Anda di halaman 1dari 6

Penyebaran Macam tutul Jawa (Panthera pardus melas) dan Habitat

Prater (1980) menjelaskan bahwa macan tutul merupakan jenis yang sukses
dalam migrasi dari daerah aslinya, Asia Tenggara dan Asia Utara. Diantara jenis
kucing besar yang ada, macan tutul memiliki daerah penyebaran yang paling luas
(Lekagul dan McNeely, 1977). Macan tutul tersebar di benua Afrika, Asia bagian
selatan dan timur sampai ke bagian Manchuria, menyebar ke Indonesia, Malaya, dan
Pulau Jawa.
Macan tutul Jawa hanya terdapat di pulau Jawa dan Kangean (Madura). Di
Jawa Barat macan tutul Jawa terdapat di Cirebon, Cianjur selatan, TN Gunung Gede
Pangrango dan TN Ujung Kulon (Hoogerwerf, 1970). Daerah penyebaran macan
tutul Jawa di Yogyakarta dan Jawa Tengah adalah sebagai berikut: Nusa Kambangan,
Batang, Banjarnegara, Kendal, Cepu, Sragen, Notog, Jati Lawang, Gunung Slamet,
Kebasan, Gunung Muria, Gunung Merapi, dan Kulon Progo (Anonim, 1978). Di
Jawa Timur macan tutul Jawa dapat dijumpai di TN Meru Betiri, TN Baluran, Tuban,
Ponorogo, Padangan, Saradan, Jember, Blitar, Jatirogo, Madiun, dan Gundih
(Hoogerwerf, 1970). Walaupun Pulau Jawa telah kehilangan 90% vegetasi alaminya,
namun keberadaan macan tutul terdeteksi pada 12 kawasan konservasi diantaranya
taman nasional, cagar alam, hutan wisata dan taman buru. Hingga saat ini populasi
macan tutul di seluruh Pulau Jawa tidak diketahui dengan pasti tapi masih berupa
asumsi. Misalnya 1 individu per 10 km2 di habitat yang tidak terganggu dan satu
individu per 5 km2 untuk habitat yang telah terganggu. Dengan menggunakan asumsi
tersebut dan berdasarkan luasan habitat macan tutul yang tersisa di Pulau Jawa
diperkirakan masih ada lebih kurang 350 – 700 ekor macan tutul (Santiapillai dan
Ramono, 1992). Macan tutul tidak terdapat di Pulau Sumatera, Kalimantan maupun
Bali (Hoogerwerf, 1970). Macan dahan (Neofelis nebulosa) dan macan emas (Felis
temminckii) di Sumatera yang mengalami melanisme sering dikira macan kumbang
(Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam, 1978).
Tempat hidup macan tutul adalah hutan rimba yang lebat, tetapi biasa pula
mendatangi perkampungan dan perkebunan. Macan tutul mampu hidup sampai
ketinggian + 2500 m di atas permukaan laut. Macan tutul sangat tidak selektif dalam
menentukan habitatnya, mereka hanya menggunakan wilayah hutan yang memiliki
kecukupan akan ketersediaan sumber makanan, air dan shelter (Direktorat
Perlindungan dan Pengawetan Alam, 1978). Harimau loreng dan macan tutul tidak
saling toleran satu sama lain, tetapi tidak menutup kemungkinan bagi mereka untuk
menggunakan habitat secara bersama–sama (Hoogerwerf, 1970). Macan tutul
kadang–kadang masuk ke perkampungan di sekitar hutan dan memangsa ternak,
apabila persediaan makanan di dalam habitatnya sudah berkurang (Anonim, 1978
dalam Sudiana, 1991). Prater (1980) menyatakan bahwa macan tutul dengan bentuk
fisik dan perilakunya menjadikan nya mempunyai kemampuan yang luas untuk
memilih daerah huniannya. Macan tutul di pulau Jawa terdapat di seluruh daerah,
mulai dari pantai hingga daerah pegunungan tinggi (Veever-Carter, 1978). Macan
tutul juga dijumpai di daerah terbuka yang berbatu–batu dengan semak belukar yang
kering. Macan tutul memang lebih toleran terhadap panas dibandingkan harimau
loreng (Panthera tigris) dan mampu tinggal di daerah yang jauh dari air (Lekagul dan
McNeely, 1977). Macan tutul juga sering muncul di hutan–hutan jati, lahan
pertanian dan bahkan berani masuk ke tengah desa atau kota. Hal semacam ini
menunjukkan daya adaptasinya yang tinggi (Hoogerwerf, 1970). Macan tutul
umumnya tinggal dekat perkampungan, menempati gua–gua, lubang yang digali atau
celah–celah batu (Sankhala, 1977 dalam Sudiana, 1991). Mereka juga bersembunyi di
semak–semak lebat, padang rumput dengan tegakan pohon berkelompok dan formasi
batu–batuan atau gua–gua (Anonim, 1978 dalam Sudiana, 1991). Tempat untuk
memelihara anak biasanya di gua–gua, lubang atau rongga batu besar dan tempat
tersembunyi lainnya yang memiliki ruangan gelap (Hoogerwerf, 1970).

Kebiasaan dan Perilaku Macan tutul


1. Kebiasaan
Macan tutul bersifat sangat nokturnal, menghabiskan sebagian besar waktu
siang untuk tidur di atas pohon besar dan menjadi sangat aktif menjelang petang dan
akan terus berburu sampai menjelang pagi. Beberapa macan tutul menempuh
perjalanan sejauh 25 km semalam dan hampir tidak pernah menginap di tempat yang
sama dua kali. Macan tutul umumnya soliter dan hanya ditemukan bersama macan
tutul lain jika mereka sedang kawin, berkelahi atau mempunyai anak. Macan tutul
mungkin merupakan pemangsa paling nokturnal, tetapi mereka juga berburu di siang
hari. Baik jantan maupun betina bersifat teritorial. Macan tutul mungkin merupakan
pemangsa paling kuat dibandingkan dengan berat tubuhnya, mereka satu-satunya
kucing yang mengangkat mangsanya ke atas pohon. Macan tutul memiliki
penyamaran yang luar biasa dan sangat sabar dan tidak mengenal lelah. Macan tutul
biasanya berada dekat dengan semak belukar di sisi pegunungan atau sepanjang
sungai. Macan tutul biasanya mencari makan sendirian, kecuali pada musim kawin.
Macan tutul pemalu, cerdik dan berbahaya, khususnya ketika terluka. Macan tutul
sangat pandai memanjat pohon dan dapat menarik mangsa besar ke atas pohon untuk
melindunginya dari pemangsa lain atau pemakan bangkai di sekitarnya. Mereka akan
kembali lagi untuk memakannya Macan tutul termasuk satwa yang gemar
mengembara dan kurang bersifat menetap, tetapi suka kembali ke tempat
persembunyiannya semula (Anonim, 1978). Menurut Grzimek (1975) macan tutul
tidak akan keluar dari teritorinya jika makanan cukup tersedia dan mudah didapat.
Pada umumnya macan tutul mencari mangsa pada senja hingga malam hari, jarang
mereka berburu pada siang hari Grzimek (1975). Menurut Goudriaan (1948) dalam
Hoogerwerf (1970), waktu aktif macan tutul mengadakan perburuan adalah antara
pukul 15.00 sampai 20.00 dan antara pukul 03.00 sampai 06.00, jadi tidak selalu
dalam keadaan gelap. Dalam beberapa kasus macan tutul di P. Jawa juga berburu
pada siang hari. Macan tutul mengincar atau mengintai mangsanya dari atas pohon
atau dari balik semak-semak, kemudian dengan meloncat mangsanya disergap dengan
menerkam bagian tengkuk. Jika mangsa tertangkap, lehernya digigit dan moncongnya
dicakar dengan kaki depan serta diserangnya sampai mangsa tidak berdaya (Anonim,
1978). Menurut Goudriaan (1948) dalam Hoogerwerf (1970) macan tutul di Jawa
memakan korbannya mulai dari jantung, hati dan bagian-bagian lunak lainnya. Macan
tutul kadang-kadang menyimpan sisa makanannya dengan cara menutupinya dengan
daun, ranting, rumput atau serasah. Sering pula sisa makanannya disimpan di atas
pohon untuk menghindari jangkauan binatang pemakan bangkai (Van Dooren, 1949
dalam Hoogerwerf, 1970; Grzimek, 1975). Setelah makan, macan tutul biasanya
mencari air untuk minum. Macan tutul dapat bertahan hidup dengan baik pada musim
kering yang panjang walaupun hanya minum tiap 2 - 3 hari sekali (Grzimek, 1975).
2. Perilaku Teritorial
Macan tutul biasanya hidup menyendiri (soliter), kecuali pada musim kawin
dan mengasuh anak. Macan tutul Jawa kurang suka menetap, namun ia tidak akan
keluar dari daerah teritorinya jika makanan masih mencukupi (Ahmad, 2007).
Eisenberg dan Lockhart (1972) mengatakan bahwa macan tutul jantan dan betina
dapat mendiami daerah perburuan yang sama, tetapi hal ini tidak berlaku bagi
individu–individu yang berjenis kelamin sama. Cara mempertahankan daerah teritori
dilakukan dengan pengiriman tanda–tanda berupa suara, cakaran, maupun urine dan
kotoran. Macan tutul jawa membuang kotoran tanpa disembunyikan, melainkan
diletakkan di tempat–tempat yang terbuka (Medwey, 1975 dalam Gunawan, 1988).
3. Perilaku Berburu
Macan tutul Jawa mulai berburu dengan cara mengintai mangsanya, dan
kemudian menyergapnya dari belakang. Jika serangan pertama pada mangsa gagal, ia
cenderung tidak meneruskan serangannya. Bagian yang pertama kali dimakan adalah
bagian dalam tubuh, lalu daging sekitar dada, rusuk dan paha. Macan tutul juga mau
memakan tulang mangsanya. Apabila ada sisa, macan tutul Jawa akan menyimpannya
untuk suatu saat didatangi lagi. Untuk melindungi hasil buruannya dari pemangsa
lain, macan tutul menyembunyikannya di atas pohon, atau menutupinya dengan daun,
ranting, rumput atau serasah (Ahmad, 2007) Jenis mangsa yang dimakan adalah
sigung, kelelawar, lutung. Ada juga jenis surili, kijang, ayam hutan, merak, pelanduk
dan kancil. Ditemukan juga tanah liat, remukan tulang dan rerumputan di dalam
kotorannya. Berdasarkan ukuran tubuh mangsa, macan tutul lebih sering memangsa
satwa dengan ukuran berat badan antara 25-50 kg, yaitu satwa yang memiliki ukuran
badan setengah hingga sama dengan ukuran badan macan tutul (Seidensticker, 1976
dalam Gunawan, 1988).
4. Perilaku Berkembang Biak
Sistem perkawinan macan tutul adalah Promiscuity yaitu jantan dan betina
kawin dengan lebih dari satu pasangan dan tidak ada ikatan jangka panjang. Betina
akan kawin dengan jantan-jantan yang lebih tua yang memiliki home range overlap
dengannya. Sistem perkawinan ini berkembang karena betina dapat membesarkan
anak-anaknya tanpa bantuan dan perlindungan jantan. Macan tutul tidak memiliki
musim berkembang biak khusus. Jika musim memungkinkan, macan tutul akan
kawin sepanjang tahun (Guggisberg 1975; Kithchener 1991; Nowak 1997). Musim
perkembangbiakan mungkin sepanjang tahun, tetapi puncaknya selama musim
kelahiran impala yang merupakan mangsa utamanya. Tergantung wilayahnya, macan
tutul mungkin kawin sepanjang tahun (India dan Afrika) atau musiman selama
Januari sampai Februari. Seekor betina mengalami oestrus rata-rata tujuh hari (4 – 14
hari) dengan siklus sekitar 46 hari. Betina yang oestrus akan menarik perhatian jantan
dangan memanggil, dan akan meninggalkan tanda bau pada pohon atau semak-
semak, ia juga menjadi sering megembara keluar dari home range-nya. Jantan dan
betina membentuk asosiasi sementara, dan seekor betina oestrus mungkin dikawini
oleh beberapa jantan dalam rentang waktu yang singkat. Jantan memiliki ritual
perkawinan dengan betina-betina yang teritorinya overlap dengan teritorinya (Estes
1991).
Jantan akan mengikuti betina yang birahi dan berkelahi dengan jantan lain
untuk mendapatkan hak kawin (Estes 1991; Nowak, 1997). Macan tutul betina siap
dikawin dalam interval 3 – 7 minggu dan periode ini berlanjut sampai beberapa hari
dimana terjadi perkawinan. Seekor betina mungkin dirayu oleh beberapa jantan,
jantan yang berhasil akan menggigit bagian belakang leher betina dengan giginya,
betina akan menampar jantan ketika kopulasi telah sempurna. Kopulasi sangat sering,
dari 70 sampai 100 kali sehari. Laman dan Cheyl (1997) yang mengamati perilaku
kawin macan tutul di Taman Nasional Serengeti, Tanzania menemukan kopulasi
sebanyak 13 kali selama satu setengah jam pengamatan. Semua kopulasi tercatat dan
semua dimulai dengan betina berjalan mundur dan maju di depan jantan yang sedang
beristirahat, menggosokkan badannya dan menggoyang-goyangkan ekornya di wajah
sang jantan. Jantan seringkali menggigit betina di bagian tengkuknya selama interaksi
ini. Perkawinan disertai dengan suara geraman, baik dari jantan maupun betina.
Puncaknya berlaangsung rata-rata tiga detik dengan interval rata-rata antara kopulasi
6,5 menit. Dalam kandang, kopulasi tercatat 100 kali sehari (Ktichner, 1991) dan
kopulasi yang terlihat bisa jadi merupakan bagian dari percumbuan. Mengapa banyak
kopulasi tidak jelas pada macan tutul karena satwa ini soliter dan betina tampaknya
agak oportunis untuk memilih diantara jantann berdasarkan kekuatan kopulasinya
seperti yang diketahui pada jaguar dan singa.
Rata-rata lamanya waktu jantan dan betina dewasa bersama adalah 2,1 hari.
Ketika betina dan jantan menghabiskan waktu bersama mereka akan kawin, jantan
akan mengikuti betina kemanapun pergi dan kadangkadang mereka berbagi mangsa
buruan. Perkawinan berlangsung selama dua atau tiga hari, interval dengan
pekawinan berikutnya dua tahun. Setelah musim kawin berakhir, jantan dan betina
akan berpisah.

Anda mungkin juga menyukai