Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH

PENDIDIKAN MULTIKULTURAL SEBAGAI RESOLUSI KONFLIK

Disusun oleh:

Nadhifa Fajrin (17104010001)


Retno Dwiyanti (17104010059)
Fajrul Al-Alfatih (17104010137)

KELOMPOK 8
Kelas: PAI-A Semester 6

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
TAHUN AJARAN 2019/2020
Kata Pengantar

Alhamdulillah puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT atas limpahan rahmat hidayah serta
inayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “IMPLEMENTASI
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL UNTUK RESOLUSI KONFLIK” Sholawat serta salam
tetap kita curahkan kepada junjungan kita Nabi MUHAMMAD SAW yang telah membimbing kita
dari zaman jahiliyah menuju zaman yang terang benderang yakni Addinul Islam wal Iman.

Penyelesaian makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan bagi pembaca tentang
“IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL UNTUK RESOLUSI KONFLIK”.
Selain itu kami juga sangat berterimakasih kepada bapak Dr. Hj. Sri Sumarni, M.Pd. Selaku dosen
mata kuliah Pendidikan Multikultural yang telah membimbing dan memberikan arahan kepada
kita dalam pembuatan makalah.

Sebelumnya kami memohon maaf yang sebesar besarnya karena dalam penyusunan

makalah ini kami menyadari bahwa sangatlah banyak kekurangan, maka dari itu kami selaku

kelompok 8 berharap ada kritik dan saran dari pembaca. Kami berharap makalah ini dapat

bermanfaat untuk kita semua. Amin.

Yogyakarta, 26 Maret 2020

i
DAFTAR ISI

MAKALAH PENDIDIKAN MULTIKULTURAL SEBAGAI RESOLUSI KONFLIK ...............................


Kata Pengantar ............................................................................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................................................................. ii
BAB I ........................................................................................................................................................... iv
PENDAHULUAN ....................................................................................................................................... iv
A. Latar Belakang ................................................................................................................................ iv
B. Rumusan Masalah ............................................................................................................................ v
C. Tujuan Masalah ................................................................................................................................ v
BAB I ............................................................................................................................................................ 1
PEMBAHASAN ........................................................................................................................................... 1
A. Pengertian Konflik ........................................................................................................................... 1
B. Konflik di Poso................................................................................................................................. 1
1. Latar Belakang Konflik ............................................................................................................... 1
2. Kebijakan Pemerintah Terkait Konflik di Poso ........................................................................ 4
C. KONFLIK MALUKU ...................................................................................................................... 6
1. Latar Belakang Konflik Maluku.................................................................................................. 6
2. Peran Aparat Keamanan.......................................................................................................... 17
3. Solusi Penyelesaian ................................................................................................................. 19
D. KONFLIK PAPUA ........................................................................................................................ 21
1. Latar Belakang konflik Papua ................................................................................................. 21
2. Strategi Indonesia Menghadapi Kemungkinan Terburuk dalam Kasus Papua ....................... 23
E. Konflik Aceh .................................................................................................................................. 24
1. Latar belakang Konflik dan Pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ....................... 24
2. Resolusi Kkonflik Aceh .......................................................................................................... 26
3. Kerugian Akibat Konflik Aceh ............................................................................................... 28
BAB III ....................................................................................................................................................... 30
PENUTUPAN ............................................................................................................................................. 30
A. KESIMPULAN .............................................................................................................................. 30
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................. 31

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki kemajemukan masyarakat, baik
agama, ras, suku dan budaya. Kemajemukan tersebut seringkali berpotensi pada munculnya
berbagai konflik seiring dengan semakin dinamisnya masyarakat yang mengelompokkan diri
dalam berbagai organisasi sosial keagamaan serta lahirnya berbagai aliran keagamaan. Fanatisme
yang berlebihan seingkali menumbuh suburkan semangat ego sektoral yang dapat menjadi
ancaman disintegrasi bangsa.

Munculnya berbagai fenomena konflik di Indonesia dengan mengatasnamakan agama


merupakan salah satu indikator bahwa Bangsa Indonesia masih belum sepenuhnya
memahami kondisi internal bangsanya sendiri yang berlatar belakang multikultural.

Perpedaan di dalam masyarakat yang multikultur ini seharusnya menjadi dasar untuk
mempertahankan identitas masing-masing dengan tetap menjaga integrasi bangsa, bukan untuk
menjadi pemicu lahirnya konflik-konflik antar kelompok yang apabila diteliti lebih dalam, motif
yang sebenarnya tidak sepenuhnya karena faktor agama, tetapi faktor sosial budaya, politik dan
bahkan motif ekonomi. Melalui implementasi pendidikan multikultural untuk resolusi konflik ,
makalah ini memberikan alternatif resolusi konflik agama di Indonesia berdasarkan nilai-nilai
yang terkandung dalam ajaran Islam tentang bagaimana pentingnya menghargai keberagaman
setiap struktur masyarakat yang multikultural.

Pendidikan Islam multikultural dapat dijadikan sebagai pendekatan baru yang dapat
merubah cara berfikir dan cara pandang masyarakat serta keterampilan bersikap dan berperilaku
dalam kehidupan yang majemuk. Dalam konteks ini, pendidikan Islam multikultural memberikan
penanaman tentang spirit kehidupan beragama yang dilandasi dengan nilai-nilai perdamaian,
toleransi, menghargai perbedaan dan sikap-sikap lain yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan
dan semangat persatuan Kebangsaan Indonesia.

iv
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian konflik?

2. Bagaimana Kebijakan pemerintah terkait konflik di poso ?

3. Bagaimana kebijakan pemerintah terkait konflik di papua?

4. Bagaimana kebijakan pemerintah terkait konflik di maluku?

5. Bagaimana kebijakan pemerintah terkait konflik di aceh?

C. Tujuan Masalah
1. Dapat mengetahui pengertian konflik

2. Dapat mengetahui kebijakan pemerintah tentang konflik di poso.

3. Dapat mengetahui kebijakan pemerintah terkait konflik di papua.

4. Dapat mengetahui kebijakan pemerintah terkait konflik di maluku.

5. Dapat mengetahui kebijakan pemerintah terkait konflik di aceh.

v
BAB I
PEMBAHASAN

A. Pengertian Konflik
Secara etimologi, konflik (conflict) berasal dari bahasa latin configere yang berarti
saling memukul. Menurut Antonius, dkk, konflik adalah suatu tindakan salah satu pihak yang
berakibat menghalangi, menghambat, atau mengganggu pihak lain dimana hal ini dapat terjadi
antar kelompok masyarakat ataupun dalam hubungan antar pribadi.1 Hal ini sejalan dengan
pendapat Morton Deutsch, seorang pionir pendidikan resolusi konflik yang menyatakan bahwa
dalam konflik, interaksi sosial antar individu atau kelompok lebih dipengaruhi oleh perbedaan
daripada persamaan.2
Sedangkan menurut Mary Scannell konflik adalah suatu hal alami dan normal yang
timbul karena perbedaan persepsi, tujuan atau nilai dalam sekelompok individu.3

B. Konflik di Poso
1. Latar Belakang Konflik

Konflik di poso adalah salah satu konflik yang ada di Indonesia yang belum terpecahkan
sampai saat ini. Meskipun sudah beberapa resolusi ditawarkan, namun itu belum bisa menjamin
keamanan di Poso. Perbagai macam konflik terus bermunculan di Poso. Meskipun secara umum
konflik-konflik yang terjadi di Poson adalah berlatar belakan agama, namun kalau kita meneliti
lebih lanjur, maka kita akan menemukan pelbagai kepentingan golongan yang mewarnai konflik
tersebut.

Poso adalah sebuah kabupaten yang terdapat di Sulawesi Tengah. Kalau dilihat dari
keberagaman penduduk, Poso tergolong daerah yang cukup majemuk, selain terdapat suku asli
yang mendiami Poso, suku-suku pendatang pun banyak berdomisili di Poso, seperti dari Jawa,
batak, bugis dan sebagainya.

1
Antonius Atosokhi Gea, dkk, Relasi Dengan Sesama (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2002), hal. 175
2
Bunyamin Maftuh, Pendidikan Resolusi Konflik: Membangun Generasi Muda yang Mampu
Menyelesaikan Konflik Secara Damai (Bandung: Program Pendidikan Kewarganegaraan, Universitas Pendidikan
Indonesia, 2005), hal. 47.
3
Ibid, hal 47

1
Suku asli asli di Poso, serupa dengan daerah-daerah disekitarnya;Morowali dan Tojo Una
Una, adalah orang-orang Toraja. Menurut Albert Kruyt terdapat tiga kelompok besar toraja yang
menetap di Poso. Pertama, Toraja Barat atau sering disebut dengan Toraja Pargi-Kaili. Kedua
adalah toraja Timur atau Toraja Poso-Tojo, dan ketiga adalah Toraja Selatan yang disebut juga
denga Toraja Sa’dan. Kelompok pertama berdomisili di Sulawesi Tengah, sedangkan untuk
kelompok ketiga berada di Sulawesi Selatan. Untuk wilayah poso sendiri, dibagi menjadi dua
kelompok besar. Pertama adalah Poso tojo yang berbahasa Bare’e dan kedua adalah Toraja Parigi-
kaili. Namun untuk kelompok pertama tidak mempunyai kesamaan bahasa seperti halnya
kelompok pertama.

Kalau dilihat dari konteks agama, Poso terbagi menjadi dua kelomok agama besar, Islam
dan Kristen. Sebelum pemekaran, Poso didominasi oleh agama Islam, namun setelah mengalami
pemekaran menjadi Morowali dan Tojo Una Una, maka yang mendominasi adala agama Kristen.
Selain itu masih banyak dijumpai penganut agama-agama yang berbasis kesukuan, terutama di
daerah-daerah pedalaman. Islam dalam hal ini masuk ke Sulawesi, dan terkhusus Poso, terlebih
dahulu. Baru kemudian disusul Kristen masuk ke Poso.

Keberagaman ini lah yang menjadi salah satu pemantik seringnya terjadi pelbagai
kerusuhan yang terjadi di Poso. Baik itu kerusuhan yang berlatar belakang sosial-budaya, ataupun
kerusuhan yang berlatarbelakang agama, seperti yang diklaim saat kerusuhan Poso tahun 1998 dan
kerusuhan tahun 2000. Agama seolah-olah menjai kendaraan dan alasan tendesius untuk
kepentingan masing-masing.

Awal konflik Poso terjadi setelah pemilihan bupati pada desember 1998. Ada sintimen
keagamaan yang melatarbelakangi pemilihan tersebut. Dengan menangnya pasangan Piet I dan
Mutholib Rimi waktu tidak lepas dari identitas agama dan suku. Untuk seterusnya agama
dijadikan tedeng aling-aling pada setiap konflik yang terjadi di Poso. Perseturuan kecil, semacam
perkelahian antar persona pun bisa menjadi pemicu kerusuhan yang ada di sana. Semisal, ada dua
pemuda terlibat perkelahian. Yang satu beragama islam dan yang satunya lagi beragama Kristen.
Karena salah satu pihak mengalami kekalahan, maka ada perasaan tidak terima diantara keduanya.
Setelah itu salah satu, atau bahkan keduanya, melaporkan masalah tersebut ke kelompok masing-
masing, dan timbullah kerusuhan yang melibatkan banyak orang dan bahkan kelompok.

2
Konflik Poso telah memakan korban ribuan jiwa serta meninggalkan trauma psikologis
yang sulit diukur tersebut, ternyata hanya disulut dari persoalan-persoalan sepele berupa
perkelahian antarpemuda. Solidaritas kelompok memang muncul dalam kerusuhan itu, namun
konteksnya masih murni seputar dunia remaja, yakni: isu miras, isu tempat maksiat. Namun justru
persoalan sepele ini yang akhirnya dieksploitasi oleh petualang politik melalui instrumen isu
pendatang vs penduduk asli dengan dijejali oleh sejumlah komoditi konflik berupa kesenjangan
sosio-kultural, ekonomi, dan jabatan-jabatan politik. Bahkan konflik diradikalisasi dengan
bungkus ideologis keagamaan, sehingga konflik Poso yang semula hanya berupa tawuran berubah
menjadi perang saudara antar komponen bangsa.

Akar penyebab konflik Poso sangat kompleks. Ada persoalan yang bersifat kekinian,
namun ada pula yang akarnya menyambung ke problema yang bersifat historis. Dalam politik
keagamaan misalnya, problemanya bisa dirunut sejak era kolonial Belanda yang dalam konteks
Poso memfasilitasi penyebaran Kristen dalam bentuk dukungan finansial. Keberpihakan
pemerintah kolonial itu sebenarnya bukan dilandaskan pada semangat keagamaan, tetapi lebih
pada kepentingan politik, terutama karena aksi pembangkangan pribumi umunya memang
dimobilisir Islam.4

Politik agama peninggalan kolonial ini akhirnya telah membangun dua image utama dalam
dalam konstelasi politik Poso, yakni : Poso identik dengan komunitas Kristen, dan birokrasi di
Poso secara historis didominasi umat Kristen. Namun, di era kemerdekaan fakta keagamaan itu
terjadi proses pemabalikan. Jika tahun 1938 jumlah umat Kristen Poso mencapai angka 41,7
persen, lama-lama tinggal 30-an persen. Data tahun 1997 bahwa Muslim Poso mencapai angka
62,33 persen, sedangkan Kristen Protestan 34,78 persen dan Katolik hanya 0,51 persen, ditambah
sisanya Budha dan Hindu5

Proses pembalikan ini bukan akibat pemurtadan, melainkan akibat migrasi kewilayahan,
sehingga komposisi penduduk mengalami pergeseran. Dalam konteks Poso, konstelasi sosio

4
Alganih, Igneus. "Konflik Poso (Kajian Historis Tahun 1998-2001)." Criksetra: Jurnal Pendidikan
Sejarah 5.2 (2016).

5
Alganih, Igneus. "Konflik Poso (Kajian Historis Tahun 1998-2001)

3
ekonomi dan politik kultural terpengaruh oleh realitas perubahan komposisi komunitas ini,
terutama beruapa proses pemiskinan di kalangan penduduk asli. Proses pemiskinan ini terjadi baik
karena kultur kemiskinan maupun akibat kekeliruan kebijakan (kemiskinan structural), seperti
lunturnya ketaatan pada tanah ulayat. Pembangunan jalan-Sulawesi dari Palopo ke Palu lewat
Tentena dan Poso ikut membawa implikasi bagi kian cepatnya proses migrasi pendatang muslim
yang masuk ke wilayah basis Kristen.

Pendatang Bugis yang memiliki kultur dagang kuat dengan cepat menguasai jaringan
perdagangan. Bugis dinilai punya loyalitas keIslaman kuat, hamper selalu membangun tempat
ibadah di setiap komunitas mereka tinggal. Realitas ini tidak saja menandai terjadinya pergeseran
komunitas etnis, tetapi sekaligus dalam komunitas keagamaan.

Fakta pergeseran komunitas keagamaan ini pada akhirnya berpengaruh pula pada
konstelasi politik Poso. Dengan digalakkannya program pendidikan era kemerdekaan, kaum
terdidik dari kalangan Muslim bermunculan, dan berikutnya mulai ikut bersaing dalam lapangan
birokrasi. Di sinilah, politik komunitas keagamaan mulai bermain pula dalam dunia kepegawaian,
antara lain: (1). Kristen yang semula dominan mulai dihadapkan pada saingan baru kalangan Islam.
(2). Jabatan strategis yang semula didominasi Kristen, secara alamiah terjadi peralihan tangan.
Dalam situasi inilah politik agama dalam konteks birokrasi kepegawaian mulai merasuk dalam
kehidupan masyarakat Poso. Perspektif komunitas keagamaan dalam konteks persaingan politik
birokrasi, lengkap imbasnya berupa pembagian berbagai proyek pada orang-orang dekat, telah
menjadi wacana penting dalam mencermati konflik Poso.

Dari situ tampak sekali bahwa aktor-aktor terlibat dalam konflik sebenarnya sangat
kompleks melibatkan elemen-elemen birokrat, para pelaku ekonomi, disamping kelompok kultur
keagamaan, yang pada gilirannya melibatkan pula kekuatan-kekuatan dari luar Poso dengan segala
kepentingannya, mulai dari para laskar, aparat keamanan, birokrat pada level propinsi ataupun
pusat yang memanfaatkan persoalan Poso untuk kepentingan.

2. Kebijakan Pemerintah Terkait Konflik di Poso

Ada 4 kesepakatan yang di berikan pemerintah dalam manangani konfli di poso:

1. Kesepakatan pertama dalam pertemuan itu, menurut Wapres, adalah tentang penekanan
penyelesaian masalah secara damai melalui dialog yang melibatkan semua pihak. Untuk

4
mewujudkan ini, antara lain dengan menghidupkan kembali kelompok kerja Malino dalam
rangka meningkatkan silaturahmi dan dialog antartokoh agama dan masyarakat.
2. kesepakatan kedua, menurut Wapres, seluruh pihak menyatakan bahwa aksi teror yang
terjadi di Poso dianggap sebagai musuh bersama yang harus diatasi. “Kita harus atasi
secara terbuka, artinya transparan. Semua harus memberikan saksi. Kita selesaikan secara
hukum,” kata Wapres dalam konferensi pers, kemarin.
3. Ketiga, khusus insiden di Tanah Runtuh, Wapres mengungkapkan disetujui pembentukan
tim investigasi pencari fakta. Tim ini akan diketuai oleh pejabat dari Kementerian Politik,
Hukum, dan Keamanan dengan melibatkan TNI, Polri, dan MUI (Melis Ulama Indonesia).
4. Sebagai kesepakatan keempat, demikian Wapres, pemerintah berencana menghidupkan
kondisi sosial dan ekonomi di Poso. Rencananya, pemerintah akan mengirimkan Menteri
Sosial (Mensos) dan Menteri Pekerjaan Umum guna melihat kondisi sosial dan ekonomi
di Poso. Bahkan, pemerintah pusat akan mengeluarkan dana pendukung untuk hal ini. “Kita
akan memberikan dana yang cukup untuk menggerakkan ekonomi masyarakat agar
generasi muda bisa bekerja,” jelas Wapres. Terkait hal ini, Departemen Sosial telah
menyiapkan dana sebesar Rp18 miliar untuk program rehabilitasi sosial konflik di Poso.
Dana tersebut akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur lingkungan dan
pemberdayaan ekonomi masyarakat korban konflik. “Sesuai Surat Kuasa Pengguna
Anggaran (SKPA) dana yang telah dianggarkan Rp18 miliar untuk Poso,” kata Direktur
Jenderal Jaminan Bantuan Sosial Departemen Sosial (Depsos) Chazali H Situmorang.
Sementara itu, Wapres dalam kesempatan itu menegaskan pula, pemerintah melalui kepo-
lisian telah menangkap banyak pelaku teror di Poso yang terjadi beberapa waktu lalu.
Pernyataan Wapres ini didukung paparan Wakadiv Humas Mabes Polri Brigjen Pol Anton
Bachrul Alam. Dikatakan Anton, selama ini Polri terus intensif melakukan penyidikan
terhadap kasus-kasus yang terjadi di sana. Anton mengatakan, serangkaian kerusuhan Poso
dan Palu sejak tahun 2001 sampai saat ini dilakukan dua kelompok kecil: kelompok Tanah
Runtuh dan kelompok Kaya Maya Kompak. 'Menurutnya, kedua kelompok inilah yang
melakukan serangkaian kerusuhan di Sulteng selama ini. Dari berbagai aksi kejahatan yang
dilakukan kedua kelompok itu, Polri telah mengungkap 13 kasus dan menangkap 15
tersangka. “Saat ini Polri tengah mengejar 29 lagi pelaku kerusuhan yang diduga dilakukan
dua kelompok tersebut,” kata Anton kepada SINDO, kemarin. Kasus-kasus yang berhasil

5
diungkap adalah 10 kasus teror bom, perampokan, serta penembakan. Misalnya, kasus
pembunuhan I Wayan Sumaryase yang teIjadi 2001; pembunuhan Bendahara Gereja
GKSP Morante Jaya pada 2003; ledakan bom di Pasar Tentena dan Pasar Sentral Poso pada
2004; dan mutilasi tiga siswi Poso

C. KONFLIK MALUKU
1. Latar Belakang Konflik Maluku
Meletusnya Konflik di Ambon, Maluku Dalam panggung sejarah, Maluku selalu diwarnai
dengan konflik yang bernuansa SARA. Migrasi orang Buton, Bugis Makassar (BBM) yang
semakin meningkat di Ambon dan wilayah Maluku lainnya menimbulkan persaingan dagang
dengan penduduk pribumi. Persaingan dagang antara pendatang dan orang Ambon bermuara pada
kesenjangan sosial dan ekonomi. Pada tanggal 19 Januari 1999 bertepatan dengan umat Islam
merayakan Hari Raya Idul Fitri 1419 Hijriah, “hari kemenangan”. Bagi umat Islam, “hari
kemenangan” adalah manusia kembali suci setelah melaksanakan ibadah puasa selama satu bulan.
Tradisi perayaan hari raya Idul fitri adalah umat Islam biasanya merayakan hari tersebut dengan
saling maaf dan memaafkan antara satu dengan yang lainnya. Namun kenyataannya situasi
berubah menjadi tragedi berdarah.

Insiden awal dari pertikaian yang terjadi bukan tidak pernah terjadi sebelumnya. Orang-
orang Ambon setempat ingat soal meletusnya kekerasan yang kerap terjadi antara penduduk
Kristen Mardika dan Batu Merah yang sebagian besar Muslim6. Pertikaian yang terjadi antara sopir
angkot yang beragama Kristen dengan seorang pemuda keturuanan Bugis yang beragama Islam di
Batu Merah berkembang menjadi konflik Agama (Islam dan Kristen. Informasi mengenai konflik
tersebut berbeda-beda. Menurut The Human Rigt Watch Report, March 1999 bahwa terdapat dua
versi penyebab konflik Maluku 1999, antara lain, pertama versi Tim Pengacara Gereja yang dianut
oleh kebanyakan warga komunitas Kristen dan kedua versi Tim Pencari Fakta Muslim Ambon.
Menurut versi pertama, Tim Pengacara Gereja yang dianut oleh kebanyakan warga komunitas
Kristen bahwa:7

6
Bertrand, Jacques. 2012. Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia. Yogyakarta: Ombak, hlm 201
7
Trijono, Lambang. 2001. Keluar dari Kemelut Maluku, Refleksi Pengalaman Praktis Bekerja Untuk
Perdamaian Maluku. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm 39-40

6
“Seorang sopir angkutan kota beragama Kristen, Jacob Lauhery atau dikenal sehari-hari
dengan nama Yopi, menjadi korban penodongan dan penganiyaan dua pemuda Muslim keturunan
Bugis, salah satunya bernama Nursalim. Menurut versi ini, Yopi yang ketika dengan kendaraan
angkotnya baru saja tiba di terminal Batu Merah didekati Salim dengan meminta uang Rp. 500.
Yopi menolak permintaan itu sambil mengatakan tidak punya uang karena baru saja menarik
angkotnya. Kemudian Yopi menjalankan mobilnya ke terminal Mardika mencari penumpang.
Setengah jam kemudian, Yopi kembali ke terminal Batu Merah masih dengan tanpa penumpang.
Salim kembali mendekati Yopi meminta uang dan lagi Yopi menolaknya karena tidak membawa
uang. Menurut versi ini, Yopi meminta pemuda tersebut untuk menghentikan perbuatannya.
Sebagai reaksi balik, Salim mengancam mengeluarkan pisau dari balik bajunya dan
mengarahkannya keleher Yopi. Yopi melawan dan mendorong pemuda tersebut sambil menutup
mobil dan lari ke kampung Mardika. Hal tersebut berlangsung dua kali, ketika Yopi kembali ke
terminal Batu Merah, Salim masih disana kembali menodongkan pisaunya. Yopi kemudian lari
pulang kerumahnya mengambil pisau badik diikuti oleh temantemannya dari kampung Mardika
untuk mencari Salim. Namun Salim sudah tidak ada disana. Yopi dan teman-temannya akhirnya
kembali pulang. Namun 15 menit kemudian, ratusan pemuda Muslim dari Batu Merah datang ke
rumah Yopi, namun tidak menemukan Yopi dan kemudian menyerang warga kampung Mardika
di sekitarnya”.

Sedangkan versi kedua adalah versi Tim Pencari Fakta Muslim Ambon, mengatakan
bahwa konflik 1999 diawali: “Seorang Pemuda Muslim dari Batu Merah sebagai korban
penganiayaan yang dilakukan Yopi. Pemuda Muslim tersebut bekerja sebagai kenek angkutan kota
yang dikemudiakan oleh sopir yang bernama Yopi. Menuru versi ini, Yopi sebenarnya adalah sopir
kendaraan angkutan kota milik warga keturunan Bugis di Batu Merah. Sebelum kejadian itu, Yopi
telah menggunakan mobil itu untuk keperluan pribadi dengan menyewakan kepada orang lain.
Kemudian, atas nama pemiliknya si kenek pemuda Muslim itu menanyakan kepada Yopi uang
sewa mobil itu. Yopi menolak permintaan itu dan mengancam kenek untuk tidak
mengungkitungkitnya. Pertengkaran mulut terjadi antara kedua pemuda itu. Beberapa penumpang
Kristen di dalam mobil membela Yopi dengan memaki-maki si kenek pemuda Muslim. Kemudian
si kenek itu lari ke Batu Merah meminta bantuan pada temannya karena di ancam Yopi. Akhirnya,
kedua kelompok pemuda itu bentrok dan menimbulkan pertikaian massa di antara mereka”.
Kerusuhan di Maluku merupakan konspirasi RMS untuk mewujudkan sebuah negara Kristen yang

7
berdaulat sebagai pengejawantahan dari gerakan Oikumene yang dibangun kolonial Belanda pada
permulaan abad XX.

Perwujudan Negara Kristen di Maluku merupakan tindak lanjut dari pernyataan Gereja
Kristen dalam sebuah Sinode pada tanggal 6 September 1936 (Gereja Protestan Maluku).
Terjadinya Idul Fitri berdarah tanggal 19 Januari 1999 bagi umat Kristen dan pemerintah RMS
serta tokoh Gereja menjadi sebuah catatan khusus untuk menyusun kekuatan sehingga memasuki
milenium baru dapat menjadi realisasi citacita Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Frederik
William Inderburg, melalui Kristening politik untuk membangun negara Kristen Maluku yang
merdeka berdasarkan ajaran Kristen8.

Konflik agama Islam dan Kristen yang terjadi adalah peristiwa “gelap berdarah” dalam
sejarah Maluku. Kekejian setingkat itu belum pernah terjadi sebelumnya di Ambon, bahkan selama
masa penindasan oleh pasukan Indonesia terhadap pemberontak daerah yang dikenal dengan nama
RMS (Republik Maluku Selatan) hampir setengah abad yang lalu. Tetapi pengamatan pengamatan
yang lebih seksama mengungkapkan bahwa gugutan yang diwarnai kekerasan tidak muncul begitu
saja tanpa alasan sama sekali. Unsur kontekstual terpenting di Ambon adalah tingkat penetrasi
oleh negara ke dalam masyarakat yang sangat tinggi bahkan menurut standar Indonesia.
Pemerintahan modern membentang memasuki bagian timur Nusantara dengan intensitas yang
semakin meningkat sepanjang abad ke-20. Ambon adalah basis bagi penjajahan birokratis seperti
ini. Tumbuhnya pemerintahan membentuk sejarah kota itu (Chauvel dalam Klinken, 2007:150-
151)9.

Pada tanggal 24 Juli 1999 konflik bermula di negeri Poka dalam bilangan Kotamadya
Ambon yang segera menjalar kedalam kota Ambon. Pada hari pertama itu seluruh pusat ekonomi
(kebanyakan Cina) di Jalan A.J. Patty dibakar habis sehingga para pengusaha Cina eksodus dari
Ambon. Wilayah Kristen dan wilayah Islam. Kota Ambon terbagi dua: wilayah Kristen dan
wilayah Islam. Konflik juga melanda pulau Seram. Pada tanggal 18 dan19 Agustus sejumlah
negeri Islam menyerang negeri Piru yang sebagian besar berpenghuni Kristen. Konflik itu berulang

8
Waileruny, Samuel. 2010. Membongkar Konspirasi di Balik Konflik Maluku. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, hlm 152
9
Klinken, Gerry van. 2007. Perang Kota Kecil, Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia.
Jakarta: KITLV-Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia, hlm 150-151

8
kembali tanggal 2 Desember. Menyusul konflik di Kairatu (Seram Barat) pada tanggal 19
September.

Konflik masih berlangsung sampai pada tanggal 26 Desember 1999. Konflik tersebut
berawal ketika gereja Silo di kota Ambon dibakar masyarakat tanpa ada pencegahan yang berarti
dari aparat keamanan10. Bantuan militer kepada pihak Muslim. Bagaimana pun tidak signifikan
dalam mengalihkan keseimbangan strategi kepada umat Muslim. Peristiwa perusakan gereja Silo
hanya sejauh 300 meter dari masjid Al Fatah, dan para tentara tampak menunjukan keberpihakan
mereka. Perusakan gereja Silo itu merupakan pukulan yang simbolis bagi umat Kristen. Namun
orang-orang Muslim tetap terperangkap di daerah kumuh yang sempit didekat pelabuhan kota.
Atas kerusakan gereja Silo itu orang-orang Kristen membalas dengan cara membakar masjid
terdekat yaitu masjid An-Nur. Baru setelah Laskar Jihad dari Jawa tiba pada Mei 2000,
keseimbangan strategi Muslim mendekati sejajar dengan pihak Kristen. Orang-orang Kristen
memaparkan kedatangan Laskar Jihad sebagai eskalasi perang yang serius, namun orang-orang
Muslim sering menyambut mereka karena mereka menjanjikan keamanan (Klinken, 2007: 173).
Beberapa pengamat di Jakarta memperkirahkan, tidak siapnya aparat keamanan dalam menangani
kerusuhan di Ambon akibat adanya “perang” antara kelompok sendiri di tubuh militer. Di satu sisi
ada kelompok militer yang dikenal sebagai militer hijau, yang disebut-sebut dekat dengan
kelompok Islam, disisi lain, ada kelompok yang dikenal sebagai militer nasionalis, dan dikenal
dekat dengan kelompok pelangi, sebutan untuk gabungan kelompok “berwarna” (Suaedy, dkk.
2000: 69). Ada persepsi bahwa pihak TNI/POLRI terlibat, atau minimal tidak netral, dalam konflik
Maluku telah berkembang cukup luas di masyarakat. Bahkan, ketidak percayaan komunitas
Maluku terhadap TNI/POLRI dalam mengatasi konflik Maluku boleh dikatakan demikian sangat
besar.

Telah berkembang sikap menolak TNI, khususnya terdapat Angkatan Darat (AD).
Sementara dipihak Muslim berkembang sikap anti POLRI. Persepsi demikian itu berkembang
tidak terlepas dari kenyataan bagaimana peran dan kinerja TNI/POLRI selama dalam menangani
konflik yang berkembang di lapangan (Trijono (2001: 105) 11. Ketua Sinode Gereja Protestan

10
Leirissa, RZ. 2001. Kerusuhan Komunal di Provinsi Maluku dalam Kumpulan Makalah Diskusi Sejarah
Lokal, sub tema Konflik Komunal dan Ketersingkiran Sosial (penyunting) Andi Syamsu Rijal SS. Jakarta: Proyek
Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional, hlm 38
11
Trijono, Lambang. 2001. Keluar dari Kemelut Maluku, Refleksi Pengalaman Praktis Bekerja Untuk
Perdamaian Maluku. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm 105

9
Maluku berpendapat, “Agama punya otoritas dan punya entitas yang independen yang harus
dimuarakan pada kepentingannya yang paling penting yakni kepentingan etnik. Menurutnya,
“Fakta menyatakan konflik Maluku bukan konflik agama, karena bila itu konflik agama, maka itu
jauh lebih buruk. Sebab dalam konflik, proses Islam-Kristen tetap jalan, kalau konflik agama tidak
mungkin begitu. Ada banyak orang Islam yang menyelamatkan orang Kristen dan sebaliknya
dalam konflik”.

Di Maluku tidak terdapat suatu lembaga politik yang menyatukan keseluruhan wilayah
itu dalam suatu bentuk geo-politik, seperti di Maluku Utara dimana sejak abad ke-16 telah muncul
kerajaan-kerajaan di Ternate, Tidore, dan Bacan (kerajaan ke-4 adalah Jailolo di Halmahera lenyap
dalam abad ke-17). Struktur politik yang menyatukan negerinegeri di Maluku, baik Islam maupun
Kristen, adalah birorasi Belanda sejak zaman VOC di abad ke-17. Dalam masa VOC di kota
Ambon terdapat seorang Gouverneur, dan dibawahnya terdapat Resident yang masing
ditempatkan di Hila (untuk jazirah Hitu, Buru dan Seram Barat seitar Piru dan Hoamoal, di Haruku
yang mencakup pulau Haruku dan Seram Barat sekitar Kairatu, dan di Saparua yang mencakup
Nusalaut dan Seram Timur sejak dari Amahai. Gubernur dan para Residen itu diperkuat dengan
benteng-benteng12.

Namun orang-orang Maluku di Ambon dan pulaupulau sekitarnya dikenal dengan budaya
Pela Gandong. Budaya tersebut sebagai institusi sosial yang berfungsi untuk mengikat perbedaan
agama maupun etnis. Pela adalah ikatan hubungan antara dua atau lebih desa atau negeri Salam
dan Sarani berdasarkan ikatan perjanjian kontrak untuk tidak berkonflik satu sama lain. Gandong
adalah ikatan sosial antar negeri atau desa berdasarkan huubungan darah atau keturunan. Gandong
sediri berarti kandungan, ikatan hubungan antar anak negeri berdasarkan hubungan saudara satu
keturunan atau satu kandungan ibu yang sama13.

Peristiwa berdarah sejak Januari 1999 di Maluku, Pela Gandong sebagai warisan para
leluhur yang berfungsi sebagai ikatan sosial sudah tidak efektik. Pertarungan Elit Lokal di Maluku

12
Leirissa, RZ. 2001. Kerusuhan Komunal di Provinsi Maluku dalam Kumpulan Makalah Diskusi Sejarah
Lokal, sub tema Konflik Komunal dan Ketersingkiran Sosial (penyunting) Andi Syamsu Rijal SS. Jakarta: Proyek
Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional, hlm
41-42.
13
Trijono, Lambang. 2001. Keluar dari Kemelut Maluku, Refleksi Pengalaman Praktis Bekerja Untuk
Perdamaian Maluku. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hlm 25.

10
Utara Setelah runtuhnya rezim Orde Baru, perebutan kekuasaan mulai terjadi secara serentak di
berbagai daerah-daerah salah satu di antaranya adalah di Wilayah Maluku Utara. Dimana wilayah
ini sebelumnya berada di bawah provinsi Maluku yang ibu kotannya di Ambon. Dalam sebuah
konferensi untuk memberikan input bagi menteri dalam negeri di Jakarta dalam rangka sidang
MPR mendatang, aktivis HMI setempat, Syaiful Bachri Ruray, mengusulkan pentingnya
pembentukan provinsi baru dengan nama provinsi Maluku Uatara. Di balik layar, ide tersebut
sebenarnya merupakan pimikiran Bupati Halmahera, Bahar Andili. Usulan tersebut akhirnya
membakar imajinasi semua dan memicu gelombang nasionalisme dan persatuan lokal. Sebelum
Habibi kehilangan kursi kepresidenannya, dia menandatangani sebuah undangundang yang
menyatakan bahwa Maluku Utara menjadi provinsi baru (UU 46/1999, 4 Oktober 1999). Undang-
undang itu mempertimbangkan berbagai kepentingan kelompok elit Maluku Utara. Saat itu para
elit tersebut mulai tarik-menarik menuju dua kubu, yang satu diseputar sultan Ternate dan sebagian
lagi mengitari mereka yang menentangnya.

Provinsi itu dinamakan Maluku Utara bukan nama yang terdengar terlalu tradisional
Maluku Kie Raha seperti yang dikehandaki sultan. Upaya untuk mendapat dukungan dari
Pemerintah Pusat oleh kedua belah pihak semakin gencar, dalam menuju kandidat Gubernur
Maluku Utara. Pihak Pemerintah kecuali dewan adat didukung sepenuhnya oleh rakyat Maluku
Utara, tokoh dalam pihak ini antara lain adalah Bahar Andili, Abdullah Assagaf, Thaib Armayn,
dan elit lokal lainnya termasuk Sultan Tidore. Sedangkan sultan Ternate hanya mendapat
dukungan dari dewan adat Ternate, Jailolo dan Kao. Etnik Makian memegang banyak jabatan
eksekutif puncak di daerah Maluku bagian utara. Selain itu, Bupati Bahar Andili dari Halmahera
Tengah, Adiknya Syamsir Andili memimpin kota Ternate, yang telah di sempalkan dari Maluku
Utara sebagai sebagai kabupaten ketiga menjelang akhir Orde Baru. Kesuksesan mereka bukan
adalah bukanlah berkat koneksi-koneksi aristokratik dengan kesultanan, melainkan berkat kerja
keras dan sikap saling membantu. Banyak diantara para mahasiswa yang bermotivasi tinggi di
Universitas Khairun dan STAIN Ternate dan juga orang Makian14.

Pergolakan politik ditingkat lokal menimbulkan suasana yang tidak stabil di masyarakat.
Dominasi orang Makian dalam pemerintahan menjadikan posisi mereka semakin kuat untuk

14
Klinken, Gerry van. 2007. Perang Kota Kecil, Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia.
Jakarta: KITLV-Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia, hlm 193.

11
menjadikan Maluku Utara sebagai provinsi baru. Sedangkan sultan Ternate yang menghendaki
provinsi Maluku Kie Raha tidak tercapai. Penetapan Maluku Utara sebagai provinsi Maluku Utara
adalah tanda kekalahan sultan Ternate dalam merebut jabatan gubernur. Pada Desember 1998,
Mudaffar Syah mencalonkan dirinya sebagai ketua Golkar cabang Maluku Utara. Ternyata rapat
itu memilih calon lain (Abdul Kahar Limatahu), namun ‘para penjaga istana’ yang militan dan
loyal terhadap sultan telah mengelilingi gedung itu dan dengan tegas berseru agar keputusan itu
diubah15.

Pada pertengahan Mei 1999 daftar calon sementara Golkar muncul untuk pemilihan tingkat
kabupaten, semua rival Mudaffar sudah tersingkir. Yang paling utama dari semua rifal-rifal yang
tersingkir adalah Syaiful Bahri Ruray, seorang Makian dan pahlawan bagi Mahasiswa Universitas
Khairun. Mahasiswa kemudian berdemonstrasi secara terbuka menentang sultan, misalnya ketika
dia berkunjung ke Pulau Kayoa (Klinken, 2007: 194-195). Selain mengetuai Golkar Cabang
Maluku Utara dan menjadi dewan di tingkat kabupaten, sultan juga punya kartu rahasia—yakni
kekuatan fisik. Generasi Muda Sultan Babullah (Gemusba), menggambarkan dirinya sebagai
“pengamanan tradisional kraton” dan mengklaim aura budaya yang mengelilingi sultan dalam
tema mapan. Gemusba adalah salah satu sarana untuk memobilisasi dukungan bagi sultan dalam
masyarakat.

Para pemimpinnya menggambarkan budaya desa asal dari para anggota Gemusba sebagai
masyarakat yang fanatik setia padanya. Desa-desa ini terletak di wilayah geografis yang masuk
“kerajaannya”nya—tempat-tempat seperti Pulau Hiri di ujung barat daya Ternate, Kao dan Tobelo
yang keduanya terletak di Halmahera (yang terakhir ini kebanyakan Kristen). Kenyataannya
Gemusba bukanlah organisasi adat yang muncul dari akar rumput. Gemusba punya hubungan yang
solit dengan Golkar dan Militer (Klinken, 2007: 195) Pertarungan elit lokal untuk membentuk
provinsi baru telah menimbulkan polarisasi di Maluku Utara. Keinginan sultan Ternate, Mudaffar
Syah membentuk provinsi baru dengan nama provinsi Maluku Kie Raha sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari sejarah empat kerajaan di Maluku yaitu Ternate, Tidore, Bacan dan Jailolo.
Sedangkan kelompok yang menghendaki provinsi Maluku Utara mendapat dukungan pemerintah
dan masyarakat Maluku Utara.

15
Klinken, Gerry van. 2007. Perang Kota Kecil, Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia.
Jakarta: KITLV-Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia, hlm 194.

12
Pertarungan merebut kursi kekuasaan (Gubernur) yang penuh dengan kekacauan itu,
akhirnya pada bulan Oktober 2002 jabatan gubernur Maluku Utara jatuh ke Thaib Armayn. Dari
Konflik Etnik Hingga Agama Pada tanggal 24 Juni pemerintah di Jakarta, atas permintaan Bupati
Maluku Utara, mengeluarkan sebuah peraturan, yang dikenal dengan PP. No.42/1999 tentang
pembentukan dan penataan kecamatan baru Makian Malifut. Beberapa tim pemerintah kabupaten
dikirim untuk “mensosialisasikan” hal ini ke desa-desa Kao yang terkait. Orang-orang Kao yang
merasa dilangkahi, menerima dengan sikap bermusuhan. Masyarakat mahasiswa etnik Kayoa di
Ternate pada gilirannya menanggapi tantangan tersebut. Mereka mengancam orang-orang Kao
melalui sebuah stasiun radio lokal: “Siapa pun yang hendak coba-coba menghalangi PP.
No.42/1999 harus berhadapan dengan para mahasiswa Makayoa”16.

Penolakan masyarakat Kao terhadap rencana pembentukan wilayah Malifut menjadi


kecamatan Makian Daratan didasarkan pada pranata sosial, aturan dan mekanisme adat setempat
yang sudah ada sejak zaman kesultanan dan Belanda. Bagi masyarakat suku di Halmahera, batas
wilayah kesukuan telah diatur dan disepakati bersama sejak zaman kesultanan. Pelangaran
terhadap wilayah kesukuan merupakan pelanggaran terhadap adat yang harus dibayar mahal
dengan darah, dan sebagai pemerintah daerah Maluku Utara harusnya memahami kondisi tersebut.
Aspirasi itu tidak diakomodir oleh pemerintah setempat yang memang saat itu didominasi oleh
kelompok-kelompok suku Makian, Tidore, dan Kayoa yang notabenenya mempunyai interest
tertentu terhadap potensi sumber daya alam di wilayah Malifut yang mengandung tambang emas.
Bahkan sejarah telah mencatat bahwa ketiga etnik tersebut di atas selalu bergabung membentuk
suatu kelompok elit di bawah hegemoni Kesultanan Tidore yang secara laten bersaing dengan
hegemoni kesultanan Ternate.

Motif lokal dalam konflik Maluku Utara antara laian: (1) bias kerusuhan antar agama di
Ambon, (2) konflik antar batas 11 desa di Kao dan Jailolo berdasarkan PP. No. 42/1999, (3)
Konflik status Provinsi, dan (4) persaingan suksesi lokal. Ia kemudian menjelaskan bahwa
persaingan elit politik Jakarta turut memperparah konflik-konflik di daerah (Ruray, 2000: 8). Pada
awalnya konflik Islam dan Kristen terjadi di Ambon, Maluku pada Januari 1999 Maluku kemudian
menyebar ke Maluku Utara. Kerusuhan di Kao dan Malifut sebagai akibat dari pembentukan

16
Klinken, Gerry van. 2007. Perang Kota Kecil, Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia.
Jakarta: KITLV-Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia, hlm 198.

13
kecamatan Makian Malifut. Kerusuhan yang meletus pada tanggal 18 Agustus 1999 itu ternyata
menggagalkan pembentukan kecamatan tersebut. Dalam konflik yang terjadi dalam bulan Oktober
korban terutama diderita oleh orang Makian sehingga sekitar 16.000 orang dari 16 desa terpaksa
mengungsi ke Ternate dan Tidore dimana mereka memanaskan situasi sehingga di kedua tempat
itu terjadi kekerasan terhadap orang Kristen yang terpaksa mengungsi ke Minahasa. Konflik yang
terjadi di Halmahera Utara khususnya antara masyarakat Kao dan Malifut berawal dari
penyerangan warga Malifut yang Muslim ke warga Kao yan Kristen, pada Rabu 18 Agustus 1999
ketika rumah warga Kristen dilakukan pengrusakan dan pembakaran oleh warga Malifut.

Sehingga pembalasan penyerangan dari warga Kao Kristen juga dilakukan ketika bala
bantuan datang dari tetangga desa. Penyerangan pun mulai terjadi baik itu penyerangan terhadap
orang-orang Makian maupun Kao. Selama kurang lebih 24 tahun berada di Malifut, status wilayah
mereka terkatung-katung. Sebelum akhir petaka 24 Agustus 1999, sering terjadi perkelahian antar
pemuda dari kedua suku yang berbeda agama tersebut, disamping pembabatan hasil-hasil kebun
milik warga Makian Malifut oleh suku asli Kao terhadap keberhasilan ekonomi penduduk
pendatang ini17.

Dua bulan kemudian Propinsi Maluku Utara benar-benar menjadi fakta resmi yang
menuntut pelaksanaan secepatnya. Malifut merupakan bagian dari rangkaian implementasi
tersebut. Pada Minggu sore tanggal 24 Oktober para pejuang Kao yang dipimpin oleh seorang pria
bernama Benny Bitjara menyerang balik setelah pagi harinya diancam oleh orang Makian karena
melanggar batas wilayah. Tiap rumah Makian di wilayah itu di bakar habis. Seluruh penduduk
Makian yang berjumlah 17.000 orang mengungsi ke barat menyeberang selat menuju Ternate dan
Tidore. Ini merupakan kemenangan putaran pertama bagi Sultan Mudaffar (Klinken, 2007: 199).

Betapa sulitnya kehidupan masa itu, kecurigaan dari masyarakat yang berbeda etnis dan
agama semakin kuat. Perasaan curiga tersebut juga merupakan salah satu ‘penyakit’ pemicu
konflik. Faktor lain adalah peran provokator dari masingmasing etis maupun agama yang membuat
suasana semakin ‘panas’. Berita-berita mengenai di sekitar Tobelo pada tanggal 26 Desember
dengan cepat mencapai Ternate. Orang-orang Muslim di Galela, barat Tobelo, telah mengontrak

17
Bujang, Agus Salim. 2000. Keragam Budaya dan Konflik di Halmahera Utara dalam Ahmad, Kasaman
H dan Oesman, Herman (penyunting). Damai Yang Terkoyak, Catatan Kelam dari Bumi Halmahera. Ternate:
Kelompok Studi PODIUM, LPAM Pemuda Muhammadiyah Maluku Utara dan Madani Press, 121

14
kelompok-kelompok Islam di Ternate Selatan. Rasa berang kepada para pengikut setia sultan
Ternate tumbuh diantara berbagai koalisi Islam, yang saat itu dikenal dengan orang-orang putih,
tepatnya sejak November sebelumnya. Militer, sebagaimana kita lihat, dengan tidak
bertanggungjawab meminta para preman sultan membantu “mengamankan” kota Ternate dari
kekacauan.

Saat konflik terbuka di Tobelo, dimana warga Muslim saling berhadapan dengan warga
Kristen, pada saat yang sama tanggal 27 Desember 1999 di Ternate juga muncul konflik berdarah.
Di Tobelo warga Muslim dan Kristen saling berhadapan, di Ternate pertikaian berdarah antara
warga “Muslim Putih” dan dan warga Muslim dari dewan adat atau “Muslim Kuning”. Saat rasa
ukhuwah dan rasa persaudaraan Muslim timbul untuk membantu sesama warga Muslim di Tobelo
dan Galela, pertikaian di Ternate antara ”putih” dan “kuning” mencuat, menghambat langkah
sesama warga Muslim untuk membantu saudarasaudaranya (Ahmad dan Oesman, 2000: xx-xxi).

Yang paling mengejutkan polisi dan militer, wakil Kuning mereka tampil dengan sangat
buruk ketika pertempuran pecah di Ternate pada tanggal 26 Desember 1999. Pada tanggal 28
permusuhan itu pun memuncak menjadi skala peperangan yang sungguh mengerikan. Pihak
Kuning bisa dipaksa mundur dari kekuasaan mereka di wilayah perkampuangan Tanah Tinggi dan
Kampung Pisang dan mundur hingga ke utara. Keesokan harinya peperangan pecah sehari penuh,
dengan korban meninggal 29 orang dan yang terluka parah 39 orang. Klinken mengutib Bubandt,
siang harinya pasukan kuning akhirnya mundur ke istana sultan, sultan sendiri tampaknya dipaksa
melepas dan membakar pakaian kebesarannya sebelum diperbolehkan mengungsi ke Sulawesi
Utara18.

Pendapat mengenai adanya upaya mengenai isu Kristenisasi mencuat di masyarakat,


khususnya kaum Muslim bahwa setelah warga Muslim Makian dirangsek keluar dari Malifut oleh
mayoritas kristen di Kao, maka wilayah Halmahera Utara akan dijadikan pusat Kristenisasi di
Maluku Utara. Pendapat ini menguat di masyarakat luas ketika dokumen yang memuat skenario
pembantaian suku Makian Malifut yang Islam berjudul “Sosol Berdarah”. Ketika pertikaian
tanggal 6 Nopember 1999 di Ternate ditemukan beberapa lembar surat di desa Kayu Merah dan

18
Klinken, Gerry van. 2007. Perang Kota Kecil, Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia.
Jakarta: KITLV-Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia, hlm 202-203.

15
Ubo-Ubo Ternate di dalam rumah keluarga Kristen tentang upaya Kristenisasi Maluku Utara.
Lembaran surat dan dokumen gelap “Sosok Berdarah” tersebut beredar luas dalam bentuk copyan.

Setelah penyerangan terhadap orangorang Kristen di Ternate pada tanggal 6 November,


para komandan polisi dan militer di Ternate menyuruh sultan “mengerahkan orang-orangnya”.
Para pemuda yang kasar dari luar kota telah menghentikan lalu lintas dan dengan agresif memaksa
orang-orang menunjukan identitas mereka. Berita-berita bahwa orang-orang merah Kristen, yang
dianggap sebagai mitra sultan (yang warnanya Kuning), telah menyerang orang-orang Muslim
Tobelo kemudian berbalik membuat kaum Putih bergerak melawan sultan. Koalisi kaum putih
semakin menggalang para anggotannya dari masjidmasjid di selatan Ternate (Toboko dan Mangga
Dua) dan dari desa-desa di Tidore yang dikenal ganas. Komandan mereka adalah Abubakar Wahid,
seorang pensiunan pejabat Departmen Pendidikan dan Kebudayaan dari Tidore.

Konflik yang terjadi di Maluku Utara dari Agustus 1999 telah menelan banyak banyak
korban nyawa dan harta menurut Violent Conflict in Indonesia Study bahwa korban jiwa akibat
konflik di Maluku Utara dalam waktu sebelas bulan mulai dari awal Agustus 1999 sampai Juni
2000, tercatat 3.257 orang tewas dan 2.635 orang luka-luka. Ironisnya korban yang berjatuhan
adalah perempuan dan anakanak yang tidak bersalah (Totona, 2014: 81). Tomagola juga
menunding persaingan antara sultan Ternate dan sultan Tidore sebagai sebab sebagian kekerasan
itu. Sultan Ternate, yang menarik dukungan antara lain dari orang-orang Kristen di Halmahera
Utara, sudah lama merupakan saingan sultan Tidore yang basis dukungannya lebih besar dari
kalangan Muslim di Halmahera Tengah dan Selatan. Ketika pemerintah Habibie memutuskan
untuk sebuah provinsi baru di Maluku Utara, sultan Ternate turut bersaing untuk jabatan gubernur,
sementara seorang sekutu sultan Tidore, Bahar Andili, seorang birokrat karir, juga maju sebagai
calon.

Tomagola melihat kekerasan yang terjadi adalah akibat dari kompetisi untuk mendapatkan
jabatan gubernur, serta faktor destabilisasi Malifut. Kemudian kekerasan itu juga disebabkan oleh
eksploitasi Australia atas tambang emas setempat, yang hasil-hasilnya sangat diperebutkan oleh
orang-orang Kristen dan Muslim yang bersekutu dengan kedua sultan tadi (Bertrand, 2012: 210).
Konflik di Maluku Utara 1999-2000 adalah bagian dari perebutan kekuasaan antar elit lokal, bias
dari konflik agama Islam dan Kristen di Ambon, pembentukan kecamatan baru Makian Malifut
berdasarkan PP. No. 42/1999, hingga menimbulkan konflik etnis dan agama. Penutup Konflik

16
Ambon, Maluku terjadi sejak tanggal 19 Januari 1999 bertepatan dengan umat Islam merayakan
Hari Raya Idul Fitri 1419 Hijriah. Konflik bermula pertikaian antara sorang sopir angkot yang
bernama Jacob Lauhery sering dipanggil Yopi dengan seorang pemuda Muslim keturunan Bugis
yang beragama Islam di Batu merah. Peristiwa tersebut kemudian berkembang menjadi konflik
agama (Islam dan Kristen) di Ambon, Maluku dan sekitarnya. Konflik dan kekerasan yang tejadi
sejak Januari 1999, menimbulkan banyak korban jiwa dan harta benda. Banyak warga kehilangan
tempat tinggal dan sebagian warga mengungsi hingga di Sulawesi. Tempat-tempat ibadah baik
umat Islam maupun Kristen rusak/terbakar. Di Maluku Utara konflik dan kekerasan pun terjadi.
Perebutan kekuasaan di tingkat lokal antara sultan Ternate yang didukung oleh dewan adat dengan
kubu menentang sultan Ternate (Sultan Tidore, Bahar Andili, Syamsir Andili, Thaib Armayn dan
dukungan dari masyarakat Maluku Utara) telah menimbulkan perpecahan pada masyarakat baik
itu etnis maupun agama (Islam dan Kristen). Pembentukan kecamatan baru Makian Malifut
berdasarkan PP. No.42/1999 mendapat penolakan dari penduduk Kao karena di anggap melanggar
adat. Konflik mulai terjadi antara orang Kao dengan orang Makian sebagai suku pendatang dari
Pulau Makian karena ancaman gunung api (Gunung Kie Besi, Makian).

Peristiwa tersebut kemudian menyebar ke Tidore, Ternate, Jailolo, dan Bacan. Konflik
Maluku Utara adalah peristiwa berdarah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Konflik yang
terjadi sejak Agustus 1999 hingga Juni 2000 di Maluku Utara menelan korban jiwa, rumah dan
tempat ibadah (Masjid dan Gereja) rusak/terbakar. Kebanyakan korban dari peristiwa tersebut
adalah perempuan dan anak-anak yang tidak berdosa.19

2. PERAN APARAT KEAMANAN

Selama fase awal konflik, antara bulan Januari sampai Maret 1999, Pemerintah
mengirimkan 5.300 petugas keamanan, baik dari Brimob dari kepolisian dan dari militer, ke
Maluku. Pada 15 Mei 1999, Komando Resort Militer (Korem) Maluku ditingkatkan menjadi
Komando Daerah Militer (Kodam) dibawah kepemimpinan seorang Brigadir Jenderal, sebuah
tindakan yang memberikan baik status maupun anggaran yang lebih besar bagi militer di Maluku.
Pada November 1999, jumlah personel keamanan meningkat menjadi 6.000 personel, termasuk
petugas dari Kodam yang baru.

19
Jamin Safi, M.Pd , Konflik Komunal: Maluku 1999-2000, Pendidikan Sejarah STKIP Kie Raha Ternate,
Volume 12 No 2 Maret 2017, hlm 35-42.

17
Pada Januari 2000, pasukan militer dan Brimob meningkat menjadi 5 Batalyon (11.250
personel). Namun, peningkatan ini tidak mengakibatkan penurunan konflik, karena militer tidak
punya pengalaman dalam menangani konflik komunal. Militer tidak dilatih untuk konflik di mana
konsep musuhnya tidak jelas dan tidak tahu tindakan apa yang harus diambil ketika dua komunitas
agama terlibat dalam pertempuran. Menurut UU Darurat No. 23/1959 adalah tanggung jawab
Gubernur untuk memulihkan ketertiban dalam situasi darurat dan mereka memiliki wewenang
untuk menggunakan sumber daya yang mereka miliki. Namun, baik Gubernur maupun Bupati di
Maluku tidak mampu untuk memimpin petugas keamanan, yang hanya bekerja dibawah arahan
dari komando pusat mereka. Walaupun ada koordinasi antara petugas keamanan dan pemerintah
lokal, namun tidak cukup bagi kedua belah pihak untuk menanggapi situasi darurat dengan cepat
dan tepat.

Reformasi yang menyusul turunnya Soeharto juga turut memberikan tanggung jawab
kepada kepolisian untuk menjaga keamanan internal. Namun demikian dipihak lain, militer tetap
memperlihatkan kekuatannya dengan tetap berusaha untuk mempertahankan kewenangan dan
anggarannya. Jadi, walaupun pembagian tugas dan hubungan antara militer dan polisi tercantum
di atas kertas, dalam kenyataannya tidaklah demikian. Anggapan adanya keberpihakan petugas
keamanan dalam beberapa kejadian, seperti serangan desa Soya, menimbulkan ketidakpercayaaan
masyarakat walaupun keterlibatan tersebut disangkal secara formal baik oleh militer maupun
polisi, namun hasil beberapa penyelidikan membuktikan sebaliknya.31 Polisi yang ditempatkan di
Maluku sebagian besar direkrut dari penduduk lokal dan oleh sebab itu, tidak mengherankan bila
mereka akhirnya menjadi turut terlibat menjadi sesama Muslim atau sesama Kristen. Sedangkan
bagi militer, walaupun mereka telah sengaja dicampur dan secara berkala dipindah dari satu daerah
ke daerah lain, para tentara menjadi berteman dengan para penduduk desa yang mereka bela,
bahkan sering kali tentara diberikan makanan, minuman dan rokok oleh penduduk desa. Jadi,
seolah wajar saja, jika terjadi bentrokan, para tentara juga akan memihak kepada mereka yang
sering ditemui setiap hari.

Sehingga, terkadang tentara Muslim membela desa Muslim terhadap serangan Kristen dan
tentara Kristen membela temannya terhadap serangan Muslim. Pada fase kedua konflik Maluku,
beberapa personel militer bahkan menyediakan senapan dan amunisi kepada pihak yang bertikai.
Tentara seperti membeli makanan mereka dengan “menjual” peluru. Pemerasan oleh oknum

18
petugas keamanan mencoreng reputasi mereka di Maluku. Pada puncak konflik, tidak ada
kelompok agama maupun perwakilan pemerintahan dapat melewati daerah yang didominasi oleh
sebuah kelompok agama tanpa perlindungan oleh petugas keamanan. Petugas keamanan
mengeksploitasi situasi tersebut, meminta uang perlindungan sebagai imbalan keamanan
perjalanan.20

3. SOLUSI PENYELESAIAN

Pada konflik Ambon tahun 1999-2002, akibat besarnya konflik, Pemerintah pusat
akhirnya memimpin proses perdamaian, yang sangat singkat dalam standar komparatif untuk
penandatanganan perjanjian damai Malino II pada 11 Februari 2002 di pegunungan Malino di
Sulawesi Selatan. Dua tokoh dari Pemerintah pusat yang berperan dalam melaksanakannya adalah:
Menteri Kordinator Urusan Politik, Hukum dan Susilo Bambang Yudhoyono, dan Jusuf Kalla,
Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Saat itu, Jusuf Kalla meminta Gubernur Maluku untuk
memilih satu perwakilan masing-masing dari komunitas Muslim dan Kristen. Kedua perwakilan
kemudian memilih kelompok yang lebih besar dari komunitas mereka yaitu 35 orang Muslim dan
34 orang Kristen, ke-69 orang tersebut berkumpul di Malino selama tiga hari. Proses yang kilat
tersebut sebenarnya tidak memungkinkan adanya keterlibatan antara perwakilan komunitas
Muslim maupun Kristen. Bahkan, pemimpin agama pun tidak menjadi bagian dari konsultasi
publik. Hal ini membuat beberapa komunitas merasa perwakilan mereka tidak mewakili
pandangan mereka.

Oleh sebab itu, walaupun pemerintah pusat dan lokal memperhatikan untuk mendapatkan
perwakilan yang seimbang, mereka tidak memberikan perhatian yang memadai terhadap siapa
yang menjadi perwakilan dari masing– masing pihak dan apakah mereka memiliki kapasitas dan
wewenang untuk menegakkan perjanjian. Namun bagaimanapun juga, Malino II merupakan
sebuah pernyataan politik bahwa konflik dianggap telah selesai secara formal dan adanya
keinginan politik yang kuat untuk mengurangi kekerasan pada saat itu, karena Malino II adalah
perjanjian perdamaian dan bukan deklarasi seperti Malino I34. “Perjanjian Malino II terdiri atas
11 poin, yaitu:

20
Debora Sanur Lindawaty, Jurnal Politica, Konflik Ambon: Kajian Terhadap Beberapa Akar
Permasalahan Dan Solusinya Vol. 2, No. 2, November 2011, Hlm 283-285

19
1. Mengakhiri semua bentuk konflik dan perselisihan.
2. Menegakkan supremasi hukum secara adil dan tidak memihak. Karena itu, aparat harus
bertindak profesional dalam menjalankan tugasnya.
3. Menolak segala bentuk gerakan separatis termasuk Republik Maluku Selatan.
4. Sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka bagi semua orang
berhak untuk berada dan berusaha di wilayah Maluku dengan memperhatikan budaya
setempat.
5. Segala bentuk organisasi, satuan kelompok atau laskar bersenjata tanpa ijin di Maluku
dilarang dan harus menyerahkan senjata atau dilucuti dan diambil tindakan sesuai hukum
yang berlaku. Bagi pihak-pihak luar yang mengacaukan Maluku, wajib meninggalkan
Maluku.
6. Untuk melaksanakan seluruh ketentuan hukum, maka perlu dibentuk tim investigasi
independen nasional untuk mengusut tuntas peristiwa 19 Januari 1999, Front Kedaulatan
Maluku, Kristen RMS, Laskar Jihad, Laskar Kristus, dan pengalihan agama secara paksa.
7. Mengembalikan pengungsi secara bertahap ke tempat semula sebelum konflik.
8. Pemerintah akan membantu masyarakat merehabilitasi sarana ekonomi dan sarana umum
seperti fasilitas pendidikan, kesehatan dan agama serta perumahan rakyat agar masa depan
seluruh rakyat Maluku dapat maju kembali dan keluar dari kesulitan. Sejalan dengan itu,
segala bentuk pembatasan ruang gerak penduduk dibuka sehingga kehidupan ekonomi dan
sosial berjalan dengan baik.
9. Dalam upaya menjaga ketertiban dan keamanan seluruh wilayah dan masyarakat
diharapkan adanya kekompakan dan ketegasan untuk TNI/ Polri sesuai fungsi dan
tugasnya. Sejalan dengan itu, segala fasilitas TNI segera dibangun kembali dan
dikembalikan fungsinya.
10. Untuk menjaga hubungan dan harmonisasi seluruh masyarakat, pemeluk agama Islam dan
Kristen maka segala upaya dan usaha dakwah harus tetap menjunjung tinggi undang-
undang dan ketentuan lain tanpa pemaksaan.
11. Mendukung rehabilitasi khususnya Universitas Pattimura dengan prinsip untuk kemajuan
bersama. Karena itu, rekruitmen dan kebijakan lainnya dijalankan secara terbuka dengan
prinsip keadilan dan tetap memenuhi syarat keadilan.”

20
Harus diakui masih ada persoalan besar yang belum tuntas pasca penandatanganan
Perjanjian Malino II. Peluang terjadi bentrokan dan kerusuhan masih besar. Terbukti, kematian
tukang ojek Darmin Saiman dapat menjadi pemicu persoalan besar di Ambon.21

D. KONFLIK PAPUA
1. Latar Belakang konflik Papua

Pada bulan Desember 1949, di akhir Revolusi Nasional Indonesia, Belanda sepakat untuk
mengakui kedaulatan Indonesia atas wilayah bekas Hindia Belanda, dengan pengecualian dari
Papua bagian barat, dimana Belanda terus mengakui sebagai Nugini Belanda. Pemerintah
Indonesia nasionalis berpendapat bahwa itu adalah negara penerus dari Hindia Belanda dan
menginginkan untuk mengakhiri kehadiran kolonial Belanda di Nusantara. Belanda berpendapat
bahwa orang Papua dengan etnis yang berbeda dan bahwa Belanda akan terus mengelola wilayah
itu sampai mereka mampu menentukan nasib sendiri. Dari tahun 1950 di Belanda dan negara-
negara Barat sepakat bahwa Papua harus diberikan sebuah kemerdekaan sebagai negara, namun
karena pertimbangan global, terutama kekhawatiran pemerintahan Kennedy untuk menjaga
Indonesia berada pihak mereka dalam situasi Perang Dingin, Amerika Serikat menekan Belanda
untuk mengorbankan kemerdekaan Papua dan menyerahkan untuk digabung bersama Indonesia.

Pada tahun 1962, Belanda setuju untuk melepaskan wilayah administrasi PBB sementara,
menandatangani Perjanjian New York, yang termasuk ketentuan referendum yang akan diadakan
sebelum 1969. Militer Indonesia yang mengorganisir pemilihan ini, yang disebut Penentuan
Pendapat Rakyat pada 1969 untuk menentukan pandangan penduduk lokal untuk masa depan
Papua dan Papua Barat; hasilnya adalah mendukung integrasi ke Indonesia. Melanggar Perjanjian
antara Indonesia dan Belanda, suara lewat angkat tangan tersebut ditunjukkan di hadapan militer
Indonesia, dan hanya melibatkan 1025 orang yang mengangkat tangan orang dengan dipaksa lewat
todongan senjata untuk memilih integrasi dengan Indonesia, jauh lebih sedikit dari 1% orang-orang
yang seharusnya berhak untuk memilih. Keabsahan suara yang kemudian dibantah oleh aktivis

21
Debora Sanur Lindawaty, Jurnal Politica, Konflik Ambon: Kajian Terhadap Beberapa Akar
Permasalahan Dan Solusinya Vol. 2, No. 2, November 2011, Hlm 286-287.

21
kemerdekaan, yang meluncurkan kampanye protes terhadap pendudukan militer Papua Barat oleh
Indonesia.

Pemerintah Indonesia dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia, seperti serangan
terhadap warga sipil dan memenjarakan orang-orang yang menaikkan bendera Bintang Kejora
sebagai bendera nasional Papua Barat karena merupakan pengkhianatan terhadap Indonesia dan
simpatisan Organisasi Papua Merdeka.

Melalui program transmigrasi, yang sejak 1969 termasuk migrasi ke Papua, sekitar
setengah dari 2,4 juta penduduk Papua Indonesia lahir di Jawa, meskipun perkawinan meningkat
dan keturunan transmigran berdatangan yang tetap melihat diri mereka sebagai "Papua" kelompok
etnis orang tua mereka.

Pada 2010, 13.500 pengungsi Papua hidup dalam pengasingan di negara tetangga yang
merdeka, Papua Nugini, dan kadang-kadang bagian dari tumpahan pertempuran di perbatasan
negara. Akibatnya, Angkatan Pertahanan Nugini Papua telah menyiapkan patroli di sepanjang
perbatasan barat PNG untuk mencegah infiltrasi oleh OPM. Selain itu, pemerintah PNG telah
mengusir penduduk "pelintas batas" dan membuat janji tidak ada aktivitas anti-Indonesia sebagai
syarat untuk migran tinggal di Papua Nugini. Sejak akhir 1970-an, OPM telah membuat
pembalasan "ancaman terhadap proyek bisnis PNG dan politisi untuk operasi PNGDF melawan
OPM".Pada 1976, berlangsung Operasi Jayapura 1976. PNGDF telah melakukan patroli
perbatasan bersama dengan Indonesia sejak tahun 1980-an, meskipun operasi PNGDF melawan
OPM adalah "sejajar".

Pada tahun 2004, Kampanye Papua Barat Merdeka berdasarkan UK didirikan oleh
diasingkan pemimpin Papua Barat Benny Wenda untuk mendorong PBB untuk mengadakan
Referendum Kemerdekaan di Papua Barat. Kampanye telah berkembang menjadi dukungan
internasional dan dukungan dari tokoh-tokoh seperti peraih Nobel Perdamaian Uskup Agung
Desmond Tutu. Pada 2012, Kampanye mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Presiden
Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono untuk kunjungan kenegaraan ke Inggris pada bulan
Oktober-November tahun itu. Yudhoyono memprotes ketika ia pergi di London secara teratur

22
melihat banyaknya Bendera Nasional Papua Barat berkibar yang bila di Indonesia adalah tindakan
ilegal.22

2. Strategi Indonesia Menghadapi Kemungkinan Terburuk dalam Kasus Papua

Merujuk pada salah satu definisi kebijakan luar negeri sebagai sesuatu yang sama dengan
atau paralel dengan prioritas- prioritas domestik maka penanganan konflik dan pembangunan di
Papua harus menjadi bagian dari perjuangan dan diplomasi Indonesia dalam jangka panjang.
Dukungan internasional dan pengakuan atas negara merupakan salah satu fondasi dasar dalam
hubungan diplomatik. Oleh sebab itu, dukungan negara asing atas integrasi wilayah NKRI akan
menjadi indikator yang penting dalam penyelesaian isu Papua secara internasional. Namun
demikian langkah diplomasi ini harus diikuti dengan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan
daerah Papua secara tepat dan nyata.

Politik luar negeri memiliki dua hal utama, yaitu kepentingan nasional dan etika/ moral.
Berdasarkan hal ini, tiap negara hendaknya memperhatikan etika/moral dalam membina hubungan
antamegara yang sehat sehingga kepentingan nasional dapat tercapai. Demikian pula dalam
menjaga hubungan bilateral Indonesia dengan negara- negara asing, harus memperhatikan etika
hubungan antamegara yang semakin lama semakin tidak diperhatikan, terutama karena alasan
mempertahankan kepentingan nasional. Australia misalnya, sebagai negara besar (major power)
sudah selayaknya membantu proses pembangunan ekonomi daerah Papua, apalagi Papua sudah
memiliki Undang-Undang (UU) Otonomi Khusus dan Majelis Rakyat Papua (MRP).
Pembangunan empat sektor - pendidikan, kesehatan dan gizi, infrastruktur dan pemberdayaan
ekonomi rakyat - menjadi prioritas utama sesuai dengan UU Otonomi Khusus.

Australia sendiri menjadi salah satu pemberi bantuan dana otonomi khusus selain negara-
negara Uni Eropa. Secara formal, hampir semua negara- negara asing tetap mendukung keutuhan
NKRI, kecuali empat negara di Pasifik (Vanuatu, Nauru, Tuvalu, dan Kepulauan Cook), meskipun
dukungan tersebut tidak bersifat permanen. Australia sebagai “deputy sheriff" di Asia Pasifik
seharusnya dapat meyakinkan masyarakat di negara-negara di Pasifik Selatan tersebut, termasuk
masyarakatnya sendiri untuk tidak mendukung gerakan Papua merdeka, apalagi sebagian negara-
negara di Pasifik Selatan banyak yang tergolong sebagai failed States. Berdasarkan posisi strategis

22
https://id.wikipedia.org/wiki/Konflik_Papua, diakses pada Minggu, 29 Maret 2020 pukul 07.24

23
Indonesia bagi kepentingan ekonomi Australia maka dapat diperkirakan bahwa Pemerintah
Australia tidak akan membiarkan hubungan politik dalam kasus Papua ini berlarut-larut.

Posisi geografis (geo- ekonomi) Indonesia mempunyai nilai strategis bagi Australia,
terutama jalur Selat Makassar di bagian timur Indonesia yang merupakan jalur utama perdagangan
Australia menuju dan dari Asia Timur dan Timur Tengah. Hubungan bilateral Indonesia- Australia
di bidang ekonomi meliputi sektor perdagangan dan investasi, meskipun tidak terlalu signifikan
volumenya bila dibandingkan Jepang dan Singapura. Ekspor Australia ke Indonesia berkembang
dalam sektor perdagangan jasa, pendidikan, dan pariwisata. Investasi Australia di Indonesia
terdapat di sektor tambang nonminyak, industri kimia, logam dan pabrikan, hotel, restoran, dan
transportasi. Indonesia merupakan pasar cukup besar bagi jasa dan produk mewah dari Australia,
terutama bagi sekitar 30-40 orang Indonesia yang berpenghasilan sangat tinggi. Namun bagi
Indonesia, pasar Australia hanya terbatas pada properti, portofolio, investasi pakaian, pembuatan
baterai, dan ekspor ternak.23

E. Konflik Aceh
Konflik atau Pemberontakan di Aceh antara tahun 1976 hingga tahun 2005 dikobarkan oleh
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) hal tersebut untuk mendapatkan kemerdekaan dari Indonesia.
Gerakan Aceh Merdeka atau yang sering disebut dengan GAM, merupakan organisasi separatisme
yang telah berdiri di Aceh sejak tahun 1976. Tujuan didirikannya GAM adalah untuk
mengupayakan Aceh dapat lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan membuat negara
kesatuan sendiri. Gerakan ini juga dikenal dengan nama Aceh Sumatera National Liberation Front
(ASNLF).

1. Latar belakang Konflik dan Pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

Secara umum Latar belakang Konflik di aceh adalah Perbedaan budaya antara Aceh dan
banyak daerah lain di Indonesia, kecemburuan sosial yang tinggi akibat ketidakadilan ekonomi
dan politik. Disamping itu, banyak kebijakan sekuler dalam administrasi pada masa Presiden
Soeharto (Orde Baru) sangat tidak disukai di Aceh, di mana banyak tokoh Aceh tidak menyukai
kebijakan pemerintahan Orde Baru yang mempromosikan satu "budaya Indonesia". Kemudian
lokasi provinsi Aceh yang terletak di ujung Barat Indonesia menimbulkan anggapan yang meluas

23
Adriana Elisabeth, Dimensi Internasional Kasus Papua, Hlm 59-60

24
di provinsi Aceh bahwa para pemimpin di Jakarta yang jauh tidak mengerti dan memperhatikan
masalah yang dimiliki Aceh serta tidak bersimpati pada kebutuhan dan adat istiadat di Aceh yang
berbeda24. Adapun Permasalahan utama yang dianggap melatarbelakangi hal ini adalah budaya
pemerintah Indonesia yang dianggap "neo-kolonial", dan makin banyaknya jumlah transmigran
dari pulau Jawa ke provinsi Aceh serta Distribusi pendapatan yang tidak adil dari sumber daya
alam yang diambil dari Aceh.banyaknya penduduk asli Aceh tidak mendapatkan pekerjaan di
Provinsi Aceh, membuat penduduk Aceh merasa tersisih dari tenaga kerja yang berasal dari Jawa25.
Berbagai permasalahan tersebut akhirnya mendorong tokoh Aceh Hasan di Tiro (Teungku Hasan
Muhammad di Tiro) untuk membentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 4 Desember
1976 dan memproklamasikan kemerdekaan Aceh.26

Pada awalnya, gerakan ini terdiri dari sekelompok intelektual yang merasa kecewa atas model
pembangunan di Aceh. Hal ini terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan di bawah orang-
orang Jawa. Kelompok intelektual ini berpendapat bahwa telah terjadi kolonialisasi Jawa atas
masyarakat dan kekayaan alam tanah Aceh. Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat,
kalangan pemuda, serta tokoh-tokoh agama di Aceh, Hasan di Tiro kemudian membuat gagasan
anti-kolonialisasi Jawa. Gagasan Hasan Tiro ini semakin memuncak setelah pemerintah orde baru
meng-eksplorasi kekayaan gas alam dan minyak bumi di Aceh Utara pada awal 1970an.

Sebab lain terjadinya gerakan separatisme GAM di Aceh, di perkuat oleh dukungan yang
datang dari para tokoh Darul Islam (DI) di Aceh yang belum terselesaikan secara tuntas di zaman
orde lama. beberapaTokoh DI/TII yang gagal melakukan pemberontakan di Aceh, merasa bahwa
dengan memberikan dukungan terhadap GAM, nantinya Aceh dapat memperoleh
kemerdekaannya. Sebelumnya juga Hasan Trio juha pernah terlibat dalam gerakan DI/TII di tahun
1953, sempat diangkat oleh DI/TII sebagai duta besar untuk PBB27

24
Bambang Wahyudi,Resolusi Konflik Aceh, kiprah Masyarakat Aceh non GAM dalam perdalaian di
Serambi Mekkahpaska MoU Helsinki, (Jakrta: CV Makmur Jaya Ilmu, 2013), Hal 64
25
Bambang Wahyudi,Resolusi Konflik Aceh, kiprah Masyarakat Aceh non GAM dalam perdalaian di
Serambi Mekkahpaska MoU Helsinki,Hal 64
26
1kurnia Jayanti,Konflik Vertikal antara Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dengan Pemerintah Pusat di
Jakarta tahun 1975-2005, Al-Turas vol. XIX No. Januari 2013, hal 50
27
Bambang Wahyudi,Resolusi Konflik Aceh, kiprah Masyarakat Aceh non GAM dalam perdalaian di
Serambi Mekkahpaska MoU Helsinki, hal65

25
Menurut Edward Aspinall Akademis dari Universitas Nasional Australia Edward Aspinall
berpendapat bahwa pengalaman sejarah Aceh selama Revolusi Nasional Indonesia menyebabkan
munculnya separatisme Aceh. Hal tersebut karena Aceh memainkan peranan penting pada revolusi
dan perang kemerdekaan melawan Belanda sebagai akibatnya diduga aceh telah mendapatkan janji
dari Presiden Soekarno saat kunjungannya ke Aceh pada 1947, bahwa Aceh akan diizinkan untuk
menerapkan hukum Islam (atau syariah) setelah perang kemerdekaan Indonesia. 28

2. Resolusi Kkonflik Aceh

GAM merasa cukup kuat untuk melawan pemerintah Indonesai, dengan menyerang
pasukan TNI, warga sipil dan orang-orang yang dicurigai sebagai mata-mata. Hal ini pemerintah
RI menanggapi dengan melakukan tindakan operasi militer dan tidak penumpasan berskala besar,
operasi ini dimulai pada tahun 1992,. Namun tindakan tersebut memiliki dampak negativ. Operasi
militer yang dilakuakn ternyata disinyalir ditandai dengan pelanggaran HAM dalam skal besar.
Pelanggaran HAM di Aceh ini mendapatkan sorotan publik hal ini mendorong panglima ABRI
dan Presiden BJ Habibie mengambil keputusan untuk mencabut Daerah Operasi Militer (DOM)
di Aceh 7 Agustus 1998 sekaligus meminta maaf atas perilaku kekerasan yang dilakukan oleh
personil TNI29.

Meskipun pemerintah telak mencabut DOM dan meminta maaf kepada rakyat Aceh, namun
pendekatan militer dengan nama yang berbeda masih diberlakukan di Aceh seperti Operasi
Wibawa, operasi Sadar Rencong (1 Mei1999- Januari 2000), Sadar Recong II (Februari-Mei 2000),
dan operasi cinta damai (20001-20001). 30adapun akibat adanya DOM, ribuan anak menjadi yatim
piatu, banyak rumah yang rusak atau dibakar, korban jiwa diperkirakan jumlahnya mencapai 3800
samapi 35.000 jiwa. DOM juga menyebabkan perekonomian mengalami stagnasi sehingga
kehidupan rakyat Aceh memprihatinkan.31

Pemerintah Indonesi menyadari bahwa pendekatan militer tidak efektif untuk melumpuhkan
GAM. Kemudian pada tahun 1999 pada pemerintahan Abdurahman Wahid penaklukan Gam

28
http://idayoce.blogspot.com/2013/12/gam-gerakan-aceh-merdeka.html
29
Bambang Wahyudi, HAL 84-85
30
3Eka Auliana Pratiwi,Campur Tangan Asing di indonesia:Crisis Managemen Initiative dalam
penyelesaian Konflik Axeh (2005-2012),( Historia: jurnal Pendidik dan penelitian Asejarah, Vol II NO. 2 (April
2019), Bandung), hal 87
31
Al-Turas, hal 57

26
daganti dari pendekatan militer menjadi pendekatan dialog (negosiasi), sekaligus berusaha
menyelesaikan GAM secara eksternal dengan melibatkan sebuah organisasi non-pemerintah atau
lembaga swadaya internasional yaitu HCD.32 Tawaran tersebut disambut positif oleh pimpinan
GAM Hasan Trio pada bulan Mei 200, wakil dari Pemerintah Indonesia dan GAM
menandatangani dokumen yang disebut “Saling pengertian bagi Jeda Kemanusiaan untuk Aceh”,
bertempat di Jenawa. 33 perundingan ini mneghassilkan Joint Understanding of Humanitarian
Pause fo Aceh pada tanggal 12 Mei 2000 tentang jeda kemanusian untuk Aceh. Langkah ini
dimaksud sebagai langkah awla penyelesaian konflik, namun adanya MoU ini kekerasan di Aceh
masih terus terjadi, jeda kemanusiaan tetap dilanjutkan bahkan diperpanjang sampai 15 Januari
2001. 34 kemudian untuk mendukung jeda kemanusian di bentuklah badan pendukung deperti,
Komite bersama Aksi Kemanusian dan Tim Monitoringkeaman, namun langkah ini kurang efisien.
Jeda digantikan melalui Kesepakatan Dialog Jalan Damai pada tanggal 18 Maret 2011. pemerintah
RI dan GAM menyepakati satu zona aman di Aceh (Aceh Utara dan Bireuen). mediator HDC pada
priode ini dainggap gagal

Pada masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, proses negosiasi masih dilanjutkan


puncaknya terjadi pada tanggal 8 dan 9 Desember 2002. dalam perundingan ini pihak GAM
dipimpin oleh Zaini Abdullah dan Hasan Tiro, dan pemerintah Indonesia dipimpin oleh Metri
Koordinator Politik dan Keamanan, Susilo Bambang Yudhoyono dan Wiryono Sastro Handoyo
wakil dari pemerintah Indonesia. Sama seperti waktu sebelumnya, proses dialog sering berjalan
tidak lancar, konflik bersenjata juga mewarnai kekerasan di Aceh35.

Pada masa pemerintahan SBY-JK upaya penyelesaian konflik Aceh sudah cukup seius dan
maksimal namun, saat itu tiba-tiba bencana Tsunami terjadi pada 24 Desember 2004 dan
memporakporandakan segala infrastruktur di provinsi Aceh, sehingga secara tidak langsung
bencana alam terbesar dalam sejarah Indonesia tersebut berhasil membekukan konflik yang terjadi
di Aceh.

32
Ibid, hal 87
33
Bambang Wahyudi, Hal 85
34
Ibid hal 85
35
Ibid, hal 86-87

27
Setelah bencana Tsunami dahsyat meluluhlantahkan sebagian besar Aceh dan menelan ratusan
ribu korban jiwa, kedua belah pihak, GAM dan pemerintah Indonesia menyatakan gencatan senjata
dan menekankan kebutuhan yang sama untuk menyelesaikan konflik tak berkesudahan ini. Upaya-
upaya perdamaian yang sebelumnya telah gagal tetapi karena beberapa alasan termasuk faktor
bencana tsunami, perdamaian akhirnya terjadi pada tahun 2005 setelah 29 tahun konflik
berkepanjangan.

Perundingan perdamaian kemudian difasilitasi oleh LSM berbasis Finlandia, Crisis


Management Initiative (CMI) Sebagai pihak ketiga atau mediator, dan dipimpin Martti Ahtisaari
(mantan Presiden Finlandia). Perundingan ini menghasilkan kesepakatan damai
denganpenandatangan nota damai pada 15 Agustus 2005. Isi dari nota kesepakatan tersebut
mengatur hal-hal berikut yang akan diberlakukan di Aceh:36
1. Penyelenggaran Pemerintahan Aceh
2. HAM
3. Amnesti dan reintegrasi dalam masyarakat
4. Pengaturan keamanan
5. Pembentukan misi monitoring Aceh
6. Penyelesaiain perselisihan

3. Kerugian Akibat Konflik Aceh


Konflik telah menelan biaya sangat besar di Aceh. Biaya ekonimi konflik diperkirakan
mencapai Rp. 1o7,4 T. Biaya ini hampir 2 kali lipat dari biaya kerusakan dan kerugian yang
diakibatkan bencana Tsunami pada 2004.

Kerugian ekonomi akibat konflik delapan kali lebih besar dibandingkan dengan kerusakan yang
ditimbulkan. Perekonomian provinsi menanggung 61 persen atau Rp. 65,5 Triliun (6,5 Miliar
dollarAS) dari keseluruhan biaya konflik, sementar biaya yang harus itanggung pemerintah pusat
mencapai Rp. 41,9 triliun (4,2 miliar dollar AS).37

Kerugian yang lainnya dari Sektor produktif menjadi sektor yang mengalami kerusakan dan
kerugian terparah. Sektor pertanian dan usaha adalah yang secara khusus terkena imbas, hal ini

36
3eka Auliana Pratiwi,Campur Tangan Asing di indonesia:Crisis Managemen Initiative dalam
penyelesaian Konflik Axeh (2005-2012),( Historia: jurnal Pendidik dan penelitian Asejarah, Vol II NO. 2 (April
2019), Bandung), hal 89
37
MSR Ringkasan Eksekutif ,Program Tinjauan Pasca Konflik oleh Para Pemangku Kepentingan di Aceh(
Mengenali Dasar-Dasar untuk Perdamaian dan pembangunan Berkelanjutan di Aceh), 55603, Vol I, hal 1-2

28
berdampak pada kehidupan masyarakat pedesaan. Konflik telah menghacurkan lahan sawah dan
lahan pertanian serta telah membunuh semua ternak hampir di semau kabupaten. Akibat konflik
langsung maupin tidak langsung, lebih dari 50 persen insfrasstruktur pedesaan mengalami
kerusakan dengan skal bervariso.Hampir 4.000 sekolah (dua pertiga dari keseluruhan jumlah
sekolah di wilayah pedesaan Aceh) mengalami kerusakan. Hingga tahun 2006, 33.000 rumah
masih berada dalam keadaan hancur-lebur, dan 77.000 rumah lainnya mengalami rusak berat atau
sedang. Pertempuran juga telah menghancurkan 7.700 km ruas jalan dan hampir 2.200 buah
jembatan. Biaya yang harus dikeluarkan pemerintah untuk memelihara keamanan selama masa
konflik diperkirakan sebesar Rp 22,5 triliun, atau 21 persen dari keseluruhan biaya konflik.
Hilangnya pendapatan dari pajak dan layanan pemerintah lainnya juga cukup besar.38

PROPORSI BIAYA PERSEKTOR


Sektor Produktif Sektor Tata kelola dan Administrasi
Sektor sosial Insfrastruktur dan perumahan

9%
3%

24%

64%

38
Ibid, hal 2

29
BAB III
PENUTUPAN
A. KESIMPULAN
Bangsa Indonesia dikenal sebagai Bangsa-Negara yang fluralistik dalam berbagai aspek,
baik agama, suku, bahasa, etnis, budaya dan adat istiadat. Kemajmukan ini di satu sisi menjadi hal
yang sangat baik, namun disisi lain menjadi rawan konflik khorizontal, terutama konflik antar
agama. Dalam kondisi yang demikian, maka dibutuhkan suatu mekanisme yang bisa dijadikan
lihat djembatan solusif bagi harmni. Pendidikan multikulturalisme yang ahir-ahir ini marak
diperbincangkan diharpakan bisa menjadi jembatan solusif untuk harmoni tersebut. Hal ini
terrlihat dari fungsi dan tujuan dari pendidikan multikulturalisme tersebut yang mengedepankan
sikap demokratis, toleran dan keadilan. Dengan sikap yang demikian, maka konflik SARA
diharapkan bisa dipreventifikasi.

30
DAFTAR PUSTAKA

Agus Salim Bujang. 2000. Keragam Budaya dan Konflik di Halmahera Utara dalam Ahmad,
Kasaman H dan Oesman, Herman (penyunting). Damai Yang Terkoyak, Catatan Kelam
dari Bumi Halmahera. Ternate: Kelompok Studi PODIUM, LPAM Pemuda
Muhammadiyah Maluku Utara dan Madani Press
Alganih, Igneus. 2016. "Konflik Poso (Kajian Historis Tahun 1998-2001)." Criksetra: Jurnal
Pendidikan Sejarah 5.2
Antonius Atosokhi Gea, dkk, 2002,Relasi Dengan Sesama. Jakarta: Elex Media Komputindo,
Bambang Wahyudi,Resolusi Konflik Aceh, kiprah Masyarakat Aceh non GAM dalam perdalaian
di Serambi Mekkahpaska MoU Helsinki, (Jakrta: CV Makmur Jaya Ilmu, 2013), Hal 64
Bertrand, Jacques. 2012. Nasionalisme dan Konflik Etnis di Indonesia. Yogyakarta: Ombak
Bunyamin Maftuh.2005,Pendidikan Resolusi Konflik: Membangun Generasi Muda yang Mampu
Menyelesaikan Konflik Secara Damai. Bandung: Program Pendidikan Kewarganegaraan,
Universitas Pendidikan Indonesia,
Debora Sanur Lindawaty, Jurnal Politica, Konflik Ambon: Kajian Terhadap Beberapa Akar
Permasalahan Dan Solusinya Vol. 2, No. 2, November 2011
Eka Auliana Pratiwi.April 2019.Campur Tangan Asing di indonesia:Crisis Managemen Initiative
dalam penyelesaian Konflik Aceh (2005-2012),( Historia: jurnal Pendidik dan penelitian
Asejarah, Vol II NO. 2. Bandung
http://idayoce.blogspot.com/2013/12/gam-gerakan-aceh-merdeka.html, diakses pada 28 Maret
2020, pukul 23.00
https://id.wikipedia.org/wiki/Konflik_Papua, diakses pada Minggu, 29 Maret 2020 pukul 07.24
Klinken, Gerry van. 2007. Perang Kota Kecil, Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di
Indonesia. Jakarta: KITLV-Jakarta dan Yayasan Obor Indonesia, hlm 150-151
Kurnia Jayanti,Konflik Vertikal antara Gerakan Aceh Merdeka di Aceh dengan Pemerintah Pusat
di Jakarta tahun 1975-2005, Al-Turas vol. XIX No. Januari 2013, hal 50
Leirissa, RZ. 2001. Kerusuhan Komunal di Provinsi Maluku dalam Kumpulan Makalah Diskusi
Sejarah Lokal, sub tema Konflik Komunal dan Ketersingkiran Sosial (penyunting) Andi
Syamsu Rijal SS. Jakarta: Proyek Peningkatan Kesadaran Sejarah Nasional Direktorat
Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional,

31
MSR Ringkasan Eksekutif ,Program Tinjauan Pasca Konflik oleh Para Pemangku Kepentingan
di Aceh( Mengenali Dasar-Dasar untuk Perdamaian dan pembangunan Berkelanjutan di
Aceh), 55603, Vol I, hal 1-2
Trijono, Lambang. 2001. Keluar dari Kemelut Maluku, Refleksi Pengalaman Praktis Bekerja
Untuk Perdamaian Maluku. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Waileruny, Samuel. 2010. Membongkar Konspirasi di Balik Konflik Maluku. Jakarta: Yayasan
Pustaka Obor Indonesia,

32

Anda mungkin juga menyukai