Kelebihan Dan Kekurangan Di Lembaga Pendidikan Islam
Kelebihan Dan Kekurangan Di Lembaga Pendidikan Islam
A. PENDAHULUAN
Peran strategis lembaga pendidikan Islam sejak awal kemerdekaan telah menjadi
perhatian. Berbagai usaha dilakukan pemerintah melalui Kementerian Agama untuk
meningkatkan kualitas pendidikan Islam. Di bawah pengawasan Direktorat Jenderal
Kelembagaan Agama Islam, pengembangan lembaga pendidikan Islam diarahkan pada
kontribusi lembaga tersebut terhadap pembangunan nasional, salah satunya dengan
mengintegrasikan pendidikan agama dalam pendidikan umum kedalam satu system
pendidikan nasional.
Madrasah sebagai salah satu lembaga pendidikan Islam memiliki peran besar pula
dalam perubahan social. Misi pendidikan pada Madrasah yang mengacu pada norma
keislaman dan ketentuan nilai harus mampu menjadi sebuah rekonstruksi social yang
mengacu pada kaidah al muhafadzah alal qadim as shahih, wal akhdu bil jaded al
ashla.
A.PENDAHULUAN
Pendidikan di Indonesia dikenal dengan dua sistem, yaitu pendidikan umum dan
pendidikan Islam, dimana masing dibawah naungan Mendiknas dan Kemenag. Dua jenis
lembaga pendidikan ini mendapat perlakuan yang tidak sama dari pemerintah. Pendidikan
umum lebih mendapat perhatian daripada pendidikan yang berlabel Islam.
Lembaga pendidikan Islam yang notabene di bawah naungan Kementrian agama kebanyakan
tidak didirikan oleh pemerintah sendiri,melainkan didirikan pondok pesantren maupun
perorangan yang kebanyakan berupa yayasan. Model pendidikan seperti ini kemudian dalam
segala urusan biasanya dikuasai oleh pemegang yayasan bukan terpusat secara nasional oleh
pemerintah. Sehingga setiap madrasah berbeda satu sama lain.Sebagai sebuah lembaga
pendidikan, madrasah atau universitas pendidikan Islam tentunya mempunyai berbagai
kelebihan dan kekurangan, maupun permasalahan yang dihadapi olehnya. Permasalahan yang
dihadapi lembaga pendidikan Islam biasanya sangat kompleks. Terlebih-lebih dalam hal
manajemen dan kelembagaannya. Maka dari itu dalam Makalah ini penulis akan menganalsis
tentang berbagai kelebihan dan kekurangan kebijakan dalam Lembaga pendidikan
Islam.Kami akan mengidentifikasi permasalahan manajemen dan kelembagaan yang muncul
dalam lembaga pendidikan Islam dan berusaha memberikan solusi untuk kebaikan lembaga
pendidikan Islam.
A. Pendahuluan
Pendidikan pada dasarnya merupakan upaya merancang masa depan umat manusia
yang dalam konsep dan implementasinya harus memperhitungkan berbagai faktor yang
mempengaruhinya. Konsep pendidikan dapat diibaratkan sebuah pakaian yang tidak
dapat diimpor dan diekspor. Ia harus diciptakan sesuai dengan keinginan, ukuran dan
model dari orang yang memakainya, sehingga tampak pas dan serasi.
Demikian pula dengan konsep pendidikan yang diterapkan di Indonesia. Ia amat
dipengaruhi oleh berbagai kebijakan politik pemerintahan, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, perkembangan dan perubahan masyarakat, adat istiadat,
kebudayaan dan lain sebagainya.
Kebijakan-kebijakan pemerintah, mulai dari pemerintahan kolonial, awal dan pasca
kemerdekaan hingga masuknya Orde Baru terkesan meng “anak tirikan”, mengisolasi
bahkan hampir saja menghapuskan sistem pendidikan Islam hanya karena alasan
“Indonesia bukanlah negara Islam”. Namun berkat semangat juang yang tinggi dari
tokoh-tokoh pendidikan Islam, akhirnya berbagai kebijakan tersebut mampu “diredam”
untuk sebuah tujuan ideal yang tertuang dalam UU Republik Indonesia No 20 Tahun
2003, yaitu “ Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab”.
Hingga saat ini kita menyadari bahwa secara umum kondisi lembaga pendidikan Islam
di Indonesia masih ditandai oleh berbagai kelemahan, antara lain :
Pertama, kelemahan sumber daya manusia (SDM), manajemen maupun dana.
Sementara itu kita mengetahui bahwa jika suatu lembaga pendidikan ingin tetap eksis
secara fungsional di tengah-tengah arus kehidupan yang semakin kompetitif seperti
sekarang ini harus didukung oleh ketiga hal tersebut, yaitu sumber daya manusia,
manajemen dan dana.
Kedua, kita menyadari bahwa saat ini lembaga pendidikan tinggi Islam masih belum
mampu mengupayakan secara optimal mewujudkan Islam sesuai dengan cita-cita
idealnya. Di sisi lain masyarakat masih memposisikan lembaga pendidikan Islam
sebagai pilar utama yang menyangga kelangsungan Islam dalam mewujudkan cita-
citanya, yaitu memberi rahmat bagi seluruh alam.
Ketiga, kita masih melihat lembaga pendidikan tinggi Islam belum mampu
mewujudkan Islam secara transformatif. Kita masih melihat bahwa masyarakat Islam
dalam mengamalkan ajaran agamanya telah berhenti pada dataran simbol dan
formalistik.
Keempat, pada saat ini kita hidup dalam era reformasi. Pada era ini kecenderungan
masyarakat untuk mewujudkan masyarakat madani demikian kuat, yaitu masyarakat
yang menunjang tinggi nilai-nilai kemanusiaan seperti nilai-nilai keadilan,
kebersamaan, kesederajatan, kemitraan, kejujuran dan sebagainya.
Kelima, hingga saat ini posisi lembaga pendidikan tinggi Islam, bahkan juga pada
lembaga pendidikan Islam yang ada di bawahnya masih kurang diminati oleh
masyarakat. Masyarakat pada umumnya lebih memilih sekolah pada lembaga
pendidikan yang tidak menggunakan label Islam.
Berbagai kelemahan di atas paling tidak merupakan persoalan yang harus dijawab oleh
sistem dan kebijakan pendidikan di Indonesia saat ini. Hal ini disebabkan karena
pendidikan memegang amanat tertinggi bangsa ini sebagai sarana untuk membina dan
membangun manusia seutuhnya, sebagaimana tercermin dalam Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945, “untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa”.
.
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab”1.
Bangsa kita semakin memerlukan pimpinan yang menjadi teladan dan membela
kepentingan rakyat. Maka pendidikan yang benar dan berkeadilan sajalah yang dapat
melahirkan pemimpin bangsa yang mampu menjaga harkat dan martabat bangsa
melalui pembangunan yang makmur dalam keadilan dan adil dalam kemakmuran. Kita
sudah mempunyai UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
didikuti pula dengan kelahiran UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Lalu
kebijakan lanjutan apa yang menjabarkan UU tersebut untuk kepentingan
mencerdaskan kehidupan Bangsa dan memeperjuangkan pendidikan di atas perjuangan
lainnya dalam mempercepat kemajuan bangsa.
1
UUSPN No. 20 Tahun 2003.
Maka sudah seharusnya, orientasi kebijakan diubah. Semula, hanya bertumpu
pada yang diinginkan dari atas perlu diubah titik tolaknya dari keperluan masyarakat
dan anak-anak didik terhadap pendidikan. Tujuannya adalah agar sesuai dengan potensi
diri dan budaya yang mengakar pada jati diri bangsa yang pancasilais. Jangan sampai
kebijakan pendididkan nasional memperlemah dan membodohi rakyat. Tetapi
pikirkanlah kualitas, masa depan, dan kelangsungan hidup bangsa ini untuk menjadi
bangsa yang mandiri dan berbudaya tinggi. Insya Allah.
.
B.KEBIJAKAN DI LEMBAGA PENDIDIKAN
Keberadaan Sekolah/Madrasah sebagai lembaga formal penyelenggaraan
pendidikan memainkan peran strategis dalam keberhasilan sistem pendidikan Nasional.
Kepala sekolah sebagai manajer dan pemimpin adalah bertanggung jawab dalam
menerjemahkan dan melaksanakan kebijakan pendidikan Nasional yang ditetapkan
pemerintah. Berawal dari UUD1945, Undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan
presiden, instruksi presiden, keputusan menteri, sampai kepada peraturan daerah
provinsi, peraturan daerah kabupaten dan kota, kemudian diterjemahkan dan
dilaksanakan oleh kepala sekolah untuk menyentuh langsung keperluan stakeholder
kependidikan , khususnya anak didik. Jadi setiap kebijakan harus selalu berhubungan
dengan kesejahteraan dan pencerdasan masyarakat.
Untuk mencapai peningkatan mutu sekolah, maka kepala sekolah sebagai
petugas profesional dituntut untuk memformulasikan, mengimplementasikan dan
mengevaluasi kebijakan pendidikan . Kebijakan sekolah/ Madrasah termasuk dalam
spektrum kebijakan pendidikan. Kebijakan sekolah/madrasah merupakan turunan dari
kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan. Dalam Beare dan Boyd dijelaskan
bahwa ada lima jenis kebijakan pendidikan, mencakup:
1. Penataan atau penyusunan tujuan dan sasaran lembaga pendidikan,
2. Mengalokasikan sumber daya untuk dan pelayanan pendidikan,
3. Mentukan tujuan pemberian pelayanan pendidikan,
4. Menentukan pelayanan pendidikan yang hendak diberikan,
5. Menentukan tingkat investasi dalam mutu pendidikan untuk memajukan
pertumbuhan ekonomi.2
2
Beare, H and W. Lowe Boyd, Restructuring School, (London: The Falmers Press, 1993),221.
Suatu kebijakan sekolah tentu saja dibuat untuk memajukan sekolah /madrasah
sesuai tuntutan keperluan warga sekolah atau masyarakat luas.Ditegaskan oleh Duke
dan Canady,3 bahwa:
Kebijakan sangat pending bagi kehidupan siswa dan para guru karena berkaitan
dengan pengajaran dan pembelajaran dalam rangka peningkatan efektivitas sekolah dan
prestasi pelajar.Tidak terkecuali peran administrator dan anggota komite sekolah
adalah sangat menentukan , terkait dengan suatu kebijakan
Kebijakan sekolah/madrasah adalah kerja sama dan keputusan oleh individu atau
keinginan kelompok dengan kewenangan yang sah dari dewan sekolah, pengawas,
administrator sekolah atau komite sekolah/madrasah dan tanggung jawab bagi kontrak
negosiasi. Biasanya kebijakan sekolah dituliskan dan dibagi kepada personil
sekolah/madrasah untuk memeperjuangkannya melalui berbagai kegiatan
sekolah/madrasah.
Suatu kebijakan sekolah/madrasah dibuat oleh orang yang terpilih bertanggung
jawab untuk memebuat kebijakan pendidikan, dewan sekolah dan unsur lain yang diberi
kewenangan memebuat kebijakan , baik kepala sekolah/madrasah, pengawas, atau
administrator yang memiliki kewenangan mengelola kebijakan dari dewan
sekolah/madrasah4.
Apabila kebijakan direncanakan, interaksi sedemikian menjadi rumit dengan
banyak tipe perilaku manusia yang secara bermacam-macam latar belakang dan
diperlukan kemampuan untuk memeberikan kontribusi. Secara khusus, pembuatan
kebijaksanaan adalah suatu elemen penting dalam hubungan sekolah dengan
masyarakat yang dilayaninya5
Setidaknya dari hasil penelitian terhadap sekolah di British, ada beberapa fokus
kebijakan sekolah, yaitu:
1. Melibatkan staf dalam pengambilan keputusan,
2. Kurikulum,
3. Imbalan dan hukuman,
4. Keterlibatan orang tua,
5. Peluang bagi pelajar, dan
6. Iklim sekolah6
3
Duke, Daniel L. And Robert Lynn Canady, Scool Policy, (New york: Mc Graw Hill, Inc, 1991),1.
4
Thomson, Jhon Thomas, Policy Making in American Education, (New Jerse: Englewood Cliffs, 1976),17.
5
Newton, Colin dan Tony Tarrant, Managing Change in School,( London: Routledge 1992), 12.
6
Duke dan Canady,...5.
Disatu sisi, peran kepala sekolah sebagai pemimpin ditampilkan dengan
menyusun visi, membuat strategi maka perilaku yang muncul adalah meliputi; perilaku
mengambil keputusan, perilaku interpesonal, perilaku keteladanan, pemberian reward
dan hukuman, serta pembinaan iklim sekolah diperkirakan berkaitan dengan kelancaran
dan keberhasilan suatu implementasi kebijakan bidang pendidikan dalam semua
aspeknya.
Suatu kebijakan dapat juga dipahami sebagai perangkat panduan yang
memberikan kerangka kerja bagi tindakan dalam hubungan dengan persoalan
substsntif.7 Garis panduan ini mencakup dalam: Istilah umum (general terms), tindakan
(yang akan dilaksanakan dalam pertimbangan persoalan yang ada). Pelaksanaan suatu
maksud dan pola bagi pengambil tindakan . Dalam sekolah diperlukan garis panduan
yang memeberikan kerangka kerja, seringkali dengan beberapa dasar bagi keleluasaan.
Dalam konteks ini, kepala sekolah, staf, dan personel lainnya sebagai warga sekolah
dapat melaksanakan tanggungn jawabnya dengan arahnyang jelas.Analisis kebijakan
pendidikan harus berkenaan dengan latar belakang dan pelaksanaan prinsip yang
memepengaruhi pengembangan kebijaksanaan tersebut, proses implementasi kebijakan,
antara pengamalan dan proses. Bahkan pelaksanaan kebijakan, pelaksanaan kebijakan
pendidikan (identifikasi kesenjangan antara perencanaan dan implementasi) serta
pengaruh kebijakan.
Kebijakan sekolah sangat penting bagi kehidupan siswa dan para guru karena
berkaitan dengan pembelajaran dalam rangka peningkatan efektivitas
sekolah/madrasah.10
Kebijakan di sekolah diarahkan kepada semua orang tua dan pelajar sebagai
suatu ungkapan nilai sekolah dan usaha memebngun komitmen terhadap kebijakan
serta usaha membawa kertampilan orang dalam nilaisekolah.11
15
Dalam Rozihan.http:/ /www.suaramerdeka. com/ harian/0501/07/opi3.htm)
Salah satu alasan terkuat mengapa perlu penyatuan pendidikan di bawah satu
atap adalah, dalam menentukan kebijakan pengelolaan pendidikan, terutama yang
berkaitan dengan masalah akademis selama ini Depag selalu mengikuti kebijakan yang
dibuat oleh Depdiknas. Inovasi-inovasi pembelajaran lebih banyak muncul kali pertama
dari Depdiknas bukan dari Depag. Dengan sendirinya, Depag kerap selalu menunggu
adanya inovasi ataupun kebijakan pengelolaan yang akan dikeluarkan oleh Depdiknas.
Dalam catatan sejarah pendidikan nasional, hampir tidak banyak inovasi yang
dilakukan Depag yang benar-benar berbeda dengan yang dikembangkan oleh
Depdiknas.
Kenyataan ini jelas tidak dapat dipungkiri, cermati saja bagaimana kebijakan
tentang Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) terasa betapa dominasi Depdiknas dalam pengembangan dan
penerapannya begitu kentara. Sementara itu, Depag tetap setia mengikutinya. Untuk
kasus yang lebih baru, Depag juga tidak memiliki kekuasaan untuk menentukan mata
uji apa saja yang harus ditempuh oleh peserta didik yangmengikuti pendidikan di M.Ts
dan MA/MAK saat penentuan kelulusan (simak kasus ujian nasional dan ujian sekolah)
Selain itu dari sisi managerial madrasah dikelola Departemen Agama yang tidak
memiliki dana yang cukup untuk membiaya madrasah yang jumlahnya sangat banyak,
di samping Depag tidak memiliki sumber tenaga kependidikan yang memadai untuk
mengelola madrasah, jika dibandingkan dengan Diknas.
Sebagai misal anggaran Dirjen Pendidikan Islam tahun 2007 adalah senilai Rp
7 triliun. Angka sebesar itu diperuntukkan bagi banyak komponen pendidikan seperti
gaji guru dan tenaga kependidikan (57,1% ), dana BOS BKM, BOS buku (25,7%),
sisanya sebagai anggaran tupoksi 4 direktorat Depag pusat dan bidang Mapenda serta
Pontren di 32 Kanwil Depag Provinsi (17,1%) atau sekitar Rp 1,2 triliun. Saat ini
anggaran pendidikan Islam di Depag diprediksi 20% dari anggaran pendidikan di
Depdiknas (bukan dari APBN) (Mulyana. 2008).
Untuk tingkat pendidikan tinggi, ketergantungan Depag terhadap Depdiknas
juga terasa. Sebut saja permasalahan tentang pengakuan kepangkatan (jabatan
akademik) dosen perguruan tinggi Islam yang masih tetap harus sepengtahuan dari
Depdiknas, bahkan Depdiknaslah yang menentukan kepangkatan dosen PT Islam untuk
jabatan Lektor Kepala dan Guru Besar.
Jalur yang harus ditempuh seorang dosen PT Islam untuk mendapatkan jabatan
guru besar pertama yang bersangkutan harus mengajukan pada institusinya, kemudian
mengajukan ke Depag di jakarta, setelah ke Depdiknas. Surat Keputusannya
pengangkatan guru besarpun ditandatangani oleh Mendiknas, bukan oleh Menag. Jalur
ini akan semakin panjang jika dosen tersebut adalah dosen PT Islam Swasta, yang harus
pula melewati Kopertais dan Kopertis. Hal ini jelas suatu ironi, betapa penyelenggara
pendidikan tidak dapat berbuat banyak untuk menentukan langkah-langkah inovasi
yang dibutuhkan dalam proses penyelengaraan institusi pendidikan.
Selain itu seandainya terjadi penyimpangan dalam penyelenggaraan
pendidikan keaagamaan, maka jika untuk pendidikan tinggi maka posisi menteri agama
sebagaimana pasal 7 ayat (1) a hanya sebagai pemberi pertimbangan dan bukan
pengambil keputusan. Adapun pengambil keputusan untuk jenjang pendidikan dasar
dan menengah dilakukan oleh bupati/walikota, dan masukan pertimbangan diberikan
oleh Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota. Sekali lagi hal ini
menunjukkan betapa Depag beserta jajarannya hingga yang paling bawah, tidak
memiliki kekuasaan dalam proses penyelenggaraan pendidikan keagamaan sekalipun.
Untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah lembaga penyelenggara pendidikan
keagamaan Islam adalah MI, M.Ts dan MA/MAK. Meski sebenarnya penyebutan
lembaga-lembaga tersebut tidak secara ekplisit, namun sebagai penjelasan tentang
kemungkinan perpindahan peserta didik dalam jenjang pendidikan yang setara (Pasal
11). Dalam UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 Pasal 17 ayat (2) juga memang
disebutkan untuk jenjang pendidikan dasar, yaitu MI, M.Ts., dan Pasal 18 ayat (3)
jenjang pendidikan menengah bagi pendidikan Islam adalah MA dan MAK. Hanya saja
khusus untuk pendidikan keagamaan baik dalam UU Sisdiknas Pasal 30 ayat (4)
ataupun PP No. 55 pasal 14 ayat (1) berbentuk pendidikan diniyah, dan pesantren. Ayat
(2) dan ayat (3) menjelaskan bahwa kedua model pendidikan tersebut dapat
diselenggarakan pada jalur formal, nonformal dan informal.
Lantas pertanyaannya adalah bagaimana posisi MI, M.Ts., MA/MAK dan PT
Islam penyelenggara pendidikan keagamaan Islam? Apakah juga berposisi sama dengan
diniyah dan pesantren? Sebab pada akhirnya pada pasal 16 UU Sisdiknas disebutkan
bentuk kelembagaan dari proses pendidikan diniyah juga menggunakan nama MI,
M.Ts. MA/MAK untuk menyebut pendidikan diniyah dasar, dan pendidikan diniyah
menengah.
Tema menarik lain dalam PP 55 tahun 2007 ini adalah kemandirian dan
kekhasan pendidikan keagamaan sebagaimana tercantum dalam pasal 12 ayat (2) yaitu
”Pemerintah melindungi kemandirian dan kekhasan pendidikan keagamaan selama
tidak bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional? Sejak dahulu kekhasan
pendidikan diniyah dan pesantren adalah hanya mengajarkan materi agama Islam saja,
dan tidak materi lain. Namun dalam pasal 18 PP No. 55 tahun 2007 disebutkan untuk
pendidikan diniyah formal pada ayat (1) Kurikulum pendidikan diniyah dasar formal
wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan, bahasa Indonesia,
matematika, dan ilmu pengetahuan alam dalam rangka pelaksanaan program wajib
belajar. Begitu juga untuk pendidikan diniyah menengah formal Kurikulum pendidikan
diniyah menengah formal wajib memasukkan muatan pendidikan kewarganegaraan,
bahasa Indonesia, matematika, ilmu pengetahuan alam, serta seni dan budaya.
Jika memang ada keinginan pemerintah untuk memberi pilihan kemandirian dan
kekhasan pada ”sekolah?di lingkup pendidikan Islam, tentunya tidak akan ada lagi
narasi sebagaimana pada pasal 18 ayat (1) disinilah terjadi benturan yang perlu disikapi
secara lebih bijak. Sebab, sejak awal hadirnya pendidikan Islam tampaknya lebih kuat
ke arah pendidikan non-formal, dan bukan formal sebagaimana pada pasal-pasal di atas.
Selain itu, materi yang banyak diajarkan adalah berkisar tema-tema agama, dan tidak
membicarakan mata pelajaran sebagaimana yang dimaksud.
Jika yang dimaksud adalah MI, M.Ts., MA/MAK sebagai wujud dari sekolah
formal pendidikan Islam, maka sejarah telah mencatat saat ini proporsi kurikulum
bidang agama dengan kurikulum bidang kajian umum di madrasah dapat dinyatakan
telah meninggalkan ciri madrasah sebagai pendidikan keagamaan Islam. Proporsi 70%
bidang umum dan 30% bidang agama, lebih dimaksudkan untuk penyetaraan
pendidikan di madrasah dengan sekolah pada jenjang yang sama.
Lantas apakah dengan penambahan proporsi kurikulum bidang umum lebih
tinggi dibanding kurikulum bidang agama dapat serta merta meningkatkan mutu
pendidikan di madrasah? Pada kenyataannya malah terjadi dampak yang tidak
selamanya positif. Sebut saja masalah jati diri madrasah.
Sejak mula hadir sebenarnya madrasah lebih berfokus pada pendidikan
keagamaan dan keislaman. Dengan perubahan orientasi tersebut justru madrasah saat
ini kehilangan jati dirinya, dan lebih parah lagi kesulitan pula untuk merebut peran
dalam konteks pendidikan nasional, jika dibandingkan dengan sekolah-sekolah umum
di bawah pembinaan Depdiknas.
Pada masa-masa yang akan datang, dalam hal pengembangan kurikulum,
tampaknya madrasah masih akan terus dihadapkan pada dilema dikotomi keilmuan.
Setia dengan tujuan awal hadirnya sebagai pengembang ilmu-ilmu keislaman, atau
sesuai dengan tuntutan kebutuhan pasar melakukan perubahan kurikulum yang
ukurannya adalah pragmatism sebagai upaya pemenuhan kebutuhan hidup peserta
didik. Tentu saja , pilihan atas itu semua akan memiliki resiko yang tidak sama dalam
pengembangan materi pembelajaran, orientasi serta proses pembelajarannya.
Sementara itu untuk pendidikan diniyah non-formal disebutkan dalam pasal 21 ayat (1)
yaitu, Pendidikan diniyah nonformal diselenggarakan dalam bentuk pengajian kitab,
Majelis Taklim, Pendidikan Al Qur'an, Diniyah Takmiliyah, atau bentuk lain yang
sejenis. Adapun untuk proses penyelenggaraannya tertuang dalam pasal yang sama ayat
(5) Penyelenggaraan diniyah takmiliyah dapat dilaksanakan secara terpadu dengan
SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK atau pendidikan tinggi.
Jika untuk lembaga pendidikan keagamaan Islam yang diformalkan saja
memiliki banyak hambatan, maka persoalan yang senada juga pasti dialami oleh
pendidikan diniyah non-formal. Tentunya bentuk-bentuk pendidikan diniyah nonformal
di atas lebih dimaksudkan sebagai upaya menyiasati ketidakmungkinan peserta didik
mengikuti proses pendidikan secara formal. Hanya saja jika itu terjadi, maka
persoalannya pada bagaimana upaya kesetaraannya? Lembaga mana yang akan
dijadikan sebagai model ideal bagi penyetaraan pendidikan diniyah non-formal ini?
Sementara persoalan pendidikan kesetaraan di lingkup Depdiknas sendiri belum
seluruhnya tuntas, setidaknya untuk masalah home scooling yang hingga hari ini masih
tarik ulur tentang penyelenggaraannya. Tentunya Depag juga harus mulai antisipasi
untuk membuat desain model penyetaraan bagi pendidikan diniyah non-formal ini.
Sebab rasanya tidak adil, tidak menghargai mereka yang telah menempuh pendidikan
selama kurun waktu tertentu, namun tidak memberi atribut kelulusannya
16
Depdiknas: 2003, 5a.
Dalam pespektif sosial, pendidikan akan melahirkan insan-insan terpelajar
yang memepunyai peranan penting dalam proses perubahan sosial di dalam masyarakat.
Pendidikan menjadi faktor determinan dalam mendorong percepatan mobilitas
masyarakat, yang mengarah pada pembentukan formasi sosial baru. Formasi sosial baru
ini terdiri dari lapissn masyarakat kelas menengah terdidik yang menjadi elemen
penting dalam memeperkuat daya rekat sosial. Pendidikan yang melahirkan lapisan
masyarakat terdidik itu menjadi kekuatsan perekat yang menautkan unit-unit sosial di
dalam masyarakat, keluarga, komunitas, perkumpulan masyarakat, dan organisasi sosial
yang kemudian menjelma dalam bentuk organisasi besar berupa lembaga negara.
Dengan demikian, pendidikan dapat memeberikan sumbangan penting dalam upaya
memantapkan integrasi sosial.
warisi nilai yang menjadi penolong dan penentu umat manusia dalam
menjalani kehidupan dan untuk memperbaiki nasib dan peradaban umat manusia, tanpa
pendidikan manusia sekarang tanpa berbeda dengan manusia masa lampau, yang
dibandingkan dengan manusia sekarang telah sangat tertinggal baik kwalitas maupun
proses pembedayaanya.Untuk itu pemerintah banyak membantu dalam dunia
pendidikan diantaranya banyak peraturan-peraturan yang telah di buat seperti :
17
Nanang Fattah, Analisis Kebijakan Pendidikan,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012),43-45.
Lahirnya Undang-Undang (UU) No 20 Tahun 1999 yang memberikan
kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pendidikan,
merupakan tonggak baru penyelenggaraan pendidikan. Dengan undang-undang ini
kebijakan pendidikan berubah, yang tadinya otoritas penyelenggaraan pendidikan
berada di tangan pemerintah pusat, sekarang otoritas tersebut berada di tangan
pemerintah daerah.
Ketertinggalan dalam hal mutu sumber daya pembelajaran ini tidak lepas dari
kebijakan pemerintah. Melihat kompleksnya isu pendidikan yang dihadapi pada Abad-
21 ini dan yang sedang dihadapi Indonesia saat ini, diperlukan kajian terhadap sistem
pendidikan di Indonesia beserta kebijakan yang mendukungnya.
Dari segi proses, peningkatan mutu pendidikan belum berjalan baik karena
para guru dan tenaga pengajar lain masih lebih banyak berpendidikan di bawah S-1.
Kebijakan penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan selama ini masih dalam taraf
meningkatkan kompetensi guru hingga D-2. Hal ini terjadi khususnya di jenjang
pendidikan dasar dan menengah.
Dari segi mutu output pendidikan didapati bahwa selama ini tidak ada kriteria
kelulusan berdasarkan hasil ujian, sehingga hampir semua peserta ujian memperoleh
predikat tamat dan dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan selanjutnya. Dengan
mengambil batas nilai 5,5 (asumsi) sebagai kriteria minimal kelulusan, berarti hanya
36,79% siswa SLTP yang lulus, sisanya memperoleh predikat tamat belajar. Dari
paparan akademis, tingkat penguasaan materi pada umumnya sangat memprihatinkan.
Dalam hal ini kebijakan pendidikan yang ada belum mampu meningkatkan
mutu pendidikan menembus pencapaian jangka pendek (output pendidikan) dan
pencapaian jangka panjang (outcome pendidikan), apalagi mengungguli pencapaian
mutu pendidikan negara tetangga.
Peningkatan mutu pendidikan selama ini masih belum menunjukkan hasil yang
memuaskan. Rendahnya mutu pendidikan ini disebabkan oleh banyak hal, antara lain
mutu dan distribusi guru yang masih belum memadai, kurangnya sarana dan prasarana
pendidikan, kurikulum yang kurang sesuai, lingkungan belajar di sekolah maupun
dalam keluarga dan masyarakat belum mendukung.18
E. KESIMPULAN
18
http://mpiuika.wordpress.com/2009/11/08/makalah-diskusi-analisis-kebijakan-pendidikan-
islam-kelompok-1/
baik (good Citizens) dan mewujudkan civil society dalam era reformasi. Bila dilihat dari
tujuan idealnya dalam undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang pendidikan nasional.
Dalam upaya meningkatkan kinerja pendidikan nasional, diperlukan suatu reformasi
menyeluruh yang telah dimulai dengan kebijakan desentralisasi dan otonomi
pendidikan sebagai bagian dari reformasi politik pemerintahan. Sebelum diberlakukan
UU No. 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah, maka pengelolaan pendidikan dasar
menganut sentralisasi dan terjadi dualisme pemerintahan, yaitu oleh dinas dikbud yang
menginduk ke departemen dalam negeri dan departemen pendidikan. Namun setelah
reformasi politik pemerintahan ini tertuang di dalam UU No.22/1999 yang kemudian
disempurnakan menjadi UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU tersebut
menandai perubahan radikal tata kepemerintahan dari sentralistik ke sistem
desentralistik, dengan memberikan otonomi yang luas kepada daerah. Pendidikan yang
semula menjadi kewenangan pemerintahan pusat kemudian dialihkan menjadi
kewenangan pemerintah daerah. Pengelolaan pendidikan yang menjadi wewenang
pemerintah daerah ini dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas
manajemen pendidikan sehingga diharapkan dapat memeperbaiki kinerja pendidikan
nasional, dan kelebihan-kelebihan kebijakan dalam lembaga pendidikan lainnya yaitu:
DAFTAR PUSTAKA
Beare, H and W. Lowe Boyd, Restructuring School, (London: The Falmers Press, 1993)
Duke, Daniel L. And Robert Lynn Canady, Scool Policy, (New york: Mc Graw Hill,
Inc, 1991)
http://mpiuika.wordpress.com/2009/11/08/makalah-diskusi-analisis-kebijakan-
Desember 2012
Newton, Colin dan Tony Tarrant, Managing Change in School,( London: Routledge
1992)