Hidayat, D., & Hafiar, H. (2019). Nilai-nilai budaya someah pada perilaku komunikasi
masyarakat Suku Sunda. Jurnal Kajian Komunikasi, 7(1), 84-96. Diakses dari
http://jurnal.unpad.ac.id/jkk/article/view/19595/10547 pada tanggal 24 september 2019

L. Tubbs, Stewart & Moss, Sylvia. 2008. Human Communication: Prinsip prinsip Dasar.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

Wiendijarti, Ida. (2012). Pola Komunikasi Antarbudaya Batak dan Jawa di Yogyakarta. Jurnal
Komunikasi, 1(5)

Adhtiya, Y. (2015). Keluarga di Masyarakat Jawa dalam Perspektif Cultural Studies.

Amirin, T. M., Sutiman, Wijayanti, W., Rahmawati, T., & Isbiyanti, P. (2013). Pengembangan
Unggah-Ungguh Bahasa Jawa Murid SDN Jarakan I Sewon, Bantul Melalui
Pendampingan Kolaboratif PTK dengan Learning by Doing. PPM, 4.

Anshoriy, N., & Sudarsono. (2008). Kearifan Lingkungan dalam Perspektif Budaya Jawa.
Yogyakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Fitriatmoko, R., Sudaryatmi, S., & Triyono. (2017). Praktik Perkawinan Campuran Antar
Masyarakat di Kota Batam dan Akibat Hukumnya (Studi pada Perkawinan Campuran
Antara Pria Batak dan Wanita Minangkabau di Sungai Panas Kota Batam). Diponegoro
Law Journal, 2.

Herusatoto, B. (1991). Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: PT. Hanindita.

Idrus, M. (2007). Makna Agama dan Budaya bagi Orang Jawa. UNISIA, 397-398.

Indrayanto, B., & Yuliastuti, K. (2015). Fenomena Tingkat Tutur dalam Bahasa Jawa Akibat
Tingkat Sosial Masyarakat. Magistra, 37.

Nurhidayat, I. (2014). Persebaran Dialek Bahasa Jawa .

22
Purwadi. (2011). Etika Komunikasi dalam Budaya Jawa: Sebuah Penggalian Nilai Kearifan
Lokal demi Memperkokoh Jatidiri serta Kepribadian Bangsa. Ikabudi.

Putri, D. P., & Lestari, S. (2015). Pembagian Peran dalam Rumah Tangga pada Pasangan Suami
Istri Jawa. Jurnal Penelitian Humaniora, 78-79.

Sunarno, I. (2012). Konsep Sehat Menurut Perspektif Budaya Jawa: Studi Perilaku Masyarakat
Jawa dalam Menjaga dan Meningkatkan Kesehatan di Blitar Jawa Timur. 283-285.

Wahyono, E. (2017). Stratifikasi Sosial pada Masyarakat Pedesaan di Jawa Abad ke-19.
SENARI, 307-309.

Wajdi, M. (2009). Alih Kode dan Silang Kode: Strategi Komunikasi dalam Bahasa Jawa.
International Conference on Applied Linguistic (CONAPLIN). Bandung: 2, 5-6.

Wijana, I. P. (2008). Kata-Kata Kasar dalam Bahasa Jawa. Humaniora, 251-252.

Yunita, Y. N. (2015). Perilaku Berbahasa Jawa Ngoko Sebagai Bahasa Sehari-Hari pada
Komunitas Masyarakat Jawa di Desa Bumi Jaya. 3-4.

Hafiar, D. H. (2019). Nilai-nilai budaya soméah pada perilaku komunikasi masyarakat Suku
Sunda. Dasrun Hidayat1 dan Hanny Hafiar2, 84-96.

Setyaludin, R. (2016). Pamali Produk Budaya Lisan Sunda. Desain Komunikasi Visual .

Uin, S. (n.d.). Kebudayaan Sunda Dan Aspek Dialetiknya. digilib.uinsby.ac.id.

Widiastuti, H. (2015). Pamali dalam kehidupan masyarakat Cigugur Kabupaten Kuningan .


Lokabasa , 77.

Wikipedia. (n.d.). Retrieved from Wikipedia: https://id.wikipedia.org/wiki/Aksara_Sunda_Baku


diakses pada tanggal 24 September 2019 pukul 22.00 WIB

Chatra, E. (2011). Filsafat Komunikasi Berdasarkan ilai Filosofis. 1-14.

Febriadeti Firstiana, M. E. (n.d.). Ungkapan Larangan Dalam Masyarakat Minangkabau Di


Kenagarian Kubang Putiah Kecamatan Banuhampu Kabupaten Agam. 1-3.

Kridalaksana, H. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

23
Setiawan, A., & Fuady, M. (2015). Pola Komunikasi Mahasiswa Asal Minangkabau Di
Perguruan Tinggi Universitas Islam Bandung. Prosiding Penelitian SPeSIA, 206-207.

Purbasari, M. (2010). Indahnya Betawi. Desain Komunikasi Visual. Jakarta Barat.

Pamungkas, B A. (2015). Suku Betawi. sipadu.isi-ska.ac.id. Surakarta.

Sugiharto, S. (2008). The perseverance of Betawi language in Jakarta. The Jakarta Post. Jakarta.

Khairunnisa. 2012. Eksistensi Kearifan Lokal dalam Suku Dayak di Kalimantan, diperoleh dari
www.academia.edu, diakses pada 23 September 2019 pukul 21:35 WIB
Singarimbun, M. (1991). Beberapa Aspek Kehidupan Masyarakat Dayak. Jurnal UGM.
Fitriyani, L. R. (2018). POLA KOMUNIKASI KEKERABATAN SUKU BATAK DALAM
PENGGUNAAN MARGA UNTUK MENJALIN KEAKRABAN . Journal STIKOM
LSPR Jakarta, 163-170.

Hasibuan, S. L. (2017). FUNGSI SOSIAL PANTANG LARANG MASYARAKAT BATAK


MANDAILING SIMANGAMBAT PADANG LAWAS UTAR. Journal FKIP
Universitas Riau, 1-10.

Sugiyarto. (2017). Menyimak (Kembali) Integrasi Budaya di Tanah Batak Toba . Journal FIB
Universitas Diponegoror, 34-41.

Togatorop, L. T. (2017). PERSEPSI MASYARAKAT SUKU BATAK TOBA DAN BATAK


KARO DALAM KONTEKS KOMUNIKASI ANTARBUDAYA . Journal Universitas
Sumatra Utara, 1-10.

24

Anda mungkin juga menyukai