Anda di halaman 1dari 44

SISTEM ONKOLOGI

LAPORAN MODUL 2

BENJOLAN PADA LEHER

ANDI BURHANUDDIN

ANANDA WULANDARI

RIZKY EKA FRIANIE

RIZKY SAKTIANI RIZAL

ANDINI PUSPITA SARI

AGUS SALIM SANI

ANUGRAH PRATAMA PUTRA

MUHAMMAD ADZAN AKBAR

MUH. TISAR SYAFWAN

RIMA IRMANSYAH

1
RIYALDI DWIPA ANUGRAH

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

2016

MODUL 2

BENJOLAN PADA LEHER

SKENARIO 2

Seorang laki-laki 60 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan suara serak yang telah di

alami 6 bulan. Sesak napas terutama jika melakukan aktivitas berat. Tampak benjolan pada

leher bagian lateral sebesar telur ayam.

KATA KUNCI

- Laki-laki 60 tahun

- Suara sserak 6 bulan

- Sesak napas

- Benjolan pada leher bagian lateral

PERTANYAAN

1. Anatomi, histologi dari organ yang terkait ?

2. Patomekanisme benjolan pada leher ?

3. Hubungan benjolan pada leher dengan suara serak dan sesak napas ?

2
4. Anamnesis tambahan dan pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosis ?

5. Deferensial diagnosis :

a. Etiologi

b. Gejala klinis

c. Faktor risiko

d. Langkah diagnosis

e. Penatalaksanaan

PEMBAHASAN

1. ANATOMI YANG BERKAITAN DENGAN KASUS

Pasien pada kasus mengalami benjolan pada lehernya. Sumber benjolan ini bisa

berasal dari jaringan otot, lemak, kulit, tulang maupun kelenjar tiroid, partiroid dan

kelenjar getah bening. Namun karena keterbatasan info sulit untuk menentukan

struktur yang menjadi sumber benjolan pada kasus ini. Namun secara garis besar, jika

suatu benjolan timbul pada daerah leher, maka organ yang bisa dicurigai mengalami

gangguan adalah :

a. Kelenjar Getah Bening (KGB)

Kelenjar getah bening adalah bagian dari system pertahanan tubuh kita. Tubuh

kita memiliki kurang lebih sekitar 600 kelenjar getah bening, namun hanya didaerah

submandibular (bagian bawah rahang bawah), ketiak atau lipat paha yang teraba

normal pada orang sehat.

Sistema lympathica colli facialis

Gugusan superficialis berjalan mengikuti vena superficialis dan gugusan

profunda berjalan mengikuti arteri atau seringkali mengikuti vena profunda.

Gugusan superficial membentuk suatu lingkaran pada perbatasan leher dan

kepala yang dinamakan lingkaran pericervicalis atau cervical collar, meliputi

3
l.n.occipitalis, l.n.mastoideus (l.n.retro auricularis), l.n.preauricularis, (l.n.parotideus

superficialis), l.n.parotideus profundus, l.n.submandibularis dan l.n.submentalis.

L.n.occipitalis terletak pada serabut-serabut cranialis m.trapezius, ditembusi oleh

v.occipitalis, kira-kira 2.5 cm disebelah infero-lateralis inion. Menerima aliran limfe

dari bagian belakang kepala dan mengirimkannya kepada lymphonodi cervicales

profundi dengan melewati bagian profunda m.sternocleidomastoideus.

L.n.pre-auricularis terletak pada glandula parotis sepanjang vena temporalis

superficialis dan vena facialis transversa. Menerima pembuluh afferent dan kepala

(scalp), auricular, palpebra dan pipi. Dan mengirim pembuluh afferent menuju ke

l.n.cervicalis superficialis.

L.n.submentalis berada diantra kedua venter anterior m.digasticus, pada

permukaan inferior dari m.mylohyoideus, membawa limfe dari lidah bagian tengah

(juga apex lingua) dan dari labium inferius.

L.n.submandibularis biasanya dikelompokkan pada gugusan superficialis,

meskipun membawa drainage dari lidah dan glandula submandibular. Lymphonodus

ini terletak pada vena facialis di sebelah caudal dari mandibula, dimana vena ini

menerima v.retromandibularis, pembuluh efferent membawa aliran lymphe menuju ke

l.n.cervicalis profundus pars cranialis.

Masih ada limphonodus lainnya, yaitu l.n.facialis yang merupakan perluasan

ke cranialis dari l.n.submandibularis dengan mengikuti vna facialis, berada pada

facies.

L.n.cervicalis anterior berada sepanjang vena jugularis anterior, menerima

lymphe dari bagian tengah (linea mediana) leher dan mengalirkan lymphenya menuju

ke l.n.cervicalis profundus, gugus ini dapat dianggap menerima afferent dari

l.n.submentalis.

4
L.n.cervicalis superficial berada sepanjang v.jugularis externa. Menerima

aliran lymphe dari kulit pada angulus mandibulae, region parotis bagian caudal dan

telinga, dan membawa aliran lymphenya menuju ke l.n.cervicalis profundus. Semua

lymphonodi akan member aliran lymphenya kepada l.n.cervicalis profundus. Diantara

gugusan superficial dan gugusan profunda terdapat gugusan intermedis, yang terdiri

atas :

 L.n.infrahyoideus yang berada pada membrane thyreo-hyoidea, menerima afferent

yang berjalan bersama-sama dengan a.lryngea superior dan berasal dari larynx

dibagian cranialis plica vokalis.

 L.n.prelaryngealis yang berada pada ligamentum cricothyreoideum, menerima limfe

dari larynx dibagian cranialis plica vokalis, berada pada vasa thyreoidea superior.

 L.n.paratrachealis yang berada pada celah diantara trachea dan oesophagus, menerima

lymphe dari glandula thyreoidea dan struktur disekitarnya, pembuluh efferennya

mengikuti vasa thyreoidea inferior menuju ke l.n.cervicalis profundus

(l.n.mediastinalis superior).

 L.n.cervicalis profundus terletak disebelah profunda m.sternocleidomastoideus

sepanjang carotid sheath. Terdiri atas banyak lymphonodus, berada pada vena

jugularis interna, mulai dari basis crania sampai disebelah cranialis clavicula dan

dibagi oleh venter inferior m.omohyoideus menjadi gugusan superior dan gugusan

inferior.

 Gugusan superior atau l.n.cervicalis profundus pars superior terletak disebelah

cranialis cartilage thyreoidea, menerima afferent dari cavum cranii, regio pterygoidea,

l.n.parotideus, dan l.n.submandibularis, radix linguae, pars cranio-lateralis thyreoidea,

larynx dan pharyx bagian caudal. Mengirimkan efferennya menuju ke l.n.cervicalis

profundus pars superior yang menuju ke arah medial dan membentuk

5
l.n.retropharyngealis (berada didalam spatium retropharyngeum), menerima lymphe

dari nasopharinx, tuba auditoria dan dari vertebra cervicalis, mengirimkan lymphenya

menuju kepada l.n.cervicalis profundus pars superior dengan mengikuti vena

pharyngealis. L.n.cervicalis profundus pars superior dan juga dari l.n.cervicalis

superficialis, pars caudalis glandula thyreoidea, larynx bagian caudal, trchea pars

cervicalis dan oesophagus. Pembuluh-pembuluh efferent membentuk sebuah

pembuluh besar (jugular trunk) dan bermuara kedalam dutus thoracicus (dibagian kiri)

serta ductus lymphaticus dexter (bagian kanan).

 Pada tempat persilangan antara m.digastricus dan vena jugularis interna terdapat

l.n.juguladigastricus.

 Gugusan lymphonodus yang terletak disebelah cranialis venter inferior m.omhyoideus

pada saat otot ini menyilang v.jugularis interna membentuk l.n.jugulo-omohyoideus.

Lokasi Regio Berdasarkan Memorial Sloam-Kattering Cancer Centre

 Regio I : kelenjar limfe submental. Submandibular

 Regio II : 1/3 atas vena jugularis interna, baisi cranii sampai tepi atas os hyoid,

berisi kelenjar limfe jugulogastric dan spinal asesorius.

 Regio III : 1/3 tengah vena jugularis interna, dipisahkan dari regio IV melalui

m.omohyoid, berisi kelenjar limfe jugularis medius.

 Regio IV : 1/3 bawah vena jugularis interna, berisi kelenjar limfa vena jugularis

inferior, skalenius dan supraklavikula.

 Regio V : kelenjar limfe terdapat pada trigonum servikal posterior.

6
Limfatikus

Terbungkus kapsul fibrosa yang berisi kumpulan sel-sel pertahanan tubuh dan

merupakan tempat penyaringan antigen (protein asing) dari pembulu-pembuluh getah

bening yang melewatinya. Pembuluh-pembuluh limfe akan mengalir ke KGB

sehingga dari lokasi KGB akan diketahui aliran pembuluh limfe yang melewatinya.

Oleh karena dilewati pembuluh getah bening yang dapat membawa antigen

(mikroba,zat asing) dan memiliki sel pertahanan tubuh maka apabila ada antigen yang

menginfeksi maka kelenjar getah bening dapat menghasilkan sel-sel pertahnan tubuh

yang lebih banyak untuk mengatasi antigen tersebut sehingga kelenjar getah bening

membesar. Pembesaran kelenjar getah bening dapat berasal dari penambahan sel-sel

pertahanan tubuh yang berasal dari KGB itu sendiri seperti limfosit, sel plasma,

monosit dan histiosit, atau karena datangnya sel-sel peradangan (neutrofil) untuk

mengatasi infeksi dikelenjar getah bening (limfadenitis), infiltrasi (masuknya) sel-sel

ganas atau timbunan dari penyakit metabolit makrofag (gaucher disease) .

Dengan mengetahui lokasi pembesaran KGB maka kita dapat mengerahkan

kepada lokasi kemungkinan terjadinya infeksi atau penyebab pembesaran KGB.

b. Faring

Nasopharing

Merupakan bagian yang paling luas dari cavum pharyngis. Terletak

dibelakang cavum nasi dan cranialis dari palatum molle (paltum molle dapat dianggap

membentuk lantai nasopharinx). Ruangan ini dapat dipisahkan sama sekali dari

oropharynx dengan mengangkat palatum molle kearah dinding posterior pharynx.

Kearah anterior berhubungan dengan cavum nasi dengan melalui choanae. Bagian ini

7
semata-mata dilalui oleh udara respirasi. Pada setiap dinding lateral nasopharynx

terdapat muara dari tuba auditiva (tuba pharyngotympanica).

Lubang ini terletak setinggi concha nasalis inferior dan dibatasi sebelah

postero-superior oleh torus tubarius, yaitu suatu penonjolan yang disebabkan oleh

pars medialis dari tuba auditiva. Disebelah dorsal dari tonjolan ini terdapat recessus

pharyngeus (rosenmulleri) yang berjalan vertical. Pada ostium pharyngeum tubae

auditiva tebentuk labium anterius dan labium posterior, dan labium posterior

melanjutkan diri kecaudal pada plica salpingopharyngealis, yaitu suatu plica yang

dibentuk oleh membrane mucosa yang membungkus m.salpingpharyngeus.

Dibagian cranialis dinding posterior nasopharynx terdapat tonsilla pharyngea

yang bertumbuh sampai usia anak 6 tahun, lalu mengalami retrogresi. Bilamana

terjadi hypetrophi maka nasopharynx dapat tertutup dan memberi gangguan respirasi.

Disebelah dorsal tuba auditiva terdapat kumpulan jaringan lymphoid yang

membentuk tonsilla tubaria. Pembesaran dari tonsilla ini dapat menekan tuba auditiva

dan menghalangi aliran udara yang menuju ketelinga bagian tengah. Pembesaran dari

tonsilla pharyngea dan tonsilla tubaria akan membentuk adenoid.

Oropharynx

Terletak disebelah dorsal cavum oris, disebelah caudal dari palatum molle dan

diebelah cranialis aditus laryngis. Mempunyai hubungan dengan cavum oris melalui

isthmus oropharyngeum (isthmus faucium).

Batas lateral isthmus facium dibentuk oleh arcus palatoglosus, yang melekat

dari palatum molle menuju kesisi lidah (kira-kira dibagian posterior pertengahan

lidah). Disebelah posteriornya lagi terdapat arcus palatopharyngeus yang berasall dari

tepi posterior palatum molle menuju ke caudo-dorsal mencapai dinding lateral

8
pharynx. Arcus palatopharyngeus, arcus dan bagian posterior sisi lingua membentuk

fossa tonsillaris yang ditempati oleh tonsilla palatine.

Laryngopharyngx

Bagian ini berada disebelah dorsal larynx. Kearah cranialis berhubungan

dengan oropharynx (hubungan bebas) dan kearah caudalis melanjutkan diri menjadi

oesophagus. Aditus laryngis terletak pada dinding anterior laryngopharynx. Facies

posterior dari cartilage arytaenoidea dan cartilage cricoidea membentuk dinding

anterior laryngopharynx.

Vascularisasi, innervasi dan lymphonodus

Dinding haryns mendapat suplai darah dari a.pharyngea ascendens (sebagai

cabang dari a.carotis externa), a.palatina ascendens (cabang dari a.facialis), a.palatina

major (cabang dari a.maxillaris). pembuluh vena membentuk plexus pharyngeus pada

dinding posterior dan dinding lateral pharynx dan member aliran darahnya kepada

vena jugularis interna.

Innervasi motoris untuk otot-otot pharynx diperoleh dari plexus pharyngeus

terkecuali m.stylopharyngeus yang mendapatkan innervasi dari r.muscularis

n.glossopharyngeus, kelenjar r.pharyngealis yang dikluarkan oleh ganglion

pterygopalatinum.

2. Mekanisme terjadi timbulnya benjolan pada leher

Ada banyak factor yang dapat menyebabkan timbulnya benjolan pada leher,

seperti trauma infeksi, hormone, neoplasma dan kelainan herediter. Factor-faktor ini

9
bekerja dengan caranya masing-masing dalam menimbulkan benjolan. Hal yang perlu

ditekankan adalah tidak selamanya benjolan yang ada pada leher timbul karena

kelainan yang ada pada leher. Tidak jarang kelainan itu justru berasal dari kelainan

sistemik seperti limpoma atau TBC.

Hampir semua struktur yang ada pada leher dapt mengalami benjolan entah itu

kelenjar tiroid, paratiroid dan getah bening, maupun benjolan yang berasal dari

struktur jaringan lain seperti lemak, otot dan tulang.

Infeksi dapat menimbulkan benjolan pada leher melalui beberapa cara yang

diantaranya berupa benjolan yang berasal dari invasi bakteri langsung pada jaringan

yang terserang secara langsung maupun benjolan yang timbul sebagai efek dari kerja

imunitas tubuh yang bermanifestasi pada pembengkakan kelenjar getah bening.

Mekanisme trauma dalam menimbulkan benjolan pada leher agak menyerupai

mekanisme infeksi. Hanya saja trauma yang tidak disertai infeksi sekunder pada

umumnya tidak menyebabkan pembesaran kelenjar getah bening.

Jika jaringan tubuh manusia terkena rangsangan berupa trauma dan reaksi

imun, maka otomatis sel-sel akan mengalami gangguan fisiologis. Sebagai responnya,

sel tubuh trauma mast sel dan sel basofi akan mengalami granulasi dan mengeluarkan

mediator radang berupa histamine, serotonin, bradikinin, sitokin berupa IL-2, IL-6,

dll. Mediator-mediator radang ini terutama histamine akan menyebabkan dilatasi

arteriola dan meningkatkan permeabilitas venula serta pelebaran

intraendothelialjunction. Hal ini megakibatkan cairan yang ada dalam pembuluh darah

keluar kejaringan sekitarnya sehingga timbul benjolan pada daerah yang terinfeksi

maupun terkena trauma. Infeksi dapat menimbulkan pembesaran kelenjar limfe

karena apabila mekanisme pertahanan tubuh berfungsi baik, sel-sel pertahanan tubuh

10
seperti makrofag, neutrofil, sel T aka berupaya memusnahkan agen infeksius

sedangkan agen ifeksius itu sendiri berupaya untuk menghancurkan sel-sel tubuh

terutama eritrosit agar bisa mendapatkan nutrisi. Kedua upaya perlawanan ini akan

mengakibatkan pembesaran kelenjar limfe karena bekerja keras untuk memproduksi

sel limfoid maupun menyaring sel tubuh yang mengalami kerusakan dan agen

infeksius yang masuk agar tidak menyebar keorgan tubuh lainnya.

Sedangkan mekanisme timbulnya benjolan akibat neoplasma entah itu dari otot, sel

limfoid, tulang maupun kelenjar secara umum hampir sama. Awalnya terjadi

dysplasia dan metaplasia pada sel matur akibat berbagai factor sehingga differensiasi

sel tidak lagi sempurna. Dysplasia ini menimbulkan sejumlah kelainan fisiologs

molekuler seperti peningkatan laju pembelahan sel dan inaktifasi mekanisme bunuh

diri sel terprogram. Hal ini berakibat pada proliferasi sel tak terkendali yang

bermanifestasi pada timbulnya benjolan pada jaringan. Neoplasma dapat terjadi pada

semua sel yang ada dileher entah itu kelenjar tiroid, adenoma tiroid, lemak-lipoma,

11
kartilago-kondroma, jaringan-limfe limpoma, maupun akibat dari metastase kanker

dari organ diluar leher.

Pad

a kasus dikatakan bahwa pasien mengalami benjolan pada leher yang mengalami

pembesaran secara progresif namun tidak nyeri pada penekanan. Namun pasien juga

mengalami gejala sakit kepala. Sulit untuk menentukan mekanisme pasti timbulnya

gejala pada pasien ini tanpa informasi lain mengenai penyakit terdahulu pasien,

lokalisasi benjolan dan nyeri kepala serta jumlah pemeriksaan fisik untuk

membedakan asal dan organ yang mengalami benjolan.

3. Hubungan benjolan pada leher dengan suara serak dan sesak nafas

a. Suara serak

Hubungan antara suara serak dengan tumor tergantung pada letak tumor. Apabila

tumor tumbuh pada pita suara asli, serak merupakan gejala dini dan menetap.

Apabila tumor tumbuh di daerah ventrikel laring, dibagian bawah plika

ventrikularis atau dibatas inferior pita suara, serak akan timbul kemudian.

Pada tumor supraglotis dan subglotis, serak merupakan gejala akhir atau tidak

timbul sama sekali. Pada kelompok ini, gejala pertama tidak khas dan subjektif

seperti perasaan tidak nyaman, rasa ada yang mengganjal ditenggorokan. Tumor

hipofaring jarang menimbulkan serak kecuali tumornya eksentif.

b. Sesak nafas

12
Gejala yang disebabkan adanya sumbatan jalan nafas dan dapat tumbuh pada

tiapa tumor laring. Gejala ini disebabkan sumbatan jalan nafas dan dapat timbul

pada tiapa tumor laring. Gejala ini disebabkan oleh gangguan jalan nafas oleh

massa tumor, penumpukan sekret maupun oleh fiksasi pita suara. Pada tumor

supraglotik dan transglotik terdepat kedua gejala tersebut. Sumbatan yang terjadi

perlahan-lahan dapat dikompensasi. Pada umumnya sesak nafas adalah tanda

prognosis yang kurang baik.

4. Anamnesis tambahan dan pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosis :

Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, jika ditemukan pasien

dengan keluhan yang terdapat pada kasus maka beberapa hal yang perlu dilakukan

pada pasien untuk mengarahkan diagnosis adalah sbb :

a. Anamanesis tambahan

o Apakah ada nyeri menelan ?

o Apakah ada batuk ?

o Apakah ada riwayat merokok dan minum alkohol ?

o Apakah ada epistaksis dan hidung tersumbat ?

o Apakah ada gangguan pendengaran seperti telinga berdengung ?

o Apakah ada nyeri pada wajah ?

o Apakah ada gangguan penglihatan ganda ?

o Apakah ada demam, keringan dingin dan penurunan berat badan ?

o Apakah ada riwayat penyakit seblumnya ?

o Riwayat penyakit dimasa kecil ?

o Riwayat pengobatan radiasi sebelumnya ?

13
b. Pemeriksaan fisik

o Menentukan lokasi dan asal benjolan : kulit, otot, lemak, kelenjar

o Menentukan ada tidaknya benjolan lain

o Memeriksa ada tidaknya kelainan fisik lain

c. Pemeriksaan penunjang

o Radiologi

 Esofasografi

 CT-Scan

o Lab

 Bakteriologi

 Tumor marker

o Biopsy

 FNAB

5. Diferensial diagnosis :

A. KARSINOMA LARING

Karsinoma laring adalah tumor ganas kepala leher yang sering ditemukan.

Balakangan ini angka kejadiannya cenderung naik. Terapi kanker laring terutama

dengan oerasii dan radiasi. Ada waktu terapi radikal kanker laring harus diuayakan

menjga dan mengkontruksi fungsi vocal pasien , meningkatkan kualitas pasien.

ETIOLOGI

Etiologi karsinoma nasofaring belum diketahui dengan pasti. Dikatakan oleh

para ahli bahwa perokok dan peminum alcohol merupakan kelompok orang-orang

dengan resiko tinggi terhadap karsinoma laring. Penelitian epidemiologic

14
menggambarkan beberapa hal yang diduga menyebabkan terjadinya karsinoma laring

yang kuat ialah rokok, alcohol da terpajan oleh sinar radioaktif.

Penelitian yang dilakukan di RS Ciptomangunkusomo menunjukan bahwa

karsinoma laring jarang ditemukan pada orang yang tidak merokok, sedangkan risiko

untuk mendapatkan karsinoma laring naik sesuai dengan kenaikan jumlah rokok yang

dihisap.

Yang terpenting pada penanggulangan karsinoma laring ialah diagnosis dini

dan pengobatan/ tindakan yang tepat dan kuratif karena tumornya masih terisolasi dan

dapat diangkat secara radikal. Tujuan utama ialah mengeluarkan bagian laring yang

terkena tumor dengan memperhatikan fungsi respirasi, fonasi serta fungsi sfingter

laring.

1. Tembakau

2.  Alkohol Dan Efek  Kombinasinya

3.  Ketegangan  Vocal

4.  Laringitis Kronis

5.  Pemajanan  Industrial  Terhadap  Karsinogen

6.   Defisiensi  Nutrisi (riboflavin)

7. Predisposisi keluarga

HISTOPATOLOGI

Ca sel skuamosa meliputi 95% sampai 98% dari semua tumor ganas laring. Ca

sel skuamosa dibagi 3 tingkat diferensiasi:

a) diferensiasi baik (grade 1)

b) berdiferensiasi sedang (grade 2)

c) berdiferensiasi buruk (grade 3)

15
kebanyakkan tumor ganas pita suara cenderung berdiferensiasi baik. Lesi yang

mengenai hipofaring, sinus piriformis dan plika ariepiglotika kurang berdiferensiasi

baik.

PATOFISIOLOGI

Karsinoma laring banyak dijumpai pada usia lanjut diatas 40 tahun.

Kebanyakan pada orang laki-laki. Hal ini mungkin berkaitan dengan kebiasaan

merokok, bekerja dengan debu serbuk kayu, kimia toksik atau serbuk, logam berat.

Bagaimana terjadinya belum diketahui secara pasti oleh para ahli. Kanker kepala dan

leher menyebabkan 5,5% dari semua penyakit keganasan. Terutama neoplasma

laryngeal, 95% adalah karsinoma sel skuamosa. Bila kanker terbatas pada pita suara

(intrinsik) menyebar dengan lambat. Pita suara miskin akan pembuluh limfe sehingga

tidak terjadi metastase ke arah kelenjar limfe. Bila kanker melibatkan epiglottis

(ekstrinsik) metastase lebih umum terjadi. Tumor superglotis dan subglotis harus

cukup besar, sebelum mengenai pita suara sehingga mengakibatkan suara serak.

Tumor pita suara yang sejati terjadi lebih dini biasanya pada waktu pita suara masih

dapat digerakan.

KLASIFIKASI LETAK TUMOR

 Tumor supraglotik:

Terbatas pada daerah mulai dari tepi atas epiglottis sampai batas atas glottis

termasuk pita suara palsu dan ventrikel laring.

 Tumor glotik:

Mengenai pita suara asli. Batas inferior glotik adalah 10 mm di bawah tepi bebas

pita suara, 10 mm merupakan batas inferior otot-otot intrinsic pita suara. Batas

16
superior adalah ventrikel laring. Oleh karena itu tumor glotik dapat mengenai 1

atau ke 2 pita suara, dapat  meluas ke subglotik sejauh 10 mm dan dapat

mengenai komisura anterior atau posterior atau prosessus vokalis kartilago

aritenoid.

 Tumor subglotik:

Tumbuh lebih dari 10 mm di bawah tepi bebas pita suara asli sampai batas

inferior krikoid.

 Tumor ganas transglotik:

Tumor yang menyeberangi ventrikel mengenai pita suara asli dan pita suara palsu

atau meluas ke subglotik lebih dari 10 mm.

GEJALA KLINIK

1. Serak:

Gejala utama Ca laring, merupakan gejala dini tumor pita suara. Hal ini

disebabkan karena gangguan fungsi fonasi laring. Kualitas nada sangat

dipengaruhi oleh besar celah glotik, besar pita suara, ketajaman tepi pita suara,

kecepatan getaran dan ketegangan pita suara.

Pada tumor ganas laring, pita suara gagal berfungsi secara baik disebabkan

oleh ketidak teraturan pita suara, oklusi atau penyempitan celah glotik,

terserangnya otot-otot vokalis, sendi dan ligament krikoaritenoid dan kadang-

kadang menyerang saraf. Adanya tumor di pita suara akan mengganggu gerak

maupun getaran kedua pita suara tersebut. Serak menyebabkan kualitas suara

17
menjadi semakin kasar, mengganggu, sumbang dan nadanya lebih rendah dari

biasa. Kadang-kadang bisa afoni karena nyeri, sumbatan jalan nafas atau paralisis

komplit. Hubungan antara serak dengan tumor laring tergantung pada letak

tumor. Apabila tumor laring tumbuh pada pita suara asli, serak merupakan gejala

dini dan menetap. Apabila tumor tumbuh di daerah ventrikel laring, dibagian

bawah plika ventrikularis atau dibatas inferior pita suara, serak akan timbul

kemudian.

Pada tumor supraglotis dan subglotis, serak dapat merupakan gejala akhir

atau tidak timbul sama sekali. Pada kelompok ini, gejala pertama tidak khas dan

subjektif seperti perasaan tidak nyaman, rasa ada yang mengganjal di tenggorok.

Tumor hipofaring jarang menimbulkan serak kecuali tumornya eksentif.

2. Suara bergumam

(hot potato voice): fiksasi dan nyeri menimbulkan suara bergumam.

3. Dispnea dan stridor

Gejala yang disebabkan sumbatan jalan nafas dan dapat timbul pada tiap

tumor laring. Gejala ini disebabkan oleh gangguan jalan nafas oleh massa tumor,

penumpukan kotoran atau secret maupun oleh fiksasi pita suara. Pada tumor

supraglotik dan transglotik terdapat kedua gejala tersebut. Sumbatan yang terjadi

perlahan-lahan dapat dikompensasi. Pada umunya dispnea dan stridor adalah

tanda prognosis yang kurang baik.

4. Nyeri tenggorok

keluhan ini dapat bervariasi dari rasa goresan sampai rasa nyeri yang

tajam.

5. Disfagia

18
Merupakan ciri khas tumor pangkal lidah, supraglotik, hipofaring dan

sinus piriformis. Keluhan ini merupakan keluhan yang paling sering pada tumor

ganas postkrikoid. Rasa nyeri ketika menelan (odinofagia) menandakan adanya

tumor ganas lanjut yang mengenai struktur ekstra laring.

6. Batuk dan hemoptisis

Batuk jarang ditemukan pada tumor ganas glotik, biasanya timbul dengan

tertekanya hipofaring disertai secret yang mengalir ke dalam laring. Hemoptisis

sering terjadi pada tumor glotik dan tumor supraglotik.

7. Nyeri alih

ke telinga ipsilateral, halitosis, hemoptisis, batuk dan penurunan berat

badan menandaka perluasan tumor ke luar laring atau metastasis jauh

8. Pembesaran kelenjar getah bening leher

Dipertimbangkan sebagai metastasis tumor ganas yang menunjukkan

tumor pada stadium lanjut

9. Nyeri tekan laring

Gejala lanjut yang disebabkan oleh komplikasi supurasi tumor yang

menyerang kartilago tiroid dan perikondrium.

DIAGNOSIS

Diagnosis ditebgakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis.

Pemeriksaan laring dapat dilakukan dengan cara tidak langsung menggunakan kaca

laring atau langsung dengan mengggunakan laringoskop. Pemeriksaan ini untuk

menilai lokasi tumor, penyebaran tumor kemudian dilakukan biopsy untuk

pemeriksaan patologi anatomik.

19
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan selain pemeriksaan laboratorium

darah juga pemeriksaan radiologic. Foto toraks diperlukan untuk menilai keadaan

paru, ada atau tidaknya proses spesifik dan metastasis di paru. CT scan laring dapat

memeperlihatkan keadaan penjalaran tumor pada tulang rawan tiroid dan daerah pre-

epiglotis serta metastasis kelenjar getah bening leher.

Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan patologi anatomic dari bahan

biopsy laring dan biopsy laring dan biopsy jarum halus pada pembesaran kelenjar

getah bening di leher. Dari hasil patologi anatomi yang terbanyak adalah karsinoma

sel skuamosa.

KLASIFIKASI TUMOR GANAS LARING (AJCC DAN UICC 1988)

A) TUMOR PRIMER (T)

Supraglotik

Tis : karsinoma in situ

T1 : tumor terdapat pada satu sisi suara/pita suara palsu (gerakan masih baik)

T2 : tumor sudah menjalar ke 1 dan 2 sisi daerah supraglotis dan glottis masih

bisa bergerak      (tidak terfiksir)

T3 : tumor terbatas pada laring dan sudah terfiksir atau meluas ke daerah krikoid

bagian           belakang, dinding medial dari sinus prirformis dan ke arah

rongga pre epiglottis.

T4 : tumor sudah meluas ke luar laring, menginfiltrasi orofaring jaringan lunak

pada leher          atau merusak tulang rawan tiroid.

Glottis

Tis : karisnoma in situ

20
T1 : tumor mengenai satu atau dua sisi pita suara, tetapi gerakan pita suara masih

baik, atau      tumor sudah terdapat pada komisura anterior atau posterior.

T2 : tumor meluas ke daerah supraglotis atau subglotis, pita suara masih dapat

bergerak atau     sudah terfiksasi (impaired mobility).

T3 : tumor meliputi laring dan pita suara sudah terfiksasi.

T4 : tumor sangat luas dengan kerusakan tulang rawan tiroid atau sudah keluar

dari laring.

Subglotik

Tis : karsinoma in situ

T1 : tumor terbatas pada daerah subglotis

T2 : tumor sudah meluas ke pita, pita suara masih dapat bergerak atau sudaj

terfiksasi.

T3 : tumor sudah mengenai laring dan pita suara sudah terfiksasi.

T4 : tumor yang luas dengan destruksi tulang rawan atau perluasan ke luar laring

atau kedua-   duanya.

B) PENJALARAN KE KELENJAR LIMFA (N)

Nx : kelenjar limfa tidak teraba

N0 : secara klinis kelenjar tidak teraba

N1 : secara klinis tidak teraba satu kelenjar linfa dengan ukuran diameter 3 cm

homolatera.

N2 : teraba kelenjar limfe tunggal, ipsilateral dengan ukuran diameter 3-6cm

N2a : satu kelenjar limfa ipsilateral, diameter lebih dari 3 cm tapi tidak lebih dari 6

cm.

N2b  : multiple kelenjar limfa ipsilateral, diameter tidak lebih dari 6 cm

21
N3 : metastasis kelenjar limfa lebih dari 6 cm.

C) METASTASIS JAUH (M)

Mx : tidak terdapat/terdeteksi.

M0 : tidak ada metastasis jauh

M1 : terdapat metastasis jauh

Staging (= stadium)

ST1      T1        N0       M0

STII     T2        N0       M0

STIII   T3        N0       M0

T1/T2/T3  N1  M0

STIV   T4        N0/N1 M0

      T1/T2/T3/T4   N2/N3

T1/T2/T3/T4 N1/N2/N3       M0

PENATALAKSANAAN

Setelah diagnosis dan stadium tumor ditegakkan maka ditentukan tindakan yang

akan diambil sebagai penanggulanangannya.

Ada 3 cara penanggulangan yang lazim dilakukan yakni pembedahan, radiasi, obat

sitostatika atau pun kombinasi daripadanya, tergantung pada stadium penyakit dan

keadaan umum pasien.

Sebagai patokan dapat dikatakan stadium 1 dikirim untuk mendapatkan radiasi,

stadium 2 dan 3 dikirim untuk operasi, stadium 4 dilakukan operasi dengan rekonstruksi

bila masih memungkinkan atau dikirim untuk mendapatkan radiasi.

22
Jenis pembedahan adalah laringektomi totalis atau pun parsial, tergantung lokasi

dan penjalaran tumor, serta dilakukan juga diseksi leher radikal bila terdapat penjalaran ke

kelenjar limfa leher.

Pemakaian sitostatika belum memuaskan, biasanya jadwal peberian sitostatika

tidak sampai selesai karena keadaan umum memburuk di samping harga obat ini yang

relative mahal sehingga tidak terjangkau oleh pasien.

Para ahli berpendapat bahwa tumor laring ini mempunyai prognosis yang palaing

baik di antara tumor-tumor daerah traktus aero-digestivus bila dikella dengan tepat, cepat

dan radikal.

Rehabilitasi Suara

Laringektomi yang dikerjakan untuk mengobati karsinoma laring menyebabkan

cacat pada pasien. Dengan dilakukannya pengangkatan laring beserta pita suara yang ada

di dalamnya, maka pasien akan menjdai afonia dan bernafas melalui stoma permanen di

leher.

Untuk itu diperlukan rehabilitasi terhadap pasien, baik yang bersifat umum yakni

agar pasien dapat bermasyarakt dan mandiri kembali maupun rehabilitasi khusus yakni

rehabilitasi suara (voice rehabilitation), agar pasien dapat berbicara (bersuara) sehingga

berkomunikasi verbal. Rehabilitasi suara dapat dilakukan dengan pertolongan alat bantu

suara yakni semacam vibrator yang ditempelkan di daerah submandibula atau pun dengan

suara yang dihasilkan dari esophagus (esophageal speech) melalui proses belajar. Banyak

faktor yang mempengaruhi suksesnya proses rehabilitasi suara ini tetapi dapat disimpulkan

menjadi 2 faktor utama ialah faktor fisik dan faktor psiko-sosial.

23
Suatu hal yang sangat membantu adalah pembentukan wadah perkumpulan guna

menghimpun pasien-ppasien tuna-laring guna menyokong aspek psikis dalam lingkup

yang luas dari pasien baik sebelum maupun sesudah operasi.

B. PENYAKIT LIMFOMA HODGKIN

Limfoma Hodgkin adalah suatu penyakit keganasan yang melibatkan kelenjar

getah bening yang ditandai dengan adanya sel Reed Stenberg

PATHOGENESIS

Penyakit Hodgkin adalah suatu limfoma maligna dengan adanya sel-sel reed

Stenberg. Tampaknya sel RS yang khas terebut dan sel-sel mononuclear abnormal yang

terkait bersifat neoplastic sedangkan sel-sel inflamasi yang menyertai bersifat reaktif.

Studi penataan ulang gen immunoglobulin menunjukkan bahwa sel RS berasal dari jalur

imfoid B dan sel tersebut sering kali berasal dari sel B dengan gen immunoglobulin

“lumpuh” yang disebabkan oleh lokasi didapat yang mencegah terjadinya sintesis

immunoglobulin lengkap. Genom virus Epstein Bar telah terdeteksi pada 50% atau lebih

kasus pada jaroinga Hodkin, tetapi peranannya daam pathogenesis belum jelas.

GAMBARAN KLINIS

Penyakit ini dapat terjadi pada berbagai usia tetapi jarang pada anak-anak, dan

insidensi puncaknya adalah pada decade 3 dan pada orang tua. Di negara maju, rasio

kasus dewasa muda terhadap anak dan rasio penyakit sclerosis nodular terhadap jenis

lain meningkat. Terdapat dominasi pria sebesar hampir 2 : 1. Gejala-gejala di bawah

ini sering ditemukan.

24
1. Sebagaian besar pasien datang dengan pembesaran kelenjar getah bening superficial

yang tidak nyeri tekan, asimetris, padat, berbatas tegas dan kenyal. Kelenjar getah

bening leher terkena pada 60-70% pasien, kelenjar aksilla pada 10-15% dan inguinal

pada 6-12%

2. Pada 50 % pasien, terjadi splenomegaly klinis selama perjalanan penyakit.

Pembesaran limpa jarang bersifat massif. Hati juga mungkin membesar karena

adanya keterlibatan hati.

3. Pada saat berobat, ditemukan keterlibatan mediastinum pada 6-11% pasien. Ini

adalah suatu gambaran tipe sclerosis nodular, khususnya muda.

4. Pada sekitar 10 % pasien, penyakit Hodgkin kulit terjadi sebagai komplikasi lanjut.

Organ-organ lain mungkin juga terkena misalnya sumsum tulang, saluran

gastrointestinal, tulang, paru, medulla spinalis atau otak bahkan pada saat presentasi,

tetapi hal ini jarang terjadi.

5. Gejal-gejala konstitusional menonjol pada penderita pnnyakit yang tersebar luas.

Dapat ditemukan hal berikut :

a. Demam terjadi pada sekitar 30% pasien, dan bersifat kontinyu atau siklik.

b. Pruritus, seringkali berat pada sekitar 25% kasus.

c. Terjadi nyeri yang diinduksi alcohol di daerah timbulnya penyakit

d. Penurunan berat badan, berkeringat sangat banyak pada malam hari, kelelahan,

fatigue, anorexia dan kakeksia.

DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI HISTOLOGI

Diagnosis ditegakkan melalui pemeriksaan histologic kelenjar getah bening

yang dieksisi, sel RS poliploid berinti lebih dari satu yang khas penting untuk penegakan

diagnosis. Klasifikasi histologic dibag menjadi lima tipe dan masing masing mempunyai

prognosis yang berbeda. Sclerosis nodular dan selulitas campuran lebih sering ditemukan.

25
Tabel Histologi Penyakit Hodgkin ( klasifikasi REAL/WHO )

Limfosit predominan / Tidak ada sek Reed Stenberg; terdapat sel B polimorfik

nodular ± area difus abnomal ( limfositik dan histiositik )


Penyakit Hodgkin Pita-pita kolagen memanjang dari kapsul kelenjar, untuk

klasik / Sklerosis mengelilingi nodul-nodul jaringan abnormal. Varian lakunar

Nodular Sel Reed Stenberg seringkali ditemukan. Infiltrat sel dapat

dari jenis predominant limfosit, selularitas campuran, atau

sedikit limfosit; sering ditemukan adanya eosinofilia.


Selularitas campuran Sel-sel Reed Stenberg banyak dan jumlah limfosit sedang
Sedikit limfosit Terdapat suatu pola retikuler dengan dominasi Sel-sel Reed

Stenberg dan sedikit limfosit atau pola fibrosis difus dan

kelenjar getah bening diganti oleh jaringan ikat teratur yang

negandung sedikit limfosit. Sel-sel Reed Stenberg jugs jarang

dijumpai pada subtipe yang terakhir ini


Kaya limfosit Sedikit Sel-sel Reed Stenberg; banyak limfosit kecil dengan

sedikit eosinofil dan sel-sel plasma tipe; nodular dan difus

KLASIFIKASI STADIUM

Kriteria klasifikasi stadium klinis, memakai patokan yang ditentukan Ann Arbor tahun

1971 sebagai berikut :

STADIUM LINGKUP TERKENA


I Mengenai satu regio kelenjar limfe (I) atau satu lokasi ekstranodi (IE).
II Mengnai 2 regio lebih kelenjar limfe, tapi semuanya masih di sautu sisi

diafragma (II), atau selain itu juga terdapat invasi organ ekstranodi

terlokalisasi di sisi yang sama (IIE).


III Terdapat invasi regio kelenjar limfe di atas dan bawah diafragma (III),

dapat disertai invasi organ ekstranodi terlokalisasi (IIIE) atau disertai

invasi limpa (IIIS) atau keduanya terkena (IIIES).

26
IV Invasi jaringan atau organ ekstranodi difus atau diseminata, tak peduli

ada atau tidak ada invasi kelenjar limfe.


Keterangan :

A : tanpa simtom B

B : terdapat simtom B (demam ≥ 38 o C, keringat malam atau dalam 6 bulan berat

badan turun lebih dari 10% tanpa etiologi lain yang dapat menjelaskan)

E : satu organ ekstranodal di area dekat kelenjar limfe

X : terdapat massa besar (bulky disease), yaitu di atas bidang T5-6 massa

supradiafragma melebihi 1/3 diameter toraks atau diameter massa melebihi 10 cm.

PENATALAKSANAAN

1. Radioterapi

Penderita penyakit Hodgkin stadium 1 dan 2a dapat disembuhkan hanya dengan

pemberian radio terapi. Dosis sebesar 4000 rad (40 gy) mampu menghancurkan

jaringan Hodgkin kelenjar getah bening pada sekitar 80% pasien tersebut.

Radioterapi juga berperan dalam pengbatan massa tumor besar misalnya tumor

27
mediastinum pada penyakit sclerosis nodular atau deposit rangka, kelenjar getah

bening atau jaringan yang nyeri.

2. Kemoterapi

Kemoterapi siklik digunakan untuk penyakit stadium 3 dan 4 dan juga untuk

pasien-pasien yang mempunyai penyakit dengan massa besar, gejal-gejal tipe b

atau telah mngalami relaps setelah radioterapi awal. Kombinasi Adriamycin,

Bleomycin, vinblastine, dan dakarbzin sekarang ini paling banyak digunakan.

Kasus relaps

Pasien diobati dengan kemoterapi kombinasi alternative terhadap regimen awal

dan jikka perlu dengan radioterapi di tempat dengan massa yang besar.

PROGNOSIS

Harapan hidup 5 tahun rata-rata berkisar dari 50% sampai lebih dari 90%

tergantung pada usia, stadium, dan histologi.

C. PENYAKIT LIMFOMA NON HODGKIN

Limfoma Non Hodgkin (LNH) merupakan sekumpulan besar keganasan

primer kelenjar getah bening, yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T, dan

terkadang sel NK. Saat ini terdapat 36 entitas penyakit yang dikategorikan sebagai

LNH dalam klasifikasi WHO. LNH merupakan keadaan klinis yang kompleks dan

bervariasi dalam hal patobiologi maupun perjalanan penyakit. Insidennya berkisar

63.190 kasus pada tahun 2007 di AS dan merupakan penyebab kematian utama pada

kanker pada pria usia 20-39 tahun.

28
Di Indonesia, LNH bersama-sama dengan limfoma Hodgkin dan leukemia

menduduki urutan peringkat keganasan ke-6.

MANIFESTASI KLINIS

Gejala yang sering ditemukan pada penderita limfoma pada umumnya non-

spesifik, diantaranya:

• Penurunan berat badan >10% dalam 6 bulan

• Demam 38oC >1 minggu tanpa sebab yang jelas

• Keringat malam banyak

• Cepat lelah

• Penurunan nafsu makan

• Pembesaran kelenjar getah bening yang terlibat

Dapat pula ditemukan adanya benjolan yang tidak nyeri di leher, ketiak atau

pangkal paha (terutama bila berukuran di atas 2 cm); atau sesak napas akibat

pembesaran kelenjar getah bening mediastinum maupun splenomegali. Tiga gejala

pertama harus diwaspadai karena terkait dengan prognosis yang kurang baik, begitu

pula bila terdapatnya Bulky Disease (KGB berukuran > 6-10 cm atau mediastinum

>33% rongga toraks). Menurut Lymphoma International Prognostic Index, temuan

klinis yang mempengaruhi prognosis penderita LNH adalah usia >60 tahun,

keterlibatan kedua sisi diafragma atau organ ekstra nodal (Ann Arbor III/IV) dan

multifokalitas (>4 lokasi).

PROSEDUR DIAGNOSTIK

Ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang.

1. Anamnesis Umum:

• Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) atau organ

29
• Malaise umum

• Berat badan menurun 10% dalam waktu 3 bulan

• Demam tinggi 38°C selama 1 minggu tanpa sebab

• Keringat malam

• Keluhan anemia (lemas, pusing, jantung berdebar)

• Penggunaan obat-obatan tertentu Khusus: Penyakit autoimun (SLE,

Sjorgen,Rheuma) Kelainan Darah

• Penyakit Infeksi (Toxoplasma, Mononukleosis, Tuberkulosis, Lues, dsb)

2. Pemeriksaan Fisik

• Pembesaran KGB

• Kelainan/pembesaran organ

• Performance status: ECOG atau WHO/karnofsky

3. Pemeriksaan Diagnostik

A. Biopsi:

1. Biopsi KGB dilakukan cukup pada 1 kelenjar yang paling representatif,

superfisial, dan perifer. Jika terdapat kelenjar superfisial/perifer yang paling

representatif, maka tidak perlu biopsi intraabdominal atau intratorakal.

Spesimen kelenjar diperiksa:

a. Rutin: Histopatologi (sesuai kriteria REAL-WHO)

b. Khusus : Imunohistokimia

2. Diagnosis harus ditegakkan berdasarkan histopatologi dan tidak cukup hanya

dengan sitologi. Pada kondisi tertentu dimana KGB sulit dibiopsi, maka

kombinasi core biopsy FNAB bersama-sama dengan teknik lain (IHK,

Flowcytometri dan lain-lain) mungkin mencukupi untuk diagnosis

3. Tidak diperlukan penentuan stadium dengan laparotomi

30
B. Laboratorium:

1. Rutin Hematologi:

• Darah Perifer Lengkap (DPL) : Hb, Ht, leukosit, trombosit, LED, hitung jenis

• Gambaran Darah Tepi (GDT) : morfologi sel darah

 Analisis urin : urin lengkap

2. Kimia klinik:

• SGOT, SGPT, Bilirubin (total/direk/indirek), LDH, protein total, albumin-

globulin

• Alkali fosfatase, asam urat, ureum, kreatinin

• Gula Darah Sewaktu

• Elektrolit: Na, K, Cl, Ca, P

• HIV, TBC, Hepatitis C (anti HCV, HBsAg)

3. Khusus

• Gamma GT

• Serum Protein Elektroforesis (SPE)

• Imunoelektroforesa (IEP)

• Tes Coomb

• B2 mikroglobulin

C. Aspirasi Sumsum Tulang (BMP) dan biopsi sumsum tulang dari 2 sisi spina illiaca

dengan hasil spesimen 1-2 cm

D. Radiologi

Untuk pemeriksaan rutin/standard dilakukan pemeriksaan CT Scan

thorak/abdomen. Bila hal ini tidak memungkinkan, evaluasi sekurang-kurangnya

dapat dilakukan dengan : Toraks foto PA dan Lateral dan USG seluruh abdomen.

E. Konsultasi THT

31
Bila Cincin Waldeyer terkena dilakukan laringoskopi.

F. Cairan tubuh lain (Cairan pleura, cairan asites, cairan liquor serebrospinal) Jika

dilakukan pungsi/aspirasi diperiksa sitologi dengan cara cytospin, disamping

pemeriksaan rutin lainnya.

G. Imunofenotyping

Minimal dilakukan pemeriksaan imunohitstokimia (IHK) untuk CD 20 dan akan

lebih ideal bila ditambahkan dengan pemeriksaan CD45, CD3 dan CD56 dengan

format pelaporan sesuai dengan kriteria WHO (kuantitatif).

H. Konsultasi jantung

Menggunakan echogardiogram untuk melihat fungsi jantung

KLASIFIKASI STADIUM DAN HISTOLOGIK

KLASIFIKASI STADIUM

Penetapan stadium penyakit harus dilakukan sebelum pengobatan dan setiap

lokasi jangkitan harus didata dengan cermat baik jumlah dan ukurannya serta

digambar secara skematis. Hal ini penting dalam menilai hasil pengobatan. Disepakati

menggunakan system staging menurut Ann-Arborr

STADIUM LINGKUP TERKENA


I Pembesaran KGB hanya satu regio
II Pembesaran KGB pada 2 regio atau lebih , tetapi masih dalam

1 sisi diafragma :

II 2 : pembesaran 2 regio KGB dalam 1 sisi diafragma.

II 3 : pembesaran 3 regio KGB dalam 1 sisi diafragma.

II E : pembesaran 1 regio atau lebih KGB dalam 1 sisi

diafragma. dan 1 organ ekstra limfatik tidak difus atau batas

tegas.
III Pembesaran KGB di 2 sisi diafragma. 32
IV Jila mengenai 1 organ ekstra limfatik atau leih tetapi secara

difus.
Keterangan :

A : Tanpa gejala konstitusional

B : Dengan gejala konstitusional

E : Keterlibatan ekstranodal

TATALAKSANA

Pilihan terapi bergantung pada beberapa hal, antara lain: tipe limfoma (jenis

histologi), stadium, sifat tumor (indolen/progresif), usia, dan keadaan umum pasien.

A. LNH INDOLEN STADIUM I DAN II

Radioterapi memperpanjang disease free survival pada beberapa pasien.

Standar pilihan terapi :

1. Iradiasi

2. Kemoterapi + radiasi

3. Extended (regional) iradiasi

4. Kemoterapi (terutama pada stadium ≥2 menurut kriteria GELF)

5. Kombinasi kemoterapi dan imunoterapi

B. LNH INDOLEN STADIUM II, III, IV

Standar pilihan terapi

1. Tanpa terapi

33
2. Rituximab dapat diberikan sebagai kombinasi terapi lini pertama yaitu R-CVP.

Pada kondisi dimana Rituximab tidak dapat diberikan maka kemoterapi

kombinasi merupakan pilihan pertama misalnya : COPP, CHOP dan FND.

3. Purine nucleoside analogs (Fludarabin) pada LNH primer

4. Alkylating agent oral (dengan/tanpa steroid), bila kemoterapi kombinasi tidak

dapat diberikan/ditoleransi ( (cyclofosfamid, chlorambucil)

5. Rituximab maintenance dapat dipertimbangkan

6. Kemoterapi intensif ± Total Body irradiation (TBI) diikuti dengan stem cell

resque dapat dipertimbangkan pada kasus tertentu

7. Raditerapi paliatif, diberikan pada tumor yang besar (bulky) untuk mengurangi

nyeri/obstruksi.

C. LNH INDOLEN RELAPS

Standar pilihan terapi

1. Radiasi paliatif

2. Kemoterapi

3. Transplantasi sumsum tulang

D. KARSINOMA NASOFARING

Karsinoma nasofaring (KNF) adalah tumor ganas yang tumbuh didaerah

nasofaring dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring.

EPIDIMIOLOGI

KNF dapat terjadi pada setiap usia, namun sangat jarang dijumpai penderita

di bawah usia 20 tahun dan usia terbanyak antara 45 – 54 tahun. Laki-laki lebih

banyak dari wanita dengan perbandingan antara 2 – 3 : 1. Kanker nasofaring tidak

34
umum dijumpai di Amerika Serikat dan dilaporkan bahwa kejadian tumor ini di

Amerika Syarikat adalah kurang dari 1 dalam 100.000

Disebahagian provinsi di Cina, dijumpai kasus KNF yang cukup tinggi yaitu

15-30 per 100.000 penduduk. Selain itu, di Cina Selatan khususnya Hong Kong dan

Guangzhou,dilaporkan sebanyak 10-150 kasus per 100.000 orang per tahun.Insiden

tetap tinggi untuk keturunan yang berasal Cina Selatan yang hidup di negara-negara

lain. Hal ini menunjukkan sebuahkecenderungan untuk penyakit ini apabila

dikombinasikan dengan lingkungan pemicu

Di Indonesia,KNF menempati urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas yang

terdapat di seluruh tubuh dan menempati urutan ke -1 di bidang Telinga , Hidung dan

Tenggorok (THT). Hampir 60% tumor ganas kepala dan leher merupakan KNF. Dari

data Departemen Kesehatan, tahun 1980 menunjukan prevalensi 4,7 per 100.000 atau

diperkirakan 7.000-8.000 kasus per tahun.Dari data laporan profil KNF di Rumah

Sakit Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar ,periode

Januari 2000 sampai Juni 2001 didapatkan 33% dari keganasan di bidang THT adalah

KNF. Di RSUP H. Adam Malik Medan pada tahun 2002 -2007 ditemukan 684

penderita KNF.

ETIOLOGI

Terjadinya KNF mungkin multifaktorial, proses karsinogenesisnya mungkin

mencakup banyak tahap. Faktor yang mungkin terkait dengan timbulnya KNF adalah:

1. Kerentanan Genetik

Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi

kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat tertentu relatif

lebih menonjol dan memiliki agregasi familial. Analisis korelasi menunjukkan gen

35
HLA (human leukocyte antigen) dan gen pengkode enzim sitokrom p4502E

(CYP2E1) kemungkinan adalah gen kerentanan terhadap karsinoma nasofaring,

mereka berkaitan dengan sebagian besar karsinoma nasofaring

2. Infeksi Virus Eipstein-Barr

Banyak perhatian ditujukan kepada hubungan langsung antara karsinoma

nasofaring dengan ambang titer antibody virus Epstein-Barr (EBV). Serum pasien-

pasien orang Asia dan Afrika dengan karsinoma nasofaring primer maupun sekunder

telah dibuktikan mengandung antibody Ig G terhadap antigen kapsid virus (VCA) EB

dan seringkali pula terhadap antigen dini (EA); dan antibody Ig A terhadap VCA

(VCA-IgA), sering dengan titer yang tinggi. Hubungan ini juga terdapat pada pasien

di Amerika yang mendapat karsinoma nasofaring aktif. Bentuk-bentuk anti-EBV ini

berhubungan dengan karsinoma nasofaring tidak berdifrensiasi (undifferentiated) dan

karsinoma nasofaring non-keratinisasi (non-keratinizing) yang aktif (dengan

mikroskop cahaya) tetapi biasanya tidak berhubung dengan tumor sel skuamosa atau

elemen limfoid dalam limfoepitelioma.

3. Faktor Lingkungan

Penelitian akhir-akhir ini menemukan zat-zat berikut berkaitan dengan

timbulnya karsinoma nasofaring yaitu golongan Nitrosamin,diantaranya

dimetilnitrosamin dan dietilnitrosamin, Hidrokarbon aromatic dan unsur Renik,

diantaranya nikel sulfat.

KLASIFIKASI & HISTOPATOLOGI

Berdasarkan klasifikasi histopatologi menurut WHO, KNF dibagi menjadi tipe

1 karsinoma sel skuamosa dengan keratinisasi, tipe 2 gambaran histologinya

karsinoma tidak berkeratin dengan sebagian sel berdiferensiasi sedang dan sebagian

36
lainnya dengan sel yang lebih ke arah diferensiasi baik, tipe 3 karsinoma tanpa

diferensiensi adalah sangat heterogen, sel ganas membentuk sinsitial dengan batas sel

tidak jelas. Jenis KNF yang banyak dijumpai adalah tipe 2 dan tipe 3. Jenis tanpa

keratinisasi dan tanpa diferisiensi mempunyai sifat radiosensitif dan mempunyai titer

antibodi terhadap virus Epstein-Barr, sedangkan jenis karsinoma sel skuamosa dengan

berkeratinisasi tidak begitu radiosensitif dan tidak menunjukkan hubungan dengan

virus Epstein-Barr.

GEJALA KLINIS KARSINOMA NASOFARING

1. Gejala Dini

KNF bukanlah penyakit yang dapat disembuhkan, maka diagnosis dan

pengobatan yang sedini mungkin memegang peranan penting.

Gejala pada telinga dapat dijumpai sumbatan Tuba Eutachius. Pasien

mengeluh rasa penuh di telinga, rasa dengung kadang-kadang disertai dengan

gangguan pendengaran. Gejala ini merupakan gejala yang sangat dini. Radang telinga

tengah sampai pecahnya gendang telinga. Keadaan ini merupakan kelainan lanjut

yang terjadi akibat penyumbatan muara tuba, dimana rongga telinga tengah akan terisi

cairan. Cairan yang diproduksi makin lama makin banyak, sehingga akhirnya terjadi

kebocoran gendang telinga dengan akibat gangguan pendengaran

Gejala pada hidung adalah epistaksis akibat dinding tumor biasanya rapuh

sehingga oleh rangsangan dan sentuhan dapat terjadi pendarahan hidung atau

mimisan. Keluarnya darah ini biasanya berulang-ulang, jumlahnya sedikit dan

seringkali bercampur dengan ingus, sehingga berwarna merah muda. Selain

itu,sumbatan hidung yang menetap terjadi akibat pertumbuhan tumor ke dalam rongga

hidung dan menutupi koana. Gejala menyerupai pilek kronis, kadang-kadang disertai

37
dengan gangguan penciuman dan adanya ingus kental. Gejala telinga dan hidung ini

bukan merupakan gejala yang khas untuk penyakit ini, karena juga dijumpai pada

infeksi biasa, misalnya pilek kronis, sinusitis dan lain-lainnya. Mimisan juga sering

terjadi pada anak yang sedang menderita radang.

2. Gejala Lanjut

Pembesaran kelenjar limfe leher yang timbul di daerah samping leher, 3-5

sentimeter di bawah daun telinga dan tidak nyeri. Benjolan ini merupakan pembesaran

kelenjar limfe, sebagai pertahanan pertama sebelum tumor meluas ke bagian tubuh

yang lebih jauh. Benjolan ini tidak dirasakan nyeri, sehingga sering diabaikan oleh

pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus, menembus kelenjar dan

mengenai otot di bawahnya. Kelenjarnya menjadi melekat pada otot dan sulit

digerakan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Pembesaran kelenjar

limfe leher merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter.

Gejala akibat perluasan tumor ke jaringan sekitar. Perluasan ke atas ke arah

rongga tengkorak dan kebelakang melalui sela-sela otot dapat mengenai saraf otak

dan menyebabkan ialah penglihatan ganda (diplopia), rasa baal (mati rasa) didaerah

wajah sampai akhirnya timbul kelumpuhan lidah, leher dan gangguan pendengaran

serta gangguan penciuman. Keluhan lainnya dapat berupa sakit kepala hebat akibat

penekanan tumor ke selaput otak rahang tidak dapat dibuka akibat kekakuan otot-otot

rahang yang terkena tumor. Biasanya kelumpuhan hanya mengenai salah satu sisi

tubuh saja (unilateral) tetapi pada beberapa kasus pernah ditemukan mengenai ke dua

sisi tubuh.

Gejala akibat metastasis apabila sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama

aliran limfe atau darah, mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring, hal

38
ini yang disebut metastasis jauh. Yang sering ialah pada tulang, hati dan paru. Jika ini

terjadi, menandakan suatu stadium dengan prognosis sangat buruk.

DIAGNOSIS

Persoalan diagnostik sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan CT-Scan

daerah kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang tersembunyi pun tidak

akan terlalu sulit ditemukan. Pemeriksaan foto tengkorak potongan anteroposterior,

lateral dan Waters menunjukan massa jaringan lunak di daerah nasofaring. Foto dasar

tengkorak memperlihatkan destruksi atau erosi tulang di daerah fossa serebri media.

Pemeriksaan darah tepi, fungsi hati, ginjal dan lain -lain dilakukan untuk mendeteksi

metastasis

Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi virus E-B

telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma nasofaring. Tetapi

pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis pengobatan. Diagnosis

pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring. Biopsi dapat dilakukan dengan

dua cara yaitu dari hidung atau dari mulut. Biopsi dari hidung dilakukan tanpa melihat

jelas tumornya (blind biopsi). Cunam biopsi dimasukkan melalui rongga hidung

menelusuri konka media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan

dilakukan biopsy

Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton yang

dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada didalam mulut ditarik

keluar dan diklem bersam-sama ujung kateter yang di hidung. Demikian juga dengan

kateter dari hidung disebelahnya, sehingga palatum mole tertarik keatas. Kemudian

dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring. Biopsi dilakukan dengan melihat tumor

39
melalui kaca tersebut atau memakai nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut,

massa tumor akan terlihat lebih jelas. Biopsi tumor nasofaring umumnya dilakuan

dengan anestsi topical dengan Xylocain 10%.Bila dengan cara ini masih belum

didapatkan hasil yang memuaskan maka dilakukan pengerokan dengan kuret daerah

lateral nasofaring dalam nakrosis. Endoskopi dapat membantu dokter untuk melihat

bagian dalam tubuh dengan hanya menggunakan thin,fexible tube. Pasien disedasi

semasa tuba dimasukkan melalui mulut ataupun hidung untuk menguji area kepala

ataupun leher. Apabila endoskopi telah digunakan untuk melihat nasofaring,disebut

nasofaringoskopi.

TERAPI BAGI KARSINOMA NASOFARING

Radioterapi masih merupakan pengobatan utama dan ditekankan pada

penggunaan megavoltage dan pengaturan dengan komputer. Pengobatan tambahan

yang diberikan dapat berupa diseksi leher, pemberian tetrasiklin, faktor transfer,

interferon, kemoterapi, seroterapi, vaksin dan anti virus. Semua pengobatan tambahan

ini masih dalam pengembangan, sedangkan kemoterapi masih tetap terbaik sebagai

terpai adjuvant (tambahan) ( Roezin, Anida, 2007 National Cancer Institute, 2009).

Pemberian adjuvant kemoterapi Cis-platinum, bleomycin dan 5-fluorouracil

saat ini sedang dikembangkan dengan hasil sementara yang cukup memuaskan.

Demikian pula telah dilakukan penelitian pemberian kemoterapi praradiasi dengan

epirubicin dan cis-platinum, meskipun ada efek samping yang cukup berat, tetapi

memberikan harapan kesembuhan yang lebih baik. Kombinasi kemoterapi dengan

mitomycin C dan 5-fluorouracil oral setiap hari sebelum diberikan radiasi yang

bersifat radiosensitizer memperlihatkan hasil yang memberi harapan akan

40
kesembuhan total pasien karsinoma nasofaring (Fuda Cancer Hospital Guangzhou,

2002 dan Arisandi, 2008).

Pengobatan pembedahan diseksi leher radikal dilakukan terhadap benjolan di

leher yang tidak menghilang pada penyinaran (residu) atau timbul kembali setelah

penyinaran selesai, tetapi dengan syarat tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan

dengan pemeriksaan radiologi dan serologi. Operasi sisa tumor induk (residu) atau

kambuh (residif) diindikasikan, tetapi sering timbul komplikasi yang berat akibat

operasi (Roezin, Anida, 2007).

Perawatan paliatif harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi.

Mulut rasa kering disebakan oleh keusakan kelenjar liur mayor maupun minor

sewaktu penyinaran. Tidak banyak yang dilakukan selain menasihatkan pasien untuk

makan dengan banyak kuah, membawa minuman kemanapun pergi dan mencoba

memakan dan mengunyah bahan yang rasa asam sehingga merangsang keluarnya air

liur. Gangguan lain adalah mukositis rongga mulut karena jamur, rasa kaku di daerah

leher karena fibrosis jaringan akibat penyinaran, sakit kepala, kehilangan nafsu makan

dan kadang-kadang muntah atau rasa mual ( Roezin, Anida, 2007).

Kesulitan yang timbul pada perawatan pasien pasca pengobatan lengkap

dimana tumor tetap ada (residu) akan kambuh kembali (residif). Dapat pula timbul

metastasis jauh pasca pengobatan seperti ke tulang, paru, hati, otak. Pada kedua

keadaan tersebut diatas tidak banyak tindakan medis yang dapat diberikan selain

pengobatan simtomatis untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Pasien akhirnya

meninggal dalam keadaan umum yang buruk , perdarahan dari hidung dan nasofaring

yang tidak dapat dihentikan dan terganggunya fungsi alat-alat vital akibat metastasis

tumor (Fuda Cancer Hospital Guangzhou, 2002 dan Roezin, Anida, 2007).

41
PROGNOSIS

Prognosis karsinoma nasofaring secara umum tergantung pada pertumbuhan

lokal dan metastasenya. Karsinoma skuamosa berkeratinasi cenderung lebih agresif

daripada yang non keratinasi dan tidak berdiferensiasi, walau metastase limfatik dan

hematogen lebih sering pada ke-2 tipe yang disebutkan terakhir. Prognosis buruk bila

dijumpai limfadenopati, stadium lanjut, tipe histologik karsinoma skuamus

berkeratinasi . Prognosis juga diperburuk oleh beberapa faktor seperti stadium yang

lebih lanjut,usia lebih dari 40 tahun, laki-laki dari pada perempuan dan ras Cina

daripada ras kulit putih (Arima, 2006) .

KOMPLIKASI

Toksisitas dari radioterapi dapat mencakup xerostomia, hipotiroidisme,

fibrosis dari leher dengan hilangnya lengkap dari jangkauan gerak, trismus, kelainan

gigi, dan hipoplasia struktur otot dan tulang diiradiasi. Retardasi pertumbuhan dapat

terjadi sekunder akibat radioterapi terhadap kelenjar hipofisis. Panhypopituitarism

dapat terjadi dalam beberapa kasus. Kehilangan pendengaran sensorineural mungkin

terjadi dengan penggunaan cisplatin dan radioterapi.

Toksisitas ginjal dapat terjadi pada pasien yang menerima cisplatin. Mereka

yang menerima bleomycin beresiko untuk menderita fibrosis paru. Osteonekrosis dari

mandibula merupakan komplikasi langka radioterapi dan sering dihindari dengan

perawatan gigi yang tepat (Maqbook, 2000 dan Nasir, 2009).

PENCEGAHAN

Pemberian vaksinasi pada penduduk yang bertempat tinggal di daerah dengan

risiko tinggi. Penerangan akan kebiasaan hidup yang salah serta mengubah cara

42
memasak makanan untuk mencegah kesan buruk yang timbul dari bahan-bahan yang

berbahaya. Penyuluhan mengenai lingkungan hidup yang tidak sehat, meningkatkan

keadaan sosial-ekonomi dan berbagai hal yang berkaitan dengan kemungkinan-

kemungkinan faktor penyebab. Akhir sekali, melakukan tes serologik IgA-anti VCA

dan IgA anti EA bermanfaat dalam menemukan karsinoma nasofaring lebih dini

(Tirtaamijaya, 2009).

DAFTAR PUSTAKA

 A.V. Hoffbrand, J.E. Petit, P.A.H. Moss. 2005, Kapita Selekta Hematologi Edisi 4.

Jakarta : EGC

 Aru Sudoyo dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 Edisi IV. Jakarta :

IPD Press

 Desen,wan.2013.Buku Ajar Onkologi Klinis.Edisi II.Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia

43
 Jurnal Fakultas kedokteran Universitas Sumatera Utara, 2012.

 (Komite Nasional penanggulangan kanker.2015.Panduan Nasional Penanganan

Kanker Limfoma Non Hodgkin.Kementrian Kesehatan Republik Indonesia

 Soepardi.E Arsyad. 2015.Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan

Kepala dan Leher.Ed.Ketujuh. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas

Kedokteran

44

Anda mungkin juga menyukai