Anda di halaman 1dari 17

HALAMAN SAMPUL

LAPORAN KASUS KEDOKTERAN KELUARGA: PENATALAKSANAAN


TUBERKULOSIS PARU KATEGORI 1

DISUSUN OLEH:
Alifah Syafiqah Zata Ismah Zulkifli C014182078
Zakiyyah Darajat C014182088
Ahmad Musyafiq Arif C014182100
Luh Krisna Dewi Octavyanthi C014182110
Muhammad Fikri Fahri C014182133
Budi Sutiono C014182181

SUPERVISOR:

Dr. dr. Andi Alfian Zainuddin, MKM


dr. Fauziah Dachlan Saleh M.Kes

BAGIAN KEDOKTERAN KOMUNITAS DAN KEDOKTERAN PENCEGAHAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
FEBRUARI 2020
LAPORAN KASUS KEDOKTERAN KELUARGA: PENATALAKSANAAN
TUBERKULOSIS PARU KATEGORI 1

1* 1* 1* 1*
Alifah Syafiqah Z.I.Z , Zakiyyah Darajat , Ahmad Musyafiq Arif , Luh Krisna Dewi O ,
1*
Muhammad Fikri Fahri , Budi Sutiono1* Andi Alfian Zainuddin1*, Fauziah Dachlan Saleh2*
1) Bagian Kedokteran Keluarga dan Kedokteran Pencegahan
2) Pusekesmas Bara-Barayya, Makassar, Sulawesi Selatan
*Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, Indonesia

ABSTRAK
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis yang mana bersifat basil tahan asam (BTA). Penyakit
tuberkulosis ini menular melalui air droplets dan berkembang pesat terutama di daerah
kemiskinan. Indonesia, dengan kepadatan penduduk sebesar 136,9 per km2 dengan
jumlah penduduk miskin sebesar 10,12%, menjadi populasi rentan pengidap TB, dengan
total kasus baru TB tahun 2017 sebanyak 420.994. Studi deskriptif ini diperoleh melalui
anamnesis dan pemeriksaan fisik, kunjungan rumah, perlengkapan data keluarga, analisa
psikososial serta lingkungan, serta penilaian berdasarkan diagnosis holistik. Kasus ini
mendeskripsikan seorang pasien perempuan 27 tahun dengan TB Paru Kategori 1.
Berdasarkan hasil pengamatan penulis, didapatkan beberapa faktor yang mempengaruhi
penyakit pasien. Didapatkan faktor resiko internal yaitu gaya hidup yang buruk yaitu
pasien yang kurang seperti sering menunda makan, bekerja hingga larut malam, dan
mandi pada malam hari, serta kurangnya pengetahuan tentang penyakitnya. Faktor resiko
eksternal yaitu kondisi rumah yang kurang memadai ditandai dengan ventilasi dan
pencahayaan yang buruk serta kepadatan penduduk disekitar rumah menambah resiko
penyebaran yang mudah. Keluaraga merupakan suppport system yang utama yang
dimiliki tiap orang, oleh karenanya penulis akan mengkaji lebih dalam sudut pandang
kedokteran keluarga dan melihat secara holistik. Serta diharapkan hasil dari laporan ini
tidak hanya menyelesaikan masalah klinis pasien, tetapi juga mencari dan memberi solusi
atas hal-hal yang mempengaruhi kesehatan pasien dan keluarga.
Kata kunci : Tuberkulosis, Kedokteran keluarga, Diagnostik Holistik, Puskesmas Bara-Barayya
LATAR BELAKANG

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri


Mycobacterium tuberculosis yang mana bersifat basil tahan asam (BTA). Bakteri ini
mampu hidup selama berbulan-bulan di tempat yang sejuk dan gelap, terutama di tempat
yang lembab kuman ini dapat menimbulkan infeksi pada paru-paru sehingga disebut TB
paru. (Mertaniasih,2013)
Tuberculosis merupakan penyakit menular yang masih menjadi permasalahan di
dunia kesehatan hingga saat ini. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat
8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA
positif. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis di dunia ini, dan sepertiga
penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Jumlah terbesar kasus TB terjadi di
Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia. Di Afrika hampir 2 kali lebih
besar dari Asia tenggara (WHO, 2004).Sedangkan pada tahun 2018, diperkirakan
terdapat 10 juta kasus orang yang menderita dengan TB, 1,5 juta orang berakhir
kematian, yang mana dua pertiga dari kasus baru TB ditemukan, dan diantaranya
Indonesia menduduki peringkat ketiga tertinggi setelah India dan China (WHO, 2019).
Penyakit tuberkulosis ini menular melalui air droplets dan berkembang pesat
terutama di daerah kemiskinan. Indonesia, dengan kepadatan penduduk sebesar 136,9
per km2 dengan jumlah penduduk miskin sebesar 10,12%, menjadi populasi rentan
pengidap TB, dengan total kasus baru TB tahun 2017 sebanyak 420.994 (Infodatin, 2018).
Pada tahun 2015 Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan melaporkan bahwa
Makassar menduduki peringkat 1 dengan total kasus TB 3.639, dan diikuti oleh kabupaten
Gowa , kemudian kabupaten Wajo (Profil Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, 2015).
Oleh karena itu, TB masih menjadi masalah kesehatan yang diprioritaskan oleh
Dinas Kesehatan Kota Makassar. Kasus TB juga masih ditemukan di beberapa
puskesmas. Salah satunya puskesmas Bara-Barayya. Dalam upaya memutus rantai
infeksi TB, pengetahuan akan pola pengendalian penyakit merupakan hal penting untuk
diketahui. Analisa ini bertujuan untuk mengevaluasi kondisi pasien TB dalam sudut
pandang kedokteran keluarga untuk menentukan dan mengevaluasi strategi
pemberantasan TB ke depan.
DESKRIPSI KASUS

Studi ini merupakan laporan kasus. Data primer diperoleh melalui anamnesis
(autoanamnesis dan alloanamnesis dari anak pasien), pemeriksaan fisik dan kunjungan
ke rumah. Data sekunder didapat dari rekam medis pasien. Penilaian berdasarkan.
diagnosis holistic dari awal, proses, dan akhir studi secara kualitiatif dan kuantitatif.
Pasien atas nama Ny. I 27 tahun bertempat tinggal di Jl.Sejiwa Makassar saat ini
sedang menjalani terapi OAT Kategori I hari ke 58 (Fase Intensif) untuk penyakit
Tuberkulosis Paru Primer Kasus Baru yang dideritanya. Keluhan pasien saat ini batuk
berdahak sesekali, sesak saat beraktivitas, serta nyeri punggung atas dan sendi tungkai
bawah. Riwayat batuk berdahak masif ada yakni dari dua bulan yang lalu, riwayat
penurunan berat badan ada, riwayat demam ada. Pasien sekarang bekerja sebagai
wiraswasta (usaha optik pribadi di rumahnya). Riwayat pernah bekerja sebagai pegawai
bank (sales manager) selama 2 tahun terakhir tapi berhenti sejak terdiagnosis TB Paru.
Riwayat kontak dengan penderita TB tidak diketahui.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaaan umum: tampak sakit sedang; suhu:
36.7°C; tekanan darah: 110/70 mmHg; nadi: 92x/menit; nafas: 20 x/menit; berat badan: 35
kg; tinggi badan: 160 cm; IMT: 13.6 (gizi buruk). Mata : sklera tidak ikterik, konjugntiva
tidak pucat. Pembesaran kelenjar di leher tidak ada. Regio thoraks: cor dalam batas
normal, pada pulmo : Rhonki di bagian basal dan medial pulmo sinistra, Wheezing (-/-).
Regio abdomen juga dalam batas normal. Ekstremitas tidak didapatkan edema,
didapatkan muscle wasting. Status neurologis kesan dalam normal.
Pasien pertama kali mengalami keluhan penyakit TB sejak pertengahan Bulan
Desember Tahun 2019. Saat itu pasien merasakan demam, batuk produktif masif, sesak,
serta penurunan berat badan signifikan. Awalnya pasien berobat di Klinik Mangasa Gowa
dan mendapatkan terapi antibiotik serta terapi simptomatik selama 1 minggu namun
keadaannya tidak kunjung membaik. Oleh karena keadaan pasien semakin memburuk,
akhirnya ia dibawa ke RSI Faisal dan harus dirawat selama 2 minggu. Pasien
diperiksakan sputumnya dan foto x-ray thorax. Hasil kedua pemeriksaan penunjang ini
menunjukan pasien terdiagnosis TB Paru dengan BTA (+). Pasien pun mulai diberikan
terapi OAT Kategori I dan diarahkan untuk melanjutkan pengambilan obatnya di
Puskesmas Bara-Barayya.
Pasien saat ini tengah menjalani pengobatan OAT Kategori 1 hari ke 58, tepatnya
memasuki hari kedua fase intensif. Selama pengobatan, pasien mengatakan bahwa ia
mengonsumsi obat secara rutin dari hari pertama. Efek samping OAT yang dirasakan
hanya urin yang berwarna merah. Efek samping berupa gangguan pada hati, mata, kram-
kram,dan gatal tidak dirasakan oleh pasien. Keluhan lain yang baru pertama kali muncul
selama tahap pengobatan adalah pasien merasakan nyeri punggung atas yang
dipengaruhi oleh postur tubuh dan kadang juga dirasakan di kedua lutut dan tumitnya.
Bentuk keluarga pada pasien ini adalah keluarga extended. Adapun genogram
keluarga (Gambar 1)

Gambar 1. Genogram Keluarga .

Secara subjektif, fungsionalitas kelurga pasien dievaluasi menggunakan Family


APGAR. Dimana pasien mendapatkan dukungan penuh dalam aspek adaptasi, kemitraan,
pertumbuhan, kasih sayang dan kebersamaan dalam menangani penyakitnya. Maka
hasilnya adalah 8 dari total 10 yang mengindikasikan fungsi keluarga yang baik (highly
functional family). (Tabel 1)

No Pernyataan Sering/ Kadang- Jarang/


Selalu kadang Tidak
(2) (1) (0)
Saya puas bahwa saya dapat kembali kepada keluarga
1 √
saya, bila saya menghadapi masalah
Saya puas dengan cara2 keluarga saya membahas
2 √
serta membagi masalah dengan saya
Saya puas bahwa keluarga saya menerima dan
3 mendukung keinginan saya melaksanakan kegiatan dan √
ataupun arah hidup yang baru
Saya puas dengan cara2 keluarga saya
4 menyatakan rasa kasih sayang dan menanggapi √
emosi
Saya puas dengan cara2 keluarga saya membagi
5 √
waktu bersama
Tabel 1. Fungsionalitas keluarga berdasarkan Family APGAR

Pasien tinggal bersama ibu mertua, 2 orang saudara iparnya, suami, dan 4 orang
anak. Jarak dari rumah ke puskesmas kurang lebih 0,8 km. Rumah pasien berukuran 5
m x 10 m, dan terdiri dari 2 lantai. Lantai pertama rumah pasien beralaskan tegel keramik
yang secara berurutan dari depan ke belakang terdiri dari ruang depan sebagai ruang
tamu, ruang tengah merupakan ruang keluarga yang di sampingnya terdiri dari kamar
tidur, dan ruang belakang yang terdiri dari meja makan, dapur, dan kamar mandi. Lantai
kedua beralaskan kayu yang dilpisi oleh karpet, terdiri dari ruang tamu, ruang tengah
merupakan ruang keluarga yang disamping sisinya terdapat kamar tidur, dan kamar
mandi di bagian belakang.
Secara keseluruhan rumah ini terdiri dari 5 buah kamar tidur, 2 ruang tamu, 2 buah
ruang keluarga, 2 buah kamar mandi, dan dapur. Dinding rumah terbuat dari batu yang
sudah ter-cat, atap rumah langsung berhubungan dengan genteng. Pencahayaan sinar
matahari teraplikasikan melalui ventilasi dan jendela yang ada pada rumah tersebut,
namun pada sebagian sisi rumah tidak berfungsi secara optimal. Ventilasi dan jendela
pada lantai pertama hanya terdapat di bagian depan rumah, namun pencahayaan
terhalang oleh adanya atap yang menutupi seluruh bagian depan dari lantai pertama.
Ruang tengah dan ruang belakang tidak mendapatkan pencahayaan dari sinar matahari
langsung. Pada lantai kedua, ventilasi dan jendela terdapat pada sisi depan dan di dinding
samping rumah, sehingga pencahayaan tersebar secara merata pada seluruh sisi
ruangan. Barang-barang di dalam rumah cukup tertata dengan baik, namun dikarenakan
usaha dari keluarga pasien adalah jasa laundry sehingga cukup banyak pakaian yang
memenuhi ruang tengah dan ruang depan.
Rumah sudah menggunakan listrik. Sumber air berasal dari dua sumber yaitu sumur
bor dan PDAM. Sumber air dari sumur bor digunakan untuk sebagian besar dari aktivitas
keluarga seperti mandi, mencuci, dan memasak, sedangkan penggunaan sumber air dari
PDAM hanya sebagian kecil dikarenakan aliran airnya yang lambat dan kecil. Limbah
mengalir ke selokan yang tertutup oleh beton. Rumah pasien terletak di daerah lorong
yang padat dengan rumah dan penduduk. Rumah pada lorong tersebut saling
bersampingan tanpa celah dalam artian satu dinding untuk 2 rumah, termasuk rumah
pasien. Lingkungan Rumah berada di lingkungan yang cukup bersih, Terdapat selokan
yang memanjang di sisi-sisi jalanan dengan tertutup oleh beton.
Saat ini, pasien bekerja pada rumah toko di jalan Elang, Sungguminasa, Gowa.
Pasien kadang tinggal di ruko tersebut bersama suami dan empat anaknya. Rumah toko
yang berukuran 3 m x 4 m bertingkat, memiliki satu buah kamar tidur dan ruang keluarga
di lantai dua, serta ruang penjualan dan dapur di lantai satu. Pasien biasanya tidur di
kamar tidur di lantai dua. Lantai rumah toko seluruhnya dilapisi dengan tegel. Atap rumah
terbuat dari genteng yang telah dicat. Lantai rumah terlihat bersih dari debu. Penerangan
dan ventilasi yang cukup baik namun tidak semua ruangan dilengkapi jendela. Rumah
sudah menggunakan listrik. Rumah berada di lingkungan yang bersih. Sumber air berasal
dari sumur bor, digunakan untuk minum, mandi, dan mencuci. Limbah dialirkan ke saluran
pembuangan air, memiliki satu kamar mandi dan jamban yang terletak di dalam kamar
mandi dengan bentuk jamban jongkok, dan dapur yang bersih namun kurang luas.

Pasien tinggal bersama suami yang bukan merupakan seorang perokok. Namun,
orang tua pasien merupakan seorang perokok aktif sehingga kemungkinan besar pasien
dicurigai merupakan perokok pasif sejak kecil. Rokok tersebut menjadi faktor risiko besar
terhadap kerentanan pasien untuk terinfeksi penyakit Tuberkulosis.
Dalam upaya mengevaluasi status kesehatan pasien secara komprehensif,
digunakan konsep Mandala of Health. Adapun diagnostik holistik yang ditegakkan pada
pasien adalah sebagai berikut. Pada aspek 1, alasan kedatangan: Pasien telah demam
dan batuk sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit dan tidak kunjung sembuh.
Persepsi: Pasien sedang mendapatkan sakit demam dan batuk yang tidak biasa karena
dengan pengobatan yang biasa diberikan hasilnya tidak membaik. Harapan: Pasien
berharap agar batuk yang dirasakan dapat hilang sehingga dapat kembali beraktifitas
seperti semula. Pada aspek 2, berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan penunjang,
terdapat diagnosa klinis kasus baru TB paru BTA + (ICD 10 A15.0)
Aspek 3 pengetahuan yang kurang tentang gejala dan tanda penyakit TB paru.
Pengetahuan yang cukup tentang pencegahan penularan TB paru ke anggota keluarga
lainnya. Pengetahuan yang cukup tentang efektifitas terapi gizi terhadap perkembangan
perbaikan klinis TB paru. Pengetahuan yang cukup tentang pentingnya kepatuhan minum
obat untuk mencegah resistensi bakteri. Selain itu, gaya hidup pasien yang kurang seperti
sering menunda makan, bekerja hingga larut malam, dan mandi pada malam hari
sehingga menambah risiko kerentanan pasien untuk terkena infeksi.
Pada aspek 4, psikososial keluarga: keluarga kurang memahami tentang penyakit
pasien namun memberi dukungan yang baik serta bersedia menjadi pengawas minum
obat. Lingkungan tempat tinggal: keadaan rumah dengan ventilasi dan pencahayaan yang
kurang sesuai sehingga cahaya matahari kurang yang masuk ke dalam rumah serta
kepadatan penduduk disekitar rumah menambah resiko penyebaran yang mudah.
Lingkungan tempat kerja: pasien bekerja pada toko yang berukuran kecil dan dengan
ventilasi dan pencahayaan yang cukup baik. Sosial ekonomi: biaya hidup pasien
ditanggung oleh dirinya sendiri yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.Aspek
5 menunjukan pasien tidak terpengaruh buruk oleh kondisi penyakitnya (skala fungsional
derajat 1). (Gambar 2)

Penanganan terhadap pasien ini yaitu pengobatan OAT kategori 1. Pengobatan OAT
pasien sudah berada pada fase lanjutan OAT yaitu Rimfapisin dan Isoniazid yang
diminum setiap hari selasa, kamis, sabtu. Sedangkan untuk masalah psikososial, pasien
dan keluarga diberikan konseling tentang penyakit tuberkulosis serta komplikasinya, dan
perubahan pola hidup, serta penanganan kesehatan lingkungan tempat tinggal maupun
tempat kerja. Serta pada saat ini belum dilakukan pemeriksaan kontak serumah karena
argumen dari keluarga pasien menyatakan bahwa tidak adanya keluhan batuk atau
keluhan serupa yang terjadi di antara keluarga yg tinggal serumah dengan pasien

Gambar 2. Mandala of Health


DISKUSI

Kunjungan dilakukan pada tanggal 4 Maret 2020 untuk pendekatan dan perkenalan
terhadap pasien serta menerangkan maksud dan tujuan kedatangan, diikuti dengan
anamnesis tentang keluarga dan perihal penyakit yang telah diderita. Berdasarkan hasil
kunjungan, didapatkan masalah kesehatan yaitu seorang pasien Perempuan berusia 27
tahun yang di diagnosis klinis dengan Tuberkulosis Paru Kategori 1 ditegakkan
berdasarkan anamnesis yang didapatkan mengeluh batuk berdahak sesekali, sesak saat
beraktivitas, serta nyeri punggung atas dan sendi tungkai bawah. Riwayat demam ada,
riwayat batuk berdahak masif ada yakni dari dua bulan yang lalu, riwayat penurunan berat
badan ada.Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis Gejala klinik tuberkulosis yaitu batuk ≥ 3 minggu, batuk darah, sesak napas,
nyeri dada, gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun, Diagnosis tuberkulosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang lainnya
( Mansjoer, et all. 2001)
Hasil kunjungan kami juga menunjukkan bahwa pasien memiliki pengetahuan yang
cukup tentang penyakit yang ia derita, yang terlihat oleh pola berobat pasien yang bersifat
rutin control berobat . Selain itu terlihat dari pola makan yang sesuai dengan anjuran
dokter yang mana pasien dulu jarang konsumsi makan buah dan sayuran. Perilaku
olahraga juga cukup dilakukan setelah penderita di diagnosis penyakit
tuberculosis.Terdapat fasilitas pelayanan kesehatan yang terjangkau dalam segi lokasi
dan biaya.
Penularan TB sangat dipengaruhi oleh masalah lingkungan, perilaku sehat
penduduk, ketersediaan sarana pelayanan kesehatan. Masalah lingkungan yang terkait
seperti masalah kesehatan yang berhubungan dengan perumahan, kepadatan anggota
keluarga, kepadatan penduduk, konsentrasi kuman, ketersediaan cahaya matahari,
.Sedangkan masalah perilaku sehat antara lain akibat dari meludah sembarangan, batuk
sembarangan, kedekatan anggota keluarga, gizi yang kurang atau tidak seimbang,
(Depkes,2005).

Penatalaksanaan pada pasien ini dimulai dengan pengobatan pengendalian OAT.


Tujuan pengobatan TB antara lain : Menyembuhkan, mengembalikan kualitas hidup dan
produktivitas pasien, Mencegah kematian akibat TB aktif atau efek lanjutan, Mencegah
kekambuhan TB, Mengurangi penularan TB kepada orang lain, Mencegah terjadinya
resistensi obat dan penularannya (Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis
di Indonesia. 2011).
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2 bulan) dan fase
lanjutan 4 bulan. Tahap Intensif: mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara
langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila diberikan dengan tepat maka
pasien menular menjadi tidak menular dalam waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB
BTA positif menjadi BTA negatif dalam 2 bulan. (Bahar A, et Al . 2009). Hal itu terbukti
yang dimana pada pasiennya yang awalnya diperiksa BTA positif pada bulan Desember
2019 lalu diperiksa Maret 2020 menjadi BTA negative. Tahap lanjutan: tahap yang sangat
penting untuk membunuh kuman persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
(Bahar A, et Al . 2009). Yang dimana pada saat ini pasien dalam masa Fase lanjutan
dengan mengkonsumsi obat setiap hari (selasa, Kamis, Minggu)
Pada hasil pengamatan pasien termasuk Kategori 1 dengan pasien kasus baru TB
Paru BTA positif yang dimana Kategori 1 (2RHZE/4R3H3), diberikan untuk: Pasien kasus
baru TB paru BTA positif, Pasien kasus baru TB paru BTA negatif foto toraks positif,
Pasien TB ekstra paru (Kementerian Kesehatan RI. 2015).
Berdasarkan pengamatan didapatkan baik pasien maupun keluarga masih memiliki
pengetahuan yang kurang tentang penyakit Tuberkulosis, yang mana Pengetahuan dan
pemahaman seseorang tentang penyakit tuberkulosis dan pencegahan penularannya
memegang peranan penting dalam keberhasilan upaya pencegahan penularan penyakit
tuberkulosis. Oleh karena itu Menginformasikan kepada pasien dan keluarga tentang apa
itu penyakit tuberculosis dan menginformasikan etika batuk yang baik dan anjuran
memakai masker, serta rajin untuk terpapar oleh matahari pagi, menginformasikan
kepada pasien agar disiplin minum obat (tepat waktu), memberikan pasien semangat
untuk rajin kontrol ke puskesmas khususnya dalam pengambilan OAT, menginformasikan
kepada pasien tentang pola makan yang baik yaitu makan sering porsi kecil. (Pedoman
Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. 2011).
KESIMPULAN

Diagnosis Tuberkulosis Paru Fase lanjutan Kategori 1 pada pasien perempuan


dalam kasus ini didapatkan melalu anamnesis yang berupa keluhan batuk berdahak
sesekali, sesak saat beraktivitas, serta nyeri punggung atas dan sendi tungkai bawah.
Riwayat demam ada, riwayat batuk berdahak masif ada yakni dari dua bulan yang lalu,
riwayat penurunan berat badan ada. Penatalaksanaan dalam kasus Tuberkulosis Paru
Fase lanjutan Kategori 1 diperlukan pendekatan berorientasi pasien dan keluarga. Pada
pasien, diberikan obat antituberkulosis dan edukasi mengenai pola makan dan pola
olahraga yang baik, serta pentingnya minum obat dan kontrol rutin. Keluarga merupakan
support system yang utama bagi pasien dalam mempertahankan kesehatannya.
Ketersediaan keluarga terutama penting untuk memberikan dukungan dalam
meningkatkan kemauan pasien penderita Tuberkulosis untuk rutin memeriksakan dan
patuh berobat untuk menunjang pengobatan yang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA

Bahar A, Amin Z. 2009. Tuberkulosis Paru. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta: Balai
penerbit FKUI.
Depkes, RI., 2005, Pharmaceutical Care untuk Penyakit Tuberkulosis, Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Departemen Kesehatan, Jakarta.
Dinas kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, 2015. Profil kesehatan provinsi Sulawesi.
Infodatin, 2018, Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Pusat Data dan
Informasi, Jakarta Selatan.
Kementerian Kesehatan RI. 2015. Petunjuk teknis pelayanan tuberkulosis bagi peserta
jaminan kesehatan nasional.
Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardani WI, Setiowulan W. 2001. Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi III. Jakarta : Media Aesculapius FKUI
Mertaniasih, N M 2013, Buku Ajar Tuberkulosis Diagnostik Mikrobiologis.Airlangga
University Press. Surabaya, Jawa Timur.
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. 2011 Perhimpunan
dokter paru Indonesia.
WHO ,2004. Global tuberculosis report 2004. World Health Organization, Geneva.
WHO ,2019. Global tuberculosis report 2019. World Health Organization, Geneva.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai