Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PRAKTIKUM

FISIOLOGI ORGANISME AKUAKULTUR

HEMATOLOGI

NAMA :SITI HASRINI ANGGI


NIM :L031191029
KELOMPOK :10 (SEPULUH)
HARI/TANGGAL PRAKTIKUM:RABU, 26 FEBRUARI 2020
ASISTEN :YUSDALIFA EKAYANTI YUNUS S.Pi
YUNIKA MAHA ILMA S. Pi
WAHYUNI S. Pi
GABRIELLA AUGUSTINE S
HAURA AINUN SULAEMAN

LABORATORIUM FISIOLOGI HEWAN AIR


PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN
DEPARTEMEN PERIKANAN
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fisiologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang fungsi dan kerja tubuh secara
keseluruhan dan juga fungsi struktur serta organ didalam tubuh. Konsep dasar fisiologi
pada lingkungan internal berkaitan dengan cairan dalam tubuh yang merupakan tempat
hidup bagi sel penyusun tubuh. Cairan tersebut yaitu darah, cairan interstisial, cairan
selomik, dan cairan lain yang terdapat dalam tubuh. Ilmu tentang fisiologi dalam berbagai
aspek sangat berkaitan erat dengan ilmu hematologi (Kuntoadi, 2019).
Semua istilah yang berkaitan tentang darah selalu diawali dengan kata hemo atau
hemato yang berarti darah. Hematologi adalah cabang ilmu yang berkaitan tentang darah
dengan segenap permasalahannya. Parameter hematologi seperti sel darah merah, sel
darah putih, hemoglobin, limfosit, dan total protein memegang peranan penting dalam
penentuan kondisi fisiologi ikan (Koraag, 2010).
Darah merupakan suatu jaringan ikat khusus yang beredar di bagian seluruh tubuh
yang berperan dalam pengangkutan gas-gas pernafasan, hasil pencernaan, komponen-
komponen fungsional seperti enzim, hormon, dan berbagai molekul lainnya, serta
pembuangan limbah metabolisme. Darah tersusun dari komponen sel dan cairan yang
disebut plasma. Sel-sel darah terdiri atas eritrosit, leukosit, dan trombosit. Masing-masing
sel memiliki tugas yang penting untuk menunjang aktivitas tubuh (Fitria dkk, 2016).
Sistem peredaran darah atau sistem transportasi merupakan suatu sistem yang
berada dalam tubuh manusia yang berfungsi membawa atau mengangkut zat-zat dari
satu organ ke organ yang lainnya. Ada dua jenis sistem peredaran darah yakni sistem
peredaran darah terbuka dan sistem peredaran darah tertutup. Sistem ini menjamin
kelangsungan hidup organisme yang didukung oleh metabolisme setiap sel dalam tubuh
dan mempertahankan sifat kimia dan fisiologis cairan tubuh suatu organisme termasuk
hewan akuatik dan hewan lainnya (Kurniasih, 2018).
Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan praktikum hematologi ini untuk
mengetahui bagaimana kita mampu untuk mendeteksi serta mengetahui adanya penyakit
pada ikan maupun pada crustace melalui darahnya. Selain itu, mampu mengetahui
bahan-bahan penyusun darah melalui teknik pewarnaan dan teknik sentrifugasi pada
darah dengan menggunakan perhitungan hematokrit, leukokrit, dan jumlah eritrosit.

B. Tujuan dan Kegunaan


Tujuan dari praktikum hematologi ini yaitu untuk mengetahui bentuk dan warna darah,
mengetahui jumlah eritrosit, serta mengetahui kondisi ikan sakit dan sehat dengan melihat
banyaknya gumpalan darah.
Kegunaan dari praktikum hematologi ini yaitu untuk mengetahui bagaimana teknik
pewarnaan dan teknik sentrifugasi untuk melihat kondisi ikan (sehat atau sakit) serta
kondisi-kondisi lainnya yang dapat mematikan ikan sehingga dapat diusahakan
pencegahan sedini mungkin.
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kepiting Bakau (Scylla serrata)

Gambar 1. Kepiting Bakau (Scylla serrata) (Ananda, 2020)

1. Klasifikasi kepiting bakau (Scylla serrata)


Klasifikasi kepiting bakau (Scylla serrata) menurut Fujaya dkk (2019), adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Crustacea
Ordo : Decapoda
Family : Portunidae
Genus : Scylla
Spesies : Scylla serrata

2. Morfologi
Morfologi kepiting bakau (Scylla serrata) menurut Kanna (2014) adalah kepiting bakau
memiliki ukuran lebar karapas lebih besar daripada ukuran panjang tubuhnya dan
permukaannya agak licin. Pada dahi antara sepasang matanya terdapat enam buah duri
dan di samping kanan dan kirinya masing-masing terdapat sembilan buah duri. Kepiting
bakau jantan mempunyai sepasang capit yang dapat mencapai panjang panjang hampir
dua kali lipat dari pada panjang karapasnya, sedangkan kepiting bakau betina relatif lebih
pendek.
Badan kepiting pendek dengan abdomen yang tereduksi. Badan yang pendek
diakibatkan oleh fusi antara kepala dan toraks membentuk cefalotoraks dan ditutupi oleh
karapas, sedangkan abdomen tereduksi menjadi tipis, rata, dan terlipat di bawah
abdomen.
Badan yang pendek merupakan basis bagi pasangan kaki jalan disebelah kiri dan kanan
yang dilengkapi engsel. Kepiting bakau bakau juga mempunyai tiga pasang kaki jalan dan
sepasang kaki renang. Kepiting bakau berjenis kelamin jantan ditandai dengan abdomen
di bagian bawah berbentuk segitiga meruncing, sedangkan pada kepiting bakau betina
melebar (Fujaya dkk, 2019).

3. Habitat
Menurut Fujaya dkk (2019) habitat kepiting beraneka ragam, mulai dari lingkungan air,
baik air tawar maupun asin dan lingkungan daratan. Kepiting bakau adalah salah satu
sumberdaya perikanan yang menjadikan hutan mangrove sebagai habitatnya. Hutan
mangrove merupakan sumberdaya perairan yang memiliki karakteristik yang khas dan
memiliki fungsi ekologis dan ekonomis. Secara ekologis, hutan mangrove berfungsi
sebagai daerah pemijahan dan pembesaran (nursery ground) berbagai komersial baik
ikan maupun udang, kepiting serta berbagai macam habitat hewan lainnya.
Kepiting bakau disebut juga kepiting lumpur karena habitatnya di hutan-hutan bakau
dan sering membenamkan diri kedalam lumpur. Di dunia internasional, dinamai mangrove
crab atau mud crab. Potensinya di Indonesia cukup besar karena kepiting memiliki
distribusi yang luas dan dapat ditemukan hampir di seluruh perairan Indonesia terutama
pada perairan yang di tumbuhi hutan mangrove. Ada beberapa jenis kepiting menyukai
hidup di lingkungan berbatu, namun ada pula yang lebih senang hidup diantara akar
tumbuh- tumbuhan air (Fujaya dkk, 2019).

4. Kebiasaan Makan
Kebiasaan makan kepiting bakau menurut Pasaribu (2017) yaitu kepiting bakau
termasuk jenis pemakan segala dan bangkai (Omnivorous scavenger) dan memakan
sesama jenis (cannibal) sedangkan larva kepiting kebiasaan pemakan plankton. salah
satu faktor yang sangat menentukan keberhasilan budidaya adalah ketersediaan pakan.
Pakan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan kepiting bakau karena
pakan berfungsi sebagai pemasok energi untuk memacu pertumbuhan.
Kepiting membutuhkan pakan yang sesuai dengan kemampuan penampungan dan
daya cerna alat pencernaan kepiting. Pemberian pakan yang baik adalah pakan yang
mengandung beberapa kandungan penting, seperti protein, karbohidrat, lemak, vitamin
dan mineral dan dapat meningkatkan pertumbuhan kepiting, dengan menyesuaikan
pemberian presentase pakan (Pasaribu, 2017).

5. Siklus Hidup
Siklus hidup kepiting bakau meliputi empat tahap (stadia) perkembangan yaitu: tahap
larva (zoea), tahap megalopa, tahap kepiting muda (juvenil) dan tahap kepiting dewasa.
Kepiting bakau dalam menjalani kehidupannya berupaya dari perairan pantai ke laut,
kemudian induk berusaha kembali ke perairan pantai, muara sungai, atau perairan
berhutan bakau untuk berlindung, mencari makanan, atau membesarkan diri. Kepiting
bakau yang telah siap melakukan perkawinan akan memasuki hutan bakau dan perairan
tambak. Setelah perkawinan berlangsung kepiting betina akan berupaya diperairan
bakau, tambak, ke tepi pantai, dan selanjutnya ke tengah laut untuk melakukan pemijahan
(Pasaribu, 2017).
Kepiting bakau yang telah berupaya ke perairan laut akan berusaha mencari perairan
yang kondisinya cocok untuk tempat melakukan pemijahan, khususnya terhadap suhu
dan salinitas air laut. Setelah telur menetas, maka muncul larva tingkat I (zoea I) yang
terus menerus berganti kulit sampai sebanyak lima kali sambil terbawa arus ke perairan
pantai (sampai zoea V). Kemudian, kepiting kepiting tersebut berganti kulit lagi menjadi
megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa, tetapi masih
memiliki bagian ekor yang panjang. Pada tingkat mangalopa ini, kepiting mulai berupaya
pada dasar perairan lumpur menuju perairan pantai. Kemudian, pada saat dewasa
kepiting berupaya keperairan berhutan bakau untuk kembali melangsungkan perkawinan
dan terus bersiklus (Pasaribu, 2017).

B. Sterilisasi

Sterilisasi merupakan suatu proses pemusnahan semua bentuk mikroorganisme, baik


yang berbentuk vegetatif maupun yang berbentuk spora. Mikroorganisme yang dimaksud
dapat berupa kuman, virus, ricketsia, maupun jamur. Jadi produk steril steril telah bebas
dari semua jenis mikroorganisme hidup. Istilah “hidup” disini perlu diperhatikan karena
ada produk steril yang masih mengandung mikroorganisme tetapi telah mati, misalnya
hasil sterilisasi dengan pemanasan, penyinaran ataupun dengan memakai gas. Sterilisasi
adalah salah satu cara untuk menghilangkan kontaminasi atau untuk mengfiksasi agar
tidak tumbuh bakteri lain (Oetari, 2018).
Menurut Oetari (2018) makna harfiah dari kata sterilisasi yaitu “menghancurkan semua
bentuk kehidupan”. Sterilisasi diklasifikasikan menjadi dua macam yaitu secara fisik dan
secara kimiawi. Bahan sterilan dapat berbentuk cairan, gas atau radiasi elektromagnetik.
Cara sterilisasi tertua adalah destruksi dengan pemanasan baik menggunakan api bebas
maupun panas yang ditimbulkan oleh uap air sehingga dapat dikatakan bahwa media
sterilisasi klasik adalah panas dan air (basah) yang meliputi air mendidih dan uap air
panas.

C. Anestesi
Anestesi atau pembiuasan merupakan kegiatan penting pada kegiatan pembedahan
(operasi). Tujuan anestesi untuk membunuh saraf yang mengindra rasa sakit atau dalam
bahasa bahasa awam membuat saraf menjadi mati rasa. Anestesi memegang kunci
penting dalam pelaksanaan tindakan bedah minor ataupun pada operasi besar. Anestesi
memiliki efek pada organ diantaranya pada sistem saraf pusat. Pembiusan (anestesi)
harus dilakukan secara hati-hati (Lingga, 2018).
Beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu hubungan faktor kesulitan dan lamanya
waktu pekerjaan dengan respons atau tingkah laku selama pembiusan. Bila faktor
kesulitan pekerjaannya tinggi dan penanganannya memerlukan waktu cukup lama, seperti
pekerjaan pembedahan, penandaan, pemijahan, dan implantasi hormon, maka
pembiusan diusahakan sampai taraf kehilangan keseimbangan total. Sedangkan bila
pekerjaan hanya memerlukan waktu sebentar dan faktor kesulitannya kecil, seperti
pengukuran, penimbangan, pengambilan contoh, dan pemeriksaan gonad, maka hanya
perlu dibuat pingsan ringan (Lingga, 2018).

D. Darah
Menurut Fitria dkk (2016), darah merupakan jaringan ikat khusus yang beredar di
seluruh tubuh, berperan dalam pengangkutan gas-gas pernafasan, hasil pencernaan,
komponen- komponen fungsional seperti enzim, hormon, dan berbagai molekul lainnya,
serta pembuangan limbah metabolisme. Darah tersusun dari komponen sel dan cairan
yang disebut plasma. Sel-sel darah terdiri atas eritrosit, leukosit, dan trombosit dimana
masing- masing sel memiliki tugas yang penting untuk menunjang aktivitas tubuh.
Pemeriksaan darah dapat menunjukkan kondisi fisiologis suatu individu sebagai bentuk
tanggapan terhadap perubahan status fisika dan kimia di lingkungannya. Darah adalah
cairan kehidupan yang membawa oksigen dan zat makanan esensial ke seluruh sel-sel
jaringan tubuh dan organ-organ lainnya (Fitria dkk., 2016).

E. Teknik Pengambilan Darah


Menurut Yuniastutik (2019) salah satu teknik pengambilan darah yaitu menggunakan
teknik puncturing the caudal vessel (pembuluh darah pada bagian causal). Teknik ini bisa
dipakai untuk pengambilan sampel darah berukuran besar. Teknik ini mempunyai
kelebihan yaitu bisa dipergunakan berulang pada satu organisme dengan dapat diperoleh
darah sebanyak 0,5 - 1 ml dalam setiap minggunya tanpa mengakibatkan kelemahan dan
kematian pada kepiting. Pengambilan darah dengan cara tusukan jarum spuit pada garis
tengah tubuh suatu organisme biota laut di belakang sirip anal atau memasukkan jarum
kedalam musculus sampai mencapai tulang belakang. Pastikan tidak ada gelembung air
yang masuk dalam spuit, kemudian tarik pelahan-lahan sampai darah masuk ke dalam
spoit.
Langkah pengambilan darah tersebut dilakukan dengan uji terlebih dahulu dengan
dibius minyak cengkeh. Sebelum pengambilan darah, syringe ukuran 1 ml dan mikrotube
dibasahi
dengan Na Sitrat 3,8% untuk mencegah pembekuan darah. Pengambilan darah dilakukan
pada daerah caudal suatu organisme laut misalnya pada kepiting, kemudian darah berada
dalam syringe dimasukkan kedalam mikrotube untuk digunakan dalam pengamatan total
leukosit dan diferensiasi leukosit (Feliatra, 2018).

F. Kelainan dan Penyakit Pada Kepiting

Menurut Felietra (2018), pengetahuan tentang hama dan penyakit pada kepiting sangat
penting untuk dikuasai oleh calon budidaya. Hal ini disebabkan oleh adanya hubungan
yang erat antara hama dan penyakit. Dengan cara atau metode budidaya yang tepat akan
sangat bermanfaat untuk mencegah serangan penyakit. Adapun hama atau penyakit yang
biasa menyerang kepiting yaitu:

1. Whit Spot Syndrome Virus (WSSV)

Virus ini disebabkan oleh virus DNA berbentuk batang yang termasuk dalam genus
Whispovirus. Kepiting yang terinfeksi bisa menjadi pembawa virus bagi hewan yang lain.

2. Bacterial Shell Disease (BSD)

Penyakit ini juga kerap disebut penyakit cangkang karena bakteri. Kelainan pada
cangkang ini biasanya dimulai dengan munculnya hamparan bulu lembut yang terdiri dari
kumpulan serabut ganggang biru hijau.

3. Shell Discoloration (SD)

Penyakit ini dikenal dengan nama kelainan warna cangkang. Gangguan kesehatan ini
berupa munculnya warna putih pada kerapas. Efek pada kepiting yaitu menyebabkan
keterlambatan pertumbuhan.

4. Shell Fouling (SF)

Penyakit ini ditandai dengan adanya teritip dan kotoran yang melekat pada cangkang
kepiting. Akibatnya penampilan kepiting menjadi kurang menarik.

5. Gill Fouling With Debris (GFD)

GFD merupakan gangguan kesehatan akibat adanya kotoran yang menempel pada
insang. Secara kasat mata, adanya gangguan ini tidak terlihat sebelum kita melihat
insang kepiting.
III. METODOLOGI

A. Waktu dan Tempat


Praktikum Fisiologi Organisme Akuakultur tentang Hematologi dilaksanakan pada
pukul 10.00-12.00 WITA pada hari Rabu, 19 Februari 2020 yang dilaksanakan di
Laboratorium Fisiologi Hewan Air, Departemen Perikanan, Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar.

B. Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan pada praktikum hematologi ini yaitu:
Tabel 1. Alat yang digunakan
No Alat Jumlah Fungsi
1 Spoit 1 ml 2 buah Untuk mengambil sampel darah pada
ikan
2 Deg glass 2 buah Untuk meratakan sampel darah pada
objek glass
3 Objek glass 2 buah Untuk menyimpan sampel darah
4 Sentrifuge 1 buah Untuk memisahkan gumpalan darah dan
plasma darah
5 Hemasitometer 1 buah Sebagai wadah darah yang telah
diencerkan
6 Mikroskop 1 buah Untuk mengamati darah
7 Baskom 1 buah Untuk wadah air
8 Kalkulator 1 buah Untuk menghitung perhitungan ilmiah
9 Mistar 1 buah Untuk mengukur panjang gumpalan dan
plasma darah
10 Papan 1 buah Untuk wadah penyimpanan sampel

Tabel 2. Bahan yang digunakan


No Bahan Jumlah Fungsi
1 Kepiting 2 ekor Sebagai sampel
bakau(Scylla serrata)
2 Larutan parafin Secukupnya Sebagai penyumbat mikrohemtokrit
3 Larutan EDTA 10 % Sebagai antikoagulan
4 Larutan hematoxilin Secukupnya Untuk memberi warna pada inti sel darah
5 Larutan eosin Secukupnya Untuk memberi warna pada sitoplasama
6 Larutan gyemsa Secukupnya Untuk mewarnai sel darah
7 Larutan alkohol 70% Sebagai bahan fiksasi
8 Minyak cengkeh Secukupnya Untuk membius ikan atau crustacea
9 Tissue 1 pak Untuk membersihkan alat yang akan dan
sudah digunakan
10 Air tawar 2000 ml Untuk menyimpan sampel

C. Prosedur Kerja
Praktikum hematologi dilakukan dengan menyiapkan alat dan bahan, kemudian
melakukan pengujian sampling darah dengan cara memasukkan kepiting bakau kedalam
wadah yang berisi air dan menambahkan minyak cengkeh sebanyak 0,1% dengan
membiarkan hingga pingsan. Selanjutnya, meletakkan kepiting bakau pada nampan
bedah yang telah dilapisi kain yang telah dibasahi dengan air, kemudian mengambil darah
kepiting bakau dengan menggunakan spoit 1 ml yang telah dibasahi dengan EDTA 10%
dan menampung darahnya pada penampungan darah yang telah diberi label.
Langkah selanjutnya yaitu menghitung hematokrit dan leukokrit dengan cara darah
yang telah ditampung tadi dimasukkan ke dalam kapiler hematokrit dengan menggunakan
lilin khusus, kemudian di sentrifuge sebanyak 1000 g selama 5 menit. Setelah itu
mengukur presentase antara eritrosit dan leukosit. Selanjutnya, untuk mengetahui profil
darah ikan yaitu dengan mengambil darah yang telah ditampung tadi kemudian diteteskan
sebanyak 1 tetes pada slide glass dengan membentuk sudut 30-45 derajat. Setelah itu
menggeser secara perlahan hingga mengenai titik darah pada slide glass dan melebar
sehingga menghasilkan lapisan tipis dibelakangnya dan dikering anginkan. Langkah
selanjutnya yaitu mengfiksasi dengan alkohol 70% selama 5 menit kemudian kering
anginkan. Setelah itu merendam dalam larutan hematoxylin 5-10 menit gunanya untuk
mewarnai inti sel, kemudian buang larutan dan dikering anginkan.
Selanjutnya yaitu mengamati dengan menggunakan mikroskop dengan perbesaran
400X dan 1000X, kemudian mencelupkan ke dalam larutan eosin untuk mewarnai inti sel
dan dikeringkan kemudian amati dengan mikroskop. Selanjutnya mengamati jumlah
eritrosit dengan cara darah yang telah diambil dilakukan pengenceran pada darah kepiting
bakau sebanyak 0,5 ml dengan menggunakan larutan fisiologis dan diteteskan ke dalam
hemasitometer secara perlahan-lahan. Setelah itu, menetesi dengan gyemsa untuk
mewarnai sel darah dan mengitungnya dengan rumus: a/b x 16 x P x 104 sel/ml.
D. Analisis Data
Untuk menghitung jumlah eritrosit pada kepiiting bakau (Scylla serrata) maka
digunakan rumus berikut:
a/b x 16 x P x 104 sel/ml
Keterangan : a = Jumlah sel darah,
b = Jumlah kotak yang diamati,
P = Pengenceran
IV. HASIL

Hasil yang diperoleh pada saat praktikum Fisiologi Organisme Akuakultur tentang
hematologi yaitu:

1. Teknik pewarnaan

Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan pada praktikum hematologi diperoleh


hasil bahwa keadaan sel darah pada kepiting bakau (Scylla serrata) sebelum dicelupkan
pada hematoxilin adalah eritrosit masih berwarna merah berbentuk lonjong. Sedangkan
setelah dicelupkan ke dalam hematoxilin inti sel berwarna agak kebiruan yang pucat
sedangkan membran sel masih berwarna merah dan berbentuk lonjong.

Gambar 1. Sel darah kepiting bakau (Scylla serrata) sebelum dicelupkan ke dalam
hematoxilin

Gambar 2. Sel darah kepiting bakau (Scylla serrata) setelah dicelupkan ke dalam
hematoxilin

2. Total Eritrosit

Pemeriksaan total eritrosit bertujuan untuk mengetahui kondisi kesehatan kepiting


bakau (Scylla serrata) dan didapat hasil sebagai berikut:
Tabel 3. Total eritrosit percobaan A
Kotak Jumlah Sel
1 18
2 3
3 19
4 6
5 17
Jumlah total 63
Rata-rata 12,6
Hasil perhitungan total eritrosit percobaaan A pada kepiting bakau (Scylla serrata) yaitu:
Eritrosit = a/b x 16 x P x 104 sel/ml
= 63/5 x 16 x 1 x 104 sel/ml
= 12,6 x 16 x 104 sel/ml
= 2.016 x 106 sel/ml
Tabel 4. Total eritrosit percobaan B
Kotak Jumlah Sel
1 17
2 13
3 7
4 8
5 17
Jumlah total 62
Rata-rata 12,4
Hasil perhitungan total eritrosit percobaan B pada kepiting bakau (Scylla serrata) yaitu:
Eritrosit = a/b x16 x P x 104 sel/ml
= 62/5 x 16 x 1 x 104 sel/ml
= 12,4 x 16 x 1 x 104 sel/ml
= 12,4 x16 x 104 sel/ml
= 1.984 x 106 sel/ml
V. PEMBAHASAN

1. Teknik Pewarnaan
Pada gambar 1 dapat dilihat bahwa keadaan sel darah kepiting bakau (Scylla serrata)
sebelum dicelupkan pada haematoxilin adalah eritrosit masih berwarna merah berbentuk
lonjong.
Pada gambar 2 setelah dicelupkan pada hematoxilin jelas tampak pada pengamatan
inti sel berwarna biru kepucatan sedangkan membran sel masih berwarna merah dan
berbentuk lonjong. Berdasarkan bentuk eritrosit yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa
kepiting bakau (Scylla serrata) tersebut mengalami kelainan bentuk sel darah merah yakni
ovalosit yakni eritrosit yang berbentuk lonjong. Hal ini sesuai dengan pendapat Pasaribu
(2017) yang menyatakan bahwa pada ovalositosis herediter, dalam sediaan hapus
tampak lebih dari 90% eritrosit berbentuk oval. Bentuk ini harus dibedakan dari
makroovalosit yang didapatkan pada anemia megaloblastik dimana eritrosit berbentuk
besar dan oval.
Darah terdiri dari dua komponen besar yaitu sel darah dan plasma darah. Sel terdiri
atas sel-sel diskret yang memiliki bentuk khusus dan fungsi yang berbeda sedangkan
komponen dari plasma juga terdapat ion-ion organik dan aneka komponen organik untuk
fungsii metabolik. Fungsi dari kedua komponen tersebut kadang terpisah dan kadang
bergabung (Fujaya dkk., 2019).

2. Jumlah Eritrosit

Setelah memperoleh data pada jumlah eritrosit dalam setiap kotak dengan
menggunakan mikroskop. Didapatkan hasil dengan jumlah eritrosit yang dimiliki kepiting
bakau (Scylla serrata) pada percobaan A pada kotak 1 diperoleh jumlah sel 18, kotak 2 3
sel, kotak 4 19 sel, kotak 4 6 sel, dan pada kotak 5 17 sel dengan jumlah rata-rata 12, 6
sehingga diperoleh eritrosit sebanyak 2.016 x 106 sel/ml.
Pada percobaan B pada kotak 1 diperoleh jumlah sel 17, kotak 2 13 sel, kotak 3 7 sel,
kotak 4 8 sel, dan pada kotak 5 17 sel dengan jumlah rata-rata 12,4 dan diperoleh eritrosit
sebanyak 1.984 x 106 sel/ml sehingga dapat dikatakan bahwa jumlah eritrosit yang
diperoleh dari praktikum tersebut adalah normal. Hal itu sesuai dengan pendapat Fujaya
(2019) yang menyatakan bahwa jumlah eritrosit tiap mm³ berkisar antara 20.000-
3.000.000.
VI. PENUTUP

A. Simpulan
Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa
hematologi merupakan cabang ilmu yang berkaitan tentang darah yang sangat berperan
penting untuk mnegetahui apakah kondisi suatu organisme laut sehat atau tidak. Dalam
hematologi terdapat berbagai teknik pengambilan darah salah satunya adalah dengan
menggunakan spoit dan juga teknik puncturing the caudal vessel (pembuluh darah pada
bagian causal).
Pada teknik pewarnaan diperoleh sel darah merah (eritrosit) pada kepiting bakau
berbentuk oval berinti dengan membran sel dan membran inti yang nampak berlekat dan
bergerigi. Jumlah total eritrosit yang didapat pada percobaan A yaitu 2.016 x 106 sel/ml
dan percobaan B diperoleh eritrosit sebanyak 1.984 x 106 sel/ml, sehingga dapat
dikatakan bahwa jumlah eritrosit yang didapat pada praktikum hematologi dengan sampel
darah kepiting bakau (Scylla serrata) adalah normal.

B. Saran

1. Laboratorium
Saran untuk laboratorium yaitu kebersihannya dipertahankan dan sebaiknya sarana
dan prasarana yang ada didalam laboratorium dilengkapi lagi demi kelancaran praktikum
agar dapat berjalan dengan maksimal tanpa kendala.

2. Asisten
Saran untuk semua asisten adalah tetap semangat dalam membimbing kegiatan
raktikum agar tujuan yang akan dicapai dapat terlaksana dengan baik dan jaga selalu tali
silaturrahmi diantara semuanya agar ketegangan dan ketakutan pada saat praktikum tidak
terjadi serta selalu optimis dalam membimbing agar praktikum mampu dipahami dengan
baik.
DAFTAR PUSTAKA

Feliatra. 2018. Probiotik Suatu Tinjauan Keilmuan Baru Bagi Pakan Bududaya Perikanan.
Kencana. Jakarta.
Fitria, L. L. L. Lilly. Dan I. Riwantrisna. 2016. Pengaruh Antikoagulan dan Waktu
Penyimpanan Terhadap Profil Hematologis Tikus (Rattus Norvegicus
Barkenhout, 1769) Galur Wistar. Jurnal Biosfera. 33(1) : 22-30.
Fujaya, Y. S. Aslamyah. L. Fudjaja. Dan N. Alam. 2019. Budidaya dan Bisnis Kepiting
Lunak. Brilian Internasional. Surabaya.
Kanna, I. 2014. Budidaya Kepiting Bakau. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Koraag. J. F. 2010. Berbagi Nyawa Hidup Bahagia dengan Berdonor Darah. Pustaka
Marwa. Yogyakarta.
Kurniasih. J. 2018. Sistem Organ Manusia. Deepublish. Yogyakarta.
Kuntoadi, G. M. 2019. Anatomi Fisiologi. Panca Terra Farma. Jakarta.
Lingga, L. 2018. Health Secret Of Pepper. PT Gramedia. Jakarta.
Oetari, R. A. 2018. Teknik Aseptis. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Pasaribu, N. B. 2017. Makanan dan Kebiasaan Makan Kepiting Bakau (Scylla serrata
Forskal 1779) Di Perairan Kampung Sentosa Barat Kelurahan Belawan
SicanaNG Kecamatan Medan Belawan (Skripsi). Fakultas Pertanian.
Universitas Sumatera Utara. 69 Hal.
Yuniastutik, T. 2019. Penentuan Konsentrasi Pewarna Giemsa, Waktu dan Suhu Inkubasi
Pada Aktivitas Fagositosis Ikan Lele (Clarias sp.) yang Diinfeksi Bakteri
Aeromonas hydrophilla dan Vibrio harveyi. Jurnal Teknologi dan
Manajemen Pengelolaaan Laboratorium. 2(1) : 51-59.

Anda mungkin juga menyukai