Anda di halaman 1dari 37

MAKALAH

“KEBUDAYAAN, KESENIAN DAN ESTETIKA”

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Menggambar di SD

DOSEN PENGAMPU: Dra. Hj.Ike Hananik, M.Pd

OLEH:

KELOMPOK 02

KELAS 4C PGSD

RIZQAN AKMAL 1810125210059


M. SYARIF AKBAR ARRIDHO 1810125210049
RIFTA KHAIRUNNISA 1810125220043
EKA RUSIANTI 1810125320003

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

BANJARMASIN

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-NYA sehingga kami diberi
kesempatan untuk dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Model
Pembelajaran Tematik”. Dalam penyusunan makalah ini kami tidak lepas
dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada
kesempatan ini kami akan menyampaikan terimakasih kepada Dra.Hj. Ike
Hananik, M.Pdselaku dosen pengampu mata kuliah Menggambar di SD ,
dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Kami sadar bahwa sebagai manusia tentu mempunyai kesalahan


dan kekhilafan. Oleh karena itu kami selaku penyusun makalah ini mohon
maaf apabila dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak kesalahan.
Oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi kami khusus dan umumnya bagi para
pembaca.

Banjarmasin, 05 Februari 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
A. LATAR BELAKANG..................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH..............................................................................2
C. TUJUAN PENULISAN................................................................................2
D. MANFAAT PENULISAN............................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3
A. KEBUDAYAAN..........................................................................................3
1. Pengertian Budaya dan Kebudayaan.........................................................3
2. Teori Kebudayaan.....................................................................................4
3. Wujud dan Nilai Kebudayaan...................................................................7
4. Tahap-tahap Kebudayaan..........................................................................9
5. Manusia Sebagai Makhluk Berbudaya....................................................11
6. Kebudayaan dan Kesenian......................................................................11
7. Manusia, Kesenian dan Kebudayaan.......................................................12
8. Proses Pembudayaan Budaya..................................................................12
B. KESENIAN.................................................................................................14
1. Pengertian seni........................................................................................14
2. Fungsi seni...............................................................................................16
3. Prinsip seni..............................................................................................17
C. ESTETIKA DAN SENI..............................................................................19
1. Pengertian Estetika/Keindahan................................................................19
2. Nilai Estetika...........................................................................................20
3. Makna Keindahan....................................................................................22
4. Hubungan Seni dan Keindahan...............................................................25

iii
5. Manusia dan Keindahan..........................................................................26
6. Pandangan dalam Estetika.......................................................................29
BAB III PENUTUP...............................................................................................32
A. KESIMPULAN...........................................................................................32
B. SARAN.......................................................................................................32
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................33

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sebagai warga Negara Indonesia tentulah kita menyadari bahwa
kita tinggal di Negara yang sangatlah kaya dan memiliki berbagai macam
keberagaman yaitu mulai dari keberagaman kebudayaan, kesenian dan
yang lainnya. Dan tentunya hidup di Negara yang memiliki banyak
keberagaman ini tidaklah bisa terlepas dari nama nya kebudayaan,
kesenian, dan estetika tersebut.Tetapi terkadang kita tidak mengetahui dan
memahami apa perbedaan antara kebudayaan, kesenian dan estetika itu.
Selain itu juga kita tidak menyadari apa hubungan antara manusia,
kebudayaan, kesenian, dan estetika tersebut.

Menurut Koentjoroningrat mengatakan bahwa kebudayaan itu


adalah keseluruhan kelakuan dan hasil kelakuan manusia yang diatur oleh
tata kelakuan yang harus didapatkannya dengan belajar, dan semuanya
tersusun dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan Seni adalah segala
sesuatu yang memiliki nilai keindahan, kehalusan, serta permai. Seni juga
diartikan sebagai kemampuan untuk menciptakan suatu yang sungguh-
sungguh bagus atau luar biasa (Badudu, 1994: 1280). Dan estetika menurut
Aristoteles yaitu merumuskan keindahan sebagai sesuatu yang baik dan
juga menyenangkan.

Tetapi rasanya sangatlah sulit untuk dipahami karena pendapat


tersebut masihlah sangat umum oleh karena itulah untuk lebih jelasnya
kami tulislah makalah ini yang berjudul kebudayaan, kesenian, dan
estetika agar kita dapat memberikan kita kemudahan untuk mengetahui
dan memahami bagaimana kebudayaan, kesenian, dan estetika tersebut,
apa perbedaannya, dan apa hubungannya.

1
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana konsep kebudayaan berdasarkan teori, wujud,tahap-tahap
kebudayaan, manusia sebagai makhluk budaya, keterkaitan
kebudayaan dengan kesenian dan proses pembudayaan budaya itu
sendiri?
2. Bagaimana konsep kesenian dalam ruang lingkup fungsi dan prinsip
seni?
3. Bagaimana konsep estetika berdasarkan nilai, makna keindahan,
hubungan seni dan estetika, estetika dengan manusia dan pandangan
estetika tersebut?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk memudahkan mempelajari lebih dalam terkait konsep
kebudayaan berdasarkan teori, wujud,tahap-tahap kebudayaan,
manusia sebagai makhluk budaya, keterkaitan kebudayaan dengan
kesenian dan proses pembudayaan budaya.
2. Untuk menjelaskan konsep kesenian dalam ruang lingkup fungsi dan
prinsip seni.
3. Untuk menjelaskan konsep estetika berdasarkan nilai, makna
keindahan, hubungan seni dan estetika, estetika dengan manusia dan
pandangan estetika.

D. MANFAAT PENULISAN
Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah untuk
mengetahui dan memahami perbedaan antara kebudayaan, kesenian, dan
estetika. Kemudian selain dari itu juga untuk dapat mengetahui dan
memahami bagaimana hubungan kebudayaan, kesenian, estetika dalam
kehidupan ini.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. KEBUDAYAAN

1. Pengertian Budaya dan Kebudayaan


Raymond Williams menyatakan bahwa kebudayaan (culture)
merupakan suatu pemikiran gagasan terkait keunikan adat istiadat
masyarakat yang menjadi multidimensi dengan adanya pendapat
tentang makna perbedaan dan keunikan untuk memahami manusia.
Kebudayaan merupakan suatu konsep yang sangat beraneka ragam
pada abad ke 19 yang digunakan pada seni rupa, sastra, filsafat, ilmu
alam, dan musik. Jadi, kebudayaan adalah semua pengetahuan
manusia sebagai makhluk sosial dalam memahami dan
menginterpretasikan pengalaman dan lingkungan yang menjadi
kerangka dasar menciptakan dan mendorong terwujudnya perilaku.
Dalam KUBI dijelaskan istilah budaya dapat diartikan sebagai
1) pikiran, akal budi, 2) berbudaya mempunyai budaya, mempunyai
pikiran dan akal budi untuk memajukan diri sendiri. Sedangkan istilah
kebudayaan diartikan 1) segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia
sebagai hasil pemikiran akal dan budinya; 2) peradaban sebagai hasil
akal budi manusia; 3) ilmu pengetahuan manusia sebagai makhluk
sosial yang dimanfaatkan untuk kehidupannya dan memberi manfaat
kepadanya (Badudu-Zain, 1994: 211).
Koentjoroningrat (1981: 181) juga menjelaskan bahwa kata
”kebudayaan” berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah, yaitu bentuk
jamak dari ’buddhi' yang berarti budi atau akal. Dengan demikian, kata
’kebudayaan’ dapat diartikan sebagai ’hal-hal yang bersangkutan
dengan akal’. Ada pula sarjana yang mengupas kata ’budaya’ sebagai
perkembangan dari kata majemuk 'budidaya’, yang berarti daya dari
budi, Karena itu, mereka membedakan pengertian ’budaya’ dengan
’kebudayaan’. Budaya adalah 'daya dari budi’ yang berupa cipta, karsa,
dan rasa, sedangkan ’kebudayaan’ adalah hasil dari cipta, karsa dan
rasa itu (Koentjoroningrat, 1981 : 181).

Secara antropologis setiap kebudayaan atau sistem sosial


adalah baik bagi masyarakatnya, selama kebudayaan atau sistem
tertentu dapat menunjang kelangsungan hidup masyarakat yang
bersangkutan. Kanenanya sistem masyara kat yang satu dengan yang
lainnya tidak dapat dipertanyakan rnanakah yang lebih baik.

3
Kebudayaan merupakan penjelmaan manusia dalam menghadapi
dimensi waktu, peluang, kesinambungan dan perubahan yakni sejarah
(Sujatmoko, 1983:20). Dengan demikian, dalam kondisi sosial budaya
yang berbeda maka akan berlainan pula bentuk manifestasinya. Meski
begitu, hakekat yang melandasi sistem sosial budaya tetap sama dalam
berbagai bentuk manifestasi tersebut. Karena kebudayaan itu sendiri
merupakan perwujudan dari budi, yang berupa cipta, karsa dan rasa.
Cipta adalah kerinduan manusia untuk mengetahui rahasia segala hal
yang ada dalam pengalamannya, yang meliputi pengalaman lahir dan
batin. Hasil cipta tersebut berupa berbagai ilmu pengetahuan. Karsa
mempakan kerinduan manusia untuk menginsyafi tentang 'sangkan
paran’ dari mana manusia itu sebelum lahir (sangkan), dan ke mana
manusia sesudah mati (paran). Rasa adalah kerinduan manusiaakan
keindahan, sehjngga menimbulkan dorongan untuk menikmati
keindahan. Manusia merindukan ‘keindahan dan menolak
keburukan/kejelekan. Buah perkembangan rasa ini terjelma dalam
bentuk berbagai norma kgindahan yang kemudian menghasilkan
berbagai macam kesenian (Djojodiguno, 1958).

2. Teori Kebudayaan
Ada dua sarjana antropologi yaitu: A.L, Kroeber dan C.
Kluchohn yang pernah mengumpulkan sebanyak mungkin definisi
tentang faham kebudayaan yang termaktub dalam banyak buku dan
yang berasal dari banyak pengarang dan sarjana. Terbukti ada 160
macam definisi tentang kebudayaan yang kemudian dianalisis dicari
inti nya dan klasifikasikan dalam berbagai golongan, dan kemudian
hasil penyelidikan itu diterbitkan dalam suatu kitab bernama: “Culture
A Critical Review of Concept and Devinitions” (1952).

Adapun ahli antropologi yang memberikan definisi tentang


kebudayaan secara sistematis dan ilmiah adalah E.B. Tylor dalam
buku yang berjudul “Primitive Culture”, bahwa kebudayaan adalah
keseluruhan kompleks, yang di dalamnya terkandung ilmu
pengetahuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat manusia sebagai
anggota masyarakat.

4
R. Linton dalam buku “The Cultural background of
personality”, menyatakan bahwa kebudayaan adalah konfigurasi dari
tingkah laku dan hasil laku, yang unsur-unsur pembentukannya
didukung serta diteruskan oleh anggota masyarakat tertentu.

C. Klukhohn dan W.H. Kelly mencoba merumuskan definisi


tentang kebudayaan sebagai hasil tanya jawab dengan para ahli
antropologi, sejarah; hukum, psychologi yang implisit, explisit, yang
rasional, irasional terdapat pada setiap waktu sebagai pedoman yang
potensial bagi tingkah laku manusia.

Meville J. Herskovits, seorang ahli antropologi Amerika


mendefinisikan kebuyaan adalah “Man made part of the environment”
(bagian dari lingkungan buatan manusia).Dawson dalam buku “Age of
the Gods2, mengatakan bahwa kebudayaan adalah cara hidup bersama
(Culture is common way of life).

J.P.H. Dryvendak menyatakan bahwa kebudayaan adalah


kumpulan dari cetusan jiwa manusia sebagai yang beraneka ragam
berlaku dalam suatu masyarakat tertentu.

Ralph Linton (1893-1953) seorang antropolog Amerika


memberikan definisi kebudayaan adalah “Man’s social heredity” (sifat
sosial manusia yang temurun). Di samping definisi-definisi di atas,
masih ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para pakar
Indonesia seperti:

Prof. Dr. Koentjaraningrat mengatakan kebudayaan adalah


keseluruhan manusia dari kelakuan dan hasil kelakuan yang teratur
oleh tatakelakuan yang harus didapatnya dengan belajar dan yang
semuanya tersusun dalam kehidupan masyarakat.Sultan Takdir
Alisyahbana mengatakan kebudayaan adalah manifiestasi dari cara
berfikir.Dr. Moh. Hatta, Kebudayaan adalah ciptaan hidup dari suatu
bangsa

5
Definisi-definisi di atas kelihatannya berbeda-beda, namun
semuanya berprinsip sama, yaitu mengakui adanya ciptaan manusia,
meliputi perilaku dan hasil kelakuan manusia, yang semuanya
tersusun dalam kehidupan masyarakat.Kebudayaan adalah
keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia untuk
memnuhi kehidupannya denagn cara belajar, yang semuanya tersusun
dalam kehidupan masyarakat. Untuk lebih jelas, dapat dirinci sebagai
berikut:

1. Bahwa kebudayaan adalah segala sesuatu yang dilakukan dan


dihasilkan manusia
2. Bahwa kebudayaan itu tidak diwariskan secara generatif
(biologis), melainkan hanya mungkin diperoleh dengan cara
belajar.
3. Bahwa kebudayaan itu diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat.
4. Jadi kebudayaan itu adalah kebudayaan manusia. Dan hampir
semua tindakan manusia adalah kebudayaan, karena yang tidak
perlu dibiasakan dengan cara belajar, misalnya tindakan atas
dasar naluri (instink), gerak reflek. Sehubungan dengan itu kita
perlu mengetahui perbedaan tingkah laku manusia dengan
makhluk lainnya, khususnya hewan.

Ada 7 pokok perbedaan itu ialah:sebagian besar kelakuan


manusia dikuasai oleh akalnya sedangkan hewan oleh nalurinya;
sebagian besar kehidupan manusia dapat berlangsung dengan
peralatan sebagai hasil kerja akalnya; sebagian besar kelakukan
manusia di dapat dan dibiasakan melalui proses belajar, sedangkan
pada hewan melalui prosess nalurinya; manusia mempunyai bahasa,
baik lisan (lambang vokal) maupun tertulis; pengetahuan manusia itu
bersifat akumulatif (terus bertambah); sistem pembagian kerja dalam
masyarakat manusia jauh lebih kompleks daripada masyarakat hewan

6
dan masyarakat manusia sangat beraneka ragam, sedangkan pada
hewan tetap saja.

3. Wujud dan Nilai Kebudayaan


Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan
hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya. Adapun proses
pelestariannya ditransmisikan dengan cara belajar dari apa yang telah
tersusun dalam kehidupan di masyarakat. Sedangkan, wujud
kebudayaan menurut JJ. Honigmann dapat dibedakan berdasarkan
gejalanya, yaitu ideas, activities,dan artifact. Ideas artinya adalah ide-
ide atau gagasan; activities artinya kebudayaan yang diwujudkan
dalam bentuk aktivitas; artifact adalah hasil kebudayaan yang berupa
benda-benda maupun bangunan, seperti: keris, candi, monumen,
gedung, dan lain-lain.
Hal tersebut tidak berbeda jauh dengan apa yang disampaikan
oleh Koentjoroningrat bahwa wujud kebudayaan ada tiga macam:
pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide,
gagasan nilai-njlai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; kedua,
wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan
berpola dari manusia dalam masyarakat; ketiga, wujud kebudayaan
sebagai benda-benda hasil karya manusia. Lebih lanjut
Koentjoroningrat (1981 :186-205) menjelaskan bahwa semua bentuk
kebudayaan yang ada di dunia ini memiliki kesamaan unsur yang
bersifat universal. la juga menyebutkan ada tujuh unsur-unsur
kebudayaan yang bersifat universal, yaitu: 1) sistem religi dan upacara
keagamaan; 2) sistem organisasi kemasyarakatan; 3) sistem
pengetahuan; 4) bahasa; 5) kesenian; 6) sistem mata pencaharian
hidup; 7) sistem teknologi dan peralatan.

Keterangan di atas menandakan bahwa kebudayaan manusia


itu hanya dapat diperoleh dalam anggota masyarakat, yang dalam
pewarisannya hanya dapat diperoleh melalui cara belajar. Adapun
wujud kebudayaan dapat bersifat material (jasmaniah) dan non-
material (rohaniah). Kesimpulan ini sekaligus memperlihatkan adanya
perbedaan pokok antara diri manusia dengan hewan, yang antara lain
disebutkan: 1) kelakuan manusia diakui oleh akalnya sedangkan pada
hewan oleh nalurinya; 2) sebagian besar kehidupan manusia dapat
berlangsung dengan bantuan peralatan sebagai hasil kerja akalnya
sedangkan hewan pada fisiknya; 3) perilaku manusia didapat dan
dibiasakan melalui proses belajar, sedangkan pada hewan melalui

7
proses nalurinya; 4) manusia memiliki alat komunikasi berupa bahasa
sedangkan hewan tidak; 5) pengetahuan manusia bersifat akumulatif
karena masyarakatnya yang berkembang dan telah mempunyai sistem
pembagian kerja; 6) sistem pembagian kerja manusia jauh lebih
kompleks daripada hewan; 7) masyarakat manusia sangat ber-‘ aneka
ragam, sedangkan pada hewan bersifat tetap (Widagdho, 1991: 22-
23).

Sistem budaya yang tumbuh dan berkembang di masyarakat


manusia tidak lepas dari nilai-nilai yang telah dibangunnya sendiri.
Berbagai bentuk nilai-nilai budaya tersebut sangat berpengaruh bagi
kehidupan masyarakatnya. Karena nilai-nilai budaya itu menapakan
konsep-konsep yang hidup di dalam alam pikiran sebagaian besar dari
warga suatu masyarakat mengenai apa yang mereka anggap bernilai,
berharga dan penting dalam hidup, sehingga dapat berfungsi sebagai
suatu pedoman yang memberi arah dan orientasi kepada kehidupan
para warga masyarakatnya. Nilai-nilai tersebut ada yang berpengaruh
langsung, dan ada pula yang berpengaruh tidak langsung terhadap
kehidupan manusia. Menurut Kluckhohn dalam Koentjoroningrat
(1981: 191-193) dijelaskan, bahwa semua sistem nilai budaya dalam
semua kebudayaan di dunia sebenarnya mengenal adanya lima
masalah pokok kehidupan. Kelima masalah pokok itu adalah: Masalah
hakekat dari hidup manusia (Makna Hidup/MH), masalah hakekat dari
karya manusia (Makna atau Fungsi kerja/MK), masalah hakekat dan
kedudukan manusia dalam ruang dan waktu (Makna Ruang-Waktu/
MW), dun masalah hakekat manusia hubungannya dengan alam
sekitar (Makna Alum/MA), masalah hakekat manusia hubungannya
dengan sesama manusia (Makna Manusia dengan Manusia IMM).

Suatu sistem nilai budaya sering juga berupa ’pandangan


hidup’ (world view) bagi manusia yang menganutnya. Istilah
‘pandangan hidup' ini sebaiknya dibedakan dengan sistem nilai
budaya. Pandangan hidup biasanya mengandung sebagian dari nilai-
nilai yang dianut oleh para individu dan golongan-golongan dalam
masyarakat. Sedangkan, ‘sistem nilai' adalah pedoman hidup yang
dianut oleh sebagian besar warga masyarakat (Koentjoroningrat, 1981:
193).

Di samping lima unsur nilai-nilai budaya di atas, menurut


Koentjoroningrat untuk meneliti orientasi nilai budaya di Indonesia
perlu diperhatikan pula teori Kahl tentang nilai-nilai budaya modem.

8
Karena sebagian besar masyarakat Indonesia telah memasuki tahap
perkembangan yang disebut post traditional society, artinya nilai-nilai
budaya lama sudah mulai ditinggalkan tetapi belum ada nilai-nilai
budaya baru yang mampu memberikan jalan keluar. Kondisi inilah
yang sering kali dinamakan bahwa budaya Indonesia dalam posisi
kawah candradimuka, artinya dalam proses penempaan menuju cita-
cita kebudayaan nasional.

Uraian tentang wujud dan nilai budaya di atas mempertegas


pengetahuan kita bahwa manusia adalah pencipta kebudayaan di muka
bumi. Dengan berbekal akal dan budi manusia menciptakan
kebudayaan yang diwujudkan baik secara material maupun inmaterial.
Wujud kebudayaan yang bersifat material dapat berupa: bangunan,
benda-benda hasil kerajinan maupun barang hasil teknologi.
Sedangkan yang bersifat inmaterial dapat berupa aktivitas (ritual,
perilaku masyarakat, tradisi seni) dan ide-ide atau gagasan (pandangan
hidup, keyakinan masyarakat, ideologi, paham, dan seterusnya). Hal
ini jadi bukti adanya keistimewaan manusia sebagai makhluk di muka
bumi dibanding dengan makhluk-makhluk lain. Namun demikian,
keistimewaan yang ada bisa jadi menjadi bomerang bagi manusia
apabila tidak menyadari bahwa keistimewaannya sebatas titipan atau
amanah dari Allah untuk mengelola alam ini dengan baik dan benar,
serta tidak berlebihan.

4. Tahap-tahap Kebudayaan
Menurut Van Peursen (1976218), perkembangan kebudayaan
dapat dibagi atas tiga tahap: pertama tahap mistis, kedua tahap
ontologis, dan ketiga tahap fungsional. Yang dimaksud tahap mistis
adalah tahap di mana manusia merasakan dirinya terkepung oleh
kekuatan-kekuatan gaib di sekitamya, yaitu kekuasaan dewa-dewa
alam raya atau kekuasaan kesuburan, seperti yang dipentaskan dalam
mitologi-mitologi kebudayaan primitif (kepercayaan terhadap ”Nyai
Roro Kidul" penguasa laut Selatan). Kecenderungan bersifat mistis
seperti ini masih sering dijumpai di daerah-daerah yang tingkat
modemisitasnya rendah. Tahap kedua disebut tahap ontologis ialah
sikap manusia yang tidak lagi hidup dalam kepungan kekuasaan
mistis, tetapi secara bebas ingin meneliti segala hal ikhwal. Manusia
mengambil jarak terhadap segala sesuatu yang pada masa lalu dunia
mistis merupakan kepungan bagi dirinya. Manusia pada tahap ini
mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar segala sesuatu
(ontologi). Tahap seperti ini berkembang pada daerah-daerah

9
berkebudayaan kuno yang dipengaruhi oleh filsafat dan ilmu,
misalnya zaman Yunani Kuno.

Tahap ketiga adalah tahap fungsional, yaitu sikap yang


menandai adanya kehidupan manusia modem. Manusia pada tahap ini
tidak lagi terpesona dengan lingkungannya dan kepungan kehidupan
mistis, juga tidak lagi dengan kepala dingin mengambil jarak terhadap
objek yang menjadi objek penyelidikannya (seperti sikap ontologis).
Manusia pada tahap ini berusaha mengadakan relasi-relasi baru
dengan alam serta lingkungannya. Manusia mulai melakukan
penyelidikan terhadap alam dan lingkungannya untuk dimanfaatkan
berdasarkan fungsinya. Ketiga tahapan di atas di samping memiliki
hal-hal yang bersifat positif juga memiliki segi-segi yang bersifat
negatif apabila memiliki tekanan yang berlebihan. Pada tahap mistis,
ada usaha untuk menguasai orang lain atau proses alam dengan ilmu
sihir. Dalam tahap ontologis akan menciptakan budaya yang
substansial, yaitu menjadikan manusia dan nilai-nilainya menjadi
semacam benda, barang-barang atau substansi-substansi yang terpecah
lepas dari satu dengan yang lainnya. Sedangkan pada tahap fungsional
akan terjadi kecenderungan yang sifatnya operasionalisme, budaya
yang saling memperlakukan manusia sebagai buah-buah catur, nomor-
nomor dalam seberkas kartu-kartu arsip. Dalam kebudayaan seperti itu
ada kecenderungan menjadikan manusia sebagai sekrup dalam sebuah
birokrasi raksasa, sebuah slogan pada spanduk, seeker burung hantu
yang tersilau lampu-lampu iklan malam hari, dan sebagainya (Dyson,
1997: 30).

Dalam ilmu budaya juga dikenal istilah cultural lag, yaitu


penggambaran keadaan masyarakat yang dengan mudah menyerap
budaya yang bersifat material, tetapi belum mampu untuk
mengadaptasi budaya yang bersifat non-material. Sedangkan, bentuk
perubahan kebudayaan itu sendiri dapat bermacam-macam, yaitu ada
yang bersifat evolusi. revolusi, inovasi, dan difusi. Evolusi adalah
suatu perubahan kebudayaan yang terjadinya secara lambat namun
arah perubahannya akan mencapai bentuk yang lebih sempuma,
misalnya tata cara berpakaian, bentuk bangunan tempat tinggal, dan
seterusnya; revolusi adalah proses perubahan kebudayaan yang terjadi
secara cepat, sehingga akibat dari perubahan itu segera terlihat dan
dirasakan oleh masyarakat, misalnya ada revolusi industri, revolusi
politik, dan seterusnya. Adapun perubahan kebudayaan yang terjadi
disebabkan oleh berbagai faktor yang berasal dari dalam masyarakat

10
itu sendiri disebut inovasi, misalnya pemanfaatan lahan pertanian agar
lebih optimal hasilnya dengan model tumpang sari. Sedangkan, difusi
adalah perubahan budaya yang disebabkan oleh faktor-faktor dari luar
masyarakatnya, yakni seperti masuknya unsur-unsur budaya asing
(Frazer, 1944: 211-216).

5. Manusia Sebagai Makhluk Berbudaya


Dua kekayaan manusia yang paling utama ialah akal dan budi
atau yang lazim disebut pikiran dan perasaan.Di satu sisi akal dan budi
atau pikiran dan perasaan tersebut telah memungkinkan munculnya
tuntutan-tuntutan hidup manusia yang lebih daripada tuntutan hidup
makhluk lain. Dari sifat tuntutan itu ada yang berupa tuntutan jasmani
dan ada pula tuntutan rohani. Di sisi lain akal dan budi memungkinkan
munculnya karya-karya manusia yang sampai kapan pun tidak pernah
dapat dihasilkan oleh makhluk lain. Cipta, karsa, dan rasa pada
manusia sebagai buah akal budinya terus melaju tanpa hentinya
berusaha menciptakan benda-benda baru untuk memenuhi hajat
hidupnya; baik yang bersifat jasmani maupun rohani. Dari proses ini
maka lahirlah apa yang disebut kebudayaan. Jadi kebudayaan
hakikatnya tidak lain adalah segala sesuatu yang dihasilkan oleh akal
budi manusia.

6. Kebudayaan dan Kesenian


Kesenian dipandang sebagai unsur dalam suatu kebudayaan
atau subsistemnya. Dengan kata lain, kesenian sebagai pedoman hidup
bagi masyarakat pendukungnya (seniman) dan melakukan kegiatan
berkarya seni dalam kehidupan sehari-hari. Pedoman ini berisi model
kognisi atau pengetahuan, sistem simbolik maupun pemberian makna
hubungan secara menyeluruh dalam simbol ditransmisikan melalui
pendidikan formal atau non formal dalam suatu kelompok historis.
Lalu digunakan secara selektif di masyarakat untuk berkomunikasi,
melestarikan, menghubungkan pengetahuan, dan bersikap atau
bertindak dalam memenuhi kebutuhan integratif saling terkait
pengungkapan atau penghayatan estetika. Melalui pendekatan
kebudayaan, perilaku kesenian sebagai salah satu cara memenuhi
kebutuhan integrative yang mencerminkan manusia sebagai makhluk
pemikir yang bermoral dan bercita rasa dalam integrase kebutuhan

11
sistem yang benar menurut moral, dipahami akal pikiran dan diterima
oleh cita rasa. Ekspresi estetika itu sendiri sebagai kebutuhan
integratif juga karena motivasi pada diri manusia dalam merefleksikan
keberadaanya sebagai makhluk bermoral, berakal dan berperasaan.
Dalam konsep kesenian beriringan dengan kebudayaan bahwa
perilaku mencipta suatu karya seni dilakukan seniman yang
termotivasi oleh kebutuhan integratif. Pada kehidupan masyarakat,
kesenian dibedakan berdasarkan media seperti alat pembeda seni suara
maupun musik, seni gerak atau tari, seni pentas atau drama dan seni
rupa atau visual.

7. Manusia, Kesenian dan Kebudayaan


Manusia dikatakan makhluk ciptaan Tuhan yang mempunyai
segala kelebihan dan kesempurnaan dibandingkan binatang. Dimana
manusia berkembang secara dinamis, bergerak dan berubah dari
waktu ke waktu sejalan perkembangan akal, budi, dan daya maka
inilah cikal bakal manusia sebagai makhluk budaya. Dimana makhluk
yang menggunakan akal atau rasio berpikir dalam mengembangkan
kehidupannya. Saat dilahirkan, manusia berada pada kondisi lemah
dan tidak berdaya, sehingga diperlukan belajar dan beradaptasi pada
alam dan lingkungan. Lalu diperlukan upaya mempertahankan
hidupnya maka dengan memanfaatkan kemampuan yang dimiliki
manusia itu sendiri seperti kemampuan otak dalam mengembangkan
proses berpikir dan berakal budi maupun kemampuan berpikir. Dalam
kemampuan berpikir ini, manusia mengembangkan sistem bahasa,
pengetahuan, organisasi sosial, teknologi, mata pencaharian, religi,
dan kesenian yang disebut dengan kebudayaan. Keseluruhan sistem
menciptakan beragam bentuk dan medium artifisal dimana kehidupan
manusia berhadapan realitas baru yakni dunia simbol seperti bahasa,
mite, seni dan agama. Kesenian sebagai wujud dari ekspresi perasaan
manusia sebagai pencipta seni itu sendiri. Perlu diketahui bahwa
semua anak itu “seniman” atau manusia kreatif yang sudah memiliki
bakat secara universal pada masa pertumbuhan psikologis anak.

8. Proses Pembudayaan Budaya


Sesungguhnya proses pewarisan budaya dari satu generasi ke
generasi berikutnya telah menyebabkan perubahan dalam tata nilai
yang dianut oleh pewaris berikutnya. Perubahan itu terjadi ketika
proses internalisasi, sosialisasi, dan enkulturasi terjadi pada diri
individu. InternaIisasi adalah suatu proses dari berbagai pengetahuan
yang berada di luar diri individu masuk menjadi bagian dari diri

12
individu; sosialisasi adalah proses penyesuaian diri seorang individu
ke dalam kehidupan kelompok di mana individu tersebut berada.
sehingga kehadirannya dapat diterima oleh anggota kelompok yang
lain; sedangkan, enkulturasi adalah proses ketika individu memilih
nilai-nilai yang dianggap baik dan pantas untuk hidup bermasyarakat,
sehingga dapat dipakai sebagai pedoman bertindak. Ketiga proses itu
dapat bervariasi dari individu yang satu ke individu yang lain,
meskipun mereka hidup dalam masyarakat dan kebudayaan yang
sama. Variasi budaya ini sering disebut dengan istilah sub-culture
(cabang kebudayaan) (Dyson. 1997:37).

Adat-istiadat dan kebudayaan itu mempunyai nilai pengontrol


dan nilai sangsional terhadap tingkah laku anggota masyarakat.
Tingkah-laku yang dianggap tidak cocok lagi, melanggar norma dan
adat-istiadat atau tidak terintegrasi dengan tingkah-laku umum
dianggap sebagai "masalah sosial" (Kartono, 199212). Perilaku-
perilaku yang menyimpang (deviant behavior) adalah salah satu
bentuk dari permasalahan sosial, maka dalam perkembangannya
sering pula menimbulkan budaya baru. Jika perilaku yang
menyimpang itu terjadi secara berulang-ulang, masyarakat tidak lagi
merasakan bahwa bentuk perilaku itu merupakan suatu bentuk
penyimpangan maka terbentuklah budaya baru tersebut. Dalam studi
psikologi, perilaku menyimpang tetap dianggap sebagai
penyimpangan, untuk menjelaskan suatu model yang membedakan
perilaku sehat (normal) dengan perilaku yang dianggap tidak sehat
(tidak normal).

Beberapa peristiwa kontak antarbudaya yang berbeda dapat


pula mengakibatkan terbentuknya budaya baru. Bentuk-bentuk
peristiwa tersebut dapat berupa asimilasi dan akulturasi. Asimilasi
adalah suatu proses bertemunya dua atau lebih budaya yang berbeda,
unsur-unsur budaya tadi saling berinteraksi secara intensif dan
menghasilkan budaya baru. Dalam proses asimilasi, ciri khas unsur-
unsur budaya lama dari masing-masing budaya asal sudah tidak
tampak lagi, misalnya dalam hal cara berpakaian masyarakat bangsa
Indonesia saat ini sudah tidak lagi menampakkan karakter budaya dari
masing-masing suku bangsa. Sedangkan, proses akulturasi adalah
bertemunya dua atau lebih kebudayaan yang berbeda, namun unsur-
unsur budaya yang berbeda tersebut saling bersentuhan dan saling
meminjam, tetapi ciri khas masing-masing budaya yang berbeda
tersebut tidak hilang dan tetap dipertahankan keberadaannya misalnya

13
tradisi wayang kulit di Jawa yang ide ceritanya dafi India namun
ekspresi dari bentuk wayang dan substansinya sudah banyak
dipengaruhi dari kehidupan masyarakat Jawa (Dyson, 1977:38).

Perubahan kebudayaan dapat pula menimbulkan krisis sosial.


Munculnya gerakan yang bersifat keagamaan mengiringi terjadinya
krisis sosial yang dimaksud. Gerakan keagamaan tersebut dikenal
dengan istilah crago cults, messianic movement, nativistic movement,
gerakan ratu adil. Gerakan keagamaan ini memiliki ciri-ciri yang
mengandung aspek-aspek tertentu, yaitu: aspek keagamaan, aspek
psikologis, aspek ratu adil, dan aspek keaslian kebudayaan. Unsur-
unsur budaya dalam suatu kelompok masyarakat ada yang mudah
berubah dan ada pula yang sulit berubah. Demikian pula dengan
individunya ada yang cepat menerima perubahan juga ada yang
lambat dalam menerima perubahan, bahkan ada individu yang
cenderung menolak perubahan.

Bertolak pada uraian di atas menandakan bahwa segala bentuk


budaya manusia di muka bumi ini akan selalu mengalami dinamika.
Adapun bentuk dinamika yang terjadi sangat tergantung pada proses
pembudayaan budaya itu sendiri pada masing-masing individu yang
sedang mengalami proses pembelajaran. Dalam proses tersebut
individu akan mengalami interaksi untuk saling memberikan
pengaruhnya terhadap pemahaman budaya yang dimilikinya, sehingga
terjadilah proses internalisasi, sosialisasi, enkulturasi.

B. KESENIAN

1. Pengertian seni
Seni adalah segala sesuatu yang memiliki nilai keindahan,
kehalusan, serta permai. Seni juga diartikan sebagai kemampuan
untuk menciptakan suatu yang sungguh-sungguh bagus atau luar biasa
(Badudu, 1994: 1280). Sedangkan, menurut Ensiklopedi Indonesia,
seni meliputi penciptaan segala hal atau benda yang karena keindahan
bentuknya orang menjadi senang melihatnya atau mendengarnya.
Sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (1989: 816),
seni adalah keahlian membuat karya yang bermutu dilihat dari segi
kehalusan, keindahan. dan sebagainya, seperti: seni tari, lukis. ukir,
dan lain-lain. Seni juga diartikan sebagai kesanggupan akal untuk
menciptakan sesuatu yang bernilai tinggi. Peranan seni bagi manusia
dapat dibandingkan seperti ekonomi mengisi kehidupan dengan

14
kemakmuran bersifat material, kesenian mengisi kehidupan itu dengan
kesejahteraan yang bersifat spritual.

Plato menyebutkan, seni adalah peniruan terhadap alam,


sehingga karya seni merupakan tiruan bentuk alam, seperti manusia,
binatang, dan tumbuhan. Ki Hajar Dewantara menyebutkan seni
sebagai perbuatan manusia yang timbul dari hidupnya perasaan dan
bersifat indah, sehingga dapat menggerakkan jiwa perasaan manusia.
Akhdiat K. Mihardja menyebut seni sebagai kegiatan rohani manusia
yang merefleksikan realitas dalam suatu karya, yang berkat bentuk
dan isinya mempunyai daya untuk membangkitkan pengalaman
tertentu dalam rohani manusia. Janet Woll mengatakan bahwa seni
adalah produk sosial. (Hariyono, 2007: 272). Hal yang diungkapkan
dalam seni akan dapat nenggugah perasaan, pikiran, dan semangat
tertentu pada diri manusia. Karena di dalam seni yang baik memuat
unsur keindahan yang dapat dinikmati oleh manusia. Dunia keindahan
identik dengan kebenaran, yang memiliki nilai abadi dan daya tarik
yang selalu bertambah. Dalam karya seni yang baik tentu saja
mengandung nilai keindahan, yang oleh Horace dan dikutip oleh
Wellek dan Warren (1987) disebut dulce et utile, yang artinya berguna
dan menyenangkan. Dengan kata lain sebuah karya seni yang baik
haruslah berguna bagi yang menikmatinya dan mampu menghibur
atau menyenangkan. Aspek kegunaan inilah yang kemudian
diidentikkan sebagai kebenaran, karena mampu menggugah perasaan
dan pikiran rnanusia tentang hal kebaikan. Sebuah karya seni yang
sebatas memberikan kesenangan namun tidak dapat menggugah
perasaan dan pikiran kearah kebaikan, maka dapat di katakan bahwa
hasil karya seni itu tidak memiliki nilai keindahan. Aspek keindahan
dalam karya seni juga sangat ditentukan oleh jenis karya seni yang
bersangkutan. Dilihat dari aspek medianya jenis karya seni terbagi
atas ragam seni suara, rupa, sastra, tari, dan seni pahat. Adapun dalam
tataran media yang lebih kompleks, artinya tidak hanya satu jenis
media yang digunakan melainkan merupakan kolaborasi atas beragam
bentuk media maka munculIah karya seni yang disebut drama, teater,
wayang, serta sinematografi.

Ekspresi manusia dalam haI seni di muka bumi ini sangat


beragam. Keragaman ini berkembang sesuai dengan keragaman suatu
masyarakat. Kondisi sosial, politik dan aIam sekitar yang berbeda-
beda dan berubah-ubah akan mempengaruhi hasil karya seni yang
berbeda puIa. Makna ekspresi seni tersebut sangat dipengaruhi oleh

15
kondisi zaman yang menyertainya. Indonesia yang memiliki beragam
budaya dan kondisi sosial yang beraneka ragam juga memiliki
keanekaragam bentuk kesenian. Keragaman kesenian di Indonesia
memunculkan kesenian yang bercorak keindonesiaan. Dengan
demikian, kesenian Indonesia adaIah ungkapan perasaan manusia
Indonesia yang berisi nilai-nilai tentang kondisi sosial budaya
masyarakat Indonesia, yang diekspresikan dalam bentuk karya seninya
yang beragam.

2. Fungsi seni
Dilihat dari fungsinya, karya seni memiliki fungsi yang beragam
tergantung dari aspek mana meninjaunya. Adapun fungsi seni yang
dilihat dari aspek kepentingannya maka dapat digoIongkan sebagai
berikut:

a. Fungsi komersial, karya seni yang esensi penciptaannya berorientasi


pada upaya bisnis sehingga tetap memprioritaskan pada segi
hiburannya. Contoh karya seni yang seperti ini antara lain dapat
berupa musik, Iukisan, film, tari, dan lain-Iain yang banyak diperjual
belikan

b. Fungsi individual, yaitu karya seni yang esensi penciptaannya


berorientasi untuk memenuhi asas manfaat dan kepuasan pada
kepentingan pribadi atau privasi. Contoh hasil karya seni semacam ini
dapat beragam bergantung dari kepentingan pribadi-pribadi yang
bersangkutan, misalnya karya sastra pada zaman dulu sering kali
dibuat atas pesanan kerajaan sehingga memiliki nilai pemitosan
tarhadap tokoh raja.

c. Fungsi sosial, karya seni yang esensi penciptaannya lebih


mengutamakan untuk kepentingan masyarakat sehingga banyak
melontarkan pandangan-pandangannya yang bernilai sosial atau pun
kritik sosial. Contoh hasil karya seni semacam ini juga dapat beragam
bisa berupa karya sastra, film, musik. maupun yang lainnya.

d. Fungsi ritual, karya seni yang esensi penciptaannya lebih


mengutamakan untuk kepentingan yang dianggap sakral dan ritual.
Karya seni yang demikian biasanya diciptakan oleh komunitas
masyarakat yang memiliki ideologi yang sama, sehingga keberadaan
karya seni ini lebih ditujukan untuk kepentingan ritual atau pun
sesuatu yang dapat dipandang sakral, misalnya dalam rangka

16
peringatan hari-hari besar keagamaan, maupun hajatan, kematian, atau
pun hal-hal lain yang dikeramatkan oleh komunitasnya.

Adapun bentuk seninya juga dapat beragam, seperti seni tari,


musik, drama, lukis, dan lain-lain. Meskipun keempat fungsi seni
tersebut menunjukkan pembagian peran yang tegas, sebuah karya seni
bisa jadi dapat memiliki kapasitas fungsi seni yang meliputi keempat
fungsi tersebut. Di era modern seperti ini, hampir semua jenis karya
seni sudah berada pada ranah fungsi yang komersial, artinya sebuah
karya seni dicipta bermula untuk tujuan komersial yang selalu
bertolak dari selera komonitas pasar yang dibidiknya Beragam bentuk
karya seni yang semula memiliki kapasitas sakral atau pun memiliki
fungsi sosial sekarang sudah menjadi hasil komoditi yang bernilai
bisnis komersial.

Pada era modern dewasa ini para kreator seni sudah ahli untuk
membisniskan hasil karya seninya sebagai barang komoditi yang
memiliki nilai jual bagi komunitas masyarakatnya. Para kreator seni
tersebut sudah paham untuk melihat komunitas pasar yang akan
ditujunya. Melebumya beragam bentuk seni ke dalam satu fungsi
komersial memiliki argumen tersendiri bagi para kreator seni maupun
masyarakat konsumennya. Alasan pertama datang dari para kreator
seni itu sendiri, yang mau tak mau harus menerima situasi jaman yang
sudah berubah. Setiap manusia dituntut untuk dapat bertahan hidup
dengan beragam bentuk kebutuhan hidup manusia yang semakin
meningkat, sehingga untuk kelangsungan hidup sehari-hari para
kreator seni pun memerlukan biaya hidup yang sama dengan manusia
lainnya. Alasan lain adalah tuntutan masyarakat itu sendiri yang
menjadi konsumen hasil karya seni, sering kali mereka membutuhkan
peran kreator seni yang dinamis sehingga dapat memenuhi beragam
bentuk kebutuhan selera konsumen. Apa pun yang tercermin dalam
karya seni, yang gerpenting adalah tidak hilangnya esensi keindahan
dari karya tersebut seperti yang dikatakan oleh Horace dalam
konsepnya dulce et utele (berguna dan menyenangkan). Setiap karya
seni harus berguna bagi manusia dan mampu memberikan hiburan
atau kesenangan.

3. Prinsip seni
Bagi kebanyakan orang, menilai suatu karya seni tidaklah mudah,
karena satu orang dengan yang lain mempunyai persepsi dan apresiasi
yang berbeda. Namun demikian, ada beberapa prinsip yang dapat

17
dijadikan patokan untuk membantu mengapresiasi suatu hasil karya
seni. Secara teoritis suatu keindahan dalam karya seni memiliki
prinsip-prinsip dasar untuk pencapaian keindahan, yang antara lain
meliputi ciri-ciri sebagai berikut.

a. Adanya kesatuan (unity), yaitu adanya unsur-unsur yang terpadu dan


saling bekerja sama yang diekspresikan dalam suatu karya seni.
Dengan kata lain ada suatu keherpaduan antara unsur-unsur yang
membentuk terciptanya karya seni tersebut.

b. Adanya keselarasan (Harmoni), yaitu adanya unsur-unsur yang


diekspresikan dalam karya seni secara beragam serta mewujudkan
suatu hasil karya yang memiliki nilai-nilai keselarasan tentang jenis,
bentuk, dan volumenya, sehingga mencerminkan suatu esensi
keindahan yang berupa dulce et utile (berguna dan menyenangkan).

c. Keseimbangan (balance), yaitu ekspresi yang mewujudkan


terbentuknya keseimbangan antara unsur-unsur yang membentuk
karya seni dengan subtansi yang dimaksud. Bicara tentang aspek
keseimbangan maka dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1) keseimbangan nyata, yang didasarkan keseimbangan bobot masa suatu


benda, dan

2) keseimbangan semu, yang mencerminkan ekspresi keseimbangan


berdasarkan perasaan.

d. lrama (ritme) Aspek keindahan yang dikaitkan dengan irama sering


kali dihubungkan dengan seni musik atau seni suara meskipun untuk
seni yang lain juga terdapat irama, tentu saja dalam arti yang semu.
Pada seni bangunan, ritme bisa berarti seberapa panjang rentang
bidang horisontal yang diharmonikan dengan bidang vertikal maupun
ketinggiannya.

e. Empasis/empasisil dominasi Dalam karya seni sering kali ada suatu


komposisi yang memperlihatkan bentuk-bentuk dominasi dari salah
satu aspek unsur yang membangunnya, sehingga akan memberikan
kesan khas dari dominasi tersebut, misalnya untuk seni suara ritme
memiliki nilai dominan dalam musik dan seterusnya. Ketiadaan
dominasi ini akan memperlihatkan kesan hambar, bahkan tidak jelas
karena tidak ada yang menjadi pusat perhatian.

18
C. ESTETIKA DAN SENI

1. Pengertian Estetika/Keindahan
Kata estetika umumnya dikaitkan dengan keindahan.
Keindahan berasal dari kata indah, artinya bagus, permai, cantik, elok,
molek dan sebagainya. Benda yang mempunyai sifat indah ialah
segala hasil seni, (meskipun tidak semua hasil seni indah),
pemandangan alam (panta, pegunungan, danau, bunga-bunga dilereng
gunung), manusia (wajah, mata, bibir, hidung, rambut, kaki, tubuh),
suara , warna dan sebagainya.

Keindahan adalah identik dengan kebenaran. Keindahan adalah


kebenaran, dan kebenaran adalah keindahan. Keduanya mempunyai
nilai yang sama yaitu abadi, dan mempunyai daya tarik yang selalu
bertambah, yang tidak mengandung kebenaran berarti tak
indah.Keindahan bersifar universal, artinya tidak terikat oleh
seleraperorangan, waktu dan tempat, selera mode, kedaerahan atau
lokal.The Liang Gie menjelaskan, bahwa keindahan dalam arti luas
mengandung pengertian ide kebaikan. Misalnya Plato menyebut watak
yang indah dan hukum yang indah, sedangkan Eristoteles merumuskan
keindahan sebagai sesuatu yang baik dan juga menyenangkan.

Plotinus mengatakan tentang ilmu yang indah dan kebajikan


yang indah. Orang Yunani berbicara pula mengenai buah pikiran yang
indah dan adat kebiasaan yang indah. Tetapi bangsa Y unani juga
mengenal pengertian keindahan dalam arti estetik disebutnya
“symmetria” untuk keindahan berdasarkan penglihatan (misalnya pada
seni pahat dan arsitektur) “harmonia” untuk keindahan berdasarkan
pendengaran (musik).Jadi pengertian yang seluas-luasnya meliputi
:keindahan seni, keindahan alam, keindahan moral dan keindahan
intelektual.

19
Keindahan dalam arti esteti murni menyangkut pengalaman
estetik seorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang
diserapnya.Keindahan dalam arti yang terbatas, mempunyai yang
lebih disempitkan sehingga hanya menyangkut benda-benda yang
dapat diserap dengan oenglihatan, yakni berupa keindahan bentuk dan
warna.

Dari pembagian dan pembedaan terhadap keindahan tersebut


di atas masih belum jelas apakah sesungguhnya keindahan itu. Salah
satu jawaban adalah mencari ciri-ciri umum yang ada pada semua
benda atau kualitas hakiki atau dengan pengertian keindahan. Jadi
keindahan pada dasarnya adalah kualita pokok tertentu yang terdapat
pada suatu hal. Kualita yang paling sering disebut adalah kesatuan
(unity), keseimbangan (balance), dan kebaikan (contrast).

Dari ciri itu dapat diambil kesimpulan, bahwa keindahan


tersusun dari berbagai keselarasan dan kebaikan dari garis, warna,
bentuk, nada, dan kata-kata. Ada pula yang berpendapat bahwa
keindahan adalah suatu kumpulan hubungan-hubungan yang selaras
dalam suatu benda dan di antara benda itu dengan si pengamat.

2. Nilai Estetika
Menurut The Liang Gie, keindahan dianggap sebagai salah satu
jenis nilai seperti halnya nilai moral, nilai ekonomi, nilai pendidikan,
dan sebagainya. Nilai yang berhubungan dengan segala sesuatu yang
tercakup dalam pengertian keindahan disebut nilai estetik.

Dalam bidang filsafat, istilah nilai dipakai sebagai suatu kata


benda abstrak yang berarti keberhargaan (worth) atau kebaikan
(goodness). Ada pula yang mengatakan nilai adalah realita psikologi
yang hams dibedakan secara tegas dari kegunaan, karena terdapat
dalam jiwa manusia dan bukan pada kehendaknya itu sendiri. Manusia
beranggapan bahwa pada suatu benda tertentu itu terdapat suatu nilai
yang dapat dibuktikan letak kebenarannya. Maka ada yang
membedakan antara nilai subjektif dan objektif, nilai perorangannya

20
dan kemasyarakatan. Penggolongan lain yang terpenting adalah nilai
ekstrinsik dan nilai intrinsik.

Nilai ekstrinsik adalah nilai-nilai yang ada hubungannya


dengan hal-hal yang berada di luar bentuk dari suatu objek (karya
seni, bangunan, sistem, dan seterusnya) itu sendiri, dan memiliki
kecenderungan untuk mengisyaratkan suatu ”pesan makna" sebagai
suatu perwujudan dari suatu ”isi”. Misalnya: ada yang berhubungan
dengan filsafat hidup, nilai-nilai budaya, psikologi, dan lain-lain.
Semua itu mengisyaratkan ada suatu "pesan” atau ”isi”, misalnya:
puisi berjudul Aku karya Chairil Anwar mengandung pesan
revolusioner, realistik sesuai dengan pandangan hidup waktu itu; film
Kabut Sutra Ungu karya Ike Supomo menjelaskan pandangan
masyarakat terhadap janda; Siti Nurbaya karya Marah Rusli berisi
protes terhadap keadaan tentang adat istiadat yang telah usang; lukisan
Monalisa karya Leonardo Da Vinci memperlihatkan kekaguman
terhadap kebesaran Tuhan yang telah menganugerahkan kecantikan
luar biasa kepada seorang wanita; Transaksi karya Umar Nur Zain
memperlihatkan kesan kebobrokan mental pejabat, kekontrasan antara
yang kaya dengan yang miskin; dan sebagainya.

Adapun nilai intrinsik adalah sifat baik dari benda yang


bersangkutan sebagai alat, sarana untuk sesuatu hal lainnya (bersifat
sebagai alat atau pembantu). Misalnya: berbagai persyaratan-
persyaratan yang harus dipenuhi (seperti dalam puisi, tari, cerpen,
novel, dan sebagainya) memiliki spesifikasi tersendiri yang juga
mengarahkan nilai estetik terhadap hasil karya tersebut. Dengan kata
lain, unsur-unsur yang berada di dalam hasil suatu karya turut
menentukan kadar estetika yang ditampilkan. Sebagai contoh dapat
dilihat perbedaan bentuk antara bentuk puisi Angkatan Balai Pustaka,
Pujangga Baru, Angkatan ’45, maupun Angkatan ’66. Masing-masing
angkatan memiliki unsur-unsur yang khas dan turut membentuk
bangunan puisi itu menjadi punya spesifikasi, balk itu dipandang dari
diksi, gaya bahasa, rima, irama, dan persajakannya. Semua ciri-ciri
tersebut memperlihatkan karakteristik dari masing-masing angkatan,
yang sekaligus akan dapat menentukan kadar estetika yang
dimilikinya. Dalam “Dictionary of Sociology and Related Science”
diberikan rumusan tentang nilai sebagi berikut:

“The believed Capacity of any object to saticgy a human desire. The


Quality of any object which causes it be of interest to an individual or

21
a group” (kemampuan yang dianggap ada pada suatu benda yang
dapat memuaskan keinginan manusia. Sifat dari suatu benda yang
menarik minat seseorang atau suatu kelompok)”

Hal itu bearti, bahwa nilai adalah semata-mata adalah realita


psikologi yang harus dibedakan secara tegas dari kegunaan karena
terdapat dalam jiwa manusia dan bukan pada hendaknya itu sendiri.
Nilai itu (oleh orang) dianggap terdapat pada suatu sampai terbukti
letak kebenarannya. Keindahan pada dasarnya adalah alamiah. Alam
itu ciptaan Tuhan. Hal itu berarti bahwa keindahan itu sendiri adalah
ciptaan Tuhan. Alamiah itu artinya wajar, tidak berlebihan, dan tidak
pula kurang. Dengan demikian, jika ada lukisan wanita yang jauh lebih
cantik dari keadaan sebenarnya justru tidak indah, karena ada ucapan
”lebih cantik dari warna aslinya”. Kemudian, bila ada pemain drama
yang berakting secara berlebih-lebihan, misalnya marah dengan
meluap-luap padahal hanya kesalahan kecil, maka justru tidak alamiah
karena nampak dibuat-buat. Keindahan adalah hal alamiah.
Sedangkan, alam itu sendiri adalah ciptaan Tuhan yang mengandung
keindahan dan kebenaran. Kebenaran yang demikian merupakan segi-
segi kekuasaan Allah yang tercermin di dalam alam semesta, seperti
yang tersirat di dalam al-Qur’an Surat Faathir, ayat 9-14.

3. Makna Keindahan
Makna keindahan secara akademis sudah dipelajari manusia
sejak abad ke-18 oleh para filsuf yang tertarik untuk mengembangkan
estetika. Berawal dari situlah dapat dilihat pandangan dari beberapa
ahli tentang makna keindahan tersebut. Baumgarten mengatakan
bahwa keindahan adalah keseluruhan yang tersusun secara teratur dari
bagian-bagian yang saling berhubungan satu sama Iain (beauty is an
order of parts in their manual relations and in their relation to the
whole). Sementara itu, Sulzer berpendapat bahwa yang indah
hanyalah yang baik. Jika belum baik, ciptaan itu belum indah.
Keindahan harus memupuk perasaan moral. Jadi, ciptaan-ciptaan yang
amoral tidak bisa dikatakan indah, karena tidak dapat digunakan untuk
memupuk moral.

22
Tolstoy mengatakan keindahan adalah sesuatu yang
mendatangkan rasa menyenangkan bagi yang melihat. Sedangkan,
menurut Hume keindahan adalah sesuatu yang dapat mendatangkan
rasa senang. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Heinsterhuis yang
menyatakan bahwa yang indah adalah yang paling banyak
mendatangkan rasa senang, serta dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya paling banyak memberikan pengalaman yang
menyenanglcan.

Menumt Emmanuel Kant, keindahan itu dapat dilihat dari dua


segi, yaitu dari segi arti yang subjektif dan segi arti yang objektif. Segi
arti yang subjektif maksudnya keindahan dikatakan sebagai sesuatu
yang tanpa hams direnungkan ataupun dikait-kaitkan dengan
kegunaan-kegunaan praktis, sudah bisa mendapatkan rasa senang pada
diri si penghayat; seperti keserasian yang dikandung objek sejauh
objek tersebut tidak ditinjau dari segi kegunaannya.

Begitu luasnya cakupan keindahan yang dilontarkan para ahli


di atas, sehingga sering kali timbul masalah apakah keindahan itu
mempakan suatu kesempurnaan yang sama luasnya dengan adanya
luas (artinya apakah merupakan suatu transendetal perfection) seperti
halnya kebaikan dan kebenaran (kesatuan atau keesaan). Pertanyaan
itu kelihatannya sulit untuk dijawab. Akan tetapi, masalah yang agak
dekat dengan hal tersebut adalah apakah wajar dan mungkin
menyelidild arti (taraf kebenaran) dan nilai (mutu kebaikan) dalam
pengalaman estetis khususnya dalam karya seni.

Bertolak dari berbagai pendapat tersebut sebenarnya kita dapat


menempatkan pada kelompok-kelompok tersendiri sesuai dengan
berbagai pendapat yang ada, yaitu sebagai berikut:

a. Pengelompokan pengertian keindahan yang didasarkan pada titik tolak


atau landasan yang digunakan. Dalam hal ini ada dua pengertian
keindahan, yaitu yang bertumpu pada objek dan subjek. Keindahan
yang bertumpu pada objek adalah keindahan yang objektif, artinya
keindahan yang memang ada pada objeknya. Sementara itu, si
pengamat hanya menerima sebagaimana mestinya. Sedangkan yang
kedua disebut keindahan yang subjektif, artinya keindahan yang
ditinjau dari segi subjek yang melihat dan yang menghayatinya.
Dengan demikian, keindahan diartikan sebagai segala sesuatu yang
dapat menimbulkan rasa senang pada diri penikmat dan penghayat

23
(subjek) tanpa dicampuri keinginan-keinginan yang bersifat praktis,
atau kebutuhan-kebutuhan pribadi si penghayat.

b. Pengelompokkan pengertian keindahan berdasarkan cakupannya dapat


dibedakan menjadi keindahan sebagai kualitas abstrak dan keindahan
sebagai sebuah benda tertentu yang memang indah. Perbedaan
semacam ini dapat dilihat pada penggunaan bahasa Inggris yang
mengenal istilah beauty untuk keindahan pertama; istilah the beautiful
untuk pengertian yang kedua, yaitu benda atau hal-hal tertentu yang
memang indah.

c. Pengelompokkan pengertian keindahan berdasarkan luas dan


sempitnya. Dalam pengelompokkan ini keindahan dalam arti luas
dapat berupa estetik murni, sedangkan dalam arti sempit berarti
keindahan dalam arti yang terbatas.

Akal dan budi merupakan kekayaan manusia yang tidak


dimiliki oleh makhluk lain. "Keinginan atau kehendak” yang ada pada
diri manusia akan berbeda dengan hewan. Kehendak atau keinginan
pada manusia bersumber dari akal dan budi, sedangkan kehendak atau
keinginan pada hewan bersumber dari naluri. Sesuai dengan sifat
kehidupan yang menjasmani dan merohani, kehendak atau keinginan
manusia juga bersifat serupa, yang jumlahnya tidak terbatas. Adapun
jika dilihat dari tujuannya, satu hal yang sudah pasti, yakni untuk
menciptakan kehidupan yang menyenangkan, dan yang memuaskan
hatinya. Yang mampu menyenangkan atau memuaskan hati setiap
manusia adalah sesuatu yang ”baik” dan yang ”indah”. ”Keindahan”
pada hakekatnya merupakan dambaan setiap manusia, karena dengan
keindahan manusia merasa nyaman hidupnya. Melalui suasana
keindahan membuat perasaan "kemanusiaan" manusia jadi tidak
terganggu. Rasulullah saw. pernah bersabda bahwa untuk membaca
al-Qur’an pun hendaknya dilantunkan dengan suara yang bagus lagi
merdu. Suara bagus dan merdu itu menambah keindahan uslubnya al-
Qur'an. Adapun keindahan yang bersifat jasmani maksudnya adalah
keindahan yang dapat “menyenangkan” atau “memuaskan” indra
manusia, baik itu indra penglihatan maupun indra pendengaran.
Sedangkan, keindahan yang bersifat rohani adalah keindahan yang
dapat “menyenangkan” atau "memuaskan" batin manusia.

Supaya orang tidak terjerumus ke dalam ”keindahan Semu",


maka harus selalu mempertemukan keindahan subjektif dengan
keindahan objektif. la harus berupaya mempertemukan selera atau

24
minat orang yang bersangkutan dengan selera atau minat akal
budinya. Seseorang disebut sebagai orang yang berpribadi mulia, bila
orang tersebut memiliki rasa keindahan atau minat yang cenderung
objektif. Keobjektifan seseorang dapat muncul jika di dalam
sanubarinya telah tertanam niatan budi pekerti yang memang baik.
Rasulullah saw. pernah bersabda: ”Dalam tubuh manusia ilu ada
segumpal daging. Manakala segumpal daging itu baik, maka akan
baiklah jasad manusia itu seluruhnya. Tetapi manakala segumpal
daging itu tidak baik, maka akan menjadi tidak baiklah jasad manusia
itu seluruhnya. Segumpal daging yang dimaksud adalah hati.”

Keindahan objektif yang ada pada suatu benda atau barang,


sifatnya abadi dan universal, selama benda itu belum berubah dari
keadaan semula. Keindahan abadi tidak terikat oleh waktu dan
perkembangan mode, maupun oleh asas kegunaan (manfaat) lahiriah
atau material. Keindahan seperti ini oleh John Kets disamakan dengan
kebenaran. Keindahan adalah kebenaran, kebenaran adalah keindahan.
Keduanya memiliki nilai yang sama, yaitu universal dan abadi.

Keindahan subjektif sangat bergantung kepada selera


perorangan, karena memang sangat relatif. la bersumber dari asas
kegunaan benda tersebut bagi masing-masing individu. Iadi, sangat
relatif, bisa jadi suatu benda sangat bermanfaat bagi seseorang namun
bagi orang lain tidaklah berguna, bahkan mungkin sangat tidak
disenangi.

4. Hubungan Seni dan Keindahan


Keindahan (beauty) merupakan pengertian seni yang telah
diwariskan oleh bangsa Yunani dahulu. Pluto misalnya, menyebut
tentang watak yang indah dan hukum yang indah. Aristoteles
merumuskan keindahan sebagai sesuatu yang baik dan
menyenangkan. Plotinus menulis tentang ilmu yang indah dan
kebajikan yang indah. Bangsa Yunani juga mengenal kata keindahan
dalam arti estetis yang disebutnya "symmetriya" untuk keindahan
visual, dan harmonia untuk keindahan berdasarkan pendengaran
(auditif). Jadi pengertian keindahan saat itu secara luas meliputi
keindahan seni, alam, moral, dan intelektual. Herbert Read dalam
bukunya The Minning Of Art merumuskan keindahan sebagai suatu
kesatuan arti hubungan-hubungan bentuk yang terdapat diantara
pencerapan-pencerapan inderawi kita. Adapun Thomas Aquinas,

25
merumuskan keindahan sebagai sesuatu yang menyenangkan yang
dilihat.

Khant secara eksplisit menitik beratkan estetika kepada teori


keindahan dan seni. Teori keindahan adalah dua hal yang dapat
dipelajari secara ilmiah maupun filsafati. Disamping estetika sebagai
filsafat keindahan, adapula pendekatan ilmiah tentang keindahan.
Yang pertama menunjukkan identitas objek artistik, sedangkan yang
kedua menunjukkan objek keindahan. Menurut kaum empieris dari
jaman Barok, permasalahan seni ditentukan oleh reaksi pengamatan
terhadap karya seni. Perhatian terletak pada penganalisisan terhadap
rasa seni, rasa indah, dan rasa keluhuran (keagungan). Dari pandangan
tersebut jelas bahwa permasalahan seni dapat diselidiki dari tiga
pendekatan yang berbeda tetapi yang saling mengisi. Disatu pihak
menekankan pada analisis objektif dari benda seni, dipihak lain pada
upaya subjektif pencipta dan upaya subjektif dari apresiator.

Bila mengingat kembali pandangan klasik (Yunani) tentang


penggunaan seni dan keindahan, maka kedua pendapat ahli dibawah
ini sangat mendukung hubungan tersebut; Sortais menyatakan bahwa
keindahan ditentukan oleh keadaan sebagai sifat objektif dari bentuk
(I'esthetique Est La Science Du Beau), sedangkan lips berpendapat
bahwa keindahan ditentukan oleh keadaan perasaan subyektif atau
pertimbangan selera (die kunst ist die geflissenliche her vor bringung
dest schones). Dengan demikian, keindahan sebuah karya seni tidak
saja ditentukan oleh kualitas objek dan keterampilan dalam mengolah
serta menyusun unsur unsur seninya, tetapi juga ditentukan oleh
pertimbangan subjektif pencipta serta pengamatnya.

5. Manusia dan Keindahan


Tidak sedikit orang membuang waktu, tenaga, uang untuk
menikmati keindahan. Keindahan, keserasian, renungan, dan
kehalusan setiap hari di almi dan dinikmati oleh manusia semakin
tinggi pengetahuan seseorang, semakin besar pula hasrat dan
keinginan seseorang untuk menghargai keindahan. Penghayatan arti
dan fungsi keindahan itu berarti akan memperluas wawasan,
pandangan, penalaran, dan persepsi calon sarjana.

Keindahan dari kata indah, artinya bagus, permai, cantik, elok,


molek, dan sebagainya. Benda yang mempunyai sifat indah ialah
segala hasil seni (meskipun tidak semuanya), pemandangan alam
(pantai, pegunungan, danau, bunga-bunga di lereng pegunungan),

26
manusia (wajah, mata, bibir, hidung, rambut, kaki, tubuh), rumah
(halaman, tatanan perabot rumah tangga, dan sebagainya), suara,
wama dan seterusnya. Kawasan keindahan manusia sangat luas, seluas
keanekaragaman manusia dan sesuai dengan perkembangan peradaban
teknologi, sosial dan budaya. Keindahan merupakan bagian kehidupan
manusia yang tidak dapat dipisahkan di mana pun, kapan pun dan oleh
siapa pun.

Keindahan adalah identik dengan kebenaran. Keduanya


mempunyai nilai sama yaitu abadi, dan mempunyai daya tarik yang
selalu bertambah. Yang tidak mengandung kebenaran berarti tidak
indah, karenanya tiruan lukisan Monalisa bisa jadi tidak indah karena
dasarnya tidak benar. Keindahan juga bersifat universal, artinya tidak
terikat oleh selera perorangan, waktu dan tempat, selera mode,
kedaerahan atau lokal.

Pandangan Plato tentang keindahan dapat dibagi jadi dua, yaitu:


tentang dunia idea dan tentang dunia nyata. Menurut Plato,
kesederhanaan adalah ciri khas keindahan, baik dalam alam maupun
dalam karya seni. Pandangan yang kedua adalah punya keistimewaan,
karena tidak melepaskan diri dari pengalaman indrawi yang
merupakan unsur konstruktif dari pengalaman estetis dan keindahan
dalam pengertian sehari-hari.

Dalam hal ini Plato amat menghargai dan menekankan


pengetahuan murni (episteme) yang mengungguli segala pengetahuan
semu (doxa). Dalam hal keindahan, Plato amat menekankan arti suatu
idea (eidos), dan yang lain dari idea itu hanyalah berhala-berhala
(eidola, dalam bahasa lnggris: idols) saja. Berkenaan dengan
keindahan ini terdapat tiga pandangan yang dapat diacu: Pertama,
keindahan berdasarkan keseimbangan, keteraturan, ukuran dan
sebagainya. Pandangan ini befasal dari Pythagoras, Plato, dan
Thomas. Kedua, keindahan merupakan jalan menuju kontemplasi.
Pandangan ini nampak dalam pikiran Plato, Plotinos, Agustinus.
Keindahan itu sendiri pertama-tama dianggap berada di luar dan lepas
dari subjek, yang biasanya dengan penekanan bahwa keindahan itu
ada di ”seberang”. Ketiga, perhatian akan apa yang secara empiris
terjadi dalam diri subjek termuat dalam pandangan Aristoteles dan
Thomas. Keduanya menyajikan penyelidikan tethadap pengalaman
manusia secara aposteriori-empiris (Sutrisno 6: Verhaak, 1994:25-34).

27
Berbicara tentang keindahan mau tidak mau memang harus
menengok ke jaman Yunani Kuno pada abad ke-18. Menurut The
Liang Cie, dalam bukunya Garis Besar Esietik diterangkan bahwa
istilah keindahan dalam bahasa Inggris dapat diterjemahkan menjadi
beautiful, Perancis beau, Italia dan Spanyol hello. Kata-kata tersebut
berasal dari bahasa Latin helium. Akar kata dari istilah tersebut adalah
bonum yang berarti kebaikan, lalu mempunyai bentuk pengecilan
menjadi bonellum dan akhimya dipendekkan ditulis helium.

Dalam bahasa Inggris untuk membedakan antara sesuatu yang


berkualitas abstrak dengan sebuah benda tertentu yang indah sering
digunakan istilah beauty (keindahan) dan the beautiful (benda atau hal
yang indah). Dalam pembahasan filsafat, kedua hal tersebut sering
dicampuradukkan. Di sisi lain, pengertian keindahan juga sering
dijabarkan dalam pengertian: 1) keindahan dalam arti luas; 2)
keindahan dalam arti estetik mumi; 3) keindahan dalam arti terbatas
dalam hubungannya dengan penglihatan.

Menurut The Liang Gie, keindahan dalam arti luas mengandung


pengertian ide kebaikan, watak, hukum, pikiran, pendapat, dan
sebagainya. Misalnya, Plato menyebut watak yang indah dan hukum
yang indah, sedangkan Aristoteles merumuskan keindahan sebagai
sesuatu yang baik dan juga menyenangkan. Plotinus mengatakan
tentang ilmu yang indah dan kebijakan yang indah. Orang Yunani di
samping berbicara tentang buah pikiran yang indah dan adat kebiasaan
yang indah, juga mengenal keindahan dalam arti estetik (symmetria),
yaitu suatu keindahan berdasarkan penglihatan (seperti seni pahat,
arsitektur) dan harmonic yaitu keindahan berdasarkan pendengaran
(musik). Bertolak dari anggapan-anggapan tersebut maka keindahan
dalam arti luas dapat diklasifikasikan menjadi: keindahan seni,
keindahan alam, keindahan moral, dan keindahan intelektual. Adapun
keindahan dalam arti estetik murni menyangkut pengalaman estetik
seseorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang
diserapnya. Sedangkan, keindahan dalam arti yang terbatas
mempunyai arti yang lebih sempit lagi, sehingga hanya menyangkut
benda-benda yang dapat diserap dengan penglihatan, yakni keindahan
bentuk dan wama, Bertolak dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa keindahan adalah sejumlah kualita pokok tertentu yang
terdapat pada suatu hal. Kualita adalah kesatuan (unity),
keseimbangan (balance), dan kebalikan (contrast). Dengan begitu,
keindahan itu tersusun dari berbagai keselarasan dan kebalikan dan

28
garis, wama, bentuk, nada, dan katakata. Ada pula yang berpendapat,
keindahan itu suatu kumpulan dari hubungan-hubungan yang selaras
dalam suatu benda dan diantara benda itu dengan si pengamat.
Dengan kata lain, ciri-ciri keindahan menyangkut kualitas hakiki dari
segala benda yang mengandung kesatuan (unity), keseimbangan
(balance), keselarasan (harmoni), kesimetrisan (symetry), dan
pertentangan (contrast). Yang berarti pula bahwa keindahan itu
tersusun dari keselarasan dan pertentangan dari garis, wama, bentuk,
nada, dan kata-kata.

Dewasa ini filsuf seni merumuskan keindahan sebagai kesatuan


hubungan yang terdapat antara penerapanpenerapan indrawi (beauty is
unity of formal realitions of our sense perceptions). Adapun filsuf lain
menghubungkan pengertian keindahan dengan ide kesenangan
(pleasure), yaitu sesuatu yang menyenangkan bagi penglihatan atau
pendengaran. Filsuf abad pertengahan, Thomas Aquinos (1225-1274)
mengatakan, keindahan adalah sesuatu yang menyenangkan bilamana
dilihat (id qoud visum placet). Dalam estetika modern orang lebih
suka berbicara tentang seni dan estetika, karena merupakan gejala
konkret yang dapat ditelaah dengan pengalaman secara empirik dan
penguraian sistematik. Dengan demikian, pengalaman estetika dan
seni tidak lagi sekedar pengalaman abstrak.

6. Pandangan dalam Estetika


a) Estetika Klasik
Estetika klasik mengikuti pandangan plato yang menempatkan
seni (yang sekarang dianggap sebagai suatu karya indah) sebagai
suatu produk imitasi (mimesis). Karya imitasi (seni) tersebut harus
memiliki keteraturan proporsi yang tepat. Aristoteles memandang
estetika sebagai "the poetics" memberikan kontribusi terhadap sastra
dari pada teori estetika.
b) Estetika Abad Pertengahan

Abad pertengahan seringkali dianggap sebagai abad gelap (the


dark age) yang menghalangi kreativitas seniman berkarya seni.
Agama nasrani (kristen) yang memulai berkembangan dan
berpengaruh kuat pada masyarakat dituding menjadi "belenggu"
seniman. Gereja kristen lama bersifat memusuhi seni dan tidak
mendorong refleksi filosofis terhadap hal itu. Seni dan kegiatan
masyarakat lainnya mengandi hanya untuk kepentingan gereja dan
kehidupan sorgawi. Karena saat itu kaum gereja beranggapan bahwa

29
seni itu hanyalah / dan selalu memperjuangkan bentuk-bentuk yang
sempurna (idealisasi).

c) Estetika Pramodern
Anthony Asley Cooper mengembangkan metafisika
neoplatoistik yang memimpikan satu dunia yang harmonis yang
diciptakan oleh Tuhan. Aspek-aspek dari alam yang harmonis pada
manusia ini termasuk pengertian moral yang menilai aksi-aksi
manusia, dan satu pengertian tentang keindahan yang menilai dan
menghargai seni dan alam. Keagungan, termasuk keindahan
merupakan kategori estetika yang terpenting.

d) Estetika Modern

Bennedotte Croce mengemukakan teori estetikanya dalam


sebuah sistem filosofis dari idelisme. Segala sesuatu adalah ideal yang
merupakan aktivitas pikiran. Aktivitas pikiran dibagi menjadi dua
yaitu yang teoritis (logika dan estetika), dan yang praktis (ekonomi
dan etika). Menurut Croce, estetika adalah wilayah pengetahuan
intuitif. Satu intuisi merupakan sebuah imajinasi yang berada dalam
pikiran seniman. Teori ini menyamakan seni dengan intuisi.

e) Estetika Timur

India merupakan negara dan bangsa yang memiliki pandagan


seni (dan estetika) yang berbeda dalam beberapa hal dengan bangsa
eropa. Sebagai contoh penggambaran patung di barat (eropa) yaitu
pada zaman Yunani, merupakan bentuk manusia ideal, atau
mengutamakan keindahan bentuk. Di india patung tidak selalu serupa
dengan manusia, misalnya Durga, Sywa dengan empat kepala, dan
lain lain. Padahal temanya yaitu penggambaran patung dewa.
Perbedaan ini akan lebih jelas, sebab seniman india harus mengikuti
modus tertentu seperti yang diterangkan didalam "dyana" untuk
menggambarkan macam-macam dewa hindu atau budha. Dyana
berarti meditasi, merupakan proses kejiwaan dari seseorang yang
berusaha untuk mengontrol pikiran dan memusatkan pada suatu soal
tertentu yamg akhirnya akan membawanya pada semadi. Sifat-sifat
visual dari gambaran diatas (dalam semadi) kemudian ditulis dalam
silvasastra. Buku inilah yang menjadi pedoman berkarya selanjutnya.

Ada beberapa pendapat para ahli India diantaranya: Keindahan


adalah sesuatu yang menghasilkan kesenangan. Seni diolah melalui

30
proses keatif dari pikiran menuju pada pencintaan obyek yang
dihasilkan oleh getaran emosi. Inti keindahan adalah emosi (pendapat
Joganatha).Pendapat lain mengatakan bahwa keindahan adalah
sesuatu yang memberikan kesenangan tanpa rasa kegunaan. Yang
menyebabkan rasa estetik adalah faktor luar dan faktor dalam.
(pendapat Radindranat Tagore). Ia juga menerangkan untuk sebuah
sajaknya,, bahwa ia tidak dapat menerangkan bekerjanya proses
alamiah yang miterius itu, tetapi seolah-olah terjadi dengan
sendirinya.Berdasarkan paparan diatas maka tampak dalam estetika
timur, seniman yang menciptakan obyek keindahan atau seni didorong
oleh potensi teologis yang dimilikinya.

f) Estetika Pasca Modern


Estetika Pasca Modern dapat dilihat sebagai kelanjutan
perkembangan pemikiran estetika di barat. Sebagai pemahaman atau
pemikiran yang muncul belakangan, estetika pasca modern dianggap
sebagai jawaban kritis terhadap pemikiran estetika sebelumnya,
sekaligus menjadi pedoman bagi perjalanan pemikiran estetika
selanjutnya. Estetika pasca modern seolah meleburkan pandangan atau
pemikiran ideal yang dipahami oleh para ahli estetika sebelumnya.
Dalam pandangan ini semua paham atau ideologi yang melatar
belakangi perkembangan estetika sebelumnya diterima dan sekaligus
ditolak. Kesadaran untuk menghargai berbagai perbedaan ideologi dan
pemahaman budaya dan seni menjadi salah satu pendorong
kemunculan ideologi pasca modern. Beberapa tokoh pemikiran
estetika pasca modern ini diantaranya cage, stockhausent, glass, dan
sebagainya dalam bidang musik dan rauschenberg, baselitz, warhol,
dan bacon dalam seni rupa.

31
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari uraian materi yang sudah dipaparkan diatas dapat kita tarik
kesimpulan bahwa manusia, kebudayaan, kesenian, dan estetika itu
sangatlah berbeda namun memiliki hubungan yang sangat erat dan saling
mempengaruhi satu sama lain. seperti suatu kebudayaan tidak akan ada
jika manusia tidak menciptakannya, karena kebudayaan adalah sesuatu hal
yang diciptakan manusia dan kemudian menjadi kebiasaan dan
membudaya. Begitu juga dengan seni, suatu karya seni tidak bisa
dikatakan sebagai seni jika tidak memiliki keindahan.

A. SARAN
Sebagai warga Negara Indonesia tentulah kita menyadari bahwa
kita tinggal di Negara yang sangatlah kaya dan memiliki berbagai macam
keberagaman. Oleh karena itulah penting untuk kita mengetahui,
memahami, dan menyadari bagaimana manusia, kebudayaan, kesenian,
dan estetika tersebut serta hubungannya satu sama lain.

32
DAFTAR PUSTAKA

Soeteja, Z. (2009). Pendidikan Seni. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan


Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Sujarwo. (2014). Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sulastianto, H. (2011). Seni Budaya. Jakarta: Grafindo.

Sutardi, T. (2008). Mengungkapkan Keragaman Budaya. Bandung: PT Setia


Purna Inves.

Widagdho, D. (2015). Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Wiranata. (2011). Antropologi Budaya. Jakarta: PT Citra Aditya Bakti.

Muharam, E,dkk. (1992). Pendidikan Kesenian II Seni Rupa. Jakarta: Departemen


Pendidikan dan Kebudayaan.

33

Anda mungkin juga menyukai