Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengendalian Vektor dan Binatang
Pengganggu
Disusun Oleh :
Kelompok 2 2D-IVA
Annisa Rahmawati
Kisi Rahmadevy
Jl. Hang Jebat III/F3 KebayoranBaru Jakarta Selatan 12120 Telp. 021-7397641,
7397643 Fax. 021-7397769 Website :www.Poltekkesjkt2.ac.id
Email :Info@Poltekkesjkt2.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini yang berjudul “PENGENDALIAN VEKTOR NYAMUK CULEX
”. Sebagai tugas dan bahan diskusi, yang diberikan oleh dosen Mata
Kuliah Pengendalian Vektor dan Binatang Pengganggu. kami menyadari bahwa
makalah ini tidak mungkin dapat terselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai
pihak.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan sebagai bahan
materi untuk menambah wawasan mahasiswa mengenai vector dan binatang
pengganggu. Penulis haturkan permohonan maaf atas segalah kekurangan, bila
penyusunan Makalah ini dianggap kurang berkenan, terutama oleh pihak dianggap
dirugikan dan lain-lain. Oleh karena itu keritikan yang bersikap konstruktis
senantiasa kami harapkan, baik dari pembimbing maupun yang membaca Makalah
ini agar kami dapat memperbaiki diri.
Kelompok 2
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
PEMBAHASAN................................................................................................................1
B. Klasifikasi......................................................................................................................1
C. Siklus Hidup..................................................................................................................1
D. Bionomik.......................................................................................................................2
E. Habitat...........................................................................................................................3
H. Pengendalian................................................................................................................. 8
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................13
ii
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nyamuk Culex sp
Culex sp adalah genus dari nyamuk yang berperan sebagai vektor penyakit yang penting
seperti West Nile Virus, Filariasis, Japanese enchepalitis, St Louis encephalitis. Nyamuk
dewasa dapat berukuran 4 – 10 mm (0,16 – 0,4 inci). Dan dalam morfologinya nyamuk
memiliki tiga bagian tubuh umum: kepala, dada, dan perut. Nyamuk Culex yang banyak di
temukan di Indonesia yaitu jenis Culex quinquefasciatus.
B. Klasifikasi
Kingdom : Animal ia
Phylum : Arthropoda
Class : Insecta
Ordo : Diptera
Family : Culicidae
Genus : Culex
C. Siklus Hidup
1. Telur
Seekor nyamuk betina mampu meletakan 100-400 butir telur. Setiap spesies nyamuk
mempunyai kebiasaan yang berbeda-beda. Nyamuk Culex sp meletakan telurnya diatas
permukaan air secara bergelombolan dan bersatu membentuk rakit sehingga mampu
untuk mengapung.
2. Larva
Setelah kontak dengan air, telur akan menetas dalam waktu 2-3 hari. Pertumbuhan dan
perkembangan larva dipengaruhi oleh faktor temperature, tempat perindukan dan ada
tidaknya hewan predator.[11] Pada kondisi optimum waktu yang dibutuhkan mulai dari
penetasan sampai dewasa kurang lebih 5 hari.
3. Pupa
1
Pupa merupakan stadium terakhir dari nyamuk yang berada di dalam air, pada stadium
ini tidak memerlukan makanan dan terjadi pembentukan sayap hingga dapat terbang,
stadium kepompong memakan waktu lebih kurang satu sampai dua hari.[11] Pada fase
ini nyamuk membutuhkan 2-5 hari untuk menjadi nyamuk, dan selama fase ini pupa
tidak akan makan apapun dan akan keluar dari larva menjadi nyamuk yang dapat terbang
dan keluar dari air.
4. Dewasa
Setelah muncul dari pupa nyamuk jantan dan betina akan kawin dan nyamuk betina yang
sudah dibuahi akan menghisap darah waktu 24-36 jam. Darah merupakan sumber protein
yang esensial untuk mematangkan telur.[8] Perkembangan telur hingga dewasa
memerlukan waktu sekitar 10 sampai 12 hari.
D. Bionomik
Nyamuk Culex sp Nyamuk betina menghisap darah untuk proses pematangan telur, berbeda
dengan nyamuk jantan. Nyamuk jantan tidak memerlukan darah tetapi hanya meng hisap
sari bunga.[8] Setiap nyamuk mempunyai waktu menggigit, kesukaan menggigit, tempat
beristirahat dan berkembang biak yang berbeda-beda satu dengan yang lain.
2
4. A,ktifitas menghisap darah
Nyamuk Culex sp suka menggigit manusia dan hewan terutama pada malam hari
(nocturnal). Nyamuk Culex sp menggigit beberapa jam setelah matahari terbenam
sampai sebelum matahari terbit. Dan puncak menggigit nyamuk ini adalah pada pukul
01.00-02.00.
E. Habitat
Nyamuk dewasa merupakan ukuran paling tepat untuk memprediksi potensi penularan
arbovirus. [14] Larva dapat di temukan dalam air yang mengandung tinggi pencemaran
organik dan dekat dengan tempat tinggal manusia. Betina siap memasuki rumah-rumah
di malam hari dan menggigit manusia dalam preferensi untuk mamalia lain.
3
dikaitkan antara intensitas cahaya terhadap suhu dan kelembaban, hal ini sangat
berpengaruh. Semakin tinggi atau besar intensitas cahaya yang dipancarkan ke
permukaan maka keadaan suhu lingkungan juga akan semakin tinggi. Begitu juga
dengan kelembaban, semakin tinggi atau besar intensitas cahaya yang dipancarkan
ke suatu permukaan maka kelembaban di suatu lingkungan tersebut akan menjadi
lebih rendah
4
(Gambar 2. Kaki Gajah/ Filariasis)
5
(Gambar 3. Siklus West Nile Virus)
3. Japanese Encephalitis
Japanese Encephalitis (JE) adalah penyakit radang otak menular
disebabkan oleh zoonosis dan disebabkan oleh virus. Virus ini disebarkan melalui
gigitan nyamuk Culex.
a. Cara penularan
Penyakit ini disebarkan melalui gigitan nyamuk dengan perantara
hewan lain. Babi sebagai salah satu penjamu virus JE, merupakan tempat
terbaik perkembangan virus JE, meskipun ada hewan lain seperti sapi,
kerbau, kuda, kambing, domba, anjing, kucing maupun unggas.
b. Gejala
Demam, sakit kepala, lemah, mengingau, mengantuk, lumpuh,
bahkan pingsan. Penyakit ini juga menimbulkan gejala sisa apabila
sembuh, terjadi pada 5-70% kasus yaitu berupa gangguan system motorik,
perilaku, intelektual dan gangguan fungsi neuron lain.
6
(Gambar 5. Japannese enchepalitis siklus)
7
H. Pengendalian
Pengendalian nyamuk dapat dibagi menjadi tiga yaitu :
1. Pengendalian secara mekanik
Cara ini dapat di lakukan dengan mengubur kaleng-kaleng atau tempat-tempat
sejenis yang dapat menampung air hujan dan membersihkan lingkungan yang
berpotensial di jadikan sebagai sarang nyamuk Culex sp misalnya got dan
potongan bambu. Pengendalian mekanis lain yang dapat dilakukan adalah
pemasangan kelambu dan pemasangan perangkap nyamuk baik menggunakan
cahaya lampu dan raket pemukul
2. Pengendalian secara biologi
Intervensi yang di dasarkan pada pengenalan organisme pemangsa, parasit,
pesaing untuk menurunkan jumlah Culex sp. Ikan pemangsa larva misalnya
ikan kepala timah, gambusia ikan mujaer dan nila di bak dan tempat yang
tidak bisa ditembus sinar matahari misalnya tumbuhan bakau sehingga larva
itu dapat di makan oleh ikan tersebut dan merupakan dua organisme yang
paling sering di gunakan. Keuntungan dari tindakan pengendalian secara
biologis mencakup tidak adanya kontaminasi kimiawi terhadap lingkungan.[8]
Selain dengan penggunaan organisme pemangsa dan pemakan larva nyamuk
pengendalian dapat di lakukan dengan pembersihan tanaman air dan rawa-
rawa yang merupakan tempat perindukan nyamuk, menimbun, mengeringkan
atau mengalirkan genangan air sebagai tempat perindukan nyamuk dan
membersihkan semak-semak di sekitar rumah dan dengan adanya ternak
seperti sapi, kerbau dan babi dapat mengurangi jumlah gigitan nyamuk pada
manusia apabila kandang ternak di letakkan jauh dari rumah.
3. Pengendalian secara kimia.
Penggunaan insektisida secara tidak tepat untuk pencegahan dan pengendalian
infeksi dengue harus dihindarkan. Selama periode sedikit atau tidak ada
aktifitas virus dengue, tindakan reduksi sumber larva secara rutin, pada
lingkungan dapat dipadukan dengan penggunaan larvasida dalam wadah yang
tidak dapat dibuang, ditutup, diisi atau ditangani dengan cara lain.
4. Radiasi
Melakukan sterilisasi dengan bahan radioaktif tertentu terhadap nyamuk
8
dewasa merupakan salah satu alternatif untuk upaya pengendalian vektor.
Radiasi gamma dan neutron dapat dimanfaatkan untuk pengendalian vektor
penyakit melalui teknik TSM (Teknik Serangga Mandul). Faktor yang
berpengaruh terhadap proses kemandulan pada nyamuk ialah terjadinya
infekunditas (tidak dapat menghasilkan telur), inaktivasi sperma, mutasi letal
dominan, aspermia, dan ketidakmampuan kawin dari serangga betina atau
jantan. Radiasi dapat mengurangi produksi telur yang disebabkan karena tidak
terjadinya proses oogenesis sehingga tidak terbentuk oogenia atau telur.
Aspermia dapat menyebabkan kemandulan karena radiasi merusak
spermatogenesis sehingga tidak terbentuk sperma. Inaktivasi sperma juga
dapat menyebabkan kemandulan karena sperma tidak mampu bergerak untuk
membuahi sel telur. Faktor penyebab kemandulan yang lain ialah
ketidakmampuan kawin, hal ini karena radiasi merusak sel-sel somatik saluran
genetalia interna sehingga tidak terjadi pembuahan sel telur. Irradiasi gamma
menyebabkan penurunan yang sangat drastis terhadap presentase penetasan
telur, dosis 90 Gy mampu menurunkan persentase penetasan telur hingga lebih
dari 50%, bahkan untuk dosis 110 Gy mampu menurunkan persentase
penetasan telur hingga 96 % (Nurhayati, 2008). Faktor yang dianggap
menyebabkan kemandulan pada serangga yang di irradiasi adalah mutasi lethal
dominan. Dalam hal ini inti sel telur atau inti sperma mengalami kerusakan
sebagai akibat radiasi sehingga terjadi mutasi gen. Mutasi lethal dominan tidak
menghambat proses pembentukan gamet jantan maupun betina dan zigot yang
terjadi juga tidak dihambat, namun embrio akan mengalami kematian. Prinsip
dasar mekanisme kemandulan ini untuk selanjutnya dikembangkan sebagai
dasar teknik pengendalian vektor penyakit, seperti malaria, DBD dan filariasis
yang disebut Teknik Serangga Mandul. TSM menjadi salah satu alternatif
pilihan cara yang dapat dipilih dan dipertimbangkan, karena lebih aman,
spesies spesifik, tidak menimbulkan resistensi dan pencemaran lingkungan
(Nurhayati, 2008).
5. Lingkungan
Dalam pengendalian dengan cara pengelolaan lingkungan telah dikenal dengan
dua cara yaitu :
1) Perubahan Lingkungan (Environmental Modification)
9
Merupakan kegiatan pengubahan fisik yang permanen terhadap tanah, air
dan tanaman yang bertujuan untuk mencegah, menghilangkan, atau
mengurangi tempat perindukan nyamuk tanpa menyebabkan pengaruh
buruk terhadap kuaalitas lingkungan hidup manusia dan bersifat permanen.
Kegiatan ini antara lain dapat berupa penimbunan (filling), pengeringan
(draining), perataan permukaan tanah dan pembuatan bangunan, sehingga
vektor dan binatang penganggu tidak mungkin hidup (Hoedojo dan
Zulhasril, 2008a).
2) Manipulasi Lingkungan (Environmental Manipulation)
Merupakan rangkaian kegiatan yang tidak memungkinkan vektor dan
binatang pengganggu lainnya berkembanng dengan baik. Kegiatan ini
dapat dilakukan dengan cara merubah kadar garam (salinity), pembersihan
tanaman air atau lumut, dan penanaman pohon bakau pada pantai tempat
perindukan nyamuk sehingga tempat itu tidak mendapatkan sinar matahari
(Hoedojo dan Zulhasril, 2008a).
6. Insektisida
Insektisida adalah bahan-bahan kimia yang digunakan untuk memberantas
serangga. Berdasarkan stadium serangga yang dibunuhnya maka insektisida di
bagi menjadi imagosida yang ditujukan kepada serangga serta ovisida yang
ditujukan untuk membunuh telurnya.
Aplikasi pengendalian vektor penyakit secara umum dikenal dua jenis
insektisida yang bersifat kontak/non-residual dan insektisida residual.
Insektisida kontak/non-residual merupakan insektisida yang langsung kontak
dengan tubuh serangga saat diaplikasikan. Aplikasi kontak langsung dapat
berupa penyemprotan udara (space spray) seperti pengkabutan panas (thermal
fogging), dan pengkabutan dingin (cold fogging)/Ultra Low Volume (ULV).
Insektisida residual adalah insektisida yang diaplikasikan pada permukaan
suatu tempat dengan harapan apabila serangga melewati/hinggap pada
permukaan tersebut akan terpapar dan akhirnya mati. Umumnya insektisida
yang bersifat residual adalah Insektisida dalam formulasi wettable powder
(WP), water dispersible granule (WG), suspension concentrate (SC), capsule
suspension (CS), dan serbuk.
Mekanisme resistensi :
10
Mekanisme resistensi dapat digolongkan dalam dua kategori (Kemenkes RI,
2012), yaitu biokimiawi dan perilaku (behavioural resistance).
A. Mekanisme Biokimiawi
Mekanisme biokimiawi berkaitan dengan fungsi enzimatik di dalam tubuh
vektor yang mampu mengurai molekul insektisida menjadi molekul-
molekul lain yang tidak toksik (detoksifikasi). Molekul insektisida harus
berinteraksi dengan molekul target dalam tubuh vektor sehingga mampu
menimbulkan keracunan terhadap sistem kehidupan vektor untuk dapat
menimbulkan kematian. Detoksifikasi insektisida terjadi dalam tubuh
spesies vektor karena meningkatnya populasi yang mengandung enzim
yang mampu mengurai molekul insektisida. Tipe resistensi dengan
mekanisme biokimiawi ini sering disebut sebagai resistensi enzimatik.
B. Resistensi Perilaku (Behavioural Resistance)
Individu dari populasi mempunyai struktur eksoskelet sedimikian rupa
sehingga insektisida tidak mampu masuk dalam tubuh vektor. Secara
alami vektor menghindar kontak dengan insektisida, sehingga insektisida
tidak mencapai target. 2.2.4 Syarat-syarat Insektisida yang Baik
Insektisida yang baik memiliki beberapa syarat, yaitu daya bunuh
serangga yang besar dan cepat (Quick Knockdown Effect), aman bagi
manusia dan hewan (vertebrata), susunan kimia stabil, tidak mudah
7. Permetrhine
Merupakan senyawa insektisida piretroid generasi ketiga pertama yang bersifat
fotostabil, dan pada awalnya digunakan dalam pertanian. Daya kontaknya
cepat, dan daya residunya sedang hingga baik. Toksisitas iritasi pada mamalia
rendah, sehingga banyak diminati pada program pengendalian hama
pemukiman. Senyawa ini tidak menyebabkan iritasi pada manusia sehingga
tepat digunakan untuk pengendalian vektor penyakit. Insektisida ini
disebarluaskan dalam berbagai formulasi, baik aerosol, oil spray, konsentrat
space spray, dan pencelupan. Pencelupan kelambu dan korden, serta seragam
tentara biasanya menggunakan produkproduk berbahan aktif permethrine
11
kain berwarna hitam. Atap payung bagian dalam diberi sirip atau kain yang
digantungkan atau dijahit di sela-sela jeruji, dengan ukuran 40x40 cm. Kain ini
sebagai tempat untuk hinggap dan bersembunyi bagi nyamuk Culex sp. Atap
payung dan sirip-siripnya merupakan satu kesatuan bangunan payung yang
dapat dilepas dari rangkanya untuk dicelup dengan insektisida. Payung
perangkap ini dilengkapi dengan tiang penyangga setinggi 80 cm. Kain
penutup dan sirip-sirip payung dicelup dengan menggunakan insektisida.
12
DAFTAR PUSTAKA
Yang Ditularkan Oleh Nyamuk Culex sp. Malang: ITD Airlangga University
Press.
13