Anda di halaman 1dari 5

Interoperabilitas dalam layanan kesehatan adalah kemampuan berbagai teknologi informasi layanan

kesehatan (HIT) untuk bertukar, menafsirkan, dan menggunakan data secara terpadu.
 
Sejak Undang-Undang Pemulihan dan Reinvestasi Amerika (ARRA) diberlakukan pada tahun 2009,
penyedia layanan kesehatan telah dipaksa untuk beralih dari kertas ke catatan kesehatan elektronik. Di
antara banyak faktor perubahan industri lainnya, ARRA menguraikan harapan untuk teknologi informasi
kesehatan (HIT) untuk bertukar data secara elektronik. Ini telah menjadi perkembangan utama dalam
perawatan kesehatan dalam beberapa tahun terakhir dan bisa dibilang kekuatan utama yang
mendorong industri menuju interoperabilitas saat ini.
 
Berbagai perangkat lunak yang tersedia di industri dikembangkan dalam silo yang mengarah ke
komunikasi terputus-putus ketika dipasangkan. Integrasi bekerja sampai batas tertentu, tetapi maksud
dari interoperabilitas adalah untuk memiliki pandangan holistik terhadap pasien meskipun ada
perbedaan dalam teknologi yang digunakan di seluruh praktik, rumah sakit, apotek, dll.
 
Dalam sebuah artikel yang dirilis oleh Masyarakat Sistem Informasi dan Manajemen Kesehatan (HIMSS):
 
“Skema dan standar pertukaran data harus memungkinkan data untuk dibagikan di antara klinisi, lab,
rumah sakit, farmasi, dan pasien terlepas dari aplikasi atau vendor aplikasi.
 
Interoperabilitas berarti kemampuan sistem informasi kesehatan untuk bekerja bersama di dalam dan
melintasi batas-batas organisasi untuk memajukan penyampaian layanan kesehatan yang efektif untuk
individu dan masyarakat. "
 
HIMSS melanjutkan artikel dengan membahas tiga tingkat interoperabilitas teknologi informasi
kesehatan.
 
TINGKAT INTEROPERABILITAS TEKNOLOGI INFORMASI KESEHATAN (HIT)
YAYASAN
Interoperabilitas dasar mengacu pada kemampuan satu sistem informasi untuk bertukar data dengan
yang lain. Titik fokus dengan interoperabilitas dasar adalah bahwa sistem penerima tidak harus
menafsirkan data yang diterimanya.
 
STRUKTURAL
Interoperabilitas struktural adalah kompleksitas sedang dan mendefinisikan struktur data dari informasi
yang dikirimkan antar sistem. Pemformatan pesan terstandarisasi ini memungkinkan data
diinterpretasikan pada tingkat bidang individual. Data struktural adalah "dipertahankan dan tidak
berubah", menurut HIMSS.
 
SEMANTIK
Interoperabilitas semantik adalah bentuk pertukaran data perawatan kesehatan yang paling kompleks
dan dicari. Dalam model ini, banyak sistem dapat bertukar data dan menggunakannya sepenuhnya. Ini
termasuk pertukaran, interpretasi, dan penggunaan data lintas sistem yang berbeda.
 
MANFAAT INTEROPERABILITAS
Contoh Interoperabilitas
Sumber Gambar
 
Pertukaran informasi dalam perawatan kesehatan, seperti halnya semua aspek kehidupan modern
lainnya, sangat penting bagi kemajuan kita. Interoperabilitas menjawab kebutuhan itu sambil secara
bersamaan meningkatkan kualitas layanan yang diterima, meningkatkan efisiensi layanan kesehatan,
dan bahkan insentif finansial.
 
KUALITAS PERAWATAN
Sebagian besar pasien menerima perawatan dari serangkaian klinik, praktik independen, dan rumah
sakit. Interaksi individu tersebut membentuk keseluruhan riwayat medis mereka, atau dikenal sebagai
Continuum of Care. Riwayat ini mendokumentasikan gejala, prosedur, alergi, komplikasi, dll. Tidak
memiliki akses ke semua titik data karena kurangnya perawatan kesehatan terintegrasi. Sistem TI paling
berbahaya dan paling tidak nyaman bagi pasien. Visibilitas penuh dan akses ke data pasien untuk
institusi kesehatan dan pasien adalah manfaat utama dari interoperabilitas.
 
EFISIENSI
Dengan memiliki hasil real-time di ujung jari mereka praktik medis dapat mengurangi tugas yang
berulang dan secara drastis meningkatkan margin dengan merawat lebih banyak pasien dan
meningkatkan kualitas perawatan yang mereka terima. Pasien akan memiliki kontrol lebih besar atas
data mereka sendiri, menghilangkan sejumlah besar beban administrasi itu. Fungsi administrasi dan
klinis yang tersisa akan disederhanakan karena data dan wawasan yang akurat.
 
INSENTIF KEUANGAN & PENGGANTIAN KEUANGAN
Penggunaan yang Berarti, yang menawarkan insentif untuk praktik yang mengadopsi Electronic Health
Records (EHR) mengatur nada untuk interoperabilitas antara sistem dan keselarasannya dengan insentif
keuangan. Ini akan terus memainkan peran utama dalam perkembangan masa depan dalam perawatan
berbasis nilai, seperti MIPS / MACRA, memperkuat hubungan antara hasil pasien dan kinerja keuangan.
Integrasi sistem informasi kesehatan yang ada

Pengertian terintegrasi tidak bermaksud mematikan/ menyatukan semua sistem informasi yang
ada. Sistem-sistem informasi yang lebih efisien bila digabungkan akan disatukan. Sistem-sistem
informasi lainnya, pengintegrasian lebih berupa pengembangan: pembagian tugas, tanggung jawab dan
otoritas-otoritas dan mekanisme saling hubung. Dengan integrasi ini diharapkan semua sistem informasi
yang ada akan bekerja secara terpadu dan sinergis membentuk SIKNAS. Pembagian tugas dan tanggung
jawab akan memungkinkan data yang dikumpulkan memiliki kualitas dan validitas yang baik. Otaritas
akan menyebabkan tidak adanya duplikasi dalam pengumpulan data, sehingga tidak akan terdapat
informasi yang berbeda-beda mengenai suatu hal. Mekanisme saling hubung, khususnya dengan Pusat
Data dan Informasi Departemen Kesehatan akan menjamin dapat dilakukannya pengolahan dan analisis
data secara komprehensif.

Sistem informasi terintegrasi: bisakah dikaitkan dengan interoperabilitas?

Berbagai sistem informasi telah digunakan di fasilitas kesehatan. Rumah sakit memiliki SIMRS, di
level primary care terdapat SIMPUS, SIM Klinik, P-Care dan di Dinas Kesehatan serta Kementrian
Kesehatan terdapat Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (Dinas Kesehatan Jawa Tengah,
Dinas Kesehatan Kabupaten Magelang). Dukungan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) terbukti
mampu menjawab berbagai kebutuhan data dari institusi yang berbeda sehingga meningkatkan
efektivitas sekaligus efisiensi pelayanan kesehatan. Terlebih lagi, sistem elektronik ini juga telah
digunakan oleh berbagai fasilitas pelayanan kesehatan di semua level. Konsep-konsep interoperabilitas
(komunikasi data) juga telah dilakukan melalui sistem rujukan, sistem penjadwalan online dan sistem
informasi pendukung penanggulangan gawat darurat terpadu. Artinya, terdapat peluang untuk
melakukan interoperabilitas berbagai macam sistem informasi yang sudah ada. Namun demikian,
interoperabilitas seperti apa yang memungkinkan sehingga dapat dijadikan contoh untuk melakukan
interoperabilitas secara menyeluruh.

Interoperabilitas diartikan sebagai kemampuan sistem untuk ‘berkomunikasi’ dengan sistem yang
lain. Interoperabilitas dalam kesehatan menekankan pada aspek intergrasi berbagai macam sistem
informasi yang ada secara internal (antar sistem dalam sebuah organisasi), dan pertukaran data
elektronik secara eksternal (antar organisasi) tanpa menghilangkan makna dari informasi yang
dipertukarkan (semantik). Dengan modal sistem informasi yang telah ada, konsep interoperabilitas
dapat dimanfaatkan untuk mengatasi permasalahan kesehatan. Salah satunya adalah aksesibilitas
layanan kesehatan di era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Telah diketahui bahwa permasalahan akses
di Indonesia berkaitan dengan jumlah dan distribusi fasilitas kesehatan dan penyedia layanan kesehatan
(tenaga medis). Di era jaminan kesehatan nasional, permasalahan tersebut lebih nyata karena
kebutuhan (demand) yang banyak (jumlah peserta yang besar), tidak diimbangi dengan penyedia
layanan kesehatan yang tersedia, terutama yang telah bekerjasama dengan BPJS Kesehatan sebagai
pengelola jaminan kesehatan nasional. Berbagai permasalahan muncul dari jumlah tempat tidur yang
kurang, tingginya antrian pasien di rawat jalan rumah sakit serta permasalahan rujukan pasien.

Salah satu solusi penggunaan sistem informasi untuk mendukung aksesibilitas pelayanan kesehatan
adalah dengan menyediakan informasi ketersediaan sumber daya fasilitas kesehatan seperti ruang
perawatan, jadwal pelayanan rawat jalan dan jenis layanan yang dapat diberikan. SPGDT yang
diterapkan di berbagai daerah menunjukkan bahwa upaya tersebut untuk mendukung pelayanan
pasien. Terlebih lagi berbagai variasi sistem informasi yang telah digunakan di fasilitas kesehatan
(terutama di rumah sakit), sudah mencakup fungsi tersebut (manajemen bed, sheduling dan
appointment systems). Namun demikian, belum adanya standar data yang digunakan oleh masing-
masing sistem informasi yang ada di fasilitas kesehatan, menghambat upaya untuk mengintegrasikan
informasi yang diperlukan. Sebagai contoh penamaan ruang perawatan, penamaan poliklinik/rawat
jalan, serta penamaan jenis layanan yang dapat diberikan.

Sistem informasi terintegrasi dapat dikembangkan untuk mengakomodasi integrasi berbagai macam
sistem informasi yang telah ada dengan prinsip komunikasi antar sistem (penggunaan standar data dan
interoperabilitas). Sistem ini berfungsi untuk menyediakan informasi ketersediaan ruang perawatan dan
jadwal praktek dokter di rawat jalan (baik di RS maupun layanan kesehatan dasar).

Asia eHealth Information Network adalah asosiasi eHealth yang beranggotakan


negara-negara Asia seperti Filipina, Thailand, Malaysia, Indonesia, Taiwan dan
lainnya. AeHIN mengupayakan pertukaran pengalaman pemanfaatan eHealth
suatu negara agar dapat diadopsi negara lain. Setiap tahun AeHIN
menyelenggarakan general meeting yang mempergemukan stakeholder masing-
masing negara (Kementrian Kesehatan dan Universitas) dengan berbagai donor,
implementor dan technical agency untuk eHealth. 

Tahun 2018 AeHIN diselenggarakan di Colombo Sri Lanka tanggal 7-9 Oktober
2018 dengan mengambil tema Digital Health. Dalam sambutannya, Dr. Anil
Jasinghe, Direktorat Pelayanan Kesehatan Kementrian Kesehatan Sri Lanka,
menyebutkan revolusi industri 4.0 memberikan dampak pada pelayanan
kesehatan terutama berkaitan dengan pemanfaatan clinical decision support
system, big data, data mining, dan artificial intellegence. Implementasi digital
health menunjukkan penvalaman yang sukses di wilayah Asia. Sebagai contoh
Sri Lanka memulai digital health sekitar 15 tahun yang lalu, hingga sekarang
sudah ada tenaga khusus medical informatics di rumah sakit dan kementrian
kesehatan melalui pendidikan spesialisasis bidang biomedical informatics di
Universitas Colombo. AeHII sudah menjadi partner bagi Sri Lanka sejak pertama
kali berdiri pada tahun 2017 untuk mengembangkan inovasi eHealth. Tantangan
selanjutnya adalah bagaimana eHealth dapat memberikan dampak positif bagi
outcome pelayanan kesehatan dimana data kesehatan dapat dimanfaatkan
secara optimal.

Dr. Razia Pendse dari WHO Sri Lanka menambahkan dengan berkembangnya
eHealth tidak hanya memerlukan interoperabilitas data kesehatan dan
infrastruktur pendukungnya, melainakn interoperabilitas sosial yang menyangkut
proses bisnis, kebijakan kesehatan dan kapasitas sumber daya manusia.
Pencapaian UHC menjadi salah satu dorongan interoperabilitas sistem informasi
dan sosial, selain upaya-upaya pemanfaatan ICT untuk  dalam meningkatkan
akses terhadap pelayanan kesehatan, pemberdayaan pasien untuk pemeliharaan
kesehatan, manajemen tenaga kesehatan, supply chain, monitoring SDGs 3, dan
bahkan menjadi penapis informasi kesehatan yang salah (hoax). WHO
bekerjasama dengan lembaga lain berupaya untuk mengeksploitasi solusi digital
health untuk sebaik-baiknya bagi masyarakat.

Susan Roth dari ADB dan Alvin Marcelo AeHIN menegaskan bahwa jejaring
eHealth Asia dapat mempercepat implementasi inovasi eHealth melalui
pertukaran pengalaman dan belajar dari kesalahan-kesalahan yang pernah
dialami. Sekarang waktunya menempatkan inovasi eHealth untuk meningkatkan
kesehatan individu dan harapannya berdampak pada tingkat sosial ekonomi
masyakarat. Tiga strategi penting untuk meningkatkan eHealth 1).Standardisasi
untuk mengoptimalkan peran digital health, 2).Tatakelola pengelolaan eHealth,
serta 3).Perencanan yang baik untuk masa depan seiring dengan perubahan
teknologi informasi dan komunikasi.

Bagaimana situasi eHealth di Indonesia? Digital health terjadi secara sporadis,


tumpang tindih dan tidak terintegrasi. Desentralisasi di Indonesia juga
berdampak pada desentralisasi inovasi TIK yang justru menyebabkan
terfragmentasinya sistem informasi kesehatan dan information silo. Upaya
integrasi dan interoperabilitas menjadi lebih sulit di tengah-tengah berjalannya
sistem informasi di berbagai daerah dan fasilitas kesehatan. Implementasi
eHealth yang dilakukan industri (vendor), pusat penelitian, donor, BPJS
Kesehatan dan instansi pemerintah tanpa koordinasi dan acuan standard
eHealth nasional memperparah fragmentasi sistem informasi kesehatan di
Indonesia. Indonesia sangat memerlukan pengembangan standar data kesehatan
sebagai upaya interoperabilitas sistem informasi. Indonesia dapat mempelajari
berbagai solusi eHealth melalui jejaring AeHIN. Namun demikian, harus mengacu
pada konteks dan situasi spesifik eHealth yang telah berjalan di indonesia.
Berbagai solusi eHealth tersedia secara opensource, tetapi Indonesia tidak
memiliki kelompok yang menguasai teknologi open source tersebut. Investasi
terhadap penguasaan teknologi open source tidak tersedia atau tidak
diupayakan. Walaupun 1-2 tahun terakhir, Kemenkes dan Universitas dibantu
oleh Global Fund menginvestasikan capacity building penggunaan Open Source
DHIS2 untuk manajemen informasi kesehatan. Di level nasional, kecendrungan
untuk mengembangkan sistem sendiri dapat dilihat dari pengembangan aplikasi
SIKDA Generik, SIMRS Go Open Source. Belum ada upaya untuk pengembangan
standard dan upaya-upaya nasional untuk interoperabilitas sistem informasi
kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai