Anda di halaman 1dari 17

Tugas Final

SEJARAH LOKAL

Sandrika hilal

A1N1 18 126

Jurusan pendidikan sejarah konsentrasi IPS

Fakultas keguruan dan ilmu pendidikan

Universitas Halu Oleo

Kendari

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Swt yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya,
sehingga penyusunan makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas sejarah lokal. Keberhasilan dalam
penyusunan makalah ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Saya menyadari bahwasanya
dalam penyusunan makalahl ini terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, oleh karena itu
kritik yang membangun dari semua pihak sangat di harapkan demi kesempurnaan makalah ini .
Saya berharap makalah ini dapat memberikan banyak manfaat bagi pembaca

Akhir kata, saya sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam
penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah Swt senantiasa meridhoi segala
usaha kita. Aamiin

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Indonesia terdiri dari ribuan pulau (± 13.487 pulau) yang tersambung dari Sabang sampai kota
Merauke, juga diikuti dengan berbagai suku, bahasa, agama yang berbeda, dan memiliki
semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Setiap adat, bahasa, suku dan agama itu, memuat sistem nilai
dan pengetahuan yang sudah berkembang ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu.

Keanekaragaman kebudayaan dan adat istiadat yang dimiliki adalah merupakan khazanah
dalam memperkaya kebudayaan nasional, tentu saja juga kaya akan kekayaan alam yang
melimpah di beberapa daerah di Indonesia. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki
kekayaan budaya dan tradisi yang beragam yang tersebar di seluruh pelosok tanah air.
Kekayaan budaya dan tradisi itu sudah menjadi ciri khas yang unik serta sudah menjadi
identitas bangsa. Dalam kurun waktu yang lampau sebelum manusia mengenal tulisan (aksara)
segala sesuatunya dilakukan secara lisan termasuk proses pewarisan budaya dan tradisi seperti
pewarisan cara hidup, karya sastranya, kepercayaan (religi), upacara adat (ritual), sistem
pengetahuan, dan sebagainya. Jadi, karena proses pewarisannya secara lisan itulah kemudian
dikenal dengan istilah tradisi lisan.

Tak dapat disangkal bahwa kebudayaan yang paling banyak di Indonesia adalah budaya atau
tradisi lisannya yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Karena kelisanannya itulah budaya
(tradisi lisan) menjadi sesuatu yang unik, sebab segala bentuk tata cara hidup, pola berpikir,
adat kebiasaan dan masih banyak lagi harus disampaikan secara lisan dan turun-temurun serta
hanya mengandalkan daya ingatan manusia saja. Disini saya akan memaparkan kebudayaan
beberapa daerah di Sulawesi tenggara yaitu: Muna, Buton, Tolaki, Mornene dan satu lagi yaitu
daerah di tempat kelahiran saya Buton Utara.

B. Rumusan masalah

1.1 Mengidentifikasi tradisi/budaya masyarakat Sulawesi tenggara Buton, Muna, Tolaki,


Mornene Dan Buton Utara?
1.2 Mengetahui sejarah masuknya Islam di jazirah Sulawesi tenggara?

C. Tujuan

1.1 Untuk mengetahui tradisi/budaya masyarakat Sulawesi tenggara Buton, Muna, Tolaki,
Mornene Dan Buton Utara

1.2 Untuk mengetahui sejarah masuknya Islam di jazirah Sulawesi tenggara

BAB II

PEMBAHASAN
1.1 Beberapa tradisi/budaya masyarakat Sulawesi tenggara

Salah satu daerah di Indonesia yang masih kental dengan tradisi khususnya upacara adat dan
sastra lisan adalah Sulawesi Tenggara. Sulawesi Tenggara memiliki 32 sub etnis. Etnis
mayoritasnya adalah etnis Muna, Tolaki, Buton, Mornene. Daerah ini dapat dikatakan sebagai
daerah yang banyak memiliki kekayaan budaya dan tradisi khususnya tradisi lisan dan sastra
lisan. Pada tiap etnis ini memiliki tradisi yang berbeda-beda. Salah satunya adalah upacara adat
(ritual) yang mengandung nilai-nilai budaya yang tinggi sebagai prinsip hidup masyarakat
pendukungnya.

• BUTON

Dalam masyarakat Buton, haroa adalah ritual perayaan hari-hari besar Islam atau bentuk
syukuran atas nikmat dan karunia Tuhan, dimana pelaksanaannya diadakan di rumah-rumah
warga yang diikuti semua anggota rumah. Demikian juga dengan para tetangga turut diundang
baik yang berbeda suku maupun agama. Keluarga maupun para tamu/tetangga yang diundang
duduk berkumpul di satu , dan di tengahnya ada nampan yang berisikan kue-kue seperti onde-
onde, cucur (cucuru), bolu, baruasa (kue beras),ngkaowi-owi (ubi goreng), dan sanggara (pisang
goreng). Semua kue tersebut mengelilingi piring yang berisikan nasi dan di atasnya adatelur
goreng. Usai pembacaan doa, acara selanjutnya adalah makan-makan. Saya teringat antropolog
Victor Turner yang mengatakan bahwa makna ritual adalah memperkokoh jaringan sosial di
antara seluruh anggota masyarakat. Silaturahmi dengan tetangga, serta kian akrab dengan
semua keluarga. Pelaksanaan adat haroa dalam setahun bisa dilaksanakan selama beberapa
kali, sesuai dengan peringatan hari-hari besar Islam yang sering dirayakan.

1. Pekandeana Anana Maelu

Salah satu bentuk haroa yang sering diperingati oleh masyarakat Buton yaitu haroa yang
diadakan setiap tanggal 10 Muharram yang disebut dengan Pakandeana anana maelu. Tanggal
10 Muharram dirayakan oleh para sufi dengan tersedu-sedu. Pada hari ini, cucu Rasulullah,
Hussein bin Ali, dibantai bersama seluruh keluarga dan pengikutnya. Makanya, di kalangan
penganut ahlul bayt atau syiah, tanggal 10 Muharram senantiasa dirayakan agar menjadi
pelajaran bagi generasi penerus. Ketika Hussein wafat, maka putranya Imam Ali Zainal Abidin
(atau dalam sejarah dikenal sebagai Imam Sajjad karena saking seringnya bersujud) menjadi
yatim. Dalam bahasa Buton, yatim disebut maelu. Demi memberi kekuatan bagi Imam Ali Zainal
Abidin agar tegar dalam meneruskan amanah Rasululah untuk menegakkan agama Islam,
orang-orang Buton mengadakan haroa pekandeana anana maelu (makan-makannya anak
yatim). Pelaksanaannya adalah dengan cara memanggil dua orang anak yatim berusia 4 sampai
7 tahun (sesuai umur Imam Ali). Kemudian dari kalangan keluarga yang melakukan upacara,
secara bergiliran ikut menyuapi dua anak tersebut. Sesudahnya, mereka diberi uang
sekedarnya. Tradisi ini merupakan tradisi sufistik yang kuat di masyarakat Buton yang sudah
dilaksanakan sejak ratusan tahun silam.

2. Haroana Maludu

Bentuk ini dilakukan pada bulan Rabiul Awal untuk memperingati maulid Nabi Muhammad
SAW. Lahirnya Muhammad adalah berita gembira yang menjadi berkah bagi semesta.
Muhammad adalah representasi dari sosok yang membawa jalan terang bagi manusia. Untuk
itu, kelahirannya dirayakan dengan haroa dan membaca doa syukur bersama-sama. Menurut
adat Buton, haroa tersebut dibuka oleh sultan pada malam 12 hari bulan. Kemudian untuk
kalangan masyarakat biasa memilih salah satu waktu antara 13 hari bulan sampai 29 hari bulan
Rabiul Awal. Setelah itu ditutup oleh Haroana Hukumu pada 30 hari bulan Rabul Awal.
Masyarakat menjalankannya setiap tahun dengan membaca riwayat Nabi Muhammad.
Kadangkala selesai haroa, dilanjutkan dengan lagu-lagu Maludu sampai selesai, yang biasanya
dinyanyikan dari waktu malam sampai siang hari.

3. Haroana Rajabu

Haroa Rajabu adalah salah satu bentuk media dakwah yang digunakan oleh tokoh agama Buton
untuk menyampaikan ajaran agama Islam kepada masyarakat. Haroa Rajabu diperingati
masyarakat Buton dalam rangka memperingati proses Isra’mi’raj Nabi Besar Muhammad Saw.
Melalui media haroa rajabu, masyarakat diingatkan kembali dan mendapatkan nasehat-nasehat
ajaran agama Islam, terutama pentingnya menjalankan perintah sholat lima kali sehari
semalam. Dalam Al-Quran proses isra’ mi’raj Nabi dimuat dalam AlQuran surah Al-Israa’ ayat 1.
4. Haroa Malona Bangua

Maloana bangua adalah haroa yang diselenggarakan oleh masyarakat Buton untuk
menyambutmasuknya bulan Suci Ramadhan. Haroa Malona Bangua pada malam pertama
dirayakan dengan membaca do’a bersama keluarga dan sanak famili serta para tetangga.Pada
masa silam, hari pertama Ramadhan dimeriahkan dengan dentuman meriam. Kini, dentuman
meriam itu sudah tidak terdengar. Masyarakat merayakannya dengan doa bersama di rumah
sambil bersilaturahmi.

5. Haroa Qunua

Qunua yaitu upacara yang berkaitan dengan peringatan Nuzulul Qur’an (turunnya Al-Quran).
Upacara ini biasanya dilaksanakan pada pertengahan bulan suci Ramadhan atau pada 15 malam
puasa. Dulunya, masyarakat memeriahkannya dengan membawa makanan ke masjid keraton
dan dimakan secara bersamasama menjelang waktu sahur. Qunua dilakukan usai salat tarwih
dan dirangkaian dengan sahur secara bersama-sama di dalam Masjid.

• MUNA

Masyarakat suku Muna merupakan salah satu daerah di Indonesia yang masih kental dengan
tradisinya. Tradisi lisan suku Muna umumnya terdapat pada masyarakat masyarakat lokal yang
mendiami pedalaman Pulau Muna dan bermata pencaharian sebagai petani. Seiring dengan
perkembangan peradaban manusia yang semakin maju, tradisi lisan mulai terdesak bahkan
sebagian punah dari komunitas masyarakat. Salah satu tradisi lisan yang perlu disadari
kepunahannya adalah tradisi kasambuyang ada pada masyarakat suku Muna.

1. Tradisi kasambu

merupakan salah satu rangkaian kegiatan yang dilakukan selama kehamilan anak pertama
dengan maksud agar bayi yang dikandungnya akan lahir dengan mudah dan selamat sehingga si
anak akan mendapatkan kebahagiaan hidup di kemudian hari. Hal ini biasanya dilakukan pada
usia kandungan antara 6-8 bulan kehamilan. Selain itu, pada saat kasambu seorang ibu muda
diberi petuah-petuah bagaimana menjadi seorang ibu yang baik dan apa yang tidak boleh
dilakukan oleh seorang suami selama istrinya mengandung.

2. Tradisi katoba (Pengislaman)

katoba (peng-Islaman) merupakan upacara pertobatan; upacara menginjak kehidupan


beragama untuk anak yang telah disunat dan telah memahami hal yang baik dan buruk (aqil
baligh). Katoba adalah upacara adat yang bersendikan agama Islam yang harus dilakukan bagi
anak yang memasuki aqil baligh atau remaja baik laki-laki maupun perempuan yang didalamnya
berisikan pokok-pokok ajaran dan nasihat-nasihat mengenai hal yang boleh dilakukan dan tidak
boleh dilakukan dalam kehidupan sehari-haribumumnya dirangkaikan dengan sunatan
(kangkilo).

3. Tradisi kariya (pingitan)

Filosifi Kariya (pingitan), proses pembersihan diri seorang perempuan, menjelang dewasa atau
masa peralihan sebelum berumah tangga.

• TOLAKI

Ada berbagai macam upacara adat di dalam Suku Tolaki salah satunya adalah upacara dalam
proses pernikahan di mana yang menjadi simbol utama dalam Prosesi perkawinan adat Tolaki
adalah Kalosara. Kalo/Kalosara adalah lambang pemersatu dan perdamaian yang sangat sakral
dalam kehidupan Suku Tolaki danbselalu digunakan dalam upacara adat apapun dalam Suku
Tolaki.

KaloSara sebagai simbol dan induk dari adat Suku Tolaki/sara owose/Sara Mbuuno Tolaki, Juga
melahirkan beberapa adat yang terbagi dalam beberapa golongan aspek kehidupan, yakni
sebagai berikut:1. Sara Wanua/Sara MombulesakoAdat yang berlaku secara intern, maupun
ekstern yakni berkaitan dengan hak dan kewajiban serta fungsi, peran dan tugas Pemerintah
terhadap rakyat, hubungan antara Pemerintah dan Negeri Suku Tolaki, serta hubungan antara
rakyat dan rakyat.2. Sara MbeduluAdat jenis ini mengatur tentang hubungan kekeluargaan dan
persatuan, mengatur tentang hubungan antar anggota keluarga inti sebagai satuan masyarakat
terkecil, hingga mengatur tentang hubungan antar golongan baik bangsawan dan non
bangsawan. Termasuk sub dari adat jenis ini adalah sara mberapu, yakni adat yang secara
khusus mengatur tentang perkawinan.3. Sara Mbe’ombuAdat jenis ini merupakan adat yang
mengatur tentang pelaksanaan aktivitas keagamaan atau kepercayaan, juga termasuk di
dalamnya mombado

4. Sara Mandarahia

Adalah adat yang mengatur tentang pekerjaan yang membutuhkan sebuah keahlian dan/atau
keterampilan.5. Sara Mbeotoro’aAdalah adat yang dalam kegiatan berladang (mondau),
berkebun (mombopaho), berternak/megembala kerbau (mombakani), berburu (melabu dan
dumahu), dan menangkap ikan (meoti-oti).

• MORNENE

Suku Moronene merupakan salah satu suku yang ada di Sulawesi Tenggara dan berada di
wilayah Kabupaten Bombana. Suku Moronene memiliki warisan kebudayaan yang unik dan
beragam Diantaranya:

1. Tradisi Kawi'a

Tradisi adat perkawinan merupakan upacara adat tradisional dan sakral, yang berarti bahwa
upacara adat tradisional merupakan kelakuan atau tindakan simbolis manusia sehubungan
dengan kepercayaan yang mempunyai maksud dan tujuan. Tradisi adat Kawi’a ini masih tetap di
junjung tinggi dan dilaksanakan karena terikat dengan hukum-hukum adat yang wajib ditaati
oleh segenap masyarakatnya dan juga merupakan salah satu pencerminan kepribadian atau
penjelmaan dari pada suku Moronene itu sendiri dalam memperkaya budaya-budaya di
Indonesia.

 Bungku tengah, kabupaten morowali

saya akan bercerita tentang nilai-nilai budaya tradisional atau nilai-nilai budaya yang ada sejak
dulu dan berkembang sampai sekarang yang ada di daerah kabupaten Morowali,khususya
budaya bungku serta pengaruhnya terhadap pembangunan.Morowali adalah daerah yang
memiliki begitu banyak jenis kebudayaan,daerah yang kaya akan budaya,yang diantaranya
yaitu:

1. Budaya gotong Royong

Daerah kabupaten Morowali,khususnya dalam hal ini daerah bungku merupakan suatu daerah
yang masih sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan.Dalam masalah gotong
royong,budaya yang masih sangat dijunjung tinggi dari dulu sampai sekarang oleh masyarakat
bungku yaitu membantu sesama warga yang membutuhkan pertolongan atau bantuan,yang di
mana di dalam bahasa bungku itu sendiri lebih dikenal dengan budaya metatulungi dan mefalo-
falo.Budaya metatulungi dan mefalo-falo ini lebih sering kita jumpai pada saat seseorang akan
membangun rumah dan membuka lahan perkebunan baru,yang dimana pada umunya mata
pencaharian sebagian besar masyarakat Bungku yaitu Pekebun atau petani.

budaya Dalam Bidang Seni

2. Seni tetabuhan (tatabua)

ndengu-ndengu juga merupakan salah satu budaya yang sampai sekarang masih ada di daerah
morowali.Kita dapat melihat budaya seni tetabuhan atau dalam masyarakat bugku itu lebih
dikenal dengan istilah tetabua dalam hal ini yaitu ndengu-ndengu pada saat bulan suci
ramadan.Ketika satu minggu menjelang bulan suci ramadan warga dari masing-masing desa
akan berlomba-lomba dalam membuat ndengu-ndengu yang dimana ndengu-ndengu itu sendiri
merupakan suatu pondok yang terbuat dari bambu yang tingginya antara 12 meter sampai 15
meter.Pondok tersebut akan terdengar dan terlihat fungsinya ketika menjelang sahur dan
menjelang waktu sholat subuh.Ketika menjelang sahur dan sholat subuh masyarakat yang
rumahnya berada di daerah ndengu-ndengu tersebut akan naik ke atas pondok dan
membunyikan alat-alat musik yang telah mereka buat dengan kreasi sendiri dengan sekeras-
kerasnya dengan tujuan agar warga bisa bangun dan mempersiapkan diri untuk sahur dan
sholat subuh.

• PENYEBARAN ISLAM
Etnis Muna mendiami Pulau Muna, Etnis Tolaki mendiami jazirah Tenggara Pulau Sulawesi, Etnis
Moronene mendiami jazirah Tenggara bagian Barat dan sebagian Pulau Kabaena, serta etnis
Buton mendiami Pulau Buton dan sekitarnya.Berdasarkan keterangan yang mewakili tokoh
adat, tokoh masyarakat dan tokoh agama keempat etnis tersebut, diperoleh sebuah kisah
terkait kepercayaan masyarakat yang mendiami wilayah Sulawesi Tenggara sebelum masuknya
ajaran Islam.Pola hidup masing-masing etnis ini hampir mirip, yaitu hidup berpindah-pindah
atau nomaden. Hal tersebut terjadi karena kemampuan mereka menguasai alam masih minim,
sehingga mereka terpaksa mencari tempat yang aman bagi kehidupan mereka.
Ketidakmampuan tersebut menyebabkan. kepercayaan mereka lebih dipengaruhi bahkan
ditundukan oleh alam. Mereka meyakini bahwa alam ini diatur oleh Dewa dan mereka percaya
bahwa benda-benda tertentu memiliki kekuatan yang dapat merusak ataupun menangkal
marabahaya. Mereka menyebut Dewa dengan sebutan Sangia. Sebutan Sangia inipun ada
bermacam-macam. Etnis Tolaki mengenal 3 (tiga) Sangia umum yakni Sangia Mbuu sebagai
Dewa pencipta alam, Sangia Wonua sebagai Dewa pemelihara dan penolong, serta Sangia
Mokora sebagai Dewa perusak.

Mereka juga percaya dengan reinkarnasi yaitu suatu peristiwa bahwa seseorang yang telah
wafat dapat hidup kembali melalui bayi-bayi yang baru lahir. Bayi-bayi tersebut ada yang dari
cucu mereka dan adapula dari kerabat lain. Kepercayaan tersebut diperbaiki oleh ajaran agama
Hindu sekitar abad ke-7 yang dibawah oleh pedagang-pedagang tiongkok pada masa kaisar
Kubilai Khan. Agama Hindu memperkenalkan sistem penyembahan dengan mantera-mantera
dan sesajen yang dipasang pada tempat-tempat yang diyakini sebagai tempat tinggal Sangia
atau pada benda yang diyakini dapat memberi kekuatan untuk menyelesaikan persoalan yang
mereka hadapi atau alami.

• AWAL MASUKNYA AJARAN ISLAM

Menurut cerita sejarah yang dilontarkan para tokoh di Sulwesi Tenggara terungkap, penyiar
Islam pertama di daerah ini adalah Syaikh Abdul Wahid. Dia berasal dari Arab dan sebelum
masuk wilayah nusantara, terlebih dahulu singgah di Johor, semenanjung Malaysia. Diyakini
Syaikh Abdul Wahid masuk wilayah Sulawesi Tenggara melalui pantai Timur Kecamatan
Sampolawa, Kabupaten Buton (wilayah kerajaan Buton) sekitar tahun 1538 Masehi bersama
seorang Imam Pase yang diduga berasal dari Kerajaan Samudera Pasai yang diajak oleh sang
Syaikh untuk berdagang sambil menyiarkan Agama Islam. Kedatangan Syaikh dan Imam Pase itu
ditanggapi berragam masyarakat setempat karena perilakuknya dianggap tidak sesuai dengan
norma-norma yang mereka anut, namun perilaku tersebut diyakini bukan perilaku biasa,
melainkan kesaktian. Warga setempat lalu bersepakat mempertemukan Syaikh dengan Raja
yang saat itu dijabat La Kilaponto (orang Muna yang menjadi Raja Buton dan selanjutnya
menjadi Sultan Buton pertama). Kedatangan Syaikh itu ternyata disambut baik oleh Raja La
Kilaponto. Syaikh Abdul Wahid memanfaatkan sambutan sang raja dengan megajak sang raja
untuk mempelajari agama Islam. Sang Raja La Kilaponto kemudian bulat hatinya untuk
memeluk agama Islam dan sang Syaikh memanfaatkan kesempatan ini dengan baik untuk
menjadikan sang Raja sebagai kekuatan utama penyebaran agama Islam di jazirah Sulawesi
Tenggara. Setelah Raja La Kilaponto memeluk Islam, Sang Syaikh lalu menawarkan jabatan baru
kepada Raja La Kilaponto yaitu Sultan sebagaimana yang telah dipakai oleh raja-raja Islam di
Timur Tengah dan Asia Tenggara. Mengingat jabatan tersebut harus menunggu persetujuan
terlebih dahulu dari Khalifah Rum di Turki, maka sambil menunggu persetujuan itu, sang Syaikh
berangkat ke Pulau Muna untuk menyiarkan agama Islam. Di Pulau Muna, Syaikh sambil
membawa pesan dari Raja Buton La Kilaponto kepada Raja Muna yang saat itu dijabat oleh La
Posasu (adik dari La Kilaponto). Raja Muna menerima baik kedatangan Syaikh Abdul Wahid,
namun karena Syaikh Abdul Wahid berjanji akan melantik Raja La Kaponto untuk menjadi
Sultan Buton, maka ia tidak tinggal lama di Muna. Ia hanya meninggalkan perangkat-perangkat
agama yaitu 1 orang imam, 1 orang khatibi, 4 orang modji, dan 40 orang mokimu. Setelah
adanya persetujuan dari Khalifah Rum di Turki, tepat pada tanggal 1 Ramadan 948 Hijriah, Raja
La Kilaponto dilantik menjadi Sultan Buton. Pelantikan Sultan Buton pertama tersebut
bertepatan dengan tahun 1542 Masehi. Pelantikan dilakukan pada sebuah batu berlubang yang
disebut Batu Popaua atau batu pelantikan. Syaikh Abdul Wahid dalam pidato pelantikan La
Kilaponto menetapkan Sultan baru dan yang pertama di Buton sebagai wakil urusan Agama
Islam di wilayah Timur denga sebutan Khalifatul Khamis atau dianggap sebagai khalifah kelima
setelah Abu Bakar Assidiq, Umar Bin Khathab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abu Thalib. Pada
saat pelantikan Sultan Buton pertama tersebut, La Kilaponto yang dilantik menjadi Sultan juga
diberi gelar Ashultan Muhammad Yisa Qoimuddin. Setelah pelantikan La Kilaponto, para
pembantu Raja selanjutnya ikut memeluk agama Islam. Hal pertama yang dilakukan La
Kilaponto setelah memeluk agama Islam adalah membangun Masjid dibawah konsultan Syaikh
Abdul Wahid. Masjid tersebut dibangun secara gotong royong di dalam kompleks Keraton
Buton. Rakyat di wilayah Buton bagian Timur dan sekitarnya termasuk Boepinang, Poleang, dan
Rumbia membuat minyak kelapa. Rakyat di wilayah Todanga atau Timada dan sekitarnya,
membakar batu untuk dijadikan kapur tembok. Rakyat di Kadatua, Mawasangka dan sekitarnya
mengumpulkan telur untuk bahan makanan para pekerja. Rakyat di Wolio dan sekitarnya,
mengumpulkan batu gunung dan kayu.nPelantikan La Kilaponto sebagai Sultan merupakan
berita besar dan menjadi momentum bagi penyebaran agama Islam di jazirah Sulawesi
Tenggara. Hal ini disebabkan karena La Kilaponto merupakan pahlawan penyelamat Buton dari
serangan bajak laut La Bolontio. Fakta ini membuat ajaran Agama Islam menjadi mudah
diterima oleh rakyat dan raja-raja dibawah pengaruh La Kilaponto. Raja Muna yang intensif
menjalankan syariat Islam adalah Saadudin. Ia menerima ulama besar dari Arab dimasa
pemerintahanya pada tahun 1615 Masehi. Ulama besar tersebut bernama Firus Muhammad
yang datang bersama Imam Betawi bernama Muhammad Musa dan seorang dari Turki
bernama Abdullah Waliullah. Islam di Muna semakin intensif ketika Sangia La Tugho atau La
Ode Rahman menjadi Raja Muna. Ia juga menerima ulama besar dari Arab bernama Sayiddi
Raba pada tahun 1712 Masehi. Sayiddi Raba mengintensifkan ajaran agama Islam di Muna
dengan mendirikan 4 (empat) perguruan di empat wilayah yaitu di Laghontohe, Lohia,
Wasolangka, dan Katobu. Masing-masing perguruan dibangunkan Masjid secara gotong royong.
Sayyidi Raba menyiarkan ajaran agama Islam menggunakan kesenian rebbana. Konon, bunyi
gong Sayyidi Raba mampu menggetarkan hati rakyat kerajaan Muna untuk meningkatkan
kepercayaan kepada Allah SWT dan Rasulullah Muhammad SAW. Sementara itu Raja Mekongga
yang terkenal menjalankan syariat Islam adalah Mokole La Dumaatau yang bergelar Sangia
Nibandera (Raja yang kuburanya dipancangkan bendera). Ia memerintah sekitar abad ke-17.
Penyebaran agama Islam di daerah ini lebih banyak dilakukan oleh orang-orang Bugis. Nama
Raja Mekongga (Mokole La Dumaatau) diambil dari kata hari Jum’at, salah satu waktu ibadah
bagi ummat Islam, yaitu sholat jum’at. Disisi lain, Raja Konawe yang intensif menjalankan
syariat Islam adalah Mokole Lakidende (bergelar Sangia Ngginoburu) yang berarti raja yang
dikuburkan. Ia memerintah sekitar abad ke-18 Masehi. Agama Islam masuk didaerah ini melalui
Pulau Wawonii dan Pulau Muna, serta dari orang-orang Bugis (Luwu, Bone, dan Makassar).
Penyebaran ajaran agama Islam di kerajaan Konawe semakin intensif ketika daerah ini dipimpin
oleh Raja Tekaka (tahun 1928 – 1955) . Raja Tekaka saat itu memerintahkan semua Napo (desa)
mendirikan Masjid sebagai pusat kegiatan agama Islam

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas saya dapat menarik kesimpulan bahwa Masyarakat Sulawesi tenggara
memiliki banyak tradisi/budaya, Yang pertama suku Buton dengan melaksanakan beberapa
tradisi seperti: Pekandeana Anana Maelu, Haroana Maludu, Haroana Rajabu, Haroa Malona
Bangua, Haroa Qunua. Yang kedua suku muna melaksanakan beberapa tradisi diantaranya:
Tradisi kasambu, Tradisi katoba (Pengislaman), Dan lain sebagainya. Yang ketiga suku tolaki
melaksanakan beberapa tradisi yaitu: Sara Wanua/Sara Mombulesako, Sara Mbedulu, Sara
Mbe’ombu, Sara Mandarahia , Sara Mbeotoro’a. Yang keempat Mornene melaksanakan tradisi
sebagai berikut: Tradisi Kawi'a, Dan Masyarakat Buton Utara kecamatan Kulisusu melaksanakan
tradisi seperti: Pesondo dan lain sebagainya.

B. SARAN

Kita sebagai generasi penerus bangsa tentunya kita perlu memperhatikan tradisi/budaya adat
istiadat di daerah kita agar tidak mudah terlupakan dan tetap melaksanakan tradisi yang
dipercayai nenek moyang dan leluhur kita supaya tidak mudah di lupakan oleh generasi ke
generasi. Yang merupakan kekayaan budaya Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

La Ode Rusman Bahar, Tradisi Haroa yang Lestari, http://timur


angin.blogspot.com/2009/08/tradisi_ haroa_ yang_lestari. html, diunduh pada tanggal 29
September 2012, sesuai pula dengan Wawancara Om Kandang, Tokoh Agama (Sara hukumu)
pada masyarakat islam Buton yang ada di KendariSulawesi Tenggara.
Kabasan, Hasbullah, Sistem Motasu (Perladangan) Pada Suku Moronene Sulawesi Tenggara,
https://hasbullahkabasan92.blogspot.co.id/2018/01/, Selasa, 30 Januari 2018, diakses pada
tanggal 22 April 2018.

Syarbini, Amirullah, Islam dan Kearifan Lokal. Makalah yang dipresentasikan pada The 11TH
Annual Conference on Islamic Studies. Bangka Belitung, 10-13 Oktober 2011.Hal. 171.

Achmad, Amrullah, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial. Yogyakarta:Prima Duta, 1983

Anda mungkin juga menyukai