Anda di halaman 1dari 43

Laporan Kasus

URS D/S + DJ stent D/S ai BATU PYELUM


DEXTRA + URETEROLITHIASIS SINISTRA

Oleh:

Norma, S.Ked NIM. 1830912

Pembimbing:

dr. Deddy, Sp.U

BAGIAN/SMF BEDAH UROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM

RSUD ULIN BANJARMASIN

Maret, 2020
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL…........................................................................... i

DAFTAR ISI…........................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN …............................................................ 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................ 3

BAB III LAPORAN KASUS............................................................... 24

BAB IV DISKUSI................................................................................. 34

BAB V PENUTUP............................................................................... 39

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Nefrolitiasis (batu ginjal) merupakan salah satu penyakit ginjal, dimana

ditemukannya batu yang mengandung komponen kristal dan matriks organik yang

merupakan penyebab terbanyak kelainan saluran kemih. Lokasi batu ginjal khas

dijumpai di kaliks, atau pelvis dan bila keluar akan terhenti dan menyumbat pada

daerah ureter (batu ureter) dan kandung kemih (batu kandung kemih). Batu ginjal

dapat terbentuk dari kalsium, batu oksalat, kalsium oksalat, atau kalsium fosfat.

Namun yang paling sering terjadi pada batu ginjal adalah batu kalsium.1

Penyebab pasti yang membentuk batu ginjal belum diketahui, oleh karena

banyak faktor yang dilibatkannya. Diduga dua proses yang terlibat dalam batu

ginjal yakni supersaturasi dan nukleasi. Supersaturasi terjadi jika substansi yang

menyusun batu terdapat dalam jumlah besar dalam urin, yaitu ketika volume urin

dan kimia urin yang menekan pembentukan batu menurun. Pada proses nukleasi,

natrium hidrogen urat, asam urat dan kristal hidroksipatit membentuk inti. Ion

kalsium dan oksalat kemudian merekat (adhesi) di inti untuk membentuk

campuran batu. Proses ini dinamakan nukleasi heterogen.2

Prevalensi penyakit ini diperkirakan sebesar 7% pada perempuan dewasa

dan 13% pada laki-laki dewasa. Di Indonesia, masalah batu saluran kemih masih

menduduki kasus tersering di antara seluruh kasus urologi. Belum terdapat data

angka prevalensi batu saluran kemih nasional di Indonesia. Di beberapa negara di

1
dunia berkisar antara 1-20%. Laki-laki lebih sering terjadi dibandingkan

perempuan yaitu 3:1 dengan puncak insiden terjadi pada usia 40-50 tahun.2

Di Indonesia sendiri, penyakit ginjal yang paling sering ditemui adalah

gagal ginjal dan nefrolitiasis. Prevalensi tertinggi penyakit nefrolitiasis yaitu di

daerah DI Yogyakarta (1,2%), diikuti Aceh (0,9%), Jawa Barat, Jawa Tengah, dan

Sulawesi Tengah masing-masing (0,8%).3

Obstruksi dan uremia menjadi komplikasi utama yang sering muncul pada

pasien ureterolithiasis. Kegagalan ginjal menjadi dampak lanjut dari

ureterolithiasis, kegagalan ini terjadi karena fungsi ginjal terganggu akibat adanya

sumbatan oleh batu yang terbentuk di saluran perkemihan, goresan goresan kecil

yang dibentuk batu awalnya akan menyebabkan infeksi lokal kemudian berlanjut

menjadi sepsis sehingga berakibat kegagalan fungsi organ. Melihat komplikasi

yang dapat muncul pada penderita ureterolithiasis, pentingnya penatalaksanaan

medis yang tepat.4,5

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Epidemiologi

Di Indonesia, masalah batu saluran kemih masih menduduki kasus

tersering di antara seluruh kasus urologi. Belum terdapat data angka prevalensi

batu saluran kemih nasional di Indonesia. Di beberapa negara di dunia berkisar

antara 1-20%. Laki-laki lebih sering terjadi dibandingkan perempuan yaitu 3:1

dengan puncak insiden terjadi pada usia 40-50 tahun.6

2.2 Definisi dan Etiologi

Batu saluran kemih (BSK) didefinisikan sebagai pembentukan batu di

saluran kemih yang meliputi batu ginjal, ureter, buli, dan uretra. Pembentukan

batu dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, yaitu infeksi, non-infeksi,

kelainan genetik, dan obat-obatan. 6,7

3
Terjadinya pembentukan batu saluran kemih berkaitan dengan adanya

kejadian kekambuhan sebelumnya dan hal tersebut sangat penting dalam tata

laksana farmakologi dan perawatan medis pada pasien dengan batu saluran kemih.

Sekitar 50% pembentukan batu saluran kemih juga dapat ditemukan

kekambuhannya setidaknya 1 kali dalam seumur hidup. Faktor risiko terjadinya

pembentukan batu antara lain, terjadinya BSK di usia muda, faktor keturunan,

batu asam urat, batu akibat infeksi, hiperparatiroidisme, sindrom metabolik, dan

obat-obatan. 6,7

4
Klasifikasi batu saluran kemih dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran,

lokasi, karakteristik pencitraan sinar X, etiologi terbentuknya batu, komposisi

batu, dan risiko kekambuhan. Ukuran batu biasanya diklasifikasikan dalam 1 atau

2 dimensi, yang dibagi menjadi beberapa ukuran, yaitu 5, 5-10, 10-20, dan >20

mm. Berdasarkan letak batu dibagi menjadi lokasi, yaitu kaliks ginjal superior,

medial, atau inferior, pelvis renal, ureter proksimal atau distal, dan buli. 6,7

2.3 Diagnosis

A. Anamensis

Keluhan pasien mengenai batu saluran kemih dapat bervariasi, mulai dari

tanpa keluhan, sakit pinggang ringan hingga berat (kolik), disuria, hematuria,

retensi urine, dan anuria. Keluhan tersebut dapat disertai dengan penyulit seperti

demam dan tanda gagal ginjal. Selain itu, perlu ditanyakan mengenai riwayat

penyakit dahulu yang berhubungan dengan penyakit batu saluran kemih seperti

obesitas, hiperparatiroid primer, malabsorbsi gastrointestinal, penyakit usus atau

pankreas.6

Riwayat pola makan juga ditanyakan sebagai predisposisi batu pada

pasien, antara lain asupan kalsium, cairan yang sedikit, garam yang tinggi, buah
5
dan sayur kurang, serta makanan tinggi purin yang berlebihan, jenis minuman

yang dikonsumsi, jumlah dan jenis protein yang dikonsumsi. 6

Riwayat pengobatan dan suplemen seperti probenesid, inhibitor protease,

inhibitor lipase, kemoterapi, vitamin C, vitamin D, kalsium, dan inhibitor

karbonik anhidrase. Apabila pasien mengalami demam atau ginjal tunggal dan

diagnosisnya diragukan, maka perlu segera dilakukan pencitraan. 6

B. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pasien dengan BSK sangat bervariasi mulai tanpa

kelainan fisik sampai adanya tanda-tanda sakit berat, tergantung pada letak batu

dan penyulit yang ditimbulkan (komplikasi). Pemeriksaan fisik yang dapat

ditemukan antara lain: 6

Pemeriksaan fisik umum: Hipertensi, demam, anemia, syok

Pemeriksaan fisik urologi

- Sudut kostovertebra: Nyeri tekan, nyeri ketok, dan pembesaran ginjal

- Supra simfisis: Nyeri tekan, teraba batu, buli kesan penuh

- Genitalia eksterna: Teraba batu di uretra

- Colok dubur: Teraba batu di buli-buli (palpasi bimanual)

C. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan batu

saluran kemih antara lain pemeriksaan laboratorium dan pencitraan. Pemeriksaan

laboratorium sederhana dilakukan untuk semua pasien batu saluran kemih.

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan darah dan

6
urinalisa. Pemeriksaan darah berupa hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit,

dan hitung jenis darah, apabila pasien akan direncanakan untuk diintervensi, maka

perlu dilakukan pemeriksaan darah berupa, ureum, kreatinin, uji koagulasi

(activated partial thromboplastin time/aPTT, international normalised ratio/INR),

natrium, dan kalium. Bila diperlukan dapat dilakukan pemeriksaan kalsium dan

atau C-reactive protein (CRP). 6

Pemeriksaan urine rutin digunakan untuk melihat eritrosuria, leukosuria,

bakteriuria, nitrit, pH urine, dan atau kultur urine. Hanya pasien dengan risiko

tinggi terjadinya kekambuhan, maka perlu dilakukan analisis spesifik lebih lanjut.

Analisis komposisi batu sebaiknya dilakukan apabila didapatkan sampel batu pada

pasien BSK. Pemeriksaan analisis batu yang dianjurkan menggunakan sinar X

terdifraksi atau spektroskopi inframerah. Selain pemeriksaan di atas, dapat juga

dilakukan pemeriksaan lainnya yaitu kadar hormon PTH dan kadar vitamin D,

bila dicurigai hiperparatiroid primer. 6

D. Pencitraan

Diagnosis klinis sebaiknya dilakukan dengan pencitraan yang tepat untuk

membedakan yang dicurigai batu ginjal atau batu ureter. Evaluasi pada pasien
7
termasuk anamnesis dan riwayat medis lengkap serta pemeriksaan fisik. Pasien

dengan batu ureter biasanya mengeluh adanya nyeri, muntah, kadang demam,

namun dapat pula tidak memiliki gejala. Pencitraan rutin antara lain, foto polos

abdomen (kidney-ureter-bladder/KUB radiography). Pemeriksaan foto polos

dapat membedakan batu radiolusen dan radioopak serta berguna untuk

membandingkan saat follow-up. 6

USG merupakan pencitraan yang awal dilakukan dengan alasan aman,

mudah diulang, dan terjangkau. USG juga dapat mengidentifikasi batu yang

berada di kaliks, pelvis, dan UPJ. USG memiliki sensitivitas 45% dan spesifisitas

94% untuk batu ureter serta sensitivitas 45% dan spesifisitas 88% untuk batu

ginjal. 6

Pemeriksaan CT- Scan non kontras sebaiknya digunakan mengikuti

pemeriksaan USG pada pasien dengan nyeri punggung bawah akut karena lebih

akurat dibandingkan IVP. CT-Scan non kontras menjadi standar diagnostik pada

nyeri pinggang akut. 6

8
Pemeriksaan dengan kontras dapat dilakukan bila direncanakan

penatalaksanaan BSK yang memerlukan anatomi dan fungsi ginjal. CT-Scan non

kontras juga memberikan informasi cepat secara 3D termasuk ukuran dan densitas

batu, jarak antara kulit dan batu, serta anatomi sekitarnya, namun dengan

konsekuensi adanya paparan radiasi. Pemeriksaan dengan zat kontras tidak

anjurkan pada pasien dengan alergi kontras dan penurunan fungsi ginjal,

konsumsi

metformin, dan mielomatosis. 6

9
2.4 Tata Laksana Spesifik Batu Ginjal

Perjalanan penyakit batu ginjal yang asimptomatik dengan ukuran kecil

masih belum jelas dan risiko progresi penyakit masih belum jelas. Hingga saat ini,

masih belum ada konsensus mengenai durasi follow-up, waktu dan tipe intervensi.

Pilihan tata laksana batu ginjal adalah kemolisis atau pengangkatan batu secara

aktif. 6

A. Konservatif (Observasi)

Observasi batu ginjal, terutama di kaliks, bergantung pada riwayat

perjalanan penyakit. Rekomendasi observasi pada batu ginjal saat ini belum

didukung literatur yang baik. Saat ini, suatu studi prospektif menyarankan

dilakukan observasi tahunan untuk batu kaliks inferior asimptomatik ≤10 mm.

Bila terdapat pertambahan ukuran batu, interval follow-up perlu diperpendek.

Intervensi disarankan apabila batu bertambah ukurannya >5 mm. 6,8

B. Farmakologis

Pelarutan batu dengan tata laksana farmakologis merupakan pilihan terapi

hanya untuk batu asam urat, tetapi informasi mengenai komposisi batu perlu

dalam menentukan pilihan terapi. 6


10
C. Indikasi Pengangkatan Batu Ginjal Secara Aktif

Indikasi adanya pengangkatan batu pada batu ginjal antara lain: 6,9

• Pertambahan ukuran batu;

• Pasien risiko tinggi terjadinya pembentukan batu;

• Obstruksi yang disebabkan oleh batu;

• Infeksi saluran kemih;

• Batu yang menimbulkan gejala seperti nyeri atau hematuria;

• Ukuran batu >15 mm;

• Ukuran batu <15 mm jika observasi bukan merupakan pilihan terapi;

• Preferensi pasien;

• Komorbiditas;

• Keadaan sosial pasien (misalnya, profesi dan traveling)

D. Pilihan Prosedur untuk Pengangkatan Batu Ginjal secara Aktif

a. Batu Pelvis Ginjal atau Kaliks Superior/Media

Terapi modalitas pada kasus batu ginjal adalah Shock Wave Lithotripsy

(SWL), Percutaneous Nephrolithotripsy (PNL), dan Retrograde Intra Renal

Surgery (RIRS). Sementara efektivitas PNL tidak terlalu tergantung dari ukuran

batu, efektivitas Stone Free Rate (SFR) dari SWL atau RIRS sangat tergantung

dari ukuran batu. 6

b. Batu Kaliks Inferior

Angka bebas batu setelah prosedur SWL terlihat lebih rendah pada batu

kaliks inferior dibandingkan dengan batu intra renal di lokasi lainnya. Sebuah

11
studi melaporkan bahwa SFR setelah SWL pada batu kaliks inferior adalah 25-

95%. Jika terdapat prediktor negatif untuk SWL, PNL dan RIRS dapat menjadi

alternative tindakan, walaupun pada batu dengan ukuran yang lebih kecil.

Tindakan RIRS dibandingkan SWL pada batu kaliks inferior memiliki efikasi

SFR lebih tinggi, namun dengan tingkat invasif yang lebih tinggi. Berdasarkan

pada kemampuan operator, batu berukuran hingga 3 cm dapat dilakukan tindakan

RIRS, walaupun pengulangan prosedur sering diperlukan. 6

Pada kasus batu kompleks, pendekatan prosedur operasi terbuka atau

laparoskopik merupakan pilihan tata laksana alternatif. 6

12
E. Tatalaksana Endourologi untuk Batu Ginjal

a. Nefrolitotomi Perkutan (PNL)

Nefrolitotomi perkutan merupakan prosedur standar untuk tatalaksana batu

ginjal yang berukuran besar. Perbedaan endoskopi kaku dan fleksibel merupakan

pilihan yang bergantung pada preferensi operator. Ukuran standar yang digunakan

adalah 24-30 F, sedangkan untuk akses yang lebih kecil, dapat digunakan ukuran

<18 F yang biasa digunakan untuk anak-anak, namun saat ini mulai popular untuk

penggunaan bagi orang dewasa. Kontraindikasi nefrolitotomi perkutan antara lain

infeksi saluran kemih yang tak terkontrol, tumor yang dicurigai di sekitar daerah

akses PNL, tumor ginjal dengan potensial ganas, dan kehamilan. 6

Litotripsi intrakorporal merupakan metode yang digunakan pada PNL,

biasanya dibantu dengan ultrasonik dan sistem pneumatik (balistik) pada

penggunaan nefroskopi rigid, sedangkan pada penggunaan nefroskopi fleksibel

biasanya menggunakan laser Holmium: Yttrium-Aluminium-Garnet (Ho:YAG).22

Pencitraan ginjal dengan ultrasonik atau CT-Scan dapat memberikan informasi

mengenai organ interposisi pada jalur perkutan (seperti limpa, hati, usus besar,

pleura, dan paru). Posisi pronasi atau supinasi memiliki keamanan yang sama. 6

Berdasarkan meta-analisis, insiden komplikasi yang berhubungan dengan

PNL antara lain demam (10,8%), transfusi (7%), komplikasi torakal (1,5%),

sepsis

(0,5%), cedera organ (0,4%), embolisasi (0,4%), urinoma (0,2%), dan kematian

(0,05%).6

13
b. Ureterorenoskopi

Penggunaan ureterorenoskopi pada batu ginjal dan/atau ureter saat ini

banyak digunakan karena memiliki beberapa kelebihan antara lain endoskopi yang

sangat kecil, mekanisme defleksi, peningkatan kualitas optik, dan penggunaan alat

sekali pakai (disposable). Retrograde Intrarenal Surgery (RIRS) adalah suatu

tindakan endourologi yang menggunakan ureterorenoskopi fleksibel. 6

RIRS atau PNL menjadi pilihan terapi pada batu kaliks inferior berukuran

10-20 mm bila terdapat faktor penghambat SWL misalnya sudut infundibulum-

pelvis yang curam atau infundibulum yang sempit. URS dapat dilakukan pada

14
semua pasien tanpa kontraindikasi spesifik apapun. Pemasangan stent ureter tidak

rutin dilakukan sebelum melakukan prosedur RIRS. 6

F. Tata Laksana Operasi terbuka untuk Batu Ginjal

Penggunaan SWL dan operasi endourologi (URS dan PNL) secara

signifikan menurunkan indikasi untuk dilakukannya operasi terbuka. Terdapat

consensus menunjukkan bahwa pada kasus batu yang kompleks, termasuk batu

staghorn baik parsial dan komplit, dapat dilakukan dengan PNL. Namun, apabila

pendekatan secara perkutan atau berbagai macam teknik endourologi tidak

berhasil, maka operasi terbuka dapat digunakan sebagai tatalaksana alternative. 6

15
2.5. Tata Laksana Spesifik Batu Ureter

A. Konservatif

Terdapat beberapa data yang berkaitan dengan pengeluaran batu secara

spontan bergantung pada ukuran batu, diperkirakan 95% batu dapat keluar

spontan dalam waktu 40 hari dengan ukuran batu hingga 4 mm. Observasi juga

dapat dilakukan pada pasien yang tidak memiliki komplikasi (infeksi, nyeri

refrakter, penurunan fungsi ginjal, kelainan anatomi saluran ureter). 6

B. Terapi Farmakologi

Terapi ekspulsi medikamentosa (medical expulsive therapy/MET), perlu

diinformasikan kepada pasien jika pengangkatan batu tidak diindikasikan. Bila

16
direncanakan pemberian terapi MET, selain ukuran batu ureter, perlu

dipertimbangkan beberapa faktor lainnya dalam pertimbangan pemilihan terapi.

Apabila timbul komplikasi seperti infeksi, nyeri refrakter, penurunan fungsi

ginjal, dan kelainan anatomi di ureter maka terapi perlu ditunda. Penggunaan α-

blocker sebagai terapi ekspulsi dapat menyebabkan efek samping seperti ejakulasi

retrograd dan hipotensi. 6

Pasien yang diberikan α-blocker, penghambat kanal kalsium (nifedipin),

dan penghambat PDE-5 (tadalafil) memiliki peluang lebih besar untuk keluarnya

batu dengan episode kolik yang rendah dibandingkan tidak diberikan terapi.

Terapi kombinasi penghambat PDE-5 atau kortikosteroid dengan α-blocker tidak

direkomendasikan. Obat α-blocker menunjukkan secara keseluruhan lebih

superior dibandingkan nifedipin untuk batu ureter distal. Terapi ekspulsi

medikamentosa memiliki efikasi untuk tata laksana pasien dengan batu ureter,

khususnya batu ureter distal ≥5 mm. Beberapa studi menunjukkan durasi

pemberian terapi obat-obatan selama 4 minggu, namun belum ada data yang

mendukung untuk interval lama pemberiannya. 6

C. Indikasi Pengangkatan Batu Ureter secara Aktif

Indikasi untuk pengeluaran batu ureter secara aktif antara lain: 6,10

• Kemungkinan kecil batu keluar secara spontan;

• Nyeri menetap walaupun sudah diberikan analgesik adekuat;

• Obstruksi persisten;

• Insufisiensi ginjal (gagal ginjal, obstruksi bilateral, atau solitary kidney); atau

17
• Kelainan anatomi ureter

D. Pilihan Prosedur untuk Pengangkatan Batu Ureter secara Aktif

Secara keseluruhan dalam mencapai hasil kondisi bebas batu (stone-free

rate) pada batu ureter, perbandingan antara URS dan SWL memiliki efikasi yang

sama. Namun, pada batu berukuran besar, efikasi lebih baik dicapai dengan

menggunakan URS. Meskipun penggunaan URS lebih efektif untuk batu ureter,

namun memiliki risiko komplikasi lebih besar dibandingkan SWL. 6

E. Teknik Endourologi

a. URS dan RIRS

Ureterorenoskopi (URS) semi rigid dapat digunakan pada seluruh bagian

ureter. Namun, seiring berkembangnya teknologi, saat ini lebih banyak digunakan

URS fleksibel pada ureter. URS juga dapat digunakan pada seluruh pasien tanpa

kontraindikasi spesifik apa pun. Sebagian besar intervensi menggunakan anestesi

spinal walaupun anestesi umum juga dapat dilakukan. Sedasi intravena

merupakan anestesi yang cocok untuk pasien wanita dengan batu ureter distal. 6
18
Untuk batu ureter proksimal impaksi yang besar atau ketika ureter tidak

dapat dilakukan secara retrograd dapat diterapi dengan pilihan seperti URS

dengan akses antegrad perkutan. Namun, perlu dipertimbangkan pula fasilitas

yang ada serta pertimbangan ahli urologi setempat. Pembedahan terbuka

merupakan salah satu alternatif terapi bila dipertimbangkan merupakan pilihan

terbaik dalam suatu kasus. Alat floroskopi, dilator balon, dan plastik apabila

diperlukan disediakan di kamar operasi. Saat ini, URS rigid dapat membantu

untuk dilatasi sehingga terlihat jelas, kemudian diikuti URS fleksibel (apabila

diperlukan). Apabila akses ureter sulit ditemukan, maka dilakukan pemasangan

DJ stent kemudian diikuti URS setelah 2-4 minggu pemasangan sebagai prosedur

alternatif. 6

b. Litotripsi Intrakorporal

Prosedur litotripsi yang paling efektif adalah dengan menggunakan laser

Ho: YAG, yang saat ini merupakan standar optimal untuk ureterorenoskopi yang

efektif pada segala jenis batu. Sistem pneumatik dan ultrasonik dapat digunakan

dengan efikasi disintegrasi tinggi pada URS semi rigid. Namun, migrasi batu ke

dalam ginjal merupakan masalah tersering yang dapat dicegah dengan

pemasangan alat antimigrasi pada proksimal batu. Terapi ekspulsi farmakologis

diikuti litotripsi laser Ho: YAG dapat meningkatkan angka bebas batu dan

menurunkan episode kolik. Seperti penjelasan sebelumnya, berdasarkan dari

konsensus, pemasangan stent ureter tidak rutin dilakukan sebelum prosedur RIRS.
6

19
F. Tatalaksana Operasi Laparoskopi untuk Batu Ureter

Hanya sedikit studi yang melaporkan pengeluaran batu ureter secara

laparoskopik. Prosedur tersebut biasanya dilakukan untuk beberapa kasus khusus

seperti batu ureter proksimal yang sangat besar sebagai alternatif URS atau SWL.

Jika terdapat ahli urologi yang memadai, ureterolitotomi per laparoskopi dapat

dilakukan pada batu ureter proksimal besar sebagai alternatif dari URS atau SWL.

20
Semakin banyak prosedur invasif dapat menghasilkan SFR yang tinggi dan

prosedur tambahan lebih sedikit. 6

21
22
2.6 Komplikasi

Komplikasi pada nefrolitiasis bedakan menjadi komplikasi akut dan

komplikasi jangka panjang.11

1. Komplikasi Akut

23
Kematian, kehilangan fungsi ginjal, kebutuhan transfusi dan tambahan

invensi sekunder yang tidak direncanakan.

2. Komplikasi Jangka Panjang

Striktura, obstruksi, hidronefrotis, berlanjut dangan atau tanpa pionefrosis,

dan berakhir dengan kegagalan faal ginjal yang terkena.

BAB III

LAPORAN KASUS

I. DATA PRIBADI

Nama : Tn. I

Umur : 58 tahun

24
Agama : Muslim

Suku : Banjar

Alamat : Taruna Praja Banjarbaru

MRS : 28 Februari 2020

No. RMK : 1-44-42-08

Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara aloanamnesis dengan pasien pada tanggal 3

Maret 2020.

1. Keluhan utama :

Nyeri pinggang kanan

2. Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang dengan keluhan nyeri pinggang kanan sejak 6 bulan yang

lalu, nyeri hilang timbul, nyeri terasa menusuk-nusuk, dan kadang menjalar ke

perut depan. Nyeri tidak diprovokasi oleh aktivitas dan tidak mengganggu

aktivitas. Pasien juga kadang merasakan mual, namun tidak ada muntah. Demam

disangkal, kelemahan pada kedua tungkai juga disangkal. Pasien ada mengatakan

kencing berpasir sejak 1 tahun terakhir ini, namun tidak terus menerus. Kencing

berdarah, bernanah disangkal oleh pasien. Merasa kencing tidak tuntas ataupun

sering kencing disangkal oleh pasien. Kencing terasa anyang anyang juga tidak

ada. BAB dalam batas normal, tidak ada diare yang lama. Riwayat BAB darah

atau hitam disangkal. Kencing lancar, tidak keruh dan tidak sedikit. Pasien

merupakan kiriman dari Poli Urologi dengan rencana operasi batu di saluran

25
kemih.

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Keluhan serupa (-) HT (+) DM (-)

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluhan serupa (-) HT (+) DM (+)

Pemeriksaan Fisik (3 Maret 2020)

A. Pemeriksaan Fisik Umum

1. Keadaan umum : Tampak sakit sedang

 GCS : 4-5-6

2. Tanda Vital :

TD : 160/90 mmHg Nadi : 92 x/menit

Suhu : 36,7oC Pernapasan : 20 x/menit

B. Status Generalis

3. Kepala dan leher

Kepala : massa (-)

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),edema

palpebra (-/-), refleks cahaya (+/+), isokor (+/+), refleks

pupil (3mm/3mm).

Telinga : Bentuk normal, tidak ada cairan yang keluar dari telinga.

Hidung : Bentuk normal, tidak tampak deviasi septum, tidak ada

sekret, tidak ada epistaksis

Mulut : Bibir dan mukosa normal


26
Leher : Tidak ada kaku kuduk, tidak tampak pembesaran kelenjar

getah bening dan tiroid, tidak ada peningkatan JVP

4. Thoraks

Paru

Inspeksi : Bentuk normal, gerakan simetris, dan retraksi (-),

RR = 20x/menit

Palpasi : Fremitus raba (+/+) simetris, tidak ada nyeri tekan.

Perkusi : Sonor (+/+), tidak ada nyeri ketuk.

Auskultasi : Vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing(-/-).

Jantung

Inspeksi :Iktus kordis tidak tampak

Palpasi : Tidak teraba thrill.

Perkusi : Batas jantung normal, ICS IV LMK sinistra dan

ICS IV LPS Dekstra

Auskultasi : S1 dan S2 tunggal, bising jantung tidak ada.

5. Abdomen :

Inspeksi : Distensi (-),asites (-),venektasi (-), skars (-)

Auskultasi : Bruit (-)

Perkusi : Pekak (-), Shifting dullness (-)

Palpasi : Hepar dan lien tidak ada pembesaran, nyeri tekan

(-), Massa (-)

6. Ekstremitas atas dan bawah :

27
Atas : Pitting edema (-/-), parese (-/-), gerakan tidak

terbatas.
Bawah : Pitting edema (-/-), parese(-/-), gerakan tidak

terbatas.
7. Rektum : Hemoroid (-)

C. Status Urologi

Sudut costovertebral : Inspeksi: jejas (-), hematom (-), nefrostomi (-)

Palpasi: nyeri ketok ginjal (+/-)

Flank : Inspeksi: jejas (-) hematom (-)

Palpasi: nyeri tekan (-)

Suprapubik : Inspeksi: distensi (-) sistostomi (-)

Palpasi: nyeri tekan (-), massa (-)

Genital : Inspeksi: sekret (-) darah (-) ulcus (-) massa (-)

Palpasi: nyeri tekan (-) secret (-)

Skrotum : Inspeksi: edem (-) hematom (-)

Palpasi: massa (-) nyeri tekan (-)

D. Pemeriksaan Tambahan / Penunjang

- CT Scan Stonogram

- Thorax AP

- Abdomen AP

- Pemeriksaan Darah Rutin, Kimia Darah, Urinalisis

IV.PEMERIKSAAN PENUNJANG

DARAH

28
Hasil Pemeriksaan Laboratorium 29 Februari 2020

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

HEMATOLOGI
Hemoglobin 14.6 12.0 – 15.00 g/Dl
Lekosit 6.0 4.65 – 10.3 ribu/μL
Eritrosit 5.00 4.00 – 5.30 juta/μL
Hematokrit 43.4 37 – 47 vol%
Trombosit 258 150 – 356 ribu/μL
RDW-CV 13.4 12.1 – 14.0 %
MCV.MCH.MCHC
MCV 86.5 75.0 – 96.0 Fl
MCH 29.2 28.0 – 32.0 Pg
MCHC 33.5 33.0 – 37.0 %
HITUNG JENIS
Neutrofil% 65.6 50.0-70.0 %
Limfosit % 29.8 25.0-40.0 %
Neutrofil# 3.90 2,50-7,00 ribu/ul
Limfosit# 1.60 1,25-4,0 ribu/ul
KIMIA DARAH
Ureum 36 10-50 mg/dL
Kreatinin 1.72 0.7-1.4 mg/dL
SGOT 22 0-40 IU
SGPT 12 0-40 IU
GDS 98 < 200 mg/dl
ELEKTROLIT
Natrium 137 136-145 mEq/l
Kalium 3.3 3.5-5.1 mEq/l
Clorida 110 98-107 mEq/l

Hasil Pemeriksaan Urinalisis 21 Januari 2020

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

MAKROSKOPIS
Warna Kuning Kuning
Jernih Keruh Jernih

29
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

MAKROSKOPIS
Berat jenis 1.01 1.005-1.015
pH 6.0 5.0-6.5
Keton Negatif Negatif
Protein albumin +1 Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Darah samar +3 Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Leukosit +1 Negatif
SEDIMEN URIN
Leukosit 3-5 0-3
Eritrosit 4-8 0-2
Epitel +1 +1
Silinder Negatif Negatif
Bakteri Negatif Negatif
Kristal Negatif Negatif

THORAX AP

30
Kesimpulan:

 Cor dalam batas normal

 Tampak infiltrate pada pulmo kiri atas

ABDOMEN AP

31
Kesimpulan:

 Nefrolithiasis bilateral

CT STONOGRAM

Kesimpulan:

 Hidronefrosis ringan kanan dengan batu pyelum ukuran 22 mm setinggi

VL 2-3 kanan, dengan batu multiple pole bawah ukuran 6 mm

 Hidronefrosis berat kiri dengan dilatasi ureter proksimal e.c batu ureter

ukuran 17 mm setinggi VL 4 kiri

V. PENATALAKSANAAN

Pro URS D/S + DJ Stent D/S kp Uretrolitotomi S


32
VI. FOLLOW UP

Tanggal 4 5 6 7
(Maret)
Subjektif
Nyeri pinggang + < < <
Mual/muntah -/- -/- -/- -/-
BAB/BAK +/+ -/+ +/+ +/+
Demam - - - -
Objektif
GCS 456 456 456 456
TD (mmHg) 160/80 150/90 130/90 130/90
Nadi (x/m) 70 82 77 80
RR (x/m) 22 20 20 21
Temp (oC) 36.5 36.7 36.9 36.8
CA - - - -
Paru : ves / rh / +/-/- +/-/- +/-/- +/-/-
wh
Abdomen : +/+ +/+ +/+ +/+
supel / BU
Akral hangat + + + +
DC - + (jernih) + -
Assesment
Batu pyelum Post URS D/S + DJ stent D ai batu pyelum (D)
(D) + + ureterolithiasis (S)
ureterolithiasis
(S)
Planning
IVFD RL 20 IVFD RL 20 tpm
tpm Inj ranitidine 2x 50 mg
Inj ceftriaxone Inj ketorolac 3x30 mg
2x1 gram Inj ceftriaxone 2x1 gram

R/ Operasi hari PO Amlodipin BLPL


ini 1x5 mg

33
FOTO KLINIS

34
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien yang dilaporkan pada laporan kasus ini adalah seorang laki-laki

berusia 58 tahun dengan diagnosis Batu Pyelum (D) + Ureterolithiasis (S).

Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik

dan pemeriksaan penunjang. Batu saluran kemih (BSK) didefinisikan sebagai

pembentukan batu di saluran kemih yang meliputi batu ginjal, ureter, buli, dan

uretra.

Di Indonesia, masalah batu saluran kemih masih menduduki kasus

tersering di antara seluruh kasus urologi. Belum terdapat data angka prevalensi

batu saluran kemih nasional di Indonesia. Di beberapa negara di dunia berkisar

antara 1-20%. Laki-laki lebih sering terjadi dibandingkan perempuan yaitu 3:1

dengan puncak insiden terjadi pada usia 40-50 tahun. Seperti pada kasus ini,

pasien berjenis kelamin laki-laki dan berusia 58 tahun. 6

Terjadinya pembentukan batu saluran kemih berkaitan dengan adanya

kejadian kekambuhan sebelumnya dan hal tersebut sangat penting dalam tata

laksana farmakologi dan perawatan medis pada pasien dengan batu saluran kemih.

Sekitar 50% pembentukan batu saluran kemih juga dapat ditemukan

kekambuhannya setidaknya 1 kali dalam seumur hidup. Faktor risiko terjadinya

pembentukan batu antara lain, terjadinya BSK di usia muda, faktor keturunan,

batu asam urat, batu akibat infeksi, hiperparatiroidisme, sindrom metabolik, dan

35
obat-obatan. Pada kasus ini kemungkinan besar penyebab terjadinya batu saluran

kemih akibat hiperurisemia yang berlangsung lama, pasien pernah dilakukan


6,7
pemeriksaan asam urat dan kadarnya tinggi.

Keluhan pasien mengenai batu saluran kemih dapat bervariasi, mulai dari

tanpa keluhan, sakit pinggang ringan hingga berat (kolik), disuria, hematuria,

retensi urine, dan anuria. Keluhan tersebut dapat disertai dengan penyulit seperti

demam dan tanda gagal ginjal. Selain itu, perlu ditanyakan mengenai riwayat

penyakit dahulu yang berhubungan dengan penyakit batu saluran kemih seperti

obesitas, hiperparatiroid primer, malabsorbsi gastrointestinal, penyakit usus atau

pankreas. Pasien mengeluhkan nyeri pinggang sebelah kanan yang bisa menjalar

ke perut depan, nyei hilang timbul. Namun pasien tidak ada mengeluhkan susah

kencing, kencing sedikit, kencing berdarah ataupun nyeri kencing. 6

Riwayat pola makan juga ditanyakan sebagai predisposisi batu pada

pasien, antara lain asupan kalsium, cairan yang sedikit, garam yang tinggi, buah

dan sayur kurang, serta makanan tinggi purin yang berlebihan, jenis minuman

yang dikonsumsi, jumlah dan jenis protein yang dikonsumsi. Dalam kasus ini

tidak dianalisa secara lebih mendalam apa factor risiko dari pola makanan pasien

yang dapat memicu terbentuknya batu saluran kemih. 6

Pemeriksaan fisik pasien dengan BSK sangat bervariasi mulai tanpa

kelainan fisik sampai adanya tanda-tanda sakit berat, tergantung pada letak batu

dan penyulit yang ditimbulkan (komplikasi). Pemeriksaan fisik yang dapat

ditemukan antara lain: Pemeriksaan fisik umum: Hipertensi, demam, anemia, syok

36
Pemeriksaan fisik urologi: Sudut kostovertebra: Nyeri tekan, nyeri ketok, dan

pembesaran ginjal; Supra simfisis: Nyeri tekan, teraba batu, buli kesan penuh;

Genitalia eksterna: Teraba batu di uretra; Colok dubur: Teraba batu di buli-buli

(palpasi bimanual). Pada pasien didapatkan hipertensi dengan TD 160/90 mmHg,

tanda vital yang lain dalam batas normal. Untuk pemeriksaan status urologi

ditemukan nyeri ketok ginjal pada bagian kanan. Pemeriksaan colok dubur tidak

dilakukan.

Pemeriksaan penunjang dalam menegakkan diagnosis batu saluran kemih

antara lain, BNO, USG, urinalisis, serta CT Scan. Pada pasien telah dilakukan

pemeriksaan, secara laboratorium ditemukan peningkatan yang tidak signifikan

dengan fungsi ginjal pasien, kadar kreatinin 1.72 mg/dl. Pemeriksaan abdomen

posisi AP, ditemukan nefrolitiasis bilateral. Pasien tidak dilakukan pemeriksaan

USG Urologi. Untuk hasil CT Scan Stonogram, ditemukan hidronefrosis kanan

ringan dengan batu pyelum ukuran 22 mm setinggi VL 2-3 dan batu multiple pole

bawah ukuran 6 mm, serta hidronefrosis kiri berat dengan batu ureter proksimal

ukuran 17 mm setinggi VL 4.

Indikasi adanya pengangkatan batu pada batu ginjal antara lain:

Pertambahan ukuran batu; Pasien risiko tinggi terjadinya pembentukan batu;

Obstruksi yang disebabkan oleh batu; Infeksi saluran kemih; Batu yang

menimbulkan gejala seperti nyeri atau hematuria; Ukuran batu >15 mm; Ukuran

batu <15 mm jika observasi bukan merupakan pilihan terapi; Preferensi pasien;

Komorbiditas; Keadaan sosial pasien (misalnya, profesi dan traveling). Indikasi

37
pembedahan pada pasien karena ukuran batu 22 mm (>15 mm) serta bergejala

nyeri.

Sesuai dengan algoritma batu ginjal dengan posisi bukan kaliks inferior

dan ukuran >20 mm lebih dipertimbangkan untuk menggunakan URS.

Penggunaan ureterorenoskopi pada batu ginjal dan/atau ureter saat ini banyak

digunakan karena memiliki beberapa kelebihan antara lain endoskopi yang sangat

kecil, mekanisme defleksi, peningkatan kualitas optik, dan penggunaan alat sekali

pakai (disposable). RIRS atau PNL menjadi pilihan terapi pada batu kaliks

inferior berukuran 10-20 mm bila terdapat faktor penghambat SWL misalnya

sudut infundibulum-pelvis yang curam atau infundibulum yang sempit. URS

dapat dilakukan pada semua pasien tanpa kontraindikasi spesifik apapun.

Indikasi pembedahan pada batu ureter antara lain: Kemungkinan kecil batu

keluar secara spontan; Nyeri menetap walaupun sudah diberikan analgesik

adekuat; Obstruksi persisten; Insufisiensi ginjal (gagal ginjal, obstruksi bilateral,

atau solitary kidney); atau Kelainan anatomi ureter.

Sesuai dengan algoritma batu ureter proksimal >10 mm lebih

dipertimbangkan untuk menggunakan URS. Untuk batu ureter proksimal impaksi

yang besar atau ketika ureter tidak dapat dilakukan secara retrograd dapat diterapi

dengan pilihan seperti URS dengan akses antegrad perkutan. Namun, perlu

dipertimbangkan pula fasilitas yang ada serta pertimbangan ahli urologi setempat.

Pembedahan terbuka merupakan salah satu alternatif terapi bila dipertimbangkan

merupakan pilihan terbaik dalam suatu kasus. Alat floroskopi, dilator balon, dan

38
plastik apabila diperlukan disediakan di kamar operasi. Saat ini, URS rigid dapat

membantu untuk dilatasi sehingga terlihat jelas, kemudian diikuti URS fleksibel

(apabila diperlukan). Apabila akses ureter sulit ditemukan, maka dilakukan

pemasangan DJ stent kemudian diikuti URS setelah 2-4 minggu pemasangan

sebagai prosedur alternatif. 6

Antibiotik profilaksis merupakan bagian dari pencegahan infeksi.

Antibiotik yang diberikan pada pasien bedah bertujuan untuk mengurangi jumlah

koloni bakteri, mengurangi jumlah inoculum kontaminasi sehingga menurunkan

risiko infeksi atau sebagai terapi apabila sudah dalam keadaan infeksi

sebelumnya. Pembedahan terbuka batu saluran kemih merupakan salah satu

tindakan pembedahan yang tergolong pembedahan bersih-kontaminasi

(cleancontaminated), dimana pemberian antibiotic profilaksis bedah sangat

direkomendasikan. Pasein diberikan antibiotik profilaksis berupa ceftriaxone

injeksi 2x1 gram.12

39
BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan sebuah kasus Tn I, umur 58 tahun yang datang dengan

nyeri kepala dengan diagnosis Batu Pyelum (D) + Ureterolithiasis (S). Diagnosis

ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Pasien telah

dilakukan URS dan insersi DJ stent, pada hari perawatan ke-8 BLPL dari RSUD

Ulin Banjarmasin.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Hanley JM, Saigal CS, Scales CD, Smith AC. Prevalences of kidney stone in
the United States. Journal European Association of Urology[internet].
2012[diakses tanggal 28 Oktober 2015]; 62(1):160-5.

2. Fauzi A, Manza M. Nefrolitiasis. Majority. 2016; 5(2).

3. Depkes. Laporan riset kesehatan dasar 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013.

4. Anonim. Ureterolithiasis. FK Universitas Andalas. Diakses dari


http://www.ureterolithiasis.com// tanggal 20 Maret 2020.

5. Aslim O. Penatalaksanaan batu ginjal dengan stone burden lebih dari dua
cebtimeter di RSPAD Gatot Soebroto tahun 2011-2014. Tesis. FK UI, 2015.

6. Rasyid N, Wirya G. PPK Batu Saluran Kemih Edisi Pertama. IAUI, 2018.

7. Türk C, Neisius A, Petrik A, Seitz C, Skolarikos A, Tepeler A, et al. European


Association of Urology Guidelines on Urolithiasis. 2018.

8. Inci K, et al. Prospective long-term followup of patients with asymptomatic


lower pole caliceal stones. J Urol. 2007; 177: 2189.

9. Basiri A, et al. Comparison of safety and efficacy of laparoscopic


pyelolithotomy versus per cutaneous nephrolithotomy in patients with renal
pelvic stones: a randomized clinical trial. Urol J. 2014; 11: 1932.

10. Wang H, et al. Comparative efficacy of tamsulosin versus nifedipine for distal
ureteral calculi: a meta-analysis. Drug Des Devel Ther. 2016; 10: 1257.

11. Hasiana L, Chaidir A. Batu saluran kemih. Dalam: Chris T, Frans L, Sonia H,
Eka A, Editor. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi keempat jilid I. Jakarta:
Media Aesculapius; 2014.hlm. 277-280.

12. Nugraha D. Penggunaan antibiotic profilaksis pada pembedahan terbuka batu


saluran kemih di RSUD Arifin Ahmad Provinsi Riau. JIK. 2016; 10(2).

40

Anda mungkin juga menyukai