Anda di halaman 1dari 16

HERBERT SPENCERRR

Herbert Spencer (lahir di Derby, 27 April 1820 – meninggal di Brighton, 8 Desember 1903 pada


umur 83 tahun) adalah seorang filsuf Inggris dan seorang pemikir teori liberal klasik terkemuka.
Meskipun kebanyakan karya yang ditulisnya berisi tentang teori politik dan menekankan pada
"keuntungan akan kemurahan hati", dia lebih dikenal sebagai bapak Darwinisme sosial. Spencer
seringkali menganalisis masyarakat sebagai sistem evolusi, ia juga menjelaskan definisi tentang
"hukum rimba" dalam ilmu sosial. Dia berkontribusi terhadap berbagai macam subyek,
termasuk etnis, metafisika, agama, politik, retorik, biologi dan psikologi. Spencer saat ini dikritik
sebagai contoh sempurna untuk scientism atau paham ilmiah, sementara banyak orang yang
kagum padanya di saat ia masih hidup.[1]
Menurutnya, objek sosiologi yang pokok adalah keluarga, politik, agama, pengendalian sosial
dan industri. Termasuk pula asosiasi, masyarakat setempat, pembagian kerja, pelapisan
sosial, sosiologi pengetahuan dan ilmu pengetahuan, serta penelitian terhadap kesenian dan
keindahan. Pada tahun 1879 ia mengetengahkan sebuah teori tentang Evolusi Sosial yang
hingga kini masih dianut walaupun di sana sini ada perubahan. Ia juga menerapkan secara
analog (kesamaan fungsi) dengan teori evolusi karya Charles Darwin (yang mengatakan bahwa
manusia berasal dari kera) terhadap masyarakat manusia. Ia yakin bahwa masyarakat
mengalami evolusi dari masyarakat primitif ke masyarakat industri. Herbert Spencer
memperkenalkan pendekatan analogi organik, yang memahami masyarakat seperti tubuh
manusia, sebagai suatu organisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang tergantung satu sama
lain.

Ideologi politik liberalisme klasik adalah visi yang koheren tentang bagaimana masyarakat
harus diorganisir. Itu menjadi filsafat politik yang dominan di pertengahan abad kesembilan
belas. Tetapi penting untuk membedakan antara berbagai bentuk liberalisme. Ini memiliki arti
yang berbeda, tergantung pada abad ungkapan itu digunakan. Pada abad kedelapan belas dan
kesembilan belas dapat dilabeli sebagai 'liberalisme klasik'. Pada abad kedua puluh dapat
dilambangkan sebagai 'liberalisme kesejahteraan'). Perbedaan utama antara keduanya adalah
sejauh mana tindakan pemerintah. Ciri-ciri inti dari liberalisme klasik adalah kebebasan
warga negara individu dan komitmen terhadap pasar bebas dan perdagangan bebas, yang
dipandang sebagai cara terbaik untuk mengatur kehidupan ekonomi. Beberapa perwakilan
penting dari sekolah klasik adalah Smith, McCulloch, Senior, Cairnes, Ricardo dan Mill.

Liberalisme klasik mengacu pada ilmu ekonomi Adam Smith. Di antara kaum liberal klasik,
ia adalah yang pertama dalam waktu dan signifikansi tertentu.  Dalam The Wealth of Nations,
ia berpendapat, bahwa pekerjaan individu dan perdagangan bebas, yang dicapai melalui
operasi tangan tak kasat mata, adalah cara terbaik untuk memajukan kekayaan suatu negara.
Lebih tepatnya, keadaan sosial yang optimal diciptakan melalui barter dan pertukaran
individu bebas   dan tatanan alam bersama dengan kebebasan individu. Ekonomi pasar yang
bersaing sempurna akan menentukan hasil keseimbangan kompetitif optimal Pareto.
Mengingat sumber daya yang terbatas, tidak mungkin ada hasil yang membuat semua
anggota masyarakat lebih baik atau setidaknya sejahtera, sebagai hasil dari pasar persaingan
bebas. Tetapi teori tangan tak kasat mata memiliki keterbatasan. Teorinya menyatakan,
bahwa tidak boleh ada eksternalitas dalam ekonomi. Utilitas yang didapatkan setiap
konsumen dari barang yang dikonsumsi, harus independen dari utilitas dari barang yang
dikonsumsi oleh orang lain.

Untuk menggambarkan di mana Adam Smith dapat diklasifikasikan dalam sejarah ekonom,
Skousen (2009) merekomendasikan formula pendulum. Ini mengkategorikan setiap ekonom
di sepanjang spektrum politik, dari ekstrim kiri ke ekstrim kanan. Dalam pendekatan ini, Karl
Marx ditempatkan sebagai radikal di sisi kiri ekstrim, Adam Smith konservatif di sisi kanan
ekstrem. John Maynard Keynes ditempatkan sebagai liberal di tengah.

Ungkapan 'laissez-faire' pertama kali muncul ketika menteri merkantilis terkenal Prancis,
Jean-Baptiste Colbert, bertanya kepada sekelompok pengusaha apa yang bisa dia lakukan
untuk mereka. Salah satu dari mereka, seorang pedagang bernama Legendre (Keynes, 1926),
seharusnya menjawab, 'Laissez nous faire' yang berarti 'Tinggalkan kami sendiri'. Penulis
pertama, yang menggunakan ungkapan ini, adalah Marquis d'Argenson sekitar 1751 (Keynes,
1926), tetapi digunakan oleh beberapa penulis Perancis pada tahun-tahun berikutnya.
Terdapat berbagai ekspresi lain dengan makna yang serupa, seperti 'laissez passer' atau 'Pour
gouverner mieux, il faudrait gouverner moins'. Yang terakhir berarti 'untuk memerintah yang
lebih baik, kita harus memerintah lebih sedikit' dan berasal dari Marquis d'Argenson (Keynes,
1926).

Salah satu pernyataan paling awal dari laissez-faire berasal dari Adam Smith, yang kebijakan
lepas tangannya yang terkenal sering dihubungkan dengan laissez-faire, meskipun ia tidak
pernah menggunakan frasa, dan juga tidak dapat ditemukan dalam karya Ricardo atau
Malthus (Keynes, 1972). Menurutnya, "kedaulatan seharusnya tidak pernah mencoba untuk
mengendalikan atau mempengaruhi keputusan ekonomi individu pribadi dan harus
membatasi diri pada tiga tugas". Tiga tugas ini termasuk pertahanan nasional, perlindungan
satu sama lain dan mengatur keadilan serta mempertahankan pekerjaan umum dan institusi
tertentu. Negara berada dalam posisi reaktif, dibandingkan dengan yang terkemuka dalam
liberalisme kesejahteraan. Smith adalah seorang pedagang bebas dan penentang banyak
pembatasan perdagangan selama abad ke-18, tetapi bahkan karyanya yang terkenal tentang
tangan tak terlihat tidak mencerminkan dogma ekonomi laissez-faire (Keynes, 1926). Dia
mendukung pandangan kebebasan ekonomi maksimal dalam hal perilaku ekonomi mikro
individu dan perusahaan dan intervensi negara makro ekonomi minimal (Skousen, 2009, p.8).
Dia juga digambarkan sebagai 'rasul besar laissez-faire' (Taylor, 1972) oleh Alexander Gray
dan Charles Rist menyebutkan 'doktrin laissez-faire yang dikhotbahkan oleh sekolah Adam
Smith' (Taylor, 1972). Dibandingkan dengan negara lain, negara yang telah mengadopsi visi
kapitalisme laissez-faire Smith telah mencapai standar hidup tertinggi.

Penting untuk mengklarifikasi bahwa Sekolah Klasik tidak secara kaku berkomitmen pada
konsep laissez-faire. Di Inggris, menurut Taylor (1972), hanya dalam karya Herbert Spencer
adalah mungkin untuk menemukan bukti yang mendukung kepala sekolah ini. Untuk
sejumlah besar ekonom klasik, bahkan ketika mereka tidak mendukung gagasan laissez-faire
di depan umum, intervensi adalah kejahatan yang perlu dan perlu pembenaran khusus
(Taylor, 1972). Pengecualian adalah John Stuart Mill, yang menulis dalam bukunya yang
kelima dan terakhir dari Prinsip Ekonomi Politik tentang alasan dan batasan prinsip laissez-
faire dan non-intervensi. Dalam bab ini dan dalam tulisan-tulisannya di kemudian hari,
pengecualian terhadap laissez-faire begitu banyak dan jauh jangkauannya, sehingga beberapa
ekonom menemukannya di sisi sosialis (Taylor, 1972).

Laissez-faire dikritik oleh John Maynard Keynes, seorang ekonom Inggris. Menurutnya, itu
mewakili kebijakan "tidak melakukan apa-apa", lazim selama tahun-tahun Depresi dan
pemerintah harus menyelamatkan kapitalisme laissez-faire. Keynes mendukung kebebasan
individu, tetapi merupakan pendukung intervensi negara ekonomi makro dan nasionalisasi
investasi. Laissez-faire tidak pernah dipahami sebagai kebijakan "tidak melakukan apa-apa",
tetapi sebagai cara untuk menghapuskan sistem peraturan lama dan hak istimewa khusus. Jadi
Adam Smith dan ekonom laissez-faire lainnya pada saat ini bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan umum.

Selama Depresi Hebat di tahun 1930-an, para ekonom klasik yang membela kebijakan
laissez-faire berdebat dengan kaum Marxis dan sosialis, yang mendukung penggulingan
sistem lama. Di tengah konflik intelektual ini, Keynes muncul dengan proposal baru, yang
membutuhkan intervensi pemerintah dalam bidang moneter dan fiskal untuk menstabilkan
ekonomi pasar. Setelah perang dunia kedua, dan setelah Milton Friedman
mendemonstrasikan bahwa Federal Reserve, ciptaan pemerintah, adalah sumber dari Depresi
Hebat, ekonomi pasar yang mengatur diri sendiri dari Smith mengalami kemunculan kembali.

Taylor (1972) menyatakan, laissez-faire memainkan peran utama dalam pola pikir abad ke-19
di Inggris tetapi kehilangan dominasinya pada tahun-tahun 1865 hingga 1885 (Taylor, 1972).
Selama abad ini, hak dan kewajiban setiap individu ditekankan. Menurut Taylor (1972], arus
agama yang kuat pada abad ini dapat dikaitkan dengan kepercayaan pada individualisme.
Inggris pada abad ke-19 datang lebih dekat untuk mengalami zaman laissez-faire daripada
masyarakat lain mana pun. Selain buku pelajaran ekonomi, laissez-faire juga mendapat
dukungan tambahan. Harus diakui, bahwa itu mengalami dukungan dari beberapa ekonom
dan juga publik yang masuk akal, karena kurangnya proposal lawan. Keynes menggambarkan
keduanya, Proteksionisme dan Sosialisme Marxis, sebagai "contoh pemikiran yang buruk,
ketidakmampuan untuk menganalisis suatu proses dan mengikutinya sampai pada
kesimpulannya" (Keynes, 1926). Menurutnya, kekurangan ilmiah kedua aliran ini
berkontribusi pada kemakmuran laissez-faire pada abad ke-19 (Keynes, 1926). Prinsip
laissez-faire adalah gagasan tegas yang mengatur istilah-istilah tersebut dalam perdebatan di
abad ke-19 di Inggris. Selama masa ini, sekolah klasik dan prinsip laissez-faire memiliki
pengaruh luas di kalangan menteri dan House of Commons (Taylor, 1972).

Bagi sebagian besar orang, kebijakan laissez-faire adalah sebuah kegagalan. Jenis kebijakan
ekonomi yang tepat untuk mengejar krisis keuangan saat ini, perang, ketidakpastian dan
globalisasi masih dalam diskusi.

Syahadat kebebasan laissez faire individual, hak-hak properti yang tidak dapat diganggu
gugat, pasar bebas, dan pemerintahan seminimal mungkin   menjadi radikal. Yaitu, kredo
libertarian ini tentu saja diatur dalam pertentangan mendalam dengan bentuk-bentuk
pemerintahan yang ada, yang umumnya merupakan satu atau lain variasi statisme. Dalam
makalah ini  berkonsentrasi, bukan pada memeriksa atau membenarkan doktrin laissez-faire
dari berbagai pemikir, tetapi, mengingat doktrin-doktrin itu, bagaimana para penulis dan ahli
teori ini mengusulkan untuk mencoba mewujudkan pemerintahan ideal mereka. Singkatnya,
setelah mengadopsi kredo yang sangat radikal bertentangan dengan dogma-dogma yang
berkuasa di zaman mereka, apa, jika ada, yang ditawarkan oleh para teoretikus ini sebagai
strategi untuk perubahan sosial ke arah kebebasan;

Daftar Pustaka:

Gibson, D., 2011. Wealth, Power, and the Crisis of Laissez Faire Capitalism, Basingstoke:
Palgrave Macmillan.

 Hudelson, R., 1999. Modern political philosophy, M.E. Sharpe.


Keynes, J.M., 1926. THE END OF LAISSEZ-FAIRE, London: The Hogarth Press.

Schotter, A., 1985. Free Market Economics, New York: St. Martins Press.

Skousen, M., 2009. The Making of Modern Economics: The Lives and Ideas of the Great
Thinkers, New York: M E Sharpe.

Taylor, A.J., 1972. Laissez-faire and State Intervention in Nineteenth-century Britain,


London: The Macmillan Press Ltd.

Riwayat Hidup Spencer


Herbert Spencer lahir pada 27 April 1820 di kota kecil Derbyshire,
Midland, Inggris. Ayahnya seorang guru, yang memutuskan Spencer
menempuh pendidikan dasar dan menengahnya di rumah sendiri (secara
ekslusif) karena alasan kesehatan. Seperti ditulis oleh banyak pemerhati
kehidupannya, lingkungan tinggal Spencer pada saat itu terbilang sangat
buruk oleh karena polusi akut yang ditebarkan pabrik-pabrik yang
berdesakan dengan pemukiman. Dalam usia yang relatif sangat muda, 17
tahun, Spencer menjadi insinyur sipil dan bekerja di sebuah perusahaan
kereta api di Birmingham London. Pekerjaannya ini dijalani Spencer
selama kurang lebih 9 tahun (1837-1846) sambil melanjutkan studinya.
Pada periode ini pula minatnya terhadap masalah-masalah sosiologi,
politik, ekonomi dan filsafat tumbuh, dan Spencer mulai rajin menulis
artikel-artikel sosial.
Saat masih bekerja sebagai ahli mesin di perusahaan itu, tepatnya
tahun 1842, tulisan pertamanya di bidang sosial, “The Proper Sphere of
Government” diterbitkan oleh majalah Non Conformist. Enam tahun
kemudian (1848), tulisan yang sama dipublikasikan lagi di majalah The
Economist. Sebuah majalah ekonomi terkemuka yang berbasis di London,
yang menjadi corong kaum oposisi dan pendukung ide-ide perdagangan
bebas. Di majalah ini pula, Spencer kemudian membangun profesi
barunya sebagai penulis masalah-masalah sosial, dan sempat menduduki
jabatan sebagai Wakil Editor, setelah memutuskan keluar dari perushaan
tempat ia bekerja sebagai ahli mekanik. Tahun 1851, saat usianya
memasuki 31 tahun, buku pertama Spencer berjudul Social Static terbit.
Inilah buku pertama dimana Spencer mulai merumuskan ide-ide
liberalisnya seputar individualisme, the survival of the fittes, laissez faire
dan peran negara yang cukup menjadi “penjaga malam” bagi rakyatnya.
Tahun 1853, Spencer memperoleh warisan kekayaan yang sangat
banyak dari pamannya (Thomas Spencer). Dengan bekal harta waris ini,
Spencer kemudian memutuskan keluar dari tempatnya bekerja, dan
mengambil jalan hidup sebagai penulis bebas yang mencurahkan pikiran
sepenuhnya untuk mendalami dan mengkaji masalah-masalah sosial.
Sejak itulah buku-buku Spencer kemudian terbit berkesinambungan,
diantaranya : Social Statics (1851), Principles of Psychology (1855), Its
Law and Cause (1857), Principles of Biology (1861 dan 1864), First
Principles (1862), The Study of Sociology (1873), Descriptive Sociology
(1874), The Principles of Sociology (1877), Principles of Ethics (1883), dan
The Man versus The State (1884). Tanggal 8 Desember 1903 Herbert
Spencer meninggal dunia, dan dikenang sebagai salah seorang sosiolog
terkemuka meski selama hidupnya ia tidak pernah menduduki jabatan
akademik formal di perguruan tinggi manapun.

Liberalisme Klasik Spencer


Seperti disinggung didepan tadi, masa kanak-kanak Spencer dan
pertumbuhannya banyak dijalani dalam suatu “lingkungan” yang serba
ekslusif. Ia dididik di rumahnya sendiri; dan diarahkan oleh ayahnya untuk
fokus mempelajari sains dan teknologi. Spencer tidak mengenal banyak
sejarah dan ilmu-ilmu humaniora yang memungkinkannya bersentuhan
secara intensif dan memadai dengan isu-isu sosial-kemanusiaan. Meski
terlalu simplistik untuk menyimpulkan bahwa latar situasi inilah yang
telah membuat Spencer kemudian menjadi seorang individualis (akar dari
liberalisme) sejati. Namun mengawali pembahasannya pada Bab 22 ini,
William Ebenstein menyatakan : “the most extreme reflection of
nineteenth-century individualism is to be found in the encyclopedic
system of Herbert Spencer (1820-1903)” dalam rangkaian ilustrasinya
perihal perkembangan puncak individualisme abad ke-19 di Eropa sejak
John Locke (1632-1704) memeloporinya pada abad ke-16.
Faktanya memang, warisan-warisan pemikiran yang ditinggalkan
Spencer menunjukkan betapa ia adalah seorang “penyempurna” faham
liberalisme klasik (lama) yang paling berpengaruh hingga liberalisme
lama ini mencapai puncaknya pada abad 19, sebelum dikoreksi oleh
pemikir-pemikir liberalisme modern (baru) pada awal abad 20
sebagaimana akan diuraikan di belakang dalam tulisan ini. Secara umum,
sebagaimana tercermin dalam gagasan dan pemikiran-pemikiran Spencer,
liberalisme klasik (lama) ini memiliki sejumlah karakter yang khas, antara
lain semangat empirisme untuk dunia filsafat, etika utilitarian, agnotisme
agama, persaingan ekonomi, anti-otoritarianisme dalam kehidupan politik,
semangat anti imperalisme, pasifisme dan perdagangan bebas dalam
dunia hubungan inetrnasional.
Warisan pemikiran penting Spencer yang pertama dipublikasikan
dalam majalah Nonconformist pada awal tahun 1842, berupa serangkaian
artikel berjudul The Proper Sphere of Government. Dalam bukunya ini
Spencer menyatakan keyakinan pandangannya, bahwa segala sesuatu di
alam ini memiliki hukum-hukumnya sendiri, dan manusia tunduk pada
hukum alam itu. Hukum alam menciptakan “keadilannya” sendiri bagi
kehidupan pelbagai makhluk di dunia. Jika seekor banteng yang sudah tua
dan penyakitan, lalu diterkam harimau dan mati, ini adalah “keadilan”
yang diberikan alam, dan karenanya tidak perlu disesali. Pada waktunya
di kemudian hari nanti, si harimau perkasa itu pastilah juga akan mati.
Cepat atau lambat kematian itu menjemputnya sangat bergantung pada
kemampuannya menyesuaikan diri dengan alamnya (survival of the
fittest). Karena itu, hidup dan mati bagi Spencer adalah kebutuhan
alamiah, bukan suatu kecelakaan.
Dalam konteks inilah, Spencer mengadopsi teori evolusi biologis-nya
Charles Darwin dan memperkenalkannya dalam kehidupan sosial dan
politik. Seperti dalam dunia hewan dan tumbuhan, dalam masyarakat
manusia pun, evolusi akan terjadi dan prinsip the survival of the fittest
pasti berlaku. Evolusi sosial akan mengubah tata kehidupan masyarakat
manusia dari homogen dan stagnan menuju heterogen dan berkemajuan.
Dan dalam kerangka evolusi sosial ini akan terjadi proses seleksi alamiah
tadi : mereka yang “kuat” (memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi)
akan bertahan, dan yang “lemah” (tidak memiliki kemampuan adaptasi
yang memadai) akan terpinggirkan dan kalah. Aspek yang paling
fundamental dan menjadi gagasan utama dimana liberalisme klasik
berpijak dari pemikiran Spencer ini adalah, bahwa dalam proses seleksi
alamiah itu setiap orang harus dibiarkan bebas dan berikhtiar sendiri-
sendiri. Negara tidak perlu campur tangan; bahkan membantu orang
miskin pun tidak perlu. Inilah yang oleh Ebenstein disebut sebagai filsafat
politik Spencer tentang individualisme ekstrem dan laissez faire.
Masih didalam karyanya The Proper Sphere of Government, Spencer
juga memberi perhatian terhadap fungsi negara. Menurut Spencer, fungsi
utama negara adalah mengatur aparat pemerintah (birokrasi) dan
administrasi lembaga yudikatif untuk memastikan hak-hak dasar manusia
yakni kehidupan dan harta kekayaannya terlindungi. Negara tidak perlu
mengatur urusan agama, mengatur perdagangan, dan mendorong
kolonialisasi. Liberalisme klasik memang anti-kolonialisme. Pandangan-
pandangan fundamental Spencer tentang negara ini diuraikan, baik dalam
karya pertamanya maupun dalam bukunya yang kedua, Social Statics
(1851). Namun ada dua gagasan baru dalam bukunya yang kedua ini,
yaitu bahwa negara juga tidak perlu mengatur urusan mata uang dan
ekonomi secara umum. Kedua urusan ini menurut Spencer akan lebih
efisien diserahkan kepada pihak swasta.
Dalam konteks evolusi tadi, Spencer hanya tertarik sedikit terhadap
bentuk-bentuk pemerintahan yang dibedakan secara tradisional kedalam
model monarki, aristokrasi dan demokrasi. Menurutnya, dalam kerangka
teori evolusi ini ada 2 (dua) bentuk negara dan masyarakat : Negara
Militer dan Negara Industri. Negara militer adalah bentuk awal dari
organisasi sosial yang sifatnya masih primitif, barbar, dan selalu memiliki
hasrat untuk berperang. Dan pemimpin militer memiliki posisi seperti
pemimpin politik, yang didalamnya terdapat hubungan erat antara
militeristik dengan tindakan kesewenang-wenangan. Individu dinilai tidak
lebih dari sekedar alat untuk mencapai tujuan akhir negara, yaitu
mencapai kemenangan dalam setiap peperangan.
Dalam bidang perekonomian, negara militer tunduk kepada
kepentingan dan kebutuhan khas militer. Maka tujuan ekonomi sendiri
tidak diarahkan pada bagaimana mencapai dan mewujudkan
kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat banyak, melainkan sekedar
diproyeksikan untuk tujuan-tujuan meningkatkan kekuatan militer demi
keberhasilan dalam peperangan dan penaklukan-penaklukan negara lain
seperti yang kemudian tampak pada fenomena kolonialisme dan
imperialisme. Bahwa dalam negara militer, suatu hubungan sosial dan
kerjasama diantara individu-individu atau kelompok-kelompok terjadi, hal
ini lebih karena terpaksa atau dipaksakan oleh kekuasaan negara, bukan
lahir atas pertimbangan dan kesadaran sukarela masyarakat. Dalam
situasi dimana keamanan publik dianggap segala-galanya oleh
kekuasaan, maka ruang kebebasan individu dalam negara militer menjadi
sempit.
Situasi militeristik dalam negara militer itu pada akhirnya
mengalami perkembangan demikian rupa, teritori negara makin luas
disertai dengan tercapainya keamanan dan stabilitas dalam jangka waktu
yang lama, sehingga secara bertahap menimbulkan perubahan yang
memungkinkan tumbuhnya ciri-ciri masyarakat industri didalam negara
dan masyakarat. Cara hidup bernegara dan bermasyarakat dalam tradisi
industrialis (negara industri) ini didasarkan pada kerja sama secara bebas
dan dihapuskannya segala bentuk paksaan dan kekerasan dalam segala
aspek kehidupan. Spontanitas, keragaman, dan perbedaan adalah ciri-ciri
penting yang membentuk masyarakat industri; dan tujuan negara dan
masyarakat industri sendiri memang jelas, yakni menjamin kebebasan
dan mewujudkan kebahagiaan warganya secara maksimal.
Akhirnya Spencer meyakini, bahwa perkembangan masyarakat dan
negara dari bentuk militer ke industri yang ditandai dengan adanya
prakarsa-prakarsa kerjasama dalam suasana damai dan sukarela, bebas
eksploitasi dan paksaan mengindikasikan bahwa peran pemerintah akan
terus berkurang secara simultan dalam mengurus masyarakat. Sebab
menurut Spencer, keberadaan negara tidak lebih dari “proof of still-
existing barbarism”, bukti masih eksisnya barbarianisme. Jadi, semakin
masyarakat dan individu belajar untuk bekerja sama secara damai, bebas
dan saling menguntungkan, maka semakin dekat masyarakat kepada
bentuk ideal dari negara industri; dan dengan sendirinya pula akan
semakin berkurang kebutuhan masyarakat terhadap kehadiran

pemerintah.
Tetapi dari semua karya tulis yang pernah dipublikasikan Spencer
sepanjang hidupnya, buku berjudul The Man versus The State dianggap
merupakan buah pikirannya yang paling komprehensif dalam bidang
kajian sosiologi politik, sekaligus paling berpengaruh dalam konteks
filosofi laissez faire. Buku ini diterbitkan tahun 1884, dan merupakan
kompilasi dari 4 (empat) esainya yang diterbitkan oleh Contemporary
Review. Keempat esai Spencer itu adalah The New Tories, The Coming
Slavery, The Sins of Legislators, dan The Great Political Superstition.
Dalam esainya yang pertama Spencer mengrkitik kaum liberalis
Inggris yang meniggalkan prinsip individualisme ekonomi demi program
negara kesejahteraan, yang hendak memberikan peran besar kepada
negara untuk mengurus masalah-masalah perekonomian. Dalam esai
keduanya Spencer meyakini bahwa program negara kesejahteraan hanya
akan melahirkan gejala perbudakan (baru) berupa penindasan kaum
buruh dibawah kendali rezim yang menerapkan prinsip sosialisme dan
marxisme. Sementara dalam esainya yang ketiga Spencer menegaskan
bahwa kemajuan bukanlah hasil regulasi pemerintah, melainkan berasal
dari hasrat untuk meningkatkan kesejahteraan pribadi. Dalam esainya
yang terakhir Spencer menolak hak sakral para raja, yang sekarang hadir
menjadi hak sakral parlemen, yang disebutnya sebagai takhayul politik
besar.
Akhirnya Spencer sampai pada kesimpulan , bahwa pemerintah
bukanlah institusi sakral, agung dan luar biasa, serta berada di atas
segalanya. Pemerintah hanyalah sebuah komite manajemen yang tidak
memiliki otoritas dan kekuasaan selain dari yang telah diberikan atas
dasar persetujuan bebas oleh rakyatnya. Dalam konteks inilah kemudian
Spencer menegaskan, bahwa fungsi liberalisme di masa lalu adalah untuk
membatasi kekuasaan raja-raja, dan dimasa kini fungsi liberalisme adalah
untuk membatasi kekuasaan parlemen yang sering mengatasnamakan
kedaulatan rakyat kemudian bertindak terlalu jauh hingga merampas hak-
hak individu, lalu menciptakan despotisme baru. Situasi ini bukan yang
dikehendaki Spencer sebagaimana tertuang dalam pemikirannya tentang
laissez faire dan survival of the fittest sebagai ruh dari faham liberalism
klasik.
Dalam faham liberalism klasik, kebebasan berarti ada sejumlah
orang yang akan menang dan sejumlah orang yang akan kalah.
Kemenangan dan kekalahan ini terjadi karena persaingan bebas.
Sehingga kebebasan akan diartikan sebagai memiliki hak-hak dan mampu
menggunakan hak-hak itu dengan memperkecil turut campurnnya pihak
lain dalam hal ini adalah pemerintah. Kaum liberal menyatakan bahwa
masyarakat pasar kapitalis adalah masyarakat yang bebas dan
masyarakat yang produktif. Kapitalisme bekerja menghasilkan dinamika,
peluang dan kesempatan, serta kompetisi yang sehat atas dasar
kepentingan-kepentingan individu sebagai motor penggeraknya. Dan
Spencer meyakini, bahwa mekanisme pasar ini akan melahirkan
keseimbangan alamiah.
Liberalisme klasik, dengan landasan pembenar kebebasan bertujuan
mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar. Seperti pada contoh
kasus upah pekerja; dalam pemahaman liberalisme, pemerintah tidak
berhak ikut campur dalam penentuan gaji pekerja atau dalam masalah-
masalah ketenagakerjaan lainnya; ini sepenuhnya merupakan urusan
antara para pemilik modal (pengusaha) dan para pekerja. Pendorong
utama kembalinya kekuatan kekuasaan pasar adalah privatisasi aktivitas-
aktivitas ekonomi, terutajma usaha-usaha industri yang dimiliki dan
dikelola oleh pemerintah. Dengan demikian, liberalisme menghendaki
bahwa manajemen ekonomi haruslah berbasis permintaan yang
diciptakan oleh mekanisme pasar tadi, dan bukan didasarkan pada
persediaan yang diciptakan oleh pemerintah. Dalam hal ini tugas
pemerintah hanya menciptakan lingkungan yang kondusif sehingga modal
dapat bergerak bebas dengan baik. Pemerintah juga harus menjalankan
kebijakan-kebijakan pengurangan anggaran rutin, anggaran-anggaran
subsidi untuk kepentingan publik dan fasilitas-fasilitas untuk
kesejahteraan. Bagi liberalisme ini tidak sesuai dengan prinsip the survival
of the fittest.
Dengan demikian, logika pasarlah yang kemudian akan mengendalikan
kehidupan publik. Inilah sejatinya pondasi dasar liberalism : menundukan
kehidupan publik ke dalam logika mekanisme pasar. Pelayanan publik
dalam bentuk berbagai subsidi dianggap hanya akan mengakibatkan
pemborosan dan inefisiensi. Maka dalam konteks politik, liberalisme klasik
menawarkan pemikiran yang simpel, bahwa hingga batas tertentu,
kekuasaan negara (politik) tidak lagi mempunyai makna selain apa yang
ditentukan oleh pasar; relasi bebas antara pengusaha dan para pekerja.
Dalam pemikiran liberalisme politik adalah keputusan-keputusan yang
menawarkan nilai-nilai; dan liberalisme menganggap hanya ada satu cara
rasional untuk mengukur nilai, yaitu pasar. Maka semua pemikiran diluar
konteks pasar adalah salah. Kapitalisme liberal menganggap wilayah
politik adalah tempat dimana pasar berkuasa.

Apa yang menjadi kontribusi?


Masih didalam karyanya The Proper Sphere of Government, Spencer juga
memberi perhatian terhadap fungsi negara. Menurut Spencer, fungsi
utama negara adalah mengatur aparat pemerintah (birokrasi) dan
administrasi lembaga yudikatif untuk memastikan hak-hak dasar manusia
yakni kehidupan dan harta kekayaannya terlindungi. Negara tidak perlu
mengatur urusan agama, mengatur perdagangan, dan mendorong
kolonialisasi. Liberalisme klasik memang anti-kolonialisme. Pandangan-
pandangan fundamental Spencer tentang negara ini diuraikan, baik dalam
karya pertamanya maupun dalam bukunya yang kedua, Social Statics
(1851). Namun ada dua gagasan baru dalam bukunya yang kedua ini,
yaitu bahwa negara juga tidak perlu mengatur urusan mata uang dan
ekonomi secara umum. Kedua urusan ini menurut Spencer akan lebih
efisien diserahkan kepada pihak swasta.

Bisa menunjukkan peran pemerintah?


Akhirnya Spencer sampai pada kesimpulan , bahwa pemerintah
bukanlah institusi sakral, agung dan luar biasa, serta berada di atas
segalanya. Pemerintah hanyalah sebuah komite manajemen yang tidak
memiliki otoritas dan kekuasaan selain dari yang telah diberikan atas
dasar persetujuan bebas oleh rakyatnya. Dalam konteks inilah kemudian
Spencer menegaskan, bahwa fungsi liberalisme di masa lalu adalah untuk
membatasi kekuasaan raja-raja, dan dimasa kini fungsi liberalisme adalah
untuk membatasi kekuasaan parlemen yang sering mengatasnamakan
kedaulatan rakyat kemudian bertindak terlalu jauh hingga merampas hak-
hak individu, lalu menciptakan despotisme baru. Situasi ini bukan yang
dikehendaki Spencer sebagaimana tertuang dalam pemikirannya tentang
laissez faire dan survival of the fittest sebagai ruh dari faham liberalism
klasik.
Dalam faham liberalism klasik, kebebasan berarti ada sejumlah
orang yang akan menang dan sejumlah orang yang akan kalah.
Kemenangan dan kekalahan ini terjadi karena persaingan bebas.
Sehingga kebebasan akan diartikan sebagai memiliki hak-hak dan mampu
menggunakan hak-hak itu dengan memperkecil turut campurnnya pihak
lain dalam hal ini adalah pemerintah. Kaum liberal menyatakan bahwa
masyarakat pasar kapitalis adalah masyarakat yang bebas dan
masyarakat yang produktif. Kapitalisme bekerja menghasilkan dinamika,
peluang dan kesempatan, serta kompetisi yang sehat atas dasar
kepentingan-kepentingan individu sebagai motor penggeraknya. Dan
Spencer meyakini, bahwa mekanisme pasar ini akan melahirkan
keseimbangan alamiah.
Liberalisme klasik, dengan landasan pembenar kebebasan bertujuan
mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar. Seperti pada contoh
kasus upah pekerja; dalam pemahaman liberalisme, pemerintah tidak
berhak ikut campur dalam penentuan gaji pekerja atau dalam masalah-
masalah ketenagakerjaan lainnya; ini sepenuhnya merupakan urusan
antara para pemilik modal (pengusaha) dan para pekerja. Pendorong
utama kembalinya kekuatan kekuasaan pasar adalah privatisasi aktivitas-
aktivitas ekonomi, terutajma usaha-usaha industri yang dimiliki dan
dikelola oleh pemerintah. Dengan demikian, liberalisme menghendaki
bahwa manajemen ekonomi haruslah berbasis permintaan yang
diciptakan oleh mekanisme pasar tadi, dan bukan didasarkan pada
persediaan yang diciptakan oleh pemerintah. Dalam hal ini tugas
pemerintah hanya menciptakan lingkungan yang kondusif sehingga modal
dapat bergerak bebas dengan baik. Pemerintah juga harus menjalankan
kebijakan-kebijakan pengurangan anggaran rutin, anggaran-anggaran
subsidi untuk kepentingan publik dan fasilitas-fasilitas untuk
kesejahteraan. Bagi liberalisme ini tidak sesuai dengan prinsip the survival
of the fittest.
Dengan demikian, logika pasarlah yang kemudian akan mengendalikan
kehidupan publik. Inilah sejatinya pondasi dasar liberalism : menundukan
kehidupan publik ke dalam logika mekanisme pasar. Pelayanan publik
dalam bentuk berbagai subsidi dianggap hanya akan mengakibatkan
pemborosan dan inefisiensi. Maka dalam konteks politik, liberalisme klasik
menawarkan pemikiran yang simpel, bahwa hingga batas tertentu,
kekuasaan negara (politik) tidak lagi mempunyai makna selain apa yang
ditentukan oleh pasar; relasi bebas antara pengusaha dan para pekerja.
Dalam pemikiran liberalisme politik adalah keputusan-keputusan yang
menawarkan nilai-nilai; dan liberalisme menganggap hanya ada satu cara
rasional untuk mengukur nilai, yaitu pasar. Maka semua pemikiran diluar
konteks pasar adalah salah. Kapitalisme liberal menganggap wilayah
politik adalah tempat dimana pasar berkuasa.

Kritik apa yang muncul pendapat tokoh?


Akhirnya Spencer sampai pada kesimpulan , bahwa pemerintah
bukanlah institusi sakral, agung dan luar biasa, serta berada di atas
segalanya. Pemerintah hanyalah sebuah komite manajemen yang tidak
memiliki otoritas dan kekuasaan selain dari yang telah diberikan atas
dasar persetujuan bebas oleh rakyatnya. Dalam konteks inilah kemudian
Spencer menegaskan, bahwa fungsi liberalisme di masa lalu adalah untuk
membatasi kekuasaan raja-raja, dan dimasa kini fungsi liberalisme adalah
untuk membatasi kekuasaan parlemen yang sering mengatasnamakan
kedaulatan rakyat kemudian bertindak terlalu jauh hingga merampas hak-
hak individu, lalu menciptakan despotisme baru. Situasi ini bukan yang
dikehendaki Spencer sebagaimana tertuang dalam pemikirannya tentang
laissez faire dan survival of the fittest sebagai ruh dari faham liberalism
klasik.
Dalam faham liberalism klasik, kebebasan berarti ada sejumlah
orang yang akan menang dan sejumlah orang yang akan kalah.
Kemenangan dan kekalahan ini terjadi karena persaingan bebas.
Sehingga kebebasan akan diartikan sebagai memiliki hak-hak dan mampu
menggunakan hak-hak itu dengan memperkecil turut campurnnya pihak
lain dalam hal ini adalah pemerintah. Kaum liberal menyatakan bahwa
masyarakat pasar kapitalis adalah masyarakat yang bebas dan
masyarakat yang produktif. Kapitalisme bekerja menghasilkan dinamika,
peluang dan kesempatan, serta kompetisi yang sehat atas dasar
kepentingan-kepentingan individu sebagai motor penggeraknya. Dan
Spencer meyakini, bahwa mekanisme pasar ini akan melahirkan
keseimbangan alamiah.
Liberalisme klasik, dengan landasan pembenar kebebasan bertujuan
mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar. Seperti pada contoh
kasus upah pekerja; dalam pemahaman liberalisme, pemerintah tidak
berhak ikut campur dalam penentuan gaji pekerja atau dalam masalah-
masalah ketenagakerjaan lainnya; ini sepenuhnya merupakan urusan
antara para pemilik modal (pengusaha) dan para pekerja. Pendorong
utama kembalinya kekuatan kekuasaan pasar adalah privatisasi aktivitas-
aktivitas ekonomi, terutajma usaha-usaha industri yang dimiliki dan
dikelola oleh pemerintah. Dengan demikian, liberalisme menghendaki
bahwa manajemen ekonomi haruslah berbasis permintaan yang
diciptakan oleh mekanisme pasar tadi, dan bukan didasarkan pada
persediaan yang diciptakan oleh pemerintah. Dalam hal ini tugas
pemerintah hanya menciptakan lingkungan yang kondusif sehingga modal
dapat bergerak bebas dengan baik. Pemerintah juga harus menjalankan
kebijakan-kebijakan pengurangan anggaran rutin, anggaran-anggaran
subsidi untuk kepentingan publik dan fasilitas-fasilitas untuk
kesejahteraan. Bagi liberalisme ini tidak sesuai dengan prinsip the survival
of the fittest.
Dengan demikian, logika pasarlah yang kemudian akan mengendalikan
kehidupan publik. Inilah sejatinya pondasi dasar liberalism : menundukan
kehidupan publik ke dalam logika mekanisme pasar. Pelayanan publik
dalam bentuk berbagai subsidi dianggap hanya akan mengakibatkan
pemborosan dan inefisiensi. Maka dalam konteks politik, liberalisme klasik
menawarkan pemikiran yang simpel, bahwa hingga batas tertentu,
kekuasaan negara (politik) tidak lagi mempunyai makna selain apa yang
ditentukan oleh pasar; relasi bebas antara pengusaha dan para pekerja.
Dalam pemikiran liberalisme politik adalah keputusan-keputusan yang
menawarkan nilai-nilai; dan liberalisme menganggap hanya ada satu cara
rasional untuk mengukur nilai, yaitu pasar. Maka semua pemikiran diluar
konteks pasar adalah salah. Kapitalisme liberal menganggap wilayah
politik adalah tempat dimana pasar berkuasa.

Masalah Ethic apa?perdebatan apa?


dalam karya Herbert Spencer adalah mungkin untuk menemukan bukti yang mendukung kepala
sekolah ini. Untuk sejumlah besar ekonom klasik, bahkan ketika mereka tidak mendukung gagasan
laissez-faire di depan umum, intervensi adalah kejahatan yang perlu dan perlu pembenaran khusus
(Taylor, 1972).

Liberalisme klasik mengacu pada ilmu ekonomi Adam Smith. Di antara kaum liberal klasik, ia adalah
yang pertama dalam waktu dan signifikansi tertentu.  Dalam The Wealth of Nations, ia berpendapat,
bahwa pekerjaan individu dan perdagangan bebas, yang dicapai melalui operasi tangan tak kasat
mata, adalah cara terbaik untuk memajukan kekayaan suatu negara. Lebih tepatnya, keadaan sosial
yang optimal diciptakan melalui barter dan pertukaran individu bebas   dan tatanan alam bersama
dengan kebebasan individu. Ekonomi pasar yang bersaing sempurna akan menentukan hasil
keseimbangan kompetitif optimal Pareto. Mengingat sumber daya yang terbatas, tidak mungkin ada
hasil yang membuat semua anggota masyarakat lebih baik atau setidaknya sejahtera, sebagai hasil
dari pasar persaingan bebas. Tetapi teori tangan tak kasat mata memiliki keterbatasan. Teorinya
menyatakan, bahwa tidak boleh ada eksternalitas dalam ekonomi. Utilitas yang didapatkan setiap
konsumen dari barang yang dikonsumsi, harus independen dari utilitas dari barang yang dikonsumsi
oleh orang lain.

Apa yang kita rasakan dari kontribusi yang muncul?


Spencer berpendapat  perkembangan dalam teknologi militer  membantu membuat
masyarakat lebih bugar. Dalam The Evolution of Society (1876) ia menyatakan:  "Dalam
perjuangan untuk eksistensi di antara masyarakat, kelangsungan hidup yang terkuat adalah
kelangsungan hidup mereka yang memiliki kekuatan kerja sama militer terbesar, dan kerja
sama militer adalah jenis kerja sama utama yang menyiapkan jalan bagi jenis-jenis lain. 

Sehingga pembentukan masyarakat yang lebih besar oleh persatuan yang lebih kecil dalam
perang, dan penghancuran atau penyerapan masyarakat yang tidak bersatu yang lebih kecil
ini oleh masyarakat bersatu yang lebih besar adalah proses yang tak terhindarkan di mana
varietas manusia yang diadaptasi untuk kehidupan sosial menggantikan varietas yang kurang
beradaptasi; Diskusi Spencer tentang masyarakat industri militer menawarkan wawasan
tentang teori evolusinya. Tentu saja perang melambangkan salah satu bentuk paling ekstrim
dari survival of the fittest.

Subjek penelitian utama Darwin adalah dunia alami tumbuhan dan hewan, sementara
perhatian utama Spencer adalah masyarakat manusia. Kesadaran ini membawa kita kembali
ke pertanyaan yang diajukan pada awal artikel ini:  Mengapa kita menggunakan ungkapan
'Darwinisme sosial' padahal kita seharusnya mengatakan, 'sosial Spencerisme'? Darwinisme
sosial dapat melibatkan penerapan ide-ide biologis Darwin (yaitu, seleksi alam) ke dunia
sosial - tetapi Herbert Spencer telah melakukan itu dengan karyanya tentang kelangsungan
hidup yang terkuat melalui evolusi budaya.

Tag 'Darwinisme sosial' telah diterapkan pada banyak gagasan yang dibahas dalam sosiologi
Spencer. Sebagai contoh, ini telah diterapkan pada konflik dan persaingan antar kelompok,
terutama peran kekuasaan dan kekayaan; kolonialisme dan imperialisme; prinsip ekonomi
laissez faire ; militerisme; dan program eugenika. Spencer membahas semua bidang ini dari
perspektif evolusi budaya, survival-of-the fittest.

Studi-studi alami Darwin yang brilian telah memengaruhi banyak sarjana di masa lalu dan
sekarang, dan layak mendapatkan penghargaan. Namun, gagasan yang dikemukakan di sini
adalah  Spencer  memberikan wawasan besar, yang bersifat kultural.

Singkatnya, konsep 'seleksi alam' dan 'survival of the fittest' tentu terkait, tetapi ada survival
of the fittest dalam istilah atau konteks budaya. Inilah saatnya mengenali kontribusi Spencer
dengan menggunakan ungkapan 'Spencerisme sosial' setiap kali pemikiran adaptasi
diterapkan secara khusus pada masyarakat manusia.

Anda mungkin juga menyukai